Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Lima Pemberontakan Penjara Paling Berdarah
KERUSUHAN tahanan teroris di Rumah Tahanan Markas Komando (Mako) Brimob Polri, Kelapa Dua, Selasa (8/5/2018) malam menggegerkan publik dalam negeri dan sejumlah media asing. Lima personil polisi dan satu tahanan tewas dalam insiden berdarah yang baru berakhir Rabu (9/5/2018) pagi itu. Menurut kabar, kelompok teroris ISIS mengklaim jadi dalang kerusuhan tersebut. Laman Voice of America Indonesia yang melansir Amaq (media yang berafiliasi dengan ISIS) mengungkapkan, ini jadi aksi teror lanjutan pasca-tragedi bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, Mei 2017. Menurut keterangan Humas Polri, penyebab kerusuhan diduga berasal dari titipan makanan untuk salah satu tahanan ditahan petugas. Ketidakterimaan si tahanan lalu memicu konflik. Kerusuhan teredam dengan korban jiwa, sebagaimana ratusan insiden serupa di masa lalu yang terjadi di berbagai penjuru bumi. Berikut lima insiden serupa paling brutal: Kamp Gulag Kengir (Uni Soviet, kini Kazakhstan) Para tahanan di Kamp Gulag Kengir (Foto: Kaunas 9th Fort Museum) Sejumlah gulag atau kamp kerja paksa Uni Soviet bergolak kala kepala NKVD (polisi rahasia Soviet) Lavrentiy Beria ditangkap Rezim Bulganin-Khrushchev pasca-kematian Joseph Stalin. Pemberontakan terbesar terjadi di Kamp Gulag Kengir. Kamp itu sampai berhasil dikuasai ribuan tahanan pimpinan mantan letkol Kapiton Kuznetsov sejak 16 Mei hingga 26 Juni 1954. Menurut Aleksandr Solzhenitsyn dalam The Gulag Archipelago , Kuznetsov memimpin 5.200 tahanan gabungan (napi kriminal dan politik) untuk melumpuhkan para penjaga dengan senjata seadanya, macam tongkat hingga katapel. Para penjaga yang berhasil melarikan diri meminta bantuan Tentara Merah. Dengan kekuatan 1700 personil didukung lima tank T-34 Tentara Merah langsung menyerbu kamp dan melumpuhkan para tahanan. Otoritas resmi menyebut hanya 37 tahanan yang tewas dan 40 prajurit Tentara Merah terluka. Namun menurut sejumlah sumber lain, jumlah tahanan tewas lebih besar, antara 500-700 jiwa, dan 106 lain terluka. Jumlah itu di luar para tahanan yang meninggal karena luka atau dieksekusi setelah kamp kembali dikuasai Tentara Merah. Penjara New Mexico (Amerika Serikat) Sisa-sisa kebrutalan pada kerusuhan Penjara New Mexico (Foto: newmexicohistory.org) Selama dua hari sejak 2 Februari 1980, Penjara New Mexico membara. Para tahanan memberontak dan sempat menyandera para sipir. Roger Morris dalam The Devil’s Buther Shop: The New Mexico Prison Uprising menyebutkan, korban jiwa mencapai 33 orang dan 200 lainnya luka-luka. “Penyebab kerusuhan mudah ditebak, berdasarkan penilaian kondisi penjara,” sebut Morris. Penjara itu sedianya hanya bisa menampung 900 tahanan, faktanya saat kejadianjumlah tahananmencapai 1.136 orang. Selain soal kapasitas, menurut Mark Colvin dalam The 1980 New Mexico Prison Riot , faktor lain penyebab kerusuhan adalah dihapuskannya program pendidikan, rekreasi, dan sejumlah program rehabilitasi lain yang pada 1970-1975 berjalan lancar. Kerusuhan ini jadi salah satu kerusuhan penjara paling brutal dalam sejarah Amerika. Para tahanan dalam beberapa kubu saling bunuh dengan cara keji, mulai dimutilasi hingga bakar hidup-hidup. Para sipir yang disandera juga disiksa. Beberapa dari mereka diperkosa walau tak dibunuh. Pihak lapas meminta bantuan pasukan Kepolisian Santa Fe bersenjata berat. Gubernur Negara Bagian New Mexico Bruce King bahkan mendatangkan pasukan Garda Nasional. Walau negosiasi berjalan alot, para sipir yang disandera dilepaskan para tahanan. Pada negosiasi kedua, para tahanan didesak untuk menyerahkan kendali lapas dengan janji takkan ada konsesi buat para tahanan. Penjara Lurigancho, Santa Monica dan El Fronton (Peru) Militer Peru meredakan kerusuhan di tiga penjara tahanan politik dengan tindakan brutal (Foto: International League of People's Struggles) Berbarengan dengan dihelatnya Kongres Internasional Sosialis di Peru, Juni 1986, kerusuhan pecah di tiga penjara: San Juan de Lurigancho, Santa Monica, dan El Fronton. Selain mengambilalih kendali penjara, para napi menyandera tiga sipir dan tiga wartawan yang meliput. Kerusuhan diduga terkait dengan konflik politik internal Peru. Indikator untuk itu antara lain tuntutan para napi dalam negosiasi. Mereka minta pembebasan 500 tahanan politik Shining Path (Partai Komunis Peru) yang dicap teroris oleh pemerintahan Presiden Alan Garcia. Lantaran negosiasi menemui jalan buntu, pemerintah mengerahkan Angkatan Darat dan Angkatan Laut disokong Garda Republik untuk merebut kembali kendali penjara. Petang 18 Juni, pasukan Garda Republik mendobrak masuk Penjara Wanita Santa Monica untuk membebaskan para sandera. Beberapa jam kemudian, 19 Juni dinihari, giliran pasukan AL menyerbu Penjara El Fronton. Adapun Penjara Lurigancho diserang pasukan gabungan Angkatan Darat dan Garda Republik. Menurut telegram laporan yang diterima Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, 124 tahanan tewas dalam penyerangan itu dan 100 lain tewas dieksekusi pasca-penyerangan. Laporan Joanna Weschler dari Human Rights Watch pada 1993, The Human Rights Watch Global Report on Prisons , menyebutkan total 224 tahanan politik di tiga penjara tewas akibat represi militer Peru selama dua hari, 18-19 Juni 1986. Penjara Carandiru (Brasil) Para napi yang diamankan pasukan Policia Militar do Estado de Sao Paulo dan diyakini, mereka dihabisi dengan cara eksekusi (Foto: Refuge Network International) Hanya gara-gara keributan dari sebuah permainan sepakbola, lebih dari 100 nyawa tahanan Penjara Carandiru, Sao Paulo, Brasil, melayang pada 2 Oktober 1992. Dua kelompok tahanan saling serang usai main bola di fasilitas olahraga penjara sekitar pukul 13.30. Kerusuhan meluas hingga melibatkan nyaris seluruh tahanan yang berjumlah 2.069 orang. Suratkabar The New York Times , 4 Oktober 1992, memberitakan penjaga lapas kehilangan kendali keamanan sampai harus minta bantuan pasukan polisi militer Sao Paulo. Pasukan polisi militer dengan cepat meredakan kerusuhan. Tapi yang terjadi kemudian, justru pembantaian. Ratusan tahanan yang diciduk langsung dihabisi oleh pasukan. Laporan Amnesty International bernomor AMR/19/008/1993 pada 30 April 1993 menyatakan, total 111 tahanan tewas. Dari hasil pemeriksaan pasca-insiden, terdapat 515 proyektil peluru ditemukan di wajah, kepala, tenggorokan, dan dada para tahanan yang tidak hanya pelaku kerusuhan namun juga saksi penembakan itu sendiri. Kasusnya itu sempat menggegerkan dunia lantaran dianggap pelanggaran HAM berat. Namun baru pada April 2013-April 2014, 63 personel polisi militer pelaku pembantaian disidang dengan tuntutan mencengangkan, antara 156 sampai 624 tahun penjara. Pada 2016, hakim justru membebaskan mereka dengan alasan tindakan para polisi militer itu upaya membela diri. Penjara Anisio Jobim, Monte Cristo dan Roraima (Brasil) Para tahanan kriminal di Brasil saling serang sebelum dijinakkan kepolisian (Foto: Youtube) Januari 2017 jadi bulan berdarah di tiga penjara Brasil, Penjara Anisio Jobim di Amazonas, Penjara Monte Cristo di Boa Vista, dan penjara Roraima. Perang antar-geng –di bawah kartel narkoba Primeiro Comanda dan Capital (PCC) dan Familia do Norte (FDN) yang disokong Comando Vermelho (CV)– menjadi penyebab kerusuhan itu. CNN melaporkan pada 3 Januari 2017, kerusuhan antar-kelompok tahanan itu menewaskan 56 tahanan di Penjara Anisio Jobim. Semua korban tewas dalam keadaan kepala terpenggal. Lima hari berselang, kerusuhan melanda Penjara Monte Cristo. Dengan korban 33 tahanan tewas, kerusuhan ini ditengarai merupakan balasan kelompok tahanan yang dibantai di Anisio Jobim. Kerusuhan merembet ke Penjara Roraima. Korban tewas mencapai 33 orang. Sekira 106 tahanan dilaporkan melarikan diri. Hingga Januari 2018 baru 29 di antara tahanan kabur itu yang berhasil ditangkap kembali. Tiga kerusuhan antar-geng di tiga penjara itu mengakibatkan lebih dari 140 tahanan tewas pada 1, 8, dan 24 Januari 2017. Jumlah korban luka-luka tak diketahui pasti.
- Reformasi atau Mati
KAMPUS Universitas Nasional Jakarta, Maret 1998. Di tengah teriakan yang bersanding dengan suara tembakan, Seta Basri menyeruak cepat ke barisan depan. Sambil mendorong beberapa kawannya yang asyik melempar batu ke arah Polisi Anti Huru Hara dan para prajurit dari Korps Marinir, ia berteriak agar kawan-kawannya kembali masuk kampus. “ Gua coba menenangkan kawan-kawan karena tak ada dalam rencana rapat aksi sebelumnya kita akan chaos dan berbenturan dengan aparat,” kenang dosen ilmu politik di sebuah kampus swasta tersebut. Tetiba bagian kiri perutnya terasa nyeri dan panas. Sebelum sadar bahwa dia tertembak peluru karet, tubuhnya pun menjadi lemas dan ambruk. Kawan-kawan Seta menjadi panik. Mereka kemudian menyeret tubuh kecil mahasiswa FISIP itu ke dalam kampus. “Pertempuran” pun berlangsung semakin seru dan tak terkendali. “Sejak 16 Januari sampai awal-awal Mei, kami sudah turun ke jalan memprotes kenaikan harga dan penurunan Harga (Harto Sekeluarga),” ujar Faizal Husein, eks Koordinator Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional (KM UNAS). Universitas Indonesia (UI) juga tak mau kalah. Setelah menumpahkan sekira 4000 mahasiswanya di flyover Kelapa Dua, Depok pada akhir Februari 1998, dua minggu kemudian mereka lantas mengutus 20 perwakilannya untuk pergi ke Gedung DPR/MPR. Di hadapan Fraksi ABRI, para ketua senat fakultas pimpinan Rama Pratama menolak secara tegas laporan pertanggungjawaban Presiden Soeharto dalam Sidang Umum MPR. Selain itu mereka pun menyodorkan agenda reformasi versi UI kepada para angggota DPR. “Saya ingat sekali, sebelum masuk ke ruangan rapat, satu persatu wajah kami direkam oleh seseorang yang memegang kamera video. Entah buat apa,” kenang Dede Suryadi, Ketua Senat Fakultas Sastra UI periode 1997-1998. Tidak hanya di Jakarta, aksi mahasiswa pun marak di Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Purwokerto, Jember dan kota-kota lainnya di Sumatera dan Sulawesi. “Tercatat antara April-Mei 1998, sekitar 600 mahasiswa dan 100 aparat terluka akibat bentrok yang terjadi antara dua pihak tersebut di kampus-kampus seluruh Indonesia,” tulis X-Pos edisi 16-22 Mei 1998. Krisis Ekonomi Badai krisis moneter yang terjadi pada 1997 menghantam semua lapisan masyarakat. Akibatnya, menurut ekonom UI Faisal Basri, harga pangan naik hingga 1000% dan membengkakan jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 118,5 juta orang. “Ini memang di luar nalar kita,” ujar Faisal dalam suatu kesempatan diskusi bersama mahasiswa IAIN Jakarta pada penghujung 1997. Situasi tersebut tentunya berimbas langsung kepada kehidupan para mahasiswa. Kebutuhan sehari-hari, buku-buku dan biaya kuliah melambung tinggi dan tak terjangkau lagi. Kiriman rutin dari orangtua di daerah menjadi tersendat, bahkan terhenti. “Pokoknya kehidupan kami saat itu menjadi susah, banyak kawan-kawan yang tak bisa lagi melanjutkan kuliah. Bahkan di Medan, saya dengar banyak mahasiswa menjadi tukang becak,” ujar Zulkarnain, eks aktivis mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung. Krisis ekonomi berkelindan dengan maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan para pejabat Orde Baru. Sementara itu, institusi legislatif dan yudikatif impoten dan tak bisa menjalankan fungsinya. Semua itu menjadi penyebab utama bergolaknya kampus sejak pertengahan 1997. Sejak Juni, aksi-aksi protes terhadap pemerintah Orde Baru kerap dilakukan di dalam kampus. Awal 1998, aksi mulai bergeser ke luar kampus dan langsung berhadapan dengan aparat keamanan, bahkan tak jarang terjadi bentrokan fisik. Situasi pun jadi mencekam. Turunkan Soeharto! Aksi-aksi mahasiswa direspon secara negatif oleh pemerintah Orde Baru. Alih-alih mengakomodasi permintaan mahasiswa, mereka malah menuduh anak-anak kampus tersebut sudah melakukan aksi politik praktis. Dalam Republika edisi 15 April 1998, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiranto Arismunandar mengancam secara keras agar para mahasiswa tidak terjebak dalam politik praktis dan mengingatkan sisi negatifnya bagi kegiatan akademik di kampus. Pernyataan Wiranto, yang masih memiliki kekerabatan dengan keluarga besar Presiden Soeharto, menuai badai protes di kampus-kampus. Aksi-aksi anti-Presiden Soeharto dan kroninya semakin menggila. Tuntutan penurunan harga menjadi sering diiringi juga oleh penuntutan Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden. “Dalam situasi sengsara seperti zaman itu, tak ada pilihan lain: reformasi kehidupan politik atau kami mati sekalian,” ungkap Seta. Sesuai kesepakatan, kampus-kampus pun mulai mengganti jargon “turunkan harga” menjadi “turunkan Soeharto”. Menindaklanjuti peralihan tuntutan yang mulai mengarah kepada orang nomor satu di Republik Indonesia pada saat itu, para aktivis mahasiswa sadar bahwa perlawanan yang dibangun berdasarkan sentiment kampus tak akan efektif. Lantas berbagai organ gerakan mahasiswa pun bermunculan. Mulai dari Forkot (Forum Kota), Front Nasional, FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta hingga KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Merekalah di antaranya yang pada 18 hingga 22 Mei 1998 “menduduki” Gedung DPR MPR dan dikatakan banyak orang sebagai penumbang kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun lamanya.*
- Rumah-Rumah Zaman Kesultanan
RUMAH adalah kebutuhan pokok tiap orang pada beragam zaman. Tak terkecuali pada masa-masa kesultanan Islam berkembang di Kepulauan Nusantara antara abad ke-13 sampai ke-19. Orang-orang di ibukota kesultanan membangun rumah bersesuaian dengan pandangan hidup, status sosial, situasi alam, kebudayaan, dan kontak sosial mereka. Naskah-naskah Nusantara dari kurun abad ke-13 sampai ke-19 seringkali memuat kisah pembangunan dan pembinaan rumah di Kepulauan Nusantara. Melalui pembacaan naskah-naskah tersebut, Tatiana Denisova, pakar sejarah Melayu-Nusantara, menyebut penduduk Melayu di Kepulauan Nusantara membangun rumah secara penuh perhitungan. Wujud perhitungan itu dituangkan dalam ukuran-ukuran tertentu dalam pembangunan rumah. Antara lain depa, ruang, hasta, buku, ketak, jengkal dan sependekap . Selain mempunyai sistem ukuran sendiri, orang Melayu punya cara sendiri untuk menghormati dan menghargai rumah. “Setiap barang dan unsur bangunan mempunyai nama sendiri,” tulis Tatiana Denisova dalam Sumber Historiografi di Alam Melayu: Koleksi Peribadi John Bastin . Misalnya, bagian utama dalam rumah Melayu tradisional disebut rumah ibu . Penyebutan itu wujud dari pandangan orang Melayu tentang perempuan. Bahwa perempuan mempunyai peranan yang tinggi dan mulia dalam masyarakat. Maka bagian terpenting rumah pun memiliki sebutan rumah ibu . Mengutip Building a Malay House karangan Abdul Halim Nasir, Tatiana juga menyatakan pembangunan dan pembinaan rumah berkaitan erat dengan hal-ihwal agama dan cara hidup orang Melayu. Serupa dengan Tatiana, Jan J.J.M. Wuisman juga menakar adanya pengaruh Islam dalam pembangunan dan pembinaan rumah pada kurun mekarnya Kesultanan Islam di Nusantara. “Perubahan paling penting yang diakibatkan oleh perkembangan kepercayaan Islam adalah pada pembagian dan penggunaan ruang, terutama pada pengenalan dan artikulasi pembedaan gender antara bagian laki-laki dan perempuan di dalam rumah,” tulis Jan dalam “Posisi dan Peran Tradisi-Tradisi Vernakular Indonesia dan Langgam Bangunan Masa Lalu dalam Masa Kini” termuat di Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia . Kebiasaan hidup orang Melayu yang karib dengan hutan membuat sebagian besar rumah mereka berbahan dasar kayu. “Kayu dianggap sebagai bahan yang amat sesuai dan memenuhi syarat-syarat kehidupan di alam Melayu dari sudut pandangan ilmu ekologi dan iklim,” tulis Tatiana Kebiasaan bersentuhan dengan kayu menjadikan banyak penduduk tempatan terampil dalam mengolah kayu. “Hampir tiap orang adalah tukang kayu,” tulis Anthony Reid dalam Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 , mengutip catatan William Dampier, pelancong Eropa di Nusantara, pada 1697. Kemampuan ini memberikan kegunaan besar dalam pembangunan rumah. Tapi buat para pembesar kesultanan dan golongan elite di ibukota kesultanan, rumah tak cukup hanya berbahan kayu. Mereka menarik garis pembeda antara rumah mereka dengan rumah rakyat kebanyakan. “Dalam berita asing antara lain dikatakan bahwa rumah-rumah bangsawan, pejabat-pejabat tinggi pemerintahan dibuat dari bahan-bahan yang lebih kuat dan permanen berukuran besar,” tulis Uka Tjandrasasmita dalam Kota-Kota Muslim di Indonesia dari Abad XIII sampai XVIII Masehi . Golongan elite juga menambah rupa-rupa ukiran di kayu rumahnya. Meski ada beda antara rumah golongan elite dan jelata, sebagian besar pembangunan rumah tak mengeluarkan banyak biaya dan waktu. Mereka terbiasa melibatkan sanak famili dan para tetangga untuk mengumpulkan bahan pembangun rumah dari alam sekitar. Kepemilikan pribadi atas tanah dan kekayaan alam belumlah jamak dikenal pada kurun ini. Setelah bahan pembangun rumah terkumpul, mereka mendirikan sejumlah tiang sebagai tahap awal pembangunan. Tiang itu tidak ditanam ke dalam tanah, melainkan ditumpang di atas tanah untuk memudahkan pemindahan rumah jika sewaktu-waktu diperlukan. Pembangunan rumah berlanjut pada pembuatan alas atau lantai. Ia tak menempel pada tanah, melainkan berjarak satu sampai dua meter di atasnya. Pembinaan macam ini disebut rumah panggung yang bersesuaian dengan pikiran penduduk tempatan mengenai rumah sebagai kosmis kecil dan fungsi praktisnya terhadap banjir. Tingkat paling bawah biasanya untuk ruang hidup hewan atau penampungan sampah. Tingkat tengah tertuju untuk aktivitas penghuni rumah seperti bercengkerama atau tidur. Tingkat teratas digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalan leluhur atau sesuatu yang dianggap suci. Sejumlah catatan pelancong Eropa abad ke-17 di Aceh yang terangkum dalam leGrand Dictionnaire geographique, historique et critique karya M. Bruzen de la Martinienere, menjelaskan fungsi praktis pembinaan rumah secara bertingkat tersebut. “Rumah-rumah dibangun seperti tersebut di atas karena banjir bisa mencapai lantai pertama,” ungkap Bruzen, seperti dikutip dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Berkaitan dengan pembinaan rumah yang terbagi atas ketinggian berbeda, penduduk tempatan membuat tangga untuk menjangkau ketinggian itu. Fungsi tangga yang penting ini berujung kepada penciptaan istilah sohor rumah tangga di kalangan orang Melayu Nusantara untuk menyebut kehidupan keluarga mereka. Pembuatan atap menjadi tahap akhir pembangunan rumah. Sesuai dengan keadaan curah hujan yang tinggi di kota-kota Nusantara, atap rumah lazimnya berbentuk curam. “Atap rumah Melayu dibuat daripada daun pokok palma dan kayu,” catat Tatiana. Anthony Reid menyatakan semua tahapan pembangunan rumah memakan waktu sekira enam puluh hari. Bahkan ada juga yang waktu pembangunannya hanya beberapa jam saja. Dan rumah pun siap dihuni oleh beberapa keluarga. Para sultan dan raja di Nusantara tidak secara langsung menyediakan rumah untuk rakyatnya. Pembangunan rumah diusahakan sendiri oleh rakyat. Tapi pembangunan rumah rakyat menjadi gambaran penting bagi para sultan dan raja. “Menggambarkan sebuah kerajaan yang makmur dan sikap raja yang adil,” tulis Tatiana Denisova dalam Refleksi Historiografi Alam Melayu . Pembangunan dan pembinaan rumah berubah ketika orang-orang Eropa berhasil merebut sejumlah kota perdagangan penting di Nusantara. Banyak rumah mempunyai lantai yang menempel dengan tanah. Batu mulai menggantikan kayu sebagai bahan utama pembangun rumah. Perubahan juga meliputi konsep filosofis dan gaya arsitektur rumah.
- Tari Topeng Rasinah Melintasi Sejarah
SELEPAS salat Jumat, siswa-siswi sanggar tari topeng Mimi Rasinah sudah bersiap dengan kostum lengkap. Panas yang menyengat tak menyurutkan semangat mereka untuk berjalan kaki dari sanggar di Pekandangan menuju tugu Perjuangan. Jaraknya cukup jauh, hampir 2 kilometer. “Ayo, sebelum jalan, kita ziarah dahulu,” ujar Aerli Rasinah, setengah mengomando. Puluhan anak didiknya pun mengikuti menuju makam di samping sanggar. Di situlah pusara Rasinah beserta segenap keluarganya berada. Di dekat nisannya, terdapat jirat bertuliskan Lastra. Itulah ayah Rasinah, seorang dalang topeng. Darah Seniman Dinihari, 1 Maret 1942, detasemen balatentara Jepang di bawah pimpinan Kolonel Syoji, mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu. Hari itu juga, tulis Sukardi dalam Pertempuran konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946 , Jepang berhasil merebut dan menduduki kota Subang. Kemudian, Batalyon Wakamatsu, dengan serangan gerak cepatnya, dapat merebut Pangkalan Angkatan Udara Kalijati. Masuknya balatentara Jepang di Indramayu cukup meresahkan. Mereka bersikap kasar. Seorang pangreh praja di Indramayu yang sedang bertugas selaku penjaga keamanan, ditangkap dan ditempeleng. Hal itu pun dirasakan oleh masyarakat biasa. “Beberapa topeng kakek (Lastra, red. ) saat itu diinjak-injak oleh pasukan Jepang hingga hancur,” tutur Aerli, kepada Historia . Lastra adalah dalang topeng. Dia memiliki tujuh anak yaitu Rasinah, Karniti, Warniti, Rastem, Murita, Cita, dan Darmini. Rasinah adalah putri sulung yang lahir pada 1929 dan sejak usia lima tahun sudah digembleng oleh ayahnya menjadi penari topeng. Pada 1940, dia menikah dengan Tamar, dalang wayang kulit. Mereka dikaruniai dua anak, namun meninggal saat kecil. Perkawinannya hanya berumur empat tahun karena Tamar meninggal. Pada 1940-an, Rasinah sebenarnya sudah terkenal sebagai penari topeng dari Pekandangan, Indramayu. Pada musim paceklik atau kemarau saja, dia dapat undangan menari hingga lima kali sebulan. “Lokasi sanggar baru ini, dulunya area sawah, tempat Mimi Rasinah menari saat di masyarakat tidak ada air,” ujar Ade Jayani, suami Aerli. Setelah Indonesia merdeka, Lastra meninggal di tangan tentara Belanda. “Waktu agresi Belanda, di sini kisruh. Nah, kakek membawa sebuah topeng di balik baju. Oleh Belanda, dikira dia menyembunyikan senjata. Maka dia ditembak,” ujar Aerli. Tragedi demi tragedi menjumpai Rasinah. Setelah kepergian dua orang kesayangannya, Tamar dan Lastra, Rasinah tak patah semangat. Dia menikah lagi dengan Amat, dalang topeng sekaligus penabuh kendang yang piawai. Mereka mendapat dua anak yaitu Wasno dan Waci. Waci, penari topeng, menikah dengan Taryani hingga mendapat empat anak yaitu Edi, Taryana, Aerli, dan Wandi. Sekali waktu, tulis Lasmiyati dalam artikel berjudul “Rasinah: Maestro Tari Topeng Indramayu,” jurnal Patanjala , September 2013, Amat mendapat undanggan Dasuki, bupati Indramayu, untuk mengiringi tari anak-anak bupati. Dasuki saat itu memanggil guru tari sohor dari Sumedang: Ono Lesmana Kartadikusumah. Lesmana terkesan dengan tepukan kendang Amat. Begitu juga dengan Dasuki. Pada 1960-an, Rasinah mendapat tawaran mengajar tari untuk beberapa sekolah seperti Panti Arjo, SD, SMEA, SMP 1 dan 2, serta SPG. Hingga datanglah tragedi nasional: Gerakan 30 September 1965. Kebangkitan Pasca peristiwa G30S 1965, hampir semua bentuk kesenian rakyat tiarap. Alasannya kesenian rakyat identik dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Hal ini dirasakan pula oleh kesenian topeng di daerah Cirebon dan Indramayu. Di Cirebon misalnya, kelompok topeng Sumitra yang terkenal dan terlaris di daerah Cirebon timur dilarang pentas oleh penguasa setempat. “Kami dilarang mengadakan latihan dan manggung. Saya tidak mengerti apa sebabnya, yang jelas larangan ini mematikan sumber kehidupan kelompok kami,” ujar Dewi, penari topeng kelompok Sumitra, seperti dikutip majalah Zaman , Juli 1982. Bagi Rasinah, peristiwa 1965 memang membawa dampak tersendiri bagi eksistensi kesenian tari topeng di Indramayu. “Memang peristiwa itu cukup mengguncangkan tari topeng di Indramayu. Ada korban perpolitikan. Seniman tidak tahu menahu. Mereka hanya mengisi acara saat itu. Keluarga kami kebetulan tidak ada yang tercatat di Lekra,” ujar Ade Jayani. Selain masalah G30S, yang membuat kesenian topeng sepi pentas adalah menjamurnya musik dangdut dan tarling. Selama 20 tahun, Rasinah gantung selendang. Beberapa nayaganya beralih menjadi buruh tani karena sepi pentas. Gairah itu muncul kembali setelah dia ditemui seniman Endo Suanda dan Toto Amsar. Kedua pegiat seni ini mendorong Rasinah menari kembali. Rasinah sempat menolak karena sudah tua dan tak ada penabuh gamelan lagi. Endo dan Toto tak patah semangat. Hingga akhirnya, Rasinah bersedia mengenakan topeng karakter Rumyang dan kembali menari. Dari situ, gairah menari muncul. Dia pun mendaki ketenaran kembali. Di pengujung usianya, Rasinah memerlukan seorang pengganti. Wahyu penari itu memerlukan tubuh baru. “Semestinya, wahyu itu semula turun ke ibu saya, mimi Waci. Mimi Waci juga ditawarin mimi Rasinah. Namun ibu Waci kan sudah lama menjadi TKW, jadi dia menyarankan ke saya. Tapi di situ ada obrolan sekeluarga, semua tahu supaya tidak menjadi intrik kan. Kata mimi Rasinah, mau ke anak atau ke cucu, gak masalah, yang penting mau menjaga,” kenang Aerli kepada Historia . Perlahan, Aerli digembleng untuk menjadi penari topeng yang tangguh. Beragam ujian dilalui, dengan bimbingan Rasinah. Hingga akhirnya Aerli menjadi penari topeng yang mumpuni. Setelah menyerahkan tongkat estafet tari topeng kepada cucunya, Rasinah meninggal pada Agustus 2010. Kini, sanggar tari topeng Rasinah tak lagi sepi. Siswanya beragam usia, dari anak-anak hingga ibu-ibu muda. “Tiap minggu ada 50 anak. Dari umur empat tahunan hingga dewasa. Latihan tiap hari minggu, reguler. Biaya 15 ribu. Privat setiap hari, 20 ribu hari. Durasi secapeknya. Kalo baru biasanya sejam sudah capek. Lalu ada yang ingin mengambil filosofi topeng, itu latihannya malam,” ujar Ade Jayani.
- Robby Darwis yang Legendaris
TAK ubahnya Jakarta, lalu lintas Kota Bandung siang itu yang padat amat menguji kesabaran. Namun, ujian kesabaran itu terobati begitu sesosok pria tinggi-besar muncul dan menyambut hangat. Robby Darwis, pria tadi, merupakan maestro legendaris Persib Bandung dan palang pintu utama timnas era 1980-an hingga awal 1990-an. Kiprahnya di lapangan hijau dimulai dari hobi main bola dan kecintaannya pada Persib sejak kanak-kanak. “Jadi kebawa lah. Terpacu kepingin jadi pemain bola. Terlecut cita-cita bermain bola untuk Persib dan timnas,” kata Robby ketika ditemui Historia di kantornya, BNI 46 Cabang Asia-Afrika, Bandung. Lahir di Lembang, 30 Oktober 1964, Robby kecil menyalurkan hobi sepakbolanya di klub kampung bernama Arjuna. Dari Arjuna, Robby kemudian masuk SSB Capella. “Di Capella, sekitar tahun 1979 ada ujicoba Persib Selection. Waktu itu saya hanya main 45 menit, tapi terus dipanggil Pak Marek (Janota, pelatih Persib asal Polandia) dan Pak Obon (Syakban). Katanya Marek saat itu butuh pemain yang posturnya tinggi dan saya kepilih ikut latihan bersama (Persib),” kenang pria yang kini menjabat sebagai penyelia kas di kantornya itu. Robby yang mestinya resmi berkostum Persib, gagal merumput bareng Persib. Namanya terlempar lagi dari skuad akibat Persib terdegradasi dari Divisi Utama Perserikatan musim 1978-1979. Robby baru resmi masuk tim senior Persib empat tahun kemudian. Posisinya, stopper, posisi baru baginya. “Dulu waktu masih di tim kampung dan SSB, saya di posisi serang. Kadang penyerang, kadang gelandang serang. Baru di Persib itu saya dicoba pelatih di posisi bek. Sampai sekarang terus terbawa posisi ini,” imbuhnya. Bersama Persib, Robby melahap manis-pahit pengalaman tim kebanggaan kota kembang itu baik sepanjang era Perserikatan maupun ketika telah jadi Liga Indonesia. Yang tak pernah dilupakan Robby, kala Persib kembali merebut gelar juara Perserikatan musim 1986. “Setelah berpuluh-puluh tahun menunggu (gelar) Kejuaraan Nasional, kan baru di zaman (kepelatihan) Marek itu,” lanjut penggemar legenda AC Milan Franco Baresi itu. Naiknya prestasi Persib dan popularitas Robby yang menyertainya membuat sebuah klub Malaysia kepincut. Kelantan FC lalu memboyong Robby tahun 1990. Namun sial bagi Robby, baru sekali main di Liga Malaysia sudah dikenai sanksi sebagai buntut sebuah insiden. Robby dituduh melakukan pemukulan dan diganjar hukuman larangan bermain tiga bulan kendati akhirnya hanya dijalaninya dua bulan. “Sangat sedikit sekali kesempatan saya main di situ. Manajemen tim sempat protes karena mereka masih ingin lihat saya lebih sering bermain. Setelah itu saya kembali ke Persib sampai pensiun tahun 2000,” kata Robby. Robby Darwis saat membawa Persib juara di kompetisi Perserikatan terakhir 1994 Robby jadi salah satu ikon Persib paling disanjung. Sepanjang kariernya, dia berperan penting mempersembahkan gelar juara untuk timnya: Perserikatan 1986, 1989-1990, 1993-1994, dan Liga Indonesia I 1994-1995. Sebelum melanjutkan karier di bank, Robby sempat melatih Persib pada 2008 dan 2010. Membela Sang Garuda Seiring melejitnya reputasi Robby di Persib, pada 1985 timnas PSSI memanggilnya bergabung dengan pelatnas PSSI dalam rangka persiapan Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. “Di seleksi timnas awalnya saya masih cadangan. Tapi ketika ada satu pemain senior yang cedera, di situ kesempatan saya,” ujar Robby. Robby turut membawa tim Garuda terbang cukup tinggi di Asian Games itu. Menurut data Record Sport Soccer Statistics, Robby dkk. lolos ke perempatfinal sebagai runner up Grup D di bawah Arab Saudi. Timnas kemudian menembus semifinal setelah menyingkirkan Uni Emirat Arab lewat adu penalti, 4-3. Namun, di semifinal timnas dibekap tuan rumah empat gol nirbalas. Para “garuda” juga gagal merebut perunggu setelah di laga perebutan juara tiga keok 0-5 dari Kuwait. Pengalaman pahit Robby itu terobati setelah timnas Indonesia berhasil merebut emas di SEA Games 1987 dan 1993. Robby berperan penting di dalamnya. Pengalaman pahit kembali mendatangi Robby dkk. menjelang Kualifikasi Piala Dunia 1994. Saat melakukan training camp (TC) dan uji coba melawan klub Yunani AEK Athens, timnas di bawah asuhan Ivan Toplak dipermak 10 gol tanpa balas. “Itu momen kita TC, sebulan di sana. Terus lawan klub Yunani itu, yang juara liga, juga. Banyak kendalanya ya buat tim, seperti udara dingin, lapangan yang nggak ada rumputnya, lengket kondisinya,” kenangnya. Timnas akhirnya gagal di kualifikasi. Pun begitu dengan SEA Games 1997 di Jakarta. “Di final kan kita kalah itu, adu penalti (lawan Thailand). Selesai (SEA Games) itu, saya pensiun dari timnas,” ujar Robby. Kini jelang perjuangan tim Garuda di Piala AFF dan Asian Games, Robby punya harapan besar timnas di bawah asuhan Luis Milla mampu bicara banyak. Terlebih di zaman now , para pemain timnas acap dimanjakan stimulan berupa bonus. “Dulu mah nggak ada bonus apa-apa. Makanya perbedaannya jauh. Dulu cuma nama bangsa dan merah putih saja yang kita bawa di dada. Soal penghargaam pemerintah, baru (Desember 2017) kemarin saja dari Kemenpora,” tandas Robby, yang jadi satu di antara para pendulang emas SEA Games 1991 yang dihadiahi bonus uang Rp40 juta dan piagam dari Kemenpora di Jakarta, 13 Desember 2017.
- Memburu Bra Peluru
Presiden Sukarno melakukan perjalanan dinas ke Amerika Serikat pada 1956. Di sela kunjungan itu, Bung Karno mengunjungi Hollywood. Selama kunjungan itu, Sukarno menemui superstar Hollywood yang tenar dengan julukan “si pirang yang bodoh”, Marilyn Monroe. Jepretan Sukarno dan Monroe berbincang, dengan mimik manjanya diabadikan. Dunia tak pernah tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, yang menarik, kala bersua Sukarno, Monroe mengenakan pakaian anggun, sweter ketat, dengan bagian dada yang “mancung”. Ya, Monroe mengenakan bra peluru, model penyangga payudara yang sedang in di Amerika Serikat pada 1950-an. Menurut buku Clothing and Fashion: American Fashion from Head to Toe, yang disunting Jose Blanco F., bra mirip peluru muncul pada pertengahan 1930-an. Bra ini berbentuk kerucut, dengan jahitan melingkar. Nama lain bra peluru adalah bra torpedo atau misil. Bra peluru mulai tenar pada 1940-an karena pengaruh aktris-aktris Hollywood. Aktris Lana Turner disebut-sebut mempopulerkan bra peluru. Dalam film They Won’t Forget (1937), di salah satu adegannya, Turner mengenakan sweter biru ketat, dengan bagian payudara yang menonjol. Perempuan-perempuan di Amerika Serikat mengadaptasi penampilan Turner. Sebagian perempuan menambahkan bantalan, yang membuat bra peluru jadi lebih runcing di ujungnya. Bra tersebut membentuk dada tampak menonjol, tinggi, dan lancip. Menurut Elizabeth McCarthy dalam tulisannya “Fast Cars and Bullet Bras: The Image of the Female Juvenile Delinquent in 1950s America” di buku It Came from the 1950s!: Popular Culture, Popular Anxieties, istilah bra peluru atau torpedo berindikasi terminologi militer. Istilah ini muncul karena pengaruh semangat Perang Dunia II, yang sedang berlangsung pada 1940-an. “Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa Perang Dunia II memiliki dampak langsung pada mode dan pakaian perempuan,” tulis Elizabeth McCarthy. Kehadiran bra peluru, kata Elizabeth, sangat fenomenal. Bra ini dipakai dengan setelan sweter ketat, rok ketat, atau jeans. Sejak itu, perusahaan ritel dan label pakaian melirik kepopuleran bra peluru. Dalam buku Uncle John’s Bathroom Reader Weird Canada, disebutkan bahwa pada 1948, Frederick Mellinger, pendiri perusahaan ritel perempuan terkemuka di Amerika Serikat, Frederick’s Hollywood, menjual bra push-up pertama, sejenis bra peluru. Lalu, pada 1953 produsen pakaian Triumph meluncurkan produk bra peluru pertama mereka. Bra jenis ini populer pada 1950-an karena pengaruh artis Hollywood, seperti Marilyn Monroe, Jane Russell, Jayne Mansfield, dan Brigitte Bradot. Para artis Hollywood tadi dianggap perempuan ideal dari sisi seksualitas. Namun, seiring waktu, kepopuleran bra peluru redup menjelang akhir 1950-an. Meski begitu, penyanyi pop dan aktris papan atas Madonna pernah kembali mengenakan sejeni bra peluru pada awal 1990-an. Madonna mengenakan pakaian dalam sebagai pakaian luar dalam tur musiknya. Di bagian dadanya, ditambah penahan dan bra berbentuk kerucut.
- Usaha Belanda Menyingkirkan Dukun Beranak
SETELAH Kementerian Kesehatan mengeluarkan pedoman kemitraan bidan-dukun pada 2008, dukun beranak tak lagi mendapat izin menangani pasien sendirian. Mereka hanya diizinkan membantu bidan menangani persalinan. Sebelumnya, pemerintah juga melakukan penataran tentang hiegenitas persalinan pada para dukun beranak. Kebijakan macam ini juga pernah diterapkan pemerintah kolonial pada akhir abad ke-19. Kemunculan kebijakan pemerintah kolonial itu merupakan buntut dari pendirian sekolah bidan di Batavia tahun 1825 yang minim peminat. Kalangan bumiputera dan indo lebih mempercayakan persalinan mereka kepada dukun beranak. “Bahkan zaman pemerintah Belanda yang masuk sekolah itu dipaksa-paksa saking nggak ada orang yang mau masuk. Akhirnya kan tutup,” kata sejarawan Martina Safitry. Pemerintah kemudian mendirikan sekolah bidan baru pada 1886. Lulusan sekolah ini pun mengalami kendala karena penduduk bumiputera terbiasa melahirkan di dukun beranak. “Gaji buruk, hampir tidak ada upah tambahan, oposisi dari dukun yang tidak suka pekerjaan mereka diambil alih, oposisi dari penduduk yang tidak suka meninggalkan tradisinya,” keluh dokter HB van Buuren, yang bertugas di Kediri, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market: Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indies. Pada Mei 1898, semua pejabat dan dukun bayi dari Kediri berkumpul. Pertemuan itu antara lain memperkenalkan Djasminah dan Tasminten, dua bidan baru yang akan bertugas di wilayah Kediri. Pemerintah berharap dengan hadirnya bidan, masyarakat tak lagi meminta bantuan dukun beranak untuk menangani orang melahirkan. Kebijakan itu diikuti dengan pencatatan para dukun di Kediri oleh wedono (pemimpin daerah) setempat. Para dukun juga tidak diperbolehkan membantu persalinan lagi. Mereka hanya diizinkan membersamai para bidan. Tugas mereka baru dimulai setelah proses kelahiran selesai, sebagai dukun bayi. Para dukun itu mendapat pelatihan dari dokter pemerintah. “Ada pelatihan dukun beranak dari pemerintah Belanda cuma nggak masif. Para dukun ini diajari tentang hiegenitas persalinan,” kata Martina. Pelatihan itu sebelumnya ditolak beberapa pihak lewat berbagai perdebatan. Kepala Pelayanan Medis H. van Lokhorst berpendapat, akan sangat sulit melatih dukun beranak karena takhayul yang mereka percayai dan umumnya para dukun sudah lanjut usia. Ketidaksukaan kepada dukun beranak juga di katakan Van Buuren, yang menggambarkan dukun beranak sebagai orangtua yang tidak memadai dan tidak mampu membantu persalinan. Penilaian Van Buuren itu keluar setelah dia dibantu seorang dokter Jawa dan seorang penerjemah menemui 35 dukun beranak. Dari pertemuan itu dia mendapati para dukun minim pengetahuan dan beberapa dukun buta atau tuli serta memiliki berbagai penyakit kulit. Van Buuren bahkan menyebut mereka sebagai “malaikat kematian lokal”. Sementara para dokter Belanda tidak menyukai dukun beranak, beberapa dokter Jawa justru menaruh hormat pada para dukun beranak karena pengetahuan mereka seputar penyakit kulit, gangguan perut, dan persalinan. “Mereka (dokter Belanda, red. ) kan sebetulnya mau menyingkirkan pengobatan tradisional dengan pengobatan barat. Padahal, pengobatan modern yang mereka bawa asal ilmunya dari negara-negara jajahan yang dibawa ke Eropa untuk diuji,” kata Martina. Upaya pemerintah Belanda untuk menggeser peran dukun itu lalu ditentang seorang dukun. Hingga akhir Juni 1898 si dukun tetap memberi bantuan persalinan. Van Buuren lalu menghimbau penduduk agar tak meminta bantuan persalinan pada dukun beranak. Upaya itu gagal, para penduduk menolak karena tak ada peraturan dari polisi. “Akhirnya ada kebijakan si bidan sama si dukun beranak itu saling berjalan bersama. Soalnya kalau jalan sendiri-sendiri nggak bisa. Dulu orang lebih percaya ke dukun beranak dibanding ke bidan atau dokter,” kata Martina.
- Viking, Antara Lawan dan Kawan
LEGENDA hidup Persib Bandung Robby Darwis mengakui rivalitas antara Persib dan Persija sejak dulu memang sengit. Namun, rivalitas itu hanya ada di lapangan. Hal itu juga dikatakan dua mantan pemain Persib lainnya, Yaris Riyadi dan Cecep Supriyatna. “Nggak, nggak pernah ribut atau apa dengan pemain dari Persija. Ya rivalitas teknis saja di lapangan. Malah kalau di zaman saya, nggak ada ribut-ribut suporter. Ikut turnamen di Jakarta aman-aman saja,” ujar Robby kepada Historia . Namun, keadaan berubah begitu Viking dan Jakmania ada. Meski konflik bukan terjadi antar-pemain kedua klub, stadion tak pernah aman lagi jika Viking dan Jakmania hadir bersamaan. Dua mantan punggawa Persib, Yaris Riyadi (kiri) & Cecep Supriyatna (Foto: Randy Wirayudha/Historia “Lemparan botol atau apa itu mah sudah biasa kalau kita main (Persib vs Persija). Pernah juga waktu main di (stadion) Lebak Bulus , bench kita dikencingin (oknum) Jakmania dari tribun di atas bench kita,” kenang eks kiper Persib Cecep Supriyatna kepada Historia. Bobotoh Terbesar dan Terloyal Viking merupakan organisasi Bobotoh (pendukung Persib) terbesar. Dicetuskan Ayi Beutik alias Ayi Suparman (almarhum), Aris Parimat, Heru Joko, Dodi Rokhdian, dan Hendra Bule, Viking berdiri pada 17 Juli 1993. Sebagai organisasi, Viking memberikan anggotanya Kartu Tanda Anggota (KTA). Bicara jumlah anggota, sudah tak lagi terhitung. Bobotoh saja sekiranya mencapai enam juta orang dan sebagian besarnya adalah “warga” Viking. Nama Viking diambil dari nama bangsa Viking di Skandinavia yang gemar menjelajah. Hal itu terkait dengan sifat pendukung Persib yang suka menjelajah ke berbagai kota. Ke manapun Persib pergi (bertanding), Viking menemani. Kehadiran mereka dengan nyanyian, yel-yel, hingga aksi-aksi koreografi menjadi “stimulan” tersendiri bagi para pemain Persib di lapangan. Saat Persib bertandang ke Stadion Gelora Ratu Pamelingan, kandang Madura United, akhir pekan lalu, para pentolan maupun anggota biasa Viking turut hadir. Bukan hanya Viking dari Bandung yang hadir di Stadion Pamelingan, Madura itu. Petinggi maupun anggota Viking Madura ikut meramaikan. Viking Madura merupakan cabang Viking. Selain di Madura, Viking punya banyak cabang, seperti di Depok, Bekasi, atau Bogor. Rivalitas dengan Jakmania Saking fanatiknya, Viking kerap terlibat konflik dengan suporter klub lain. Bahkan, sampai memakan korban jiwa. “Ya mungkin hanya oknum yang nggak punya KTA. Karena biasanya anggota Viking nonton itu ngajak saudara dan saudaranya itu ngajak temannya lagi yang sama-sama nggak punya KTA. Kita mana tahu kalau tiba-tiba dia berlaku anarkis atau apa,” kata Iwan, Bobotoh non Viking yang ditemui Historia di Stadion Persib Sidolig. Budi (kiri), Iwan (tengah) & Soni, tiga Bobotoh senior non Viking (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Konflik utama Viking terjadi dengan Jakmania (pendukung Persija). Menurut Eko Noer Kristiyanto alias Eko Maung, anggota Bobotoh cum peneliti hukum olahraga, clash pertama keduanya terjadi saat Persib menjamu Persija di Stadion Siliwangi dalam Liga Indonesia musim 1999. Ratusan Jakmania yang berang karena tak kebagian tiket memaksa masuk stadion. Provokasi dan saling ejek kemudian berujung pada keributan. “Tahu sendiri kapasitas di Stadion Siliwangi kan kecil. Mungkin dulu mereka juga belum terbiasa dengan suasana susah dapat tiket. Waktu itu ribuan Bobotoh saja masih pada di luar karena enggak kebagian tiket juga. Mereka (Jakmania) mikirnya harus masuk karena sudah datang jauh-jauh. Saya sendiri waktu itu dari tribun Timur mendengar ada keributan gara-gara itu,” terang Eko di Jakarta. Clash berlanjut kala kedua kelompok suporter itu mengikuti acara Kuis SiapaBerani yang dipandu Helmi Yahya. Para pendukung Persib yang hendak pulang dicegat Jakmania di pinto tol Tomang. Selain mobil-mobil pengangkut mereka diserang, mereka dipukuli dan dijarah. Akibatnya, sembilan anggota Viking luka-luka. “Lantas ada lagi kejadian ketika suporter Persija ke Stadion Sangkuriang, Cimahi. Nontonnya bukan lawan Persib, tapi Persikab Bandung. Eh , ada suporter Viking sengaja ke sana, akhirnya ribut juga. Nah ini yang mulai ngaco. Konteksnya di luar pertandingan Persija-Persib, tapi kok bentrok. Itu apa-apaan? Konyol karena menyalahi rivalitas yang sehat,” sambung Eko. Eko Noer Kristiyanto alias Eko Maung, Bobotoh & peneliti hukum olahraga (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Konflik Viking-Jakmania makin tidak sehat lantaran Viking menjalin koalisi dengan Bonek (suporter Persebaya) dan Jakmania dengan Aremania (suporter Arema Malang). “Nggak penting banget. Jadi emang kampungan banget itu. Karena sebenarnya masalah kita antara satu kubu dengan suporter lain mestinya enggak usah diurusin juga sama suporter tim lain. Otomatis ini bisa merembet ke rivalitas berikutnya,” kata Eko. Rivalitas tak sehat Viking-Jakmania itu, lanjut Eko, dikhawatirkan merugikan masyarakat umum. “Kalau sampai terjadi korban itu suporter, ya itu lain soal. Tapi kalau sudah ada masyarakat umum yang kena kan mulai enggak lucu lagi. Jangan lagi dianggap sebagai kenakalan suporter, itu sudah kejahatan suporter,” tambah Eko. Upaya damai bukan tak pernah ada. Pada April 2014, Viking dan Jakmania sempat mengeluarkan deklarasi damai. Sayang, sebulan kemudian perdamaian buyar gara-gara Jakmania ditolak masuk Bandung oleh aparat kemanan di Tol Cikampek. Upaya damai kembali diadakan pada Juli 2017. Dalam rangka mengenang Ricko Andrean, seorang Bobotoh yang tewas dikeroyok oknum pendukung Persib lantaran dikira anggota Jakmania, Viking dan Jakmania menggelar aksi damai 1000 lilin di Bekasi. Sebulan kemudian, Kemenpora mendorong keduanya berdamai. Upaya tersebut mampu meredakan ketengangan Viking-Jakmania. Namun, belum lagi perdamaian benar-benar terjadi, Maret lalu tiga pemain Persija justru merusaknya dengan sebuah video live di Instagram . Dalam video itu, tiga pemain Persija bernyanyi dengan iringan gitar dan penggalan liriknya menghina Viking. Sontak, Direktur Persija Gede Widiade berang. Manajemen pun meminta maaf lewat akun resmi di Twitter , @Persija_Jkt, 28 Maret 2018. Namun, Viking tetap akan menempuh jalur hukum. Akan tetapi para pembesar Viking pada akhir pekan lalu, 6 April 2018, disebutkan batal melanjutkan kasusnya ke ranah hukum dan memilih penyelesaian damai.
- Soeharto: Mau Ganti Presiden? Jangan Ngotot
AKSI persekusi yang terjadi pekan lalu (29/4) di bundaran Hotel Indonesia, sempat menjadi perbincangan publik. Dalam gelaran rutin Car Free Day itu, sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden mengerumuni seorang perempuan yang mengenakan kaos #diasibukkerja. Bersama anaknya, perempuan tersebut mendapat intimidasi. Mereka diteriaki dan disawer sejumlah uang oleh kelompok yang mengampanyekan gerakan mengganti presiden pada tahun depan.
- Memperingati Maestro Tari Topeng Mimi Rasinah
BULAN baru muncul. Aroma dupa semerbak di sekitar taman Tugu Perjuangan, Kabupaten Indramayu. Sekira 21 penari bertopeng Klana dari berbagai usia, masuk memenuhi panggung yang sudah tertata, dan menari dengan dinamis. Mereka memakai kedok berwarna merah menyala, senada dengan warna kostumnya. Gerakan para penari ini nampak tangkas dan telengas diiringi komposisi gending yang rancak. Tak beberapa lama, para penari duduk bersila. Dari belakang panggung terlihat siluet sepasang penari sedang bergerak lembut. Kemudian muncul seorang penari perempuan dengan rambut sepinggang, membawa topeng yang masih terbungkus mori putih. Dia bergerak ke tengah, melangkahi para penari yang duduk bersila. Tepat di tengah, penari ini berdiri dengan kaki dibuka hingga selebar bahu. Topeng yang semula terbungkus, kemudian dibuka dan dipakai. Kedoknya berwarna putih, menandakan karakter Panji. Gerakannya hanya perlahan meski diiringi gending yang dinamis. Itulah tari topeng Panji yang diperagakan oleh Aerli, cucu maestro tari topeng dari Indramayu: Mimi Rasinah. Penampilan Aerli sebagai Panji dan 21 siswinya sebagai Klana membuka acara Tribute to Mimi Rasinah , yang dihelat selama dua hari, 4-5 Mei 2018. “Sebenarnya acara demikian kami helat setiap tahun, namun kali ini memakai nama acara dari bahasa Inggris karena kami mengundang beberapa rekan seniman dari luar negeri untuk meramaikan acara ini,” ujar Ade Jayani, suami Aerli Rasinah, kepada Historia . Agenda tahunan ini adalah wujud generasi sekarang, anak dan cucu Rasinah, untuk kembali mengingat pendahulu mereka. “Acara ini disebut ngunjung , yaitu menghargai serta mengingat kembali apa yang dilakukan pendahulu, bahwa apa yang kita miliki sekarang adalah hasil perjuangan para pendahulu. Misalnya, bangunan sanggar Mimi Rasinah yang sekarang sudah kokoh, adalah dari perjuangan beliau melestarikan seni topeng. Kami sekarang pun tak harus mengikuti musim ketika latihan, kami sudah aman dari panas dan hujan,” terangnya. Sarat Ritual Sehari sebelum pagelaran Tribute to Mimi Rasinah , kesibukan luar biasa terjadi di sanggar tarinya. Waci (53), putri mendiang Mimi Rasinah, konsentrasi penuh saat merangkai bunga melati menjadi kalung. Setelah itu, dia kembali sibuk menyusun jajanan pasar, telur ayam kampung, minuman kopi, teh, susu dan kelapa hijau di atas tampah. Kemudian, dia membawa sesaji itu ke dekat kotak berisi topeng kayu, selendang dan beragam alat peninggalan Mimi Rasinah. “Sudah hampir magrib, ritual harus lekas selesai,” ujar Aerli. Aerli lalu duduk di depan kotak dan mengeluarkan topeng satu per satu. Dengan tekun, dia mengasapi sekira 12 topeng beragam karakter dengan hio yang terbakar. Ritual ini rutin dilakukannya setiap malam Jumat. “Topeng-topeng ini berasal dari kayu yang sudah berumur lama. Jadi harus diasapi supaya terhindar dari serangan serangga kayu, dan juga wangi,” ujar Aerli. Topeng-topeng itu dibiarkan di luar kotak semalaman. Keesokan harinya, orang-orang tua siswa sanggar seni tari Mimi Rasinah di Desa Pekandangan, Indramayu, datang membawa tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Ada 30 tumpeng dan beberapa makanan lain. Semua itu sesuai kemampuan masing-masing orang tua siswa. Jika tak mampu membawa tumpeng, dapat membawa buah-buahan bahkan ada yang hanya membawa telur asin. Semua makanan disusun di tengah sanggar dan semua yang hadir duduk mengelilinginya. Seorang pemuka agama memimpin doa selamatan pagi itu. Usai doa, Aerli selaku tuan rumah mempersilakan kepada segenap yang hadir untuk menikmati tumpeng-tumpeng tersebut. Selepas salat Jumat, semua yang hadir di sanggar menuju makam Mimi Rasinah yang terletak di samping rumah. Mereka menabur bunga dan memanjatkan doa untuk Mimi Rasinah. Akhirnya, di bawah terik matahari, siswi-siswi berkostum tari merah berbaris menuju lokasi pagelaran. “Tiap tahun kami selalu mengenang Mimi Rasinah dalam bentuk pagelaran, namun sebatas di sanggar saja. Nah, ini kami mencoba untuk pertama kalinya memperingati Mimi Rasinah dengan cukup besar dengan melibatkan seniman-seniman lain baik dari lingkup nasional atau internasional,” terang Ade Jayani. Seniman yang mendukung pagelaran itu antara lain Bundengan grup (Wonosobo), Wayang Angslup (Solo dan Italia), Lengger Lanang Langen (Banyumas), Wergul W Darkum (Indramayu), Modivad Filsofica (Argentina), Victor Melendez Bona (Spanyol), Inig Sanz Vega (Spanyol), Katia Sophia Ditzler (Jerman), Noopur Singah (Singapura), dan Christian (Costarica).
- Menolak Pandangan Lelaki Lewat Lukisan
USAI merapikan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas, Emiria Sunassa meninggalkan Jakarta. Tak ada yang tahu kapan persisnya dia pergi dan ke mana rimbanya. Sejak awal 1960-an hingga meninggal, kabar Emiria tak terdengar. Kepergiannya menjadi suatu yang misterius. Emiria dikenal sebagai perempuan-pelukis yang produktif. Karier melukisnya dimulai sejak 1930-an. Dari 1940 hingga 1950-an, Emiria rutin menggelar pameran. Dia menjadi satu dari segelintir pelukis yang produktif di masa penjajahan. Sedikit pelukis yang sanggup membuat banyak karya untuk menggelar pameran tunggal. Hanya pelukis sekelas Affandi, Kartono Yudhokusumo, dan Basuki Abdullah yang sanggup mengadakan pameran tunggal di masa itu. Emiria menjadi satu-satunya perempuan-pelukis yang sanggup mengadakan pameran di era itu. Pada 1943, dia mengadakan pameran tunggal pertamanya di Poesat Tenaga Rakyat (Poetra), Jalan Sunda, Jakarta. Tiga tahun berikutnya, dia kembali mengadakan pameran tunggal di Jakarta. Sekira 50 lukisannya, seperti Petik Padi, Tari kebyar, Bahaya di Belakang Kembang Teratai, dan Pasar dipajang dalam pameran ini . Hasil pameran dia donasikan untuk kegiatan kemanusiaan. “Emiria memproduksi banyak lukisan, sampai bisa bikin pameran tunggal. Emiria melukiskan kenyataaannya sendiri sebagai seorang perempuan,” kata Heidi Arbuckle saat mendiskusikan disertasinya tentang Emiria di Beranda Rakyat Garuda. Karya awal Emiria menangkap bentuk, warna, dan suasana budaya yang dia kagumi. Pada karya-karyanya yang lain, Emiria menuangkan keresahannya sebagai perempuan. Dia menolak cara pelukis era itu, terutama para pelukis dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) atau Mooi Indie, menggambarkan perempuan yang tak lebih dari objek pandangan lelaki nan statis dan patuh: menunduk atau melihat ke arah lain. Karya-karya Emiria menggambarkan perempuan secara hidup. Mata perempuan di lukisan-lukisannya memandang langsung mata pemirsa seni, bersemangat, dan tanpa belenggu. Emiria menolak pandangan lelaki ( male gaze ) ketika melukis perempuan. Tapi ada kalanya Emiria melukiskan perempuan yang terhimpit. Misalnya, Gadis Bali di Pintu Batu. “Perempuan terlihat terhimpit oleh sebuah bangunan. Seolah ia terhimpit oleh konstruksi budaya yang menghimpit perempuan. Tapi perempuan dalam lukisan Emiria membalas pandangan mata pemirsanya,” kata Heidi. Lewat lukisan, menurut Heidi, Emiria juga berusaha menolak pengidealan tubuh perempuan. Ia juga menggambarkan tubuh yang renta, yang sudah terbebas dari fungsi reproduksinya. “Ketika Emiria melukiskan tubuh perempuan yang mirip monster, ia melepaskannya dari tubuh perempuam yang dianggap ideal,” kata Heidi. Jiwa pemberontak Emiria atas bangunan budaya terhadap perempuan tak lepas dari lingkungan sosial-politik masa lalunya. Emiria merupakan putri sultan Tidore. “Kesultanan Tidore sangat rebelious terhadap penjajah. Ratu Nukila dulu juga berontak. Jadi ada kecenderungan untuk berontak dan melawan yang tinggi. Itu berpengaruh pada diri Emiria,” kata sosiolog Thamrin Amal Tomagola. Jiwa pemberontak Emiria sudah terlihat sejak kecil. Meski ayahnya berpikiran maju, Emiria hanya boleh sekolah sampai Europese Lagere School (setingkat SD). Hal itu memicu Emiria bertekad untuk pergi ke berbagai negeri guna mempelajari hal baru kelak. Tekad itu terbukti, Emiria berhasil berpetualang keliling Eropa. “Emiria seorang pemberani yang menggugat pusat. Dia berontak terhadap patriarki. Dia juga berontak dari dominasi laki-laki dalam dunia lukis,” kata Thamrin.
- Pramugari Hadapi Pembajakan
“Hei, koran!” teriak seorang lelaki penumpang dari tempat duduknya kepada Retna Wiyana, pramugari pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Palembang. Retna agak kaget. Semula dia dan dua pramugari lain dalam pesawat, Lydia Pangestu dan Deliyanti, asyik membincang tampang lelaki yang masuk pesawat bersama empat kawannya. “Kayaknya penumpangnya norak-norak gitu, kok!” kata Retna dalam Aktuil , 18-31 Oktober 1982. Tampang anti-baca, pikir mereka tadinya. Tapi dugaan mereka meleset. Maka Retna gegas menghampiri lelaki penumpang tadi dan memberinya koran yang disediakan maskapai untuk bahan bacaan para penumpang selama penerbangan. Retna kembali ke tempat duduknya. Pesawat lepas landas menuju Medan. Belum jauh pesawat lepas landas, lelaki penumpang yang meminta koran tadi berdiri dan berteriak. Empat temannya berlaku serupa. Beberapa memegang pistol, lainnya menggenggam granat. Pesawat jurusan Jakarta-Palembang-Medan itu dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981. Inilah pembajakan ketiga dalam sejarah dirgantara Indonesia. Kompas , 31 Maret 1981, menyebut dua pembajakan sebelum Woyla ini. Kali pertama terjadi di pesawat milik Merpati Nusantara Airlines pada 4 April 1972. Seorang pembajak membawa granat dan mengancam meledakkan pesawat. Pembajak itu gagal memperoleh tuntutannya. Dia mati tertembak oleh pilot. Pembajakan kedua berlangsung di pesawat milik Garuda pada 5 September 1977. Pembajaknya hanya seorang diri dan berbekal badik. Tapi dia sempat sandera pramugari beberapa lama. Pilot pesawat berhasil menghentikan aksi pembajak itu, sekaligus menyelamatkan nyawa pramugari. Tapi yang terjadi dalam pembajakan 28 Maret 1981 jauh berbeda dari pembajakan sebelumnya. Pembajakan kali ini bergerombol. Lebih rapi dan penuh persiapan. Para pembajak membelokkan tujuan pesawat, dari Medan ke Libya. “Kamu semua harus saya bawa ke Libya. Di sana baru kamu bisa lihat kesengsaraan manusia. Kalau di sini kalian masih mampu bermanja-manja dan hidup enak,” kata Mahrizal, pemimpin para pembajak. Libia saat itu karib dengan peperangan dan penderitaan. Tempat yang jauh dari hidup enak. Retna gemetaran. Telapak kakinya berkeringat dingin. Dia menunjukkan gelagat kalut. Seorang pembajak menuju ke arahnya dan menyepaknya. Dia refleks berucap, “Allahuakbar, Allahuakbar.” Tapi dia malah dapat hardikan dari pembajak. “Kami juga Islam!” Lydia coba membela Retna. “Kok galak-galak amat sih. Kita kan cuma cewek-cewek!” Pembajak tak senang dengan ucapan Lydia. Giliran Lydia kena semprot. “Yah, tapi justru nanti cewek-cewek yang rusak acara!” balas pembajak. Khawatir bikin berang pembajak, Lydia memilih diam. Di sudut lain, Deliyanti kelihatan takut, gugup, dan juga diam. Retna, Lydia, dan Deliyanti mengaku tak pernah beroleh materi untuk menghadapi pembajakan pesawat selama masa pendidikan pramugari. Mereka cuma bisa memikirkan hal buruk tentang diri, awak, dan penumpang pesawat ketika pembajakan baru masuk babak awal. Apalagi sebagian besar pembajak bersikap kasar dan mengancam meledakkan pesawat. “Masih adakah harapan untuk hidup?” batin Retna. Tapi Retna, Lydia, dan Deliyanti enggan berada dalam kungkungan pikiran buruk dan rasa takut terus. Mereka berupaya lepas dari keadaan itu dengan beberapa cara. Retna sembahyang dalam hati. Seluruh perasaannya tercurah ke Tuhan. Deliyanti ambil sikap pasrah. Dia percayakan semua kepada Tuhan. Lydia pun tak jauh beda. Untuk mencapai Libya, pembajak menyusun rute: Penang (Malaysia)-Bangkok (Thailand)-Colombo (Srilanka)-Libya. Mereka mengisi bahan bakar pesawat, meminta peta perjalanan, dan memperoleh bekal logistik di Penang. Mereka juga menuntut beberapa hal ke pemerintah Indonesia. “Untuk membebaskan 80 orang tahanan yang terdiri atas tahanan yang terlibat dalam peristiwa penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki (Bandung) oleh gerombolan bersenjata pada tanggal 11 Maret 1981, tahanan yang terlibat dalam teror Warman di Raja Polah 22 Agustus 1980 dan tahanan yang terlibat dalam teror Komando Jihad 1977/1978,” tulis Pelita , 1 April 1981. Selain itu, mereka minta pemerintah Indonesia sediakan uang sebanyak 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Pembajak menyuruh Herman Rante, pilot, dan Hedhy Juantoro, kopilot, terbang lagi setelah beberapa tuntutan mereka kabul. Antara lain bahan bakar dan bekal logistik untuk ke Bangkok. Retna, Lydia, dan Deliyanti mulai mampu memupus ketakutan dan menghapus pikiran buruk selepas di Penang, Malaysia. Deli yang berdarah Medan bahkan sudah berani menyindir Mahrizal yang logatnya Medan kental. “Payah pula Abang kita ini. Yang dibajak sama-sama sekampung pula,” kata Deli dalam Aktuil, 18-31 Oktober 1982. Mahrizal cuma senyum mendengarnya. Ketegangan agak cair. Para pramugari dan pembajak mulai saling kenal. Pramugari mengenali nama-nama pembajak selain Mahrizal: Wendy, Abu Sofyan, Zulfikar, dan Abdullah. Pramugari memperhatikan rupa-rupa pembajak lebih saksama. Kelimanya mempunyai kesamaan pada kening, sama-sama punya lingkaran hitam. Mahrizal agaknya sempat jatuh hati kepada Deliyanti. Lydia bersaksi Mahrizal melirik dan mengajak ngobrol Deliyanti cukup lama, sedangkan Zulfikar kelihatan terpikat dengan seorang perempuan penumpang yang berpakaian cukup terbuka. Padahal sebelumnya dia memarahi Lydia lantaran berpakaian lengan pendek. “Pakaian porno. Babu Garuda!” Kemudian pesawat mendarat di bandara Bangkok. Pembajak bernegosiasi dengan wakil pemerintah Indonesia yang berada di menara bandara. Pemerintah Indonesia menyatakan tak bisa memenuhi semua tuntutan pembajak. Kesannya malah balik mengancam pembajak. Karuan ketegangan memadat lagi. “Rupanya pemerintah kalian sudah merelakan pesawat ini untuk diledakkan,” kata seorang pembajak. Herman Rante, pilot, pun geram. “Kita ini dianggap apa sih sama mereka (pemerintah Indonesia, red. )?” Deli memperingatkan orang-orang di menara. “Jangan macam-macam deh! Turutin apa mau mereka!” Pesawat berhenti lama di bandara Bangkok. Negosiasi masih alot. Tak ada kata sepakat. Ancaman peledakan mengemuka lagi. Pendingin udara pesawat mati. Penumpang kepanasan. Seorang di antaranya minta diri untuk salat. Tapi pembajak justru membentaknya. “Kalau kamu sudah mau dimatiin, baru ingat sembahyang, ya?” Lydia berikhtiar mencairkan ketegangan. “Bang Rizal (Mahrizal, red. )! Pesanin aja deh ice cream . Enak nih minum ice dalam keadaan gerah begini. Ayo, pesanin deh. Mumpung gratis!” Malam tiba di Bangkok. Negosiasi hampir mencapai kata sepakat. Esok pagi sejumlah tuntutan pembajak dipenuhi pemerintah Indonesia. Para pembajak kegirangan. Pengawasan mereka mulai kendor. Mereka taruh pistol sembarangan saja. Lydia sempat kepikiran mengambil pistol. Tapi pelurunya hanya enam, sedangkan posisi pembajak terpencar. Dia urungkan niat itu. Gagal dengan pistol, Lydia masih ada niat lain untuk membekuk para pembajak. Caranya dengan membius pakai obat tidur. Dia rundingkan niat itu bersama Deli. Jawaban Deli, “Kalau untuk keselamatan kita, nggak usah pakai melawan. Toh, ada kesempatan untuk kabur. Tapi yang kita pikirkan untuk keselamatan bersama.” Lydia urungkan lagi niatnya melawan pembajak. Mereka memilih menunggu hingga akhirnya tidur pulas bersama penumpang lain. Tengah malam di bandara Bangkok. Suara tembakan membangunkan pramugari dan penumpang. Pasukan Komando Sandi Yudha (Kopassandha) menyerang pembajak. Lima pembajak roboh. Nyawanya melayang semua. Herman Rante juga tertembak, tapi nyawanya tetap tinggal. Dalam tiga menit, pasukan Kopassandha berhasil merobohkan para pembajak. Para pramugari dan penumpang selamat. Mereka segera bertemu keluarga. Kecuali Herman Rante. Sebab beberapa hari kemudian dia meninggal dunia. Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin menyatakan keberhasilan penyelamatan pesawat Woyla berkat andil dari awak pesawat juga. “Presiden sangat terharu terhadap keberanian awak Garuda yang sangat membantu keberhasilan pasukan antiteroris Indonesia membebaskan lebih dari 48 sandera di dalamnya,” kata Roesmin dalam Pelita , 6 April 1981. Seorang penumpang berkata dalam Sinar Harapan, 5 April 1981, bahwa "Pramugari-pramugari pesawat tersebut cukup berperan melemahkan emosi para pembajak sehingga tidak buas terhadap penumpang." Meski selamat dari maut, para pramugari mengaku trauma. “Saya sebetulnya sudah nggak mau mengungkit-ungkit itu lagi. Mental saya bisa terganggu,” kata Retna. Tapi keduanya tetap menyambung kerja sebagai pramugari, sedangkan Lydia berhenti dari pekerjaannya setelah mengambil libur beberapa lama untuk pulihkan mentalnya. Biar telah berbeda jalan, ketiganya meninggalkan jejak yang sama. Keberanian dan ketenangan menghadapi situasi sulit.





















