top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal

    LANTUNAN lirik lagu itu bergema di segenap pelosok Stadion Anfield. Nada dan maknanya begitu kuat hingga membuat bulu kuduk merinding. Sebuah anthem legendaris bertajuk “You’ll Never Walk Alone” mengiringi perjuangan dahsyat Jordan Henderson dkk. ketika menghadapi tim bertabur bintang Barcelona di partai leg kedua semifinal Liga Champions, Selasa (7/5/2019) malam atau Rabu (8/5/2019) dini hari WIB. Liverpool bikin geger. Setelah digilas 0-3 pada leg sebelumnya di Camp Nou, markas Barcelona, “The Reds” membalik keadaan Anfield kendati tampil tanpa trio “Firmansah” alias Firmino, Mané, Salah. “Gempa lokal” terjadi beberapakali setelah Divock Origi dan Giorginio Wijnaldum, masing-masing mencetak dua gol, bergantian menjebol gawang Marc-André ter Stegen. Alhasil, laga berakhir 4-0, “The Reds” membalikkan agregat jadi 4-3 dan melaju ke final. Penampilan itu jadi salah satu comeback terhebat Liverpool dalam sejarah Liga Champions setelah yang dilakukannya pada 2005 ketika membalik skor AC Milan di final. Klopp dan anak-anak asuhnya lantas tenggelam dalam selebrasi dan bersama saling menyanyikan anthem mereka. “ Walk on, walk on. With hope in your heart. And you’ll never walk alone…You’ll never walk alone.” ’ Lagu Teater Musikal Lagu yang populer disingkat YNWA itu aslinya merupakan salah satu lagu pengiring teater musikal Broadway bertajuk Carousel! . Diciptakan duet Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II pada April 1945, YNWA mengisahkan kehidupan seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang. Masa itu Perang Dunia II memasuki babak akhir. “’You’ll Never Walk Alone’ merupakan pelipur lara bagi para janda perang yang hidup sendiri untuk melanjutkan hidup bersama anak-anaknya berbekal uang pensiun mendiang suaminya,” ungkap Tim Carter dalam Rodgers and Hammerstein’s Carousel. Tembang karya Rodgers-Hammerstein itu lantas direkam Frank Sinatra di tahun yang sama. Banyak musisi lantas latah meng- cover YNWA. “Semenjak saat itu lagunya turut di- cover Elvis Presley, Ray Charles, Johnny Cash, Bob Dylan, Paul McCartney, dan Aretha Franklin. Baru pada 1960-an ketika Gerry Marsden yang tergabung di band asal Liverpool, Gerry and the Pacemakers, turut merekam lagu itu hingga menjadi lagu sepakbola ayng dikenal dunia,” tulis Daniel J. Svyantek dalam Sports and Understanding Organizations . Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang You"ll Never Walk Alone pada 1963 (Foto: Wikipedia/Metropolitan Photo Service) Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang YNWA jadi lebih nge-pop dan bernuansa Merseybeat. Hasil recording pada 2 Juli 1963 itu dirilis tiga bulan kemudian dan berhasil masuk top 10 lagu terpopuler Inggris. Saat itu, hanya Stadion Anfield yang punya disc jockey (DJ) yang acap memutar 10 lagu terpopuler lewat pengeras suara sebelum kick-off. YNWA pertamakali diperdengarkan di Anfield pada 19 Oktober 1963, jelang “ The Reds ” menjamu West Bromwich Albion. Sepuluh hari kemudian lagu itu melesat ke puncak tangga lagu. “Mereka (DJ stadion) memainkan lagu top 10 (biasanya) dari 10 ke urutan satu. Jadi ketika (You’ll Never) Walk Alone naik ke urutan nomor satu, dimainkan sebelum kick off,” ujar Marsden, dikutip Independent , 25 Oktober 2013. Pada 29 Oktober 1963, YNWA diputar persis jelang laga. Mulai saat itulah ia masuk ke relung hati para Liverpudlian. “Empat pekan lagu itu jadi yang teratas dan ketika tak lagi masuk top 10, lagu itu mulai dipinta the Kop (julukan suporter Liverpool): ‘Mana lagu kami? Mana lagu kami?’,” sambung Marsden. Hingga akhir musim di mana Liverpool juara, lagu itu “otomatis” jadi anthem klub yang sekota dengan band legendaris The Beatles itu. Lagu YNWA lantas “resmi diberikan” Gerry and the Pacemakers untuk Liverpool saat keduanya tampil bersamaan di program The Ed Sullivan Show milik CBS pada musim panas 1964. “Saya yang meminta Ed (host acara) untuk turut mendatangkan tim ke acara itu. Saat bertemu di acara itu, Bill Shankly (pelatih Liverpool) berkata: Gerry, saya telah memberi Anda sebuah tim untuk dibanggakan dan Anda telah memberi kami lagu untuk dibanggakan’,” ujarnya menirukan Shankly. Kendati YNWA lantas juga dijadikan “anthem” beberapa klub lain, seperti Glasgow Celtic (Skotlandia) atau Borussia Dortmund (Jerman), publik global lebih mengenal YNWA lekat kepada Liverpool.

  • Debat Pendiri Bangsa Soal Papua

    PAPUA, wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945. Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela. “Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka,” kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945. Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. “Papua adalah wilayah Indonesia,” kata Yamin. Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin. Yamin yang seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku. “Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia. Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin. Gagasan “ilmiah” Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia. “Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.” Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang. Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua.    Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat. “Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia. Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara. Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.   Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda.    Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua. “Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.

  • Serba-serbi Penjaga Persilangan Kereta Api

    KERJA menjaga persilangan kereta dengan kendaraan bermotor sekilas terlihat mudah. Sudah ada sejumlah petunjuk teknis dan peralatan pembantu di dalam gardu jaga. Penjaga tinggal menerima sinyal otomatis tanda kereta akan lewat, menjawab panggilan telepon dari petugas stasiun, membunyikan alarm, dan menekan tombol palang penutup persilangan.

  • Daya Tarik Seksual Selir

    Beberapa raja di Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 bangga mempunyai banyak perempuan di Keputren. Kebanggan itu terutama terkait kekuatan seksual sang raja. Raja Jawa Tengah selatan memiliki empat istri resmi atau  garwa padmi  dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir atau  garwa ampeyan.  Daya tarik seksual penting dipahami oleh para gadis di lingkungan keraton demi kelangsungan karier sebagai selir. Di antara istri itu terjadi persaingan. Khususnya persaingan di antara para permaisuri yang ingin keturunannya menjadi penerus raja. Karenanya ada kiat-kita jitu agar perempuan di Keputren menjadi terfavorit. Misalnya, terlihat dari pendidikan yang diberikan kepada anak gadis oleh ibunya di Keraton Surakarta.  “Pelajaran tentang menulis, membordir, dan menjahit tidak memiliki tempat, yang dianggap perlu untuk anak perempuan adalah melatih mereka bagaimana mengatur kecantikan,” tulis J.W. Winter sebagaimana dikutip Peter Carey dalam  Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-VIX . J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta mengatakan, pengetahuan yang diberikan kepada perempuan muda hanya satu hal, yaitu bagaimana berparas cantik, berlagak sopan, dan bertingkah laku pantas. Juga bagaimana pergi dengan payudara yang hampir telanjang bulat. Mereka diajari bagaimana menghindari bicara ketika bergaul. Mereka harus berlatih berpura-pura berwajah merona malu-malu. Gadis-gadis muda itu dididik untuk tahu bagaimana caranya bersikap sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya dipilih sebagai perempuan, yang menurut istilah Winter sebagai piaraan Sunan, di Keputren. Mereka bisa memakai daya tarik seksualnya untuk memikat raja supaya lebih disukai dibanding semua selir yang lain. “Dari kecil, mereka diajar menepis semua rasa malu,” catatnya.   Di antara selir-selir Sultan Kedua Yogyakarta, disebutkan dua orang selir dari golongan kedua yang terkenal karena kecantikannya.  Pertama, Bendoro Mas Ajeng Rantamsari. Sebelum menjadi selir sultan, dia merupakan penyanyi dan penari ( teledek ). Suatu pekerjaan yang membutuhkan pesona dan daya tarik seksual luar biasa. Kedua, Mas Ayu Sumarsonowati. Dia terkenal karena warna kulitnya yang kuning-putih warisan darah peranakan Tionghoa dari pesisir utara. Kendati begitu, sebagaimana dicatat Ann Kumar dalam  Prajurit Perempuan Jawa , sebagai istri bangsawan, menjadi  prajurit éstri  masih lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan sering kali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Itu meski mereka tak jarang dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.   Namun, Carey menilai kalau kriteria seksual sebagai kunci hubungan penguasa dan selir itu tak selamanya benar. Latar belakang keluarga perempuan jauh lebih penting. “Pernikahan diatur dengan tujuan pokok membentuk aliansi politik dengan keluarga lokal yang kuat atau berpotensi bermusuhan,” catatnya.

  • Asal Usul Setan Gundul

    Makhluk halus kembali muncul dalam politik terkini. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut genderuwo untuk politisi yang suka menakut-nakuti. Kali ini, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief, yang beberapa kali menjadi pemberitaan, menyebut setan gundul. “Dalam Koalisi Adil Makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya, muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi, dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya. Setan gundul ini yang memasok kesesatan menang 62 persen,” kata Andi Arief dalam akun  Twitter -nya, Senin (6/5/2019). Dalam cuitan berikutnya, Andi Arief menyebut “Partai Demokrat hanya ingin melanjutkan koalisi dengan Gerindra, PAN, PKS, Berkarya dan Rakyat. Jika Pak Prabowo lebih memilih mensubordinasikan koalisi dengan kelompok setan gundul, Partai Demokrat akan memilih jalan sendiri yang tidak hianati rakyat.” Siapakah kelompok setan gundul itu? Andi Arief tidak menyebutnya dengan jelas. Namun, reaksi datang dari petinggi PKS. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid merespons soal angka 62 persen. Menurutnya justru survey internal Partai Demokrat yang menyebut bahwa Prabowo menang dengan 62 persen. Andi Arief meluruskan bahwa yang benar adalah 62 persen kader Partai Demokrat mendukung pencalonan Pak Prabowo. Setan gundul itu tentu saja bukan makhluk halus yang sebenarnya. Sejarawan Peter Boomgard menemukan sumber dari tahun 1860yang menyebut setan gundul atau gundul . H.A. van Hien dalam De Javaansche Geestenwereld (1894) menggambarkan gundul seperti seorang bocah berumur empat atau lima tahun dengan kepala gundul seperti umumnya anak Jawa. Ia memberikan kekayaan kepada tuannya. “Jelas, ada persamaan antara gundul dan tuyul ,” kata Boomgard . “ Gundul kemudian hilang begitu saja pada 1930-an dan 1940-an. Dan inilah saatnya tuyul memulai kariernya.” Setan gundul yang dimaksud Andi Arief merupakan istilah politik yang pernah muncul pada masa akhir Orde Baru. Menurut Agus R. Sardjono, disebutnya setan gundul membuat prestise hantu menjadi naik. “Kata ini digunakan untuk pihak-pihak yang membakar atau menimbulkan huru-hara, baik dalam demonstrasi maupun kerusuhan biasa,” tulis Agus dalam Bahasa dan Bonafiditas Hantu. Istilah setan gundul pertama kali disampaikan oleh Presiden Soeharto. Menurut laporan Peristiwa 27 Juli yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi (1997), pada mulanya adalah pernyataan Presiden Soeharto ketika menerima pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dua hari menjelang Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Kepada Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI dan kawan-kawannya,Soeharto mengatakan agar mewaspadai setan-setan gundul yang ikut bermain dalam kemelut PDI. Memang pernyataannya tidak menyebut secara eksplisit siapa yang dimaksud setan gundul itu. Namun, lewat Soerjadi, Soeharto agaknya menuding maksud setan gundul adalah kekuatan  antipemerintah yang bergabung dalam wadah Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Terbentuknya MARI memang berkaitan dengan kemelut PDI. MARI merupakan koalisi 30 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan ormas-ormas yang mendukung Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI yang terpilih secara aklamasi dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993. MARI didirikan pada 26 Juni 1996 di kantor YLBHI di Jalan Diponegoro 74 Jakarta. Pada pembentukannya hadir 60 orang wakil dari 30 organisasi , di antaranya Sukmawati Soekarnoputri, Djatikusumo, Mulyana W. Kusumah, Bambang Widjojanto, Muchtar Pakpahan, Budiman Sujatmiko, Ridwan Saidi, Yulius Usman , dan lain-lain. Dalam pertemuan itu, MARI mencetuskan empat tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Catur Tura (empat tuntutan rakyat): (1) Turunkan harga, tingkatkan ekonomi rakyat; (2) Basmi sumber kolusi, korupsi, dan monopoli; (3) Pecat dan adili pengkhianat dan pemecah belah bangsa; (4) Cabut paket undang-undang politik. Menurut Muchtar Pakpahan, salah satu pencetusnya, MARI didirikan sebagai reaksi atas cara-cara pemerintah menangani konflik PDI. Pemerintah tidak mengakui Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Dalam Kongres PDI di Medan pada 1996, pemerintah mendukung Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PDI. Kubu Soerjadi yang didukung pemerintah merebut paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996. Peristiwa Kudatuli itu menelan korban jiwa dan membuat beberapa aktivis mendekam di penjara. Menurut laporan Peristiwa 27 Juli , p ernyataan setan gundul dari Presiden Soeharto yang terkesan guyonan itu ternyata berdampak luas di kemudian hari. Setelah meletus peristiwa 27 Juli 1996 , aktivis-aktivis LSM –tergabung dalam MARI– yang distigma sebagai setan gundul itu diburu oleh aparat. Karena, seperti halnya PRD (Partai Rakyat Demokratik) , mereka bukan saja dianggap ikut bermain dalam kemelut PDI, melainkan juga dituduh sebagai penggerak terjadinya kerusuhan Sabtu kelabu itu.

  • Musabab Ponsel Murah

    CUMA bos-bos dan orang kaya yang sanggup beli telepon selular (Ponsel) pada pertengahan 1980-an sampai 1990-an. Maklum, harganya selangit. Ketika muncul tahun 1986, ponsel generasi pertama di Indonesia dibanderol 15-20 juta rupiah dengan kurs 1 dollar Amerika sama dengan 1386 rupiah. Jika dibandingkan dengan kurs dollar saat ini, kisaran 14 ribu-an, harga ponsel generasi pertama itu setara 150-250 juta rupiah. Wow! Orang biasa apalagi kaum papa, jangan pernah mimpi punya ya! Ponsel jadi barang asing di masyarakat. Mayoritas orang jelas tak tahu model penjualan ponsel kala itu yang masih satu paket dengan operatornya. Artinya, ponsel yang dibeli sudah termasuk nomor di dalamnya. Pasar ponsel kala itu masih dimonopoli Telkom dan mitra swastanya, Rajasa Hazanah Perkasa (RHP) dan Elektrindo Nusantara (EN), yang dimiliki anak-anak Soeharto. Telkom bertindak selaku penyedia jaringan, mitra-mitranya sebagai penyedia perangkat ponsel. Ketiadaan kompetitor membuat pihak penyedia bisa mematok harga sesuka hati. “Yang menetapkan harga ponsel bukan negara atau Telkom, tapi swasta yang pegang perangkat,” kata Koesmarihati, direktur Telkomsel pertama (1995-1998), kepada Historia. Era “feodal” itu baru berakhir setelah Orde Baru jatuh. Ponsel murah mulai bermunculan setelah pemerintah meliberalisasi telekomunikasi pada awal tahun 2000. Kebijakan liberalisasi itu merupakan buah dari perjuangan panjang sejak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995. Pasal XVI ayat 4 aturan WTO menyatakan hukum, peraturan, dan prosedur administratif di tiap negara anggota harus selaras dengan kawajiban dalam kesepakatan WTO. Dalam pertemuan WTO di Uruguay tahun 1997, dihasilkan Perjanjian Dasar Telekomunikasi. Salah satu aturan di dalamnya memerintahkan para anggota untuk menghapus segala bentuk monopoli dan meliberalisasi pasar jasa telekomunikasi dasar. Perjanjian ini berlaku mulai 1 Januari 1998. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintahan BJ Habibie mengeluarkan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mulai diberlakukan pada September 2000. Pasal 10 UU No. 36 menyatakan pelarangan segala bentuk monopoli dalam bisnis telekomunikasi. Sejalan dengannya, pemerintah membuat Cetak Biru Telekomunikasi yang di dalamnya memuat perubahan paradigma dalam penyelenggaraan telekomunikasi: dari pasar monopolistik ke kompetitif, dari yang didominasi BUMN ke swasta. Niyla Qomariastuti dalam tesisnya, “Pengaruh Rezim Internasional terhadap Liberalisasi Sektor Telekomunikasi Indonesia”, menyebut kedua dokumen itulah yang menjadi titik tolak liberalisasi pada sektor telekomunikasi. Pasar telepon dibuka lebih luas, tidak hanya bilateral tetapi multilateral. Perangkat ponsel mulai dijual terpisah dari kartu operator. “Telkomsel memperkenalkan liberalisasi perangkat. Kita tidak menjual ponsel, hanya menyediakan jasa telekomunikasi. Penjualan ponsel diserahkan ke dealer,” kata Koesmarihati. Variannya pun makin beragam, tak hanya satu jenis ponsel seperti di era awal kemunculannya. Pengguna ponsel bisa memilih segala varian dan memadukannya dengan operator apa pun. Banyaknya pilihan dan adanya kompetisi membuat harga ponsel menjadi murah. “Harganya jadi tidak jauh dari harga aslinya. Kalau dulu kan yang jual hanya satu sehingga harganya tinggi sekali,” sambungnya. Diberlakukannya aturan itu juga membuat perubahan komposisi saham pada perusahaan jasa telekomunikasi. Indonesia memberi izin bagi investor asing untuk menanamkan saham maksimal 35% dan aturan tentang penghapusan monopoli tetap berlaku. IMF lewat Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies, 17 Mei 2000, juga menegaskan bahwa Indonesia diminta melakukan perubahan dalam sektor kompetisi menjadi fullcompetition . Silang kepemilikan saham dilarang, BUMN seperti Telkom dan Indosat diminta mengurangi jumlah sahamnya di perusahaan telekomunikasi selama tahun 2000. Sebagai dua BUMN, Telkom dan Indosat awalnya sama-sama punya saham di Satelindo dan Telkomsel. Di Telkomsel misalnya, kepemilihan saham terpecah antara Royal KPN NV Belanda dengan beberapa BUMN dan anak perusahaan seperti Telkom, Indosat, dan Telkomsel. Sementara Satelindo dimiliki Telkom, Indosat dan Bimagraha Telekomindo. Untuk mematuhi larangan silang kepemilikan, Indosat melepaskan sahamnya di Telkomsel kepada Telkom. Sementara Telkom melepaskan sahamnya di Satelindo untuk Indosat. Sejak itulah operator telekomunikasi makin tumbuh subur di Indonesia. “Telkomsel itu lakunya 2 billion US dollar, padahal spending- nya 66 miliar rupiah,” kata Koesmarihati. Murahnya harga ponsel plus banyaknya pilihan provider membuat orang berbondong-bondong membelinya. Ponsel laku bak kacang goreng tapi pelan-pelan mematikan model komunikasi sebelumnya, mulai telepon umum, wartel, sampai pager.

  • Evolusi Ritsleting

    Zipper dalam bahasa Inggris atau ritsleting, telah melewati beberapa tangan penemu untuk mengembangkan fungsinya. Namun, tak ada yang mampu meyakinkan masyarakat untuk menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari. Majalah dan industri feysenlah yang membuat ritsleting menjadi populer seperti sekarang. Sebelum ritsleting ditemukan, masyarakat masih memakai kancing yang berderet-deret. Alih-alih untuk tas atau baju, pertama-tama ritsleting digunakan pada sepatu bot. Setelah di terima di dunia mode, pada 1939, sekira 300 juta ritsleting dijual. Perang Dunia II membuat penjualannya menurun terutama di Amerika. Namun kembali bangkit pada akhir 1940-an dengan penjualan melampaui satu miliar per tahun. Penutup Pakaian Otomatis Elias Howe dan rancangan ritsletingnya Elias Howe adalah penemu mesin jahit yang menerima paten pada 1851 untuk “Automatic, Continuous Clothing Closure” atau Penutup Pakaian Otomatis dan Berkelanjutan. Namun, cukup sampai di situ saja. Dia tak memasarkan penemuannya. Akibatnya, dia pun melewatkan kesempatan untuk mendapat julukan Bapak Ritsleting. Clasp Locker Judson dan rancangan ritsleting miliknya Penemu asal Chicago, Whitcomb Judson memasarkan ciptaannya, Clasp Locker, yang mirip dengan yang dipatenkan oleh Howe. Bersama pengusaha Kolonel Lewis Walker, Whitcomb meluncurkan Universal Fastener Company untuk memproduksi perangkat barunya itu. Clasp Locker pun memulai debutnya dalam Pameran Dunia Chicago 1893. Produknya suskses secara komersial. Ritsleting miliknya itu menjadi yang pertama kali dipasarkan. Karenanya Whitcomb Judson dipuji sebagai penemu ritsleting. Namun, patennya pada 1893 itu tak menggunakan kata Zipper . Pengait terpisah Sundback dan rancangan ritsletingnya Seorang insinyur listrik kelahiran Swedia, Gideon Sundback menjadikan bentuk ritsleting seperti yang dikenal kini. Awalnya, Sundback bekerja di Universal Fastener Company. Berkat keterampilannya dan pernikahannya dengan putri manajer pabrik, posisinya naik menjadi kepala desainer di perusahaan itu. Dia memperbarui sistem ritsleting yang sudah ada sebelumnya. Desainnya memiliki dua baris gigi yang menghadap satu sama lain, yang kemudian terdorong tertutup oleh sebuah penggeser. Patennya untuk pengait terpisah ini dikeluarkan pada 1917. Zipper Nama Zipper baru dikenal setelah B.F. Goodrich Company pada 1921 memutuskan untuk menggunakan pengait Gideon pada sepatu bot karet. Sepatu bot dan kantong tembakau adalah dua kegunaan utama risleting selama tahun-tahun awal penciptaannya. Butuh 20 tahun lagi meyakinkan indsutri mode untuk serius mempromosikan pengait bagi pakaian mereka. Ritsleting dan pakaian Iklan pakaian anak dengan ritsleting yang katanya membuat mereka bisa memakai pakaiannya sendiri. Ritsleting berhasil masuk ke industri pakaian lewat iklan. Ini mulai terjadi pada awal 1930-an oleh produsen ritsleting untuk pakaian anak-anak. Namun iklan ini hanya berumur pendek. Baru pada 1937 ritsleting berubah menjadi mode. Ritsleting dekoratif Poster koleksi terbaru Schiaperelli yang menampilkan ritsleting sebagai hiasan Adalah Elsa Schiaperelli memamerkan ritsleting dalam koleksi musim semi 1935. Schiaparelli adalah salah satu perancang mode pertama yang menjadikan ritsleting sebagai elemen gaya dalam desain fesyen. Dia menggunakan ritsleting berwarna cerah pada pakaian olahraga pada 1930, dan menjadikan ritsleting dekoratif berukuran besar dalam koleksi gaun malam pada 1935. Ritsleting akhirnya menjadi ikon desainnya. Sementara itu desainer lain menganggap ritsleting hanya sebagai pengait dan mencoba menyembunyikannya. Ritsleting samping Ilustrasi ritsleting samping Pada pertengahan abad ke-20, celana perempuan umumnya menampilkan ritsleting samping. Norma-norma sosial pada 1940-an dan 1950-an mempengaruhi mode ini. Ritsleting samping juga membuat garis yang lebih halus dalam bentuk celana panjang ketika itu. Sementara jeans dengan ritsleting depan membuat bentuknya lebih menonjol dan terasa tebal. Modern ritsleting Pencapaian besar berikutnya untuk ritsleting datang ketika muncul alat pembuka di kedua ujungnya, seperti pada jaket, sehingga bisa membuka di kedua sisi bagian. Hari ini ritsleting pun digunakan di mana-mana dan digunakan dalam pakaian, koper, barang-barang kulit dan benda-benda lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

  • Srikandi yang Tak Diakui

    BULUTANGKIS sudah jadi pilihan hidupnya sejak belia. Ivana Lie tidak salah memilihnya. Di dunia bulutangkis, dia meretas kelegendaannya. Lahir di Bandung pada 7 Maret 1960 dari pasangan Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi, Lie Ing Hoa yang kemudian dikenal dengan nama Ivana Lie, hidup dalam keluarga yang ekonominya memprihatinkan. Bersama delapan saudaranya Ivana sering hanya bisa makan nasi tanpa lauk. Untuk bisa menghidupi anak-anaknya yang mayoritas masih kecil, ibunda Ivana yang single parent berkeliling menjual kue. “Saya ikutan jual. Saya jualan ke pasar, ke mana. Kalau musim layangan, kakak saya bikin layangan, saya ikutan (menjual, red .),” ujar Ivana kepada Historia . Namun, Ivana kecil enjoy menjalaninya. Terlebih, di lingkungan tempat tinggalnya kala itu sedang “demam” bulutangkis setelah Rudy Hartono menjuarai All England 1968. Ivana dan teman-temannya pun memainkannya. “Di kampung-kampung ramai, (saya, red .) ikut-ikutan. Pakai sandallah, pakai piringlah, pakai papan, dan lain sebagainya,” ujarnya kepada Historia . “Yang menyentuh adalah ketika Rudy Hartono dkk. juara All England atau Thomas Cup. Kalau pulang kan diarak seperti pahlawan dan itu yang membuat kita saat melihat di TV termotivasi kepengin seperti mereka,” ungkap Ivana kepada Historia. Bulutangkis pun makin sering dimainkan Ivana. Suatu hari, di sekolahnya ada pertandingan bulutangkis antar-SD se-Bandung. Ivana yang kala itu duduk di kelas 5 langsung mengikutinya. Tak dinyana, dia juara satu. “Terus saya diberikan reward , hadiah berupa keringanan biaya uang sekolah. Dari situ akhirnya muncul motivasi. Saya bilang, kalau saya jadi juara, saya bisa membantu orangtua saya,” sambung mantan staf ahli menteri Pemuda dan Olahraga itu. Semangat Ivana pula yang membuat klub Mutiara Bandung memberinya dispensasi pembayaran. “Pelatihnya kan tahu saya selalu semangat, mungkin punya bakat dia lihat. Sejak itu baru saya latihan rutin,” kata Ivana. Pesatnya perkembangan Ivana memancing perhatian Pelatnas PBSI hingga akhirnya terpilih masuk timnas pada 1976. Satu per satu titel tunggal putri bertaraf internasional pun dikoleksinya, mulai dari turnamen perorangan hingga beregu macam SEA Games (1979, 1983) atau Asian Games (1982). Matanya berbinar-binar saat mengingat lagi prestasi-prestasi tinggi itu. “Yang paling menyenangkan adalah kalau kita menang di (pertandingan) multi- event seperti SEA Games atau Asian Games. Kita menang, naik podium, ada ‘Indonesia Raya’ berkumandang, bendera Merah Putih naik. Itu sangat berkesan dan paling menyenangkan,” kata Ivana. Lima Tahun Stateless Namun, seketika suasana hatinya berubah. Kata-kata mulai berat untuk dikeluarkan dari mulutnya. Apa lagi penyebabnya kalau bukan topik pembicaraan mengenai status kewarganegaraan dan pengakuan. “Saya lahir dari orangtua yang statusnya masih asing lah ya, bukan kewarganegaraan Indonesia. Memang datang dari Tiongkok, tapi saya lahir di sini,” ujar Ivana dengan nada suara sendu. Di masa-masa perjuangannya membawa nama harum negeri, Ivana justru bukan pemain yang diakui kewarganegaraannya. Kendati dia lahir di Indonesia, kedua orangtuanya bukan termasuk etnis Tionghoa yang diakui berkewarganegaraan Indonesia “resmi” dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Kebijakan diskriminatif itu bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang larangan orang asing berdagang eceran di daerah tingkat kabupaten ke bawah selain ibukota provinsi dan wajib mengalihkan usaha mereka ke warga negara Indonesia (WNI). Dampaknya berujung pada eksodus besar-besaran etnis Tionghoa ke Tiongkok. Orangtua Ivana jadi sedikit yang tak ikut “pulang”. Akibatnya, pengurusan kewarganegaraan pun dipersulit. Kalaupun bisa tembus birokrasi, tetap harus merogoh kocek yang dalam. “Mereka tidak mengurus ini karena keterbatasan dana dan karena sulit sekali. Karena orangtua asing, otomatis anak-anaknya walau lahir di Indonesia tetap asing. Begitu peraturannya. Kita hidup juga waktu itu susah, enggak bisa urus itu. Jadi saya masuk pelatnas pun tetap warga negara asing,” sambungnya. Sekira lima tahun Ivana state-less alias tanpa kewarganegaraan. PBSI hanya membantu sebisanya dengan mengurus dokumen kewarganegaraan sementara laiknya surat jalan, yang menyatakan dia sebagai warga negara Indonesia (WNI). Surat jalan itu dipakai saat Ivana berlaga di luar negeri dan dicabut kembali oleh keimigrasian sepulangnya dari bertanding. Sebelumnya pada 1976, perkara status ini pernah membuatnya batal tampil di India untuk sebuah turnamen yunior. Gara-garanya, Ivana tidak punya paspor. Meski dibantu KONI dan PBSI, Ivana butuh lima tahun untuk bisa diakui. Ivana Lie berkisah bagaimana lima tahun statusnya stateless (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Sedih ya… Merasa bahwa walaupun saya lahir di sini, saya berbudaya, berbahasa, semuanya, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan juga dengan saya bertanding membawa nama Indonesia, tapi sampai lima tahun keluar masuk begitu… Susah sekali mendapat kewarganegaraan itu. Sebenarnya lebih kepada, kita secara manusia perlu pengakuan ya. Dan yang membuat saya merasa sedih ya karena tidak ada pengakuan pada saat itu,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Pun begitu, sang srikandi akhirnya mendapat pengakuan juga. Menukil Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia oleh Sam Setyautama, status Ivana Lie tak lagi state-less sejak 29 November 1982 saat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia lewat SBKRI. Itupun setelah Ivana bisa bersua Presiden Soeharto saat tim Uber Cup 1981 diterima di Istana Negara. Dalam dialog dengan Presiden Soeharto, Ivana menyampaikan bahwa saat itu statusnya masih warga negara asing. “’Enggak punya KTP, Pak’, saya bilang begitu. “ Lho, kok enggak punya KTP?” tanya presiden sambil tertawa, sebagaimana ditirukan Ivana. “Iya Pak, karena KTP-nya enggak bisa keluar karena saya enggak punya warga negara.” “Nanti coba diini (diurus, red. ),” kata presiden memerintahnya. Ivana menurutinya. “Karena saya ngomongnya sama presiden, kira-kira enam bulan kemudian saya terima (SBKRI) tahun 1982,” ujar Ivana. Delapan tahun sejak menerima SBKRI, Ivana gantung raket dan alih profesi jadi pelatih hingga berbisnis pakaian sport merek Elvana. Pada 2000-an, Ivana dipercaya Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Roy Suryo jadi staf khususnya. Kini, Ivana aktif di PT Djarum.

  • Balada Seorang Instruktur Tua

    INGAT anak panah berdetonator milik John Rambo (eks prajurit Baret Hijau US-Army yang kerap menjadi pahlawan di film-film Hollywood)? Ternyata senjata tradisional berujung peluru itu pernah nyaris akan digunakan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam melawan militer Belanda. Ceritanya, suatu hari di tahun 1949, seorang instruktur senior di MA (Militer Akademi) bernama Letnan Kolonel Sahirdjan berhasil membuat sejenis “senjata mutakhir”: panah berpeluru. Dalam ideal pemikiran Sahirdjan, selain mudah dan efektif digunakan dalam perang gerilya, keunggulan senjata ini pelurunya bisa ditembakan tanpa suara dan bila ujung panah berdetonatornya mengenai sasaran vital maka akan berakibat kematian sang musuh. Maka sebelum diluncurkan, dicobalah senjata tersebut. Sebagai sasaran tembak adalah seekor kambing jantan. Di hadapan ratusan rakyat Yogyakarta dan para kadet, Sahirdjan kemudian merentangkan busur. Semua penonton menahan napas, saat anak panah melesat dari busur dan menghantam sang kambing…Dor! Kambing pun terkulai. Para penonton bersorak sorai seraya memberi tepuk tangan tiada henti. Sahirdjan tersenyum, para kadet tertawa bangga. Namun baru saja tepuk tangan riuh itu berhenti, tiba-tiba “kambing mampus” itu bangun kembali dan mengembik, siuman dari pingsannya. Spontan penonton kembali bertepuk tangan. Kali ini diiringi tawa lepas seolah tak henti. Sahirdjan sendiri sambil tersenyum menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal. “Maka gagallah 'senjata mutakhir' itu digunakan untuk memerangi tentara Belanda, karena tidak mematikan dan hanya membuat pingsan,” ungkap sejarawan militer Moehkardi kepada Historia.id . Sosok nyentrik nan sederhana Sahirdjan ternyata tidak pernah hilang hingga menjelang dirinya berpangkat briagadir jenderal dan memangku status sebagai guru besar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Magelang. Kendati merupakan pejabat senior, Sahirdjan dalam kehidupan sehari-hari tetap jauh dari kemewahan dan memelihara sikap rendah hati. Dikisahkan dalam buku karya Moehkardi, Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 , “pakaian kebesaran” Sahidrdjan jika tidak sedang bertugas, adalah celana pendek dan kaos oblong lusuh. Pokoknya jika kebetulan melihatnya berpenampilan seperti itu, orang yang belum kenal pasti menyangka Sahirdjan bukan seorang jenderal guru besar AKABRI. Karena penampilan khasnya ini, Sahirdjan sempat membuat cerita heboh di kalangan taruna AKABRI pada era 1970-an. Ceritanya, suatu hari seorang taruna AKABRI tingkat awal baru pulang dari cutinya dengan membawa oleh-oleh dan beberapa koper. Turun dari becak, sang taruna bingung harus mengangkat sendiri bawaannya yang begitu banyak tersebut. Dalam situasi demikian, tiba-tiba muncul seorang lelaki tua kurus berpakaian celana pendek dan kaos oblong lusuh tak jauh dari tempat sang taruna turun dari becak. Pucuk dicinta ulam tiba, taruna tersebut langsung berseru: “Eh Pak…Pak! Tolong ini angkatkan koper saya!” perintahnya. Lelaki kurus dan berpenampilan lusuh yang dipanggil tersebut cepat-cepat mendekat dan dengan sigap membantu mengangkat kopor hingga ruangan sang taruna. Begitu selesai, sang taruna berinsiatif memberi persen, namun dengan halus dan penuh hormat lelaki tersebut menolaknya. Baru saja beberapa menit “sang jongos” itu pergi, tetiba beberapa taruna senior dalam wajah garang berhamburan mendekati juniornya yang baru pulang cuti itu. Salah seorang menghardik: “Lu tahu siapa orang yang lu suruh membawa koper itu?!” “Siap! Tidak tahu!” “Tahu lu, dia adalah Pak Sahirdjan, brigadir jenderal dan guru besar kita!” Mendengar itu, sang prajurit taruna tersebut hanya bisa bengong. Begitu sadar bahwa dirinya telah melakukan “kesalahan”, dia pun menunduk dalam perasaan penuh penyesalan.

  • Omar Dani, Panglima yang Dinista

    JAKARTA, 24 Desember 1966. Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILUB) mengetuk palu. Vonis hukuman dijatuhkan terhadap terdakwa Omar Dani. Sang pengadil menjeratnya dengan tuduhan berbuat makar. “Menghukum tertuduh dengan hukuman mati dengan tambahan mencabut haknya atas pemilikan sejumlah tanda jasa, memecat tidak dengan hormat dari pangkat dan segala jabatannya,” demikian putusan hakim. Bersamaan dengan suara ketokan palu hakim, berdentang bunyi lonceng gereja di samping gedung Mahmilub. Waktu saat itu menunjukan pukul 00.00 tengah malam. Pergantian hari menandai malam natal, malam kudus bagi pemeluk Kristen. Di saat yang sama, bulan itu bertepatan dengan Ramadhan, bulan suci bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah puasa. Ketika mendengar vonis mati tersebut, Omar Dani hanya mengingat Tuhan. Baginya, pertemuan kekudusan dan kesucian dua agama pada malam itu adalah pertanda kuasa Sang Khalik telah bicara. Meski tahu suatu saat akan berhadapan dengan regu tembak, Dani tetap punya harapan yang menyala. “Engkau Yang Maha Adil, pergunakanlah hati, pikiran, dan tanganku. Allahu Akbar! Allahu Akbar,” kata-kata itulah yang terbersit di benak Dani. Pengalaman ini dikemudian hari dikenangkan Dani dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan JMV. Soeparno. Jadi Pesakitan Petaka itu bermula dari perintah harian yang terbukti keliru. Pada pagi hari 1 Oktober 1965, Omar Dani mengeluarkan pernyataan menyikapi Gerakan 30 September (G30S) yang diumumkan RRI. Dari empat butir perintah, salah satunya berbunyi: “Mendukung Gerakan 30 September yang mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi (Presiden Sukarno) terhadap subversi CIA.” “Titik beratnya adalah pada dukungan terhadap gerakan yang melakukan pengamanan dan penyelamatan revolusi dan Pimpinan Besar Revolusi. Bahwa ternyata G-30-S melakukan hal yang sebaliknya, tentu saja itu bukan yang dimaksud oleh Omar Dani untuk didukung,” tulis Benedicta dan Soeparno. Sejumlah perwira AD yang dipimpin Soeharto kemudian mengidentifikasi Dani sebagai perwira kiri. Bagi mereka, Dani setidaknya adalah loyalis garis keras Presiden Sukarno yang menolak membubarkan PKI. Kesempatan menggulung Dani tiba ketika Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Sekembali dari masa tugas di Kamboja, Omar Dani langsung diciduk. Pada 21 April 1966, Dani dikenakan tahanan rumah di Kompleks Peristirahatan AU Cibogo, Bogor. Sebulan kemudian, dia dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Nirbaya, Pondok Gede. Keinginan Dani untuk dibela oleh Mr. Sartono dan Mr. Iskak dalam persidangan tidak diizinkan Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu). Tidak hanya menimpa Dani. Bala politik juga lebih dulu menyasar kesatuan TNI AU. Sejarawan Asvi Warman Adam mencatat AURI menjadi bulan-bulanan sepekan setelah G30S. Beberapa perwira bahkan keluarganya ikut jadi korban kebencian yang ditujukan terhadap AU karena dianggap terlibat bersama PKI dalam G30S.     “Mobil Laksamana Muda Aburachmat, mobil Letnan Udara Satu Wara Chusnul Chotimah dan lain-lain ditabrak oleh jip-jip RPKAD. Ibu-ibu istri anggota AURI yang berbelanja di pasar di luar Halim diejek, juga pasukan karbol (taruna Akademi TNI AU) yang berdiri di pinggir jalan dalam sikap sempurna dan memberi hormat pada iring-iringan jenazah para jenderal korban G30S, diludahi mukanya oleh pasukan AD yang berada di atas panser,” tulis Asvi dalam Menguak Misteri Sejarah .   Masa Penderitaan Di RTM Nirbaya, Dani tinggal di kompleks penjara Amal, satu dari tiga kompleks penjara di sana. Kamar tahanannya seperti bungalo. Ukurannya 5x6 meter lengkap dengan berbagai fasilitas: kamar mandi, WC, tempat tidur, sofa, meja makan, dan lemari. Meski menjadi satu-satunya penghuni di situ, Dani dijaga ketat oleh sekompi Yon Para dari Polisi Militer Angkatan Darat. Dia juga diisolasi dari dunia luar. Dani dilarang untuk berbincang dengan sesama tahanan lain. Kesepian menjadi penyakit dalam masa pemenjaraan. Di Nirbaya pula, Omar Dani menerima surat pemecatannya dan pencabutan tanda jasanya yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno – sosok yang begitu dijunjung tinggi oleh Dani. Beruntung, Teperpu masih membolehkan keluarga untuk menjenguk Dani saban dua pekan sekali. Salah satu teman dekat Dani di Nirbaya adalah Soebandrio, mantan Menteri Luar Negeri, yang kamar tahanannya bersebelahan. Mereka saling menjaga jika salah seorang menderita sakit. Selama di penjara, Dani memang pernah terserang penyakit Hepatitis C. Persahabatan itu terus berjalin ketika Nirbaya ditutup. Mereka lantas dipindahkan ke RTM Budi Utomo dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.       Sepanjang rezim Orde Baru berkuasa, Omar Dani dinista. Alih-alih dikenang sebagai Panglima AU di masa jaya,  sosok Dani lebih ditonjolkan sebagai pengkhianat negara. Kisah klasik tentang bagaimana penguasa melenyapkan nama Omar Dani diungkap oleh budayawan Ayatroehadi. Dalam sebuah seminar, Ayatroehadi menerangkan pengalaman seorang guru sejarah yang membawa murid-muridnya ke museum Angkatan Udara di Yogyakarta. Di situ terpampang foto-foto pimpinan Angkatan Udara masa ke masa. Ada foto KSAU pertama, Suryadi Suryadarma. Namun anehnya tak ada foto Panglima AU yang kedua. Deretan itu langsung kepada KSAU ketiga, Sri Mulyono Herlambang, dan seterusnya.  Foto Omar Dani  KSAU kedua diraibkan begitu saja. Menurut Ayatroehadi, cara menghitung Orde Baru memang ajaib: dari satu langsung tiga. “Demikianlah salah satu cara rezim Orde Baru merekayasa sejarah,” tulis Asvi. Selain itu, catat Asvi, semasa rezim Orde Baru, hubungan antara Presiden Soeharto dengan AURI sebagai sebuah lembaga tampaknya tidak pernah mesra, Soeharto lebih percaya kepada teknokrat seperti B.J. Habibie ketimbang tenaga ahli AURI dalam membangun industri kedirgantaran. Pada 14 Desember 1982, Omar Dani menerima grasi. Hukumannya diganti menjadi penjara seumur hidup. Akhirnya pada 16 Agustus 1995, Dani dibebaskan karna faktor lanjut usia bersama dengan Soebandrio dan mantan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) Sugeng Sutarto. Selama 29 tahun 4 bulan, Dani menjalani hidupnya dengan meringkus dalam tembok penjara. Menurut sang istri Sri Setiani, dikutip Tempo , 21 Juni 2009, pengalaman hampir 30 tahun terasing dipenjara menyisakan beban traumatis bagi Dani. Namun Dani berbesar hati. Sebelum meninggal, dia sempat berujar dengan nada enteng, “Sudahlah, semua sudah terjadi, lagi pula untuk apa saya dendam, wong dia (Soeharto) dulu juga belum tentu memikirkan saya.”    Pada akhirnya, Omar Dani beristirahat dengan tenang pada 24 Juli 2009. Dalam usia sepuh: 85 tahun, Sang Marsekal kesayangan Sukarno ini meninggal. Dalam damai tanpa dendam. Sementara, rezim yang memenjarakannya telah tumbang lebih dahulu oleh kekuatan rakyat pada 21 Mei 1998. (Selesai)

  • Cerita di Balik Nama-Nama Presiden

    Para presiden Indonesia memiliki cerita menarik dengan namanya. Presiden pertama, Sukarno, dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , mengungkapkan pergantian namanya. Peyakitan menjadi alasan namanya diubah dari Kusno menjadi Sukarno. Namun, ada cerita lain soal pergantian nama itu: nama Kusno kurang enak kalau dipanggil, seperti memanggil tikus. Sukarno juga pernah menegur media massa yang salah menulis nama anaknya yang kemudian menjadi presiden. “He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno,” kata Sukarno. Namun, entah mengapa, anak-anaknya sendiri kemudian menggunakan nama Sukarno bukan Sukarna.  Presiden kedua memang sejak lahir bernama Soeharto. Ketika menjadi presiden, dia biasa dipanggil Pak Harto. Ketika dia menunaikan ibadah haji, Raja Arab Saudi Fahd bin Abdul Aziz memberikan pilihan nama: Mohammad atau Ahmad. Soeharto lebih suka menggunakan nama Haji Mohammad Soeharto. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Dia satu-satunya yang menyandang nama ayah, kakek dan buyutnya: Habibie, panggilannya Rudy. Dalam Bahasa Arab, habibi , artinya yang terkasih atau yang tersayang. Ketika bertemu Pangeran Arab Saudi Sultan bin Abdul Aziz, Habibie menyinggung soal namanya. “Prince Sultan, saya memang dari keluarga yang taat beragama Islam. Nama saya Habibie, nenek moyang saya memakai nama-nama Arab, meski kami bukan orang Arab. Sejak kecil saya dididik, ditanamkan keinginan, dan diberi petuah untuk suatu hari nanti dapat menunaikan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam,” kata Habibie dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan . Presiden Gus Dur memiliki nama lahir Abdurrahman Ad-Dakhil. “Nama yang berat untuk anak mana pun. Ad-Dakhil, yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari Dinasti Umayyah, secara harfiah berarti Sang Penakluk. Zaman dulu, Ad-Dakhil berhasil membawa Islam ke Spanyol dan mendirikan peradaban yang berlangsung di sana selama berabad-abad,” tulis Greg Barton dalam biografi resmi Gus Dur. Gus Dur pun sebagaimana kebanyakan santri Jawa memilih menggunakan nama ayahnya setelah namanya: Abdurrahman Wahid. “Sesuai dengan kebiasaan Arab, dia adalah Abdurrahman ‘putera’ Wahid, sebagaimana ayahnya, Wahid ‘putera’ Hasyim,” tulis Greg Barton. Bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono? Dia lahir di Pacitan pada 9 September 1949 sebagai anak semata wayang pasangan R. Soekotjo dan Siti Habibah. Dalam silsilahnya, dia cucu salah seorang pendiri Pondok Pesantren Tremas. “Dialah yang dijuluki pewaris trah Ki Ageng Buwono Keling dan Kanjeng Sultan Hamengkubuwono II,” tulis Arwan Tuti Artha dalam Dunia Religius SBY . Ki Ageng Buwono Keling merupakan pendiri Pacitan, yang silsilahnya sampai ke pendiri Majapahit. Sehingga SBY pun merunut silsilahnya sampai ke Raden Wijaya, pendiri Majapahit.  Menurut Arwan, nama Susilo Bambang Yudhoyono menunjukan simbolisasi perwira santun yang tengah perang di medan laga. “Kata susila dalam Bahasa Jawa berarti santun, penuh kesusilaan; sedang bambang artinya satria. Adapun yudho artinya perang dan yono artinya menang,” tulis Arwan. Presiden Joko Widodo lahir pada 21 Juni 1961 di RS Brayat Minulyo di Surakarta. Orangtuanya, Sujiatmi dan Wijiatno Notomiarjo, memberinya nama Mulyono. Namun, nama itu tak lama kemudian diganti karena dia berulang kali sakit. “Ada kepercayaan dalam masyarakat Jawa, anak yang sakit-sakitan perlu berganti nama. Maka Mulyono diganti Joko Widodo. Boleh tidak percaya, saya kemudian tumbuh sehat. Itu misteri,” kata Joko Widodo dalam biografinya, Menuju Cahaya karya Alberthiene Endah. Joko Widodo kemudian dikenal dengan panggilan Jokowi. Ternyata ada ceritanya. Pada 1990-an, ketika usaha mebelnya maju, dia berbisnis dengan para pengusaha dari luar negeri. Kantornya tak pernah sepi dari kunjungan para importir. “Di saat itulah sebutan Jokowi muncul,” kata Joko Widodo. Seorang buyer dari Prancis bernama Bernard kesulitan membedakan namanya, Joko Widodo, dengan Joko yang lain. “Kenapa begitu banyak nama Joko di daerahmu? Saya sering bingung. Saya menyebut kamu Jokowi saja agar memudahkan saya membedakanmu dengan Joko yang lain,” kata Bernard tertawa. Joko Widodo tak keberatan. Sejak itu, nama Jokowi mulai eksis. Dalam pergaulan pengusaha mebel, orang-orang memanggilnya Jokowi. Begitu pula setelah dia menjadi presiden.

  • Goodbye Stan Lee!

    SETELAH kalah dari Thanos (diperankan Josh Brolin), para Avengers berupaya bangkit dan balik mengalahkan. Mereka lalu mendapatkan solusi: mesin waktu. Alhasil, para Avengers yang tersisa pun comeback ke beberapa titik waktu masa lampau. Steve Rogers alias Captain America (Chris Evans) dan Tony Stark si Iron Man (Robert Downey Jr.) kembali ke suatu waktu di tahun 1970 di sebuah kamp militer Amerika Serikat ber- tagline “Tempat Lahir Captain America”. Mereka datang dengan misi mencuri dua unsur penting untuk mengalahkan Thanos cum mengembalikan kehidupan bumi yang 50 persennya dilenyapkan Thanos: Partikel Pym dan Tesseract dari lab militer di kamp itu. Tapi sesaat sebelum keduanya beraksi, lebih dulu duo sutradara bersaudara, Anthony dan Joe Russo, menggambarkan suasana lawas di kamp tahun itu. Termasuk ketika muncul sekilas seorang gaek pengemudi mobil klasik yang meneriakkan slogan anti-perang ke arah para penjaga kamp: “ Make Love, not War, Hahahaha… ” Si gaek eksentrik itu tak lain adalah Stan Lee, cameo dalam Avengers: Endgame yang rilis 22 April 2019. Sedihnya, itu jadi cameo terakhirnya di film-film bertema semesta Marvel. Cuplikan-cuplikan cameo -nya, termasuk di film Captain Marvel dan Avengers: Endgame ini memang dilakoni sebelum dia tutup usia pada 12 November 2018 karena penyakit pneumonia. Sudah puluhan film dia tampil di depan kamera, baik di franchise Marvel Cinematic Universe (MCU) maupun film-film superhero Marvel lain di luar MCU. Sebut saja di seri-seri X-Men , Spiderman, Deadpool, Fantastic Four yang digarap Sony’s Marvel Universe hingga Marvel Entertainment. Intinya, hampir di semua film yang mengangkat para jagoan bikinannya sendiri. Sebagai cameo , ia kerap muncul dengan celetukan-celetukan serta karakter-karakter nyeleneh, utamanya dalam 22 penampilan di semesta MCU. Laiknya Alfred Hitchcock yang juga kerap nyelonong masuk kamera sebagai cameo , Stan sudah sangat lama melakoninya. Mengutip James Robert Parish dalam Stan Lee: Comic-Book Writer and Publisher , pertamakali dia muncul sebagai cameo di tayangan-tayangan Marvel sudah sejak 1989 dalam serial televisi TheTrial of the Incredible Hulk yang ditayangkan NBC pada 7 Mei 1989. Stan tampil sebagai salah satu juri penentu dalam persidangan Dr. Bruce Banner, alter ego Hulk. Stan Lee (kiri) pertama kali muncul sebagaicameo di film Hulk tahun 1989. (Youtube Christopher Cherigo) Menurut Dedi Fadim, founder Komunitas Marvel Indonesia, kemunculan Stan sebagai cameo jadi semacam penanda bahwa tanpa kerja kerasnya dan teman-temannya (Jack Kirby, Steve Ditko dkk), mungkin film-film Marvel takkan booming seperti sekarang. “Perannya selalu berubah-ubah tapi tetap as human being (manusia) yang bisa kasih statement yang kadang bisa buat kita sebagai penonton mikir dan pemerannya tertegun. Paling berkesan buat saya sih, di Iron Man di mana tokoh Stan Lee disamain sama tokoh bos Playboy Hugh Hefner sama Tony Stark,” ujar Dedi dihubungi Historia. Tidak hanya film-film bertema Marvel, beberapakali dia turut dalam produksi-film-film lain dengan genre berbeda. Seperti The Ambulance (1990), Mallrats (1995), The Princess Diaries 2: Royal Engagement (2004), Kick-Ass (2010), dan Pizza Man (2011). Tak terhitung cameo -nya di berbagai seri televisi dan animasi di luar Marvel. “Bukan sebuah kewajiban ( cameo film-film Marvel). Hanya saja saat lokasi syuting mereka dekat Los Angeles dan saya saat merasa sedang bisa melakukannya. Saya takkan bisa terbang jika lokasinya jauh. Jika lokasinya dekat, saya akan berusaha tampil sebisa saya karena Anda tahu, sekarang saya adalah aktor terbesar dunia, hahaha,” ujar Stan saat diwawancara Neal Conan dalam siaran National Public Radio , 27 Oktober 2010. Goresan Hidup Anak Imigran Lahir di New York, 28 Desember 1922 dengan nama Stanley Martin Lieber, dia tumbuh di lingkungan serba pas-pasan. Orangtuanya, Jack Lieber dan Celia Solomon, merupakan imigran Yahudi asal Rumania. Mereka hidup di sebuah apartemen sederhana dengan hanya ditopang nafkah dari ayahnya yang bekerja sebagai penjahit. Untuk membantu kehidupan keluarganya, kadang Stan nyambi kerja part-time sebagai penulis obituari dan rilis pers untuk National Tuberculosis Center, jadi office boy (OB) di pabrik garmen, hingga jadi sukarelawan di WPA Federal Theatre Project –sebuah proyek amal untuk sejumlah teater yang terkena dampak Masa Depresi. Dalam memoarnya, Excelsior!: The Amazing Life of Stan Lee, disingkap bahwa sudah sejak masa belia Stan getol menulis dan bercita-cita ingin jadi novelis. Ilhamnya datang dari kegemarannya membaca buku dan menonton film, utamanya yang dibintangi aktor Errol Flynn. Kelak dia turut jadi pendorong Stan beralih menulis komik, termasuk saat ia juga mendaftar ke US Army (Angkatan Darat Amerika Serikat). Stan Lee saat berdinas militer di US Army Signal Corps. (Wikipedia) “Saya pernah bertanya pada diri sendiri, ‘Apa yang saya lakukan di sini, menulis komik?’ Saya tak bisa menjawab. Saya hanya merasa harus masuk tentara, menjadi pahlawan seperti Errol Flynn atau John Wayne,” kenang Stan dalam Excelsior!. Ya, pada awal 1942 saat Perang Dunia II tengah berkecamuk, Stan masuk AD Amerika setelah sempat memulai kiprah dalam per-komik-an sebagai asisten penulis dan ilustrator di Timely Comics tiga tahun sebelumnya. Stan bisa hinggap di penerbit komik itu berkat bantuan pamannya, Robbie Solomon. “Tugas saya memastikan botol tinta yang digunakan para ilustrator selalu terisi. Kadang diam-diam saya mengoreksi karya mereka saat mereka sibuk makan siang dan saya rampungkan buat mereka,” sambungnya. Timely Comics merupakan nama penerbit lawas Marvel Comics sebelum di- rebranding pada 1961. Namun sebelumnya, seperti yang diuraikannya, ia turut ingin mengabdi dan masuk AD Amerika di Korps Sinyal dan Komunikasi meski kemudian dimutasi ke Divisi Training Film. Pasca-dinas militer, Stan kembali ke Timely Comics (yang lantas berubah Marvel) hingga menerbitkan karya pertamanya, Fantastic Four, yang dibuat bersama ilustrator Jack Kirby, di mana komiknya terbit medio November 1961. Seiring waktu, karakter-karakter karyanya bersama Kirby (Hulk, Thor, Iron Man, X-Men) bermunculan dan meledak di pasaran pada 1960-an. Tidak ketinggalan karakter Daredevil yang diciptakan bersama Bill Everett, serta Doctor Strange dan Spider-Man bersama Steve Ditko, turut booming dan jadi penanda era baru yang berpengaruh dalam dunia komik superhero. Era itu, cerita dan karakter jagoan Marvel ciptaannya bersama rekan-rekannya lebih realis dan intim dengan kehidupan para pembacanya. “Pengaruhnya paling terasa, dia bisa menularkan cerita dan karakter di komiknya dengan baik. Misal karakter Spider-Man, identik sama karakter anak muda yang kutu buku dan enggak bisa sosialisasi, terus jadi superhero yang bisa diterima masyarakat. Pengembangan karakter dan lingkungan di komiknya juga terus berlanjut mengikuti zaman. Seakan-akan apa yang terjadi di komiknya juga terjadi di dunia nyata,” sambung Dedi Fadim. Salah satu adegan cameo kocak Stan Lee sebagai tukang cukur di Planet Sakaar dalam film Thor: Ragnarok Oleh karena dibuat mendekati dan sangat intim dengan isu-isu yang terjadi di khalayak umum, tidak sedikit cerita yang disuguhkan komikus nyentrik itu tersisip sejumlah isu sosial seperti soal narkoba, diskriminasi, atau intoleransi. Maka, sosoknya juga turut dicintai dan dirindukan lintas golongan, tidak hanya para penggemarnya. “Bagi fans Marvel ia bagaikan seorang ayah, mentor dan panutan. Dia benar-benar mewakili mimpi para fans yang dari dulu hanya dianggap remeh karena cuma demen baca komik. Dia juga mengajarkan hidup dari kesukaan akan sesuatu bisa diterapkan dan dijalankan di mana uang dan harta bukan segalanya yang dicari,” kata Dedi menutup obrolan.

bottom of page