top of page

Sejarah Indonesia

Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara

Garuda Sebelum Jadi Lambang Negara

Lambang negara Garuda berasal dari relief dan cerita Garudeya. Burung yang berbakti kepada ibunya.

14 Agustus 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Patung Garuda Wisnu Kencana Cultural Park di Bali, 28 September 2016. (Shutterstock).

Sewaktu para Dewa dan Asura sibuk mengaduk Lautan Susu demi mendapatkan air kehidupan (amrta), Winata bermain tebak-tebakan dengan madunya, Kadru. Siapa yang salah tebak, harus menjadi budak yang menang taruhan.


“Coba terka, apa warna ekor kuda Ucchaihsrawa?” kata Sang Kadru.


“Putih,” jawab Winata.


Maka keluarlah kuda Ucchaihsrawa dari dalam lautan yang diaduk. Sesungguhnya jawaban Winata benar adanya. Namun Kadru yang licik meminta anak-anaknya, para ular, untuk menyemburkan bisa ke arah kuda itu. Ekor Ucchaihsrawa yang semula putih, berubah menjadi hitam.  


Winata dianggap kalah. Ia pun harus menjadi budak Kadru. Begitu pula putranya, Garudeya yang berwujud burung Garuda itu. Ia ikut diperbudak ular-ular, anak Sang Kadru.


Ketika tahu Winata bisa bebas apabila ditebus dengan air amrta, Garuḍa pun berusaha mengambilnya di dunia para dewa. Kepada Wisnu ia berjanji, jika diberi air keabadian itu, ia bersedia menjadi kendaraannya.


Air amrta pun ia bawa kepada ibu tirinya. Ia tebus Winata dari perbudakan.


Kisah tentang Garudeya itu berasal dari cerita Samuderamantana yang merupakan salah satu episode dalam wiracarita Mahabarata, yaitu Adiparwa. Garis besar kisahnya bertalian dengan dua istri Bhagawan Kasyapa, Winata dan Kadru yang tak kunjung hamil.


Sang Bhagawan pun memberikan tiga butir telur kepada Winata dan 100 telur kepada Kadru. Di antara 100 telur yang dierami Kadru, semuanya menetas menjadi 100 ekor ular. Sementara dari tiga telur yang dierami Winata, hanya satu yang menetas. Ia menjadi makhluk setengah burung, setengah manusia. Ia dinamai Garudeya.


Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menjelaskan kisah Adiparwa telah disadur pada masa pemerintahan Dharmmawangsa Tguh pada awal abad ke-9. Kala itu kisahnya diterjemahkan dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Jawa Kuno.


Kisah itu kemudian banyak diwujudkan dalam bentuk relief pada masa Majapahit, sekira abad ke-14. Contohnya seperti yang terlihat di dinding Candi Kidal, yang pernah direnovasi pada masa keemasan Majapahit oleh Hayam Wuruk. Pun pada Candi Kedaton dan Candi Sukuh.


Ada juga arca Wisnu naik Garuḍa yang diperkirakan berasal dari Petirtaan Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Menurut arkeolog Hariani Santiko dalam "Ragam Hias Ular-Naga di Tempat Sakral Periode Jawa Timur", terbit di Jurnal Amerta, arca itu sering dianggap sebagai perwujudan Raja Airlangga. Arcanya menggambarkan Garuḍa tengah mencengkeram Naga.


Garuda yang menjadi kendaraan Wisnu dalam reliefCandi Kidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur. (Wikipedia).
Garuda yang menjadi kendaraan Wisnu dalam reliefCandi Kidal, Tumpang, Malang, Jawa Timur. (Wikipedia).

Simbol Kemerdekaan


Dwi Cahyono menjelaskan, perjuangan yang dilakukan oleh Sang Garuda merupakan ekspresi bakti anak kepada ibu. Dalam konteks yang lebih luas, kisah itu bisa disebut sebagai bakti kepada ibu pertiwi atau tanah air. Artinya, perjuangan untuk membebaskan tanah air dari penjajahan asing demi meraih kemerdekaan.


“Dalam konteks demikian, Sang Garuda tercitrakan sebagai ikon pejuang kemerdekaan,” katanya.


Makna itulah yang kemudian menjadi pertimbangan tim perumus lambang negara Indonesia, di antaranya Moh. Yamin, R.M. Ng. Poerbatjaraka, dan Soepomo.


“Teks susastra dan relief cerita tentang Garudeya itu dijadikan referensi bagi penentuan figur lambang negara,” lanjut Dwi.


Ketika mendesain lambang, relief Garuda di Candi Sukuh menjadi inspirasinya. Bentuknya berupa seekor burung Garuda berukuran besar dalam posisi mengepakkan sayap. Kedua kakinya setengah jongkok, mencengkeram dua ekor Naga yang saling membelit dengan arah hadap berlawanan.


Garuda di Candi Sukuh. (Wikipedia)
Garuda di Candi Sukuh. (Wikipedia)

“Relief ini dalam baberapa hal mengingatkan kita kepada wahana Wisnu pada arca perwujudan Airlangga,” kata Dwi.


Lalu lambang ini juga mirip dengan dua buah arca manusia setengah burung di halaman Candi Sukuh. Arca ini digambarkan dalam posisi berdiri sambil mengepakkan sayap.


“Kedua data ikonografis itu dimodifikasi seperlunya dan dipadukan, antara lain dengan mengganti sepasang Naga yang saling membelit dengan pita Bhineka Tunggal Ika,” jelas Dwi. Semboyan ini pun beratus tahun lalu sudah bisa ditemukan dalam Kakawin Sutasoma, karya Mpu Tantular.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page