top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bagaimana Islam Menyebar di Xinjiang?

    SETELAH Perang Talas (751) dan Pemberontakan An Shi (755–763), Dinasti Tang perlahan lepas kendali terhadap Wilayah Barat ( xiyu ). Gonjang-ganjing kondisi negeri yang berlanjut pada tercerai-berainya Cina menjadi Lima Dinasti dan Sepuluh Negara (907–960) sehabis Dinasti Tang bubar pada 907, semakin membuat Cina tak mampu mengurus protektoratnya ( duhufu ) yang sebenarnya mencakup Asia Tengah tapi kelak sejak abad ke-18 cuma tinggal dan lebih dikenal dengan nama Xinjiang itu.

  • Kisah Loper Koran Beragam Zaman

    KOPI pagi di rumah kurang lengkap tanpa kehadiran koran. Dan koran tak bisa sampai ke rumah pembacanya tanpa jasa seorang loper koran. Selama ratusan tahun, loper koran telah memainkan posisi penting dalam bisnis media cetak dan menopang perekonomian banyak keluarga miskin. Mereka menghubungkan pekerja media cetak dengan para pembacanya dan menjadi salah satu pekerjaan sambilan bagi anak-anak untuk membantu orangtuanya. Loper koran hadir kali pertama di New York, Amerika Serikat, pada 1833. Bruce J. Evensen dalam Journalism and the American Experience mencatat kerja loper koran tak lepas dari ide Benjamin Day, seorang penerbit surat kabar murah ( penny press ) bernama New York Sun . Day telah bekerja seharian untuk menyebarkan edisi perdana New York Sun pada 3 September 1833. Dia terlalu lelah untuk melakukan hal serupa pada keesokan harinya. “Maka dia pasang iklan bagi para pengangguran untuk menjajakan surat kabarnya,” tulis Bruce.   Seorang anak lelaki berusia 10 tahun membaca iklan tersebut. Dia mendatangi kantor New York Sun dan mengatakan kepada Day bahwa dia berminat menjuali surat kabar murah itu. Caranya dengan membeli beberapa eksemplar. Tapi ada harga diskon baginya sehingga dia bisa memperoleh keuntungan dari selisih harga diskon dengan harga jual kembali. Nama anak itu Barney Flaherty. Dia mulai bekerja keesokan harinya. “Menjadi yang pertama dari sekian ribu loper koran yang kemudian menjajakan dagangannya sepanjang terang hari dan tidur di jalanan kota pada malam hari,” lanjut Bruce. Kemudian penerbit media cetak di Amerika Serikat mulai memperoleh pelanggan tetap. Keistimewaan pelanggan ialah mereka tak harus mencari koran di tepi jalan. Mereka hanya tinggal menunggu koran datang ke rumah. Di sini tugas loper koran mulai menyempit: tak perlu lagi menjajakan koran, melainkan mengantar koran ke rumah pelanggan. Nama-nama sohor pernah tercatat sebagai loper koran pada masa kecilnya. Antara lain Harry S. Truman, presiden Amerika Serikat 1945-1953; Martin Luther King Jr., tokoh kesetaraan; dan Warren Buffet, pebisnis ulung. NBCnews menyebut loper koran telah menjadi ritus hidup bagi sebagian besar anak-anak di Amerika Serikat. Loper Koran di Indonesia Di Indonesia, kehadiran loper koran kali pertama belum terlacak secara pasti. Tapi mereka sudah berseliweran di kota-kota besar Hindia Belanda pada 1920-an. Masa 1920-an menjadi masa tumbuh-kembang bisnis media cetak di kota-kota besar Hindia Belanda. Bisnis ini berkembang di kota lantaran orang-orang melek huruf latin lebih banyak berada di kota ketimbang di desa. Pemerintah kolonial pun lebih dulu membangun sekolah-sekolah di kota pada awal abad ke-20 ketimbang di desa. Pertumbuhan jumlah orang melek huruf latin di kota mendorong peningkatan kebutuhan terhadap informasi. Media cetak menyediakan beragam informasi. Pada sisi inilah mereka butuh orang untuk menyalurkan informasi kepada pembacanya. Sementara pada sisi lain, ada orang juga butuh pekerjaan. Termasuk anak-anak sekolah. R.H. Iskandar Suleiman, mantan murid Hollandsche Indische School (HIS) —setingkat sekolah dasar— di Batavia pada 1920, mengungkap kenangannya menyambi kerja sebagai loper koran. Dia butuh uang untuk biaya sekolah dan hidup keluarganya. Iskandar berkarib dengan Sugimin, seorang siswa Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (Mulo) —setingkat SMP— di sekitar kediamannya. Dia tahu keseharian Sugimin di luar jam sekolah. “Sugimin membiayai sekolahnya dari hasil keringatnya sendiri sebagai krantenloper (pengedar koran) Het Nieuws van den Dag tiap sore,” tulis Iskandar dalam “Dari Asuhan Nenek Sampai Berdiri Sendiri”, termuat di Prisma , No. 10, Oktober 1979. Iskandar mengatakan kepada Sugimin bahwa dia butuh pekerjaan. Dia ingin jadi krantenloper selayaknya Sugimin. Keinginannya terkabul ketika Sugimin mengajaknya ke kantor penerbitan Het Nieuws van den Dag . Di sini dia mendapat pekerjaan dari koran tersebut sebagai krantenloper . Iskandar bekerja mulai pukul 15.00, sepulang bersekolah. “Aku harus mengantarkan koran di daerah Menteng untuk 96 alamat, sebagian terbesar rumah orang Belanda,” tulis Iskandar. Dia kelar kerja pukul 20.00. Selama mengantar koran, Iskandar banyak raih pengalaman suka dan duka. “Sukanya, karena aku dapat menerima imbalan hampir 10 perak sebulan (jumlah cukup besar pada waktu itu; dan dukanya, karena sering aku mendapat gangguan anjing galak dan omelan langganan, kalau koran agak lambat diantarkan),” tambah Iskandar. Beberapa kali juga dia kena hina teman-teman sekolahnya. Iskandar tak ambil pusing soal hinaan teman-teman sekolahnya. Dia menjalani pekerjaan ini sampai duduk di bangku MULO. Fase ini jalan hidupnya mulai berubah. Seseorang menawarinya pekerjaan di percetakan. Iskandar menerimanya dan kelak membuatnya tahu seluk-beluk pers hingga bisa menjadi redaktur majalah Muhammadi , organ bulanan Muhammadiyah.     Cerita pekerjaan loper koran mengubah hidup seseorang juga dialami oleh Andi Hakim Nasution, mantan rektor Institut Pertanian Bogor 1978-1987. “Dulu saya pernah jadi loper koran,” kata Andi dalam Femina Vol. 20, 1992. Dia ingat saat itu tahun 1947. Masa-masa sulit bagi banyak keluarga di Bogor lantaran situasi revolusi. Tapi dengan menjadi loper koran, dia bisa ikut membantu perekonomian keluarga. Pengalaman lain menjadi loper koran datang dari Herlina Kasim ‘Si Pending Emas’. Dia sukarelawati pembebasan Irian Barat selama 1960-1965. Di Soasiu, Maluku Utara, Herlina mengupayakan penerbitan mingguan Karya. “Mingguanku dimaksudkan sebagai alat di daerah ini untuk menggembeleng semangat rakyat menghadapi masalah Irian Barat,” tulis Herlina dalam Herlina Pending Emas . Herlina merangkap jabatan sebagai pemimpin umum dan loper. “Repot juga bagiku. Di Soasiu tidak ada nama jalan dan nomor rumah, surat kabar ku antar pada orang yang kira-kira mau berlangganan,” lanjut Herlina. Tapi Karya kurang beroleh sambutan. Makin hari, makin merosot saja peminatnya. Biarpun Karya itu media cetak gratisan. Bahkan Herlina kesulitan mencari orang yang mau menjadi loper koran. Dia membandingkan pekerjaan loper koran di Jakarta dengan di Soasiu. “Setahuku loper di Jakarta atau penjual-penjual koran mempunyai penghasilan yang baik dan merupakan kerja sambilan, ada yang sambil bersekolah,” catat Herlina. Apa sebabnya orang Soasiu tak tertarik menjadi loper koran? Herlina bilang karena pekerjaan itu tidak dibayar, melainkan kewajiban kepada bangsa dan negara untuk turut membantu penyebaran gagasan pembebasan Irian Barat. Kini loper koran berhadapan dengan persoalan baru: revolusi industri 4.0. Revolusi ini mengubah arah bisnis media dari cetak ke bentuk digital. Dan itu bakal mempengaruhi masa depan pekerjaan loper koran. Apakah mereka akan bertahan atau remuk digilas revolusi industri 4.0?

  • Ketika DI Tak Terkendali

    MISBACH (75) masih ingat kejadian itu. Suatu hari di tahun 1976, ia tengah berjalan di tengah kota Medan ketika suatu ledakan mirip suara petasan besar menghentak khalayak. Tak lama kemudian situasi menjadi ricuh. Banyak orang bergerak ke arah sumber ledakan untuk mendapatkan kepastian apa yang sebenarnya sedang terjadi.   “Saya sendiri ikut bersama mereka dan jadi tahu bahwa yang dibom itu ternyata Apolo”, ungkap lelaki Jawa tersebut seraya menyebut nama bar yang lumayan besar di Medan saat itu. Tahun 1976 memang merupakan tahun penuh teror bagi kota Medan. Selain bar Apolo, Bioskop Ria menjadi target peledakan pula.Bahkan selanjutnya bukan hanya tempat hiburan, para pelaku teror pun membom sejumlah gereja dan masjid serta melakukan penggranatan terhadap acara MTQ (Musabaqoh Tilawatul Qur’an). “Morev alias Momok Revolusiener mengklaim berada di balik aksi-aksi itu,” ungkap Ken Conboy dalam Intel (Bagian II): Medan Tempur Kedua . Perjuangan Jilid Dua Menurut Ken Conboy, Morev merupakan sel baru yang dibentuk oleh para aktivis DI (Darul Islam) di Sumatera Utara. Anggota Morev mayoritas terdiri dari anak-anak muda yang tak memiliki hubungan apapun sebelumnya dengan DI. Peneliti DI Solahudin mengkonfirmasi pendapat Conboy. Namun secara rinci ia menambahkan bahwa Morev memang dibentuk sebagai organ teror oleh salah seorang tokoh DI di Sumatera yakni Timsar Zubil, asisten tokoh DI terkemuka Gaos Taufik. Istilah itu sendiri didapat setelah Timsar berdiskusi dengan Abdullah Umar (aktivis DI Medan) yang merupakan rekan seperguruan Timsar di Pesantren Gontor, Jawa Timur. “Momok itu sendiri diambil dari kata Momoc, singkatan dari Mobile Moment Comande, nama pasukan khusus DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Sulawesi Selatan pimpinan Sanusi Daris,” ujar peneliti yang juga jurnalis itu. Sebenarnya pasca Ikrar 1962, para tokoh DI memilih untuk mengambil jalur kompromi dengan pemerintah RI. Bahkan pada 1965-1967, mereka dilibatkan secara aktif buat menghabisi PKI dan orang-orang Sukarno. Kerjasama erat itu berlanjut saat mereka dimanfaatkan oleh Opsus (Operasi Khusus) pimpinan Ali Moertopo guna menggembosi perolehan suara parta-partai Islam dalam Pemilihan Umum 1971. Lantas apa yang menyebabkan para aktivis DI kembali mengangkat senjata? Rupanya jalan kerjasama dengan Opsus hanyalah salah satu taktik politik para aktivis DI. Berkaca pada kasus Perjanjian Hudaibiyyah yang melibatkan kaum kafir Quraisy dengan umat Islam di era Nabi Muhammad Saw, kerjasama dengan pihak pemerintah RI diperlukan untuk mengkondisikan perlawanan lebih matang lagi terutama dalam soal pengumpulan logistik dan dana perang. Setelah merasa kuat, maka perjuangan jilid kedua pun wajib dilakukan kembali. Aksi-aksi teror pun kemudian dilaksanakan. Tidak hanya di Medan tapi juga di Bukittinggi, Aceh, Sulawesi Selatan, Riau dan Jawa. Dengan memanfaatkan jaringan lama seperti Tengku Daud Beureh di Aceh, DI coba kembali membangun berbagai sel perlawanan. Salah satu sel mereka diberi nama Komando Jihad. Opsus Berlepas Diri Menurut Solahudin dalam NI Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia , sejak awal BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) sudah mengetahui bahwa para aktivis eks DI akan melakukan tindakan subversif. Setidaknya itu bisa disimpulkan dengan membiarkan Adah Djaelani dan kawan-kawannya menghidupkan kembali DI. “Mereka secara sengaja menunggu gerakan para eks DI ini membesar dan memulai aksi-aksi teror baru setelah itumengadakan penangkapan-penangkapan terhadap mereka,” ungkap Solahudin. Analisa Solahudin dikuatkan oleh Busyro Muqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen . Dalam kasus Komando Jihad, kata Busyro, unsur rekayasa politik yang dilakukan Opsus terlihat jelas dengan adanya penyalahgunaan aparat Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) di tingkat pusat  dan Pelaksanaan Khusus Daerah (Laksusda). Namun, pendapat-pendapat itu dibantah keras oleh Aloysius Sugiyanto. Menurut mantan orang kepercayaan Ali Moertopo itu, BAKIN dan Opsus sama sekali berlepas diri dari situasi yang melanda DI pada pertengahan tahun 1970-an. Alih-alih merencanakan sebuah jebakan politik, Opsus justru menginginkan para eks anggota DI melupakan sama sekali cita-cita mereka untuk mendirikan suatu negara Islam di wilayah Republik Indonesia. “Mereka menjadi tak terkendali setelah Opsus dibubarkan. Jadi jika ada orang mengatakan itu ulah Opsus ya tidak benar. Saya tidak tahu kalau mereka disusupi kepentingan lain atau kekuatan lain setelah Opsus tidak ada,” ungkap Aloysius kepada Historia .*

  • Kelincahan Kaki Yaris Riyadi

    SEDARI zaman kuda gigit besi, Persib Bandung nyaris tak pernah absen melahirkan bintang yang turut menjadi tulang punggung tim nasional (timnas) Indonesia. Bila di barisan depan Persib pernah menyumbang Adjat Sudrajat dan di barisan belakang ada Robby Darwis, di sektor tengah Persib punya Yusuf Bachtiar. Gelandang inilah yang jadi idola Yaris Riyadi, bintang Persib era 2000-an. Sejak kecil, Yaris amat mengagumi Yusuf. “Sejak lama ada cita-cita pingin main sama Kang Yusuf,” kata Yaris kepada Historia . Mimpi bermain bareng idola itu terus menyemangati Yaris menempa diri di lapangan hijau. Yaris kecil menimba ilmu di sekolah sepakbola UNI (Uitspanning Na Inspanning). Turnamen demi turnamen diikutinya bersama UNI. Prestasi gelandang lincah itu terus meningkat. Pada 1995, dia direkrut Persib. Di musim pertamanya, Yaris langsung ikut membawa Persib menjuarai Liga Indonesia II.  Yang membuatnya tak kalah senang, Yaris bisa main bareng Yusuf Bachtiar. “Bangga bisa sempat main bareng. Dia yang memberi wejangan, bahkan sebelum Yaris masuk Persib. Sepanjang karier, dia sering kasih nasihat, jangan sampai patah semangat karena saingannya di gelandang (di Persib dan timnas) banyak sekali,” tandasnya. Seiring waktu berlalu, pemain yang dijuluki “Si Ucing” (kucing) karena kelincahannya itu kian matang. Aksi-aksi ciamik dan konsistensinya membuat pelatih timnas Nandar Iskandar kepincut lalu memasukkan nama Yaris ke skuad timnas untuk Piala Kemerdekaan 2000.   “Bangga luar biasa ya bisa dipanggil timnas. Saking bangganya saya sering menangis saat nyanyi lagu Indonesia Raya. Ya karena persaingannya (untuk masuk timnas) itu kan dari seluruh Indonesia dan waktu itu sudah cukup lama juga enggak ada pemain dari Persib di timnas,” imbuh Yaris. Masuknya Yaris mengakhiri kevakuman Persib menyumbang pemain untuk timnas sejak pensiunnya Robby Darwis usai SEA Games 1997. Yaris bersama Imam Riyadi menyambung tradisi itu tahun 2000. “ Alhamdulillah sedari tahun 2000 sampai 2005 di timnas. Tentu bangga sekali karena setiap pemain kan mimpinya ke sana ya (membela timnas),” tutur Yaris . Sebagaimana dengan Persib, Yaris menuai sukses di debutnya dengan timnas. Indonesia berhasil menjuarai Piala Kemerdekaan 2000. Pahit Gelar juara di Piala Kemerdekaan itu sayangnya jadi satu-satunya prestasi termanis Yaris bersama timnas. Di Piala Asia 2000, Piala Tiger (kini Piala AFF) 2000 dan 2002 timnas gagal juara. Kekalahan-kekalahan itu jadi pengalaman tersendiri bagi Yaris. Terlebih, kekalahan di final Piala Tiger 2002, menjadi pengalaman terpahit baginya. Di partai puncak dengan dukungan sekira 100 ribu suporter di Stadion Gelora Bung Karno, 29 Desember 2002 itu, Yaris sempat mendongkrak asa Indonesia yang tertinggal dua gol dari Thailand. Di menit 46, Yaris menyumbang satu gol. Gol Gendut Doni kemudian memperpanjang nafas Indonesia hingga adu penalti. Sayang, Indonesia akhirnya kalah 2-4.“Sedih bukan main. Apalagi Yaris juga sempat bikin gol,” ujar Yaris mengenang. Di klub, Yaris dan rekan-rekannya juga terpukul ketika Persib gagal lolos ke semifinal Liga Indonesia 2001. Mereka kalah 0-1 dari Persebaya Surabaya di laga terakhir Grup A babak 8 besar di Medan. “Padahal kalau seri saja, kita masuk semifinal. Saya juga baru berapa menit main, sudah harus ditandu keluar (karena cedera). Waktu itu dihajar (dilanggar) sama Mursyid Effendi. Saya membelakangi lawan, bola belum datang, saya sudah dihajar. Ya kecewa karena enggak bisa kasih yang terbaik. Tapi memang saya sudah enggak tahan. Biasanya kalau enggak sakit-sakit banget, saya maksain,” sambungnya. Itu jadi musim terakhir Yaris bisa tampil bareng idolanya. Yusuf Bachtiar pensiun setelah musim itu selesai. Yaris sendiri setelah berseragam Persib merantau ke Pelita Krakatau Steel, Persikab Bandung, PSIS Semarang, Bandung FC,dan terakhir di PSGC Ciamis.

  • Cantik Putih Masih Berkuasa

    PEREMPUAN berkebaya dan rambut bersanggul itu tersenyum lepas. Wajahnya menyiratkan kebahagiaan. Meski hanya karikatur, perempuan itu membawa pesan terselubung: kecantikan. Kecantikan bisa diwujudkan dengan menggunakan produk yang dipakainya. Konon, produk itu bisa menghaluskan kulit. Pesan itulah yang hendak disampaikan iklan bedak Purol yang dimuat Majalah Wanita terbitan 1957. Perempuan berkebaya dalam iklan produk kecantikan. Penggambaran sosok perempuan berkebaya yang berafiliasi dengan nilai budaya Jawa atau Indonesia, muncul dalam iklan sejak pra-kemerdekaan. Iklan-iklan semasa kolonial acap menampilkan sosok perempuan berkebaya. Namun, mereka jarang ditemukan dalam iklan produk kecantikan. Mereka lebih banyak muncul dalam iklan lampu, Post Telegram Telefon, atau mentega. Iklan produk sabun mandi di Pandji Poestaka tahun 1940 mewakili sedikit kemunculan perempuan berkebaya dalam promosi produk kecantikan. Dalam iklan itu, Mia menyarankan Roos, yang sama-sama berkebaya, untuk memakai produk tersebut. Namun, iklan itu memampang wajah aktris Hollywood Jean Arthur sebagai patron kecantikannya, bukan perempuan bumi putera. Pesannya, cantik itu seperti Jean yang ber-ras Kaukasia. Pasca-kemerdekaan, wacana kecantikan berubah. Bila sebelumnya wacana kecantikan diidentikkan dengan perempuan dari ras kaukasia, sosok perempuan berkebaya kemudian menggantikan. Perempuan berkebaya muncul dalam iklan berbagai produk kecantikan sebagai bagian dari pembentukan wacana kecantikan baru. Iklan bedak Purol di Wanita pada 1957, iklan perempuan berkebaya Sunsilk, dan keputusan Lux mengganti modelnya menjadi perempuan Indonesia pada akhir dekade 1950-an menandai perubahan itu. “Ketika kita mulai merdeka, gagasan tentang perempuan cantik berubah menajdi Indonesianwhitebeauty . Ketika pemerintahan berganti, penguasa berganti, gagasan kecantikannya juga berganti. Tapi tetap saja yang dianggap cantik yang kulitnya putih,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen kajian perempuan Universitas Hawaii, kepada Historia . Lebih jauh Ayu menjelaskan, selain usaha untuk menumbuhkan wacana kecantikan baru, era Sukarno yang anti-Barat juga berpengaruh pada wacana kecantikan yang berkembang di masa tersebut. Cantik versi Indonesia adalah perempuan Indonesia berkulit terang, biasanya disebutkan berkulit kuning langsat. Namun Ayu mengkritik wacana kecantikan yang digaungkan merujuk pada perempuan Jawa, bukan perempuan Ambon atau Papua yang kebanyakan berkulit lebih gelap. Pembentukan gagasan kecantikan tersebut masuk melalui afek atau emosi. Iklan produk kecantikan memancing afek dan perasaan suka pemirsa melalaui narasi dan model yang ditampilkan. “Menilai sesuatu itu cantik bukan sekadar melihat perempuan berkulit putih. Kecantikan itu bukan sesuatu yang kita lihat tapi yang kita rasakan. Jadi iklan-iklan itu membangun emosi dan kesuakaan pemirsanya,” kata Ayu. Memasuki zaman Soeharto, patron kecantikan kembali berubah. Kedekatan hubungan dengan Barat kembali membaik, khususnya di bidang ekonomi. Film-film Hollywood, majalah gaya busana, dan produk-produk Barat masuk ke Indonesia. Iklan-iklan pun menampilkan produk kecantikan yang menawarkan perawatan kelas dunia. Model-model dalam produk kecantikan ikut berubah menjadi perempuan Indonesia dengan wajah agak bule dan tentu yang berkulit terang. Ira Wibowo, misalnya, aktris keturunan Jawa-Jerman ini menjadi model sebuah sabun mandi pada 1986. Ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi pada 1997, penjualan produk pemutih kulit tak pernah mati. Para produsen menyiasatinya dengan membuat produk pemutih kemasan kecil dan beberapa produk perawatan kecantikan kemasan saset. Terobosan itu membuat kepentingan mereka yang berkantong cekak tapi ingin membeli produk yang konon bisa mempercantik diri bisa terakomodir. Sementara, larisnya produk kecantikan tersebut menjadi penanda masih kokohnya wacana bahwa cantik adalah putih. Wacana kecantikan ideal yang dikampanyekan terus-menerus sejak era kolonial membuatnya sulit ditumbangkan. Meski dewasa ini beberapa produk memasang model berkulit gelap, wacana cantik putih masih mendominasi. “Kalau hitam tidak pernah dibilang cantik, tapi dibilang manis. Kalau putih dia digambarkan cantik,” kata Ayu.

  • Pram Menemukan Minke

    Bumi Manusia , roman pertama dari tetralogi Pulau Buru karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, akan difilmkan Falcon Pictures dengan sutradara Hanung Bramantyo. Yang bikin heboh, tokoh utama dalam novel itu, Minke, diperankan aktor muda Iqbaal Ramadhan. Banyak yang mengatakan, Iqbaal kurang pas memerankan tokoh Minke. Minke merupakan anak pribumi cerdas yang hidup pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia adalah anak priyayi yang mendapat pendidikan Eropa di Hogere Burger School (HBS) Surabaya. Dia pandai menulis, dan karyanya kerap dipublikasikan di koran-koran zaman itu. Dalam Bumi Manusia, Minke dilukiskan sebagai pemuda revolusioner yang lantang melawan ketidakadilan terhadap bangsanya. Terinspirasi Tirto Minke merupakan representasi tokoh pergerakan nasional dan perintis pers nasional, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Sebelum Pram menulis Bumi Manusia (terbit pertama kali 1980) dan Sang Pemula (terbit pertama kali 1985), nama Tirto seakan tenggelam dan luput dari perhatian sejarawan. Bahkan sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (terbit pertama kali 1981) tidak memberikan perhatian khusus kepada sosok Tirto. Namun, Tirto lah yang mengilhami Pram menulis tetralogi: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Menurut Koh Young Hun, guru besar pada Hankuk University, Korea Selatan, Pram terinspirasi Tirto lantaran ingin menafsirkan kembali kebangkitan nasional Indonesia. Sebagai seorang wartawan, Tirto pernah menerbitkan suratkabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan Putri Hindia (1908). Selain jurnalis, Tirto merupakan salah satu tokoh pendiri Syarikat Priyayi (1906), yang dianggap Pram sebagai organisasi modern pribumi pertama. “Banyak orang berpendapat, Budi Utomo yang memprakarsai gerakan nasional. Namun, menurut Pram, justru Syarikat Priyayi lah yang dapat dikatakan pelopor,” kata Young Hun kepada Historia. Dalam bukunya Pramoedya Menggugat, Young Hun menulis bahwa Syarikat Priyayi dan Syarikat Dagang Islam, yang sama-sama dirintis tokoh Minke, merupakan organisasi modern pribumi bercorak nasional. Young Hun menulis, dalam segi wawasan dan semangat, Syarikat Priyayi lebih maju daripada Budi Utomo. “Syarikat Priyayi memakai bahasa Melayu dan keanggotaannya tidak terbatas pada suku Jawa dan Madura saja,” tulis Young Hun. Menemukan Tirto Menurut A Teeuw dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer, semangat Pram melakukan penelitian sejarah tentang zaman permulaan nasionalisme Indonesia sudah dimulai sejak 1956. Nama Tirto ditemukan ketika Pram menjadi pengajar di Jurusan Sejarah, Universitas Res Publica, pada 1962. Dalam sebuah wawancara dengan Andre Vltchek dan Rossie Indira yang dipublikasikan menjadi buku Saya Terbakar Amarah Sendirian! , Pram mengemukakan, dia sudah punya konsep roman tetralogi dan berniat menulisnya sebelum diasingkan ke Pulau Buru. Pram menulis empat karya legendarisnya itu berdasarkan kertas kerja (kliping koran) yang sebagian dikerjakan mahasiswa-mahasiswanya di Universitas Res Publica. Sewaktu mengajar, Pram meminta para mahasiswanya untuk mempelajari suratkabar dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, dan membuat kertas kerja setiap era di dalam sejarah. “Naskah kerja inilah yang memberikan ide untuk konsep serial novel saya Tetralogi Buru. Dengan menggunakan kertas kerja mahasiswa saya tersebut, saya juga bisa menulis buku Sang Pemula ,” kata Pram. Dari kliping-kliping koran itu pula Pram menemukan koran Medan Prijaji. Di koran tersebut, menurut buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, dia menemukan sebuah nama yang nyaris dilupakan: Tirto Adhi Soerjo. Dari sini kemudian Tirto direpresentasikan Pram menjadi Minke, anak priyayi yang berani. Young Hun mengingatkan bahwa memahami tokoh Minke secara menyeluruh tak cukup hanya membandingkannya dengan tokoh Tirto Adhi Soerjo. Perbandingan itu harus dilengkapi dengan tokoh sejarah lainnya, yakni Pramoedya Ananta Toer sendiri. “Ketiganya memiliki sejumlah kemiripan: orang Jawa lahir di Blora, hidup berkarier di Betawi, bersikap tegar, pemberani, nasionalis, pembela rakyat kecil, berkali-kali dihukum oleh penguasa, penulis produktif, dan lain-lain,” tulis Young Hun .

  • Kala Tentara Menguasai Negara

    UNDANG-Undang Terorisme akhirnya rampung. Dalam sidang paripurna yang digelar pada 25 Mei 2018, DPR mengesahkan revisi UU Antiterorisme. Perdebatan panjang membuat UU ini sempat mengendap sekian lama. Beberapa pasal menjadi sorotan. Salah satunya pasal 43 ayat 1 dan 2 yang mengatur keterlibatan peran TNI. Sebagian kalangan, terutama dari Komnas HAM mengkhawatirkan bila keterlibatan militer akan memasuki domain sipil.   Dalam sejarahnya, militer memang pernah berkuasa dalam kehidupan bernegara. Berdirinya sejumlah dewan daerah yang menentang pemerintah pusat itu jadi momentum supremasi militer. Pada akhir 1956, di Sumatera berdiri Dewan Banteng pimpinan Letkol Ahmad Husein; Dewan Gajah pimpinan Kolonel Maludin Simbolon; Dewan Garuda  pimpinan Letkol Barlian. Di Sulawesi Utara Letkol Ventje Sumual mengumumkan piagam Perjuangan Semesta (Permesta) pada 2 Maret 1957 yang memberlakukan pemerintahan militer di daerah itu. Kelak, gerakan oposisi ini membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Tak sanggup mengatasi kemelut di daerah bergolak, Kabinet Ali mengembalikan mandatnya. Presiden Sukarno kembali memegang kekuasaan negara dibantu Kepala Staf Angkatan Darat, Letjen TNI Abdul Haris Nasution. “Tapi saya perlukan berlakunya UU Bahaya (SOB) agar dibolehkan bertindak menjaga keamanan negara secara menyeluruh,” ungkap Nasution dalam memornya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua . SOB  ( Staat van Oorlog en Beleg ) yang dimaksud Nasution adalah peraturan yang menentukan keadaan darurat dan perang. Ditetapkan sejak zaman kolonial Belanda pada 1939 dan tetap berlaku setelah pengakuan kedaulatan. Sukarno menyetujui usulan Nasution. Dia tetap memangku kekuasan tertinggi selaku Penguasa Perang Tertinggi (Peperti), sementara Nasution merangkap Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dan panglima militer di daerah menjadi Penguasa Perang Daerah (Peperda). Dengan SOB, tentara punya legitimasi melakukan tindakan yang dianggap penting atas nama keamanan dan ketertiban negara.   Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya, SOB adalah suatu keputusan yang sebenarnya muncul atas desakan Nasution. Ia memperhitungkan, Sukarno yang bergaya penguasa tunggal itu nantinya bisa dikontrol oleh tentara. Dengan demikian, kesempatan bagi Angkatan Darat untuk tampil di tampuk pemerintahan terbuka lebar. “Gaya kepemimpinan penguasa tunggal membuat Bung Karno kurang memperhatikan motivasi Nasution ini,” tulis Baskara dalam Bung Karno Menggugat. Keadaan berbahaya memberi ruang bagi militer menumpas gerakan PRRI dan Permesta lewat serangkaian operasi militer. Pun demikian halnya dengan perjuangan Irian Barat. Modernisasi angkatan perang hingga mobilisasi umum tak lepas dari pemberlakuan SOB. Namun lamban laun, otoritas tentara kian meluas. Mereka dapat menangkap para oposisi atau orang yang dianggap koruptor, mengampu jabatan sipil, hingga menertibkan pers. Tak lagi berkutat soal pertahanan negara, melainkan merambah ke bidang politik dan ekonomi. Pada September 1958, Nasution mengumumkan pembekuan Partai Masjumi di daerah-daerah yang mendukung PRRI dan Permesta. Pembekuan tersebut diikuti dengan penangkapan terhadap tokoh-tokoh partai bersangkutan. Perkara finansial, militer juga memperoleh tempat yang empuk setelah banyak perwira AD yang melibatkan diri dalam kebijakan nasionalisasi perusahaan Belanda. ”Kurangnya pengalaman dan keahlian pada sebagian besar perwira yang mengelola berbagai perkebunan dan perusahaan menjadi salah satu sebab timbulnya miss management dan turunnya produktivitas,” tulis Hariyono dalam disertasinya berjudul “Keadaan Bahaya di Indonesia (1957--1963) di Universitas Indonesia. “Penguasa perang yang ditahun 1957 sangat tegas terhadap tindak korupsi sejak tahun 1958 cenderung permisif dan kurang berdaya dalam menertibkan perwira militer yang terlibat dalam tindak korupsi. Keterlibatan peran tentara di sektor ekonomi tak lepas dari gagasan Nasution tentang “Jalan Tengah” yang didengungkan tahun 1958. Nasution dengan konsepnya tersebut mempersiapkan tentara untuk berperan ganda: sebagai kekuatan militer dan sebagai kekuatan sosial-politik. Doktrin inilah yang kelak dikembangkan menjadi Dwi Fungsi ABRI. Keadaan bahaya di Indonesia baru berakhir pada 1 Mei 1963, tepat ketika Irian Barat resmi menjadi bagian kekuaan Republik. Situasi baru ini secara perlahan mulai mengurangi peran militer dalam pemerintahan. Para panglima menyerahkan kepada gubernur kekuasaan dan wewenang penyelenggara keamanan di masing-masing daerah. Berlakulah lagi keadaan tertib sipil. Kendati demikian, sebagaimana dicatat Rosihan Anwar dalam Sukarno Tentara PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961—1965 ,  hapusnya SOB tidaklah berarti kembali menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kendati benar-benar dicabut, menurut Haryono keterlibatan militer di luar bidang pertahanan sudah melembaga. “Sehingga tak terlalu berpengaruh terhadap tatanan kehidupan politik dan ekonomi yang ada.”*

  • Lima Pemeran Utama yang Dipersoalkan

    BUMI Manusia , bagian pertama dari novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang terbit pada 1980, bakal naik ke layar lebar. Kontroversi dan polemik terkait pemeran utama Minke alias Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, tokoh utama novel itu, langsung mengiringinya karena Minke akan diperankan aktor muda Iqbaal Ramadhan. Mantan pentolan boyband Coboy Junior itu jadi idola banyak remaja zaman now berkat aktingnya di film Dilan 1990. Sontak, banyak pemuja karya Pram misuh-misuh soal casting- nya. Iqbaal dianggap sama sekali tak pantas memerankan Minke, yang dalam novel digambarkan sebagai pemuda bumiputera dengan tampang berstandar di bawah rata-rata. Beberapa pemrotes mengkhawatirkan karakter Dilan akan terbawa Iqbaal saat memerankan Minke. Beberapa lainnya bahkan nyinyir bahwa temanya akan cenderung berfokus pada hubungan percintaan Minke dengan Anneliese lantaran yang garap film itu Hanung Bramantyo. Ada pula yang bilang, Iqbaal digebet demi strategi marketing. Namun, protes seperti itu lumrah dalam dunia perfilman. Hollywood pernah beberapa kali mengalami. Berikut lima aktor/aktris pemeran karakter novel maupun tokoh sejarah yang terusik kontroversi sebelum naik tayang: Johnny Depp sebagai Tonto Johnny Depp memerankan Tonto dalam The Lone Ranger/Foto: npr.org “The Lone Ranger”, serial radio yang melegenda sejak 1930-an di Amerika Serikat, digarap sutradara Gore Verbinski jadi layar lebar pada 2013 dengan dua tokoh sentral John Reid sang “Texas Ranger” bertopeng diperankan Armie Hammer dan pasangannya Tonto, si Indian suku Comanche, diperankan Johnny Depp. Karakter terakhir ini sempat dipersoalkan banyak pihak. Isu utamanya adalah soal pemilihan Depp sebagai Tonto yang dianggap cenderung rasis karena tak memilih aktor orang Indian. Namun dalam wawancaranya dengan National Post , 27 Juni 2013, Depp mengaku masih punya darah Indian dari garis nenek buyutnya. “Saya juga ingin memerankan Tonto bukan sebagai pemeran pembantu. Karena dulu suku asli Indian selalu diperlakukan buruk oleh Hollywood. Saya perankan Tonto sebagai petarung dengan integritas dan martabat,” terang Depp. Daniel Craig sebagai James Bond Daniel Craig jadi aktor ketujuh pemeran James Bond dan memulai debutnya dalam Casino Royale/Foto: tivolivredenburg.nl Sejak naik ke layar lebar pada 1962, serial novel James Bond karya Ian Fleming sudah punya tujuh aktor yang memerankannya. Namun, baru pada 2005 protes keras soal pemilihan aktor utamanya ada, kala Casino Royale (tayang 2006) dicanangkan. Pasalnya, PH Eon Productions memilih Daniel Craig sebagai aktor utama. Publik menganggap Craig tak pantas memerankan Bond. Sejumlah kampanye anti-Bond sampai mengorbit setelah itu. Para fans yang tak terima mengancam memboikot Casino Royale , hingga membuat situs craignotbond.com . “Eon Productions membuat marah fans seluruh dunia saat mereka memecat Pierce Brosnan saat sedang tenar memerankan Bond. Kami lebih terhina Eon memilih aktor pendek berambut pirang dengan tampang aneh, Daniel Craig,” ungkap situs tersebut. Pun begitu, nyatanya film tersebut meledak di pasaran. Pendapatan kotornya nyaris 600 juta dolar Amerika dan sempat jadi film Bond dengan keuntungan terbesar sebelum (2012) yang lagi-lagi diperankan Craig. Para fans yang khilaf pun “tobat” dan menutup situs anti-Craig itu. Zoe Saldana sebagai Nina Simone Zoe Saldana (kiri) yang berdarah Dominika dan Puerto Rico dianggap tak pantas perankan Nina Simone (kanan) di film "Nina"/Foto: Caption Youtube Nina Simone, legenda jazz berkulit hitam Amerika yang merentang kiprahnya sejak 1950-an, saat publik Negeri Paman Sam belum ramah bagi kaum Afro. Lewat musik, perempuan bernama lahir Eunice Kathleen Waymon itu lantang menyuarakan anti-diskriminasi. Pada 2016, kisah Nina diangkat ke layar lebar dengan judul Nina dan digarap sutradara Cynthia Mort. Sayang, sejak pemilihan pemeran Nina yang jatuh kepada Zoe Saldana, kecaman berdatangan. Salah satunya dari Simone Kelly, putri Nina yang tak terima ibunya diperankan Zoe Saldana lantaran bukan perempuan Afro berkulit legam. “Ibu saya hidungnya lebar dan kulitnya sangat gelap. Jelas melihat penampilannya (Saldana), dia bukan pilihan terbaik,” kata Simone, dikutip The New York Times , 4 Maret 2016. Meski kemudian produksinya terus jalan, pada akhirnya filmnya gagal sukses. Marlon Brando sebagai Don Corleone Marlon Brando sukses besar perankan Don Corleone di film legendaris "The Godfather"/Foto: marlonbrando.com The Godfather karangan Mario Puzo jadi satu dari sedikit novel kriminal tersukses di Amerika sejak terbit 1969. Sineas Francis Ford Coppola mengangkatnya ke layar lebar dengan judul serupa pada 1972 dan memilih Marlon Brando untuk memerankan dedengkot mafia Don (Vito) Corleone. Pemilihan Brando sempat jadi polemik antara Coppola dan para petinggi Paramount Pictures. Paramount kurang sreg dengan Brando. Paramount menawarkan beberapa alternatif, mulai dari Laurence Olivier, Ernest Borgnine, hingga Anthony Quinn. Tapi Coppola ngotot ingin tokoh Don Corleone tetap dimainkan Brando sebagaimana dia kekeuh tokoh Michael Corleone diperankan Al Pacino. “Perang soal casting untuk keluarga mafia Corleone lebih gencar dari pertempuran keluarga Corleone saat syuting,” ungkap Robert Evans, salah satu bos Paramount, dalam memoar berjudul The Kid Stays in the Picture . Brando dan Pacino akhirnya tetap bermain di film itu dan hingga kini The Godfather jadi salah satu film Hollywood terbaik sepanjang masa. Ben Affleck sebagai Batman/Bruce Wayne Dalam "Batman vs Superman", tokoh jagoan Batman diperankan Ben Affleck, sebagaimana sequelnya, "Justice League"/Foto: Caption Youtube Dipilihnya Ben Affleck sebagai pemeran superhero Batman ber-alter ego Bruce Wayne menuai protes dari para fans si “Manusia Kelelawar” yang pertama kali eksis di komik Maret 1939 itu. Sekira 30 petisi sampai muncul di situs change.org pada 2013 dengan satu tujuan: mengenyahkan Affleck dari proyek Batman v Superman: Dawn of Justice yang lantas rilis pada 2016. Sempat pula ada petisi yang sampai ditujukan ke Gedung Putih. Petisi “We The People” itu lewat sistem White House Petition meminta pemerintahan Barack Obama melarang Ben Affleck memerankan Batman atau karakter superhero lain dalam 200 tahun ke depan. Namun, film itu pada akhirnya lumayan sukses hingga Affleck kembali memerankan Batman dalam Justice League (2017).

  • Operasi Bersama Gempur Sumatera

    Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) akan diaktifkan kembali untuk menanggulangi aksi teror. Pengerahan pasukan super elite dari tiga matra ini telah mendapat persetujuan dari Komisi I DPR. Menurut Panglima TNI Marsekal Hadi Thajanto, pihaknya masih menanti Peraturan Pemerintah (PP) sebagai payung hukum keberadaan Koopsusgab. Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui wakil duta besarnya, Erin Mckee menawarkan bantuan untuk mengungkap dalang aksi terorisme.            Kondisi yang persis serupa juga pernah terjadi di masa lalu. Kala itu pemerintah Indonesia tengah dipusingkan dengan gerakan oposisi PRRI. PRRI melibatkan beberapa panglima daerah di Sumatera yang menentang kebijakan pemerintah pusat. Mereka antara lain Kolonel Maludin Simbolon, panglima di Sumatera Utara, Letkol Ahmad Husein, panglima di Sumatera Barat, dan Letkol Barlian di Sumatera Selatan. Untuk menindaknya, TNI menggelar operasi militer dengan sandi “Tegas” meliputi wilayah operasi di Riau pada Maret 1958. “Operasi Tegas untuk merebut daerah perminyakan Riau, yang merupakan sasaran yang diperhitungkan bagi ‘intevensi’ Amerika Serikat,” ujar Abdul Haris Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua . Dalam Operasi Tegas, Nasution yang berpangkat mayor jenderal berkedudukan sebagai ketua Gabungan Kepala Staf (GKS).   Meski PRRI memiliki basis terkuat di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, penunjukan Riau sebagai sasaran dinilai tepat. Pasalnya, posisi Riau cukup strategis karena berbatasan dengan jalur lalu lintas laut internasional. Menguasai Riau akan menutup kemungkinan pemberontak melarikan diri melalui selat Malaka. Selain itu Caltex (perusahaan minyak raksasa multi nasional asal Amerika Serikat), telah lama beroperasi di Riau. Duta Besar AS Howard Jones didampingi pejabat tinggi Caltex menemui Perdana Menteri Juanda di Jakarta. Kedua tamu ini khawatir keselamatan warga dan investasi Amerika di Riau. Mereka mengisyaratkan ancaman. Armada Laut AS yang berpangkalan di Pasifik dan kesatuan militer Inggris di Singapura bersiaga di perairan Riau. Pasukan marinir AS akan diturunkan bila pemerintah Indonesia tak mampu mengamankan wilayahnya. Dini hari, 12 Maret 1958, Operasi Tegas dilancarkan. Operasi ini tergolong skala besar karena melibatkan kekuatan inti dari semua angkatan: AD, AL, AU, termasuk Kepolisian. Sebagian besar armada laut dan pesawat terbang dikerahkan. Komandan operasi ialah Letkol (AD) Kaharudin Nasution,Wakil I Letkol (AU) Wiriadinata, dan Wakil II Mayor (AL) Indra Subagyo. Nasution menggambarkan betapa besarnya kekuatan operasi militer gabungan itu. “Belum pernah saya melihat pesawat berkumpul sekian banyaknya. Dakota-Dakota GIA berjajar rapat sepanjang lapangan beserta pesawat tempur AURI Mustang, B-25 dan lain-lain,” kenang Nas. Selain pasukan reguler, pasukan elite masing-masing matra dikerahkan. Satu kompi RPKAD (kini Kopassus), dua kompi Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas AU), dan Korps Komando (KKO) AL. Dalam operasi di Riau, satuan-satuan Brimob diturutsertakan di bawah pimpinan Komisaris Polisi Sutjipto Danukusumo. Penerjunan dan pendaratan pasukan diberangkatkan dari Tanjung Pinang, ibukota Riau Kepulauan. Uniknya, selama operasi bahasa penerbangan yang lazim dipakai, yakni bahasa Inggris ditiadakan. Semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Jawa. Alasannya untuk mencegah pasukan Inggris di Singapura dan armada AS menyadap kode-kode gerakan pasukan Indonesia. Komando Kangguru yang terdiri dari pasukan PGT dan RPKAD melakukan penerjunan untuk menduduki lapangan terbang dan kota Pekanbaru. Dalam Operasi-operasi Gabungan terhadap PRRI-Permesta , Makmun Salim mencatat pukul 07.00 lapangan udara Simpangtiga sepenuhnya dapat dikuasai oleh TNI. Menyusul kemudian kota Pekanbaru yang sudah dalam kendali TNI dalam waktu singkat. “Para pemberontak malahan banyak yang menyerah lengkap dengan semua persenjataannya. Sebelum, selama atau sesudah sebentar saja melawan serbuan pasukan ABRI,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan . Pasukan RPKAD dari komando Kangguru pimpinan Letnan II Benny Moerdani, menyita sekira 80 truk yang ditinggalkan di landasan lapangan terbang. Setelah digeledah, truk-truk tadi membuat kebutuhan logistik berupa persenjataan dan uang. Perbekalan asing itu terdiri dari senapan laras panjang Garand , Springfield , Recoilless , dan Bazooka buatan Amerika. Diketahui kemudian senjata-senjata mutakhir tadi berasal dari AS lewat para agen CIA. Seorang perwira menengah musuh berpangkat kapten tertawan oleh pasukan Benny. Menurut pengakuan kapten tersebut, pasukan pemberontak lengah karena mengira pasukan penerjunan TNI merupakan rangkaian kiriman logistik untuk menyokong pemberontakan. Semula diperkirakan, andaikan Pekanbaru memang tak bisa lagi dipertahankan, para pemberontak harus meledakkan sejumlah ladang minyak setempat milik Caltex. “Aksi bumi hangus ini diperkirakan bakal segera memancing datangnya campur tangan asing. Harapan muluk tadi ternyata tidak terwujud,” tulis Julius Pour.

  • Bumi Manusia dalam Film

    Bumi Manusia , novel pertama dari Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, diangkat ke layar lebar. Film ini disutradarai Hanung Bramantyo, naskah skenario oleh Salman Aristo, dan diproduksi Falcon Picture. Film ini tayang di bioskop mulai 15 Agustus 2019. Rencana pembuatan film itu sempat menimbulkan kegaduhan nasional. Banyak orang seakan tak rela mahakarya Pramoedya itu disutradarai oleh Hanung. Apalagi tokoh utama dalam Bumi Manusia , yaitu Minke, diperankan oleh Iqbaal Ramadhan yang namanya melambung setelah memerankan film Dilan 1990 . Hanung memang beberapa kali membuat film sejarah, seperti Sang Pencerah (KH Ahmad Dahlan, 2010), Soekarno (2013), dan RA Kartini (2016). Namun, karya-karyanya itu menuai kritikan, bahkan film terakhirnya, Benyamin Biang Kerok, diprotes masyarakat Betawi. Film-filmnya yang lain juga memicu kontroversi. Namun, Hanung tak jera. Menurut laporan tempo.co , niat Hanung memfilmkan Bumi Manusia  disampaikan langsung kepada Pramoedya, namun ditolak. Pramoedya juga menolak permintaan sutradara Oliver Stone. Kesempatan datang pada 2008 setelah Hanung merampungkan film  Ayat-ayat Cinta. Seorang teman, yang tak disebutkan namanya, menawarinya memfilmkan Bumi Manusia . Namun, Salman Aristo belum berani menulis skenarionya. Akhirnya, pada 2018, Hanung resmi mengumumkan akan memfilmkan Bumi Manusia . Salman Aristo sanggup menulis skenarionya karena mengaku hampir membaca semua karya Pramoedya. Selain Hanung, ada dua sutradara yang berniat memfilmkan Bumi Manusia,  namun gagal. Sebelumnya, Hanung telah memasukan Bumi Manusia dalam filmnya, Perempuan Berkalung Sorban (2009) ,  yang diangkat dari novel karya Abidah El Khalieqy. Dalam Identitas dan Kenikmatan,  Ariel Heriyanto menyebut Perempuan Berkalung Sorban menyodorkan kritik keras terhadap sisi-sisi gelap patriarki yang masih berlangsung dalam komunitas Muslim di Indonesia. Dalam film ini, nyaris semua laki-laki Muslim termasuk yang poligami, bersifat egois, irasional, picik, intoleran, korup, dan menindas dengan kekerasan. Para kritikus pun menafsirkan minimnya lelaki yang bisa menjadi panutan dalam film itu sebagai serangan yang disengaja terhadap petinggi Muslim dan karenanya terhadap Islam itu sendiri, ketimbang serangan secara umum terhadap patriarki. “Yang paling menyakitkan dari semuanya, para tokoh perempuan yang menjadi korban mendapat pencerahan dan jalan keluar dari novel Bumi Manusia ,” tulis Ariel. Dengan demikian, menurut Ariel, Perempuan Berkalung Sorban merupakan film panjang bioskop pertama yang menampilkan Bumi Manusia di layar lebar kepada penonton Indonesia. Novel itu muncul dalam sekurangnya lima adegan, termasuk ketika tokoh utama membaca dan menentengnya. Juga ada satu adegan, yang tak ada di novelnya, yang menggambarkan sejumlah guru lelaki di pesantren menyita buku-buku Pramoedya dan membakarnya beserta beberapa buku lain yang dianggap berbahaya. Faktanya memang Pramoedya dan novel-novelnya dianggap berbahaya oleh rezim Orde Baru sehingga dilarang dan dibakar. Yang memiliki dan mendiskusikannya ditangkap dan ditahan. Pada 31 Oktober 1981, Kejaksaan Agung membantah telah membakar 10.000 eksemplar Bumi Manusia dan lanjutannya, Anak Semua Bangsa, namunmengaku hanya membakar 972 eksemplar. Menurut Ariel, orang-orang yang mengkritik film itu membantah dengan mengatakan adegan membakar buku tidak realistis dan menampilkan stereotif yang tak adil terhadap Muslim. Menurut mereka, sekonyol-konyolnya orang di pesantren tak akan ada yang sampai membakar buku. Kini, Hanung berhasil memfilmkan Bumi Manusia yang telah diimpikannya sejak lama. Apakah akan menuai kritikan? Hanung sudah akrab dengan hal itu.

bottom of page