top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ketika Ibukota Kesultanan Deli Pindah ke Medan

    REPUBLIK Indonesia bersiap memiliki ibukota baru: dari Jakarta pindah ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Rencana perpindahan pusat pemerintahan ini telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo. Selain dari APBD, skema pendanaannya akan melibatkan pihak swasta. Di zaman kolonial, perpindahan ibukota juga lazim terjadi. Pada 1 Maret 1887, pemerintah kolonial memindahkan ibukota Karesidenan Sumatra Timur dari Bengkalis ke Medan. Perpindahan ini tidak terlepas dari pertumbuhan kawasan Medan yang pesat secara ekonomi. Sebelum menjadi kota, Medan hanyalah suatu kampung dalam Kerajaan Melayu Deli. Letaknya diapit oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Sejak 1869, kampung Medan dibangun oleh pengusaha Belanda untuk lahan penanaman tembakau. Pelopornya adalah Jacobus Nienhuys. “Jadi dapatlah kita lihat betapa penting letak kampung Medan selaku pelabuhan tongkang-tongkang dari laut yang membongkar muatan di sini untuk diteruskan dengan perahu-perahu lebih kecil mudik ke Deli Tua atau mudik ke Sungai Babura,” tulis sejarawan Deli terkumuka Tengku Luckman Sinar dalam Sejarah Medan Tempo Doeloe . Tembakau Deli yang laku keras di pasar dunia mengubah wajah kampung Medan. Permintaan tembakau Deli di pelelangan tembakau cukup tinggi. Orang-orang Eropa menyebutnya sebagai pembungkus cerutu terbaik. Para tuan kebun Belanda yang membuka kantor dagang di Medan ikut meraup untung. Di tangan mereka, kawasan yang semula tanah rawa ini disulap menjadi kota koloni pendulang uang. Medan kian ramai. Residen Sumatra Timur tertarik memindahkan kantornya ke sana. Sultan Deli pun tidak ingin ketinggalan. Perkembangan Kota Medan berdampak terhadap sepinya ibukota Kesultanan Deli, Labuhan Deli. “Pamor Labuhan sebagai ibukota Deli mulai meredup. Deli adalah Medan, dan tanpa Medan tidaklah Deli itu berarti,” tulis Alexander Avan dalam Parijs van Soematra .  Menurut Avan selain karena potensi Labuhan yang menurun, Sultan memandang kedudukan residen Sumatra Timur di Medan sebagai kesempatan memperkuat kedudukan politiknya. Pada 1891, Sultan Makmun Perkasa Alam memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Deli ke Medan. Sultan Deli menempati singgasananya di Istana Maimun yang megah. Sisi belakangnya menghadap Sungai Deli dan sisi depan menghadap ke jalan raya. Perlahan, Medan menampilkan citra kota modern. Jaringan kereta api “Deli Spoor” untuk mendukung bisnis perkebunan dibangun berikut jaringan teleponnya. Alun-alun raya Esplanade – sekarang menjadi Lapangan Merdeka – menjadi pusat kota. Rumahsakit dan hotel-hotel bermunculan. Gedung-gedung bergaya Eropa semakin banyak ditemui. Sarana hiburan seperti pacuan kuda, klub sepakbola, ataupun perkumpulan olahraga semakin memperkuat kesan Medan sebagai kota urban. Aktivitas di kota ini sibuk dengan berbagai macam bisnis, urusan pemerintahan, dan kehidupan sosial yang plural. Pada 1 April 1909, Kota Medan memperoleh statusnya sebagai gementee (kota) baru. Pengukuhan itu diresmikan langsung oleh Gubernur Hindia Belanda J.B. van Heutz di Bogor. Orang-orang Belanda dengan jemawa menyandingkan Medan sebagai Parisnya Sumatra. “Orang Belanda Deli ini sangat bangga pada karakter modern dan internasional Sumatra Timur dan keelokan ibukotanya, Medan,” demikian catat sejarawan Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution & The End of Traditional Rule in Northern Sumatra . Di Medan, kenyaman hidup orang Belanda hampir tidak dapat disamai kota lain di negeri Hindia. Gelimang kemewahan itu beririsan pula dengan keangkuhan. Sebagai akibatnya, posisi mereka menjadi sangat kuat dan cenderung lebih berkuasa ketimbang pemerintah kolonial. “Presiden Direktur Deli-Company bagi mereka lebih pantas dihormati ketimbang Gubernu Jenderal Hindia Belanda,” kata jurnalis Deli Courant Willem Brandt dalam De Aarde van Deli sebagaimana dikutip Reid. Demikianlah orang Belanda Deli penguasa Kota Medan memandang tinggi diri mereka. Sebaliknya, kalangan bumiputra memandang diri mereka penuh ironi. Mereka kebanyakan bekerja sebagai orang-orang upahan yang terikat:alias kuli kontrak. Derita yang dialami para kuli kontrak tercatat sepanjang sejarah.   Antara 1919—21, Sutan Ibrahim bekerja sebagai guru anak-anak kuli kontrak di Senembah Maskapai, Tanjung Morawa, tidak jauh dari Medan. Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka dalam memoarnya dari Penjara ke Penjara mengatakan tanah Deli ibarat goundland , surga buat kaum kapitalis tetapi tanah keringat, air mata maut, neraka buat kaum proletar  “Di sana berlaku pertentangan yang tajam antara modal dan tenaga serta antara penjajah dan terjajah,” demikian ujar Tan Malaka.

  • Perjuangan Kutai Masuk Republik Indonesia

    PERSIAPAN pembangunan daerah Kutai dan Panajam Paser Utara  (yang diproyeksikan sebagai ibu kota baru) terus digalakan. Sebisa mungkin pemerintah Indonesia ingin membuat suasana nyaman di kedua daerah yang masuk ke dalam administrasi Kalimantan Timur tersebut sebelum benar-benar difungsikan menjadi pusat pemerintahan baru Republik Indonesia. “Sebagai bangsa besar yang sudah 74 tahun merdeka, Indonesia belum pernah menentukan dan merancang sendiri ibu kotanya,” ucap Presiden Joko Widodo dalam siaran pers di Istana Negara (26/8). Banyak masyarakat yang bertanya mengenai pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru ibu kota. Presiden pun berkelik bahwa ia dan jajarannya telah melakukan segudang pertimbangan untuk menentukannya. Namun sebelum menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kutai pernah mendapat beberapa kali intervensi dari Belanda. Akibatnya pemerintah Kutai memilih untuk tidak ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa ini. Pengaruh Kuat Kolonial Setelah Jepang menyerah, Belanda meminta kembali hak atas Kepulauan Indonesia. Berbagai cara pun dilakukan, salah satunya menyebarkan pengaruh kepada para raja dan pemimpin daerah yang kekuasaannya akan hilang setelah Republik Indonesia berdiri. Anwar Soetoen, dkk dalam buku Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai menyebut kalau Kutai dan kerajaan lain di Kalimantan Tiimur khawatir posisi kekuasaan mereka terancam. Akhirnya tindakan mereka pun berlainan dengan sikap politik rakyatnya yang sebagian besar ingin ambil bagian dalam perjuangan Republik Indonesia.  “Di dalam zaman revolusi ini, sikap Kerajaan Kutai sendiri khusunya dan swapraja-swapraja di Kalimantan Timur umumnya oleh rakyat dipandang sebagai suatu sikap yang sekurang-kurangnya tidak membantu perjuangan Republik Indonesia,” tulis Anwar. Dalam buku Propinsi Kalimantan yang dikeluarkan Kementerian Penerangan (1953) disebutkan bahwa Kutai lebih memilih bergabung dalam rencana pemerintah Belanda dibandingkan ikut ambil bagian dalam kemerdekaan Bangsa Indonesia. Alih-alih ikut mempertahankan kemerdekaan bangsanya, seperti yang digejolakan para pejuang di penjuru negeri, pada Juli 1947 di Kalimantan Timur telah dilakukan kontrak politik antara Dewan Kutai dengan pemerintah Belanda. “Selama kontrak itu masih tetap dijalankan sebagai dasar dari Dewan Kutai, maka walau bagaimana juga untuk meletakkan dasar dan warna demokrasi ke dalam dewan itu akan sia-sia saja,” kata Anwar. Bersama-sama dengan Bulongan, Berau, Sambaliung, dan Neo Swapraja Pasir, para pejabat Kutai membentuk Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur yang disahkan oleh pemerintah Belanda pada Agustus 1947. Sebagai bukti bahwa Kesultanan Kalimantan Timur berdiri sendiri dan berada di luar Republik Indonesia, dibentuklah semacam “Dewan Perwakilan Rakyat” yang bertugas mengatur pemerintahan. Namun walau begitu, tugas dewan yang dianggap sebagai badan pemerintah tertinggi di Kalimantan Timur ini sangat terbatas. Hal tersebut disebabkan oleh kontrol yang kuat dari pemerintah Belanda. “Pembentukan Gabungan Kesultanan Kalimantan Timur ini di dalam pandangan rakyat adalah sebagai daerah boneka dengan maksud untuk melemahkan Republik Indonesia,” ucap Anwar. Kondisi itu menimbulkan rasa tidak suka dari rakyat . Alhasil para sultan di Kalimantan Timur yang menjadi anggota dewan dipandang buruk oleh rakyatnya. Keinginan rakyat menghapuskan kekuasaan feodal di Kutai semakin besar saat rencana pembentukan Negara Kalimantan dijalankan. Rencana itu direalisasikan oleh A.P. Kartanegara, adik Sultan Kutai A.M. Parikesit. Pembentukan Negara Kalimantan itu tak ayal membuat geram rakyat Kutai. Mereka menilai hal itu akan mempermudah jalan Belanda untuk memecah belah kemerdekaan Indonesia. Sementara bagi keluarga kerajaan, dengan adanya negara baru itu kedudukan mereka dalam kekuasaan akan semakin besar karena jaminan dari pemerintah Belanda. Tetapi sayang keinginan membentuk Negara Kalimantan itu mendapat banyak ganjalan. Selain kurangnya sumber daya manusia yang mumpuni di dalam pemerintahan, tidak adanya dukungan dari rakyat pun semakin mempersulit pembentukannya. Saat sultan dan jajarannya tengah sibuk memikirkan cara mendirikan Negara Kalimantan, rakyat Kutai telah selesai mempersiapkan kekuatan untuk melawan. Dalam laporan yang ditulis Kementerian Penerangan diketahui bahwa rakyat Kutai ikut bergabung dalam Panitia Aksi Anti Swapraja, yang di dalamnya juga terdapat kekuatan perlawanan dari Samarinda, Berau, dan Balikpapan. Gelombang Protes Mula-mula rakyat melakukan aksi demontrasi di berbagai tempat. Dalam tuntutannya, mereka ingin segala bentuk pemerintahan yang dibuat oleh Belanda dihapuskan dan menjadikan sultan sebagai simbol kekuasaan saja tanpa adanya campur tangan di pemerintahan. Selain itu rakyat ingin Kalimantan Timur segera bergabung dengan Republik Indonesia. Setelah gelombang protes semakin besar, pemerintah swapraja di Kutai dan Kalimantan Timur umumnya bersedia berunding dengan perwakilan rakyat mencari jalan keluar dari permasalahan politik di Kalimantan. Pada 27 September 1950 perundingan berhasil terlaksana di Kraton Sultan Kutai di Trenggarong. Sebagai perwakilan pemerintah Kalimantan Timur, A.R. Afloes ditunjuk memimpin perundingan tersebut. Hampir tanpa konflik, perundingan di Kutai itu berjalan dengan lancar. Sebagai hasilnya, dikeluarkanlah sebuah maklumat dari Sultan Kutai yang isinya: “Kami Aji Mohamad Parikesit sebagai Sultan dan Kepala Swapraja Kutai dengan persetujuan daripada Menteri Kerajaan Kutai, dengan ini memaklumkan bahwa berdasarkan perkembangan politik di Indonesia umumnya dan daerah Kutai khususnya, kami telah memutuskan bersedia menghapuskan Swapraja Kutai…” Mengetahui hal tersebut, masyarakat Kalimantan Timur merasa lega. Harapan rakyat untuk bergabung dengan Republik Indonesia akan segera tercapai. Namun alangkah kecewanya mereka saat pemerintah swapraja tiba-tiba mengatakan bahwa maklumat Sultan Kutai hanya bersifat sementara dan tidak berarti banyak bagi perubahan pemerintahan di Kalimantan Timur. Sebagai reaksi, beberapa perwakilan rakyat mengadakan Kongres Rakyat Kalimantan Timur pada 27-29 Oktober 1950. Inisiasi kongres datang dari Panitia Aksi Anti Swapraja Balikpapan (mewakili 5 organisasi), PNI Daerah Kalimantan Timur (mewakili 21 cabang), Kowani (mewakili 8 oraganisasi), dan Perwari (mewakili 16 cabang). Dalam Masyarakat Baru No. 107 24 Oktober 1950, dijabarkan hasil Kongres Rakyat Kalimantan Timur tersebut. Pertama, pemerintah swapraja di seluruh Kalimantan Timur harus dihapus. Kedua, rakyat menolak dan menentang dengan keras siapa saja yang mempertahankan swapraja di Kalimantan Timur. Ketiga, rakyat ingin pemerintah pusat memperhatikan sungguh-sungguh keinginan rakyat. Kongres itu pun akhirnya mendapat sorotan dari pemerintah pusat yang diwakili pejabat Provinsi Kalimantan. Dalam rangka penyelesaian konflik di Kutai dan sekitarnya, perwakilan swapraja dan kongres rakyat diundang bertemu oleh pemerintah Provinsi Kalimantan pada Desember 1950. Dalam pertemuan tersebut perwakilan swapraja bersedia menghapus kedudukannya di Kalimantan Timur dengan syarat dilakukan oleh pemerintah pusat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Setelah itu Kutai dan Kalimantan Timur resmi menjadi bagian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  • Gelar Juara Dunia yang Tak Disangka

    ENAKNYA jadi atlet zaman sekarang, prestasi berbanding lurus dengan bonus. Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan yang belum lama ini menjuarai Kejuaraan Dunia di Basel Swiss, 19-25 Agustus 2019, langsung diguyur bonus oleh Menpora Imam Nahrowi masing-masing Rp240 juta. Nasib keduanya jelas berbeda dari pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra kendati  beban yang harus dipikul untuk menjadi juara sama beratnya. Tiada guyuran bonus untuk Christian/Ade setelah juara dunia 39 tahun silam. “Hadiahnya ya medali emas saja sama ucapan terimakasih. Kayak langit dan bumi seperti sekarang. Makanya saya sering guyon , saya lahirnya ‘kecepetan’,” kata Christian kepada Historia. Hati Galau, Pikiran Kacau Bagi Christian, satu memori pahit-manis yang tak pernah lekang dari ingatannya adalah kala ia menyabet gelar Kejuaraan Dunia 1980. Bukan hanya tak pernah menyangka bisa juara, kala itu ia juga masih memegang rekor satu-satunya pebulutangkis Indonesia yang juara di dua nomor dalam satu Kejuaraan Dunia. Pada perhelatan Kejuaraan Dunia di Jakarta, 27 Mei-1 Juni 1980, Christian menyabet dua gelar sekaligus, yakni ganda putra bersama Ade Chandra dan ganda campuran bersama Imelda Wiguna. Rekor ini belum mampu disamai, apalagi dilewati pebulutangkis Indonesia lain hingga detik ini. Pasangan ganda putra Christian Hadinata/Ade Chandra yang turut memenangi Kejuaraan Dunia 1980 (Foto: BWF) Padahal, jarang orang tahu bahwa Christian meraih keduanya tanpa fokus. Saat itu hatinya sangat galau. Kendati tubuhnya berada di lapangan, pikirannya hanya tertuju pada kondisi sang istri, Yoke Anwar. Orang tercintanya itu terkena musibah dua pekan sebelum Kejuaraan Dunia. “Istri saya saat itu hamil sudah bulan kesembilan, sebentar lagi melahirkan anak pertama saya. Istri saya kecelakaan. Dia terpeleset, lalu kaki sebelah kirinya retak. Wah, pikiran saya kacau. Enggak konsen memikirkan istri dan bayi, serta kejuaraan,” Christian berkisah. Christian yang kala itu tinggal di satu kamar khusus atlet pelatnas di Senayan, pun langsung menghadap Ketua PBSI Sudirman. “Pak, saya minta izin. Lebih baik saya mundur saja,” tutur Christian mengenang percakapannya dengan Sudirman. “Lho, kenapa?” tanya sang ketua, heran. “Istri saya kecelakaan. Takut kenapa-kenapa.” “Oh, enggak bisa. Kamu enggak boleh mundur. Kamu harus tetap ikut. Caranya gampang, Chris. Saya siapkan mobil dan driver buat istrimu. Setiap ada keadaan darurat bisa langsung dibawa ke rumahsakit,” kata Sudirman memberi solusi. Sudirman menolak permintaan Christian lantaran saat itu merupakan kali pertama Indonesia jadi tuan rumah Kejuaraan Dunia. Harga diri dia selaku ketum PBSI dan harga diri bangsa dipertaruhkan. Christian Hadinata saat berkisah momen Kejuaraan Dunia 1980 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hati Christian sedikit lega mendengar pernyataan Sudirman. “Karena itu keputusan ketum, saya menyerah,” sambung Christian. Kendati sedikit terpaksa, ia tetap rutin mempersiapkan diri. “Teman atlet yang juga berjasa waktu itu Maria Fransiska. Kan kamar kami di lantai dua, harus naik tangga. Tangganya berkelok lagi. Jadi kalau mau naik-turun bawa istri, saya harus panggil dia dulu. Bantu memapah dari dan menuju mobil yang disiapkan Pak Sudirman,” lanjutnya. Saat turnamen bergulir, langkah Christian tak terbendung baik saat berpasangan dengan Ade maupun Imelda. Di final ganda putra, Christian/Ade mengempaskan rekan senegara, Hariamanto Kartono/Rudy Heryanto, 5-15, 15-5, dan 15-7. Di ganda campuran, Christian/Imelda menekuk wakil Inggris Mike Tredgett/Nora Perry 15-12, 15-4. “Puji syukur, saya main enggak konsen, enggak fokus tapi kok ya masih bisa menang. Malah dapat dua gelar. Seperti mimpi saja. Kok tahu-tahu, ini benar juara atau enggak? Karena pikiran saya masih ke istri. Seminggu setelah juara, anak saya yang pertama lahir. Syukur, (kondisi fisiknya, red. ) lengkap, tidak kurang apa-apa,” kata Christian menutup pembicaraan.

  • Agen CIA Pertama di Indonesia

    PADA suatu malam di awal tahun 1950, Rosihan Anwar, pemimpin redaksi harian Pedoman , bertamu ke rumah seorang Amerika Serikat. Orangnya sudah agak berumur, badannya gempal, kepalanya dicukur licin, murah senyum, dan suka tertawa. Dia tinggal sendirian di rumah besar yang agak ke dalam, di pinggir jalan raya Bogor menuju Jakarta. Dia bolak-balik Bogor-Jakarta karena pekerjaannya sebagai atase di Kedutaan Besar Amerika Serikat.

  • Gundala Bukan Jagoan

    Jagat Sinema Bumilangit telah merilis film pertamanya:  Gundala (2019). Film arahan Joko Anwar ini bisa ditonton di bioskop tanah air mulai 28 Agustus 2019. Jagoan karya komikus Harya Suraminata atau Hasmi yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang juga. Tapi, ia malah membantahnya. “Aku bukan jagoan,” kata Sancaka. Dia menolak membantu para aktivis pasar melawan preman pasar. Lalu seseorang tiba-tiba memukul Sancaka dengan balok kayu dari belakang, berniat menjajal kekuatan Sancaka. Benar saja, seketika dia pingsan. Sancaka memang manusia biasa. Para aktivis pasar mengira Sancaka memiliki kekuatan super. Dia pernah sekali mengeluarkan petir dari tangannya ketika dikeroyok 30 preman. Namun ternyata itu tidak disengaja Sancaka. Lalu siapa Gundala jika bukan jagoan? Tara Basro memerankan Wulan, aktivis pasar sekaligus teman Sancaka. (Fernando Randy/Historia). Memanusiakan Jagoan Selain karena Sancaka adalah manusia biasa secara fisik, dia juga manusia biasa secara mental. Dia lahir dari kelas sosial paling bawah, seorang anak buruh. Dia lalu tumbuh menjadi anak jalanan dan bertahan hidup di kota yang keras. Kebutuhan untuk bertahan hidup membuatnya menjadi individualis. Sancaka selalu berusaha untuk tidak peduli pada hal sekitar. Dia tak mau terlibat urusan orang lain. Dia layaknya orang biasa yang tinggal di rumah susun dan harus sibuk kerja untuk makan. Meski akhirnya kondisi sosial yang semakin buruk dan menyebabkan berbagai kekacauan membuka kepeduliannya, Sancaka tetap mengalami proses hidup seperti kebanyakan orang. "Kita mementingkan diri sendiri. Yang orang kaya, mereka merasa bisa melanggar hukum karena mereka bisa lepas dari itu (karena) punya uang. Yang di bawah juga seperti itu, mereka melanggar hukum karena mereka mencari uang," kata Joko Anwar, di sela premier Gundala . Ketika telah menjadi Gundala, Sancaka ditanya, “kamu siapa?” “Rakyat,” jawab Gundala. Gala premier film Gundala (2019). (Fernando Randy/Historia). Terlepas dari apakah membawa nama ‘rakyat’ terlalu berlebihan, dia terlihat hanya berusaha untuk tidak di-jagoan-kan. Seperti hendak mengatakan "tak perlu jadi jagoan untuk berbuat baik". Sesederhana itu. "Gundala kan kita semua. Banyak dari kita yang tidak peduli ketidakadilan. Orang di- abuse , dilecehkan di depan kita, kita diam saja. Banyak banget di Indonesia. Sama seperti Sancaka di awalnya," kata Joko Anwar. Joko Anwar juga memasukan drama dan humor yang pas di beberapa adegan. Kadang lugu, kadang lucu, bahkan kadang Sancaka terlihat cupu. Ini membuat Sancaka sangat manusiawi. Selaras dengan itu, tokoh-tokoh di Gundala lainnya juga tidak digambarkan "hitam putih". Pengkor misalnya, sebagai musuh Gundala, bukan berarti dia jahat secara murni. Ada latar belakang kenapa dia menjadi jahat serta ada bagian di mana dia bukanlah orang jahat. Tokoh Pengkor hendak mengatakan bahwa seseorang tidak pernah menjadi jahat sejak orok. Bahkan dia mengajak penonton mempertanyakan ulang mana yang baik dan mana yang buruk. Bront Palarae memerankan Pengkor, musuh Gundala. (Fernando Randy/Historia). Disambar Petir Bicara soal kekuatan Gundala, hubungan Sancaka dengan petir bermula sejak kecil. Sancaka kecil, sangat takut dengan petir. Setiap hujan turun dan petir mulai berkilatan, Sancaka langsung bersembunyi. Ternyata, dia trauma karena pernah disambar petir. Hingga dewasa, petir terus mengikuti Sancaka. Jika dia ada di luar ketika hujan, sudah pasti disambar petir. Untuk mencari tahu persoalan petir itu, dia harus membaca buku. Dia juga belajar bagaimana alam bekerja. Tentu saja, Joko Anwar tidak akan memberi kuliah ilmu fisika di film ini. Tapi dia membuat munculnya kekuatan petir serta keterkaitannya dengan desain kostum Gundala menjadi masuk akal. Komik superhero seringkali dianggap murni fiksi alias tidak ilmiah. Dalam versi komik sendiri, episode Gundala Putra Petir (1969) yang menceritakan awal mula Gundala, Gundala mendapat kekuatannya dari Kaisar Kronz dari Kerajaan Petir. Namun, tidak sepenuhnya cerita dibuat asal-asalan. Anton Kurnia dalam "Komik Superhero Indonesia: Gundala dan Telur Columbus", di harian Sinar Harapan , 2003, mencontohkan komik Gundala episode Dr. Jaka dan Ki Wilawuk yang menurutnya memiliki dasar gagasan yang kuat. Hasmi, menurut Anton, memiliki wawasan dan menggunakan riset untuk membuat episode itu. ”Seperti sekilas terbaca dari Dr. Jaka dan Ki Wilawuk , komik kita ternyata bisa cerdas, intelek, imajinatif dan oleh karenanya memperkaya para pembacanya. Ia membuktikan bahwa tuduhan sebagian orang bahwa komik kita cenderung dangkal, abai terhadap riset dan referensi, tidak mendidik dan membodohkan, ternyata tak sepenuhnya benar,” ungkap Anton. Sedangkan soal wujud petir yang dibuat dengan Computer-generated imagery (CGI) dalam film ini sendiri sudah cukup memuaskan. Nampaknya kurang tepat bila hendak membandingkannya dengan garapan Marvel Studios misalnya. Hanah Al Rasyid memerankan Cantika, salah satu anak buah Pengkor. (Fernando Randy/Historia). Menjawab Zaman Joko Anwar memang hanya meminjam tokoh Gundala. Dia tidak serta merta meniru cerita komik Gundala karya Hasmi yang dibuat sejak 1969 tersebut. Sebagian besar cerita dibuat menyesuaikan konteks Indonesia hari ini. “Kita membuat karakter ini relevan dengan Indonesia sekarang. Concern Indonesia sekarang itu apa? Jadi harus dimasukan. Kalau kita punya tokoh Gundala yang besar banget , orang semua kenal dan kalau kita tidak menggunakannya untuk menyuarakan apa yang tejadi di Indonesia kan sayang banget ,” kata Joko Anwar. Sejak awal Joko Anwar berusaha menyentuh persoalan buruh yang menjadi latar belakang masa kecil Sancaka. Dia kemudian juga menarasikan kehidupan kaum miskin kota serta relasi rakyat, penguasa, dan mafia. “Pak Hasmi dan bapak-bapak yang dulu bikin komik, bikin tokoh-tokoh jagoan ini, mereka ingin bersuara, saya yakin. Cuma zaman dulu kan tidak bebas seperti sekarang. Jadi mereka pakai satir, sindiran, komedi. Di masa kini, kita punya kesempatan bersuara lebih bebas kalau nggak kita suarakan, kita mengkhianati kebebasan itu,” kata Joko Anwar. Joko Anwar, sutradara Gundala (2019). (Fernando Randy/Historia). Abimana Aryasatya, pemeran Gundala, mengaku tidak terlalu sulit menjadi Gundala yang hidup dalam kondisi sosial tersebut. “Emang kamu pikir saya nggak pernah jadi buruh? Hahaha. Tapi nggak mungkin diceritain panjang. Saya (pernah) hidup di level sosial ekonomi yang sama dengan Sancaka. Jadi nggak perlu research terlalu berat,” katanya kepada Historia . Abimana mengaku pernah tinggal di rumah susun yang menjadi rumah Sancaka dalam film. “Rumah susun yang dipakai syuting, saya pernah tinggal di situ. Jadi research -nya juga lebih gampang kan . Jadi nggak perlu gua harus tinggal di sana, gua tinggal recall memori saja,” ungkapnya. Sepanjang 119 menit, penonton disuguhi cerita panjang Gundala dengan berbagai karakter pendukungnya. Beberapa karakter memang hanya mendapat sedikit porsi. Adegan kekerasan yang cukup menggigit nampaknya tidak ramah anak. Sebagai pembuka sekaligus pengantar ke Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya, Gundala terbilang epik.

  • Komandan Kerjai Bawahan

    Kopassus merupakan pasukan elite kebanggaan Angkatan Darat dan juga Indonesia. Panglima TT III Siliwangi Kolonel A.E. Kawilarang membentuknya untuk mendapatkan pasukan dengan mobilitas tinggi yang terdiri dari prajurit-prajurit andal, terutama dalam pergerakan senyap. Di antara panglima-panglima pasukan yang pernah bernama Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) itu adalah Kolonel Mung Parahadimulyo (1958-1964). Kendati namanya kurang populer, terlebih saat ini, Mung dikenal oleh generasi pejuang angkatan 45 atau generasi setelahnya sebagai tentara tulen yang tegas dan jujur. Mendiang Soehari Sargo, pejuang angkatan 45 yang kemudian menjadi pengamat otomotif terkemuka, ingat betul bagaimana tegas dan jujurnya Mung. Suatu ketika, Mung dikirimi jatah beras prajurit oleh bawahannya. Alih-alih langsung mengambilnya, Mung menimbang ulang jatah beras itu. Ternyata, jatah beras yang didapatnya kelebihan dari yang seharusnya. Dia pun menanyakan kepada bawahannya siapa yang menimbang dalam penjatahan beras itu. “Langsung ditempeleng itu yang menimbang,” kata Soehari kepada Historia.id beberapa tahun silam di rumahnya, bilangan Cinere, Depok. “Kalau saya dapat lebih banyak berarti kan ada jatah lain yang dikurangi. Orang itu pasti dapat lebih sedikit. Ulangi semuanya!” kata Mung memberi perintah sebagaimana ditirukan Soehari. Ketegasan dan kejujuran Mung itu juga dikenang betul oleh Kolonel Penerbang (Purn.) Pramono Adam. “Kalau Pak Mung itu prajurit betul. Hebat banget.  Tentaranya, Kopassus sendiri udah keder,” ujar lelaki yang akrab disapa Pram itu kepada Historia.id. Pram mengenal Mung ketika di-BKO-kan ke Kodam Mulawarman semasa Konfrontasi (1963-1965). Sejak awal 1965, Kodam itu dipimpin Mung. Pram kerap diminta Mung mengantarkan inspeksi ke perbatasan menggunakan helikopter. Suatu hari, Pram melihat Mung memarahi anak buahnya yang kedapatan naik sepeda motor. “Siapa yang nyuruh kamu naik motor? Kamu beli dari mana? Pulang!” kata Pram menirukan Mung memarahi prajurit Baret Merah itu. Pram sendiri pernah kena semprot Mung. Ceritanya berawal dari ketika dia bersama Suwoto Sukendar (KSAU 1969-1973) dan beberapa prajurit lain jajan rujak karena lapar. Tak lama setelah itu, kata Pram, “Pak Mung datang. ‘Ngapain kamu makan, boros-borosin aja,” sambung Pram menirukan Mung. Namun, seingat Pram, Mung tak hanya mengajarkan kedisiplinan lewat bentakan. Pernah suatu ketika Mung mengajarkan kedisiplinan lewat kejahilan. Peristiwa itu terjadi saat Mung hendak pulang dari perbatasan ke Tarakan dengan menumpang helikopter Mi-6 yang dipiloti Pram. “Udah siap satu jejeran (pasukan, red. ) mau kasih hormat. Lihat aku, pas di depan, Pak Mung turun terus di bawah pesawat. (Dia) terus melompat pagar di ujung sana, pergi sendiri jalan kaki ke mess. Lha ini (pasukan) yang siap mau menghormat, ‘ke mana ini (komandan)?’ Aku tahu, aku cengar-cengir sendiri,” ujar Pram sambil tertawa.

  • Merekam Sejarah Musik Ilustrasi Film

    FILM dan musik dua produk seni berbeda. Yang pertama menekankan bahasa gambar, sedangkan yang kedua memadukan ragam suara. Tapi keduanya bisa menyatu dalam film. Musik dalam film lazim disebut musik ilustrasi ( music score ). Kegunaannya untuk memperkuat cerita film. Nyaris sejajar dengan aspek sinematografi.

  • Bidan Diciptakan Agar Angka Kematian Ibu dan Bayi Bisa Ditekan

    TINGGINYA angka kematian ibu dan bayi (AKI) pada awal abad ke-19 memunculkan ide pengadaan bidan di negeri jajahan. Kala itu, bidan Eropa masih sangat terbatas. Dus , pelayanan kebidanan hanya diperuntukkan bagi orang Eropa yang ada di kota besar. Alhasil, dukun beranak jadi andalan dalam membantu persalinan orang pribumi dan indo. Bahkan, terkadang perempuan kulit putih di pelosok pun menggunakan jasa mereka. Praktik tersebut amat tidak disukai ahli medis Eropa. Mereka menganggap dukun bayi tidak hiegenis dan kurang pengetahuan. Mereka juga berpendapat, ketidaktahuan dan kenekatan dalam menangani kasus kelahiran yang sulit jadi biang kerok kematian ibu dan anak. Untuk itulah para dokter Eropa memperkenalkan profesi bidan ke negeri jajahan. Tujuan utamanya, menggusur eksistensi dukun dan menekan AKI. Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817. Di tahun yang sama, Direktur Agrikultur, Seni, dan Ilmu Pengetahuan CGC Reinward meminta ahli kandungan yang berdinas di kota untuk mengajari dan mengawasi bidan ketika menangani kasus kelahiran sulit demi mencegah kematian ibu. Sayangnya, kata Liesbeth Heeselink dalam bukunya Healers on The Colonial Market, rencana ini dijalankan tidak sesuai harapan. Pada 1825 sekolah bidan didirikan di Batavia. Namun, ia sepi peminat. Sekolah bidan pun mengalami buka-tutup selama beberapa dekade. Getolnya upaya Belanda menghadirkan praktik kebidanan di negeri jajahan berbenturan dengan antusiasme penduduk pribumi yang amat minim. Pada 1836, pemerintah hendak mengisi posisi bidan di tingkat kota yang kosong dengan kembali membicarakan ide pelatihan bidan pribumi. Menurut Kepala layanan medis EA Fritze, mengajarkan perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan hingga ke luar Jawa harusnya tidak sulit. Dua tahun kemudian, beberapa perempuan pribumi berhasil di- opyak-opyak untuk masuk sekolah bidan setelah diiming-imingi pekerjaan, sekolah gratis, bahkan mendapat biaya hidup. Namun tak lama setelah program ini berjalan, Fritze lengser dari jabatan. Ia digantikan oleh P.J. Godefroy. Menurut Godefroy rencana pendidikan bidan punya tiga kendala, yakni anggaran, sulitnya mencari murid perempuan, dan ketidakpastian ibu hamil menggunakan jasa bidan. Pada 1850 pendidikan bidan bagi perempuan pribumi kembali dibuka di Batavia oleh dokter W Bosch. Dokter HB van Buuren yang menulis laporan pada 1897-1898 menyebut pelatihan yang diberikan cukup bagus. Dalam laporannya, Van Buuren menulis ada 20 gadis pribumi yang menjalani pelatihan selama dua tahun. Pengajaran yang diberikan di tahun pertama seputar membaca, menulis, dan aritmetika. Ilmu kebidanan baru diajarkan pada tahun kedua. Sayangnya, setelah dua tahun sekolah ini ditutup karena kurang peminat. Pada 1873, para ahli medis kembali menggalakkan penjaringan calon bidan. Ada 142 perempuan yang bersedia masuk sekolah bidan. Namun di tengah jalan, hanya setengahnya yang meneruskan praktik kebidanan, mayoritas bekerja di Jawa. Pada tahun berikutnya mereka kesulitan mendapat murid baru. Dalam artikel “Midwives, Missions, and Reform” dalam buku Medicine and Colonial Identity Hillary Marland menyebut, pada 1875 sekolah bidan tersebut terabaikan karena ongkos yang terlalu mahal. Kas mereka ludes untuk keperluan tunjangan yang harus disediakan. Mereka harus membayar biaya operasional sekolah, jaminan gaji cukup sebagai iming-iming agar gadis pribumi mau mendaftar, dan biaya kampanye praktik kebidanan untuk menyingkirkan dukun beranak. Ide tentang pelatihan bidan bagi gadis pribumi baru kembali mencuat tahun 1886. Program pelatihan baru dibentuk dengan model privat. Para dokter Eropa dibayar oleh pemerintah per murid. Program mulai diberlakukan pada 1891. Namun hingga 1897, tetap sepi peminat. Jumlah murid yang bisa dijaring hanya 14 orang. Sementara di Belanda, sekolah kebidanan menelurkan 60-70 bidan terlatih tiap tahunnya. Meski sepi peminat, bidan-bidan yang sudah lulus pelatihan bekerja dengan baik. Selama enam bulan Van Buuren mendampingi dua bidan pribumi membantu persalinan di Kediri. Hasilnya cukup membuatnya gembira. Per Mei-Juli 1898, ada 100 perempuan pribumi, 14 orang Tionghoa, dan tiga orang Eropa yang proses kelahirannya dibantu bidan pribumi. Angka ini meningkat jika dibandingkan tahun 1885. Dalam setahun hanya sekira 25 ibu hamil yang mempercayakan persalinannya pada bidan pribumi.

  • Soeroso, Banteng Muda Musuh Belanda

    BEBERAPA waktu lalu jagat media sosial sempat dihebohkan dengan perlakuan brutal sekelompok vandalis di Cianjur , Jawa Barat, yang menghancurkan tiga Tugu Penjelas Nama Jalan (TPNJ). Salah satu TPNJ itu menginformasikan riwayat seorang pejuang kemerdekaan bernama Soeroso. Siapakah dia? Dalam blog pribadinya , Ahmad Samantho menyebut Soeroso sebagai salah satu kakeknya. Menurut penulis sejarah asal Bogor itu, Soeroso memiliki nama lengkap Raden Soeroso dan merupakan putra dari Raden Soemarsono yang pernah tinggal di wilayah Cibalagung (masuk dalam wilayah Ciomas, Kota Bogor). “Ketika masih kecil, saya sering melihat lukisan pinsil Kakek Soeroso dipajang di rumah Eyang Uti (nenek Samantho) dan di rumah Mbah Buyut Soemarsono,” ungkap Samantho. Keterangan Ahmad Samantho ditegaskan oleh Sukarna (98). Kepada saya, eks pejuang kemerdekaan di Bogor itu berkisah bahwa Soeroso masih terhitung pimpinannya di BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) cabang Bogor. Ketika sedang hebat-hebatnya perlawanan para pejuang Indonesia terhadap pasukan Inggris pada awal 1946, secara sukarela Soeroso bersama 10 anak buahnya hijrah ke Cianjur. “Karena saat itu konvoi tentara Inggris sering melewati Cianjur, Pak Soeroso memutuskan untuk “menunggu” mereka di sana,” ujar Sukarna. Di kota penghasil beras itu, Soeroso lantas membangun basis perlawanan. Selain melatih para pemuda setempat, dia pun terlibat aktif dalam pengadaan senjata untuk melawan musuh. Dalam sebuah dokumen berjudul “Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1942—1949” yang disusun oleh Tim Sejarah Dewan Harian Cabang Angkatan 1945 Kabupaten Cianjur, dikisahkan Soeroso pernah menyumbang 10 senjata bekas tentara KNIL kepada para pejuang yang beroperasi di Cipanas. Dalam buku   Pertempuran Konvoy Sukabumi-Cianjur 1945-1946 , Letnan Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi (Komandan Resimen ke-13 TRI Komandemen Jawa Barat) menyebut nama Soeroso sebagai pimpinan gerilyawan kota yang aksi-aksinya sangat impresif. Dalam suatu aksi penghadangan di pusat kota Cianjur pada Maret 1946, Soeroso dan anak buahnya berhasil mengganggu pergerakan Bataliyon 3/3 Gurkha Rifles (suatu kesatuan elit militer Inggris dari Divis ke-23 British India Army) dari Bandung ke Sukabumi. Bersama gerilyawan-gerilyawan lain dari  Yon 3 Resimen III TRI, Lasykar Hizbullah dan Sabilillah, Laskar BBRI pimpinan Soeroso (lebih dikenal sebagai Pasukan Banteng Soeroso) melakukan penyerangan lewat aksi hit and run  terhadap Yon 3/3 Gurkha Rifles yang diperkuat oleh tank Sherman, panser wagon, brencarrier  dan truk-truk berisi pasukan. Kendati hanya menggunakan  molotov cocktail ( bom sederhana yang terbuat dari botol yang diisi bensin dan disertai sumbu) dan beberapa pucuk senjata saja, mereka melakukan serangan terstruktur khas tentara Jepang dari sudut-sudut pertokoan dan lorong-lorong rumah yang berderet sepanjang pusat kota Cianjur.    “Bagi para serdadu Gurkha Rifles, situasi itu cukup membingungkan. Mereka hanya bisa bertahan dan membalas  serangan tersebut sekenanya dari balik kendaran-kendaraan tempur mereka,” kata Eddie Soekardi. Ketidakberdayaan salah satu satuan elit militer Inggris dalam Perang Dunia II sempat dicatat oleh sumber Inggris sendiri. Dalam  The Fighting Cock: The Story of The 23rd Indian Division , Kolonel A.J.F Doulton memuji pergerakan taktis gerilyawan Indonesia yang  sempat membuat para serdadu Gurkha  panik dan terpukul. “Ini menjadi suatu bukti, orang-orang Indonesia mengalami kemajuan dan semakin militan…” tulis Doulton. Tetapi karena kurang lengkapnya persenjataan para pejuang Indonesia, Cianjur pada akhirnya jatuh juga ke tangan tentara Inggris. Sebagai markas, para prajurit Inggris memilih bekas gedung Pabrik Es (sekarang menjadi Gedung Gelanggang Muda Cianjur). Pasukan Banteng Soeroso sendiri kemudian menyingkir ke arah Pasar Suuk (sekarang Jalan Barisan Banteng) dan mendirikan markas di sebuah rumah yang ditinggal pemiliknya (sebuah keluarga Belanda). Zoehdi (95) masih ingat bagaimana Soeroso kerap melatih anak buahnya berbaris di sekitaran Pasar Suuk. Bunyi aba-abanya yang khas dan terdengar tegas, seolah menembus rimbunan pohon-pohon mahoni yang saat itu banyak tumbuh di sana. “Saya mengenang Pak Soeroso itu sebagai pemuda pemberani, badannya kekar dan sorot matanya tajam menantang, mirip seekor banteng muda”ungkap eks anggota milisi Angkatan Pemoeda Indonesia (disingkat API, sebuah milisi perjuangan rakyat Indonesia yang didirikan pada akhir 1945) tersebut. Keberanian Soeroso memang sangat populer di kalangan para pejuang Cianjur saat itu. Dikisahkan oleh Zoehdi, Soeroso pernah nekad mengejar sebuah pesawat tempur Inggris hanya menggunakan sepeda motor dan sebuah stengun. Akhir 1946, tentara Inggris mulai meninggalkan Indonesia. Sebagai penggantinya maka tentara Belanda mulai bermunculan dan menjadi penguasa sebenarnya. Situasi tersebut jelas membuat para pejuang Indonesia semakin menguatkan perlawanannya. Mereka tak mau Belanda menjajah lagi untuk kedua kalinya. Di Cianjur, nyaris setiap hari hidup tentara pendudukan tak pernah tenang. Selalu saja ada dari mereka yang terbunuh atau hilang diculik gerilyawan Republik. Salah satunya adalah Pasukan Banteng Soeroso. Dengan modal senjata seadanya, hampir tiap malam, mereka melakukan aksi teror terhadap asrama militer Belanda yang berada di wilayah Kampung Tangsi (sekarang menjadi  Gang Pangrango) dan induk pasukan  mereka yang bermarkas di Joglo (sekarang menjadi gedung Komando Distrik Militer 0608 Cianjur, Toserba Slamet, gedung Markas Corps Polisi Militer). Merasa terganggu dengan serangan-serangan Banteng Soeroso ini, maka militer Belanda kemudian melancarkan suatu operasi intelijen untuk menjebak pimpinan milisi Republik itu. Maka disebarlah telik sandi ke pinggiran kota dan pelosok desa. Setelah semua informasi terkumpul, intelijen militer Belanda lantas membuat  skenario penangkapan. Singkat cerita, “diutuslah” oleh militer Belanda seseorang (yang berpura-pura sebagai pejuang) ke markas Banteng Soeroso. Dengan dalih membahas strategi perjuangan selanjutnya, sang telik sandi itu mengundang Soeroso  untuk menemui sekumpulan gerilyawan kota di sebuah warung makan yang masuk dalam wilayah Satoe Doeit (sekarang Jalan Soeroso atau Ampera). Tanpa kecurigaan, Soeroso menyanggupi undangan tersebut dan datang ke Satoe Doeit, bersama dua ajudannya, Sjamsoe dan Slamet. Menurut kesaksian Sjamsoe, sekira jam 19.00 mereka tiba di warung makan itu dan langsung  memesan makanan. Saat santap malam itulah, satu peleton tentara Belanda mengepung tempat tersebut. Soeroso yang sadar dirinya masuk dalam jebakan lantas melakukan perlawanan. Pertempuran tidak seimbang pun berlangsung cukup seru. “Kami bertiga bertarung habis-habisan, kami masing-masing hanya menggunakan sepucuk pistol,” kenang Sjamsoe. Sayang, saat hendak meloloskan diri ke luar warung makan, sebutir peluru  menghantam tepat dada Soeroso. Dia pun terjungkal. Diikuti Slamet yang juga tertembak dan bermandikan darah. Lantas bagaimana nasibnya Sjamsoe,? Begitu terjungkal karena hantaman peluru, beberapa warga setempat langsung membawanya ke seorang dokter bernama Ojo. Kendati mengalami luka berat, Sjamsoe nyawanya masih bisa diselamatkan dan bisa melanjutkan hidupnya hingga awal tahun 2000. *

  • Membantah Sriwijaya Fiktif

    Sriwijaya itu kerajaan fiktif. Begitu kata Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis”. Menurutnya, keberadaan Kerajaan Sriwijaya selama ini adalah produk historiografi Belanda. Informasi adanya Kerajaan Sriwijaya di Sumatra disebarkanpada masa Hindia Belanda. Menurutnya, kolonialisme dalam hal ini memiliki kepentingan merusak bangsa. “Kalau mau merusak suatu bangsa, rusaklah sejarahnya. Pada generasi pertama itu historiografi Belanda semua. Kebanyakan mereka bukan berlatar sejarawan tapi berlatar arkeolog. Kebanyakan dongeng tulisannya,” ujar Ridwan Saidi. Untuk mendukung pernyataannya, Ridwan Saidi menjelaskan keterangan yang menurutnya dicatat oleh I-Tsing. Menurutnya I-Tsing adalah seorang pengelana dari Tiongkok yang diminta Kaisar Tiongkok untuk mencari di mana letak Sriwijaya, karena waktu itu kapal dagang Tiongok terpendam di laut sekitar Teluk Benggala dan Selat Malaka. “Ini pada abad ke-7. I-Tsing lalu pergi mencari. Dia meluangkan waktu 25 tahun mencari lokasi Sriwijaya. Ke Bali segala macam dia pergi,” katanya . Menurut Ridwan Saidi, dalam laporan I-Tsing yang d ia baca, sang pengelana itu dalam perjalanannya mampir di Kedah. Di sana, d ia bertanya pada masyarakat Kedah perihal letak Sriwijaya. “Orang Kedah mengatakan ke I-Tsing, ‘Sriwijaya punya kerajaan itu tak ada lah di sini, itu ada di Koromandel, pantai timur India. Itu bukan kerajaan. Itu adalah bajak laut’,” kata Ridwan Saidi. I-Tsing pun pergi ke Koromandel. Menurut Ridwan, di sana I-Tsing berjumpa dengan suku bangsa bernama Wijayaraya. Mereka pun ditanyai I-Tsing, yang kemudian mengaku kalau memang mereka telah mengganggu kapal Tiongkok. “Karena nggak mau nyetor zaman sekarang itu ditenggelemin,” kata Ridwan Saidi. Namun, bangsa Wijayaraya itu rupanya diperintah oleh suku bangsa Shapur dari Persia. I-Tsing pun pergi ke Shapur. “Total 25 tahun (perjalanan I-Tsing, red. ). Jadi waktu kembali (ke Tiongkok, red. ) kaisar yang nyuruh udah mati,” ujar Ridwan Saidi. Siapakah I-Tsing? Di luar pendapatnya yang kini menjadi viral itu, I-Tsing atau Yi Jing memang pernah singgah di Nusantara pada abad ke-7. Dia juga pernah berkunjung ke Kedah. Namun, tujuannya bukan untuk mencari bajak laut Sriwijaya, tetapi singgah sementara untuk kemudian belajar agama di Nalanda, India. I-Tsing merupakan biksu asal Tiongkok dari masa Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ziarah ke India. Dia menuliskan perjalanannya, di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddha-Dharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi IndiadanNegeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman .  Shinta Lee, penerjemah catatan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja dan Jinabhumi, menjelaskan, sejak usia 18 tahun, I-Tsing sudah berangan-angan berziarah ke India, pusat pembelajaran Buddhadharma. I mpian itu baru terlaksana ketika d ia berumur 37 tahun. Pada 671, bertolak dari Guangzhou, I-Tsing berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi. Di sana, dia menetap selama enam bulan dan belajar tata bahasa Sanskerta. Raja setempat membantunya mengantarkan ke Moluoyou (Melayu). Setelah tinggal selama dua bulan, I-Tsing menuju ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah pada 671, I-Tsing mengunjungi daerah demi daerah. Dia kemudian tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673. Secara bertahap, dia melanjutkan perjalanan ke India. “Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya dia sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat-tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha,” kata Shinta dalam diskusi di acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, tahun 2018, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Selama sepuluh tahun, sejak 675-685, I-Tsing belajar dan tinggal di Nalanda. Dia mengumpulkan kitab-kitab ajaran Buddha. Pada 685, I-Tsing mulai memikirkan cara kembali ke negaranya. Setelah berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, dia kembali singgah di Kedah. Dia tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung. “Setelah satu bulan berlayar, d ia tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurutnya sudah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” kata Shinta. Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689). Selanjutnya,dia naik kapal, namun bukan untuk pulang. Dia hanya bermaksud menitip surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannnya menyalin sutra. Dia juga meminta biaya mempekerjakan penyalin. Namun, I-Tsing malah terbawa kapal itu pulang ke Tiongkok. Dia hanya tinggal selama tiga bulan karena kitab yang dia bawa dari India sebanyak 500.000 sloka Tripitaka, tertinggal di Shili Foshi. Dia pun kembali ke sana. Selama lima tahun tinggal di Shili Foshi, I-Tsing bertemu biksu lainnya bernama Da Jin. Dia menitipkan sutra dan tulisannya kepada Da Jin untuk dibawa pulang ke Tiongkok. Tulisan itu di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid. I-Tsing berkelana di luar negeri selama 25 tahun. Pada 695,dia kembali ke Tiongkok dan disambut kaisar perempuan, Wu Zetian. Dia membawa pulang sekira 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Shili Foshi adalah Sriwijaya Foshi atau Shili Foshi dalam catatan I-Tsing tak lain adalah Sriwijaya. Sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, Shili Foshi adalah sebutan bagi Sriwijaya. “Nama Shili Foshi (Che-li-fo-che), baik yang tercatat dalam Sejarah Dinasti T’ang maupun dalam karya I-Tsing adalah transkripsi dari Sriwijaya. Transkripsi demikian mudah dipahami,” tulis Slamet Muljana. Penyamaan Shili Foshi dengan Sriwijaya cocok antara lokasi I-Tsing dan lokasi penemuan prasasti sezaman yang menyebut kata Śrīvijaya, yaitu Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di dekat Palembang Berasal dari 683 dan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka dari 686. Sementara itu, pada 685-689 I-Tsing tengah menetap di Shili Foshi atau Sriwijaya. “Kelihatannya, ibu kota awalnya disebut Foshi, setelah kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, maka seluruh kawasan dan ibu kotanya menyandang istilah Shili Foshi,” kata Shinta. Mengenai lokasinya, I-Tsing sudah membahas dalam catatannya. Khususnya dalam buku Nanhai, dia mencatat ketika di Shili Foshi, “pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.” Dari berita ini, Slamet Muljana, menyimpulkan Shili Foshi pasti terletak di garis khatulistiwa. I-Tsing juga bercerita, d ia berlayar ke utara menuju Tiongkok tanpa singgah di Foshi. Artinya, pelabuhan Melayu menjadi tempat persinggahan kapal dari Selat Malaka yang akan menuju Tiongkok sambil menunggu datangnya angin barat. Menurut Slamet Muljana, karena perjalanan I-Tsing dari Foshi ke India melalui pelabuhan Melayu, letak Foshi haruslah di sebelah tenggara pelabuhan Melayu. Tak mungkin di sebelah baratnya. Adapun Melayu letaknya di Sumatra. Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dulu nama Melayu dicatat oleh pelaut-pelaut asing untuk menyebut seluruh Pulau Sumatra. “Banyak yang belum tahu kalau Malayu itu dulu sebutan untuk Sumatra, selain sebutan Swarnadwipa atau Swarnabhumi ,” ujar Bambang dalam diskusi di acara pembukaan Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini. Dalam Prasasti Dharmasraya (Padang Roco), secara spesifik Malayu disebutkan ada di Swarnnabhumi. Prasasti ini tertulis di alas arca Amoghapasa. Arca ini menjadi hadiah dari Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa hampir delapan abad yang lalu. Sriwijaya Bukan Bajak Laut Jika Ridwan Saidi yakin kalau Sriwijaya lebih merupakan bajak laut setelah membaca catatan I-Tsing, namun biksu itu sendiri menulis hal yang berbeda tentang Sriwijaya. Dia bersaksi kalau Sriwijaya (Shili Foshi) merupakan pusat pembelajaran terkenal pada masa itu. Dalam catatan I-Tsing berjudul Mulasarvastivadaekasatakarman, biksu itu menulis Sriwijaya adalah kota yang berbenteng. Di sana terdapat ribuan biksu Buddhis yang menuntut ilmu. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Pun tata cara dan upacaranya juga tak berbeda. “Jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan melafalkan kitab asli, lebih baik dia tinggal di sini (Sriwijaya, red . ) selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru berlanjut ke India Tengah,” tulis I-Tsing. Sementara berita itu diperjelas lagi dengan penyataan dalam Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, Srivijaya di sana tampil sebagai kadatuan yang menguasai daerah asal prasasti itu. “Keberhasilan!... Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi kadatuan Srivijaya ini…,” sebut prasasti Kota Kapur. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan dalam hal ini, Sriwijaya memang tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan . “ Kadatuan berasal dari kata datu, artinya orang yang dituakan,” katanya. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Sementara arkeolog dan sejarawan Prancis, George Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Untuk lebih meyakinkan lagi akan keberadaan tempat bernama Sriwijaya, bisa juga membaca keterangan dalam prasasti wangsa Cola dari India. Dalam Prasasti Tanjore dari 1030, dikisahkan Rajendracola I yang naik takhta pada 1012, menyerang negeri-negeri di seberang lautan. Salah satunya bernama S rivijayam.

  • Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian II – Habis)

    DALAM film Susi Susanti: Love All yang akan beredar di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 24 Oktober 2019 nanti, aktor Lukman Sardi akan memerankan Mangombar Ferdinand Siregar, teknokrat olahraga legendaris. Lukman mengaku tertantang memerankan tokoh yang mengarsiteki prestasi monumental medali emas Susy Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade Barcelona 1992 itu. Untuk menyelami karakternya, Lukman membaca biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia, serta mewawancara sejumlah eks-pebulutangkis nasional. “Menarik, soal bagaimana seorang teknokrat olahraga tapi dia juga menjadi keluarga dari pemain-pemain bulutangkis ini. Apalagi sebelumnya dia sempat di PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia) tapi kemudian dia harus bisa memahami banyak hal lain dalam dunia olahraga itu sendiri. Dia sangat concern dengan olahraga,” tutur Lukman Sardi kepada Historia di sela peluncuran poster resmi Susi Susanti: Love All , 20 Agustus 2019. MF Siregar memulai kiprahnya di bidang olahraga dari mengurusi cabang akuatik. Saat pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto, bintangnya kian terang hingga dia menduduki jabatan sekjen di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Namun, Siregar merasa ada yang kurang. Walau sudah lama turut dalam Asian Games (sejak 1951) dan Olimpiade (sejak 1952), gaung Indonesia justru belum terdengar di Asia Tenggara. Kontingen Indonesia, dipimpin Siregar, baru turut serta dalam SEA Games pada 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kendati tiada sambutan terhadap kedatangan kontingen Indonesia yang berisi 313 atlet cum ofisial, Indonesia pulang dengan gelar juara umum. Sukses itu lantas membuat negara-negara tetangga belajar ke Indonesia. Dari Indonesia pula mereka baru mengenal metode pelatnas. “Ide untuk pelatnas di luar negeri itu datang dari Pak Suprajogi dan saya. Ternyata hasilnya luar biasa. Ini merupakan pengembangan dari sistem pelatnas yang sudah kami lakukan di cabang renang pada 1961 di Bandung sebagai persiapan ke Asian Games IV (1962),” tutur Siregar dalam biografinya. Firasat Olimpiade dan Air Mata Barcelona Percaya atau tidak, Siregar pernah melontarkan dua firasat soal prestasi Indonesia di olimpiade yang terbukti benar. Kedua firasat itudiungkapkannya dua tahun sebelum datangnya medali pertama dan enam tahun sebelum Susy dan Alan membawa pulang dua emas pertama. Firasat itu, kata Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman , dikeluarkannya usai dianugerahi medali emas L’Ordre Olympique. Anugerah yang diserahkan langsung oleh Wakil Ketua IOC Alexandre Siperco di Gedung KONI, Jakarta, 29 Januari 1986. “Saya anggap pemberian ini kepada rakyat Indonesia, bukan saya pribadi. Saya bertekad agar bangsa Indonesia dapat disejajarkan dengan negara maju di olahraga. Saya ingin lihat bendera Merah Putih berkibar di Olimpiade 1988 dan mendengar lagu ‘Indonesia Raya’ dikumandangkan di Olimpiade 1992,” kata Siregar, yang menjadi orang Indonesia ketiga yang menerima anugerah dari IOC setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Silver Olympic Order, 1983) dan R. Maladi (Silver Olympic Order, 1984). Firasat Siregar benar. Trio atlet panahan Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani mempersembahkan medali (perak) pertama buat Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Saat itubendera dwiwarna dikerek ke atas meski hanya di pucuk tertinggi kedua. Sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan di tiang tertinggi diiringi “Indonesia Raya” terjadi di Barcelona 1992. Pencapaian yang sekaligus menjawab tuntutan penguasa rezim Orde Baru. Saat itu, Siregar yang dipercaya menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI dibebani tugas berat. Presiden Soeharto memintanya memimpin misi emas mengingat prestasi bulutangkis Indonesia di berbagai kompetisi internasional tengah di puncak. Mau tak mau, Siregar mengurusi hampir semua persiapan. Mulai soal asupan nutrisi hingga mental pemain, semua jadi hal yang terus dipikirkannya. “ Dia sangat sadar akan konsekuensi dan tanggungjawab tugasnya itu. Mungkin karena beban berat di pundaknya, dia sampai serangan jantung. Sebagai pribadi, yang saya pikirkan adalah berjuang untuk opa,” kenang Susy Susanti dalam testimoninya di biografi Siregar. “Opa” merupakan panggilan Siregar yang diberikan oleh anak-anak asuhnya saking intimnya pendekatan Siregar dengan para pemainnya. Selain Susy, Alan turut merasakannya. Suatu ketika, Alan tampil buruk di Thomas Cup 1992 dan jadi biang kekalahan di final. Padahal, ajang itu dijadikan PBSI sebagai pemanasan jelang olimpiade. Alhasil, Alan dimarahi habis-habisan oleh pelatihnya, Indra Gunawan dan Rudy Hartono. “Akibat kekalahan itu saya sempat frustrasi,” kata Alan kepada Historia . Di situlah Siregar datang sebagai penyelamat. Siregar menenangkan Alan dan mengimbaunya untuk lebih keras dalam latihan selepas Thomas Cup. Alan pun manut dan dengan suntikan motivasi lain dari tunangannya, Susy, Alan pun bangkit. “Sesudah pulang saya diberi motivasi lagi setelah sempat seminggu terpuruk, stress, depresi. Setelah diberi motivasi, saya melakukan program berbeda. Biasanya yang sehari enam jam, untuk olimpiade ditambah durasinya. Benar-benar habis fisik kita di lapangan. Kalau habis latihan biasanya badan susah dibikin bangun lagi,” sambungnya. Alan berhasil menjungkirkan prediksi yang lebih banyak mengunggulkan Ardy B. Wiranata, lawan Alan, dalam final tunggal putra bulutangkis olimpiade. Indonesia akhirnya membawa pulang dua emas, dua perak, dan satu perunggu di Olimpiade Barcelona 1992. Semuanya berasal dari cabang bulutangkis. Selain Alan dan Susy, dua perak lain disumbangkan Ardy Wiranata dan pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan, serta perunggu dari Hermawan Susanto. Sayangnya Siregar tak bisa melihat anak-anak asuhnya meraih itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Ia dilarang dokter menyaksikan langsung karena kondisi jantungnya masih dalam tahap pemulihan. Pun begitu, ia tetap bisa merasakan haru Susy Susanti dan Alan yang berlinang air mata kala mendengar “Indonesia Raya” di podium utama. “Kapan lagi bendera kita bisa berkibar di podium olimpiade – tiga sekaligus lho. Belum tentu bisa ditandingi oleh negara lain,” papar Siregar. Kiprah Siregar lantas tutup buku mulai 2007 akibat kondisi kesehatannya yang kian menurun selepas menjabat anggota Dewan Kehormatan KONI Pusat. Tiga tahun berselang, 3 Oktober 2010, ia mengembuskan nafas terakhir. Sebelum tiada, ia sempat prihatin dengan anjloknya prestasi olahraga Indonesia di SEA Games 2005. Baginya, itu adalah hasil dari pembinaan olahraga yang amburadul, di mana sistemnya telah melenceng dari yang pernah ia tanamkan. Ia juga sempat mengkritik Pekan Olahraga Nasional (PON) yang tak menelurkan atlet-atlet binaan bermutu untuk dibawa ke pentas internasional. “Yang terjadi di PON adalah jual-beli atlet yang semakin marak. Semua daerah ingin menjadi juara umum tetapi tidak mau bersusah payah melakukan pembinaan,” katanya.

  • KPK Melawan DI/TII

    Idham Chalid dari NU membantu pemerintah melawan DI/TII dengen membentuk Kia Pembantu Keamanan.

bottom of page