Hasil pencarian
9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa
AKSI gerakan mahasiswa 2019 di berbagai kota kini tengah menjadi pemberitaan luas di media massa dan media sosial. Bukan hanya sekitar tuntutan mereka saja, berbagai cerita lucu nan konyol di sekitar demonstrasi juga bertebaran di Instagram, Facebook dan Twitter. Seorang mahasiswa yang membawa spanduk jenaka saat demo di gedung DPR/MPR. (Fernando Randy/Historia) Aksi mahasiswa yang membawa simbol kematian untuk KPK saat berdemo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia) Sejatinya pengalaman konyol nan jenaka itu juga dimiliki oleh gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Soe Hok Gie sempat merekam cerita-cerita lucu itu di buku hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran ). Bagi Soe sendiri, kisah-kisah itu tidak hanya sekadar membuat hiburan namun juga menjadi ikatan penguat dari perjuangan mereka. “…Dalam petualangan inilah lahir kisah humor-humor mahasiswa,” tulis Soe Hok Gie. Spanduk jenaka yang dibawa oleh para mahasiswa dalam demo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia) Awal 1966, mahasiswa se-Jakarta turun ke jalan untuk memprotes “menteri-menteri goblok”. Tersebutlah rombongan Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) mendapat bagian untuk melakukan aksi pemasangan selebaran yang berisi tuntutan mahasiswa di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Aksi penempelan pun mereka lakukan di tembok dan mobil-mobil yang lewat sekitar Bundaran HI. Begitu banyaknya hingga tak terasa lem yang mereka gunakan ludes. Karena selebaran yang harus ditempelkan masih begitu banyak, mereka lantas berinisiatif untuk memintanya ke Hotel Indonesia. Permintaan mereka diiyakan, namun sudah sejam tak jua datang itu perekat. Mahasiswa marah dan mulai berteriak-teriak. Bukannya cepat dikirim lem, pihak manajemen HI malah mengirim nasi. Tentu saja inisiatif itu menjadikan mahasiswa UI tambah marah dan melemparkan kiriman nasi itu. Lantai mengkilap lobi hotel ternama itu pun jadi lengket dipenuhi nasi. “Kalian menghina kami? Yang kami perlukan adalah lem! Bukan nasi!” teriak mahasiswa. Pimpinan manajemen HI lantas buru-buru mengirim beberapa wadah berisi lem buatan pabrik. Mahasiswa kembali menolaknya, dengan alasan: lem-nya lem borjuis dan tidak bisa dikobok. Terpaksa pimpinan manajemen HI menyuruh para bawahannya memasak kanji dan mengirimnya dengan ember-ember plastik. Di antara para mahasiswa, terdapat Neneng Sabur. Dia tak lain adalah salah satu putri Brigadir Jenderal Mohammad Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Kawal Istana), “musuh” para demonstran anti Sukarno. Begitu rajinnya Neneng menempelkan selebaran-selebaran di tembok dan mobil-mobil, hingga akhirnya mata Neneng terbelalak saat membaca satu selebaran yang telah ditempelnya di sebuah mobil. “Gantung Sabur!” demikian bunyi isi selebaran itu. Tiga puluh dua tahun kemudian, mahasiswa UI kembali turun ke jalan. Akhir Februari 1998, mereka memutuskan untuk kali pertama keluar kampus Depok. Baru saja beberapa meter dari gerbang kampus, terjadi sedikit kericuhan akibat salah paham soal koordinasi. Maka terdengarlah kemudian sebuah teriakan dari alat pengeras suara. “Kawan-kawan! Tenang! Tenang! Komando ada di Padang! Komando ada di Padang!” “ Busyet deh , jauh amat !” celetuk para mahasiswa. Selidik punya selidik, yang dimaksud “padang” itu ternyata bukanlah nama ibu kota Sumatera Barat, melainkan panggilan akrab dari Padang Wicaksono, salah seorang tokoh mahasiswa UI yang menjadi koordinator lapangan aksi tersebut. April 1998, sekira 500 mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional (KM UNAS) Jakarta mengikuti aksi bersama di depan kampus Universitas Pancasila. Begitu acara selesai sekitar jam 15.00, mereka memutuskan untuk pulang ke Pasar Minggu dengan melakukan aksi jalan kaki. Guna meraih simpati masyarakat, sepanjang jalan yang dilalui, para mahasiswa kerap menyuarakan yel-yel “turunkan harga”. Namun dalam perkembangannya yel-yel itu mengalami improvisasi sesuai tempat yang dilewati. Begitu melewati Pasar Lenteng Agung, maka para mahasiswa serentak berteriak “turunkan harga sayur!” Lain waktu saat melewati bengkel, mereka teriak pula: “turunkan harga onderdil”. Begitu seterusnya, hingga sampailah rombongan mahasiswa KM UNAS di depan salon kecantikan. Maka keluarlah teriakan-teriakan dari mahasiswa: “Turunkan tarif rebonding!” “Turunkan tarif meni-pedi!” “Turunkan tariff fesyel (facial)!” Saat itulah tetiba seorang waria muncul dari dalam salon. Sambil melambaikan tangannya, dia balas berteriak: “Ehhh, jangan begitu donggg mahasiswaaaa, akika bisa bangkrutttt, kalau mau murah meni-pedi, turunin dulu donggg harga alat-alat salon!” Mahasiswa pun riuh tertawa dan langsung mengganti yel-yel, menjadi: “Turunkan harga alat-alat salon!” Senyum lantas menghiasi wajah sang waria. Sambil mengacungkan jempol dia pun berteriak: “Gudddddd”.
- Jeritan Petani di Tanah Sendiri
PACEKLIK panjang mendera Jawa Tengah pada pergantian tahun 1963. Hama tikus serta penyakit tanaman pun merajalela. Akibatnya, para petani gagal panen. Penderitaan mereka akibat kelaparan dan busung lapar masih ditambah lagi dengan kasus tepung geplek beracun yang merenggut nyawa banyak warga Gunung Kidul. Buruknya kondisi hidup serta kekecewaan pada pemerintah daerah yang tak bisa mengatasi kasus tepung geplek beracun, menyulut kemarahan masyarakat desa. “Gunung Kidul memang gersang. Tahun-tahun itu kekeringan juga melanda Jawa Tengah. Di Klaten sampai Boyolali kondisinya cukup parah. Belum lagi serangan hama tikus. Kebetulan secara politik Gunung Kidul juga tidak lepas dari pengaruh PKI terutama lewat BTI,” kata Kuncoro Hadi, dosen sejarah UNY dan penulis buku Kronik 65 , pada Historia . Di tengah kondisi kelaparan tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) membersamai Barisan Tani Indonesia (BTI) membuat sebuah komite yang menuntut pemberlakuan reforma agraria. Sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, PKI menjadi partai yang paling gencar mendorong pelaksanaan reforma agraria. Maka dibentuklah komite yang dinamai Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak). Anggota Gerajak terdiri dari pamong desa, guru, petani, dan buruh tani. Gerajak muncul pertama kali pada Januari 1964 saat melakukan demonstrasi di depan kantor Bupati Gunung Kidul. Demonstrasi ini diikuti oleh 150 orang dan dipimpin oleh kepala desa Ponjong. Aksi yang didorong rasa lapar ini tidak hanya mengajukan protes pada bupati Gunung Kidul melainkan juga bertujuan mengganyang setan desa. Lebih jauh, Gerajak juga melakukan intimidasi terselubung untuk meminta barang milik orang kaya. Mereka menduduki lahan milik tuan tanah di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Kaliwungu, Rembang, Sukaraja, dan Gringsing untuk dibagikan kepada petani. “Gerajak memang bagian rentetan gerakan aktif melawan tuan-tuan tanah yang ada di wilayah Jawa Tengah,” kata Kuncoro. Di Wonosari, Gunung Kidul, salah satu tuan tanah yang jadi sasaran ialah Darmawijata. Sebanyak 70 petani menduduki lahan milik Darmawijata. Niatnya, untuk dibagikan kepada para buruh tani. Namun, makin lama aksi Gerajak makin intens pun makin radikal. Menurut Fadjar Pratikno dalam Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani , aksi-aksi Gerajak ditunggangi Gerajak yang sifatnya kriminil. Imbasnya, sulit membedakan dengan aksi-aksi Gerajak yang sifatnya politis. PKI pun jadi setengah hati mendukung. Hal inilah yang menurut Fajar jadi faktor kegagalan Gerajak sebagai gerakan kelas yang tumbuh di pedesaan. Setelah beberapa kali melakukan penggedoran ke rumah warga yang dianggap kaya, para penggerak Gerayak ditangkap di Gunung Kidul, Yogyakarta. “Dukungan (moral) PKI juga dihentikan dan kemudian seperti dianggap gerakan kriminal. Entah kenapa gerakan ini seperti mengulang kembali kasus Grayak awal tahun 50-an,” kata Kuncoro. Umur gerakan ini tak panjang. Gerayak kemudian dibubarkan oleh PKI pada awal Februari 1964 meski tidak lenyap sepenuhnya. Buktinya pada 26 Februari 1964 sepuluh orang anggota Gerajak menggedor rumah Sokromo, tuan tanah desa Tritisan, Gunung Kidul. Anggota Gerajak meminta bahan makanan untuk dibagikan kepada mereka yang kelaparan meski tidak menggunakan ancaman kekerasan. Meski telah beraksi di berbagai tempat, para petani miskin dan buruh tani anggota Gerajak mengalami kebimbangan sikap. Di satu sisi, mereka terikat pada politik PKI dan BTI untuk mengganyang tujuh setan desa dan mendorong pelaksanaan reforma agrarian. Di sisi lain, mereka masih bergantung secara ekonomi kepada tuan tanah dan petani kaya lain. Akibatnya, serangan Gerajak pada tuan tanah jahat tidak bisa menyeluruh atau menjadi gerakan petani yang terpadu melainkan hanya terjadi di beberapa desa saja dan hanya didukung oleh sedikit orang. Belum lagi, 6 partai politik protes pada 10 Desember 1964. Dalam deklarasi 6 partai yang terdiri atas PNI, NU, Parkindo, Partai Katholik, PSII, dan IPKI menyatakan bahwa aksi pendudukan tanah sepihak yang dilakukan oleh PKI dan golongannya dianggap menimbulkan perpecahan dan mengganggu keamanan sehingga membuat Presiden Sukarno memarahi Ketua PKI Aidit. Bersamaan dengan itu, mobilisasi massa untuk kampanye Trikora dan dilanjutkan Ganyang Malaysia sedang digencarkan oleh Sukarno. Isu tersebut dianggap lebih menarik dibanding persoalan politik agraria. Gerakan ini pun tidak mendapat banyak dukungan meski di akhir tahun 1964, Sukarno buka suara. Pada 12 Desember 1964 Sukarno menggelar pertemuan bersama pimpinan partai politik di Istana Bogor bertujuan membahas mengenai persoalan agraria di samping melakukan kondolidasi partai . Dalam rapat tersebut hadir perwakilan dari PNI, NU, PKI, Perti, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Suar Suarso dalam Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno menyebut rapat tersebut menghasilkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan Deklarasi Bogor yang salah satunya membahas sengketa tanah yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan pelaksanaan UUPA.
- Mabuk Saat Berpesta dan Berdoa
Pada suatu jamuan pesta di Majapahit, santapan sedap dihidangkan bagi orang banyak. Makanan serba berlimpah. Minuman mengalir dengan deras. Segala minuman keras tersedia, tuak kelapa dan tuak siwalan, arak, kilang, brêm, dan tampo. Itulah minuman utama, tak ada yang mampu menghadapinya. Wadahnya emas beraneka ragam bentuknya. Porong dan guci berdiri berpencar-pencar berisi minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk. “Merdu merayu nyanyian para biduan melagukan puji-pujian Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau,” tulis Mpu Prapanca dalam Desawarnana atau yang dikenal dengan Nagarakrtagama. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti lewat “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, menyebutkan bahwa minuman merupakan salah satu jenis sajian yang disuguhkan dalam pesta-pesta masyarakat Jawa Kuno. Ada yang tanpa dan ada yang dengan alkohol. Nama-nama minuman beralkohol muncul dalam berbagai prasasti. Khususnya prasasti yang berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak), pada bagian penutup yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara. Contohnya, Prasasti Watukura (902) menyebut mastawa , pāṇa, siddhu, cinca, dan tuak. Prasasti Rukam (907), Prasasti Lintakan (919), dan Prasasti Paradah (943) menyebut tuak, cinca, dan siddhu . Dalam Prasasti Sanguran (928) disebutkan siddhu dan cinca. Prasasti Alasantan (939) menyebut tuak dan siddhu. Selain dalam prasasti, keterangan tentang minuman beralkohol juga dimuat dalam karya kesusastraan. Misalnya, Kakawin Ramayana yang dibuat sekira abad ke-9. Dalam kisah tentang Rama dan Sita itu, minuman beralkohol muncul dalam beberapa kesempatan. Saat kisah di Kerajaan Alengka, para raksasa punya kebiasaan minum darah dan berbagai minuman keras seperti tuak, siddhu, brěm, mastawa, dan pāṇa. Pāṇa yang sedap dan mastawa yang harum juga disajikan bagi Sita ketika di Alengka . Saat itu, Sita dalam keadaan riang karena tahu suaminya masih hidup. Ia bergabung dan bersukaria dengan para dayang yang bermain musik, menyanyi, dan menari. Minuman beralkohol juga dikonsumsi bangsa kera yang menjadi sekutu Rama menyerang Alengka. Minuman itu menjadi salah satu angan Subali menjelang kematiannya. Sementara tuak biasa dihidangkan untuk menyambut tamu agung sebagaimana digambarkan dalam kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa puncak kejayaan Majapahit. Di antaranya disebutkan seluruh pengiring Raja Kasi telah mendapat bagian nasinya yang berlimpah-limpah. " Tuak , badèg, waragang, kilang, brêm, tampo mengalir tanpa henti pada akhirnya tak tergambarkan," tulis sang Mpu. Ery Soedewo, arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, gambaran tentang aktivitas di mana minuman beralkohol dihidangkan umumnya adalah kegiatan yang sifatnya duniawi. Namun, kehadiran minuman itu dalam aktivitas sakral juga ditemukan dalam sumber tertulis Jawa Kuno. Misalnya dalam Serat Pararaton . Pararaton digubah pada 1478 dan 1486, lalu disalin pada 1613. Nama penggubahnya tak disebutkan. Di dalamnya digambarkan akhir riwayat Kertanegara, Raja Singhasari, dalam serangan Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan Kerajaan Kediri. Dalam salah satu bagian Kertanegara digambarkan sebagai sosok yang pijêr anadah sajêng. " Selalu atau gemar minum tuak," jelas Ery. Bahkan Pararaton mengisahkan, sang raja tengah mabuk-mabukan ketika pasukan Jayakatwang menggempur keratonnya. "Radja Civa-Buddha (Krtanagara) selalu minum tuak, diberitahu bahwa diserang oleh Daha, tidak percaya," tulis Pararaton . "Maka ketika Kertanagara sedang minum tuak bersama patihnya mereka dibunuh. Mati, Kebo Tengah membela, mati Manguntur." Sementara Prasasti Gajah Mada (1351) mengungkap hal yang berbeda. Di sana disebutkan kalau Kertanegara tewas dalam serangan itu bersama para brahmana. Ery mengungkapkan, peristiwa kematian Kertanegara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Buddha Tantrayana yang dianutnya. "Jadi bukan bentuk kegemaran Kertanegara terhadap minuman keras khususnya tuak ( sajêng ), atau dalam terminologi sekarang sebagai orang yang alkoholik," lanjutnya. Sebelum akhirnya meregang nyawa, Kertanegara tengah melakukan upacara terakhir untuk membangkitkan kekuatan lain di luar dirinya. Dia mendapatkannya melalui ritual Tantrayana, sekte yang sering dianggap sebagai jalan mempercepat diri mendapatkan kekuatan. Aliran keagamaan yang dianut Kertanegara itu dapat disimpulkan lewat Kakawin Nagarakrtagama. Pun dari kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara pada 1289. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, dengan menjadi Jina, artinya Kertanegara tak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam. Dia pun menguasai kerajaan secara nyata. "Dengan tingkatannya itu, bagi Kertanagara tak ada lagi hal yang terlarang. Dia bisa dengan sadar melakukan pancamakara, atau ma lima," jelasnya.
- Maestro Gamelan di Kiri Jalan
Pada tahun 1893, Slamet Soekari lahir di Surakarta. Karena berasal dari keluarga miskin, Soekari tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sejak umur 12 tahun ia telah menjadi abdi dalem karawitan dan hidupnya bergantung pada keraton Surakarta. Setelah menempa ilmu karawitan bertahun-tahun, sekitar tahun 1912, Slamet dianugerahi gelar pangkat jabatan menengah, Raden dan nama baru Pontjopangrawit. Pangrawit adalah jabatan bagi ‘ nayaga terkemuka yang bersangkutan dengan karawitan’. Sedangkan nama Pontjo dipilihnya sendiri. Pontjopangrawit kemudian bergabung dengan lembaga Pananta Dibya yang berdiri tahun 1914. Lembaga ini bertujuan untuk memperbaiki dan menyusun kembali praktik-praktik serta upacara seni pagelaran keraton. Selain itu, lembaga ini juga aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hubungan Pontjopangrawit dengan politik kelak membawanya ke kamp Digul hingga pusaran tragedi 1965. Diasingkan ke Digul Ketika pada 1915-1925 Belanda berangsur-angsur mengambil alih tanah kerajaan, sentimen anti-Belanda pun semakin timbul. Pananta Dibya kemudian menjadi wadah pemikiran dan kegiatan radikal. Tidak sedikit anggotanya juga bergabung dengan organisasi kaum komunis dan nasionalis. Gerakan antikolonial semakin masif dan pada 1926-1927 terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ribuan orang ditahan dan sebagian dikirim ke kamp Tanah Merah, Digul Atas. Meski tidak terlibat langsung dengan pemberontakan PKI, Pontjopangrawit turut ditangkap. “Bagaimanapun juga ia tidak terlibat langsung dalam aksi perlawanan ini. Tapi ia ikut ambil bagian dalam rapat-rapat, di mana ia selalu dengan terang-terangan menyatakan pandangannya yang sangat antikolonial, dan ini tentu saja menjadi catatan penguasa,” sebut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul Dibalik Sosok Seorang Pejuang. Pontjopangrawit ditangkap pada 1926 dan dikirim ke kamp Tanah Merah pada Maret 1927. Di pengasingan inilah, ia membuat gamelan dari perkakas seadanya seperti kaleng-kaleng susu dan rantang yang kemudian dikenal sebagai Gamelan Digul. Gamelan Digul menjadi hiburan bagi para tahanan di tengah kondisi kamp yang buruk. Gamelan ini sekaligus menjadi simbol hubungan Australia dan Indonesia ketika revolusi. Gamelan Digul kini berada di Universitas Monash, Australia. Pontjopangrawit dibebaskan dan pulang ke Surakarta pada 1932. Tak lama, ia kembali menjadi abdi dalem keraton. Dia mendapat gaji yang cukup dari keraton. Kedudukan yang terhormat juga membantunya memperbaiki reputasi. Namun, Soedarto, anak tunggal Pontjopangrawit pergi dari rumah karena tidak tahan dengan ejekan sebagai "anak komunis". Soedarto hidup miskin di luar rumah dan tak pernah berdamai dengan Pontjopangrawit. Seorang Maestro Sementara itu, Pontjopangrawit semakin terkemuka. Ia menguasai ratusan gendhing gamelan serta mendapat kesempatan bergaul dengan ahli-ahli karawitan terkemuka dan pembaharu. Pada 1933, Pontjopangrawit mempelopori pengangkatan genre siteran yang berasal dari desa. Di luar keraton, Pontjopangrawit membuka sanggar karawitan bersama rekan-rekannya. Namun, karena masih dicap sebagai eks-Digulis, kelompoknya tak pernah diundang ke radio-radio Belanda seperti kelompok karawitan lainnya. Pada 1930-an, Pontjopangrawit pernah membantu mengembangkan repetoar dan teknik pergelaran orkes gamelan Thai baru. Gamelan dilaras menurut sistem nada tradisional Thai. Orkes gamelan itu, oleh Raja Thailand dihadiahkan kepada S.P. Paku Buwana X pada kunjungan ke Surakarta. Meski mengabdi pada kraton, Pontjopangrawit tetap kritis terhadap konsevatisme keraton dan kurangnya dukungan keraton terhadap perjuangan antikolonial. Bersama beberapa abdi dalem lainnya, pada 1948, Pontjopangrawit meninggalkan pengadiannya pada keraton. Pada awal 1950-an, Pontjopangrawit mendapat kehormatan dari Presiden Soekarno bersama kaum perintis kemerdekaan lainnya atas perjuangan sepanjang 1910-an sampai 1920-an, saat diasingkan ke Digul Atas, serta dukungan aktif selama revolusi 1945-1949. Pada 27 Agustus 1950 Koservatori Karawitan (Kokar) Indonesia didirikan di Surakarta. Pontjopangrawit menjadi pengajar penuh sampai mengundurkan diri pada 1963. Ia lalu melanjutan mengajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). “Konon dikatakan bahwa ia bisa memainkan gambang di belakang punggungnya (seperti pianis ahli Nicholas Slonimsky yang bisa memainkan piano dengan cara seperti itu),” papar Kartomi. Selain itu, menurut beberapa bekas muridnya, saat mengajar, Pontjopangrawit duduk di depan murid-murid, mengajar rebab dan gender secara terbalik, sehingga memudahkan para murid menirunya. Hardja Susilo, etnomusikolog dan pengajar gamelan di Universitas Hawaii dalam Enculturation and Cross-Cultural Experiences in Teaching Indonesian Gamelan menyebut permainan gamelan Pontjopangrawit termasuk yang paling kompleks dan sulit pola melodinya. “Beberapa pertunjukan, seperti permainan rebab Ki Pontjopangrawit, terlalu rumit untuk ditranskripsikan. Ada terlalu banyak detail, yang tidak bisa diwakili oleh sistem notasi. Ketika kami memasukkan data ke dalam melograf Charles Seeger, sebuah mesin yang dapat menyalin peristiwa melodi tunggal dengan sangat terperinci, kami menghadapi masalah yang berbeda. Karena mesin itu sangat sensitif, ia memberikan terlalu banyak detail dalam transkripsi. Ini menunjukkan segala macam mikroton yang menghambat upaya kami untuk menemukan pola melodi,” jelas Susilo. Hilang Pasca 1965 Pontjopangrawit tiba-tiba hilang pada akhir 1965, pasca peristiwa G30S.“Tampaknya ia terperangkap dalam kejadian-kejadian menggemparkan yang menyusul usaha kudeta atas Presiden Soekarno pada 30 September tahun itu,” sebut Kartomi. Belum jelas bagaimana posisi Pontjopangrawit dalam PKI maupun Lekra. Menurut Hersri Setiawan, mengutip Kartomi, “oleh pimpinan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Jawa Tengah, bahwa selama tahun 1960-an sampai 1965 Pontjopangrawit adalah ‘orang Lekra yang tidak aktif dan tidak diaktifkan.” Sementara itu Tri Ramidjo, eks tapol yang pernah tinggal berdekatan dengan rumah Pontjopangrawit di Surakarta, berdekatan pula dengan rumah Kiai Haji Muchlas, ayah M.H. Lukman (Wakil Ketua CC PKI) menggambarkan hubungan Pontjopangrawit dengan lagu-lagu kiri. “Di rumah Oom Pontjo Pangrawit ini penuh dengan alat musik gamelan, ada gambang, bonang, saron dan entah apalagi namanya aku tak tahu. Semuanya adalah buatan Oom Pontjo. Beliau pintar sekali menabuh gamelan dan bahkan dengan kaleng-kaleng susu yang dibuatnya gamelan itu bisa melagukan lagu Darah Rakyat , Internasionale , lagu 1 Mei , Mariana Proletar , de Rode Vandel , dll. Aku sudah lupa lagu de Rode Vandel , tapi yang lain aku masih ingat notnya,” kata Ramidjo dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah. Kapan dan bagaimana Pontjopangrawit meninggal tidak diketahui. Menurut Kartomi, kemungkinan Pontjopangrawit meninggal pada 10 November 1965. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Pontjopangrawit tidak nampak mengajar lagi sejak Hari Pahlawan 1965. Sedangkan menurut Hersri, nama Pontjopangrawit juga tak pernah ada di tahanan. Namun menurut versi pemerintah, melalui batu nisan di makam Desa Gurawan, pinggiran Surakarta, ditulis bahwa Pontjopangrawit meninggal pada 11 Oktober 1971. Pihak keluarga menyangsikan itu. “Semua eks tapol Digul lainnya yang terkenal di daerah Surakarta dikumpulkan, ditahan dan dibunuh di penjara segera sesudah kejadian yang dinamakan kudeta 30 September 1965. Bagaimana mungkin Bapak Pontjopangrawit tidak ditangkap dan dibunuh bersama mereka itu?” kata keluarga Pontjopangrawit seperti dikutip Kartomi.
- Perlawanan dari Gejayan
Aliansi Rakyat Bergerak menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat Yogyakarta untuk mengikuti aksi #GejayanMemanggil pada 23 September 2019. Massa akan bergerak dari Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma, Pertigaan Revolusi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Bundaran Universitas Gadjah Mada, ke pusat titik kumpul di Pertigaan Colombo, Gejayan. “Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan masyarakat Yogya terhadap rezim yang represif. Di tahun 2019, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah,” demikian bunyi seruan #GejayanMemanggil. Dalam selebaran yang viral, #GejayanMemanggil menyebut pemerintah telah memojokan rakyat melalui RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis di berbagai sektor, dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan. Bagimana peristiwa Gejayan di tahun 1998? Pada 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang bernaung di bawah Somasi (Solidaritas Mahasiswa Sanata Dharma untuk Reformasi) menggelar mimbar bebas. Mereka menyuarakan agar Presiden Soeharto, harga barang-barang, dan bahan bakar minyak, turun. Menurut Hiro Tugiman dalam Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto , menjelang siang, mahasiswa berdatangan dari kampus lain. Halaman kampus Sanata Dharma tak muat, massa meluber ke jalanan. Orasi semakin panas. Seorang pembicara mengajak long march ke kantor DPRD di Jalan Malioboro. Semua setuju, serentak bergerak. Sekitar sepuluh ribu massa memadati Jalan Gejayan. Mereka terus merangsek sehingga Pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman mundur. Massa meminta Kapolres Sleman Letkol Bambang Purwoko mengawal long march ke DPRD. Namun, dia menolak dan mendatangkan Kolonel Subagio Waryadi, Ketua DPRD Yogyakarta dan Letkol Sriyono H.P. dari Fraksi ABRI. Massa menyandera mereka karena tak bersedia mengantarkan long march ke DPRD. Setelah berunding, sandera dibebaskan. Somasi sempat membubarkan aksi, tapi main bakar mulai merebak. Ketika matahari terbenam, bentrokan tak terhindarkan. Korban luka-luka di kedua belah pihak berjatuhan. “Suasana mirip perang kota. Gelap membuat gamang, marah, dan melampiaskan dendam kepada elite kekuasaan,” tulis Hiro. Puing-puing setelah kerusuhan di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Mei 1998. (Repro Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto). Pada 6 Mei 1998, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia , demonstrasi serentak terjadi di beberapa kampus, termasuk UGM, IKIP (kini UNY), Sanata Dharma, dan IAIN (kini UIN). Sebagian besar demonstrasi berjalan damai. Tapi di Jalan Gejayan, yang melewati kampus IKIP dengan Sanata Dharma, terjadi bentrokan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 demonstran ditangkap. Aksi berlanjut dengan puncaknya pada 8 Mei 1998. Pada sore hari, ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi demonstrasi di gerbang kampus. Di lokasi lain, kurang dari satu kilometer dari UGM, mahasiswa IKIP dan Sanata Dharma, juga berdemonstrasi. Kedua kelompok mahasiswa ini ingin bergabung dengan mahasiswa UGM. “Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samsu. Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa menggunakan batu dan bom molotov. Akibat kerusuhan ini berbagai fasilitas publik rusak: pot bunga, lampu jalan, lampu lalu lintas, gardu listrik, dan telepon umum. “Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samsu. Menurut Hiro, m alam itu, Moses (alumnus Sekolah Tinggi Akprind tahun 1995) dan temannya, Zulfikar, hendak mengisi perut dan keluar rumah menuju Jalan Gejayan. Tapi mereka terjebak di antara massa dan petugas keamanan. Mereka terpisah. Rupanya Moses tercokok petugas. Dia dipukuli dan tergeletak tak berdaya di pojok utara Hotel Radison. Dia tewas dalam ambulans menuju rumah sakit. Mahasiswa kembali berdemonstrasi pada 15 Mei 1998. Bentrokan terjadi di Jalan Gejayan. Selain membakar ban, massa juga melempari kaca bank-bank dan ruang pamer mobil Timor sebagai simbol korupsi keluarga Soeharto. “Pada titik kritis ini, Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, muncul di persimpangan Jalan Solo, ketika ribuan demonstran berkumpul sore hari itu. Kehadirannya segera menarik perhatian massa,” tulis Samsu. Sambil berdiri di atas mobil, Sultan berpidato kepada massa: “Saya menghormati perjuangan Anda untuk reformasi. Tapi, jangan gunakan cara-cara kekerasan. Jika kalian tertib, saya akan selalu mendukung aspirasi Anda.” “Massa tepuk tangan dan tidak ada lagi kekerasan lanjutan sore itu. Demonstran kemudian beringsut pulang,” tulis Samsu. Esok harinya, di banyak jalan di Yogyakarta bermunculan baliho dan spanduk yang menyampaikan pesan-pesan nirkekerasan dan menahan diri. Pada minggu terakhir sebelum Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, demonstrasi-demonstrasi di Yogyakarta berlangsung secara damai. Kali ini, akankah pemerintah dan politisi di Senayan mendengar seruan dari Gejayan?
- Saat Pengusaha-Pejuang Apes
SAAT menjadi liaison officer di Kemerterian Kemakmuran, Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang jadi konglomerat nasional, menyaksikan bagaimana Menteri Kemakmuran Adenan Kapau Gani marah kepada NICA di suatu hari pada 1947. Kemarahan Gani, yang dikenal sebagai “Raja Penyelundup”, disebabkan oleh kesewenang-wenangan tentara Belanda menggeledah kapal milik Indonesia di tengah laut pada 1947. Padahal, kapal itu mengangkut beras bantuan pemerintah Indonesia untuk pemerintah India. Kemarahan Gani juga disebabkan ketidakpedulian para serdadu Belanda terhadap penjelasan dan protes berkali-kali kapten kapal. Gani yang tak menolerir pelanggaran itu pun langsung melayangkan protes mengingat itu bukan pertama kalinya serdadu Belanda melanggar kapal Indonesia. Lantaran sikap Belanda tetap seperti sebelumnya, Gani tak lagi bisa memendam amarahnya ketika tak lama kemudian serdadu Belanda menyeret paksa kapal milik AS Isbrandsen Lijn ke Tanjung Priok untuk menyita muatannya. Gani melayangkan protes keras. Muatan dalam kapal itu dikatakannya milik sah pemerintah Indonesia. Pemerintah Belanda menampik protes Gani. Menurut mereka, muatan dalam kapal merupakan hasil perkebunan milik Belanda yang ada di berbagai tempat di Jawa Barat. Sontak, sikap Belanda membuat Gani mencari cara lain untuk menghadapinya. Dia lalu memanggil Hasjim. “Bung, bakar gudang tempat menyimpan barang-barang kita itu,” kata Gani kepada Hasjim yang dituliskan Hasjim dalam otobiografinya, Pasang-Surut Pengusaha Pejuang . Hasjim langsung bergerak melaksanakan perintah itu. Setelah hampir sebulan memantau situasi lapangan, Hasjim memutuskan menggunakan para serdadu yang sekaligus bandit untuk dijadikan eksekutor. “Mereka suka foya-foya dan mabuk-mabukan. KL dan KNIL yang demikian cukup banyak ditemui di Jakarta. Tapi yang mau mengerjakan pembakaran itu mestilah mereka yang pernah ‘menikmati’ uangku,” kata Hasjim. Pada tanggal tua, saat kantong para serdadu Belanda telah menipis, Hasjim pun menemui dua serdadu Belanda yang dikenalnya. Di sebuah bar di Kramat, Hasjim “mencekoki” keduanya hingga mabuk. Sambil meninggalkan uang f 100 untuk bayar minuman, Hasjim lalu berdiri untuk pamit karena banyak pekerjaan. Karuan tindakan Hasjim mengagetkan dua serdadu Belanda tadi. Seolah tak membutuhkan, sambil ngeloyor Hasjim berkata pada serdadu-serdadu tadi. “Kalau kau mau uang lebih banyak, aku punya pekerjaan buatmu.” Tawaran itu pun disambut nafsu oleh dua serdadu mabuk tadi. Setelah diberitahu pekerjaan itu berupa membakar gudang di Tanjung Priok, dua serdadu tadi saling berpandangan dan akhirnya menyanggupi. “Kau akan bayar berapa?” kata salah seorang serdadu. “Berapa kau mau?” Hasjim balik bertanya. “Lima ribu.” “Okey. Setelah kau lakukan, aku bayar. Kalian tahu di mana aku tinggal.” Lima hari kemudian, pembakaran sebuah gudang di Tanjung Priok menjadi pemberitaan berbagai media massa. Hasjim membacanya. Dia lingkari berita itu dengan pena merahnya. Lalu, dia tunjukkan kepada Menteri AK Gani. Sang menteri girang bukan kepalang. “Anak-anak mana yang melakukannya?” kata Gani. “KNIL. Bayarannya lima ribu gulden,” jawab Hasjim. “Gila kau. Siapa yang beri izin kau bayar sebanyak itu?” “Bung, gudang itu sudah mereka bakar. Nanti mereka akan datang minta uangnya. Aku harus bilang apa?” “Sungguh gila jij, Hasjim. Jij tidak bilang padaku lebih dahulu. Sekarang aku tidak punya uang.” Alhasil, Hasjim pun terpaksa mengeluarkan tabungannya untuk mengupah dua serdadu tadi.
- Babak demi Babak Kehidupan Julisa Rastafari
PELUIT hijau bertali hitam itu senantiasa dikalungi. Selama sesi dua jam latihan di arena outdoor Gelora Bung Karno sore itu, Julisa Moertoetyana Rastafari memilih tarik suara untuk memberikan setiap arahan pada anak-anak asuhnya, tim basket putri Indonesia Muda (IM). Tidak hanya lihai memainkan telunjuk untuk memberi instruksi, ia acapkali memberi contoh dengan berlarian mendribel bola melewati hadangan anak-anak didiknya hingga bola masuk ke dalam ring dengan sempurna. Padahal, usianya sudah tak lagi muda. Pada 30 Juli lalu ia menginjak usia 57 tahun. Lebih dari separuh usianya dihabiskan di arena basket, baik sebagai pemain, pelatih, maupun pengurus Perbasi. “Ya melatih sampai saya enggak kuat aja. Lagipula Indonesia Muda sudah seperti rumah bagi saya,” tutur Julisa kepada Historia menjawab pertanyaan sampai kapan akan berkiprah di dunia basket. Gaya melatih Julisa M. Rastafari keras, semata untuk kebaikan anak-anak asuhnya (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Tak seperti kebanyakan perempuan paruh baya yang di usia segitu sekadar istirahat menanti usia senja, stamina dan kondisi fisik Julisa masih bagus berkat kegemarannya olahraga beladiri sejak kecil. Karate, kungfu, taekwondo, hingga pencak silat Merpati Putih pernah ditekuninya. “Makanya sampai sekarang nafas saya masih bagus. Sejak SD sudah senang olahraga beladiri sebenarnya. Sampai akhirnya memutuskan lari ke basket saja saat masuk SMP,” tambahnya. Cinlok Berujung Pernikahan Bola basket jadi olahraga populer di kalangan muda-mudi sejak masa lampau. Harus diakui memang, prestasi Indonesia dalam olahraga yang diciptakan teknokrat Kanada-Amerika Serikat Dr. James Naismith ini jauh di bawah bulutangkis atau pencak silat. Prestasi paling mentereng yakni medali perak, diraih tim basket putri Indonesia di SEA Games 1991. Dalam tim itu, Julisa berposisi sebagai guard utama sekaligus jadi kaptennya. Sebelumnya, ia turut bersumbangsih dalam menyumbang perunggu di SEA Games 1987 dan 1989. Hingga sekarang, torehan itu belum mampu dilewati. Prestasi itu baru 24 tahun berselang bisa disamai, di SEA Games 2015. “Dulu sempat punya haul bahwa kalau prestasi saya dan teman-teman saya dulu (1991) belum disamai, saya belum bisa tenang. Sekarang sudah tercapai jadi sudah lega,” lanjut Julisa. Di usia yang tak lagi muda, Julisa M. Rastafari masih setia memoles bibit-bibit muda basket putri Indonesia Muda (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Ada dua cerita menarik di balik kesuksesan di Manila 28 tahun lewat. Ketika ia mesti fokus dalam persiapan, Julisa justru menghadapi dua ujian berat: skripsi dan wafatnya sang ayah. Beruntung sokongan moril pelatih sekaligus kekasih, Rastafari Horongbala, berperan besar dalam memikul beban itu. Dua sejoli yang berbeda usia 13 tahun-an itu sudah saling mengenal sejak persiapan SEA Games 1983 hingga terlibat cinta lokasi (cinlok). Mereka akhirnya menikah pada Juni 1991 setelah ayah Julisa, Mursanjoto, wafat dan sebelum SEA Games di Manila, 24 November-3 Desember 1991. “Pacaran sama Mas Fari beda. Enggak seperti cowok-cowok lain. Dia enggak memperlihatkan kita pacaran. Semakin hubungan kita dekat, semakin dihabisin (makin keras dilatih). Sebetulnya dulu dekat cuma karena saya perhatian sama bajunya. Dia kan gendut, bajunya ketat. Jelek banget bajunya, seperti enggak ada yang ngurusin,” Julisa mengenang. Padahal, kala itu Julisa dan Fari sudah sama-sama punya pacar. Namun mereka dekat dengan menjalani hubungan backstreet sampai akhirnya keluarga Fari melamar pada medio Juni 1991. Ibu Julisa, Tuti Basuki, berkenan menerima karena toh ia sudah tahu Julisa dan Fari sudah lama dekat. “Ya namanya orangtua ya, mungkin tahu aja gitu kalau kita backstreet . Setelah Papa meninggal, ayahnya Fari diam-diam ngomong sama Mama. ‘Kawinin aja, yuk,’ gitu. Katanya Fari juga sudah berumur, saya juga sudah enggak ada ayah. Sebenarnya kita menikah enggak mungkin. Umurnya beda 13 tahun. Dia juga agamanya Kristen saat itu. Latar belakang pacarnya banyak. Buaya deh, hahaha …” sambungnya. “Pacar saya sebelum Mas Fari orang ngetop soalnya, hahaha …” Sinkronisasi Otak dan Hati Julisa dan Fari menikah di bulan yang sama dengan wafatnya sang ayah. Keluarga besar Rastafari bukan keluarga sembarangan. Mengutip Teater Koma: Potret Tragedi dan Komedi Manusia Indonesia karya Herry Gendut Janarto, ayah Fari adalah tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) asal Jember Abdul Madjid. Ibunya Elsje Dauhan, putri tokoh politik PNI asal Manado G.E. Dauhan. Fari anak kedua dari pasutri Madjid dan Elsje sekaligus kakak dari seniman teater Ratna Karya Madjid alias Ratna Riantiarno. Fari juga jadi sosok yang paling berperan memberi sokongan moril buat Julisa menyelesaikan skripsinya. Kebetulan Julisa mendapat jadwal sidang skripsi di Jurusan Geologi Universitas Trisakti pada Desember, tak lama setelah SEA Games usai. Artinya, ia juga berjibaku merampungkan skripsi bersamaan dengan persiapan hingga waktu pertandingan di SEA Games. “Apalagi dulu saya dapat dosen pembimbingnya yang ‘ killer’ . Saya bawa-bawa itu skripsi ke mana-mana. Baru sampai Bab IV, nangis saya. Kapan kelarnya, sudah ditegur kampus. Mas Fari ngomong, ‘Emang kamu nangis itu Bab IV jadi Bab V, gitu? Enggak, kan? Kerjain aja se-selesainya. Jangan diam. Enggak usah pikir waktunya’. Saya pikir, benar juga yang dibilang Mas Fari,” kata Julisa mengenang. Saat menghadapi sidang skripsi, Julisa dagdigdug. Namun, “pertolongan” Tuhan menghilangkan rasa deg-degan itu seketika di saat yang tepat. “Hampir stres saya sebenarnya. Begitu duduk, ada satu dosen penguji ngomong, ‘Kalau Julisa sidang, tidak ada yang mempersulit pertanyaannya. Karena apa? Kita harus bangga. Dia seorang pemain nasional bisa menyelesaikan skripsinya.’ Di situ (perasaan) berbunga-bunga. Pertanyaannya gampang-gampang, sudah habis itu lulus. Makanya kalau kita apa-apa pakai hati, semua dipermudah. Tuhan pasti kasih jalan,” kata Julisa. Julisa Moertoetyana Rastafari bersama suami, Rastafari Horongbala dan kedua anaknya, Andakara Prastawa Dhyaksa & Baladika Badra Anggakara (Foto: Instagram @rastafari.h) Beban berat mempersembahkan prestasi sebagai atlet sekaligus mewujudkan pendidikan setinggi-tingginya itu sudah sukses dilalui Julisa. Keberhasilan itu hingga sekarang jadi salah satu kiatnya dalam melatih keras anak-anak asuhnya di IM. Selain fisik, ia menekankan anak-anak asuhnya tak boleh melupakan pendidikan.Kehidupan mereka harus sinkron antara kebutuhan fisik dengan berolahraga dan kebutuhan otak dalam pendidikan. “Memang komitmen saya sendiri. Saya enggak mau sukses di olahraga tapi bodoh. Makanya saya sekarang melatih menanamkan itu. Bahwa kamu boleh jago, tapi jangan lupa kamu harus jadi sarjana. Kan seumur hidup kita juga enggak akan jadi pemain,” papar Julisa.
- Yang Terbuang Setelah Perang
KEKALAHAN Jepang dalam Perang Dunia II menyisakan masalah baru dengan Indonesia, wilayah jajahan Belanda yang sempat diambil alih Jepang. Mahasiswa Indonesia yang studi di Jepang dalam program nantoku terlantar pasca kapitulasi. Mereka terpaksa tinggal di Jepang sampai kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Di Indonesia, anak-anak yang lahir hasil kawin campur perempuan Indonesia dan laki-laki Jepang ikut jadi korban. Mereka tidak diperkenankan tinggal di Indonesia karena dianggap berkewarganegaraan Jepang. Korban perang dari arus bawah itulah yang diteliti sejarawan Jepang Aiko Kurawasawa dalam buku terbarunya Sisi Gelap Perang Asia . Buku ini merupakan cuplikan kisah-kisah human interest dari disertasi kedua Aiko di Universitas Tokyo berjudul “ Sengo Nihon Indonesia kan Keishi ” (Hubungan Indonesia-Jepang Pascaperang). Aiko mengatakan itu terjadi pada periode gelap hubungan Jepang dan Indonesia. “Antara 1945—1957 belum ada hubungan resmi antara Indonesia dan Jepang. Saya mengambil nasib orang-orang kecil; orang biasa yang hidup di dalam kedua negara tersebut dalam masa itu,” kata Aiko dalam peluncuran bukunya di ruang seminar Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019. Aiko juga mengangkat kisah perempuan Indonesia yang menikah dengan tentara Jepang. Banyak dari mereka-- yang kemudian diboyong ke Jepang-- mengalami kesulitan menghadapi situasi hidup serba baru dan serba berbeda, mulai dari tata cara penyelenggaraan pernikahan, status penikahan, hingga menjalani rumahtangga. Tak aneh jika kemudian sebagian besar pernikahan itu harus berakhir dengan perceraian. Bedah buku Sisi Gelap Perang Asia karya Aiko Kurawasawa di di ruang seminar PDDI LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019. (Fernando Randy/Historia). Orang-orang itulah yang kemudian berjuang mati-matian agar dapat kembali pulang ke tanah air. Mereka yang disebut oleh Aiko, sebagai “korban perang”, dibiarkan terlantar di tempat yang tidak semestinya. Akibat perang, mereka termarjinalkan dan harus mengalami kesukaran dan rupa-rupa cerita sedih. Orang-orang kecil yang kehidupannya diganggu ini akhirnya berhasil mencari solusi dan mendapatkan kembali keselamatannya untuk memulai kehidupan baru di zaman pascaperang. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam yang jadi salah satu pembedah buku menyoroti tentang repatriasi pekerja paksa romusha. Banyak dari romusha yang dibawa dari Jawa ke berbagai wilayah jajahan Jepang. Nasib malang tidak dapat ditolak. Begitu Jepang kalah mereka ditinggalkan begitu saja di tempat kerja. Asvi mencatat, dari 300.000 romusha hanya 52.117 yang berhasil dipulangkan. “Ini sangat tragis,” kata Asvi, “Orang-orang yang terlantar karena perang; orang-orang yang nasibnya dipermainkan karena situasi politik dan peperangan pada saat itu.” Mengenai romusha, Asvi menguak satu hal yang kontroversial, yaitu mengenai peran Sukarno. Apakah Sukarno bersalah soal romusha? Menurut Asvi, Sukarno – yang juga diakuinya sendiri dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat – terlibat dan mendukung program pengiriman romusha . Demikian kutipannya, “Sesungguhnya akulah – Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, aku lah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya.. ya.. akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha .” Sementara itu, sejarawan Rushdy Hoesein yang turut membedah buku menyoroti dari perspektif militer. Usai Jepang kalah perang, banyak dari prajuritnya yang bertugas di Indonesia menolak kembali ke Jepang. Mereka lebih memilih menetap di Indonesia atau berjuang untuk Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perjanjian pascaperang antara tentara Sekutu pemerintah Jepang. Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University yang meneliti hubungan Indonesia Jepang selama lebih dari 30 tahun. (Fernando Randy/Historia). Yang menarik, bila Aiko menguak kesengsaraan perempuan Indonesia yang dinikahi lelaki Jepang maka Rushdy menyatakan sebaliknya. Rushdy yang kenal banyak veteran perang Indonesia jebolan PETA (Pembela Tanah Air) mengatakan, lelaki Indonesia yang menikahi perempuan Jepang dan tinggal di Indonesia umumnya hidup lebih bahagia. “Banyak sekali mantan tentara Jepang yang terlibat dalam pasukan PETA itu ketika masih hidup pada setiap tanggal 17 Agustus mereka hadir dalam upacara peringatan proklamasi kemerdekaan di Yayasan PETA,” kenang Rushdy yang menulis disertasi tentang peran Sukarno dalam Perjanjian Linggadjati. Hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang secara resmi baru terjalin pada 1958. Ini terjadi seiring dengan kesepakatan Jepang membayarkan pampasan perang kepada Indonesia. Dengan demikian, relasi kedua negara memasuki babak baru sebagai sesama negara berdaulat.
- Kisah Penakluk Angkasa Borneo
Lelaki itu berperawakan tinggi besar. Rambutnya sudah memutih. Usianya menginjak 82 tahun. Tapi suaranya masih jelas dan ingatannya sempurna. Pramono Adam, Kolonel Penerbang (Purn.), bercerita kepada Historia tentang pengalamannya selama menjadi pilot Angkatan Udara Republik Indonesia di Kalimantan pada masa Dwikora (Dwi Komando Rakyat) 1963—1965. Pramono Adam saat melihat koleksi tanaman di halaman belakang rumahnya. (Fernando Randy/Historia). Masa itu Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Musababnya Inggris berniat membentuk Federasi Malaya (nama lama Malaysia) di utara Kalimantan tanpa membicarakannya dengan Indonesia. Presiden Sukarno tersinggung, merasa dilangkahi, dan menentang rencana itu. Dia pikir rencana itu juga sebentuk kolonialisme baru. Tidak sesuai dengan semangat zaman. Maka dia berseru, “Ganyang Malaysia!” Berbagai hiasan bertema Angkatan Udara banyak terlihat di rumah Pramono Adam di kawasan Bogor. (Fernando Randy/Historia). Ketika Historia menemui Pramono, dia tengah asik berbincang dengan dua veteran Indonesia, Tatang Kurniadi dan M. Husni. Cerita Pram, begitu dia dipanggil, keluar begitu detail. Membuat pendengarnya seolah ikut merasakan apa yang dia rasakan dulu. Misalnya ketika dia dan kawan-kawannya kesulitan makan saat zaman Jepang menduduki Indonesia. “Saya masih ingat betul ketika dulu harus makan telur dibagi untuk delapan orang. Biar kenyang, kami tambahkan belerang,” katanya sambil tersenyum. Pram seringkali melihat ke jendela untuk menunggu tukang koran langganannya. (Fernando Randy/Historia). Walau sudah berusia 82 tahun ingatan Pramono Adam akan semua pengalamannya masih sempurna. (Fernando Randy/Historia). Kisah lainnya lebih seru. Pram menuturkan, suatu hari dia pernah mengantar Brigjen TNI Soemitro, Pangdam IX/Mulawarman, dari markasnya di Balikpapan (timur) hingga ke Long Bawang (utara). Jaraknya sekira 700 kilometer dengan topografi berbukit-bukit dan hutan lebat. Long Bawang ketika itu adalah zona tempur utama antara Indonesia dan Malaysia. Pram dan Soemitro menggunakan helikopter. Mereka ditembaki oleh Inggris dengan meriam. Pram bersama dengan sesama veteran pejuang Indonesia Tatang Kurniadi dan M. Husni. (Fernando Randy/Historia). “Awalnya hanya untuk mengantar kemudian kembali ke Tarakan. Tapi malah disuruh menginap. Besoknya kami pulang. Bila terlambat sepersekian detik mungkin kami tidak selamat, karena setelah itu peluru meriam musuh dari perbatasan Malaysia menghanguskan seluruh Long Bawang,” sambungnya. Istri Pram, Sri Ningsih selalu setia berada di sampingnya baik saat masih bertugas dulu hingga kini saat pensiun. (Fernando Randy/Historia). Pram menghabiskan sore harinya dengan menyiram dan memeriksa tanamannya. (Fernando Randy/Historia). Semua peristiwa tersebut sudah berlalu. Kini Pram menjalani hari baru. “Sekarang tinggal menikmati hidup, bangun pagi baca koran, sore hari siram tanaman, lalu nonton tv sama istri. Saya tidak pernah tidur di atas jam sembilan malam. Tidur terlalu malam tidak baik untuk orang seusia saya ini,” tutur pria yang dikarunai empat orang anak tersebut. Berbagai hiasan dan karat di mobil Pram, menghiasi rumahnya sekarang. (Fernando Randy/Historia). Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah kehidupan Pram sekarang. Anak dan cucunya mengikuti jejak Pram menjadi pilot. “Mereka bukan pilot helikopter, tapi pilot maskapai penerbangan,” katanya. Pram memperlihatkan foto-fotonya dulu saat masih bertugas bagi negara. (Fernando Randy/Historia). Cerita Pram tentang masa konfrontasi Indonesia-Malaysia masih banyak. Menanti terus untuk digali. “Kami selalu suka berbagi cerita, pintu rumah saya selalu terbuka untuk semua orang yang ingin mendengar kisah saya, terutama anak-anak muda,” tutupnya. Pram dan istrinya Sri Ningsih, selalu membuka pintu rumahnya untuk anak-anak muda yang ingin mendengar kisah perjuangnya. (Fernando Randy/Historia).





















