Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Melawan Wabah El Tor
El Tor. Anda pernah mendengarnya? Mungkin sekarang tak pernah. Tapi pada dekade 1930-an dan 1960-an, El Tor sempat menjadi nama paling ditakuti di Sulawesi Selatan, Semarang, dan Jakarta. El Tor adalah penyakit menular. Gejalanya mirip kolera. Bahkan penyebabnya serupa dengan penyakit kolera. Masih satu keluarga dengan bakteri kolera. El Tor kali pertama ditemukan oleh Felix Gotschlich, dokter dari Jerman, di pusat karantina El Tor, tak jauh dari Terusan Suez, Mesir, pada 1905. Karena itu, bakteri termaksud disebut El Tor. Gotshlich menyatakan El Tor terdapat di feses sejumlah jamaah calon haji. Meski menyerupai vibrio cholerae (bakteri penyebab kolera), El Tor justru bersifat apatogen atau tidak merugikan inangnya. Jamaah calon haji tetap sehat dan tak muncul gejala sakit apapun pada mereka. Kesimpulan Gotschlich bertahan selama 32 tahun. Kesimpulan Gotschlich berubah pada September 1937. El Tor mulai jadi patogen (merugikan inangnya). Kasus pertama muncul di Pangkajene, sekira 60 kilometer dari utara Makassar. Orang terinfeksi El Tor akan menampakkan gejala sakit menyerupai pasien kolera. “Mula-mula penderita muntah, diikuti dengan berak-berak yang berupa air beras (cair, keruh putih disertai sedikit lendir) dengan frekuensi lebih dari 10 kali,” catat Djaja dalam “Usaha Memberantal El Tor”, 7 Maret 1964. Dalam waktu hampir tiga bulan, infeksi El Tor menyebar ke beberapa wilayah Sulawesi lainnya. Dari 26 September hingga 11 Desember 1937 terdapat 37 kasus dengan 11 orang meninggal . Persebaran El Tor menjangkau 14 desa sehingga menjadikannya epidemi. Media penyebarannya melalui liur atau feses penderita, air yang terkontaminasi, dan lalat yang membawa bakteri itu lalu hinggap di makanan. Epidemi ini cepat menyebar, lekas pula mereda. Tidak seperti dalam kolera, penanganan terhadap penderita tak perlu ada isolasi khusus. Sekian tahun menghilang, El Tor muncul lagi pada 1958 di Jakarta. “Pertama kali muncul empat kasus parakolera El Tor di Jakarta Raya,” ungkap Soe Khie Tjia dalam Penjelidikan Vibrio El Tor Jang Diasingkan di Djakarta dan Tjara Baru Untuk Membedakan Antara Vibrio El Tor dan Vibrio Cholerae , tesis pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1967. Lantaran kasusnya sedikit, kebanyakan orang menganggap biasa kabar ini. Tetapi dunia kedokteran justru bingung, bagaimana El Tor ini muncul di Jakarta setelah sekian tahun hilang dari Makassar. Penelitian digelar selama tiga tahun. Tapi para dokter tak berhasil menemukan jawabannya. Tiga tahun setelah kasus di Jakarta, El Tor tiba-tiba merebak di Semarang. Tercatat ada 250 penderita terinfeksi El Tor. Dalam waktu bersamaan pula, El Tor menyerang Hongkong, Bangkok, Manila, Makau, dan Serawak. Orang-orang mulai khawatir. “Sejak 1961 kolera El Tor telah menjangkiti sepanjang wilayah Timur Jauh (Asia Timur) dan menarik perhatian WHO (Badan Kesehatan Dunia),” catat Jeni Iswandari dan Shinta Njotosiswojo dalam “Cholera El Tor Enteritis in Jakarta”, termuat di jurnal Paediatrica Indonesiana , Februari 1973. Para dokter berkesimpulan El Tor tak bisa lagi dibedakan secara epidemologis, klinis, dan patologis dari kolera. “Perbedaannya hanya terletak pada dua hal: karekteristik fisik dan biokimia (reaksi kimia yang terjadi dalam sel atau organisme hidup) bakterinya,” lanjut Jeni. Seiring pendefinisian El Tor, dokter C.E. De Moor menyarankan penanganan terhadap penderitanya ikut berubah. Mereka harus menjalani isolasi sebagaimana penderita kolera. “Pandangan mengenai vibrioEl Tor kini adalah sebagai kuman yang dapat menyebabkan wabah dengan mengakibatkan kematian sehingga oleh karenanya De Moor memasukkannya dalam daftar kuman-kuman yang dapat menimbulkan penyakit-penyakit karantina,” ungkap Djaja dalam “El Tor dan Cholera”, 26 Oktober 1963. Menyikapi penyebaran El Tor, pemerintah Indonesia menggunakan data penelitian tenaga kesehatan ketika El Tor berjangkit di Jakarta pada 1958 untuk mengambil tindakan. “Tidak banyak orang tahu bahwa semenjak kurang lebih dua tahun berselang, tenaga-tenaga kesehatan kita dan bagian public health Fakultas Kedokteran bertindak dalam bidang epidemiologis,” catat Djaja . Data penelitian tadi meliputi anggota keluarga penderita El Tor, pekerjaan penderita, makanan dan minuman, keadaan rumah, dan kondisi lingkungan. Melalui data itu, pemerintah mengambil langkah pencegahan penyebaran El Tor. Antara lain dengan mengeluarkan maklumat tentang El Tor. Isinya berkisar informasi El Tor, rumah sakit rujukan, dan tindakan orang jika menemukan penderita El Tor. Setelah maklumat keluar, Undang-Undang No. 6 Tahun 1962 tentang Wabah terbit pada 5 Maret 1962. UU termaksud menyuguhkan senarai delapan penyakit menular dan dapat menimbulkan wabah. El Tor termasuk satu di antaranya. Ini berarti “penyakit tersebut harus diberantas dengan segera bila terjadi wabah,” catat Almanak Pembangunan Kesehatan . UU juga memaklumatkan wewenang kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan suatu daerah sebagai daerah wabah setelah pemeriksaan yang teliti. Jika Menkes sudah menetapkan satu daerah sebagai daerah wabah, penguasa tempatan dapat menutup daerah tersebut untuk mencegah wabah meluas. Selain memaklumatkan tindakan bagi pemerintah, UU juga membuka pelibatan masyarakat untuk melaporkan adanya wabah di daerahnya. Para penderita penyakit dikenakan ketentuan isolasi dari orang lain di sekitarnya. “Peraturan ini dijalankan dengan keras karena terjadinya beberapa wabah di Makassar… Dan El Tor yang sudah endemis,” tulis Pedoman dan Berita , 1968. Setelah mengeluarkan maklumat tentang El Tor dan UU tentang wabah, langkah selanjutnya adalah pembuatan vaksin. Hingga 1970-an, vaksin El Tor belum juga ditemukan. Sebagai gantinya, pemerintah menggunakan vaksin kolera. Penderita El Tor mengeluarkan reaksi beragam setelah mendapat vaksin kolera. Ada yang sembuh, ada juga yang tak tertolong. Tapi ketiadaan vaksin khusus itu tertolong oleh perubahan perilaku menuju hidup bersih, pembangunan sanitasi di permukiman, dan kesadaran masyarakat memasak air lebih dulu. Dengan cara demikian, penderita El Tor di Indonesia menurun secara bertahap.
- Intel Kolera di Batavia
Jumlah pasien positif virus Covid-19 terus meningkat sejak dua pasien pertama diumumkan pemerintah pada 2 Maret 2020. Untuk melacak persebarannya, pemerintah kemudian menggandeng Badan Intelijen Nasional (BIN) dan intelijen Polri. Presiden Joko Widodo melalui akun Twitter resminya menyebut bahwa pemerintah berusaha menangani wabah ini tanpa menimbulkan kepanikan di masyarakat. ”Pemerintah terus berusaha keras menangani wabah virus korona, dengan tanpa menimbulkan kepanikan masyarakat. Penelusuran terhadap siapa pun yang melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19 misalnya, dilakukan Kementerian Kesehatan dengan bantuan dari intelijen BIN dan Polri,” cuitnya, 13 Maret 2020. Dilibatkannya intelijen dalam menangani wabah ternyata pernah dilakukan pemerintah kolonial Belanda ketika Kota Batavia diserang kolera. Wabah kolera telah dikenal sejak 1821 dan terus terjadi hingga awal abad 20. Di Batavia, dinas intelijen kemudian dibentuk pada 1909 untuk melacak penyebarannya. Pembentukan dinas intelijen diprakarsai oleh Cornelis Dirk Ouwehand, dosen di STOVIA sekaligus dokter kota di Batavia. Dokter yang kemudian menjadi inspektur Dinas Kesehatan Sipil ini menyebut bahwa data kasus kolera dalam statistik resmi yang dilaporkan oleh rumah sakit selama masa kolera tidak dapat diandalkan. Menurut Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, pada 1910 dan 1911 tercatat sebagai tahun kolera. Rata-rata tiap 1.000 orang bumiputra yang tinggal di hulu kota meninggal dunia dalam kurun itu. Sementara di kota hilir (Batavia Lama) jumlah korban meninggal mencapai 148 orang. Hingga mendekati akhir, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6.000 orang. Patrick Bek dalam "Fighting an (In)visible Enemy: Cholera Control in Jakarta" yang termuat dalam The Medical Journal of The Dutch Indies 1852-1942 menyebut dinas intelijen bertugas memantau kasus kolera secara independen. Dinas ini mengumpulkan data di kampung-kampung, termasuk korban kolera yang tidak berhasil sampai ke rumah sakit. Intelijen lalu melaporkan apa yang kemudian disebut "kasus sporadis" pada periode antara dua wabah kolera. Mereka menunjukkan bahwa di antara dua epidemi, kolera tidak pernah sepenuhnya hilang dari Batavia. Daerah-daerah yang paling sering terkena dampak dan paling parah oleh penyakit ini juga telah ditemukan. "Badan intelijen memetakan fokus wabah baru-baru ini, yang disebut 'kampung kolera', di tepi sungai Ciliwung dan sungai Krukut, tempat tinggal kuli miskin dan Tionghoa miskin,” tulis Bek. Pada 1911-1912 dinas intelijen beroperasi penuh di bawah naungan Dinas Medis Sipil yang baru didirikan, yang bertugas memantau kesehatan masyarakat dan bertujuan mengendalikan penyakit-penyakit umum dan infeksi. Meski tak ada studi ekstensif mengenai dinas intelijen ini yang diterbitkan jurnal medis Hindia Belanda, para kontributor jurnal memuji didirikannya dinas ini. Mereka mengklaim bahwa dinas intelijen sangat penting dalam pengendalian kolera di Batavia. Angka-angka dari dinas intelijen kemudian juga digunakan oleh P.C. Flu (1884-1945), asisten direktur Laboratorium Medis di Batavia, dalam sebuah studi menyeluruh tentang kolera di Batavia, pada 1915. Dari studi tersebut, P.C. Flu mempresentasikan temuannya tentang pengaruh hujan terhadap epidemi kolera di Batavia dalam angka dan tabel. Ia menyimpulkan bahwa, seperti yang sudah diduga, hujan memiliki efek menguntungkan pada jumlah kasus kolera. Kemudian ketika mempelajari angka-angka dari dinas intelijen, ia juga menemukan bahwa di musim hujan dan masa di antara dua epidemi kolera, kolera tidak pernah benar-benar hilang. Kolera tetap bertahan namun dalam bentuk yang ringan. “Ini adalah penemuan penting, yang akan digunakan oleh dinas intelijen yang baru didirikan. Selain itu, penemuan ini juga disajikan dalam GTNI (jurnal medis Hindia Belanda) sebagai argumen untuk vaksinasi massal di Hindia Belanda, yang diperkenalkan di koloni sekitar waktu yang sama,” sebut Bek. Meski demikian, wabah kolera di Batavia nyatanya masih merebak tiap tahun hingga 1920. Hal ini berkaitan dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan penduduk Batavia yang rendah.
- Riwayat Kedatangan Islam di Gowa
Wabah Covid-19 semakin meresahkan masyarakat Indonesia. Pemerintah pun akhirnya mengeluarkan imbauan agar masyarakat sebisa mungkin menghindari keramaian. Masyarakat diminta tidak berkumpul dalam jumlah besar di tempat tertentu. Hal itu dilakukan untuk memutus rantai persebaran virus yang semakin meluas. Di tengah upaya tersebut, masyarakat Indonesia malah dihebohkan dengan pemberitaan tentang kegiatan Tabligh Ijtima Dunia 2020 Zona Asia yang rencananya akan diselenggarakan di Gowa, Sulawesi Selatan pada 19-22 Maret. Diberitakan CNNIndonesia , Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo membenarkan keberadaan 8.000 anggota Jemaah tabligh di Gowa tersebut. Namun setelah pemerintah daerah Sulawesi Selatan bersama TNI dan kepolisian melakukan koordinasi dengan pihak panitia penyelenggara, acara tabligh itu resmi ditunda. Pangdam Hasanuddin Mayjen TNI Andi Simangaruka menyebut pihaknya berhasil meyakinkan panitia menunda acara di tengah pencegahan virus corona yang dilakukan pemerintah Indonesia. “Jadi rencana mereka akan membatalkan kegiatan itu. Ini kesepakatan dengan panitia karena kan progam pemerintah dalam rangka pencegahan penularan virus corona. Mereka mengerti itu,” ucap Andi Simangaruka. Banyak masyarakat yang bingung dengan pemilihan wilayah Gowa sebagai tempat penyelenggaraan acara tersebut. Dari sekian banyak wilayah di Indonesia mengapa Gowa yang dipilih untuk acara yang baru pertama kali terselenggara di Indonesia ini. Hal itu tentu tidak terlepas dari perkembangan ajaran Islam di Gowa yang telah terjadi sejakratusan tahun lalu. Lantas bagaimana Islam pertama kali masuk ke Gowa? Kedatangan Pertama Penyebaran Islam di Nusantara berlangsung tidak merata. Ajaran agama dari Jazirah Arab ini tidaklah masuk secara bersamaan ke seluruh penjuru Nusantara. Masuknya Islam ke Sulawesi Selatan, termasuk Kerajaan Gowa contohnya, bisa dikatakan terlambat dibandingkan dengan wilayah Sumatera dan Jawa. Jika di kedua wilayah tersebut Islam telah berkembang pesat sejak abad ke-10, pengaruh Islam di Sulawesi baru muncul sekitar abad ke-16. Penyebabnya adalah kegiatan dagang di sana baru ramai akhir abad ke-16 hingga permulaan abad ke-17. Dijelaskan Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII , para pedagang Muslim dari berbagai daerah di Nusantara, serta pedagang Eropa baru ramai mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Sulawesi Selatan pada periode abad tersebut. Aktifitas dagang inilah yang mempengaruhi tumbuhnya Islam di Jawa dan Sumatera. Sehingga ketika Sulawesi mulai ramai dikunjungi, persebaran Islam di Gowa pun mulai meningkat. Menurut Mattulada dalam “Islam di Sulawesi Selatan” dimuat dalam Agama dan Perubahan Sosial karya Taufik Abdullah, keberadaan pemukiman Muslim pertama di Makassar diketahui pada masa pemerintahan Raja Gowa X Tonipalangga (1546-1565). Penduduk Muslim pertama di Sulawesi Selatan itu mayoritas berasal dari Campa, Patani, Johor, dan Minangkabau. Mereka adalah para pedagang yang melakukan aktifitas dagang di pelabuhan Makassar, yang ketika itu dikenal sebagai tempat singgah para pelaut yang ingin ke Maluku ataupun ke Sumatera. Pada masa kekuasaan Tonijallo (1565-1590) di tempat bermukim para pedagang Muslim di Mangallekanna itu telah berdiri sebuah masjid. Memasuki abad ke-17 Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo mulai menerima keberadaan Islam di negerinya. Peristiwa besar penerimaan Islam tersebut ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk ( datuk tallua ) dari Minangkabau ke wilayah kekuasaan raja Gowa. “Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran,” tulis Sewang. Berdasar peneltian etnolog Prancis Christian Pelras dalam “Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South Sulawesi” dimuat Archipel , diketahui bahwa orang pertama di Gowa yang menerima Islam adalah mangkubumi Kerajaan Gowa, yang juga memegang kekuasaan tertinggi di Tallo, yaitu I Malingkang Daeng Manyonri. Ia kemudian memperoleh nama Islam Sultan Abdullah Awwalul-Islam. Pada waktu yang bersamaan, Raja Gowa XIV I Mangarangi Daeng Manrabia, juga mengikrarkan dirinya menjadi seorang Muslim. Ia kemudian mengganti namanya menjadi Sultan Alauddin. Keduanya tercatat menjadi Muslim pada 1605. Perubahan seluruh keyakinan di Gowa ke dalam Islam ditasbihkan dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada 9 November 1607. Dalam dekrit itu, kata Sewang, Sultan menjadikan Islam agama resmi kerajaan dan agama yang perlu diyakini seluruh rakyat di wilayah kerajaan Gowa. Tidak ada pertentangan atas keputusan tersebut. Tetapi kemudian mulai timbul pertentangan manakala Gowa mulai menyerukan Islam ke kerajaan-kerajaan taklukannya yang mayoritas masih menganut kepercayaan di luar Islam. Pada perkembangan selanjutnya, ajaran-ajaran Islam yang disyiarkan oleh para ulama di Gowa mulai diterima secara luas oleh masyarakat. “Sejak semula, penyebaran Islam dilakukan atas prakarsa raja, serta atas kemampuan adaptasi yang diperlihatkan oleh para penyiar Islam. Akan tetapi bagaimana proses itu terjadi serta peranan yang dimainkan oleh raja di dalamnya, belumlah ada penelitian yang membahas secara khusus tentang itu,” ungkap Sewang. Datuk Tallua Tersebarnya Islam di kalangan penguasa Gowa tidak terlepas dari peran datuk tallua . Tiga datuk tersebut di antaranya: Abdul Makmur (Khatib Tunggal), dikenal juga dengan nama Datuk ri Bandang; Sulaiman (Khatib Sulung), dikenal juga dengan nama Datuk Patimang; Abdul Jawad (Khatib Bungsu), dikenal juga dengan nama Datuk ri Tiro. Begitu tiba di Makassar, ketiganya tidak langsung menjalankan misi agamanya. Mereka lebih banyak berinteraksi dengan orang-orang Melayu dan pedagang Muslim yang sudah lebih dahulu tinggal di Sulawesi Selatan. Para mubalig ini berusaha mendekati para penguasa yang paling dihormati agar penyebaran ajaran Islam lebih mudah dilakukan. Dikisahkan dalam Lontara Pattorioloang dan Lontara Bilang, ketiga datuk kemudian pergi menuju Luwu untuk mendekati penguasa di sana. Berdasar informasi yang didapat, penguasa Luwu lebih terbuka terhadap keberadaan Islam. Akhirnya pada 1605, penguasa Luwu Daeng Parabung berhasil diislamkan. Ia mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad. Sebagai raja Luwu, Sultan Muhammad cukup dihormati di kalangan raja-raja Sulawesi Selatan. Ia memiliki pengaruh yang besar. Sultan Muhammad lalu menyarankan agar datuk tallua pergi menemui Raja Gowa. Wilayah Gowa, menurut Sultan Muhammad, memiliki kekuatan militer dan politik yang kuat di kawasan Sulawesi Selatan. Jika Islam berhasil berkembang di sana, persebarannya diyakini akan semakin besar dan cepat. Usaha para mubalig itu pun membuahkan hasil. Beberapa bulan setelah melakukan pendekatan, Gowa dan Tallo bersedia memeluk agama Islam. “Kerajaan Gowa dikenal sebagai salah satu kerajaan pertama yang menerima Islam sebagai agama resmi sekaligus menjadi pusat Islamisasi di Sulawesi Sulatan,” tulis Sewang.
- Lomba Masak Gerilyawan
MARET 60 tahun silam. Chairul Saleh terpilih menjadi ketua umum Badan Musyawarah Angkatan 45. Pemilihan itu berlangsung dalam Musyawarah Besar Angkatan 45 yang dihelat di Jakarta, 15-20 Maret 1960. Terpilihnya Chairul menjadi angin segar bagi para veteran Perang Kemerdekaan yang seperti dianaktirikan sejak pengakuan kedaulatan. Chairul merupakan politikus sekaligus veteran Perang Kemerdekaan yang dianggap punya kepedulian tinggi, berprinsip, dan berani mengambil risiko. Selain itu, Chairul juga dikenal memiliki cara berpikir out of the box dan gaya kepemimpinan bak koboi. Lelaki tempramen yang menggemari pencak silat itu sejak muda telah menjadi penentang gigih terhadap cara kerja birokratis yang lamban. Bersama Sukarni dan beberapa pemuda Prapatan 10, Chairul menjadi otak di balik penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok. Di Perang Kemerdekaan, gaya koboi kepemimpinan Chairul –yang merupakan pendukung kemerdekaan 100 persen Tan Malaka– terlihat saat merespon Agresi Militer II. Ketimbang tunduk kepada pemerintah yang melakukan perjanjian demi perjanjian dengan Belanda yang merugikan republik, Chairul memlih angkat senjata bergerilya melawan Belanda. “Dulu para pemimpin ini adalah mitra pemerintah yang sangat antusias. Divisi Siliwangi dan anggota Gerakan Rakyat Revolusioner turut ambil bagian dalam menghancurkan PKI dalam Pemberontakan Madiun pada September 1948,” tulis Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 . Bersama sekitar 19 kawannya, Chairul long march dari ibukota Yogyakarta ke Gunung Sanggabuana di barat Purwakarta, Jawa Barat. Meski berbagai rintangan menghampiri rombongan Chairul dalam perjalanan jauh nan berat itu, sampai Chairul sendiri mesti berjalan menggunakan tongkat akibat kakinya bengkak dan berair usai sepatunya jebol di daerah sebelum Purwokerto, tak satu pun anggota rombongan patah semangat. Chairul selalu punya cara menarik untuk mengendurkan otot-otot mereka yang tegang. Di lereng Gunung Ciremai usai rombongan disergap pasukan Belanda, rombongan yang sudah terseok-seok itu tiba-tiba melihat seekor anak kambing mengembik karena terlepas dari induknya. Anak kambing malang itu lalu dimasukkan paksa ke dalam rombongan oleh Dulay, rekan Chairul. Ketika mereka istirahat di tepi sungai di wilayah Hargeulis, Indramayu, Chairul mengeluarkan ide lewat celotehannya. “Hei…kawan-kawan, bagaimana kalau kita adakan acara lomba masak?” kata Chairul, dikutip Irna HN Soewito dkk. dalam biografi berjudul Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Kawan-kawan Chairul yang letih dan kelaparan pun langsung bersemangat mendukung ide Chairul. Suasana pun seketika berganti ceria. Setelah memotong anak kambing malang tadi dan mendapatkan sekadar bumbu dari penduduk, mereka membagi diri ke dalam beberapa kelompok yang saling bersaing menyajikan masakan. Chairul yang sekelompok dengan Erick dan Hasyim Mahdan membuat masakan yang mereka namakan Rendang Padang Kurang Bumbu. “Setelah dicicipi bersama dan dinilai bersama, maka ‘juara masak Long March Lasykar Rakyat Jawa Barat’ ialah Bung Chairul Saleh!” Pengumuman itu sontak mengundang tepuk tangan dan tawa rombongan yang diselingi komentar banyolan yang mengundang gelak tawa. Chairul tak henti-hetinya tertawa. “Akhirnya tempat yang hampir 5 jam mereka duduki itu ditinggalkan dengan penuh kenangan. Perjalanan dengan semangat baru mereka lanjutkan menuju Subang, Kalijati kemudian langsung mendekati gunung yang dituju.”
- Nyi Sombro dan Keris di Tangan Perempuan
Pada zaman dahulu di Kerajaan Pajajaran pernah hidup Nyi Sombro. Ia adalah pembuat keris yang sakti. Konon saking saktinya Nyi Sombro mampu menciptakan keris sambil mengambang di atas Samudra. Ia hanya butuh alas kain jarik untuk membuatnya. Katanya juga, saking saktinya, Mpu Sombro tak butuh perapian ketika membuat keris. Tak perlu pemukul juga. Ia cukup memijit bilah keris itu. Itulah kenapa keris hasil karyanya selalu berciri lekukan yang seolah bekas dipijat jari. Begitulah cerita yang berkembang di masyarakat. Tak diketahui sumber asalnya. “Sebagian besar sumber ceritanya dari cerita tradisi, walaupun ada yang kemudian ditulis,” kata Boedi Adhitya kepada Historia . id. Boedi adalah pemerhati keris dari Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji),organisasi pecinta budaya keris yang didirikan di Yogyakarta . Kesaktian Mpu Sombro itu tampaknya sampai juga kepada keris buatannya. Toni Junus, konsultan keris, dalam bukunya Tafsir Keris , menulis keris buatan Nyi Sombro dipercaya pula dapat membantu melancarkan proses kelahiran bayi. Kerisnya diyakini memiliki kekuatan gaib untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan rumit yang dialami dalam kehidupan. Yang jelas, kata Boedhi, nama Mpu Sombro hingga kini diingat sebagai pembuat keris perempuan yang karyanya banyak diincar. Mpu Sombro menciptakan keris yang dikenal dengan nama keris Sombro. Dalam pemahaman umum, keris Sombro adalah keris lurus, berukuran relatif pendek, yaitu kurang dari sejengkal, dan bilahnya lebar. Keris ini memiliki gandhik yang polos, bagian dasar keris ( ganja ) dan bilahnya menyatu tanpa sambungan ( ganja iras ). “Bilahnya tidak rata, tapi ada semacam cekungan-cekungan seperti bekas pijatan jari, yang dipercaya dibuatnya dengan pijatan tangan saja, tidak dipalu,” kata Boedhi. Kendati begitu, Boedhi mengatakan, nama keris Sombro atau dhapur Sombro tak ditemukan dalam naskah-naskah lama. Nama ini hanya populer dalam dunia perdagangan keris. “Yang tercatat adalah mpu perempuan bernama Ni Mbok Sombro. Karenanya apa yang saat ini lazim disebut keris Sombro bisa jadi istilah yang belum terlalu lama dibuat,” ujarnya. Boedhi menerangkan, dalam hikayat di dunia perkerisan, Mpu Sombro dikisahkan sebagai mpu yang berkarya di daerah Tuban. Kira-kira pada zaman Majapahit. Namun, ia dipercaya berasal dari wilayah Kerajaan Pajajaran. Ni Mbok Sombro atau Nyi Sombro adalah keturunan dari keluarga pembuat keris. Ayahnya bernama Mpu Manca. Unggul Sudrajat, peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang, Kemendikbud , men gungkapkan keluarga Mpu Manca menjadi salah satu dari banyak mpu yang memilih pindah ke daerah lain di luar Jawa Barat. Mpu Mercukundo memilih pindah ke Sumatra. Mereka lalu mulai menyebarkan budaya keris di tempat yang baru. “Mpu Manca memilih pindah ke daerah Tuban, Jawa Timur. Ia yang pada akhirnya banyak menurunkan mpu-mpu lainnya, khususnya di tanah Jawa,” tulis Unggul dalam “Keris Nusantara: Warisan Adiluhung Bangsa” termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan. Tak banyak pembuat keris perempuan pada masa lalu yang tercatat. Selain Mpu Sombro, dikenal juga Mpu Anjani yang menghasilkan keris bernama blarak ijo. Selain itu, Mpu Omayi bersama suaminya, Mpu Maja, hidup pada masa sebelum Mpu Sombro. Menurut Prasida Wibawa dalam Pesona Tosan Aji mereka hidup pada zaman Segaluh Pajajaran. Menurut Prasida, Mpu Anjani juga merupakan anak perempuan dari seorang mpu, bernama Bromokedhi. Mpu Anjani terkenal pada zaman pemerintahan Prabu Sri Pamekas dari Pajajaran. Dalam cerita tradisi Babad Tanah Jawi disebutkan,Sri Pamekas berputra Arya Bangah dan Raden Sesuruh. Arya Bangah menjadi raja di Galuh. Sementara Raden Sesuruh awalnya diharapkan menjadi raja di Pajajaran, tetapi akhirnya mendirikan Kerajaan Majapahit. Kendati begitu, kata Boedhi, Mpu Anjani dalam catatan tak begitu jelas apakah ia seorang perempuan atau lelaki. “Ni Mbok Sombro jelas disebut sebagai Ni Mbok, perempuan. Mungkin karena mpu ini (Anjani, red .) termasuk mpu kuno,” ujar Boedhi. Maksudnya, mpu kuno adalah mpu yang dalam hikayat perkerisan hidup di masa legenda. Tak jelas betul kebenarannya. Ciri-ciri karyanya pun sudah tak dikenal lagi. Mereka juga biasanya dianggap sebagai pencipta dhapur tertentu. Sementara mpu dari generasi selanjutnya ciri karyanya secara tradisi masih tercatat. Kendati ada pula yang sulit untuk diidentifikasi. “Mpu yang lebih modern lazimnya tidak banyak mencipta dhapur baru, tetapi memiliki ciri-ciri khas tertentu dalam berkarya,” jelas Boedhi. Biarpun tak banyak tercatat, pada dasarnya tak ada larangan bagi perempuan untuk menekuni profesi ini. Apalagi jika ia memang keturunan mpu pembuat keris. “Jadi pada masa lalu, profesi mpu dilakukan turun-temurun. Keahlian menempa besi tidak mudah dipelajari, dan bahkan bersifat rahasia,” jelas Boedhi. Keris berdapur Cengkrong diperkirakan buatan Nyi Sombro. Tuahnya untuk melindungi keluarga, kesejahteraan, dan kepemimpinan. (Repro Tafsir Keris karya Toni Junus). Keris untuk Perempuan Begitu juga dengan pemakaian kerisnya. Tak selamanya keris identik dengan laki-laki. “Sebenarnya ada yang khusus perempuan. Biasa disebut patrem ,” ujar Boedhi.Keris ini ukurannya lebih pendek. Ia hanya sepanjang kurang lebih sejengkal atau kurang. Sementara menurut Prasida senjata tradisional tosan aji yang biasa dipakai perempuan namanya cundrik . Senjata ini berbentuk keris dengan ukuran lebih kecil dan ramping. Adapun warangka atau sarungnya menyerupai keris gayaman kecil. “Ada juga senjata untuk perempuan yang disebut patrem , bentuknya lebih mungil dan sarungnya model sandang walikat,” jelasnya. Kadang-kadang, Prasida melanjutkan, tusuk konde pun dapat juga terbuat dari tosan aji . Ini pun dapat berfungsi sebagai senjata. Pada masa lalu catatan mengenai perempuan yang bersenjata banyak ditemukan. Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX menyebutkan seorang penyewa tanah kesultanan dari Prancis, Joseph Donatien Boutet pernah mengunjungi Surakarta pada masa pemerintahan Pakubuwono V (1820-1823). Boutet memberi gambaran menarik tentang keberadaan Korps Srikandi Surakarta. Sebanyak 40 perempuan duduk berbaris di bawah takhta sunan. Mereka bersenjata lengkap, seperti berikat pinggang dengan sebilah keris diselipkan di sana. Masing-masing juga memegang sebilah pedang atau sepucuk bedil. “Harus diakui mereka pasukan kawal yang mengagumkan,” catat Boutet yang dikutip Peter. Kakawin Sumanasantaka yang ditulis oleh Mpu Monaguna dari sekira abad ke-13 juga mengisahkan pemakaian keris oleh para janda. Mereka menggunakan keris ini untuk bunuh diri atau bela pati . Keris dalam naskah ini disebut dengan istilah patrem . Ceritanya, di Kerajaan Widarbha, ketika raja, ayah Putri Sri Indumati, mangkat, permaisurinya, ikut menyusul dengan melakukan bela pati. “Kerismu ( patrem ) ini, Tuanku, akan kutikamkan pada tubuhku. Mari temui aku di perjalanan,” kata sang ratu. Selain permaisuri, Jayaluh, abdi setia Putri Indumati, juga begitu sedih gustinya mangkat. Ia pun mengakhiri hidupnya mengikuti junjungannya itu. “Lihat ini, putri, kris ( patrem ) ini, alat maut ini akan kupakai menikam diriku sekarang,” ujarnya. S. Supomo dalam Kakawin Sumanasantaka: Mati karena Bunga Sumanasa menjelaskan, dalam kakawin lain diketahui juga kalau para janda memakai beragam senjata untuk bunuh diri seperti khadga dalam Bharatayuddha dan Hariwangsa, curiga dalam Hariwangsa dan Sutasoma . “Apa bedanya semua senjata itu, yaitu kata lain dari keris, tak jelas. Namun acuan dalam Hariwangsa mengisyaratkan khadga, curiga, dan patrem adalah sinonim,” jelas Supomo. Pada masa perkembangan Hindu-Buddha, lewat adegan-adegan relief candi dijumpai pula tokoh perempuan yang memegang senjata tajam. Salah satunya arca Dewi Durga Mahisasuramardini yang bertangan 8 atau 10, pada salah satu tangannya memegang khadga (pedang pendek). Uniknya, terdapat arca Druga Mahisasuramardini di Jombang Jawa Timur dan di Pura Penataran Panglan Pejeng, Gianyar, Bali yang salah satu tangannya memegang keris. Di Pura Penataran Panglan Pejeng, tangan kanan-tengah Durga memegang keris yang bentuknya berliku dengan tiga luk dan patah ujungnya. Menurut Dewa Gede Yadhu Basudewa dari Dinas Kebudayaan Kota Denpasar , dalam mitologinya tidak pernah disebutkan keris sebagai salah satu senjata yang diberikan dewa untuk Durga. Bisa jadi, si pemahat begitu percaya pada nilai magis keris, sehingga menjadikannya sebagai salah satu senjata Durga. “Harapannya Durga sebagai dewi perang dapat lebih berhasil dalam menghancurkan musuhnya ( asura ), seperti makna simbolisnya sebagai penjaga, pelindung, dan kekuatan yang sempurna,” tulisnya dalam “Laksana Arca Durga Mahisasuramardhini di Bali: Sebuah Tinjauan Variasi dan Makna” termuat di Jurnal Siddhayatra . Bagaimanapun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara bukan hal aneh bila perempuan memegang senjata, khususnya keris, dan berperang. Bahkan menjadi pembuat keris yang sakti dan melegenda, seperti Nyi Sombro. “Peran perempuan Nusantara memang secara tradisi sesungguhnya lebih berdaya,” ucap Boedhi.
- Ronde Terakhir Roger Mayweather
DI balik sukses seorang petinju, pasti ada pelatih yang hebat. Namun di sepanjang perjalanan karier petinju Floyd Mayweather Jr., hanya satu pelatih sekaligus mentor dalam hidupnya yang paling berjasa: Roger Mayweather alias pamannya sendiri. Maka Floyd begitu terpukul ketika Roger mengembuskan nafas terakhir di usia 58 tahun pada 17 Maret 2020 karena diabetes. “Paman saya salah satu orang terpenting di hidup saya, baik di dalam maupun di luar ring. Roger juga seorang juara hebat dan salah satu pelatih terbaik dalam tinju. Sayangnya kesehatannya memang buruk dalam beberapa tahun ini dan sekarang akhirnya dia beristirahat dengan tenang,” kata Floyd Mayweather Jr. lirih, dikutip Independent , 18 Maret 2020. Roger merupakan salah satu sosok penting dalam Dinasti Mayweather di dunia tinju. Kisah dinasti Mayweather bermula pada 1967 kala Floyd Sr. baru berusia 15 tahun, sebagaimana dikisahkan Floyd Sr. kepada jurnalis Tim Smith yang dimuat majalah The Ring edisi Oktober 2014. “Saat saya sudah beralih ke tinju professional pada 1974, adik-adik saya (Roger dan Jeff) mulai mengikuti jejak saya. Mereka selalu ikut ketika saya berlatih di Tawsy Gym,” kenang Floyd Sr. Roger Mayweather bersama sang ibu, Bernice (Ambrose) Mayweather pada 1983 (Foto: Grand Rapids Press) Roger lahir di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat pada 24 April 1961, sebagai satu dari sembilan anak pasangan Theartha Mayweather Sr. dan Bernice Ambrose. Sejak kecil, Roger dan kakak serta adik-adiknya hidup dalam keadaan sulit lantaran ekonomi keluarga hanya ditopang sang ibu yang bekerja serabutan, setelah ditinggal pergi ayahnya. Tinju, yang dikenalnya dari kakak tertuanya, Floyd Mayweather Sr. alias ayah Floyd Mayweather Jr., jadi jalan keluarnya dari kesusahan ekonomi keluarga. Roger di Atas Ring Tidak banyak yang diketahui tentang masa kecil Roger, termasuk perjalanannya di dunia tinju amatir kelas ringan selain punya catatan 64-4. Pada 29 Juli 1981, ia naik ke tinju profesional mengikuti Floyd Sr. Ia menjalani debut tinju profesionalnya melawan Andrew Ruiz dan langsung menang TKO di ronde pertama. Gelar pertama yang dimenangi Roger adalah sabuk USBA kelas ringan kala mengalahkan Ruben Muñoz Jr. lewat kemenangan angka pada 23 Oktober 1982. Selebihnya, karier Roger sarat kemenangan dan bergelimang gelar dunia, mulai dari kelas ringan, kelas bulu-super, kelas welter, hingga kelas welter-ringan. Jejak Roger kemudian diikuti oleh adik bungsunya, Jeff Mayweather. “Roger punya karier yang luar biasa. Sementara Floyd Sr. dan saya setidaknya punya karier yang lumayan,” kata Jeff Maywather di The Ring , Oktober 2014. Kolase Roger Mayweather yang mengikuti jejak kakaknya, Floyd Mayweather Sr. ke dunia tinju profesional (Foto: Grand Rapids Press) Kala Floyd Sr., Roger, dan Jeff sudah berkutat di tinju pro pada 1980-an, Rogerlah yang punya karier paling cemerlang. Sepanjang kariernya, Floyd Sr. dan Jeff Mayweather tak pernah memenangi gelar prestisius. Karier gemilang Roger hanya bisa dilewati oleh keponakannya, Floyd Mayweather Jr. pada 1990-an. Ketika namanya mulai naik daun di atas ring, Roger merasa perlu punya julukan. Setelah berpikir masak-masak, ia memilih julukan “Black Mamba”, diambil dari nama ular paling berbisa kedua setelah king cobra. “Suatu hari saya sedang gonta-ganti saluran TV dan saya melihat di salah satu salurannya menayangkan aneka reptil, salah satunya (ular) black mamba. Salah satu ular paling mematikan di dunia. Saya suka melihat cara ular itu menyerang mangsanya dengan begitu tenang. Namun sekalinya ia mematuk, bisanya akan langsung menyebar di tubuh mangsanya. Karakternya mengingatkan pada diri saya sendiri,” tutur Roger kepada Chris Robinson yang dimuat doghouseboxing.com , 1 Januari 2006. Karier manis Roger di tinju profesional berlanjut saat memenangi titel bergengsi WBA kelas bulu-super pada 19 Januari 1983 usai menang TKO atas Samuel Serrano. Namun, pada 26 Februari 1984 Roger kehilangan sabuk itu setelah mengalami salah satu kekalahan terpahitnya usai kalah KO di ronde pertama dari Rocky Lockeridge. “Rick ‘Rocky’ Lockeridge merebut gelar bulu-super (WBA, red. ) setelah meng-KO Roger Mayweather hanya dalam 98 detik di ronde pertama. Sementara Roger terkapar, ia merayakannya bak merasa berada di puncak dunia,” tulis Mark E. Strong dalam Church for the Featherless. Kekalahan itu masih menyisakan pahit bagi Roger yang kembali kalah pada 7 Juli 1985 dalam perebutan gelar WBC kelas bulu-super. Roger kalah TKO dari Julio César Chávez di ronde kedua. Roger baru bisa bangkit saat kembali ke kelas ringan, di mana dia menyabet sabuk WBC Continental Americas dari Sammy Fuentes pada 12 November 1987. Roger Mayweather (kanan) saat menghadapi Julio César Chávez (Foto: Youtube Boxing Hall of Fame Las Vegas) Kebangkitan itu berlanjut meski Roger beralih ke kelas welter-ringan, di mana dia sukses melingkarkan sabuk WBC di pinggangnya usai menang TKO atas René Arredondo. Berturut-turut kesuksesannya juga menghadirkan sabuk WBA Americas di kelas yang sama pada 5 April 1990 (menang dari Ildemar Jose Paisan), dan IBO pada 28 Mei 1994 (menang dari Eduardo Montes). Ketika naik ke kelas welter, Roger juga mengoleksi sabuk IBO pada 8 Agustus 1994 (menang dari Johnny Bizzarro), serta IBA pada 12 Maret 1997 (menang dari Carlos Miranda), sebelum akhirnya gantung sarung tinju usai melakoni laga terakhirnya kontra Javier Francisco Méndez pada 8 Mei 1999 yang juga ia menangi. Tak Bisa Jauh dari Tinju Tinju sudah jadi bagian dari hidupnya sejak usia delapan tahun. Maka setelah pensiun, Roger memilih tetap di lingkungan tinju dengan menjadi pelatih. Sejatinya, ia sudah merintis jadi pelatih sejak awal 1998 atau setahun sebelum memutuskan pensiun dengan total catatan 72 pertarungan: 59 kemenangan, 35 menang KO, 13 kekalahan. “Saya selalu mencintai tinju. Saya senang dengan persaingan di dalamnya. Saya tahu betul apa kemampuan saya, sejak usia delapan tahun. Saya juga tahu cara melatih, bahkan ketika saya masih kecil. Saya tahu ketika karier saya akan berakhir, saya akan jadi pelatih. Transisinya sulit bagi beberapa orang setelah lama jadi petinju, tapi tidak bagi saya,” sambung Roger. Sejak awal 1998, atau dua tahun setelah Floyd Mayweather Jr. beralih dari amatir ke tinju pro, Roger kebagian jatah mengasuh sang keponakan. Namun baru beberapa bulan, ia digantikan lagi oleh Floyd Sr., setelah ayah Floyd Jr. itu bebas dari hukuman penjara. Roger pilih menyingkir dan melatih petinju lain karena ia juga tak punya hubungan yang harmonis dengan Floyd Sr. “Saya dekat dengan adik saya, Jeff. Tetapi saya tak punya hubungan yang baik dengan kakak saya Floyd. Saya tak pernah bicara padanya selama 10 tahun,” kenangnya lagi. Namun pada Maret 2000, usai Floyd Jr. nyaris kalah dari Gregorio Vargas, Roger diminta kembali melatih sang keponakan. Floyd Jr. justru merasa tak cocok dilatih ayahnya sendiri sehingga memecatnya agar pamannya bisa kembali melatihnya. Hingga 2012, Roger selalu berada di sudut ring kala sang keponakan meraih beragam sabuk bergengsi. Roger mengasuh Floyd Jr. bak anak sendiri. Maka ketika keponakannya dijahili Zab Judah pada 8 April 2006, ia meradang sampai loncat ke dalam ring hingga memicu keributan. Dalam laga perebutan gelar IBF dan IBO kelas welter di ronde ke-10 itu, Floyd Jr. terkena low blow atau pukulan culas Judah yang mengarah ke kantong menyan Floyd Jr. “Roger masuk ke dalam ring. Ia mencoba memukul Judah, hingga kemudian Yoel Judah (kakak dan pelatih Zab Judah) ikut masuk ring dan membalas pukulan kepada Roger. Petugas keamanan harus terjun untuk melerai dan kemudian mengusir Roger,” ungkap Thomas Hauser dalam The Greatest Sport of All: An Inside Look at Another Year in Boxing. Floyd Mayweather Jr. jadi sosok paling terpukul kala paman cum pelatih yang ikut membesarkan namanya wafat pada 17 Maret 2020 (Foto: Instagram @floydmayweather/Twitter @MayweatherPromo) Setelah pertarungan ditunda 10 menit, laga Floyd Jr. vs Judah dilanjutkan dan akhirnya dimenangi Floyd Jr. Sementara, lima hari berselang sang paman disanksi Nevada State Athletic Commission dengan larangan melatih selama setahun dan denda USD200 ribu karena dianggap sebagai pemicu kerusuhan di atas ring. Setelah lepas dari sanksi, Roger kembali mengasuh Floyd Jr. hingga 2012. Mengingat kesehatannya yang menurun akibat diabetes, ia memutuskan tak lagi aktif melatih keponakannya seperti sedia kala. Hanya sesekali dalam kurun beberapa waktu ia ikut membantu melatih petinju-petinju lain di Mayweather Boxing Club, sasana tinju milik Floyd Jr. yang didirikan pada 2007, hingga akhir hayat Roger. “Roger adalah segalanya buat saya, buat ayah saya Floyd Sr., paman saya Jeff, segenap keluarga, semua orang di dalam maupun di luar Mayweather Boxing Gym dan seantero dunia tinju. Meninggalnya Roger adalah kehilangan besar buat kami semua,” tandas Floyd Jr. menyambung kedukaannya.
- Teror Sampar Ditakuti Tentara Belanda
Pada 1933-1934 wabah penyakit pes merajela di Priangan. Menurut Terence H.Hull dalam Death and Disease in Southeast Asia (disunting oleh Norman Owen), sekitar 15.000 orang Priangan tewas akibat penyakit yang diakibatkan oleh bakteri bernama Yersinia pestis tersebut. Hingga 1939, penyakit pes tetap menjadi hantu yang menakutkan di Jawa. Garut termasuk kawasan yang menyumbangkan korban agak besar. Dalam catatan Adrianus Bonnebaker dalam Over Pest , selama setahun wabah sampar merajalela, ratusan warga Garut telah meregang nyawa akibatnya. Tragedi itu menimbulkan trauma yang mendalam hingga puluhan tahun kemudian. “Zaman itu jika ada tikus dalam jumlah belasan saja terlihat mati di jalanan, ketakutan kami akan wabah penyakit pes muncul kembali,” kenang Ucun (92), warga asal Cigadog, Garut. Namun saat berlangsungnya Perang Kemerdekaan (1945-1949), para pejuang Indonesia di Garut justru memanfaatkan ketakutan kepada penyakit pes itu sebagai media untuk melakukan teror terhadap para prajurit Belanda. Adalah Mayor Saoed Mustofa Kosasih, Komandan Kesatuan Pasoekan Pangeran Papak (PPP) yang kali pertama memiliki ide untuk menjadikan bakteri Yersinia pestis sebagai senjata biologis untuk menghancurkan mental tempur pasukan Belanda. “Ayah saya juga menjadikan isu penyakit pes sebagai alat untuk melakukan perat urat syaraf dengan (pasukan) Belanda,” ujar Basroni Kosasih, berusia 65, salah satu putra dari almarhum Mayor Kosasih. Munculnya ide tersebut bermula dari laporan mata-mata PPP yang menyebut adanya satu seksi patroli pasukan Belanda yang balik badan ke posnya usai melihat beberapa tikus mati di jalanan. Rupanya mereka sangat takut terhadap bakteri pes di tubuh kutu-kutu hitam yang banyak bersarang di bulu tikus. Menurut Ojo Soepardjo Wigena, informasi dari telik sandi itu lantas didiskusikan dan dianalisa oleh Tim Intelijen PPP yang dipimpin oleh Soebardjo alias Shiroyama alias Guk Jae-ma, seorang mantan prajurit Jepang berkebangsaan Korea. “Ikut pula memberi masukan kepada Pak Mayor, seorang dokter yang merupakan bekas anggota tentara Jepang yang nama Indonesia kalau tidak salah adalah Ali, “ungkap eks anggota PPP asal Wanaraja, Garut itu. Maka dibuatlah rencana. Langkah pertama yang dilakukan oleh Mayor Kosasih adalah memerintahkan kepada anak buahnya untuk berburu tikus di sawah-sawah sekitar Wanaraja, tempat markas PPP. Bagi para anggota PPP yang mayoritas adalah bekas petani, pekerjaan mencari tikus bukanlah hal yang susah. Maka setelah berhari-hari, terkumpullah sekitar 10 karung tikus. Malam hari-nya karung-karung berisi tikus itu dibawa ke wilayah pos-pos militer Belanda. Secara diam-diam, binatang pengerat itu lantas dilepaskan dan dibiarkan masuk ke markas pasukan Belanda. Begitu tiap minggu mereka lakukan. Tidak jelas benar apakah kemudian ada serdadu Belanda yang terkena penyakit pes. Yang terang, teror penyakit sampar membuat markas-markas Belanda di Garut jadi mencekam. Beberapa penduduk sekitar pos membuat kesaksian kepada Mayor Kosasih bahwa banyak prajurit Belanda menyingkir dan bahkan terlihat sakit saat dibawa ke kota. “Taktik tikus” juga dilakukan oleh PPP untuk lolos dari kejaran militer Belanda. Caranya, saat akan melakukan penyangongan (penghadangan konvoi militer Belanda) di suatu wilayah, selain logistik, para gerilyawan PPP pun membawa serta pula berkarung-karung tikus yang sudah mati diracun. Begitu penyangongan usai dan berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda sekaligus merampas senjata mereka, unit PPP akan mundur kembali ke hutan-hutan. Namun bantuan militer Belanda kadang nekat terus memburu mereka. Maka saat mundur itulah, tikus-tikus mati tersebut disebar sepanjang jalan. Alih-alih terus melakukan perburuan, para prajurit Belanda itu malah balik badan dan tak mau menghadapi resiko kena penyakit pes. Menurut Ojo, penyebaran tikus-tikus mati juga kerap dilakukan untuk mencegah pembersihan yang dilakukan oleh para prajurit Belanda terhadap suatu kampung. Begitu mendapat informasi akan ada pergerakan pasukan Belanda ke pelosok, orang-orang kampung lalu menyebarkan tikus-tikus mati di jalanan desa. Maka selamatlah desa tersebut dari teror pasukan Belanda yang teryata lebih takut kepada teror sampar daripada teror gerilyawan Indonesia.
- Di Balik Mistik Keris
Panembahan Purbaya mengacungkan keris pusakanya. Api berkobar-kobar di kiri dan kanan jalan. Tujuannya satu, meremukkan benteng Belanda di Batavia.Pasukan Kompeni yang menyadari kedatangan rombongan Kesultanan Mataram itu langsung memberondongkan peluru dari atas benteng. “Heee Belanda! Sungguh terlalu tingkahmu yang hanya menakut-nakuti!” seru Panembahan Purbaya. Ia pun menudingkan keris pusakanya ke arah benteng, di mana banyak pasukan Belanda berkumpul. Benteng itu pun seketika tembus berlubang seluas empat meter persegi. Demikianlah kesaktian keris dikisahkan dalam buku Serat Tembung Andhupara karya R.Ng. Suradipura. Ada juga kisah Mpu Gandring yang terkenal dengan keris buatannya yang sangat sakti dalam Serat Pararaton . Konon, tak ada orang yang dapat melawan kekuatan keris bikinannya. Jika dipakai menusuk pasti berhasil. Bahkan sekalipun belum selesai, keris yang Mpu Gandring ciptakan untuk Ken Angrok, sudah menunjukkan kekuatannya. Ketika Ken Angrok memukulkan keris itu ke lumpang batu tempat pengumpulan bekas-bekas gosokan, lumpang itu langsung pecah jadi dua. Lalu ia pukulkan lagi keris itu pada tempaan Mpu Gandring, pecah juga jadi dua. Keris buatan Mpu Gandring yang dipesan khusus ini pada gilirannya memakan banyak korban, termasuk tokoh-tokoh pemimpin kerajaan. M ulai dari penciptanya Mpu Gandring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, seorang pengalasan dari Batil, hingga Anusapati. Lalu ada lagi kisah dalam Babad Tanah Jawi. Kali ini kesaktian keris dihubungkan dengan wali. Ceritanya, Sunan Giri diganggu oleh para kafir saat sedang menyusun tulisan keagamaan. Ia lalu melemparkan kalamnya yang sedang ia pakai ke arah para pengganggu itu. Sambil berputar-putar, pena itu kemudian berubah menjadi keris gaib yang menyerang dengan sengit.Keris sakti itu kemudian dikenal dengan nama Kalam Munyeng, salah satu pusaka Sunan Giri. Kisah-kisah kemagisan keris ini muncul dalam banyak cerita tradisi. Namun, bukan berarti sejak awal keris dianggap sebagai benda bernuansa mistik. Waktu itu keris lebih berfungsi praktis. Dalam beberapa prasasti abad ke-9 sampai ke-10 disebutkan keris bersama benda-benda fungsional lainnya belum dianggap sebagai pusaka. Rupanya ada sebab awal hingga keris mendapatkan label kesaktian. Hanya Kiasan Kepercayaan akan kesaktian keris mulai berkembang berkat kisah-kisah legenda mengenainya. Misalnya, kisah Mpu Gandring dan kerisnya dalam Serat Pararaton , menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, hanyalah penyederhanaan dari peristiwa besar yang mungkin pernah terjadi. Permintaan Ken Angrok kepada Mpu Gandring untuk dibuatkan keris adalah petunjuk tentang kudeta yang diprakarsai Ken Angrok kepada penguasa Tumapel yang berada di bawah cengkraman Kadiri. Pararaton hanya menyederhanakan kejadian sebenarnya, bahwa yang dipesan Ken Angrok bukan hanya sebuah keris melainkan sejumlah persenjataan. “Seakan Mpu Gandring bikin satu keris dan tak selesai, lalu dibunuh. Maksudnya, Mpu Gandring tak bisa memenuhi pesanan jumlah senjata pada waktu yang diinginkan,” jelas Dwi. Ken Angrok tak peduli Mpu Gandring tak menyanggupi permintaannya untuk menyelesaikan keris sesegera mungkin. Ketika itu ia begitu tergesa-gesa. Serangan ke Tunggul Ametung harus segera dilakukan atau gagal. Konsultan keris, Toni Junus, dalam bukunya Tafsir Keris, menjelaskan cerita Panembahan Purbaya dan pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia dalam Serat Tembung Andhupara. Menurutnya keris sakti Panembahan Purbaya hanya kiasan penggambaran rakyat yang bangkit kembali dengan semangat berkobar. “Mereka berbodong-bondong berbaris memadati kiri dan kanan jalan untuk menyambut serta mengelu-elukan rombongan Purbaya,” jelas Toni . Juga pada bagian yang mengisahkan benteng Belanda tembus berlubang ketika keris itu diacungkan. Menurut Toni sebenarnya ini hanya menggambarkan bahwa setelah kematian Gubernur Jenderal VOC Jan Pieters Zoon Coen, Belanda kawalahan. Mereka kemudian memilih untuk membuka pintu gerbang, menyambut rombongan Panembahan Purbaya dan berunding. “Artinya benteng itu dibuka pintunya untuk menyambut kedatangan juru runding Mataram, yaitu Panembahan Purbaya,” kata Toni. Gaya penulisan semacam ini banyak ditemui khususnya dalam kesusastraan Jawa pada masa kedatangan Belanda. Menurut Toni, sastra kiasan seperti ini sengaja dibuat untuk menyembunyikan makna sebenarnya. Biasanya ia mengandung kerahasiaan untuk mengelabui Belanda agar bisa disebarluaskan kepada masyarakat. “Tulisan ini memiliki andil terbentuknya ‘fenomena mistik’ pada keris karena secara tersurat dipahami sebagai peristiwa nyata,” ujar Toni. Berkat kisah ini, masih banyak orang Jawa yang percaya keris bisa memadamkan api. Keistimewaan Bijih Besi Jauh sebelum itu, masyarakat Jawa kuno telah memandang logam penuh dengan makna simbolik. Menurut Guru Besar Arkeologi UGM, Timbul Haryono dalam “Keris dalam Sistem Budaya Masyarakat Jawa Tradisional Ditinjau dari Pendekatan Arkeologi”, termuat di Keris dalam Perspektif Keilmuan , itu terjadi ketika kebudayaan Jawa mendapat pengaruh India.Menurut tradisi India masing-masing logam punya kedudukan yang berbeda dari yang tinggi sampai yang rendah, yaitu suvarna (emas), rupya (perak), loha (besi), tamra (tembaga), trapu (timah putih), vangaja (seng), sisaka (timah hitam), dan riti (kuningan). Sementara tradisi lain, menurut Timbul, menyatakan ada delapan logam yang penting, istilahnya astalohamaya , yaitu suvarna (emas), rajata (perak), tamra (tembaga), paittala (kuningan), kamsya (perunggu), ayasa (besi), saisaka (timah hitam), dan trapusa (timah putih). Dalam tradisi dari India ini, emas adalah simbol dari semua yang dianggap superior. “Emas memiliki warna yang indah ( su-varna ) sekaligus bersifat kesurgaan ( svar ),” jelas Timbul. Sementara perak mempunyai nilai simbolik meningkatkan kesucian. Adapun tembaga dianggap mempunyai daya magis. Di Nusantara, besi mendapat kedudukan yang berbeda. Penggunaan besi di wilayah ini sudah ada sejak lama. Para ahli prasejarah, khususnya H.R. van Heekeren, membuktikan kalau besi telah dikenal di Nusantara bersamaan dengan perunggu, yaitu pada abad terakhir menjelang Masehi. Namun, menurut sejarawan DanysLombard dalam Nusa Jawa II: Jaringan Asia , Nusantara miskin bijih besi kecuali di wilayah-wilayah tertentu, seperti bagian utara Filipina, bagian tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, daerah pedalaman Sumatra dan Sumbawa. “Di Jawa sama sekali tak ada bijih besi,” jelas Lombard . “Dapat dibayangkan di Jawa, konteks ritual dan magisnya lebih terasa karena kelangkaan logam itu.” Karenanya, berbeda dengan metalurgi lainnya yang sudah kehilangan makna keramat, pekerjaan menempa besi khususnya pembuatan keris masih dikaitkan dengan kegaiban. Seperti diungkapkanoleh Timbul Haryono bahwa di Jawa pada umumnya masyarakat mengelompokkan keris ke dalam tosan aji atau wesi aji . Artinya besi yang bernilai tinggi atau dimuliakan. “Itulah sebabnya maka dalam lingkungan budaya kerajaan Jawa, penyebutan keris sebagai pusaka keraton selalu diberi kata sandang Kiai atau Kanjeng Kyai ,” jelas Timbul. Soal ini tak bisa dilepaskan pula dari sosok si pandai besi, yaitu mpu yang menciptakan keris. Ia berpuasa dan bertapa sebelum tangannya meraih martil. Sepanjang masa prakolonial, hak mengerjakan besi dianggap melekat pada sekelompok perajin yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Di mana pun di Nusantara pandai besi dipandang sebagai mpu yang memiliki kekuatan magis. “Di dalam alam pikiran masyarakat Jawa dipercayai bahwa mistik keris terjadi karena pembuatan keris selalu disertai dengan upacara dan pembacaan mantra-mantra,” jelas Toni. Sehingga, pada masa Jawa Kuno,seorang mpu pembuat keris, mempunyai kedudukan tersendiri dalam masyarakat. Seperti dikisahkan dalam Pararaton, tuah keris Mpu Gandring seakan bergantung pada tingkat kesaktian pembuatnya, yang dapat memasukkan daya sakti itu ke dalam keris yang dibuatnya. “Para pembuat keris dianggap mempunyai kekuatan magis karena artefak yang dihasilkan dapat mematikan manusia,” jelas Timbul.
- Emas Kegemaran Bangsawan Jawa
Tradisi mengoleksi emas telah lama hidup dan berkembang di Pulau Jawa. Pada suatu masa logam mulia itu pernah beredar di pasaran dengan harga yang sangat murah. Meski begitu, nilai emas ini tidak pernah jatuh. Para penguasa dan bangsawan pun menggunakannya sebagai simbol kekuasaan. Banyak benda koleksi mereka terbuat dari emas. Menurut kesaksian seorang pengembara Tiongkok, termuat dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa karya WP Groeneveldt, peralatan makan raja-raja di Jawa saat melakukan perjamuan seluruhnya terbuat dari emas. Bahkan khusus untuk raja, peralatan emasnya bertabur batu permata sehingga terlihat jelas perbedaan statusnya. Para penguasa itu hidup dalam kemewahan. Kesaksian utusan Tiongkok tersebut diperkuat dengan penemuan ribuan benda berbahan emas pada 1990 di ladang dusun Ploso Kuning, desa Wonoboyo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Terdapat hampir 7.000 koin emas dan perak, beragam perhiasan, beragam bejana, dan perkakas lainnya. Menurut buku yang disusun tim penulis Museum Nasional Indonesia dalam Treasures of the National Museum Jakarta, timbunan emas, yang kemudian dikenal sebagai “Harta Karun Wonoboyo” itu diketahui menjadi penemuan terbesar objek emas di Indonesia. “Penemuan ini ditemukan belum terlalu lama. Masing-masing orang yang menemukannya mempunyai hak atas bagian dari benda-benda yang ditemukan, dan benda-benda ini diserahkan satu per satu, jadi tidak jelas apakah semua telah diserahkan,” tulis tim penulis Museum Nasional Indonesia. Koleksi Para Bangsawan Berdasar data yang diperoleh, harta karun Wonoboyo ini diperkirakan berasal dari abad ke-10 atau abad sebelumnya. Hal itu terlihat dari tempat bentuk penyimpanan emas –wadah periuk-belanga dari Tiongkok– yang banyak digunakan untuk mengumpulkan benda-benda berharga pada abad ke-10. Menurut Martowikrido Wahyono dalam Old Javanese Gold (4th-15th century): An Archaeometrical Approach , emas di Wonoboyo berasal dari periode akhir abad ke-9 hingga pertengahan abad ke-10. Asumsinya didasarkan pada kesesuaian antara tulisan di beberapa mangkun dengan prasasti Lintakan yang berasal dari tahun 900-an. Selain itu keberadaan dua perangkat perhiasan yang ditata secara rumit dan dua perhiasan bercorak bunga teratai berlapis emas, serta ketiadaan pencitraan dewa-dewi atau peralatan upacara, semakin memperkuat dugaan bahwa harta karun Wonoboyo merupakan isi ruang harta seorang pangeran dari keluarga dekat raja masa kekuasaan Kerajaan Medang hingga Mataram Kuno di Jawa. Periodisasi harta karun Wonoboyo tersebut didukung juga oleh keterkaitan antara figur manusia pada dua mangkok yang menggambarkan sosok dalam kisah Ramayana dan cerita yang tidak teridentifikasi, dengan figur dari periode Jawa awal yang ditemukan di tempat lain. Kedua figur tersebut memiliki tatanan bentuk serupa. “Kemungkinan besar bahwa sepanjang masa Hindu-Budha raja-raja dan bangsawan tinggi mempunyai kekayaan dalam bentuk perangkat dibuat dari logam mulia, digunakan untuk upacara. Sayangnya sejauh ini tidak ada lagi harta karun kerajaan ditemukan,” ungkap Wahyono. Pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit juga memiliki sejumlah harta yang jumlahnya diperkirakan sama besar dengan harta karun Wonoboyo. Peneliti Stuart Robson dalam Desawarna (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca , menjelaskan jika Hayam Wuruk memiliki sejumlah emas yang sangat besar. Kereta kerajaan pada masa kekuasaannya berhiaskan emas dan permata. Bahkan dalam sebuah upacara agung, raja menggunakan tandu khusus yang dihiasi perhiasan emas. Tidak hanya raja, para pejabat istana juga memiliki begitu banyak benda yang terbuat dari emas. Seperangkat alat menyirih dan kipas emas, kata Robson, merupakan suatu hal yang wajar dimiliki para bangsawan tersebut. Mereka menggunakannya sebagai bukti kebesaran dan untuk membedakan keberadaan para bangsawan ini dengan rakyat lain. “Setelah berakhirnya masa Hindu-Budha, anggota kalangan istana masih tetap memanjakan diri mereka dengan emas yang sama berlimpahnya dengan sebelumnya,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional. Tidak Menghasilkan Emas Meski keberadaan emas berlimpah namunJawa bukanlah pulai penghasil logam mulia tersebut. Untuk menutupi kebutuhan emas yang begitu tinggi, para penguasa Jawa mendapatkannya dari pulau lain. Mereka melakukan transaksi jual-beli dengan para saudagar, serta kerajaan lain di luar Pulau Jawa. Di samping pemanfaatan simpanan emas, serta timbunan emas dari masa sebelumnya. Penjelajah Portugis Tome Pires sekitar tahun 1513 melihat secara langsung keberadaan emas-emas yang sangat banyak saat kunjungannya di Pulau Jawa. Dalam catatan perjalanannya Suma Oriental , Pires menyebut jika emas di Jawa tersedia dalam jumlah besar dengan kualitas yang baik dan harga yang murah. Pires pernah melihat seorang Raja Hindu di pedalaman Jawa yang hidup bergelimpangan emas. Logam mulia ini digunakan oleh para pengawalnya, diperkirakan sebanyak 2.000 orang, dalam bentuk senjata –keris, tombak, dan pedang. Lengan mereka juga dihiasi gelang emas dan perak. Bukti kekayaan sang raja juga diperlihatkan dengan kalung emas yang tergantung di leher anjing-anjing peliharaannya. Sementara itu kesaksian para pejabat VOC yang datang setelah Pires menyebut dikalangan masyarakat Jawa mulai muncul mata pencaharian baru, yakni pemburu emas. Pejabat VOC Rijklof van Goens dalam pengamatannya sering mendapati makam-makam dan reruntuhan masa Hindu-Budha hingga Islam yang digali oleh para pemburu emas ini. Kesakisan Goens itu tercatat dalam buku De vijf gezenstchappen van Rijklof van Goens naar het Hof van Mataram karya sejarawan HJ De Graaf. Pada abad ke-18, pejabat VOC lainnya, Elzo Sterrenberg juga mendapati beberapa titik penggalian di sekitar kompleks Candi Prambanan. Para pencari emas ini percaya bahwa sekitar candi besar itu terdapat lubang-lubang penyimpanan emas. Namun Sterrenberg tidak menjelaskan apakah para pemburu itu berhasil menemukan emas yang dimaksud. Hingga masa pemerintahan Thomas Stanford Raffles (1811-1816) penggalian masih sering terjadi di datarang tinggi Dieng. Ia memperoleh informasi bahwa penggalian itu dilakukan untuk mencari koin emas, keris, serta arca. Kegiatan pencarian emas menjadi salah satu kegemaran rakyat yang tidak pernah sepi peminat. Pada 1941, Museum Batavia memperoleh ratusan benda dari emas yang diperoleh dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat itu angka tersebut terbilang sangat besar. “Dan di Jawa penemuan peninggalan kuno dari emas masih terjadi sampai sekarang, meskipun sering jatuh ke tangannya pedagang atau kolektor dan tidak masuk museum,” ungkap Tim Penulis Museum Nasional.






















