Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Melacak Jejak Kerajaan Panai di Tanah Batak
Sekira menjelang akhir milenium pertama masehi, muncul Kerajaan Panaidi Sumatra bagian utara. Sepertinya ia kerajaan penting karena Kerajaan Cola di India dan beberapa kerajaan lain di Nusantara menyebut namanya dalam dokumen resmi mereka. Panai pertama kali diketahui lewat Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dari tahun 1030. Prasasti ini dibuat Raja Rajendra Cola I dari Colamandala di India Selatan. Di dalamnya disebut bahwa Panai yang dialiri sungai merupakan salah satu yang digempur sang rajaselain Sriwijaya. Penyerbuan Cola telah menaklukkan juga Malaiyur, Ilangasogam, Madamalingam, Ilamuri-Desam, dan Kadaram. Tiga abad kemudian nama Panai kembali muncul dalam Nagarakertagama , kakawin dari Kerajaan Majapahit karya Mpu Prapanca . Sebutannya sedikit berubah menjadi Pane . Ia disebut sebagai bagian dari negeri di Sumatra yang berada di bawah pengaruh Majapahit. Menurut Keram Kevonian, pengajar di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales), Paris, Panai menjadi salah satu dari dua kerajaan yang tak dicatat Marco Polo. Padahal, penjelajah asal Venesia itu sempat menyusuri pesisir Sumatra pada 1292. "Mungkin karena Panai letaknya di daerah yang tak dikunjunginya," tulis Keram dalam "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia", termuat di Lobu Tua Sejarah Awal Barus . Sumber-sumber Tionghoa pun tak memuat informasi keberadaan kerajaan Panai. Bahkan tak ada dalam catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho ke Nusantara pada abad ke-15. “Bukan berarti Kerajaan Panai ketika itu telah hilang,” jelas Keram. Pasalnya, pada era Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dari Kesultanan Aceh, Kerajaan Panai kembali disebut-sebut. Dalam suratnya kepada Jacques I, sultan mencatat Pani sebagai jajahan Aceh di Pantai Timur Sumatra. Nampaknya, menurut arkeolog Rumbi Mulia, Panai telah berhasil melepaskan kewajibannya, mungkin berupa upeti kepada Kerajaan Cola setelah digempur pada awal abad ke-11. Pada masa berikutnya kerajaan itu justru menampakan perkembangan nya secara mandiri. Panai melakukan pembangunan besar -besaran di negaranya . Kini diyakini kompleks percandian di Padang Lawas adalah salah satu peninggalannya. Sayangnya,di antara peninggalan itu belum ada yang menyebutkan nama raja atau yang mendukung kerajaan itu sebagai sebuah struktur politik mandiri. Baru kemudian ditemukan prasasti yang menyebut nama Paṇai. Prasasti Panai tak memiliki angka tahun yang absolut. Ia menggunakan aksara Kawi akhir dan berbahasa Melayu Kuno. Pada dua baris terakhirnya, dikisahkan seorang tokoh mendirikan suatu daerah ( bhumi ). Daerah yang dimaksud kemungkinan adalah Pannai. Ada kabar dari prasasti itu, seorang pejabat desa bergelar kabayan diberi tugas yang berkaitan dengan bangunan suci agama Buddha. Bangunan suci itu diduga sebagai pendarmaan tokoh hinan dan haji . Sementara tokoh kabayan, sebagai seorang pesuruh, disebutkan membawa sesuatuyang tak jelas dalam prasasti, kepada semua orang yang tinggal di Paṇai. "Adanya gelar haji menunjukkan kalau Pannai adalah kerajaan kecil," tulis Rumbi dalam The Ancient Kingdom of Panai and the Ruins of Padang Lawas (North Sumatera). Meski namanya masih disebut hingga masa berikutnya, kemerosotan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke-13 serta hilangnya kekuasaan atas kawasan selat, pasti ikut melemahkan Padang Lawas-Panai. Pasalnya, menurut Rumbi, dengan disebutkannya Kerajaan Pannai sebagai salah satu yang ditaklukan Raja Rajendra Cola Idalam penyerbuannya ke Sriwijaya memunculkan dugaan kerajaan ini adalah salah satu anggota mandala Sriwijaya. Penghasil Kamper Menurut Lisda Meyanti, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Panai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas. "Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi," tulis Lisda dalam "Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai" termuat di Jurnal AMERTA . Dalam catatan perjalanan berbahasa Armenia, Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia, Pane disebut sebagai nama pelabuhan di mana banyak kamper bermutu. Keram menjelaskan kamper bersumber dari dua pelabuhan, yaitu Barus yang ditulis Pant’chour di pantai barat, dan P’anes atau P’anis yaitu Pa n ai di pantai timur. Kedua pelabuhan itu saling membelakangi. Letaknya satugaris, memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan. Menurut Keram untuk mengekspor kamper dalam jumlah besar pada abad ke-12, Panai mesti berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun, di Padang Lawas. Sungai ini mengalir ke utara hingga ke pantai timur Sumatra dan bermuara di Selat Malaka. Namun, sewaktu Melaka dan Aceh berkembang pada abad ke-16, navigator Arab Sulayman al-Mahrimengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh Pulau Sumatra, yaitu Fansur. Ia tidak mencatat Panai atau apapun yang bernama mirip. Sementara Tome Pires , pejelajah asal Portugis, malah meletakkan Kerajaan Arcat sebagai bawahan Aru di daerah yang diduga bernama Pa n ai pada zaman sebelumnya. Dalam Suma Oriental, dia menulis Aru sebagai penyedia sejen i s kamper yang kualitasnya lumayan. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur seperti zaman dahulu. Kerajaan di tanah Batak itu pun seakan sepenuhnya terlupakan. Catatan mengenainya belum lagi ditemukan. Namun nama Panai masih tersisa dalam berbagai bentuk. Ia menjadi sungai, distrik, dewa kuno orang Batak, dan nama marga di Batak. Sungai Batang Pane ada di utara sebagai anak Sungai Barumun, dan bermuara di Selat Malaka. Sepanjang sungai inilah berdiri kompleks percandian Padang Lawas. Lalu ada Kecamatan Pane di Simalungun, timur Danau Toba. Rumbi mencatat bahwa menurut legenda, raja di wilayah itu bersatu dengan roh suci yang disebut parpanean. Setiap akan membuat keputusan penting sang raja selalu berkonsultasi dengan si roh. Dia pun menjadi raja yang sukses dan menamai daerahnya “Pane” untuk menghormati sekutu rohnya. Mitologi Batak juga mengenal Pane na Bolon sebagaidewa yang menguasai dunia tengah, tempat manusia tinggal.Adapun marga Pane termasuk kelompok Suku Batak Angkola di Tapanuli Selatan. Namun, Keram masih ragu: "tidak tentu apakah semua tempat ini berkaitan dengan sebuah kerajaan yang dulu bernama Panai ."
- Budak Hindia di Negeri Belanda
ORANG Belanda yang tinggal dan bekerja di Hindia memiliki cara tersendiri untuk memamerkan kekayaannya. Selain dari besarnya tanah dan megahnya rumah, jumlah budak juga menjadi parameter kekuatan ekonomi mereka. Semakin banyak budak, maka status yang dimilikinya pun dianggap tinggi. Hal itulah yang membuat perdagangan budak di kota-kota besar masih sering dijumpai hingga abad ke-18. Sebagian dari orang-orang Belanda itu ternyata sudah begitu tergantung dengan keberadaan para budak. Ketika mereka kembali ke negeri Belanda kebiasaan tersebut tidak begitu saja bisa dihilangkan. Sehingga banyak dari mereka yang membawa serta budak peliharaannya. Ada yang hanya membawa satu, namun tidak sedikit yang membawa lebih. Namun kehadiran para budak dari Hindia itu tidak diterima oleh pemerintah dan masyarakat Belanda. Dalam tulisannya, “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Para Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 , C. van Dijk menyebut banyak budak yang ditinggalkan begitu saja oleh majikannya setelah tinggal sebentar di Belanda. “Dalam banyak hal, Belanda telah terpengaruh oleh kebiasaan-kebiasaan yang ada, yang dulunya telah dilakukan oleh kaum bangsawan dan orang Portugis. Tidak hanya dalam penggunaan budak dalam kehidupan kota, tetapi juga dalam hal perdagangan budak,” tulis Anwar Thosibo dalam Historiografi Perbudakan: Sejarah Perbudakan di Sulawesi Selatan abad XIX . Kelakuan para pedagang itulah yang membuat pemerintah Belanda jengkel. Mereka pun akhirnya enggan memberi izin para pedagang dari Hindia untuk membawa dan memelihara budak di negerinya. Peraturan Pada Budak Pada September 1636, pejabat VOC mengeluarkan peraturan yang melarang para pedagang membawa budak dari Hindia. Jika melanggar, budak-budak itu akan disita untuk kemudian dipulangkan ke tanah airnya. “Jumlah budak itu agaknya tidak banyak, tapi cukup menimbulkan kesulitan bagi VOC di Negeri Belanda, terutama ketika VOC terancam harus menanggung perawatan budak-budak yang ditinggalkan oleh pemiliknya,” terang van Dijk. Peraturan itu ternyata tidak mampu mengikat orang-orang Belanda untuk tidak membawa budak dari Hindia. Mereka bahkan melayangkan protes. Akhirnya VOC mengganti peraturannya menjadi pembatasan jumlah budak yang bisa dibawa. Para pelanggarnya pun tidak hanya dihukum penyitaan tetapi pemotongan gaji selama tiga bulan. Meski peraturan telah diubah dan hukumannya diperberat, pelanggaran terus saja terjadi. Agaknya para pedagang itu lebih melihat keuntungan dari penyelundupan budak-budak ini ketimbang beratnya hukuman yang akan mereka terima. “Orang yang mengetahui terjadinya pelanggaran, tetapi tidak melaporkannya juga diancam hukuman,” ucap van Dijk. Pemerintah pun terus berusaha menghentikan gelombang kedatangan para budak ini. Sejak 1644 sampai 1657 peraturan demi peraturan silih berganti diterapkan, dengan hukuman yang terus diperberat. Tahun 1657, hukuman yang diterima para penyelundup adalah denda uang sebanyak 1.000 gulden. Sementara jika yang melakukan pelanggaran itu pegawai VOC maka mereka tidak akan mendapatkan kompensasi uang perjalanan ke Hindia, yang saat itu bisa menghabiskan ribuan gulden. Disertasi berjudul The Personnel of the Dutch East India Company in Asia in the Eighteenth Century karya Frank Lequin, menyebut jika kegiatan membawa budak ke Negeri Belanda bukanlah sebuah hal baru, tetapi telah menjadi kebiasaan yang aneh. Lebih lanjut Lequin menerangkan, dari sekian banyak budak Hindia yang tinggal di Belanda, umumnya meminta untuk dikembalikan ke tanah airnya. “Setiap hari pejabat VOC menerima banyak kunjungan. Mereka sangat direpotkan dengan permintaan budak laki-laki dan perempuan yang minta dipulangkan”. Tetapi tidak banyak permintaan yang dikabulkan, namun bukan berarti ditolak. Pejabat VOC memperhitungkan kemungkinan terburuk jika para budak terus tinggal di Belanda, namun mereka juga enggan kalau harus mengeluarkan uang untuk para budak yang mereka pandang rendah itu. Akhirnya dibuatlah sebuah peraturan yang tidak membebankan pemerintah pada 1657. Jika orang Belanda di Hindia ingin membawa budak, mereka harus mengeluarkan sejumlah uang ketika masih berada di Batavia. Uang itu nantinya akan disimpan oleh pemerintah Belanda, dan digunakan saat para budak meminta pulang atau dipulangkan oleh majikannya. Pada 1700, VOC menetapkan jumlah budak yang boleh dibawa, yakni 2 orang. Sementara untuk uang perjalanan pulang masih dalam aturan sama, harus dibayar sebelum sampai di Negeri Belanda. Pada 1743, peraturannya sedikit diubah. Jumlah maksimal budak yang boleh dibawa disesuaikan dengan kedudukannya. Misal pejabat tinggi VOC boleh membawa maksimal 5 orang. Sedangkan pejabat rendah hanya boleh 2 orang saja. Kondisi Para Budak Tidak banyak yang mengetahui bagaimana para budak diperlakukan oleh majikannya. Namun dari begitu banyaknya budak yang meminta pulang, pejabat VOC menduga mereka tidak mendapat penghidupan yang layak dari tuannya. Walau begitu tidak semua budak mengalami pengalaman yang sama. Seperti Eva misalnya, budak perempuan yang dahulu dibeli oleh pejabat Belanda, Catharina Vonck. Sebelum sang majikan meninggal dunia, Eva diberi warisan berupa uang sebesar 600 gulden untuk biaya hidup dan pulang ke negaranya. Bahkan tidak hanya Eva, putranya pun mendapat 300 gulden dari Catharina. “Sesudah dibebaskan, kadang-kadang budak terabaikan. Tapi kadang-kadang pula bekas pemilik budak mengambil langkah-langkah agar budak yang sudah dibebaskan itu tetap terjamin secara material,” tulis van Dijk. Para budak yang sudah dibeli akan diberi nama baru oleh majikannya. Karena tidak ingin bersusah-susah, biasanya mereka dinamai sesuai dengan tempat kelahiran atau tempat mereka dibeli. Seperti “Eva van de Coromandel”, berarti seorang budak bernama Eva yang dibeli di Koromandel. Namun ada juga yang hanya terdiri dari satu kata, misal “Coridon”, “Claes”, dan “Aaltje”. “Dalam perdagangan tampaknya budak Hindia dianggap sebagai benda mati yang disamakan dengan barang seperti mebel dan rumah,” kata van Dijk.
- Teuku Hasan Yang Terpaksa Jadi Gubernur
BILAMANA musim pemilihan kepala daerah (Pilkada) bersemi, para politisi berbondong mencalonkan diri. Entah itu jadi gubernur atau bupati. Cara yang ditempuh guna menarik pemilih pun beragam. Mulai dari kampanye obral janji hingga menggelontorkan uang untuk meraup suara. Praktik demikian berbeda halnya pada masa awal kemerdekaan. Gubernur pertama Sumatera terpilih secara musyawarah. Bermula dari pembicaraan antara dr. Mohammad Amir dan Mr. Mohammad Hasan. Keduanya adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang sama-sama mewakili Sumatera. Amir berasal dari Minangkabau sedangkan Hasan berasal dari Aceh. Namun keduanya lebih dikenal sebagai orang terkemuka dari kota Medan. Amir dikenal sebagai dokter pribadi Sultan Langkat. Sementara Hasan merupakan pegawai pemerintahan di masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Pada 18 Agustus 1945, sidang PPKI menetapkan dasar negara serta memilih Sukarno-Hatta sebagai presiden dan wakilnya. Malam harinya, Amir dan Hasan berbincang di kamar Hasan di Hotel des Indes, Jakarta. Amir mengatakan bahwa dia duduk sebagai anggota panitia kecil yang akan memberikan pertimbangan kepada Presiden Sukarno tentang beberapa hal. Salah satu bahasan yang akan diajukan kepada Sukarno adalah siapa yang akan menjadi Gubernur Sumatera. Hasan menyambutnya dengan menyebut Amir sebagai calon yang pantas sebagai gubernur. Alasannya, Amir adalah seorang intelektual yang pernah membukukan pemikirannya dalam karangan bertajuk Bunga Rampai (1940). Amir menolak karena merasa dirinya hanya seorang psikiater dan tidak memahami apa-apa soal pemerintahan. “Lalu saya menyebut Saudara Mr. Abdul Abbas, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatera sebagai calon Gubernur Sumatera,” kata Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa . Amir tidak setuju dengan Abbas. Menurutnya Abbas yang seorang advokat itu kurang mengetahui soal pemerintahan. Hasan kembali mengusulkan agar dipilih dari kalangan demang (kepala distrik) Sumatera yang berpengalaman. Dia menyebutkan nama Mangaradja Soangkupon yang pernah menjadi anggota Volksraad dan juga beberapa nama demang lainnya. Amir masih belum setuju. “Demang baru itu berpendidikan menengah, belum berpendidikan tinggi, bukan sarjana,” kata Amir. Menurut Amir calon Gubernur Sumatera harusnya berpendidikan tinggi, sarjana, dan berpengalaman dalam pemerintahan. Amir lantas menjatuhkan pilihannya kepada Hasan. Pertimbangannya, Hasan pernah telah bekerja pada kantor “Gouvernor van Sumatera (Kegubernuran Sumatera)” pada masa Hindia Belanda. Pengalaman itu seyogianya dapat membantu dalam menjalankan pemerintahan di Sumatera. Akhirnya, Amir menanyakan kesediaan Hasan menjalankan tugas sebagai pejabat sipil tertinggi di Sumatera. “Jika sekiranya saya diangkat menjadi Gubernur, terpaksa menerima jabatan ini untuk melaksanakan urusan kemerdekaan tanah air, meskipun belum pernah memegang jabatan itu,” ujar Hasan menjawab panggilan tugas. Selesai pembicaraan, Amir kembali ke kamarnya. Keesokan harinya, setelah wilayah Indonesia ditetapkan, penunjukkan Hasan sebagai Gubernur Sumatera disetujui Presiden Sukarno. Hasan menjadi satu dari delapan gubernur pertama Indonesia yang memimpin di daerah-daerah. Mereka antara lain: Soetardjo (Jawa Barat), Soeroso (Jawa Tengah), Soerjo (Jawa Timur), Pangeran M. Noor (Kalimantan), Samuel Ratulangi (Sulawesi), I Gusti Ktut Pudja (Sunda Kecil), dan Johannes Latuharhary (Maluku). “Hasan menerima ajuan itu semata-mata karena cita-citanya demi mengabdi kepada Indonesia merdeka,” tulis Raisa Kamila dalam Gubernur Pertama di Indonesia . Ketika diangkat pada 22 Agustus 1945, sebutan untuk jabatan Hasan adalah pemimpin besar untuk seluruh Sumatera. Dengan adanya pengakuan pemerintah, Dwi Purwoko dalam biografi Dr. Mr. T.H. Moehammad Hasan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa menyebut Hasan berkuasa penuh untuk melaksanakan segala keputusan PPKI di wilayah yang dipimpinnya. Setelah itu, Hasan leluasa bergerak ke seluruh penjuru Sumatera menyatakan kemerdekaan dan seruan untuk berpihak kepada Republik. Beberapa kota yang dikunjunginya antara lain: Jambi, Bukit Tinggi, Tarutung, Medan, dan Pematang Siantar. Baru pada 29 September 1945, Hasan resmi menjadi Gubernur Sumatera setelah mendapat persetujuan Komite Nasional Indonesia (KNI) Sumatera. Amir sendiri, yang mengajukan Hasan sebagai Gubernur Sumatera, pada Desember 1945 ditunjuk mendampingi Hasan sebagai wakil gubernur. Inilah awal dua sekawan tersebut bergerak secara resmi mempersatukan rakyat Sumatera untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan RI.
- Sirkuit Jalanan Lintas Zaman
EUFORIA bercampur rasa penasaran begitu terasa di hati begitu satu per satu mobil Formula One (F1) menampakkan diri di depan mata saya, yang duduk di tribun Nicoll Highway, menjelang start Grand Prix Singapura 2014. Itu kali pertama saya menyaksikan langsung balapan F1, 21 September 2014. Perasaan itu masih bertahan di lap - lap awal. Para pembalap masih sengit saling beradu skill di balik kemudi mobil masing-masing. Tapi beberapa lap kemudian, utamanya saat jarak masing-masing mobil melebar, kantuk mulai menyerang mata. Rasa kantuk itu baru buyar kala pembalap tim Sauber Adrian Sutil bertabrakan dengan pembalap tim Force India Sergio Pérez, tepat di depan mata. Para penonton lain di tribun tak kalah kaget. Selain jadi debut menyaksikan balapan F1 secara langsung, itu juga jadi momen pertama saya merasakan atmosfer balapan malam di Marina Bay Circuit. Arena balap ini merupakan sirkuit jalanan yang disediakan pemerintah Singapura untuk masuk kalender F1 sejak 2008. “Anda harus punya dukungan penuh dari pemerintah. Kalau pemerintah tidak aktif bergerak, akan sulit bisa membawa F1 ke Indonesia,” kata Fiona Smith, asisten Direktur Media dan Komunikasi GP Singapore PTE. Ltd,kala berbincang di executive box Sirkuit Marina Bay pada malam sebelum race. Kendati mesti bermodal besar, kata Fiona, ajang F1 jadi investasi menguntungkan buat perekonomian negerinya. “GP Singapura sangat berperan besar secara signifikan untuk meningkatkan pelancong (mancanegara, red ) datang ke sini. Begitupun dengan perekonomian negara. Contoh singkat, hotel-hotel di sini hampir semua pasti penuh ketika F1 dan mereka tentu pasang harga dua atau tiga kali lipat dari biasanya,” sambungnya. Indonesia sedianya pernah ingin menggelar F1 dengan mem bangun Sirkuit Sentul pa da 1990-an , namun batal. B elakangan , upaya mengikuti jejak Singapura mencuat. Mengutip Kumparan , 14 Juli 2019, Pemprov DKI Jakarta siap membawa ajang balap mobil Formula ke ibukota. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) saat mengunjungi race Formula E di New York (Foto: Twitter @aniesbaswedan) Bukan F1 memang yang akan dibawa ke ibukota, melainkan Formula E aliasajang balapan mobilbertenaga listrik internasional. Gubernur DKI Anies Baswedan menyatakan, pihaknya sudah bernegosiasi dengan FIA selaku badan yang menaungi ajang-ajang balapan dunia. Perwakilan Formula E juga sudah datang untuk mengecek area-area yang akan disiapkan untuk jadi sirkuit jalanan pada 8-9 Juli 2019. Dua rute yang disiapkan yakni di seputaran tenggara Silang Monas dan Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kendati begitu, dilansir Motorsport edisi 14 Juli 2019, FIA Formula E menyatakan bahwa pihaknya masih dalam tahap pembicaraan serius. Pun begitu mereka belum bisa menyampaikan pengumuman resminya. Sirkuit Jalanan Tertua Jika Formula E jadi dihelat, Indonesia bakal mengikuti atau bahkan menyaingi Singapura sebagai satu-satunya pemilik sirkuit jalanan dan balapan malam di Asia. Sirkuit jalanan merupakan pengalihfungsian sementara waktu jalur lalu lintas untuk arena balapan. Lazimnya, sirkuit jalanan berada di kota-kota metropolitan. Alasannya, untuk mendongkrak turisme. S irkuit jalanan tertua yang masih digunakan untuk balapan jet darat adalah Circuit de Monaco yang berad a di Monako, negeri seluas 202 hektar di selatan Prancis yang benderanya sama dengan Indonesia . Esksistensi balap jalanan sendiri dimulai pada akhir abad ke-20. Umumnya, trek balap jalanan itu antarkota. Paris-Amsterdam-Paris Race yang diadakan Automobile Club de France (ACF) pada 1898, contohnya. Ada pula Eifelrennen, yang dihelat sejak 1922,dengan treknya membentang dari kota Nideggen-Wollersheim-Vlatten-Heimbach-Hasenfeld di Pegunungan Eifel, Jerman. Namun, balapan di jalanan itu belum tergolong balap di sirkuit jalanan. Jika menyebut sirkuit jalanan resmi pertama, Circuit de Monaco-lah tempatnya. Arenanya yang membentang sepanjang 3,145 kilometerdi areal metropolitan Monte Carlo, menurut Malcolm Folley dalam bukunya Monaco: Inside F1’s Greatest Race , memang dipersiapkan oleh Automobile Club de Monaco (ACM). “Gagasannya muncul dari Antony Noghès yang ingin mengadakan balapan di jalanan Monaco, di mana jalannya masih berupa jalanan batu. Di beberapa seksi jalannya juga masih beriringan dengan rel trem. Ide itu dimunculkannya saat rapat umum luar biasa, seiring pergantian nama dari Sport Automobile Vélocipédique de Monaco (SAVM) menjadi Automobile Club de Monaco, 29 Maret 1925.” Antony Noghès merupakan putra dari bos rokok Alexandre Noghès. Antony sejak 1925 menggantikan ayahnya sebagai presiden ACM. Disokong bantuan Pangeran Monaco, Louis II, Noghès memprakarsa Grand Prix Monaco pertama pada 14 April 1929. Hanya 16 pembalap undangan yang berkompetisi di balapan untuk memperebutkan hadiah 100 ribu franc itu. Dari 100 lap , pembalap tim Bugatti T35B asal Inggris William Grover-Williams jadi pemenangnya. Gelaran balap di Circuit de Monaco pada 1929 (Foto: Repro Monaco: Inside F1's Greatest Race) Dari penggunaan awalnya tahun 1929 sampai 2019, treknya hanya mengalami perubahan panjang trek sekira 200 meter. Kendati begitu, Sirkuit Monako begitu ikonik lantaran punya ketinggian berbeda-beda dan treknya sempit dengan sejumlah belokan tajam dan berbahaya. “Ibarat naik sepeda di ruang keluarga,” ujar eks pembalap F1 Nelson Piquet kepada Motorsport , 24 Mei 2011. Jika tak benar-benar mahir , siap-siap didatangi insiden. Dari sejumlah kecelakaan, ada empat pembalap yang mesti tutup karier dan usia di sirkuit itu. Se telah y a ng pertama Norman Linnecar pada 1948, ada Luigi Fagioli pada 1952, Dennis Taylor pada 1962 , dan Lorenzo Bandini pada 1967. Kendati disebut sirkuit yang menakutkan, Monaco tetap dianggap sebagai sirkuit terbaik oleh pembalap F1 Lewis Hamilton. “Seperti naik rollercoaster yang paling menakutkan. Memang menakutkan tapi karakter treknya keren dan membuat Anda merasakan semua emosi menjadi satu,” ujarnya, dikutip The Telegraph , 23 Mei 2014.
- Kala Black Death Hampir Memusnahkan Eropa
BAGI anak muda kini, penyakit pes terdengar asing. Padahal, penyakit itu pernah mematikan di awal abad ke-20, terutama di Jawa. Jauh sebelum pes menyerang Jawa, penyakit ini jadi ancaman di Eropa. Orang-orang menyebutnya dengan The Black Death. Nama yang merupakan terjemahan dari bahasa Latin atra mortem ini muncul dari gejala yang dialami penderita. Kulit mereka menghitam, biasanya di bagian jari tangan, jari kaki, atau ujung hidung. Kehitaman itu muncul akibat adanya jaringan yang mati. Ketika mewabah pada abad ke-14, Black Death membunuh 50 juta orang. Dengan kata lain, mengurangi 60 persen populasi Eropa. Pes disebabkan oleh bakteri yersinia pestis yang terdapat dalam kutu tikus, khususnya tikus hitam yang suka tinggal di dekat manusia. Sebagian kalangan berpendapat bahwa pes di Eropa terbawa masuk lewat perdagangan di jalur sutra. Pendapat ini dibantah sejarawan Norwegia Ole Jorgen Benedictow dalam bukunya The Black Death, 1346-1353. Menurutnya, pes tidak masuk lewat Tiongkok namun muncul dari dekat Laut Kaspia, selatan Rusia (kini masuk wilayah Ukraina), pada musim semi 1346. Pes kemudian menyebar ke barat lewat migrasi tikus-tikus coklat Rusia yang punya daya tahan tubuh lebih kuat dibanding tikus hitam. Namun, kutu-kutu di tikus kemudian juga menghinggapi tikus hitam di tempat migrasinya. Tikus yang terkena pes umumnya bertahan sepuluh sampai empat belas hari, lalu mati. Kematian massal tikus membuat gerombolan kutu bingung mencari tempat hinggap. Setelah tiga hari puasa, kutu-kutu kelaparan itu pun bersarang di tubuh manusia sebagai pengganti tikus. Persebaran pes juga terjadi lewat kapal dagang Italia. Tikus-tikus berkutu ikut naik kapal, menyusup di antara karung dan keranjang barang. Dalam perjalanan laut itu, banyak tikus terinfeksi pes yang mati. Namun, kutu-kutu tetap bertahan hidup. Para kutu lalu mencari tikus baru begitu mendarat. Kutu tikus punya daya tahan hidup lebih tinggi dibanding kutu rambut. Mereka mampu beradaptasi di sarang barunya. Mulanya, kutu tikus akan menempel di baju, lalu menular dari satu orang ke orang lain. Kapal-kapal dagang Italia itu mengangkut banyak muatan dari beberapa kota, seperti Venice, Genoa, London, dan Bruges. Di London dan Bruges, perdagangan Italia terhubung dengan Jerman dan Norwegia. Dari jalur perdagangan inilah pes menyebar ke segala penjuru Eropa. Di Inggris, wabah pes meluas sampai ke daerah selatan London, kemudian berlanjut hingga ke Eropa Utara. Pes sampai di Oslo pada musim gugur 1348 lewat kapal dagang Inggris yang berlayar ke arah timur dan tenggara. Black Death di Norwegia masuk lebih cepat dibanding ke Jerman dan Belanda. Namun, lantaran tersebar melalui kutu tikus, pes di Eropa hanya muncul ketika suhu menghangat dan menghilang ketika musim salju. Di Norwegia misalnya, sepanjang 1349 hingga 1654 tidak pernah ada wabah pes ketika musim dingin. Biasanya, epidemi merebak lagi begitu musim semi. Tingginya angka kematian akibat pes amat mengagetkan di Eropa. Mereka menganggap Black Death adalah kutukan Tuhan yang menimpa para pendosa. “Tapi ketika ada seorang beriman yang mati terkena black death, orang-orang jadi yakin kalau penyakit ini bukan dari kutukan Tuhan tapi dari udara busuk,” kata Dosen IAIN Surakarta Martina Safitry, yang pernah meneliti penyakit pes untuk tesisnya, kepada Historia . Kendati memakan banyak korban jiwa, banyak orang berhasil bertahan dari wabah pes. Mereka yang bertahan ini membentuk imun tubuh yang kuat sehingga lebih sulit terjangkiti. Kondisi ini bertahan cukup lama. Profesor WJ Simpson dalam A Treatise On Plague menjelaskan bahwa di Eropa Barat selama abad ke-18 dan 19 wabah pes sudah menurun, bahkan jarang. Epidemi ini tercatat baik dalam sejarah kesehatan Eropa dan menigggalkan trauma mendalam. Alhasil, ketika pes masuk ke Jawa pada 1910, orang-orang Belanda panik. Kebijakan yang sangat intensif pun dibuat untuk menanganinya. “Walaupun kita sebelumnya pernah terserang penyakit cacar, tapi cara-cara penanganannya tidak segencar penyakit pes yang tidak hanya lewat pemberian vaksin tapi juga isolasi dan bumi hangus desa,” kata Martina.
- Balada Meriam Hasan
MEMASUKI tahun 1947, serbuan tentara Belanda makin menggila di Medan Area. Hampir setiap hari pesawat pemburu mereka mondar-mandir keliling kota Medan. Tembakan dari udara menghujani kubu-kubu pasukan Republik, khususnya yang berada di front barat. Di sini, banyak orang-orang Aceh yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) . “Pada tanggal 5 Januari 1947, mereka membom serta menghujani Sungai Semayam dengan tembakan dan serangan-serangan dari udara. Serangan udara Belanda datang secara bertubi-tubi tanpa mengenal ampun,” ujar Nukum Sanany kepada penulis B. Wiwoho dalam Pasukan Meriam Nukum Sanany . Serangan udara Belanda mengakibatkan korban berjatuhan. Dua orang luka-luka berlumuran darah dan seorang lainnya tewas. Prajurit yang gugur itu bernama Kopral Suparman yang berasal dari Batalion IX. Kapten Nukum Sanany, komandan pasukan meriam RIMA memutuskan memindahkan basis pertahanan dari Sungai Semayam ke Kampung Lalang. Untuk menghindari serangan udara musuh, kubu pertahanan diperkuat dengan membuat parit-parit dan benteng. Pada saat-saat demikian, terjadilah suatu lelucon di tengah perang. Seorang prajurit bernama Hasan Cumbok bikin ulah. Pangkatnya sersan satu dan bertugas sebagai komandan meriam ukuran pucuk 13 ponder. Sebagaimana dicatat Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area , sebelum bergabung dengan pasukan meriam, Hasan pernah menjadi pasukan Heiho di zaman Jepang. Prajurit Aceh asal Pidie ini berpendidikan rendah namun wataknya keras nan berani. Sekali waktu Hasan Cumbok nekat membawa meriam ukuran 18 ponder kaliber 7,5 ke Sungai Sikambing. Tanpa instruksi komandannya, Hasan langsung melepaskan sebanyak dua kali dengan jarak maksimal. Hasan menargetkan markas tentara Belanda akan hancur lebur kena hantam meriamnya. Menurut Nukum Sanany, Hasan belum begitu lama mengikuti latihan menembak meriam sehingga kurang menguasai sepenuhnya teknik pengoperasiannya. Dalam aksi solonya itu, Hasan mengabaikan berbagai hal, mulai dari cara bidik, mengukur jarak tembak, elevasi, dan koordinat tembakan. Tidak ayal, tembakannya melampaui sasaran. Alih-alih mengenai tentara Belanda, tembakan Hasan malah nyasar ke kawan sendiri. Peluru-peluru meriam jatuh di kota Matsum dan Tembung. Dua kawasan ini merupakan kubu pertahanan Republik yang berada di front Medan Timur. “Sebagai Komandan, bukan alang kepalang marah saya menyaksikan kelancangannya. Namun demikian saya berusaha menahan sabar seraya memaklumi kegelisahan anak-anak anggota pasukan yang belum terlatih betul,” kenang Nukum Sanany. Laporan dari komandan seksi Hasan menyebutkan bahwa Hasan ingin membalas dendam karena menyaksikan rekan-rekannya diterjang peluru pesawat pemburu Belanda. Dia tidak peduli perintah komandan, tidak peduli koordinasi, tak peduli strategi dan taktik. Emosinya yang meluap menyingkirkan akal sehat. “Yang penting hutang nyawa dibayar nyawa, hutang darah dibayar darah. Kalau lawan bertolak pinggang kita pun harus melakukan hal yang sama,” kata Amran Zamzami sang komandan seksi. Pada 8 Januari 1947, persiapan parit-parit dan kubu pertahanan pasukan meriam di Kampung Lalang rampung. Namun kisah Hasan dan meriamnya tetap menjadi pembicaraan yang menggelikan di kalangan pasukan meriam. Di kemudian hari, apa yang dilakukan Hasan Cumbok ini menjadi bahan tertawaan dan ejekan terhadap Pasukan Artileri RIMA.
- Frank Lampard Legenda Bermental Baja
TRIBUN Stadion Stamford Bridge lengang. Tiada keriuhan fans seperti biasa ketika Chelsea menjamu lawan-lawannya. Hanya beberapawartawan foto dan staf klub yang terlihat pada Sabtu, 6 Juli 2019, itu. Begitulah suasana kemunculan kembali Fran Frank Lampard ke markas klub yang pernah dibelanya selama 13 tahun itu.Lampard kembali muncul ke publik untuk diperkenalkan sebagai pelatih anyar Chelsea FC dengan durasi kontrak tiga tahun ke depan. Dia menggantikan Maurizio Sarri yang di depak di akhir musim lalu. Sepanjang kariernya sebagai pemain (2001-2014),Lampardmenjadi anak emas kesayangan fans dan tim, mengungguli pemain senior lainsemisal John Terry. Lampard juga jadi orang Inggris pertama yang menukangi The Blues , julukan Chelsea, sejak dua dekade silam. Tapi, apakah penunjukannya tepat?Fans Chelsea sendiri terbelah. Sebagian sangat suportif, lainnya pesimis bahwa penunjukannya hanya akan jadi “euforia” sementarasebagaimana comeback Ole Gunnar Solskjær ke Manchester United dari pemain menjadi pelatih, musim lalu. Biar waktu yang menjawab nanti. “Pemilihan Lampard menurut saya pilihan menarik. Sebagai pelatih dia masih muda. Memiliki history yang kental dengan Chelsea. Tapi Lampard harus lebih kerja keras untuk Chelsea, khususnya pada pemain karena tim ini berbeda situasinya. Tugasnya lebih sulit untuk menemukan pola permainan yang kini tanpa (eks-bintang yang dibeli Real Madrid, Eden) Hazard,” tutur Irfan Sudrajat, Wakil Pemred TopSkor , kepada Historia . Pengalaman Lampard sebagai pelatih profesional memang masih minim.Portfolionya baru terisi pengalaman melatih klub Derby County, yang tidak diselesaikan penuh dari kontraknya selama tiga tahun. Ia gagal membawa The Rams promosi dari kasta Champions League ke Premier League. “Saya masih ragu musim depan Chelsea bisa sukses. Untuk bisa ke posisi empat lagi pun mungkin butuh perjuangan keras. Manajemen Chelsea harus mendukung penuh. Setidaknya baru bisa dilihat dari dua musim ke depan. Bagi Lampard, ini peluang bagus dan soal tekanan, saya nilai dia sudah bisa mengatasinya dari pengalaman di Derby. Kiranya perlu dua musim juga untuk Lampard membangun Chelsea dengan situasi ini,” sambung Irfan. Tekanan bukan hal asing bagi Lampard.Kariernya yang berujung pada gelar “anak emas” dirintisnya sejak 1995 dengan modal kegigihan melewati tekanan demi tekanan. Mental yang Ditempa Sejak Belia Frank James Lampard dilahirkan di Romford, kota kecil di timur laut London, pada 20 Juni 1978 dari pasangan Frank Richard George Lampard dan Patricia Harris.Sejak bayi, ia sudah dikenalkan dengan bola oleh ayahnya yang juga eks pesepakbola West Ham United dan timnas Inggris seangkatan Bobby Moore. Lampard kecil tak pernah merasakan hidup susah sebagaimana pesepakbola legendaris lain. Hidupnya berkecukupan secara materi lantaran sang ayah sukses berbisnis properti usai pensiun dari sepakbola. Kendati amat menyukai sepakbola, olahraga itu bukan pilihan pertama Lampard ketika memutuskan merintis karier. Lampard lebih dulu menjajal kriket. Jurnalis senior Inggris Douglas Thompson dalam FrankLampard: The Biography mengungkap, saat Lampard sekolah di Brentwood School, banyak guru dan pelatihnya membicarakan potensinya jadi atlet kriket profesional. Lampard diprediksi mungkin bisa jadi pemain nasional Inggris. Ayah dan anak: Frank Lampard Jr. & Frank Lampard Sr. (Foto: Repro Frank Lampard: The Biography) Pada akhirnya, Lampard lebih memilih sepakbola karena “paksaan” ayahnya. Baginya sepakbola bukan lagi opsi, melainkan jalan hidup yang disiapkan sang ayah. Tiada yang lebih diinginkan Frank Sr. terhadap putranya selain mengikuti jejaknya. Maklum, Lampard merupakan anak laki-laki pertama.Kedua kakaknya perempuan. Lampard setengah terpaksa merintis nama sejalur dengan ayahnya , dengan bergabung ke dalam Youth Training Scheme (YTS), sekolah sepakbola di bawah naungan West Ham United , klub tempat ayahnya mengabdi sejak 1967-1985 , pada 1 Agustus 1992. “Saya hampir bergabung ke Spurs (Tottenham Hotspur, red . ) atau Arsenal. Tapi pada akhirnya saya memilih West Ham. Klub yang sejak kecil saya dukung,” u jar Frank Jr. Terus berkembangnya permainan Lampard membuatnya terpilih masuk tim muda West Ham dua tahun berselang. Pada 1995, Lampard teken kontrak profesional pertamanya kendati dirinya lantas dipinjamkan ke klub Swansea City selama semusim. Namun, memiliki ayah populer di dunia sepakbola justru menambah berat langkah Lampard dalam membangun karier profesionalnya. Tekanan psikis yang diterimanya tak ringan seiring bermunculannya nada-nada sumbang. Paling kentara adalah isu nepotisme bahwa ia pemain “titipan”. Maklum, pada 1992 itu pamannya, Harry Redknapp,menjadi asisten pelatih tim senior klub. Belum lagi ayahnya, Frank Sr., comeback ke klub sebagai pencari bakat dan pelatih tim akademi. Tekanan mental berat itu pada akhirnya membuat Lampard harus berlatih dan bekerja ekstra demi memberi bukti bahwa ia bukan pemain “titipan”. Hal itu pula yang dipesankan sang ayah kepadanya. “Jawablah dengan permainan sepakbola. Saya bilang padanya, semua pemain pernah menderita, bahkan Bobby Moore pun pernah. Yang terpenting bagaimana mengatasinya,” ujar Frank Sr. memberi nasihat. Rumor nepotisme sejatinya bukan barang baru bagi Lampad . Saat masih bermain untuk tim sekolah pun isu itu sudah m enghinggapinya lantaran Frank Sr. juga ikut melatih tim sekolahnya. Namun, tekanan psikis di level profesional tentu jauh berbeda.Utamanya, saat Lampard kembali dari masa pinjaman dan menjalani debutnya untuk tim senior The Hammers di laga resmi, 31 Januari 1996, pada usia 17 tahun. Kala itu West Ham menjamu Coventry City. Beberapa penonton di tribun Upton Park menyorakinya, yang masuk sebagai pemain pengganti John Moncur. “Saya masih belia saat menjalani laga pertama itu. Sulit di usia saat itu menerima sorakan itu karena belum punya pengalaman. Anda berupaya tak peduli tapi tetap sakit rasanya. Banyak sorakan dan cemoohan yang terdengar dan itu mengecewakan. Sambutan mereka membuat saya ingin pergi dari klub,” kenang Lampard. Namun, kegigihan membuat Lampard bertekad pantang mundur. Hal itu membuatnya jadi pribadi yang lebih kuat. Ia berlatih dua kali lebih keras dari rekan-rekannya. Rio Ferdinand, sahabat yang seangkatan sejak akademi, jadi salah satu sosok penting yang membuat Lampard bisa melalui masa-masa sulit itu. “Dengan Rio Ferdinand menjadi sahabat, sangat membantu putra saya dalam perkembangannya,” kata Frank Sr. Frank Lampard (tengah) semasa meniti karier di West Ham United (Foto: whufc.com) Soal isu nepotisme, sang ayah dan sang paman Harry Redknapp jelas membantah. Dalam bukunya, Harry Redknapp: My Autobiography, Harry mengatakan: “Saya kecewa pada beberapa fans di tribun tertentu yang memberinya kesempatan dan kepercayaan di awal-awal penampilan Frank Jr. Penonton juga mengarahkan cemoohannya pada saya dan Frank Sr. Situasinya juga sama dengan saya dan Jamie. Tapi saya percaya bahwa keputusan saya memainkan Frank Jr. adalah tepat secara profesional.” Butuh waktu hampir dua musim bagi Lampard untuk bisa melalui “siksaan” itu dan mengubahnya jadi pujaan fans. Hingga 2001, total ia tampil dalam 148 laga dengan 24 gol. Bintangnya kian benderang ketika ia kemudian bergabung ke klub elite Chelsea. “Sebelum saya bisa membuktikan diri, publik sangat skeptis. Ragu apakah saya ada di sini karena koneksi keluarga. Yang saya dapatkan hanya tuduhan bahwa saya bisa bermain hanya karena ayah dan paman saya. Sorakan itu hadir baik laga kandang maupun tandang. Sering terdengar komentar, ‘Anda tak sebagus ayah Anda.’‘Untuk mengikat tali sepatu saja Anda belum pantas.’Sakit rasanya dan menumpuk jadi tekanan,” sambung Lampard.
- Bisnis Penyu Tempo Dulu
PENYU menjadi satu dari ribuan spesies hewan yang menghiasi wilayah laut Indonesia. Tetapi hewan yang mampu hidup puluhan tahun, bahkan konon ratusan tahun ini selalu menjadi target perburuan liar. Setiap tahun pemerintah Indonesia berjibaku mengagalkan penyelundupan penyu-penyu yang akan dikirim ke luar negeri. Dilansir dari laman kkp.go.id , hanya tersisa 7 spesies penyu di dunia, dan Indonesia menjadi rumah bagi 6 spesies di antaranya. Pemerintah pun telah mengatur pelarangan perburuan hewan laut ini dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistem, serta UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun siapa sangka, hewan yang masuk dalam kategori terancam punah dan dilindungi itu pernah diperjualbelikan secara legal di Indonesia. Banyak Dicari Pada pertengahan abad ke-17, pelabuhan-pelabuhan di Makassar ramai dengan aktivitas dagang berskala internasional. Terlebih setelah VOC berhasil menguasai Maluku dan mengandalkan Sulawesi sebagai salah satu basis pengiriman rempah-rempah mereka. Adalah wajar jika kemudian Makassar menjadi tempat berkumpul kongsi dagang dari berbagai negara, seperti India, Tiongkok, dan Portugis. Namun dari banyaknya kelompok dagang yang ada, para pedagang Tiongkok memiliki pengaruh yang kuat. Mereka memegang kendali penuh atas sejumlah komoditi. Salah satunya barang mewah yang untuk ukuran sekarang tak lazim dijual, yakni tempurung penyu. Tempurung penyu dari Nusantara telah menjadi primadona bagi kekaisaran Tiongkok. Raja-raja yang berhubungan baik dengan kaisar telah menghadiahi tempurung penyu sejak berabad-abad lalu. Catatan pelaut Tiongkok menyebut penyu selalu menjadi bagian dari upeti kerajaan Nusantara, dan para kaisar sangat menyukainya. “Raja kemudian menunjuk utusan untuk membawakan sepucuk surat dan upeti yang berupa mahkota, penyu, merak, kapur barus, kamper, dan kain dari barat,” tulis W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Orang-orang Tionghoa menggunakan tempurung penyu untuk bahan membuat berbagai macam obat dan aksesoris yang sangat bernilai. Masyarakat, termasuk kaisar, percaya bahwa penyu dapat menjadi obat panjang umur dan kebahagiaan. Sehingga tidak heran jika pedagang Tiongkok sangat ketat menjaga transaksi barang mewah tersebut. Namun ternyata tidak hanya orang-orang Tionghoa saja yang terpikat dengan tempurung penyu dari Sulawesi ini. Para pelaut Inggris dan Portugis juga berusaha mendapatkannya sebagai bahan perdagangan ke wilayah India dan Eropa. Persaingan pun tidak terhindarkan di antara pedagang asing ini. Berdasarkan catatan-catatan pelaut Portugis yang dimuat Trade, Court, and Company: Makassar in the Later Seventeenth and Early Eighteenth Centuries karya H.A. Sutherland diketahui bahwa kegiatan perdagangan tempurung penyu ke Malaka, yang nantinya tersebar ke Eropa, bukanlah hal baru di Sulawesi. Kegiatannya telah dimulai sejak pertengahan abad ke-14. Barulah pada awal abad ke-17, permintaan komoditi ini meningkat pesat. Wilayah Gujarat, India, tiba-tiba mengajukan pembelian tempurung penyu dari Nusantara dalam jumlah yang besar. Permintaan dari Gujarat itupun akhirnya melibatkan orang-orang Eropa di dalamnya. “Keuntungan yang didapat dari perdagangan ini menarik minat para pedagang Inggris untuk juga turut ambil bagian,” tulis Yerry Wirawan dalah Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar dari Abad ke-17 hingga ke-20 . Belanda Ambil Bagian Pada 1616, kamar dagang Belanda menjadi distributor utama penjualan tempurung penyu dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera khusus untuk kawasan Eropa. Demi memuluskan jalannya, mereka menjalin hubungan baik dengan orang-orang Tionghoa karena saat itu para pedagang Tionghoa di Sulawesi sudah membentuk serikat dagang untuk menguasai komoditi kegemaran kaisar ini. Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim mengatakan pedagang Tionghoa tidak dianggap sebagai ancaman oleh VOC. Kepentingan pedagang Tionghoa atas beberapa produk, terutama produk laut, tidak mengancam monopoli rempah-rempah mereka. Oleh karena itu pedagang Tionghoa dirangkul sebagai mitra. Hingga tahun 1617, diperkirakan Belanda telah mampu menjual antara 4.000 sampai 5.000 tempurung penyu setiap tahunnya. Jumlah itu sangat besar jika dibandingkan dengan negara manapun yang menjadi pesaing dagangnya. Sekitar tahun 1650 sampai 1660, para pedagang Tionghoa menjadi pengatur proses jual beli penyu antara masyarakat sebagai pemburu, dengan orang Belanda sebagai pembeli. Keduanya tidak boleh bertemu secara langsung. Transaksi harus dilakukan melalui kelompok pedagang Tionghoa. “Pedagang Inggris mengeluhkan bahwa mereka tidak bisa membeli barang dagangan ini langsung dari para pengumpulnya dan harus melewati orang Tionghoa sebagai pedagang perantara,” kata Yerry. Untuk proses pengumpulan tempurung penyu, pedagang Tionghoa memanfaatkan kemampuan masyarakat Bugis. Peran suku pesisir itu begitu besar dalam perburuan hewan laut ini. Tempurung penyu dari familia Cheloniidae, seperti penyu sisik,menjadi yang paling banyak diburu saat itu. Banyak cara bisa dilakukan untuk melepas tempurung dari tubuh penyu. Orang-orang Bugis melakukannya dengan cara memukul kepala penyu hingga mati. Kemudian penyu-penyu itu dibiarkan membusuk agar tempurungnya mudah dilepas. Dalam salah satu artikelnya, berjudul “Pluralism and Progress in Seventeenth-Century Makassar”, Anthony Reid menyebut orang-orang Bugis membuat kontrak dengan orang Tionghoa untuk proses perdagangan tersebut. Namun tidak secara langsung, tetapi melalui penguasa Makassar. Sehingga keterlibatan masyarakat Bugis dalam perburuan tempurung penyu secara tidak langsung disebabkan oleh hubungan baik para penguasa yang memerintah di tempat tinggal mereka dengan pedagang Tionghoa.
- Misteri Kerajaan Panai di Sumatra
Paṇai yang dialiri sungai diabadikan dalam Prasasti Tanjore yang berasal dari 10 abad yang lalu. Negeri ini menjadi salah satu yang digempur Rajendracola I setelah pemimpin wangsa Coḷa dari India itu menghabisi Sriwijaya yang makmur. Tiga abad setelahnya Mpu Prapanca seakan mengingatkan keberadaan negeri itu. Dia menyebut Pane sebagai salah satu dari negara-negara Melayu yang dibidik dalam rencana diplomasi Majapahit dan kemudian mendapat pengaruhnya. Paṇai pun seperti menjadi incaran negara-negara besar. Ia mungkin dulunya adalah sebuah negeri yang potensial. Namun kini keberadaannya masih misteri. Padahal sudah beberapa ahli memperkirakan letaknya. Keberadaan Kerajaan Panai seolah ditegaskan dengan ditemukannya Prasasti Panai di Kompleks Percandian Biaro Bahal, PadangLawas, Sumatra Utara. Sayangnya banyak tulisan dalam prasasti ini tak terbaca karena kondisinya aus. "Menurut hasil penelitian kami pada baris ke-10 prasasti tersebut terdapat bacaan Paṇai," kata Lisda Meyanti, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lewat tulisan "Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai" dalam Jurnal AMERTA, Lisda menjelaskan terdapat penyebutan kata kuṭi dalam prasasti itu. Kemungkinan ini ada kaitanya dengan bangunan suci Buddha, berupa candi yang oleh masyarakat setempat disebut biaro. Adapun gelar haji yang menyertai kata kuti menunjukkan di daerah itu terdapat kerajaan kecil yang dipimpin seorang haji . Ia kemudian didharmakan dengan sebuah candi. Artinya, Panai mungkin merupakan kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar haji . Sebagian wilayahnya berupa padang dengan sungai yang oleh penduduknya dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Raja yang memimpin Paṇai menganut agama Buddha. Prasasti Panai Lisda menulis, kendati jelas disebutkan kata "Paṇai" dalam prasasti itu, masih belum cukup untuk menunjuk tempat penemuannya sebagai lokasi kerajaan. "Prasasti itu merupakan artefak bertulis yang dapat dipindahkan. Ada kemungkinan Prasasti Paṇai tidak berasal dari daerah tempat prasasti itu ditemukan," jelasnya. Bila mencermati Prasasti Tanjore di India, kemungkinan Kerajaan Panai terletak di Sumatra. Sebab, Kakawin Nagarakṛtagama menyebut Paṇai merupakan salah satu kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Malayu (Sumatra). Lebih spesifik lagi, George Coedès dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha , menunjuk pantai timur Sumatra yang berhadapan dengan Malaka sebagai lokasi Paṇai. Sedangkan Kéram Kévonian, sejarawan Armenia dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (EHESS) Prancis, dalam tulisannya "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia" termuat di Lobu Tua: Sejarah Awal Barus , menyimpulkan kalau Paṇai adalah nama sebuah pelabuhan di pantai timur Sumatra Utara. Lokasi tepatnya di Labuhan Bilik sebagai muara akhir Sungai Barumun. Nama Panai masih dijumpai hingga kini. Lisda menjelaskan, di daerah Sumatra Utara, banyak daerah yang menggunakan nama Panai. Di Kabupaten Labuhanbatu terdapat Kecamatan Panai Tengah, Kecamatan Panai Hulu, dan Kecamatan Panai Hilir. Ketiganya berada di pesisir timur pantai Sumatra, dekat dengan Malaka. Ada juga sungai yang dikenal dengan nama Sungai Batang Pane, anak Sungai Barumun. Di dekat Sungai Batang Pane, terdapat kecamatan dengan nama sama, Batang Pane. Wilayah ini masuk ke dalam Kabupaten Padang Lawas di mana Prasasti Panai ditemukan. Di sana banyak sumber daya arkeologi yang berasal dari abad ke-11–14 M. Di antaranya bangunan keagamaan berupa kompleks candi yang oleh masyarakat setempat disebut biaro . Melihat itu Kawasan Padang Lawas mungkin bisa dipertimbangkan sebagai lokasi Kerajaan Panai. Ini dukung pula dari keterangan Prasasti Tanjore mengenai keadaan geografi Kerajaan Paṇai bahwa kerajaan ini diapit oleh sungai-sungai dan dipagari oleh pegunungan. "Asumsinya, Paṇai adalah sebuah wilayah yang memiliki dermaga sungai dan pegunungan," kata Lisda. Prasasti Panai pun memberikan petunjuk dengan memuat kata-kata seperti naik dan turun . Beberapa kata menggambarkan wilayah berair, seperti sungai , perahu , mengalir , hilir , ikan , dan sawah . Itu cocok dengan kondisi alam tempat ditemukannya Prasasti Paṇai di Padang Lawas, berupa daratan yang dipagari oleh gunung dan diapit oleh dua sungai: Sungai Batang Pane dan Sungai Barumun. "Kemungkinan besar Panai adalah nama asli Padang Lawas. Panai seharusnya terletak di kawasan Padang Lawas," jelas Lisda. Padang Lawas pun strategis karena memiliki dua gerbang pelabuhan, Barus di barat dan Labuhan Bilik di timur. Ini memberi gambaran ramainya kawasan itu pada masanya. Ditambah lagi, menurut Lisda, kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Paṇai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas. “Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi,” kata Lisda. Akhirnya, seperti kata Kéram Kévonian, Kerajaan Paṇai menjadi penting karena memiliki komoditas utama yang diperebutkan di pasar internasional. Barang itu diperdagangkan di pelabuhan bertaraf internasional yang terletak di pantai barat, Barus maupun di timur, Labuhan Bilik.
- Muasal Sub-Zero yang Diperankan Joe Taslim
PASANG kuda-kuda, pusatkan konsentrasi terhadap lawan, Fight! Masih ingat dengan aba-aba itu? Jargon-jargon itu kondang berkat populernya video gim Mortal Kombat , gim pertarungan paling beken era 1990-an sebagai pesaing Street Fighter dan Tekken . Meski mulanya sekadar arcade game , Mortal Kombat sukses saat diangkat ke layar lebar pertamakali pada 1995. Dua tahun berselang, sekuelnya dilanjutkan dengan judul Mortal Kombat: Annihilation . Buat para penggemarnya, kini ada kabar gembira. Mortal Kombat bakal di- reboot sutradara Simon McQuoid dengan diproduseri James Wan di bawah rumah produksi Atomic Monster . Sementara Greg Russo didapuk jadi penulis naskahnya. Menariknya, mengutip The Hollywood Reporter , Selasa (9/7/2019), James sudah deal dengan aktor pertama untuk memerankan karakter Sub-Zero, yakni aktor Indonesia Joe Taslim. Sebetulnya, sempat muncul nama aktor Jepang Hiroyuki Sanada untuk memerankan Sub Zero yangbernama asli Bi-Han itu. Namun, Joe Taslim yang akhirnya terpilih memainkan petarung yang punya kekuatan pukulan es mematikan itu. “Saya menjadi (Sub) Zero karena Anda (para fans) nomor satu bagi saya! Terimakasih semua atas support- nya selalu,” ungkap Joe Taslim di akun Twitter -nya, @Jota, 10 Juli 2019. Aktor laga berusia 38 tahun yang mantan atlet pencak silat, wushu, taekwondo, dan judo itu sejak beberapa tahun terakhir laris di Hollywood selepas keterlibatannya dalam film The Raid (2011). Peraih medali emas Kejuaraan Judo Asia Tenggara 1999 dan perak di SEA Games 2007 itu berturut-turut digaet untuk membintangi sejumlah film box office , mulai dari Fast & Furious 6 (2013) hingga Star Trek Beyond (2016). Dipilihnya Joe Taslim ditengarai tak lepas dari kesuksesannya dalam seri action yang diputar di Netflix, Warrior . Joe berakting apik sebagai salah satu kombatan brutal dalam sinema laga itu. Karakter Sub-Zero dalam gim Mortal Kombat 11 (Foto: mortalkombat.com) Mortal Kombat yang akan dibintangi Joe tergolong “Rating-R” alias penuh adegan brutal dan diharamkan ditonton anak-anak. “MK ( Mortal Kombat ) akan jadi film Rating-R dan untuk pertamakali, Fatalities akan disajikan di layar lebar. Anda harus menanti apa kejutan fatalities -nya,” kata Russo di Twitter -nya, @WriterRusso, 12 Juli 2019. Namun, para penggemar dan penikmat gim serta filmnya mesti bersabar. James dkk. menetapkan waktu rilisnya medio Mei 2021. Bulan ini disebutkan proses produksinya masih dalam tahap persiapan di Australia. Beberapa karakter lainnya juga belum diresmikan kendati rumor para calon pemeran sudah menyebar sejak Juni. Situs fortressofsolitude.co.za pada 27 Juni 2019 sempat melempar sejumlah nama itu, seperti Jin Zhang dan Sung Kang untuk peran Liu Kang, dan ken Watanabe untuk Shang Tsung. Alkisah Dua Ninja Bersaudara Sebagai salah satu karakter pionir di gim Mortal Kombat milik Midway Games yang dirilis pertamakali tahun 1992, Sub-Zero lahir dari tangan desainer gimnya, John Tobias dan Ed Boon. Gagasan awal penciptaannya bermula dari kekaguman Tobias akan karakter Lin Kuei sebagai ninja versi China dalam buku The Chinese Ninja Connection karya Li Hsing. Dibantu rekan desainer lainnya, Richard Divizio, Tobias melakoni sejumlah trial and error kala menggoreskan sosoknya di sejumlah lembar kertas catatan 27 tahun lampau. Awalnya dia hanya menyebut karakter barunya itu dengan sebutan “Ninja”, sebagaimana desain awalnya berkostum perpaduan antara ninja asli Jepang dan versi China. Dalam perkembangannya sebelum ikut dimasukkan ke gim, karakter itu diberi nama Sub-Zero. Tobias juga merevisi ciri-ciri fisiknya demi membedakan dengan karakter Lin Kuei di buku Li Hsing. Untuk latar belakang karakternya, mengutip Majalah MEL edisi 26 November 2018, Tobias punya gagasan bahwa karakternya merupakan dua kakak-beradik yang dinamai Bi-Han (Sub-Zero) dan Kuai Liang (Tundra). Keduanya dikisahkan punya ambisi merebut kekuasaan dalam klan mereka dengan membunuh ayah mereka sendiri. Keduanya lantas jadi buron para anggota klan. Untuk keperluan grafis di gimnya, Tobias meminta Daniel Pesina untuk melakoni gameplay -nya. “Pertamanya ia ingin membuat cerita bahwa dua ninja bersaudara ini akan bertarung satu sama lain. Saya usulkan bahwa saudara tak boleh saling pukul. Lalu John punya ide lain bahwa ceritanya dua ninja ini akan membunuh ayahnya demi jadi pemimpin klan dan akhirnya itu yang dipakai,” ujar Pesina kepada MEL . Dalam gameplay , Pesina memainkan karakter Bi-Han/Sub-Zero dengan finishing khas berupa pukulan pemenggal kepala dan pukulan es yang membuat musuh jadi beku lantas hancur. Dalam gimnya, itu dibuat Tobias dan Boon jadi lebih brutal dan sadis demi membedakan diri dari dua pesaingnya, Street Fighter dan Tekken. Sketsa awal Sub-Zero karya John Tobias (Foto: Twitter @therealsaibot) Dalam gim pertamanya itu, nasib Bi-Han/Sub-Zero dibuat tewas dalam sebuah turnamen oleh petarung lain, Scorpion. Bi-Han lantas jadi mayat hidup dan karakternya diubah dengan nama Noob Saibot, yang namanya merupakan kombinasi dua nama belakang terbalik kreator Mortal Kombat: Boon dan Tobias. Untuk melanjutkan kisahnya, Sub-Zero digantikan adiknya, Kuai Liang, yang dikreasikan Tobias hampir mirip sang kakak namun tanpa topeng ninja. Kuai Liang sebagai Sub-Zero langsung dimunculkan dalam sekuel gimnya yang rilis 1993, Mortal Kombat II. Dalam layar perak, di mana Mortal Kombat diangkat dengan tajuk yang sama pada 1995, sosok Sub-Zero versi Bi-Han diperankan aktor laga François Petit. Sementara di sekuelnya, Mortal Kombat: Annihilation (1997), Sub-Zero versi Kuai Liang diperankan aktor blasteran Jepang-Amerika Keith Cooke. Menarik dinantikan bagaimana Joe Taslim akan memainkan peran unik ini dua tahun mendatang.
- Soe Hok Gie dan Harta Karun Watanabe
AGUSTUS 2000. Telepon di meja Rudy Badil berbunyi nyaring. Pada dering kedua, jurnalis senior Kompas itu lantas mengangkatnya. Terdengarlah suara lelaki berdialek Jawa di seberang sana, memperkenalkan diri sebagai wakil dari sebuah perusahaan ternama di Surabaya. Kepada Badil dia menawari sebuah pekerjaan besar: proyek pencarian harta karun peninggalan tentara Jepang senilai 82,62 trilyun rupiah! “Mereka bilang memerlukan saya sebagai konsultan. Kerjanya cuma masuk hutan sesuai arahan peta, lalu menafsirkan isi kalimat proposal dan meriset data kepustakaan guna mendukung mega proyek itu,” kenang Rudy kepada Historia . Yang paling mengagetkan Badil, proyek itu ternyata tersangku paut dengan sahabatnya, Soe Hok Gie. Menurut cerita sang empu pekerjaan, Soe waktu studi ke Kanada dan Jepang pernah mempelajari suatu naskah harta karun yang disembunyikan di Gunung Semeru oleh seorang perwira Jepang bernama Watanabe pada 1944. Dokumen Watanabe inilah yang dibawa oleh Soe ke Puncak Mahameru pada Desember 1969. Takdir menentukan Soe harus tewas di Mahameru, puncak tertinggi Gunung Semeru. Saat proses evakuasi, dokumen itu ditemukan oleh pemimpin SAR. “Lalu entah gimana ceritanya, dokumen terjemahan itu ada di tangan seseorang, yaa sebut saja namanya A-deh. Orangnya gua kenal kok,” ungkap Rudy Badil. Sejak itulah, mulai 4 Oktober 1976, selalu ada tim khusus yang diberangkatkan ke Puncak Mahameru secara diam-diam. Namun karena masalah beaya, “rahasia” harta karun Watanabe itu kemudian dibagikan kepada perusahaan tersebut dan disetujui untuk ditindaklanjuti. Maka terbentuklah Tim Pencari Lokasi Simpanan Harta Karun Watanabe 1944. “ Gua lihat sendiri proposalnya yang berjudul “Mencari Potensi Alam dalam Rangka Menyongsong Otonomi Daerah Melalui Penggalian dan Pemanfaatan Peninggalan Jepang” tertanggal 23 Agustus 2000,” ujar penulis sakaligus fotografer itu. Disebutkan dalam proposal tersebut, berita itu bukanlah sekadar rumor belaka. Ada beberapa nama saksi di sana yang dijelaskan merupakan mantan pekerja romusha dan pegawai di era revolusi. Tentu saja tak ketinggalan dokumen Watanabe yang katanya telah diterjemahkan oleh Soe Hok Gie menjadi data-data penguat keberadaan harta karun itu. “Mereka juga bilang, bukti di lapangan juga sudah ada yakni seringnya orang-orang datang ke lokasi untuk melakukan pencarian harta karun dengan cara menggali secara manual,” tutur Badil. Situasi semakin “seru” manakala Pemda Provinsi Jawa Timur pada 24 Maret 2000 menyurati jajarannya agar meneliti dan mengecek soal harta karun itu. Mereka rupanya “ngiler” juga mendengar isi harta karun itu yang (katanya) terdiri dari perhiasan emas, emas lantakan, berlian, mutiara dan emas putih yang konon ditempatkan dalam sebuah gua rahasia. Disebutkan pula adanya alat-alat perang (seperti senjata, tank, ranpur dan granat) yang masih tertinggal di sana. “Makanya kata mereka, bawanya harus hati-hati dan melibatkan militer, karena gua itu juga penuh dengan jebakan berupa ranjau darat dan gas beracun yang dialirkan melalui pipa. Pokoknya kayak di film-film deh,” kata Badil sambil tertawa. Secara pribadi, Badil sendiri tak pernah menganggap serius cerita itu. Selain banyak bohongnya (misalnya soal Soe yang pernah ke Jepang), dia juga tahu pasti bahwa pimpinan SAR yang disebut-sebut sebagai awal dari munculnya cerita itu tak lain adalah Herman O. Lantang, sahabat Badil dan Soe. Saat melakukan pendakian ke Semeru pada Desember 1969, mereka merupakan kawan satu tim juga. Ketika Badil memperlihatkan salinan proposal itu kepada Herman, sesepuh MAPALA UI itu hanya tertawa geli saja. “Orang banyak yang aneh-aneh saja ya. Pimpinan SAR yang tak pernah ada itu pintar menjual sensasi dan informasi tipu-tipu…” ujar Herman seperti dikutip Badil dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi . Soal isu harta karun Jepang itu sebenarnya bukan soal yang asing bagi para penduduk di sekitar Lumajang dan Malang Selatan. Terlebih pada 1946-1949, wilayah Gunung Semeru dan sekitarnya, pernah menjadi basis sekira 30 eks tentara Jepang yang membelot ke pihak Republik Indonesia pimpinan Mayor Tatsuo Ichiki alias Abdul Rachman. “Pak Tatsuo ini adalah kawan baiknya Pak Zulkifli Lubis, yang mendrikan pertama kali lembaga intel di Indonesia,” ujar Shigeru Ono, salah satu dari 30 eks tentara Jepang itu, kepada saya pada 2013. Di antara nama-nama rekannya di Pasukan Gerilya Istimewa (kesatuan yang dibentuk oleh eks tentara Jepang tersebut), Shigeru Ono sendiri tak pernah menyebut nama Watanabe. Namun mengenai penyembunyian senjata, amunisi, logistik dan sejumlah meriam di sebuah gua di Garotan (Malang Selatan bukan Lumajang) diakui oleh Shigeru dan dikonfirmasi dalam tulisan Letnan Kolonel AL (Purn) Satmoko Tanoyo dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid V .





















