top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Memercayakan Kelahiran pada Bidan

    DJASMINAH panik. Perempuan yang baru jadi bidan itu mendapati masalah yang belum pernah ditemuinya kala diminta membantu persalinan perempuan Tionghoa di Kediri. Ibu yang hendak ditolong persaliannya sudah kehilangan banyak darah akibat jalur kelahiran si bayi tertutup oleh ari-ari ( placenta previa ). Djasminah lantas mengabari mentornya, dokter HB van Buuren, untuk segera datang memberi pendampingan kendati jarak rumah van Buuren ke tempat pasien sekira 20 km. Sembari menunggu kedatangan gurunya, Djasminah berusaha mengatasi pendarahan si ibu. Begitu tiba, Van Buuren bersama Djasminah langsung membantu pesalinan. Keadaan genting berhasil diatasi. Menurut Van Buuren, itu berkat kecekatan Djasminah dalam mengatasi pendarahan. Sejak sekolah kebidanan dibangun pada medio abad ke-19, bantuan bidan dalam persalinan mulai digunakan ibu-ibu pribumi. Para siswa kebidanan biasanya diberi tugas jaga di rumahsakit. Mereka bergantian shift dengan perawat bila tidak ada rekan sesama bidan. Sedangkan siswa yang telah lulus bekerja untuk pemerintah. Biasanya, Dinas Kesehatan Sipil menempatkan para bidan muda ini di wilayah asal mereka agar lebih paham medan. Selain dimentori oleh dokter Eropa yang berdinas di kota, para bidan muda ini tidak diperbolehkan menangani kasus kelahiran sulit seorang diri alias harus ada dokter Eropa yang mendampingi untuk menghindari kesalahan penanganan. Menurut catatan van Buuren, dari 1850-1909, ada sedikit perubahan dalam praktik persalinan di Hinda-Belanda meski belum signifikan. Dinas Kesehatan Sipil mengalami kesulitan membiasakan penduduk untuk melahirkan dengan bantuan bidan. Beberapa penduduk bahkan meragukan kemampuan bidan dan lebih mempercayai dukun beranak. Hal ini sempat dialami bidan Markati pada 1898. Makarti ditempatkan di Mojowarno, di bawah pengawasan dokter misionaris H Bervoets. Suatu hari, ia dipanggil asisten kepala distrik untuk membatu persalinan istrinya. Si raden ayu mengalami pendarahan pasca-melahirkan. Begitu tiba, Markati dan Bervoets mendapati kerumunan pelayan yang panik mengahadapi hal tersebut. Tanpa disangka, raden ayu enggan menerima bantuan Bervoets. Maka si dokter mempercayakan muridnya untuk menangani pasien itu, sementara Bervoets sendiri mengawasi dari luar tirai. Raden ayu tetap menolak bantuan Makarti sampai akhirnya diperingatkan kalau nyawanya terancam bila tidak segera dirawat. Markati juga meyakinkan, meski ia dididik dokter misionaris dari Eropa, ia tetap perempuan Jawa dan hampir sama seperti dukun beranak. Sikap raden ayu hanyalah satu contoh keraguan masyarakat pada kemampuan bidan. Sikap ini pula yang jadi penyebab sebagian siswa pelatihan bidan mundur dari profesi mereka. Pemerintah kolonial kemudian memberikan subsidi bagi para bidan agar pendapatan mereka tak minim. Jumlahnya bervariasi, antara 10 hingga 25 gulden sebulan, tergantung domisili. Liesbeth Heeselink dalam  The Early Years of Nursing in The Dutch East Indies menyebut beberapa bidan bernasib mujur. Jasanya laris manis. Para bidan yang aktif membuka praktik umumnya memperoleh 253 gulden sebulan meski kadang cuma dibayar terima kasih. Nyi Astijem di Purwakarta, misalnya, dalam sebulan membantu 17 prsalinan. Lima di antaranya pasien pribumi miskin sehingga ia maklum jika tidak diberi uang. Sekira lima lainnya perempuan Eropa kaya. Dari sinilah sebagian besar sumber pendapatan Nyi Astijem. Sankum, rekan Astijem yang berdinas di Amurang, Sulawesi, tercatat membantu kelahiran 127 bayi. Dari seluruh bantuan yang ia berikan, Sankum diupah 25 gulden per persalinan dan hanya satu yang ia gratiskan. Peter Bloomgard dalam The Development of Colonial Health Care in Java menyebut, upah yang lumayan ini menarik minat para orang tua. Mereka pikir, daripada memasukkan anak gadis mereka ke sekolah perawat lebih baik menjadi bidan. Toh, seperti penilaian Bervoets pada Markati, para bidan pribumi bekerja cukup baik. Mereka bisa mengaplikasikan ilmu yang didapat di situasi sulit.

  • Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia

    ALFRED C. Ulmer baru saja menempati posisi sebagai kepala divisi CIA untuk Timur Jauh. Sebelumnya, dia menjabat kepala stasiun CIA di Athena, Yunani. Ketika mengambil alih divisi ini, dia hampir tak tahu apa-apa tentang Indonesia. Namun, dia dipercaya penuh oleh Allen Dulles, Direktur CIA. Ulmer mendapatkan tugasnya ketika pada akhir tahun 1956, Frank Gardiner Wisner, Deputi Direktur Perencanaan CIA, mengatakan kepadanya: “sudah waktunya menaikkan suhu panas atas Sukarno dan memanggang kakinya di atas api”.

  • Parasite dan Seabad Perfilman Korea

    RUMAH vertikal nan mewah itu begitu memukau Kim Ki-woo (diperankan Choi Woo-shik). Sampai ia gugup ketika memencet tombol bel. Namun pikiran untuk mengubah kehidupan keluarganya jadi lebih baik mengungguli perasaan inferior itu. Ia datang memperkenalkan diri sebagai guru les bahasa Inggris baru. Demikian intisari pembuka film Parasite yang diramu sineas Bong Joon-ho. Film thriller berbalut komedi yang begitu dark berdurasi 132 menit ini sejatinya diputar pertamakali di Festival Film Cannes ke-72, 21 Mei 2019. Namun, ia baru merambah bioskop-bioskop Indonesia mulai 21 Juni-15 Agustus 2019. Ceritanya sendiri berpusar pada keluarga Ki-woo yang hidupnya memprihatinkan. Sebuah peluang langsung mereka sambut untuk memperbaiki ekonomi keluarga meski dengan cara nista, penipuan. Namun, twist film ini jangan sangka bakal mudah ditebak. Plotnya bakal bikin mindblowing meski beberapa alurnya sedikit rumit. Ki-woo seolah jadi “pembuka pintu” buat ayah, ibu dan kakak perempuannya yang menganggur semua, jadi punya pekerjaan di rumah keluarga Park yang kaya itu. Bahkan, mereka seolah bisa menguasai rumah dan menikmati hidup mewah meski hanya beberapa jam saja. Adegan kakak-beradik dari keluarga Kim yang miskin saat akan menipu keluarga Park yang kaya (Foto: IMDB) Di film ini, sineas Bong Joon-ho akan mengajak penonton menyimak betapa intimnya keluarga Kim yang miskin dan keluarga Park yang kaya. Kepintaran anak-anak keluarga Kim membuat mereka bisa mengandalkan hidup pada keluarga Park sebagai parasitis. Bong berhasil mengemasnya dengan komedi tanpa badut dan tragedi tanpa peran antagonis. Salah satu kunci alur film, kata Bong, ada pada set rumah mewah yang punya banyak tangga. “Rumah mewah itu berstruktur vertikal – lantai satu, lantai kedua, dan ruang bawah tanah. Tiap bagian rumah itu dihubungkan oleh tangga-tangga yang menjadi kunci metafora untuk pemisahan status sosial,” tutur Bong, dikutip Korea Herald , 22 Mei 2019. Adegan demi adegannya cukup menggigit. Sejumlah kritikus dan media-media film asing pun mengacungi jempol dalam beragam ulasan. Raihan Palme d’Or pada Festival Film Cannes 2019 sebagai gelar film festival bergengsi sudah jadi bukti. Torehan Bersejarah Jelang Momen Bersejarah Anugerah dari Cannes itu menandai sejarah baru untuk perfilman “Negeri Ginseng”. Parasite tercatat sebagai film Korea pertama yang menerima penghargaan itu, kado terbaik bagi perayaan 100 tahun perfilman Korea pada 27 Oktober 1919 nanti. “Tahun ini menandai 100 tahun peringatan perfilman Korea. Anugerah Palme d’Or jadi hadiah yang sangat bermakna untuk semua sineas dan rakyat Korea. Status budaya hallyu naik lagi satu level ke atas,” kata Presiden Moon Jae-in dalam kicauannya di akun Twitter pribadinya, @moonriver365 , 25 Mei 2019. Bagaimana permulaan film Korea seabad lampau sesungguhnya sangat mirip dengan bagaimana perfilman Indonesia lahir hingga disepakati 30 Maret –sebagai hari pertama produksi film Darah dan Doa: The Long March garapan sineas anak negeri pertama, Usmar Ismail– sebagai Hari Film Nasional. Hari perfilman Korea, yang 31 tahun lebih tua dari Hari Film Nasional, juga berawal dari pemutaran dua film yang diproduseri orang Korea, Uirijeok Gutu dan Scenes of Kyongsong City (dokumenter), yakni pada 27 Oktober 1919. Dua film itu diproduseri pemilik Bioskop Dansung-sa, Pak Sung-pil, dan disutradarai Kim Do-san. Dansung-sa juga jadi satu-satunya bioskop milik orang Korea saat negeri itu masih dijajah Jepang. Bioskop Dansung-sa di tahun 1962 (Foto: National Archives of Korea) Periset Studi Media dan Kultur Brian Yecies dan periset Studi Pop Kultur Shim Ae-gyung dalam Korea’s Occupied Cinemas, 1893-1948: The Untold History of the Film Industry memaparkan, film mulai masuk Korea sejak 1897. Secara terbatas, film-film dari China ditayangkan mulanya di sebuah barak pasukan Joseon di Jongogae. Film yang dianggap oleh Dinasti Joseon saat itu sebagai lukisan bergerak. Seiring terbukanya Korea untuk negeri-negeri asing sejak 1893, kultur Jepang, China, hingga Eropa turut masuk. “Tapi di saat yang sama orang Korea dilarang terjun langsung dalam produksi, distribusi, dan menayangkan film,” sebut Yecies dan Shim. Maka yang ada di Korea hanya berupa pameran-pameran penayangan film asing dan itupun dipegang penuh oleh pejabat-pejabat kolonial Jepang. Larangan itu baru melonggar pasca-Pergerakan Sam-il atau Pergerakan 1 Maret (1919) alias  perlawanan pertama Korea terhadap kolonialisme Jepang. Sejak itulah tampil Pak Sung-pil, pebisnis yang membuka Teater Dansung-sa. Ia pula yang lantas mendanai film pertama karya anak bangsanya. “Sebenarnya ( Uirijok Gutu ) lebih kepada kombinasi gambar bergerak, kino -drama, dan teater. Karena keterbatasan peralatan dan pengalaman, sang sutradara juga menyewa jasa seorang kameramen Jepang untuk mensyuting filmnya,” ungkap Kinnia Shuk Ting Yau, profesor Studi Pop Kultur Jepang, Korea, dan Hong Kong dari The Chinese University of Hong Kong, dalam tulisannya, “Imagining Others: A Study of the Asia Presented in Japanese Cinema”, dimuat dalam Development in Asia: Interdisciplinary, Post-Neoliberal and Transnasional Perspectives . Dunia perfilman Korea lalu diramaikan kino-drama dan dokumenter, selain dibanjiri film-film komersial asing. Pada 1926, film bisu pertama, Arirang , muncul. Judul film ini mengambil judul lagu rakyat Korea nan legendaris. Film Korea pertama yang bersuara baru hadir pada 1935 lewat Chunghyang-jeon . Kendati tata suaranya masih buruk, publik Korea yang saat itu masih dikekang Jepang, amat membanggakannya. Butuh satu dekade bagi Korea (Selatan) untuk menjadikan perfilmannya berkembang pesat pasca-lepas dari cengekeraman Jepang pada 1945. Mengutip Paquet Darcy dalam ulasannya di koreanfilm.org , 13 Maret 2013, produksi film Korea mulai menggelembung dari hanya 15 pada 1954 menjadi 111 pada lima tahun berselang. Butuh sekira satu dasawarsa lagi untuk Korea menetapkan hari film nasional mereka. “Para sineas sudah mulai memperingati Hari Film yang mereka klaim jatuh pada 27 Oktober sejak 1963. Namun kemudian pemerintah baru mengakui, menetapkan, dan meresmikannya pada 1966,” tandas Yecies dan Shim.

  • Ki Ageng Selo, Sang Penangkap Petir

    Film Gundala (2019) garapan sutradara Joko Anwar tengah tayang di bioskop. Penciptaan Gundala oleh komikus Harya Suraminata disebut-sebut terinspirasi oleh Ki Ageng Selo, tokoh legenda yang diceritakan bisa menangkap petir. Nama Gundala sendiri berasal dari kata "gundolo" yang artinya petir. Dalam tradisi lisan di beberapa daerah di Jawa Tengah, Ki Ageng Selo merupakan tokoh yang terkenal bisa menangkap petir. Diceritakan, suatu hari Ki Ageng Selo sedang mencangkul di sawah. Langit mendung lalu turun hujan dan tiba-tiba petir menyambarnya. Namun, dengan kesaktiannya, dia berhasil menangkap petir itu. Petir tersebut berwujud naga. Ki Ageng Selo mengikatnya ke sebuah pohon Gandrik. Ketika dibawa kepada Sultan Demak, naga tersebut berubah menjadi seorang kakek. Kakek itu kemudian dikerangkeng oleh Sultan dan menjadi tontonan di alun-alun. Kemudian datanglah seorang nenek mendekat, lalu menyiram air dari sebuah kendhi ke arah kakek tersebut. Tiba-tiba, terdengar suara petir menggelegar dan kakek nenek tersebut menghilang. Dari kisah tersebut berkembang mitos kalimat, “ Gandrik, aku iki putune Ki Ageng Selo ” yang artinya, “Gandrik, saya ini cucunya Ki Ageng Selo.” Kalimat itu, bagi sebagian penduduk daerah Gunung Merapi dan Gunung Merbabu misalnya, dipercaya dapat menghindarkan mereka dari sambaran petir ketika hujan datang. Sigit Prawoto, dosen Antropologi Sosial dan Etnologi Universitas Brawijaya, dalam bukunya Hegemoni Wacana Politik menyebut, “pernyataan klaim kekeluargaan ini mengandung keyakinan kultural bahwa seseorang yang berasal dari keturunan orang yang memiliki kualitas ( kasekten ) tertentu akan mewarisi kualitas tersebut.” Kisah Ki Ageng Selo menangkap petir diabadikan dalam ukiran pada Lawang Bledheg atau pintu petir di Masjid Agung Demak. Ukiran pada daun pintu itu memperlihatkan motif tumbuh-tumbuhan, suluran (lung), jambangan, mahkota mirip stupa, tumpal, camara, dan dua kepala naga yang menyemburkan api. Lawang bledheg sekaligus menjadi prasasti berwujud sengkalan memet ( chronogram ) dibaca “ naga mulat salira wani ” yang menunjukkan angka tahun 1388 S atau 1466 M. Tahun tersebut diyakini sebagai cikal bakal berdirinya Masjid Agung Demak. Lawang bledheg memiliki makna lain selain sebagai penggambaran kisah Ki Ageng Selo. Supatmo dalam "Ikonografi Ornamen Lawang Bledheg Masjid Agung Demak" yang terbit di Jurnal Imajinasi , September 2018, menyebut Lawang Bledheg berisi makna simbolis nilai-nilai pra-Islam. “Dalam dimensi ikonografis, keberadaan motif-motif tradisi seni hias pra-Islam (Jawa, Hindu, Buddha, dan China) pada ornamen lawang bledheg Masjid Agung Demak merupakan pernyataan simbolis tentang toleransi terhadap pluralitas budaya masyarakat yang berkembang pada masa awal budaya Islam di Jawa (Demak),” tulis Supatmo, dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang. Keturunan Raja Brawijaya Menurut Soetardidalam Pepali Ki Ageng Selo , Ki Ageng Selo merupakan keturunan Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Prabu Brawijaya, dari istrinya yang paling muda yang berasal dari Wandan atau Bandan atau Pulau Banda Neira, mempunyai anak bernama Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo merupakan cucu dari Bondan Kejawen. Ki Ageng Selo hidup di masa Kerajaan Demak. Tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Trenggana, awal abad ke-16. Dia lahir sekitar akhir abad 15 atau awal abad 16. Ki Ageng Selo pernah ditolak menjadi anggota Prajurit Tamtama Pasukan Penggempur Kerajaan Demak. “Sebabnya dalam ujian mengalahkan banteng, dia memalingkan kepalanya, ketika akibat pukulannya, darah yang menyembur dari kepala banteng, mengenai matanya. Karena memalingkan kepalanya itu, dia dipandang tidak tahan melihat darah, dan karena itu tidak memenuhi syarat,” tulis Soetardi. Penolakan itu membuat Ki Ageng Selo berkeinginan mendirikan kerajaan sendiri. “Bila cita-cita ini tidak dapat tercapai olehnya sendiri, maka dia mengharapkan keturunannyalah yang akan mencapainya,” sebut Soetardi. Ki Ageng Selo kemudian pergi ke sebuah desa di sebelah timur Tawangharjo, Kabupaten Grobogan. Dia hidup sebagai petani dan memperdalam ilmu agama, filsafat serta ilmu untuk memperluas pengaruh kepada rakyat. Dia di kemudian hari benar-benar menjadi orang berpengaruh. Desa tempatnya tinggal kemudian dinamakan Desa Selo. Di desa ini juga Ki Ageng Selo meninggal dan dimakamkan. Keinginannya mendirikan kerajaan sendiri terwujud oleh cicitnya, Sutawijaya. Sutawijaya atau Ngabehi Loring Pasar merupakan pendiri Kerajaan Mataram kedua atau Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada 1587-1601 M.

  • Pelarian Tan Kah Kee di Jawa

    KETIKA armada Jepang mengganas di Asia Tenggara dan mengancam kedudukan Inggris di Singapura, Tan Kah Kee tak mau tinggal diam. Dia memimpin sukarelawan Tionghoa untuk menghadapi Jepang. “Sebagai penghuni Kerajaan Inggris di koloni mahkota Inggris, kesempatan ini layak untuk semua upaya kami untuk memberikan dukungan, yang dapat kami berikan, untuk perang melawan agresi, dan dengan demikian untuk mengamankan tempat tinggal kami,” ujar Tan Kah Kee, seperti dikutip dari Soerabaijasch handelsblad tertanggal 4 September 1941. Tan Kah Kee (1874-1961) seorang pengusaha dan filantropis terkemuka di Singapura yang mendapat julukan “Henry Ford dari Malaya”. Kerajaan bisnisnya mencakup dari perkebunan hingga manufaktur. Sejak tanah kelahirannya, Tiongkok, diagresi Jepang pada 1920-an, ia bersikap anti-Jepang. Ribuan sukarelawan Tionghoa, yang kemudian disebut Dalforce, dilatih oleh John Dalley, perwira intelijen di kepolisian khusus Malaya. Pasukan ini ternyata dapat diandalkan meski akhirnya pertahanan Singapura jebol juga. Sehari sebelum Inggris menyerah pada Jepang pada 15 Februari 1942, Dalforce dibubarkan. Para mantan anggotanya menyelamatkan diri; menghindari dari kejaran Jepang yang melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir perlawanan. Mereka terpecah menjadi dua bagian. Mayoritas menuju Semenanjung Malaya untuk bergabung dengan Malayan Peoples Anti-Japanese Army. Sisanya menyeberang ke Sumatra, termasuk Tan Kah Kee. Tan Kah Kee menjadi orang yang paling dicari oleh Jepang. Kepalanya bahkan berharga satu juta gulden dalam sayembara yang dibikin Jepang. Pelariannya dilakukan dengan menempuh jalur laut. “Tan Kah Kee saat itu ditemani semacam pasukan rahasia Tionghoa hingga sampai ke Indonesia,” ujar Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, kepada Historia beberapa waktu lalu. Bisa jadi, pasukan rahasia yang selalu mengiringi Tan kah Kee ini adalah mantan kombatan Dalforce. Memilih Indonesia 3 Februari 1942, pukul dua dinihari. Belasan aktivis anti-Jepang mengendap memasuki dua kapal motor yang sandar di pantai. Semua dilakukan cepat dan senyap. Bahkan Tan Kah Kee pun tak sempat berpamitan dengan sanak keluarganya. Tujuan mereka hanya satu: Sumatra. Sore hari, keesokan harinya, rombongan tiba di Tembilahan, pesisir tenggara Sumatra. Rombongan memutuskan beristirahat lima hari di Tembilahan. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Palembang melalui Rengat dan mampir di beberapa tempat seperti Teluk Kuantan, Sungai Dareh, dan Marapi. Sampai di Marapi muncul kabar bahwa Jepang telah masuk Palembang. Rombongan Tan berpikir dua kali untuk melanjutkan perjalanan ke Palembang. Mereka balik kanan, kembali ke Sungai Dareh sembari memikirkan pelarian lebih lanjut. Akhirnya diputuskan menyeberang ke Jawa. Tiba di Jawa, lagi-lagi, Jepang sudah mendarat di sana. Mau tak mau, jalan pelarian menjadi semakin sulit. Rombongan pun dipecah menjadi kelompok-kelompok kecil. Tan hanya ditemani dua pengiring. Pertengahan Mei 1942, rombongan Tan naik kereta dari Cianjur ke Bandung, kemudian berganti kereta menuju Yogyakarta. Di sana mereka bertemu Lau Geok Swee, pemimpin Kuo Min Tang bagian Penang, yang sudah terlebih dahulu masuk Jawa. Mereka akan bersama-sama menuju Solo. Namun keributan terjadi di Stasiun Yogyakarta ketika beberapa tentara Jepang merangsek ke dalam stasiun untuk memeriksa para penumpang kereta api. Rombongan Tan berhasil lolos dengan memanfaatkan kerumunan penumpang. Tan Kah Kee (berkacamata) dan Lau Geok-swee. (Repro The Kuomintang Movements in Malaya ). Setiba Solo, rombongan Tan mendapat perlindungan dari dua mantan siswa sekolah Jimei dan Universitas Amoy –kedua sekolah ini didirikan atas prakarsa Tan Kah Kee di Tiongkok. Mereka ditampung dalam satu rumah berisi delapan anggota keluarga. Tan juga mengganti namanya menjadi Li Wen-hsueh. Lama-lama Tan tak betah tinggal di Solo dengan udara yang panas dan sakit giginya yang sering kambuh. Ia mengusulkan pindah ke daerah yang lebih dingin. Akhirnya ia memilih Malang, kota sejuk di lereng Gunung Arjuno. Tetap Anti Jepang Malang, 1943. Samar-samar, kabar mengenai Tan Kah Kee sampai ke telinga Jepang. Mereka menjadi gelap mata. Siapapun yang berkaitan dengan Tan juga diburu. Tjoeng See Gan, seorang pengusaha kain katun yang kemudian hidup dalam kamp interniran Jepang di Cimahi, adalah salah satu korban kekejaman Keinpetai. Ia, menurut Sam Sedyautama dalam Tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia , disiksa sebab enggan memberitahu persembunyian Tan di Jawa. Jepang kali ini seperti mengejar hantu. Di Malang, Tan tinggal bersama keluarga Lee Eng-khoon dalam sebuah rumah kontrakan. Beberapa kali ia berpindah rumah di sekitar Malang dan Batu. Salah satu yang mengusahakan persembunyiannya adalah Lie Joeng Koen, sukarelawan Tionghoa Siang Hwee yang tugasnya menolong interniran Jepang. Lie Joeng Koen, pascakemerdekaan, berganti nama menjadi Samidadi Bodhidiya dan sempat menjalankan usaha ekspor-impor. Hidup dalam pelarian di usia 69 tahun membuat Tan frustasi. Ia pernah berharap ditangkap Jepang. Namun hal itu lama-lama hilang. Tan justru antusias membantu perjuangan bawah tanah yang dilakukan pemuda-pemuda Malang. Saat itu, posisi Jepang di medan perang Pasifik mulai payah. Mereka pun membentuk organisasi pemuda yaitu Jawa Seinendan (Barisan Pemuda di Jawa) dan Keibodan (Barisan Pembantu Polisi). Setelah berjalan beberapa waktu, banyak yang antusias masuk Keibodan. Jepang khawatir Keibodan menjadi kekuatan seperti Pembela Tanah Air (Peta) yang berontak dan berpikir perlu dibentuk imbangan kekuatan. Maka, menurut Benny G. Setiono dalam bukunya Tionghoa Dalam Pusaran Politik , mereka membentuk Keibotai atau pasukan pembantu polisi yang anggotanya khusus pemuda-pemuda Tionghoa. Kehadiran Keibotai mendapat perhatian pemimpin gerakan bawah tanah anti-Jepang. Alih-alih menjadi imbangan, mereka berpendapat Keibotai bisa menjadi subordinat Keibodan. Untuk memecahkan persoalan ini, mereka butuh saran dari sesepuh yang paham seluk-beluk perlawanan terhadap Jepang. Mereka lalu menemui Tan di Batu. Rumah persembunyian Tan Kah Kee di Batu, Malang. (Repro buku Tan Kah Kee). Siauw Giok Tjhan, saat itu berusia 29 tahun, punya penilaian tersendiri mengenai Tan. Dalam pandangannya, yang ditulis dalam Lima Jaman , Tan memiliki pandangan yang luas. Tan, “ membenarkan pendirian: jangan sampai Keibotai dapat digunakan Jepang sebagai ‘perisai’ menghadapi kemarahan Rakyat Indonesia.” “ Di samping itu memang  Keibotai perlu digunakan sebagai penggugah kesadaran pemuda peranakan Tionghoa, bahwa mereka adalah putera Indonesia, yang perlu ikut serta dengan putera-putera Indonesia lainnya untuk memperjuangkan  perbaikan nasib  bagi seluruh Rakyat Indonesia dan mencapai kemerdekaan nasional,” ujar Siauw Giok Tjhan. Siauw mantan wartawan Mata h ari , kemudian menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan ketua Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) tahun 1965. Di Malang, Tan menulis memoar dan pamflet mengenai kebersihan rumah di daerah Jawa Timur. Dalam memoarnya, ia juga melakukan analisis mengenai saat-saat kekalahan Jepang dalam perang. Ia menulis bahwa tahun 1944, kekuatan Sekutu akan kembali dengan menguatnya angkatan udara dan angkatan lautnya. Superioritas armada Sekutu di udara inilah, dalam analisis Tan, yang akan melakukan pukulan telak ke jantung Negeri Matahari Terbit.  Tak Lupa Indonesia Jepang akhirnya kalah perang dan Indonesia merdeka. Bagi Tan Kah Kee, ini merupakan kabar baik. Ia tak perlu lagi bersembunyi. 1 Oktober, Tan memutuskan kembali ke Singapura. Cerita bagaimana Tan Kah Kee kembali ke Singapura ada dua versi. Siauw Giok Tjhan, yang saat itu menjadi anggota Komite Nasional Daerah untuk Malang, menyaksikan enam pesawat Angkatan Udara Inggris berjenis spitfire mendarat di lapangan udara Malang. Keenamnya mengawal kepulangan Tan Kah Kee ke Singapura, sebagai bentuk balas jasa pemerintah Inggris atas usaha Tan turut berjuang melawan Jepang di Singapura. Kisah kedua diungkapkan Ching Fatt Yong dalam bukunya Tan Kah-kee: The Making of an Overseas Chinese Legend . Menurutnya, Tan dan pengawal Tionghoanya terlebih dahulu naik mobil ke Surabaya dan melanjutkan naik kereta api menuju Jakarta. Rupanya rencana ini didengar Sukarno, yang memerintahkan pemberian pengawal tambahan untuk memastikan keamanan diri Tan selama perjalanan menuju Jakarta. 2 Oktober 1945 rombongan tiba di Jakarta, dan baru 6 Oktober mereka naik pesawat menuju Singapura. Suasana stasiun kereta api Surabaya setelah kemerdekaan. ( geheugenvannederland.nl ). Ikatan Tan dengan Indonesia terus berlanjut. Saat rombongan RI diundang Nehru ke India dalam rangka Asian Relations Conference 23 Maret hingga 2 April 1947, mereka transit di Singapura. Delegasi yang dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Agus Salim kekurangan uang saku. Siauw Giok Tjhan, wakil dari BP KNIP, kemudian mengontak Tan Kah Kee. Tan pun mengulurkan bantuan dana. Pada awal 1947, armada Belanda melakukan blokade perdagangan di perairan antara Sumatra dan Singapura. Akibatnya, perdagangan lumpuh. Tan bereaksi dengan menggalang rapat terbuka mengecam perilaku Belanda. “Tan Kah Kee, menurut Antara , memohon kepada orang Tionghoa di Amoy, Swatow, dan Shanghai untuk berhenti memberikan layanan kepada dan menggunakan kapal Van Nederlandsche,” tulis harian Het dagblad , 18 April 1947. Boikot itu membuat Letnan Gubernur Jenderal H.J van Mook mengirim delegasi ke Singapura untuk bertemu Tan dan menyampaikan pesan: tak perlu mencampuri masalah Indonesia. Tan marah. Ia meramalkan, cepat atau lambat, Belanda akan terusir dari Indonesia.*

  • Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

    USS Thomaston dikawal kapal selam USS Bluegill berangkat dari pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Teluk Subic, Filipina. Tiba di Sumatra pada 11 Februari 1958. Kapal itu membawa persenjataan: ratusan pucuk pistol, ribuan senapan submesin, dan jutaan peluru, untuk pemberontak PRRI/Permesta. Operasi mendukung PRRI/Permesta ini bersandi Operasi Haik.

  • Menelisik Sejarah Musik Ilustrasi Film di Indonesia

    GUNDALA, film baru garapan Joko Anwar, tayang di bioskop sejak 28 Agustus 2019. Sebelum penayangan, Joko Anwar mengumumkan musik ilustrasi Gundala. Komponisnya tiga orang: Aghi Narottama, Bemby Gusti, dan Tony Merle. Ketiganya pernah meraih penghargaan tata musik terbaik pada Festival Film Indonesia 2017 melalui film Pengabdi Setan .

  • Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan

    REPUBLIK Indonesia bersiap memiliki ibukota baru: dari Jakarta pindah ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rencana perpindahan pusat pemerintahan ini telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Selain dari APBD, skema pendanaannya akan melibatkan pihak swasta. Di zaman kolonial, perpindahan ibukota juga lazim terjadi. Pada 1 Maret 1887, pemerintah kolonial memindahkan ibukota Karesidenan Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan. Perpindahan ini tidak terlepas dari pertumbuhan kawasan Medan yang pesat secara ekonomi. Sebelum menjadi kota, Medan hanyalah suatu kampung dalam Kerajaan Melayu Deli. Letaknya diapit oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Sejak 1869, kampung Medan dibangun oleh pengusaha Belanda untuk lahan penanaman tembakau. Pelopornya adalah Jacobus Nienhuys. “Jadi dapatlah kita lihat betapa penting letak kampung Medan selaku pelabuhan tongkang-tongkang dari laut yang membongkar muatan di sini untuk diteruskan dengan perahu-perahu lebih kecil mudik ke Deli Tua atau mudik ke Sungai Babura,” tulis sejarawan Deli terkumuka Tengku Luckman Sinar dalam Sejarah Medan Tempo Doeloe . Tembakau Deli yang laku keras di pasar dunia mengubah wajah kampung Medan. Permintaan tembakau Deli di pelelangan tembakau cukup tinggi. Orang-orang Eropa menyebutnya sebagai pembungkus cerutu terbaik. Para tuan kebun Belanda yang membuka kantor dagang di Medan ikut meraup untung. Di tangan mereka, kawasan yang semula tanah rawa ini disulap menjadi kota koloni pendulang uang. Medan kian ramai. Residen Sumatra Timur tertarik memindahkan kantornya ke sana. Sultan Deli pun tidak ingin ketinggalan. Perkembangan Kota Medan berdampak terhadap sepinya ibukota Kesultanan Deli, Labuhan Deli. “Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup. Deli adalah Medan, dan tanpa Medan tidaklah Deli itu berarti,” tulis Alexander Avan dalam Parijs van Soematra .  Menurut Avan selain karena potensi Labuhan yang menurun, Sultan memandang kedudukan residen Sumatra Timur di Medan sebagai kesempatan memperkuat kedudukan politiknya. Pada 1891, Sultan Makmun Perkasa Alam memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli ke Medan. Sultan Deli menempati singgasananya di Istana Maimun yang megah. Sisi belakangnya menghadap Sungai Deli dan sisi depan menghadap ke jalan raya. Perlahan, Medan menampilkan citra kota modern. Jaringan kereta api “Deli Spoor” untuk mendukung bisnis perkebunan dibangun berikut jaringan teleponnya. Alun-alun raya Esplanade – sekarang menjadi Lapangan Merdeka – menjadi pusat kota. Rumahsakit dan hotel-hotel bermunculan. Gedung-gedung bergaya Eropa semakin banyak ditemui. Sarana hiburan seperti pacuan kuda, klub sepakbola, ataupun perkumpulan olahraga semakin memperkuat kesan Medan sebagai kota urban. Aktivitas di kota ini sibuk dengan berbagai macam bisnis, urusan pemerintahan, dan kehidupan sosial yang plural. Pada 1 April 1909, Kota Medan memperoleh statusnya sebagai gementee (kota) baru. Pengukuhan itu diresmikan langsung oleh Gubernur Hindia Belanda J.B. van Heutz di Bogor. Orang-orang Belanda dengan jemawa menyandingkan Medan sebagai Parisnya Sumatra. “Orang Belanda Deli ini sangat bangga pada karakter modern dan internasional Sumatra Timur dan keelokan ibukotanya, Medan,” demikian catat sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution & The End of Traditional Rule in Northern Sumatra . Di Medan, kenyaman hidup orang Belanda hampir tidak dapat disamai kota lain di negeri Hindia. Gelimang kemewahan itu beririsan pula dengan keangkuhan. Sebagai akibatnya, posisi mereka menjadi sangat kuat dan cenderung lebih berkuasa ketimbang pemerintah kolonial. “Presiden Direktur Deli-Company bagi mereka lebih pantas dihormati ketimbang Gubernu Jenderal Hindia Belanda,” kata jurnalis Deli Courant Willem Brandt dalam De Aarde van Deli sebagaimana dikutip Reid. Demikianlah orang Belanda Deli penguasa Kota Medan memandang tinggi diri mereka. Sebaliknya, kalangan bumiputra memandang diri mereka penuh ironi. Mereka kebanyakan bekerja sebagai orang-orang upahan yang terikat:alias kuli kontrak. Derita yang dialami para kuli kontrak tercatat sepanjang sejarah.   Antara 1919—21, Sutan Ibrahim bekerja sebagai guru anak-anak kuli kontrak di Senembah Maskapai, Tanjung Morawa, tidak jauh dari Medan. Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka dalam memoarnya dari Penjara ke Penjara mengatakan tanah Deli ibarat goundland , surga buat kaum kapitalis tetapi tanah keringat, air mata maut, neraka buat kaum proletar  “Di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah,” demikian ujar Tan Malaka.

  • Perjuangan Kutai Masuk Republik Indonesia

    PERSIAPAN pembangunan daerah Kutai dan Panajam Paser Utara  (yang diproyeksikan sebagai ibu kota baru) terus digalakan. Sebisa mungkin pemerintah Indonesia ingin membuat suasana nyaman di kedua daerah yang masuk ke dalam administrasi Kalimantan Timur tersebut sebelum benar-benar difungsikan menjadi pusat pemerintahan baru Republik Indonesia. “Sebagai bangsa besar yang sudah 74 tahun merdeka, Indonesia belum pernah menentukan dan merancang sendiri ibu kotanya,” ucap Presiden Joko Widodo dalam siaran pers di Istana Negara (26/8). Banyak masyarakat yang bertanya mengenai pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru ibu kota. Presiden pun berkelik bahwa ia dan jajarannya telah melakukan segudang pertimbangan untuk menentukannya. Namun sebelum menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kutai pernah mendapat beberapa kali intervensi dari Belanda. Akibatnya pemerintah Kutai memilih untuk tidak ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Pengaruh Kuat Kolonial Setelah Jepang menyerah, Belanda meminta kembali hak atas Kepulauan Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan, salah satunya menyebarkan pengaruh kepada para raja dan pemimpin daerah yang kekuasaannya akan hilang setelah Republik Indonesia berdiri. Anwar Soetoen, dkk dalam buku Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai menyebut kalau Kutai dan kerajaan lain di Kalimantan Tiimur khawatir posisi kekuasaan mereka terancam. Akhirnya tindakan mereka pun berlainan dengan sikap politik rakyatnya yang sebagian besar ingin ambil bagian dalam perjuangan Republik Indonesia.  “Di dalam zaman revolusi ini, sikap Kerajaan Kutai sendiri khusunya dan swapraja-swapraja di Kalimantan Timur umumnya oleh rakyat dipandang sebagai suatu sikap yang sekurang-kurangnya tidak membantu perjuangan Republik Indonesia,” tulis Anwar. Dalam buku Propinsi Kalimantan yang dikeluarkan Kementerian Penerangan (1953) disebutkan bahwa Kutai lebih memilih bergabung dalam rencana pemerintah Belanda dibandingkan ikut ambil bagian dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia. Alih-alih ikut mempertahankan kemerdekaan bangsanya, seperti yang digejolakan para pejuang di penjuru negeri, pada Juli 1947 di Kalimantan Timur telah dilakukan kontrak politik antara Dewan Kutai dengan pemerintah Belanda. “Selama kontrak itu masih tetap dijalankan sebagai dasar dari Dewan Kutai, maka walau bagaimana juga untuk meletakkan dasar dan warna demokrasi ke dalam dewan itu akan sia-sia saja,” kata Anwar. Bersama-sama dengan Bulongan, Berau, Sambaliung, dan Neo Swapraja Pasir, para pejabat Kutai membentuk Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada Agustus 1947. Sebagai bukti bahwa Kesultanan Kalimantan Timur berdiri sendiri dan berada di luar Republik Indonesia, dibentuklah semacam “Dewan Perwakilan Rakyat” yang bertugas mengatur pemerintahan. Namun walau begitu, tugas dewan yang dianggap sebagai badan pemerintah tertinggi di Kalimantan Timur ini sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh kontrol yang kuat dari pemerintah Belanda. “Pembentukan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur ini di dalam pandangan rakyat adalah sebagai daerah boneka dengan maksud untuk melemahkan Republik Indonesia,” ucap Anwar. Kondisi itu menimbulkan rasa tidak suka dari rakyat . Alhasil para sultan di Kalimantan Timur yang menjadi anggota dewan dipandang buruk oleh rakyatnya. Keinginan rakyat menghapuskan kekuasaan feodal di Kutai semakin besar saat rencana pembentukan Negara Kalimantan dijalankan. Rencana itu direalisasikan oleh A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai A.M. Parikesit. Pembentukan Negara Kalimantan itu tak ayal membuat geram rakyat Kutai. Mereka menilai hal itu akan mempermudah jalan Belanda untuk memecah belah kemerdekaan Indonesia. Sementara bagi keluarga kerajaan, dengan adanya negara baru itu kedudukan mereka dalam kekuasaan akan semakin besar karena jaminan dari pemerintah Belanda. Tetapi sayang keinginan membentuk Negara Kalimantan itu mendapat banyak ganjalan. Selain kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni di dalam pemerintahan, tidak adanya dukungan dari rakyat pun semakin mempersulit pembentukannya. Saat sultan dan jajarannya tengah sibuk memikirkan cara mendirikan Negara Kalimantan, rakyat Kutai telah selesai mempersiapkan kekuatan untuk melawan. Dalam laporan yang ditulis Kementerian Penerangan diketahui bahwa rakyat Kutai ikut bergabung dalam Panitia Aksi Anti Swapraja, yang di dalamnya juga terdapat kekuatan perlawanan dari Samarinda, Berau, dan Balikpapan. Gelombang Protes Mula-mula rakyat melakukan aksi demontrasi di berbagai tempat. Dalam tuntutannya, mereka ingin segala bentuk pemerintahan yang dibuat oleh Belanda dihapuskan dan menjadikan sultan sebagai simbol kekuasaan saja tanpa adanya campur tangan di pemerintahan. Selain itu rakyat ingin Kalimantan Timur segera bergabung dengan Republik Indonesia. Setelah gelombang protes semakin besar, pemerintah swapraja di Kutai dan Kalimantan Timur umumnya bersedia berunding dengan perwakilan rakyat mencari jalan keluar dari permasalahan politik di Kalimantan. Pada 27 September 1950 perundingan berhasil terlaksana di Kraton Sultan Kutai di Trenggarong. Sebagai perwakilan pemerintah Kalimantan Timur, A.R. Afloes ditunjuk memimpin perundingan tersebut. Hampir tanpa konflik, perundingan di Kutai itu berjalan dengan lancar. Sebagai hasilnya, dikeluarkanlah sebuah maklumat dari Sultan Kutai yang isinya: “Kami Aji Mohamad Parikesit sebagai Sultan dan Kepala Swapraja Kutai dengan persetujuan daripada Menteri Kerajaan Kutai, dengan ini memaklumkan bahwa berdasarkan perkembangan politik di Indonesia umumnya dan daerah Kutai khususnya, kami telah memutuskan bersedia menghapuskan Swapraja Kutai…” Mengetahui hal tersebut, masyarakat Kalimantan Timur merasa lega. Harapan rakyat untuk bergabung dengan Republik Indonesia akan segera tercapai. Namun alangkah kecewanya mereka saat pemerintah swapraja tiba-tiba mengatakan bahwa maklumat Sultan Kutai hanya bersifat sementara dan tidak berarti banyak bagi perubahan pemerintahan di Kalimantan Timur. Sebagai reaksi, beberapa perwakilan rakyat mengadakan Kongres Rakyat Kalimantan Timur pada 27-29 Oktober 1950. Inisiasi kongres datang dari Panitia Aksi Anti Swapraja Balikpapan (mewakili 5 organisasi), PNI Daerah Kalimantan Timur (mewakili 21 cabang), Kowani (mewakili 8 oraganisasi), dan Perwari (mewakili 16 cabang). Dalam Masyarakat Baru No. 107 24 Oktober 1950, dijabarkan hasil Kongres Rakyat Kalimantan Timur tersebut. Pertama, pemerintah swapraja di seluruh Kalimantan Timur harus dihapus. Kedua, rakyat menolak dan menentang dengan keras siapa saja yang mempertahankan swapraja di Kalimantan Timur. Ketiga, rakyat ingin pemerintah pusat memperhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat. Kongres itu pun akhirnya mendapat sorotan dari pemerintah pusat yang diwakili pejabat Provinsi Kalimantan. Dalam rangka penyelesaian konflik di Kutai dan sekitarnya, perwakilan swapraja dan kongres rakyat diundang bertemu oleh pemerintah Provinsi Kalimantan pada Desember 1950. Dalam pertemuan tersebut perwakilan swapraja bersedia menghapus kedudukannya di Kalimantan Timur dengan syarat dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Setelah itu Kutai dan Kalimantan Timur resmi menjadi bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  • Gelar Juara Dunia yang Tak Disangka

    ENAKNYA jadi atlet zaman sekarang, prestasi berbanding lurus dengan bonus. Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan yang belum lama ini menjuarai Kejuaraan Dunia di Basel Swiss, 19-25 Agustus 2019, langsung diguyur bonus oleh Menpora Imam Nahrowi masing-masing Rp240 juta. Nasib keduanya jelas berbeda dari pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra kendati  beban yang harus dipikul untuk menjadi juara sama beratnya. Tiada guyuran bonus untuk Christian/Ade setelah juara dunia 39 tahun silam. “Hadiahnya ya medali emas saja sama ucapan terimakasih. Kayak langit dan bumi seperti sekarang. Makanya saya sering guyon , saya lahirnya ‘kecepetan’,” kata Christian kepada Historia. Hati Galau, Pikiran Kacau Bagi Christian, satu memori pahit-manis yang tak pernah lekang dari ingatannya adalah kala ia menyabet gelar Kejuaraan Dunia 1980. Bukan hanya tak pernah menyangka bisa juara, kala itu ia juga masih memegang rekor satu-satunya pebulutangkis Indonesia yang juara di dua nomor dalam satu Kejuaraan Dunia. Pada perhelatan Kejuaraan Dunia di Jakarta, 27 Mei-1 Juni 1980, Christian menyabet dua gelar sekaligus, yakni ganda putra bersama Ade Chandra dan ganda campuran bersama Imelda Wiguna. Rekor ini belum mampu disamai, apalagi dilewati pebulutangkis Indonesia lain hingga detik ini. Pasangan ganda putra Christian Hadinata/Ade Chandra yang turut memenangi Kejuaraan Dunia 1980 (Foto: BWF) Padahal, jarang orang tahu bahwa Christian meraih keduanya tanpa fokus. Saat itu hatinya sangat galau. Kendati tubuhnya berada di lapangan, pikirannya hanya tertuju pada kondisi sang istri, Yoke Anwar. Orang tercintanya itu terkena musibah dua pekan sebelum Kejuaraan Dunia. “Istri saya saat itu hamil sudah bulan kesembilan, sebentar lagi melahirkan anak pertama saya. Istri saya kecelakaan. Dia terpeleset, lalu kaki sebelah kirinya retak. Wah, pikiran saya kacau. Enggak konsen memikirkan istri dan bayi, serta kejuaraan,” Christian berkisah. Christian yang kala itu tinggal di satu kamar khusus atlet pelatnas di Senayan, pun langsung menghadap Ketua PBSI Sudirman. “Pak, saya minta izin. Lebih baik saya mundur saja,” tutur Christian mengenang percakapannya dengan Sudirman. “Lho, kenapa?” tanya sang ketua, heran. “Istri saya kecelakaan. Takut kenapa-kenapa.” “Oh, enggak bisa. Kamu enggak boleh mundur. Kamu harus tetap ikut. Caranya gampang, Chris. Saya siapkan mobil dan driver buat istrimu. Setiap ada keadaan darurat bisa langsung dibawa ke rumahsakit,” kata Sudirman memberi solusi. Sudirman menolak permintaan Christian lantaran saat itu merupakan kali pertama Indonesia jadi tuan rumah Kejuaraan Dunia. Harga diri dia selaku ketum PBSI dan harga diri bangsa dipertaruhkan. Christian Hadinata saat berkisah momen Kejuaraan Dunia 1980 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hati Christian sedikit lega mendengar pernyataan Sudirman. “Karena itu keputusan ketum, saya menyerah,” sambung Christian. Kendati sedikit terpaksa, ia tetap rutin mempersiapkan diri. “Teman atlet yang juga berjasa waktu itu Maria Fransiska. Kan kamar kami di lantai dua, harus naik tangga. Tangganya berkelok lagi. Jadi kalau mau naik-turun bawa istri, saya harus panggil dia dulu. Bantu memapah dari dan menuju mobil yang disiapkan Pak Sudirman,” lanjutnya. Saat turnamen bergulir, langkah Christian tak terbendung baik saat berpasangan dengan Ade maupun Imelda. Di final ganda putra, Christian/Ade mengempaskan rekan senegara, Hariamanto Kartono/Rudy Heryanto, 5-15, 15-5, dan 15-7. Di ganda campuran, Christian/Imelda menekuk wakil Inggris Mike Tredgett/Nora Perry 15-12, 15-4. “Puji syukur, saya main enggak konsen, enggak fokus tapi kok ya masih bisa menang. Malah dapat dua gelar. Seperti mimpi saja. Kok tahu-tahu, ini benar juara atau enggak? Karena pikiran saya masih ke istri. Seminggu setelah juara, anak saya yang pertama lahir. Syukur, (kondisi fisiknya, red. ) lengkap, tidak kurang apa-apa,” kata Christian menutup pembicaraan.

bottom of page