top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bung Hatta dan Jenderal Ngaret

    MOHAMMAD HATTA, wakil presiden pertama Republik Indonesia terkenal dengan kedisiplinannya. Terlebih soal waktu. Karena keteraturan terhadap jadwal, Bung Hatta sampai dijuluki "manusia jam" oleh jurnalis kawakan Mochtar Lubis . “Celakalah kita kalau datang terlambat dari jam yang telah dijanjikan. Akan sukar sekalilah minta bertemu lagi, jika sekali terbukti kita tidak dapat menjaga waktu yang tepat,” kenang Mochtar Lubis dalam “Bung Hatta Manusia Berdisiplin” termuat di kumpulan tulisan Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan suntingan Meutia Farida Hatta-Swasono. Bung Hatta pun tidak segan menegur orang yang melanggar disiplin waktu, sekalipun petinggi militer. Meski demikian, seorang jenderal pernah juga cari perkara dengan Bung Hatta. Namanya Moestopo, pangkatnya mayor jenderal. Pada 1946, Moestopo memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) yang terdiri dari sekumpulan copet dan maling di front Subang, Jawa Barat. Sekali waktu pada minggu pagi, Moestopo mendapat perintah via telegram untuk menghadap Bung Hatta. Pesan telegram mengatakan bahwa Bung Hatta menantinya pada pukul 8.00 pagi. Jamuan pun telah disediakan oleh Nyonya Rahmi Hatta berupa teh dan kue sebagai penganan sarapan. Moestopo segera bergegas. Di tengah perjalanan, apes melanda Moestopo. Kendaraan yang membawanya menuju kediaman Bung Hatta mengalami masalah. Untuk tetap melaju, mobilnya pun terpaksa didorong. “Maklumlah mobil di zaman revolusi butut, sehingga semuanya mempunyai penyakit harus didorong,” tulis Moestopo dalam “Bersama Bung Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden RI Pertama” termuat dalam  Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan . Setiba di rumah Bung Hatta, Moestopo terlambat lima menit dari waktu bertemu yang ditentukan. Moestopo memberi hormat militer dengan tegap. Bung Hatta menerima kedatangan Moestopo dan menyambutnya dengan dingin. “Hai Jenderal Moestopo! Kamu itu jenderal atau bukan? Kalau jenderal mana disipilinnya?” hardik Bung Hatta.   Alih-alih tersindir atau malu, (masih dalam sikap tegap), Moestopo malah berseloroh, “Bung, maklumlah kita berjuang berdikari. Saya tahu bahwa pemerintah hanya dapat memberikan mobil butut kepada jenderalnya sehingga perlu didorong-dorong dulu mobil itu.” Mendengar jawaban Moestopo, Bung Hatta hanya tersenyum sambil melengos. Moestopo dipersilakannya duduk untuk memulai sarapan pagi. Sang jenderal ngaret itu pun boleh bernapas lega lolos dari amarah Bung Hatta.

  • Pattimura Dihukum Mati Karena Dikhianati

    SELAMA berkuasa di Maluku, Belanda sempat dibuat repot selama berbulan-bulan oleh kecerdikan Kapitan Pattimura yang pandai meramu strategi perang. Kompeni itu bahkan hampir menyerah jika bala bantuan dari Batavia tidak datang dengan cepat. Namun begitulah takdir, perjuangan Pattimura harus berakhir oleh pengkhianatan rakyatnya sendiri, raja negeri Booi di Saparua, Maluku, yang selama ini mati-matian dibelanya. Malam 11 November 1817, Pattimura dan pasukannya sedang berdiam di sebuah rumah di hutan Booi. Tidak ada perbincangan apapun, mereka hanya diam termenung. Tiba-tiba terdengar keramaian di luar dan pintu terbuka oleh tendangan seseorang. Beberapa tentara merangsek masuk, mengarahkan senjata ke semua orang. Seorang opsir berteriak memberi perintah untuk menyerah, sambil mengarahkan senjatanya ke dada Pattimura. Kemudian masuk dan berteriak raja Booi: “Thomas, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya melawan. Rumah ini sudah dikepung empat puluh serdadu yang siap menembak mati kalian.” “Terkutuklah engkau, pengkhianat!” geram Pattimura, seraya digiring keluar menuju kota Booi, sebelum diberangkatkan ke Ambon. Tidak disebutkan apakah raja Booi mendapat imbalan atas pengkhianatannya itu. Namun I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura menyebut alasan raja Booi menjual informasi kepada Belanda karena dendam setelah Pattimura menurunkan posisinya sebagai pemimpin rakyat. Kabar penangkapan Pattimura tersiar ke seluruh pelosok negeri dengan sangat cepat. Para pemimpin perang lain pun segera menjadi target perburuan. Sebagian memilih meletakkan senjata, namun sebagian lain memutuskan tetap berperang. Mereka tidak ingin nasibnya berakhir di tiang gantung, dan terus melanjutkan perjuangan Pattimura. Setiba di Ambon, Pattimura dan sejumlah pejuang yang tertangkap dikurung di benteng Victoria. Selama di dalam penjara, mereka diinterogasi oleh tentara. Namun Pattimura menutup rapat-rapat mulutnya sehingga tidak banyak informasi yang didapat Belanda. Memasuki bulan Desember, para tahanan dihadapkan di depan Ambonsche Raad van Justitie (Dewan Pengadilan Ambon). Setelah melalui beberapa sidang, vonis pun dijatuhkan. Kapitan Pattimura, Anthone Rhebok, Said Perintah, dan Philip Latumahina mendapat hukuman paling berat sebagai pemimpin perang, yakni hukum gantung. Sementara tahanan lainnya diasingkan ke Jawa. Pattimura dan tiga orang lainnya mengisi hari-hari terakhir menjelang ekseskusi dengan renungan. “Suatu malam penuh ketegangan dan perjuangan batin. Pikiran keempat pemimpin itu melayang-layang ke sanak saudara. Kebebasan yang mereka ingini menyebabkan korban besar yang harus mereka berikan. Tetapi sekarang kembali mereka akan ditindas oleh kaum penjajah,” tulis Nanulaitta. Tanggal 16 Desember 1817, tibalah hari eksekusi. Pagi-pagi sekali, empat orang pemimpin itu telah diperintahkan untuk bersiap. Tidak terlihat kecemasan di wajah Pattimura dan kawan-kawan seperjuangnya itu karena sehari sebelumnya para pemuka agama datang mengunjungi mereka dan semalaman menemani di dalam sel sambil terus memanjatkan doa. Di lapangan depan benteng Victoria, tiang gantung telah disiapkan. Para algojo pun telah berdiri di sampingnya, menunggu korbannya tiba. Sejumlah besar tentara dipersiapkan, baik di sekitar lapangan eksekusi maupun pantai untuk menghalau segala bentrokan yang mungkin terjadi. Rakyat Maluku pun telah berkumpul, berusaha melihat para pemimpin mereka untuk terakhir kalinya. Sekitar pukul tujuh, Pattimura dan para terhukum lainnya tiba dengan tangan terikat, dan penjagaan yang amat ketat. Setelah mereka ditempatkan di depan tiang gantungan, seorang petugas pengadilan membacakan putusan dewan hakim di depan seluruh orang yang hadir: “… mereka akan dihukum gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para algojo. Kemudian mayat mereka akan dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung, dan digantung agar tulang belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa Thomas Mattulesi untuk selama-lamanya akan digantung di dalam sebuah kurungan besi dan sekalipun telah menjadi debu, akan menimbulkan ketakutan karena perbuatannya,” tulis Nanulaitta. Philip Latumahina menjadi yang pertama menaiki tiang gantung. Tali dipasangkan dan genderang dibunyikan. Namun sesaat kemudian ia terjatuh. Tali maut itu ternyata tidak mampu menahan beban Latumahina yang memang berbadan besar. Dengan susah payah, algojo menyeretnya kembali ke depan tiang gantungan. Malang nasibnya, ia harus merasakan tali gantungan untuk kedua kalinya. Beberapa detik kemudian nyawanya pun melayang. Setelah Latumahina, berturut-turut Anthone Rhebok dan Said Perintah menaiki tiang gantung. Tidak perlu usaha dan waktu terlalu lama bagi algojo mengeksekusi keduanya. Setelah genderang dibunyikan, nyawa keduanya dengan cepat terlepas. Tiga orang pejuang telah berpulang, kini tibalah giliran sang panglima tertinggi Maluku berhadapan dengan tiang gantungan. Dari atas tempat eksekusi ia bisa melihat puluhan musuh yang sangat ingin ia hancurkan sedang menontonya. Sementara di kejauhan ia menatap rakyat Maluku yang hendak ia bebaskan, meski gagal. Saat algojo memasangkan tali di lehernya, sambil mengarahkan pandangannya ke arah hakim-hakim Belanda, Pattimura mengucapkan kata-kata perpisahannya: “Selamat tinggal tuan-tuan.”

  • Bumi Manusia Rasa Milenial

    MODERNISASI dan cinta. Minke (diperankan Iqbaal Ramadhan) mengalami kegalauan akut terhadap hidup yang dipilihnya dan berkelindan dengan dua hal itu. Di satu sisi ia seorang anak bupati yang mengenyam pendidikan Eropa: bersekolah dengan anak-anak Belanda dan Indo (blasteran bumiputra dengan Eropa) pada zaman peralihan. Di sisi lain cintanya kandas karena aturan kolonial yang sangat rasialistis akhir abad ke-19. Setidaknya begitu gambaran yang disuguhkan sineas Hanung Bramantyo dalam Bumi Manusia . Film drama yang diangkat dari tetralogi pertama Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer bertajuk sama. Karya sastrawan yang disebutkan Hanung, sebagai karya yang acap dibaca secara sembunyi-sembunyi di masa Orde Baru. Memang Hanung tak menyertakan periode waktu. Namun soal era sangat nampak lantaran Minke salah satu pemuda HBS Hogere Burgerschool (setara SMP-SMA) Surabaya yang turut antusias melihat perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu Belanda, 6 September 1898. Tetapi di lain pihak, Minke melihat sendiri bagaimana dampak modernisasi yang masuk ke Hindia Belanda di masa itu. Mulai dari kapal uap, kereta api uap, hingga teknologi komunikasi telegraf dan telegram. Serbuan teknologi Eropa yang kian memisahkan jurang antarkelas di kehidupan sosial Hindia Belanda. Betapa makin kuat penindasan yang terasa antara kelas Eropa dan bumiputra. Sementara itu dari sesama kawan HBS-nya pula, Robert Suurhof (Jerome Kurnia), ia mengenal bidadari Indo, Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Tidak butuh waktu lama untuk Minke jatuh hati. Dalam selingan kisah asmara keduanya itu pula Minke melihat kenyataan yang tak biasa. Bahwa ibu Annelies yang seorang nyai, Ontosoroh alias Sanikem Sostrotomo (Sha Ine Febriyanti), justru yang memegang kendali sebuah bisnis perkebunan, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo milik pasangan sang nyai seorang Belanda, Herman Mellema (Peter Sterk). Herman justru lebih banyak foya-foya. Mabuk-mabukan hampir saban hari di rumah pelesir Baba Ah Tjong (Chew Kin Wah). Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak Annelies, setali tiga uang. Enggan meneruskan sekolah dan memandang hina Minke sebagai kalangan bawah bumiputra. Hubungannya dengan gadis Indo itu turut jadi perhatian orang tua Minke yang seorang Bupati Bojonegoro. Ayah Minke (Donny Damara), menegurnya dengan keras karena menganggap Minke meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Sementara Minke hanya bisa curhat pada ibunya: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas yang hidup di bumi manusia dengan segala perkaranya”. Kembali ke Wonokromo, Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya. Tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang “terperintah” (bumiputra) dan “memerintah” (Eropa). Baik soal kasus kematian Herman Mellema dan hak asuh Annelies dan harta waris Herman yang digugat putra Herman dari istri pertama, Maurits Mellema (Robert Alexander Prein). Para aktor dan tim produksi film Bumi Manusia di gala premier Jakarta. (Randy Wirayudha/Historia). Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri film berdurasi 172 menit yang akan tayang resmi di bioskop-bioskop tanah air mulai 15 Agustus 2019. Film yang menurut Hanung sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia saat ini. “Film ini bercerita tentang kata modern pertama kali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relate dengan kaum milenial karena kata-kata milenial sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini. Tonton film ini karena film ini berbicara tentang Indonesia pada masa masih embrio,” ujar Hanung kepada Historia di sela gala premier selebritas  Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/2019) malam. Blunder Film Hanung mengakui proyek filmnya merupakan film “berat”. Ia menggali dari nol novel Pram untuk bisa meramunya hingga bisa diterima kaum milenial yang dirasa sulit menerima film dengan bobot berat. “Tantangannya adalah waktu. Untuk mendapatkan karakter Minke, sakitnya Minke itu tidak bisa 2-3 bulan, harus tahunan tapi mana ada waktunya,” lanjutnya. Mungkin faktor itulah yang akhirnya menuai beberapa kritik. Padahal filmnya dimulai dengan mendongkrak emosi via pemutaran lagu “Indonesia Raya”. Juga digambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tengah serbuah modernitas. Plus sisipan tembang menyentuh “Ibu Pertiwi” yang dibawakan Iwan Fals. Pun dengan komitmen para aktornya yang membawakan multibahasa di filmnya, mulai dari bahasa Jawa, Belanda, Prancis, Cina hingga Jepang. Sayangnya tak diikuti bahasa Melayu yang jadi “bahasa pemersatu” kaum bumiputra saat itu, melainkan hanya bahasa Indonesia baku belaka. Membuat suasana filmnya sangat milenial meski menggerogoti keotentikan karya Pramoedya. Meski dinamika naik-turun alur filmnya tetap ada, namun setengah durasi ke belakang justru terasa membosankan. Belum lagi runyamnya beberapa detail properti. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka – senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu m usketeer dari Prancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko. Itu jika dibandingkan dengan sejarah aslinya di era itu. Masalahnya beberapa kejadian juga menyeleweng dari novel Pram sendiri, Bumi Manusia . Dalam novelnya, saat Minke disatroni polisi untuk dijemput, perlakuan agen polisinya nampak kasar. Padahal pada novelnya digambarkan Minke dijemput dengan perlakuan sopan, mengingat Minke anak bupati. Surat pemanggilannya pun bertuliskan “Karesidenan Bodjonegoro”, bukan Kabupaten Bodjonegoro lantaran ayahnya si bupatilah yang memanggilnya. Di novel Pram juga Minke menjelaskan asal-usul namanya yang bersumber dari hinaan gurunya semasa ELS (De Europeesche Lagere School). Mungkin dalam dialognya Iqbaal yang memerankan Minke kepeleset lidah bahwa panggilan itu berasal dari guru sekolah HBS. Hanung juga melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat dikaguminya semasa ELS. Hanung Bramantyo, sutradara film Bumi Manusia. (Randy Wirayudha/Historia) Lantas di adegan Minke disuruh jalan jongkok sebelum menghadap ayahnya di pendopo kabupaten. Orang yang menyuruhnya adalah abdi dalem pendopo. Padahal dalam novel, yang menyuruh Minke jalan jongkok adalah agen polisi yang mengantarnya dari Surabaya ke Bojonegoro. Dalam film juga tak diputar lagu “Wilhelmus” saat perayaan penobatan Ratu Wilhelmina dan penobatan ayahnya jadi bupati, sebagaimana dituangkan Pram. Dalam pengadilan juga tak nampak adanya jaksa penuntut, di mana sistem hukum kolonial masih sangat serupa dengan saat ini, juga di novel. Nyai Ontosoroh hanya ditekan oleh hakim. Pun dengan vonis Baba Ah Tjong sebagai peracun Herman Mellema. Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa. Entah berapa detail dari novel Pram yang berbelok dalam film. Namun, blunder yang dirasa paling terasa adalah, Hanung menyertakan nama Raden Mas (RM) Tirto Adhi (Soerjo), terhitung lima kali dalam film. Jelas-jelas Pram tak pernah menyebut nama Tirto meski Minke adalah “penjelmaan” dari tokoh pers nasional itu. Sedikitnya dalam novel, Pram hanya menyebut RM Minke anak Bupati B (merujuk Bojonegoro). Soal ini, Hanung membantah bahwa Minke adalah Tirto Adhi Soerjo. “Ini bukan biografi tentang Tirto Adhi Soerjo. Siapa bilang (Minke adalah Tirto, red. )? Enggak ada yang bilang seperti itu (Minke adalah Tirto)! Pak Pram hanya memudahkan agar supaya karakternya itu hipotesanya enak, makanya dia ambil Tirto Adhi Soerjo. Tetapi Pak Pram sama sekali tak mengatakan ini (Minke) adalah Tirto Adhi Soerjo,” kata Hanung. Toh, dalam filmnya, lima kali nama Tirto disertakan. Pertama dalam surat pemanggilan Minke dengan kop Karesidenan Bojonegoro. Kedua dalam dialog Minke dengan ayahnya. Ketiga dalam lembaran pengumuman kelulusan HBS sebagai ranking 1 HBS se-Surabaya. Keempat dalam tulisannya di surat kabar pasca alter egonya terungkap. Kelima saat Minke menyodorkan surat nikah resmi secara Islam ke Raad van Justitie untuk membuktikan bahwa dia suami sah Annelies. Respons Keluarga Tirto Adhi Soerjo Lantas bagaimana tanggapan keluarga Tirto Adhi Soerjo sendiri? Terkait Minke yang dianggap bukan Tirto Adhi Soerjo namun namanya tetap muncul di beberapa adegan filmnya. “Kalau bagi saya enggak ada soal. Memang tidak harus sowan ke keluarga besar Tirto Adhi Soerjo karena diambilnya dari Bumi Manusia , bukan Sang Pemula yang biografinya Tirto. Tapi itu kembali ke Hanung sendiri apakah dia merasa harus atau tidak. Bagi saya pribadi Tirto Adhi Soerjo sudah milik anak segala bangsa, siapapun mau menginterpretasikannya, monggo-monggo saja,” kata RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo kepada Historia. Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo dari garis istri pertama Siti Suhaerah Namun Okky turut salut dengan “strategi” Hanung mengambil Iqbaal Ramadhan untuk memerankan Minke alias Tirto Adhi Soerjo. Nama aktor muda ini tengah menjulang sejak memerankan Dilan dalam Dilan 1990 . Kendati memang mulanya pemilihan Iqbaal menuai pro-kontra. “Ya itu minusnya bahwa di diri Iqbaal masih menempel citra Dilan. Orang akan confuse kenapa Dilan memerankan Minke. Agak jetlag melihatnya. Tapi positifnya adalah Iqbaal sedang naik namanya di kalangan milenial. Kita mau berharap apa kaum milenial tahu Pram? Susah dan berat lho, mungkin kalau mereka magang di Historia , bisa tuh ,” tutur Okky seraya bergurau. Setidaknya dengan “Dilan effect ” itu, menurut Okky, jadi pintu masuk generasi milenial untuk memahami sejarah bangsa di masa kolonial. “Dua poin penting: pertama, anak milenial bisa jadi senang akan sastra yang sesungguhnya, bukan sastra pop. Kedua, mereka jadi aware dengan sejarah bangsa ini. Bahwa di dalamnya mereka jadi mengenal Tirto itu hanya efek samping. Strateginya yang oke juga kalau dikemasnya baik,” tandas Okky.

  • Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara

    Sewaktu para Dewa dan Asura sibuk mengaduk Lautan Susu demi mendapatkan air kehidupan ( amrta ), Winata bermain tebak-tebakan dengan madunya, Kadru. Siapa yang salah tebak, harus menjadi budak yang menang taruhan. “Coba terka, apa warna ekor kuda Ucchaihsrawa?” kata Sang Kadru. “Putih,” jawab Winata. Maka keluarlah kuda Ucchaihsrawa dari dalam lautan yang diaduk. Sesungguhnya jawaban Winata benar adanya. Namun Kadru yang licik meminta anak-anaknya, para ular, untuk menyemburkan bisa ke arah kuda itu. Ekor Ucchaihsrawa yang semula putih, berubah menjadi hitam.   Winata dianggap kalah. Ia pun harus menjadi budak Kadru. Begitu pula putranya, Garudeya yang berwujud burung Garuda itu. Ia ikut diperbudak ular-ular, anak Sang Kadru. Ketika tahu Winata bisa bebas apabila ditebus dengan air amrta , Garuḍa pun berusaha mengambilnya di dunia para dewa. Kepada Wisnu ia berjanji, jika diberi air keabadian itu, ia bersedia menjadi kendaraannya. Air amrta pun ia bawa kepada ibu tirinya. Ia tebus Winata dari perbudakan. Kisah tentang Garudeya itu berasal dari cerita Samuderamantana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata , yaitu Adiparwa . Garis besar kisahnya bertalian dengan dua istri Bhagawan Kasyapa, Winata dan Kadru yang tak kunjung hamil. Sang Bhagawan pun memberikan tiga butir telur kepada Winata dan 100 telur kepada Kadru. Di antara 100 telur yang dierami Kadru, semuanya menetas menjadi 100 ekor ular. Sementara dari tiga telur yang dierami Winata, hanya satu yang menetas. Ia menjadi makhluk setengah burung, setengah manusia. Ia dinamai Garudeya. Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menjelaskan kisah Adiparwa telah disadur pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh pada awal abad ke-9. Kala itu kisahnya diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Kisah itu kemudian banyak diwujudkan dalam bentuk relief pada masa Majapahit, sekira abad ke-14. Contohnya seperti yang terlihat di dinding Candi Kidal, yang pernah direnovasi pada masa keemasan Majapahit oleh Hayam Wuruk. Pun pada Candi Kedaton dan Candi Sukuh. Ada juga arca Wisnu naik Garuḍa yang diperkirakan berasal dari Petirtaan Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Menurut arkeolog Hariani Santiko dalam "Ragam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur", terbit di Jurnal Amerta , arca itu sering dianggap sebagai perwujudan Raja Airlangga. Arcanya menggambarkan Garuḍa tengah mencengkeram Naga. Garuda yang menjadi kendaraan Wisnu dalam reliefCandi Kidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur. (Wikipedia). Simbol Kemerdekaan Dwi Cahyono menjelaskan, perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garuda merupakan ekspresi bakti anak kepada ibu. Dalam konteks yang lebih luas, kisah itu bisa disebut sebagai bakti kepada ibu pertiwi atau tanah air. Artinya, perjuangan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan asing demi meraih kemerdekaan. “Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan,” katanya. Makna itulah yang kemudian menjadi pertimbangan tim perumus lambang negara Indonesia, di antaranya Moh. Yamin, R.M. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo. “Teks susastra dan relief cerita tentang Garudeya itu dijadikan referensi bagi penentuan figur lambang negara,” lanjut Dwi. Ketika mendesain lambang, relief Garuda di Candi Sukuh menjadi inspirasinya. Bentuknya berupa seekor burung Garuda berukuran besar dalam posisi mengepakkan sayap. Kedua kakinya setengah jongkok, mencengkeram dua ekor Naga yang saling membelit dengan arah hadap berlawanan. Garuda di Candi Sukuh. (Wikipedia) “Relief ini dalam baberapa hal mengingatkan kita kepada wahana Wisnu pada arca perwujudan Airlangga,” kata Dwi. Lalu lambang ini juga mirip dengan dua buah arca manusia setengah burung di halaman Candi Sukuh. Arca ini digambarkan dalam posisi berdiri sambil mengepakkan sayap. “Kedua data ikonografis itu dimodifikasi seperlunya dan dipadukan, antara lain dengan mengganti sepasang Naga yang saling membelit dengan pita Bhineka Tunggal Ika ,” jelas Dwi. Semboyan ini pun beratus tahun lalu sudah bisa ditemukan dalam Kakawin Sutasoma , karya Mpu Tantular.

  • Entong Tolo, Bandit Sosial dari Pinggir Kota

    AWAL abad ke-20, Batavia dan Ommelanden (daerah sekitarnya) menjadi perhatian pejabat tinggi kolonial. Mereka bertanya kepada setiap asisten residen di sana mengapa banyak kasus perampokan tiap malam. Asisten residen Meester Cornelis (sekarang Jatinegara), Tangerang, dan Buitenzorg (sekarang Bogor) menjawab kompak.

  • Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda

    DARI balik pintu muncul seorang perempuan pribumi mengenakan kebaya putih berenda, berkain jarik dengan selop beludru hitam berhias sulaman perak. Dialah Nyai Ontosoroh, gundik Tuan Mellema yang banyak dikagumi orang. Kehadirannya begitu mengesankan sebab selain penampilannya yang anggun dan rapi, bahasa Belandanya pun apik. Hal yang sulit ditemui pada diri seorang nyai. Kisah Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer menjadi gambaran umum kondisi pergundikan di era kolonial. Praktik ini sebenarnya sudah dilakukan sejak VOC bercokol di Hindia Timur. Ketika Terusan Suez dibuka pada November 1869 peluang kehadiran orang Eropa makin tinggi karena perjalanan lebih singkat. Antara 1870-1880 ada sekira sepuluh ribu orang Eropa yang datang ke koloni, kebanyakan lelaki. Perempuan Eropa masih amat langka, dengan perbandingan tiap 10 ribu lelaki terdapat 123 perempuan kulit putih. Angka ini belum termasuk golongan mestizo. Karena kesulitan mencari pasangan satu ras inilah, para bujangan Eropa kebanyakan hidup bersama nyai. Praktik pergundikan ini jamak ditemui di tangsi militer, perkebunan, dan masyarakat sipil di kota. “Mereka anggap tinggal bersama gundik sebagai tindakan illegal dan tidak diterima secara moral tapi di saat yang sama mereka membutuhkan bahkan diuntungkan dengan praktik ini,” kata Reggie Baay penulis buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda kepada Historia. VOC dan pemerintah kolonial mendiamkan perilaku ini karena selain memudahkan pengenalan adat dan bahasa setempat, mereka juga tak dibebani tunjangan lebih karna status pegawai yang masih lajang. Para elite tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, juga tak perlu pusing oleh penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil. Namun, di balik semua keuntungan ini ada cibiran dan penolakan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan. Di era VOC, penolakan paling dominan datang dari kalangan gereja yang melarang pernikahan dengan orang non-kristen. Sementara, di era berikutnya, penolakan lebih didasarkan pada perbedaan rasial. Peraturan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal Dymaer van Twist pada 1850-an menyebut tentara yang hidup bersama nyai akan ditangguhkan kenaikan pangkatnya. Djoemiha tinggal bersama Alfred Wilhelm, anggota KNIL. (Repro Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda) Ketidaksukaan masyarakat kolonial pada praktik pergundikan juga memunculkan asumsi bahwa alasan perempuan pribumi mau menjadi nyai karena pertimbangan materialistis. Anggapan tersebut, menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, melupakan posisi para perempuan terjajah dalam sistem kolonial. Para perempuan muda ini tidak punya suara apalagi pilihan. Ia hidup pada lingkungan tertindas di mana kemauan lelaki (ayah atau tuannya) harus dipenuhi tanpa penolakan. Ketidakberdayaan pada keputusan ayah ini pula yang dialami Sanikem. Ia hanya bisa patuh pada keinginan ayahnya. Protes dari sang ibu pun tak berbuah hasil, akhirnya mereka hanya bisa berbalas tangis dalam perjalanan menuju rumah Herman Mellema. Nasib perempuan yang lebih buruk dikisahkan Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli. Seorang kuli perempuan di perkebunan Deli menolak pinangan tuannya untuk menjadi seorang nyai lantaran ingin bersetia pada pasangan pribuminya. Keputusannya alih-alih diterima malah berbuah hukuman dengan siksaan yang kejam. Setelah jadi nyai pun, nasib para perempuan Asia ini belum tentu mujur. Seorang nyai bisa dibilang tidak punya hak apa pun. Mereka hanya diangap sebagai properti tuannya. Itulah mengapa beberapa orang Eropa menyebut nyai dengan julukan penuh hinaan. Meubel atau inventarisstuk karena mereka dengan mudah dipindahtangankan ke lelaki Belanda lain, atau bahkan dilelang sebagai bagian dari inventaris. Hubungan tuan-gundik nyatanya tak melulu buruk. Ada yang hidup bahagia seperti Nyai Ontosoroh, mendapat kesempatan megembangkan kemampuan membaca, menulis, dan berbahasa Belanda. “Tentu ada pengecualian. Meski secara umum ditolak oleh masyarakat kolonial, ada juga lelaki Eropa yang bersikap baik seperti perlakuan Herman pada Ontosoroh. Penulis Willem Welraven misalnya. Relasi baik jadi kesempatan nyai untuk mendapat pengetahuan baru, meningkatkan intelektualitas, dan statusnya,” kata Reggie Baay. Willem Welraven adalah penulis dan wartawan yang hidup pada pergantian abad ke-19. Ia menikahi gundiknya, Itih dan memperlakukannya laiknya ibu dan istri. Ia mengajari Itih membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Belanda. Ia juga mengajari Itih cara mengelola keuangan setelah sebelumnya jengkel pada ketidakpahaman istrinya itu. Walraven tak ambil pusing dengan stigma kolonial. Ia bahkan tak malu mengenalkan Itih sebagai istrinya. Kawin campur Welraven-Itih bisa terjadi setelah pelarangan pernikahan dengan non-kristen dihapus pada 1848. Disusul kemudian pemberian status Eropa bagi para gundik yang dinikahi tuannya pada 1898. Setelah pernikahan campuran diakui, ada 80-100 pasangan yang menikah tiap tahun pada dekade 1886-1897. Hanneke Ming dalam “Barracks-Concubinage in the Indies, 1887-1920” mencatat anggota tentara baru diizinkan menikahi pasangan pribuminya pada 1908. Namun perilaku hipokrit masyarakat kolonial tak hilang begitu saja. Mereka mengejek pergundikan, namun ketika pasangan beda ras ini hendak melegalkan hubungannya, ancaman karier menghadang si lelaki. Hal inilah yang dialami pasangan Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen seperti diceritakan Reggie Baay dalam bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jurjen merupakan apoteker militer kelahiran Belanda. Sementara Pe Nio bekerja sebagai pembantu di rumah residen Bandung. Mereka bertemu ketika Jurjen bertamu ke rumah residen itu. Jurjen meminta Pe Nio menjadi nyainya yang disambut kata setuju. Pada 1908 mereka dikaruniai anak pertama lalu menikah setahun setelahnya. Keputusan ini berdampak pada karier Jurjen. Ia lantas keluar dari dinas militer dan membuka apotek di Bandung. Gambar 2 99396689638690565807 Gow Pe Nio dan suaminya Jurjen. (Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda) Kekhawatiran adanya hambatan karier juga dirasakan tentara KNIL Alfred Wilhelm. Alfred menjalin hubungan dengan perempuan bumi putera asal Gombong, Djoemiha Noerawidjojo. Mereka bertemu di warung makan tempat kerja Djoemiha. Alfred rupanya datang tak hanya mencari makan tetapi juga mencari pasangan. Ia  pun meminta Djoemiha menjadi nyainya. Djoemiha-Alfred tak pernah menikah formal namun mereka saling menemani hingga dipisah maut dengan selisih lima hari pada 1954 di Jakarta. Hubungan Tragis Kisah Nyai Ontosoroh selain memberikan gambaran perempuan mandiri, juga mencerminkan kerapuhan posisi nyai. Dalam hubungan pergundikan, tak ada pengakuan secuil pun baik sebagai pasangan lelaki Eropa atau ibu. Ketika Annelis dan Robert sudah diaku sebagai anak Herman Mellema, mereka berhak menyandang nama belakang ayahnya dan punya status sebagai orang Eropa. Pengakuan ini di lain sisi, membuat posisi sosial mereka lebih tinggi dibanding ibunya sendiri. Aturan tentang pengakuan keturunan mulai dikeluarkan pada 1828 lantaran anak-anak hasil pergundikan tak terhitung jumlahnya. Bila si ayah tak ingin mengadopsi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan. Anak-anak yang tak diadopsi tapi tetap didaftarkan kelahirannya itu menyandang nama ayahnya dengan penulisan terbalik. Misal, Kijdsmeir dari van Riemsdijk, Rhemrev dari Vermehr, Snitsevorg dari Grovestins, atau Esreteip dari Pieterse. Aturan lain menyusul kemudian yang memuat tentang hak asuh anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 40 dan 354 tahun 1848. Anak-anak hasil pergundikan yang sudah diadopsi ayahnya, secara hukum hubungan dengan ibu kandungnya gugur. Anak-anak itu murni milik ayahnya. Bila suatu hari ayahnya meninggal, si ibu tidak dapat mengambil alih hak asuh anak itu. Itulah sebabnya setelah kematian Herman Mellema, perwalian Annelis diserahkan ke tangan Maurits Mellema, yang secara hukum diakui punya hubungan kekerabatan. Sementara Nyai Ontosoroh tak punya kuasa apa pun di mata hukum koloni. Keputusan pengadilan yang mengalihkan hampir seluruh hak waris dan perwalian Annelis ke tangan Maurits meruntuhkan segala usaha Nyai Ontosoroh yang ia bangun bertahun-tahun. Pada akhirnya Nyai Ontosoroh dilempar dari permainan hukum kolonial yang tidak berpihak pada kaum bumi putera. Annelis, satu-satunya harapan Nyai Ontosoroh, pun akhirnya dikirim Maurits ke Belanda. Menjadi pelengkap kisah tragis dalam hubungan nyai dan anaknya. Perpisahan para nyai dengan anaknya ini jadi kasus yang jamak terjadi. Hal serupa juga dialami ayah Reggie Baay. Ayah Reggie tak tahu betul siapa ibunya. Jejaknya hanya tertinggal dalam akta pengakuan keturunan yang dibuat kakeknya, Daniel Baay. Nenek Reggie, bernama Moeinah yang berasal dari kelaurga muslim miskin di Jengkilung, Surakarta (kemugkinan kini Desa Pendem, Sumberlawang, Sragen). Ia bekerja sebagai pelayan di rumah Daniel Baay dan Parijem, anak dari bangsawan rendah Kraton Surakarta. Rupanya Louis Baay, anak Daniel, menaruh perhatian pada Moeinah. Mereka pun hidup bersama di villa kecil milik keluarga Baay di Surakarta. Hubungan ini membuat Moeinah melahirkan seorang putra, ayah Reggie pada 1919. Belum genap setahun mengurus bayinya, Moeinah diminta meninggalkan rumah dan kembali ke desanya. Pada 1926, ketika Moeinah berusia sekira 25 tahun, ia kembali dipanggil oleh keluarga Baay untuk pembuatan “akta” anaknya. Setelah hak atas anak jatuh pada keluarga Baay, Moeinah kembali dilupakan. Ia tidak diperkenankan menemui anaknya. “Saya seorang indo. Nenek saya dulu seorang nyai, tapi ayah saya tak pernah tahu siapa ibu kandungnya,” kata Reggie. Moeinah dipisahkan dan dipaksa melupakan anaknya. Namun kenangan atas anak yang ia lahirkan dan rawat selama beberapa bulan, barangkali tak bisa ia lupakan begitu saja. Ayah Reggie lebih-lebih tak punya bayangan seperti apa rupa ibunya. Ia pun selalu menolak membicarakan tentang ibu kandungnya itu. Namun, sedikit ingatan buram pada masa kecilnya, ia catat di belakang akta pengakuan. Ketika masih kecil beberapa kali ia menyaksikan seorang perempuan Jawa berdiri di dekat pagar rumah. “Berkali-kali ia berusaha untuk mendekatiku tetapi kerap dihalau oleh pelayan kami. Akankah ia…”

  • Karya-Karya Sang Perupa Sederhana

    DUA pengamen menjalankan aksidi atas sebuah bus kota. Seorang memainkan gitar, rekannya menengadahkan topi untuk wadah uang “sumbangan”. Beberapa penumpang tampak menyiapkan recehan untuk diberikan, sementara yang laincuek. Gambaran kehidupan di metropolitan yang umum itu hadir dalam sebuah lukisan di pameran bertajuk “Lini Transisi” di Galeri Nasional, Jakarta. Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 99x99 cm itu karya Soenarto Pr. Judulnya “Pengamen”, dibuat pada 1988. Lukisan milik Museum Seni Rupa dan Keramik itu jadi salah satu dari 50 karya lukis, patung, dan seni instalasi yang di- display dalam pameran yang digelar kurun 1-31 Agustus 2019. Karya Soenarto itu ditampilkan di antara sejumlah karya pelukis tenar lain seperti S. Sudjojono, Affandi, Basoeki Abdullah, hingga Hendra Gunawan. Menurut kurator pameran dan Galeri Nasional Suwarno Wisetrotomo, lukisan “Pengamen” turut menggambarkan salah satu sisi kehidupan kelas bawah di masa perubahan dan peralihan pasca-kemerdekaan dalam dekade 1950-an sampai 1980-an. “Soenarto Pr salah seorang pelukis yang menyaksikan gerak peralihan itu. Lukisan ‘Pengamen’ menjadi salah satu contoh kesaksian seorang Soenarto Pr terhadap zamannya: situasi sosial, politik, ekonomi yang penuh guncangan. Mengamen merupakan salah satu cara untuk survive : hidup tergantung dari orang lainsekaligus bisa mengekspresikan kata hati,” kata Suwarno kepada Historia . Kendati dalam pameran hanya satu karya Soenarto yang ditampilkan, di Gedung Pameran Tetap Galeri Nasional terpajang satu karya lain Soenarto di salah satu sudut ruangan. Lukisan “Potret Diri”, demikian judulnya, dibuat pada 1957 atau dua tahun sebelum Soenarto dan kawan-kawannya mendirikan Sanggar Bambu di Yogyakarta. Lukisan di atas kertas berdimensi 50x35 itu menampilkansang maestro perupa hanya mengenakan pakaian sederhana dan topi jerami. Kumis tipis menghiasi wajahnya yang dilukis hanya menggunakan pastel, bukan cat minyak. “Bapak memang sering bikin lukisan potret diri. Biasanya pakai cermin. Dan kalau pakai pastel biasanya karena sedang tidak mampu beli kanvas dan cat minyak. Soalnya waktu masih di Yogya kan bapak hidupnya prihatin. Bapak baru pindah ke Jakarta tahun 1960,” k ata Mirah Maharani, salah satu putri mendiang Soenarto , meng enang. Lukisan Potret Diri karya Soenarto Pr di ruang pameran tetap Galeri Nasional Jakarta Kebiasaan menggunakan pastel membuat Soenarto mendapat juluk an prestisius. “Soenarto Pr memang dikenal sebagai ‘Raja Pastel’ di samping almarhum Wardoyo ,” kata Suwarno . Sekira 37 karyanya dari guratan pastel pernah ditampilkan di pameran tunggalnya di Bentara Budaya, Yogyakarta, 3-12 Agustus 2010. Selain potret dirinya, lukisannya yang dipamerkan adalah lukisan sejumlah tokoh. “Melukis potret diri merupakan studi yang efektif, mengenal dari dekat karakter, tak perlu membayar model dan emosi berganti-ganti. Lazim dilakukan pelukis pada zamannya. Soenarto juga sukses memimpin Sanggar Bambu yang monumental itu yang saya sebut sebagai gerakan kesenian di tepian arus,” Suwarno melanjutkan. Pakar Patung Selain “Raja Pastel”, Soenarto dikenal sebagai pakarrelief hingga patung-patung pahlawan. Di Jakarta, karya-karyanya bersama seniman Sanggar Bambu bertaburan. Selain Relief “Rama-Marica” dan “Arjunawiwaha” di Bank BNI ’46 Jakarta, ada Relief Perjuangan Ahmad Yani di Museum Sasmitaloka Ahmad Yani, danRelief “Sumpah Gajah Mada” di Wisma Sandhi Pala.Di Wisma Sandhi Pala juga terdapat patung dada pahlawan revolusi S. Parman. Sementara di Cikini, 15 patung dada pahlawan nasional karyanyamemenuhi Gedung Joang ’45. Patung karya Soenarto lainnya adalah patung dada Ki Hajar Dewantara di Jalan Salemba,patung Panji Asmara bangun di Taman Bunga Keong Mas, TMII, patung dada Gubernur Soediro di Balai Kota DKI Jakarta, dan patung Mohammad Hoesni Thamrin di Museum MH Thamrin. Bukan hanya di Jakarta, patung karya Soenarto juga menghiasi beberapa kota. Sebut saja patung Jenderal Sudirman dan Hasanuddin di Balai Prajurit, Makassar, Monumen Mr. Latuharhary di Pulau Haruku, dan monumen Jenderal Gatot Subroto di Purwokerto. Siluet monumen Gatot Subroto di Purwokerto karya Soenarto Pr dan rekan-rekannya di Sanggar Bambu (Foto: Wikimedia) Peresmian monumen Jenderal Gatot, tahun 1982, bersamaan dengan jalannya produksi film Kereta Api Terakhir .Selain Soenarto, desain patung perunggu setinggi empat meter itu juga turut dikreasikan Soenaryo. Monumennya dikerjakan di markas Sanggar Bambu di Meruya Ilir. Selama proses pembuatan, beberapakaliSopiah, istri Gatot, hadir untuk melihat. “Ibu Gatot tidak banyak komentar tentang Patung Monumen Gatot Soebroto (naik kuda), tetapi terus-menerus memandangi dan mengelilinginya. Ketika Ibu Gatot pamit, biasanya berkata: ‘Narto, teruskan saja sampai selesai’,” kata Soenarto dalam Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu. Untuk membantu keotentikan patungnya, Soenarto dipinjami Sopiah topi safari peninggalan Gatot Soebroto yang masih disimpan keluarga. Selain itu, Sopiah juga menyarankan melihat kuda sejenis yang dimiliki Kapolri Anton Soedjarwo di kandangnya di Ciganjur, Jakarat Selatan, di mana jenis kudanya dianggap paling mirip dengan kepunyaan Gatot Soebroto dahulu kala. “Menarik waktu peresmian monumen Pak Gatot itu di Berkoh, Purwokerto. Para pemain film Kereta Api Terakhir , termasuk Pak Sundjoto Adibroto yang memerankan Gatot Soebroto, ikut hadir. Produksi film pun dihentikan sementara untuk menghadiri peresmian patungnya,” kata Mia, sapaan karib Mirah Maharani.

  • Nyong Ambon Pendeta Bung Karno

    Pasca Peristiwa Lengkong 1946, Sukarno begitu terpukul dengan banyaknya perwira muda dan taruna yang gugur. Di rumah sakit Tangerang, seorang dokter memberinya obat dan memijit Sukarno hingga tertidur. Sejak itu, mereka menjadi dekat seperti sahabat lama. Dokter itu adalah Johannes Leimena, nyong Ambon yang akrab disapa Jo. Johannes Leimena lahir di Ambon, 6 Maret 1905. Sejak usia lima tahun, ayahnya meninggal dunia. Dia bersekolah di Ambonsche Burgerschool , tempat pamannya menjadi kepala sekolah. Ketika pamannya pindah tugas ke Cimahi pada 1914, dia turut serta. Ibunya tak mengijinkan, dia nekat menyelinap ke dalam kapal. Jo muda bergabung dalam Jong Ambon dan aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928. Setelah lulus dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada 1922, dia melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra). Setelah bekerja sebagai dokter selama sebelas tahun, dia memperdalam penyakit dalam di Geneeskunde Hogeschool (Sekolah Lanjutan Kedokteran). Pada 1946, Perdana Menteri Sjahrir mengangkat Leimena menjadi menteri muda kesehatan, belum sebagai menteri penuh. Baru pada kabinet Amir Sjarifuddin, dia diangkat menjadi menteri penuh. Leimena yang Sederhana Leimena sangat terkenal akan kesederhanaan, kejujuran, dan kelembutannya. “Jo ternyata sama dengan Natsir, yakni sama-sama hanya punya 2 kemeja yang dua-duanya sudah lusuh,” tulis Faisal Basri dan Haris Munandar dalam Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan dan Kesederhanaan Tokoh Bangsa . Buku ini diluncurkan pada 13 Agustus 2019 di Galeri Nasional, Jakarta Pusat. Karena tidak punya tabungan, Leimena juga harus meninggalkan istri dan anak-anaknya di Jakarta. Ketika di Yogyakarta, dia enggan menggunakan fasilitas negara dengan tinggal di Hotel Merdeka yang semua akomodasinya ditanggung negara. “Dia tahu benar, para personel departemen keuangan harus jungkir balik mengumpulkan dana. Dia memutuskan untuk menyewa sendiri dan membagi satu kamar dengan seorang rekan. Jaman sekarang mana ada menteri yang kos sekamar berdua demi mengirit pengeluaran?” tulis Basri dan Munandar. Ketika ditugaskan menjadi delegasi Indonesia untuk berunding dengan Belanda dalam rangka persiapan menuju perundingan Renville, Leimena meminjam jas teman sekamarnya. Meskipun agak kekecilan, dia bisa bertahan beberapa Jam. “Jangan khawatir. Saya tidak akan bikin malu negara kita,” ucap Jo. Leimena tidak pernah mencari hiburan ke luar rumah. Pulang kantor, ia berganti pakaian, hanya mengenakan sarung dan kaus atau kemeja using, lalu bercengkerama dengan keluarganya. Hari-hari libur juga dihabiskannya bersama keluarga. Suatu hari, beberapa pemuda dari organisasi Kristen hendak bertemu Leimena di rumahnya. Karena berpikir akan diajak "makan besar" di rumah seorang menteri, mereka sengaja tidak sarapan. Tebakan itu tidak meleset, mereka diajak ke ruang makan. Namun, yang mereka temui di meja makan adalah singkong rebus, sarapan sehari-hari sang menteri dan keluarga. “Tutur katanya yang lembut membujuk dan wataknya yang sabar menjadikannya 'negosiator alamiah'. Orang sulit menolak kalau yang meminta adalah Jo. Kejujurannya juga dikenal luas sehingga orang-orang percaya dia tidak pernah bohong atau menggertak,” tulis Faisal Basri dan Haris Munandar. Sampai-sampai Presiden Sukarno menyebut Leimena sebagai “orang paling jujur yang pernah kutemui”. Bahkan, Sukarno dalam kesempatan lain menyebutnya mijn dominee yang artinya "pendetaku". Kiri-kanan: Adam Malik, Johannes Leimena, Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Soeharto, dalam pemakaman Presiden Sukarno Leimena yang Toleran Pada 1945, Leimena bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Dia lalu menjadi ketua umum pada 1950 sampai 1957. Dia juga turut membentuk Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) yang kini bernama Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI). Selain sederhana, Leimena juga dikenal sebagai sosok yang toleran. Dia bersahabat baik dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang memperjuangkan Syariat Islam. Natsir menyebut Leimena sebagai Meneer de Dominee atau Tuan Pendeta. “Toleransi Jo terbukti ketika dia merestui salah satu putrinya menikah dengan seorang muslim, lalu mengikuti iman suaminya,” tulis Faisal Basri dan Haris Munandar. Ketika menjadi menteri kesehatan, Leimena berhasil meracik salep untuk mengobati penyakit kulit ringan yang sering diidap rakyat kecil. Label “Salep Leimena” sangat mujarab dan terkenal pada zamannya. Dia kembali lagi membuktikan diri sebagai menteri sekaligus dokter inovatif yang peduli rakyat kecil. Leimena juga merumuskan rencana pembangunan kesehatan gratis untuk pencegahan dan penyembuhan serta perimbangan fasilitas pelayanan kesehatan di kota dan desa. Rencana ini terlaksana dan sekarang dikenal sebagai Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Selain itu, Leimena juga membentuk Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA), yang kemudian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Sejarah mencatat Leimena sebagai menteri dengan masa jabatan terlama, yakni 21 tahun dengan 18 kabinet berbeda pada era Sukarno. Dia juga merupakan satu dari sedikit orang dekat Sukarno yang ‘selamat’ dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia sempat ingin dipertahankan Soeharto sebagai menteri, namun menolak secara halus dengan perantara Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, dia masih diminta menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) hingga tahun 1973. Selepas itu, Leimena kembali aktif di Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Dia sempat pula menjadi Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Di akhir perjalanan hidupnya, dia masih sempat kembali menjadi dokter dan menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini. Leimena wafat pada 29 Maret 1977 di Jakarta. Nyong Ambon itu mendapat gelar Pahlawan Nasional pada 2016. Penyanyi berdarah Maluku, Glenn Fredly, dalam peluncuran buku Faisal Basri dan Haris Munadar menyampaikan, “Bukan karena saya dari Maluku, tapi saya suka dengan Leimena. Hari ini masyarakat di Maluku lose of hope terhadap pemimpinnya.” Menurut Glenn, cerita-cerita teladan kepemimpinan seperti Leimena, perlu dimunculkan kembali dengan cara baru. “Itu yang saya bilang, bagaimana menerjemahkan ini menjadi sesuatu yang bisa membangun harapan baru,” ujar Glenn.

  • Apakah Naga Benar-benar Ada?

    PUNGGUNGNYA terdiri dari barisan perisai yang rapat. Saking rapatnya, udara bahkan tak bisa melewatinya. Dengusannya mengeluarkan kilatan cahaya. Ia bagai sinar fajar. Lubang hidungnya mengeluarkan asap, seperti panci mendidih di atas alang-alang yang terbakar. Mulutnya menyemburkan api. Batu bara pun bisa menyala akibat dengusan napasnya. Makhluk yang dijelaskan dalam Book of Job ( Kitab Ayub ) itu mirip sekali dengan seekor Naga. Namun di sana disebut dengan Leviathan, semacam monster raksasa yang mengerikan. Naga, telah ada selama ribuan tahun. Dongeng tentangnya dikenal di banyak budaya. Ia muncul dalam mitologi di Amerika, Eropa, India, dan Tiongkok. Karenanya, ide dan deskripsi Naga sangat bervariasi. Beberapa Naga digambarkan memiliki sayap, tapi yang lain tidak. Ada Naga yang dikisahkan bisa berbicara dan menyemburkan api, yang lain tidak bisa. Di antaranya hanya beberapa kaki panjangnya, tapi yang lainnya bisa berkururan menjangkau mil. Beberapa Naga hidup di istana atau di bawah lautan, sementara yang lain hanya dapat ditemukan di gua dan di dalam pegunungan. Makhluk itu juga bisa diidentikkan sebagai makhluk pembawa kebaikan, maupun kejahatan. Tak jelas kapan kisah Naga pertama kali muncul. Laman Livescience menulis, paling tidak Naga yang paling tua bisa dirunut sampai awal masa Yunani dan Sumeria Kuno. Kata Dragon dalam bahasa Inggris asalnya dari bahasa Yunani Kuno, draconta  artinya “untuk mengawasi”. Maksudnya, binatang buas itu biasanya menjaga harta karun, gunungan koin, atau emas. Ini seperti yang digambarkan dalam trilogi film fantasi The Hobbit. Smaug, Naga terakhir di Middle-earth dikisahkan mengambil alih Lonely Mountain (Gunung Sunyi) yang berisikan harta karun Erebor. Naga diwujudkan sebagai makhluk yang menyeramkan, terutama waktu Kristen menyebar ke seluruh dunia. Pada abad pertengahan, kebanyakan orang mendengar kisah Naga dari Alkitab. St. George and the Dragon, lukisan karya Paolo Uccello, 1470. Gereja Kristen menciptakan legenda tentang orang kudus yang saleh berperang dan menaklukkan setan berbentuk Naga. Yang paling terkenal adalah kisah St. George the Dragon Slayer . Alkisah, St. George datang ke kota yang terancam oleh Naga. Dia lalu menyelamatkan seorang gadis, melindungi dirinya dengan tanda salib, dan membunuh binatang itu. Penduduk kota, yang terkesan dengan iman dan keberanian St. George segera menjadi Kristen. “Kemungkinan besar orang Kristen pada saat itu percaya pada keberadaan Naga secara literal,” tulis laman Livescience. Tradisi Hindu maupun Buddha juga mengenal Naga sebagai hewan mistis. Menurut John Miksic dalam  Borobudur: Golden Tales of the Buddhas,  tradisi Hindu acap mengisahkan Naga lewat literatur dan kesenian. Seringkali kehadirannya dihubungkan dengan keberkahan. "Di Borobudur, mereka digambarkan dalam bentuk manusia, namun di tempat lain mereka akan muncul dalam bentuk asli sebagai hewan," tulis Miksic. Kata Naga yang dipakai di Indonesia asalnya dari bahasa Sanskerta. Arti harfiahnya ular. Khususnya di Jawa, Naga lebih merujuk pada dewa ular. Dalam budaya Jawa Kuno, Naga sering dihubungkan dengan air dan kesuburan. Di Jawa ada banyak kisah tentang Naga. Yang muncul dalam pahatan di candi biasanya dihubungkan dengan air amrta atau air kehidupan dalam kisah Samudramanthana . Di Tiongkok Naga disebut dengan Lóng. Sebagaimana disebut laman Livescience, ia adalah makhluk yang hidup di lautan, danau, sungai, dan bahkan hujan. Mereka dipuja sebagai simbol yang memberi kehidupan dari keberuntungan dan kesuburan, yang mampu melepaskan hujan di musim kemarau. “Mereka digambarkan sebagai hewan yang punya tubuh ular, sisik ikan, cakar elang, tanduk rusa, dan wajah Qilin (makhluk suci dalam legenda Tiongkok, red. ),” tulisnya. Patung Naga Tiongkok di sebuah kuil. (Leungchopan/Shutterstock). Fakta di Balik Legenda Naga Namun, kepercayaan pada Naga tak hanya berdasarkan legenda. Banyak juga orang dulu yang meyakini berdasarkan bukti kuat. Contohnya, selama ribuan tahun tak ada yang bisa menjelaskan tentang tulang-tulang raksasa yang ditemukan di seluruh dunia. Dilansir dari laman Livescience , beberapa abad lalu desas-desus tentang Naga terkonfirmasi keberadaannya oleh saksi mata. Para pelaut yang kembali dari Indonesia melaporkan telah bertemu dengan mereka. Makhluk yang katanya sejenis kadal itu dapat menjadi agresif dan mematikan. Panjangnya sampai 10 kaki. Namun ternyata itu adalah komodo. “Mirip dengan Naga, sebelumnya diyakini, gigitan Komodo sangat mematikan karena bakteri beracun di mulutnya,” jelas laman itu. “Meskipun mitos itu dibantah pada tahun 2013 oleh tim peneliti dari Universitas Queensland.” Komodo Pada masa lalu, Naga kerap dipakai untuk menyebut hewan tak dikenal. Pada abad ke-16 misalnya, Fei Xin, seorang personel militer yang ikut berlayar bersama Cheng Ho sempat mengunjungi bagian utara Sumatra. Dalam buku Catatan Umum Perjalanan di Lautan ( Xingcha Shenglan ), dia menceritakan adanya sebuah pulau yang sering didatangi Naga. Pulau itu menjulang di Laut Lambri. Jaraknya satu hari satu malam jika berlayar ke arah barat dari Pulau Sumatra. Naga-Naga yang ke sana meninggalkan liur yang tinggi nilainya di pasaran. “Pada setiap musim semi beberapa ekor Naga suka datang ke sana, bermain-main. Kalau sudah begitu, air liurnya banyak tertinggal di pulau. Karenanya orang menyebutnya sebagai Pulau Liur Naga,” catatnya. Rupanya, berdasarkan terjemahan W.P. Groeneveldt dalam  Nusantara dalam Catatan Tionghoa,  liur Naga itu adalah ambergris. Naga yang dimaksud tak lain merupakan paus. Ma Huan juga menyebutkan keberadaan Naga dalam catatannya, Yingya Shenglan darisekira 1416 . Penerjemah resmi yang ikut berlayar bersama Cheng Ho itu menulis, di pesisir Man-la-ga (Melaka) ditemukan kura-kura dan Naga. Naga itu suka menyerang manusia. Ia memiliki empat kaki. Rupanya, berdasarkan terjemahan Groeneveldt, Naga yang dimaksud adalah buaya. Buaya “Seluruh tubuhnya ditutupi dengan sisik. Sederetan tanduk di punggungnya dengan kepala seperti Naga dan gigi yang keluar dari mulutnya. Jika bertemu manusia, Naga ini akan memakannya,” tulis Ma Huan. Naga pada akhirnya mewujud dari gagasan yang mencontoh makhluk nyata. Itu dimulai dari ular atau reptile menakutkan lainnya. “Seiring waktu mereka pun memperoleh bentuknya sendiri dengan menyerap harapan dan imajinasi masyarakat setempat dengan meminjam sifat-sifat hewan yang nyata,” tulis Livescience .

  • Apakah Cheng Ho Pernah Naik Haji?

    BARANGKALI menarik jika Cheng Ho juga dibahas saat musim haji seperti saat ini. Sebab, oleh tak sedikit warga Indonesia, di samping diyakini menganut Islam, Cheng Ho juga dipercaya merupakan laksamana bergelar haji. Makanya, ada sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo yang menaungi Masjid Cheng Ho di Surabaya.

  • Jangan Tembak, Oom!

    TAK lama setelah tiba di ibukota Yogyakarta, pasukan Tentara Pelajar Seberang (TPS) mendapat tugas ke Sidobunder yang terletak persis di tengah pertigaan Gombong-Puring-Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah. Markas Besar Tentara (MBT) khawatir Desa Sidobunder jatuh ke tangan Belanda setelah mereka melanggar Perjanjian Linggarjati lewat Agresi Militer I. Desa Sidobunder penting dipertahankan karena letaktnya strategis, tak jauh dari demarkasi Kali Kemit. Dipimpin Lettu Maulwi Saelan –di kemudian hari menjadi wakil komandan Resimen Tjakrabirawa; pernah menjadi kiper sekaligus kapten timnas sepakbola Indonesia saat tampil di Olimpiade Melbourne 1956– pasukan TPS berangkat menumpang kereta api pada akhir Agustus 1947. Saat tiba, di Sidobunder sudah ada pasukan Seksi 321 Kompi 320 Yon 300 pimpinan Letnan Anggoro. Kedua pasukan diperintahkan berkoordinasi mempertahankan desa tersebut. Suasana tegang menghinggapi Sidobunder waktu itu. Maklum, habis perayaan hari kelahiran Ratu Wilhelmina. Biasanya, pasukan Belanda merayakan hari kelahiran itu dengan menyerang basis-basis republik. Benar saja, saat pasukan tertidur lelap tak lama setelah pergantian hari dari 31 Agustus ke 1 September, pasukan Belanda menyerang. Pasukan penyerang Belanda berkekuatan sekira satu batalyon yang berpencar ke berbagai arah. Kedatangan pasukan Belanda sontak membuat Anggoro dan pasukannya melarikan diri ke arah timur. Pasukan TPS tinggal sendiri menghadapi lawan. “Sudah di belakang kita si Belanda pagi-pagi,” ujar Maulwi (almarhum) kepada Historia beberapa tahun silam. “Kami nggak bisa apa-apa. Ya, terpaksa kami ambil senjata.” Dalam kekuatan tak imbang, pasukan TPS melakukan perlawanan. Pertempuran sengit terjadi. Tajudin, anak buah Maulwi, tumbang dimangsa peluru Belanda tak lama kemudian. Konsentrasi pasukan buyar. Koordinasi dengan pasukan 321 tiada lagi. Maulwi, pengawalnya La Indi, Losung, La Sinrang, dan Herman Fernandez akhirnya terpisah dari pasukan. Dalam keadaan dihujani tembakan, mereka menerjang persawahan yang saat itu banjir. Sebuah kebun kelapa akhirnya jadi tempat mereka bertahan dan terus memberi perlawanan. Pertempuran jarak dekat terjadi antara mereka melawan pasukan Belanda yang datang dari arah Puring. Hujan tembakan dari pasukan Belanda membuat pasukan TPS terdesak. Keadaan makin sulit karena amunisi pasukan TPS menipis. Dalam keadaan hidup-mati itu, La Sinrang dan Fernandez mendengar Losung berteriak. “Jang tembak, Oom! Peluru habis.”

bottom of page