Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menjadi Bangsa Samudera
Presiden Sukarno dalam pembukaan Musyawarah Nasional Maritim pertama tahun 1963 menyerukan “kembalilah menjadi bangsa samudera!” Sebab, Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi sumber daya laut yang kaya. Budaya bahari Indonesia unggul di masa lalu seperti tercatat dalam sejarah kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani menyoroti seruan Presiden Sukarno itu demi mewujudkan kembali etos budaya maritim bangsa. “Seruan itu penting untuk dilaksanakan demi mewujudkan etos budaya maritim dalam mendukung program pemerintah untuk mendukung Indonesia sebagai poros maritim dunia,” tegas Puan saat membuka Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X tahun 2016 bertema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah” di Jakarta, Senin (7/11). Puan menyatakan, konferensi sejarah yang diselenggarakan pada 7-10 November di Hotel Grand Sahid Jakarta itu, merupakan upaya bersama menempatkan peran sejarah dalam pembangunan karakter masyarakat Indonesia. Sejarah seharusnya tak hanya menjadi buah bibir semata, tapi juga tercermin dalam perilaku berbangsa dan bernegara. “Ini bukan tempat diskusi saja. Jadi, bagaimana hasil dari konferensi ini bisa diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya. KNS yang terlaksana sejak 1957 merupakan acara rutin lima tahunan. Selama ini, lanjut Puan, telah banyak hal monumental yang dihasilkan. “Harapannya hasil konferensi kali ini bisa menjadi momentum perbaikan khususnya di dunia maritim,” katanya. Dalam memajukan kembali dunia maritim Indonesia, Puan melihat pentingnya sinergi, bukan hanya kementerian, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. “Semangatnya itu yang harus kita kembalikan,” cetusnya. Pengembangan kesadaran sejarah dan kekayaan maritim harus didorong demi tercapainya masyarakat bahari yang adil, makmur dan sejahtera. Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, tema budaya bahari diambil dalam konferensi kali ini untuk kembali mengingatkan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan dan laut sebagai penghubungnya. Sebagai negara maritim, dia menilai pentingnya memberikan pengetahuan mengenai budaya bahari, baik secara formal maupun nonformal. “Apakah kita hanya ingin mengenang romantisme masa lalu saja?” tanya Muhadjir. “Modal sejarah bisa digunakan sebagai titik tolak membangun kembali sebagai bangsa yang jaya di laut.”
- Mendikbud: Pengajaran Sejarah Harus Diubah
Pengajaran sejarah di sekolah harus diubah dalam rangka mengembangkan pendidikan berbasis karakter, khususnya di tingkat sekolah dasar dan menengah. Perubahan format pengajaran diharapkan memberikan peranan lebih aktif kepada siswa. Demikian penyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sambutan Konferensi Nasional Sejarah X di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (7/11). Muhadjir menilai, pelajaran sejarah akan mudah dihayati terutama oleh anak-anak jika dilakukan dengan cara bermain peran. Anak-anak bisa memainkan adegan sejarah dalam sebuah pementasan kecil dengan bimbingan guru. Sang guru lebih jauh menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam episode sejarah yang dipentaskan itu. “Penghayatan makna sejarah itu bagus terutama dalam pendidikan karakter. Role playing ini hanya salah satu metodenya saja,” terangnya. Saat ini, kata Muhadjir, metode bermain peran dalam pelajaran sejarah sudah mulai dicoba diberlakukan di beberapa sekolah. Dia berharap keterlibatan langsung siswa dalam belajar akan semakin membangkitkan daya kritis, kreativitas, dan keberanian mengambil keputusan. “Diharapkan dengan ini sejarah bisa mendapatkan tempat terhormat dalam pendidikan,” kata Muhadjir. Dengan demikian, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, berharap belajar sejarah tak lagi monoton. Anak-anak diharapkan bisa tahu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai dalam sejarah ke kehidupan sehari-hari. “Yang pasti anak-anak tidak terbebani. Untuk bisa mengingatkan kita kalau kita ini Indonesia,” kata Puan dalam sambutannya. Lebih jauh, Puan menyoroti saat ini jiwa nasionalisme anak muda makin terkikis. Ini disebabkan para generasi muda mulai melupakan sejarah. “Pesan Bung Karno jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sekarang yang penting bagaimana agar sejarah bisa diingat oleh masyarakat Indonesia khususnya anak muda Indonesia yang nantinya akan meneruskan bangsa ini ke depan dengan cara yang lebih baik,” paparnya. Puan menambahkan, anak muda, meski harus mengikuti era globalisasi, namun jangan lupa asal usulnya. Mereka harus ingat keindonesiaannya, namun tetap mampu berkompetisi dan berdaya saing dengan anak-anak di luar Indonesia. “Ini penting untuk menghargai sejarah namun bukan hanya terlena dengan romantisme yang ada,” tuturnya.
- Tamparan Berujung Pembunuhan
Kejadian itu berlangsung dengan cepat menjelang malam, pada Sabtu, 1 Agustus 1925. Ketika sebuah dokar dengan empat penumpang dan seorang kusir, bergerak dari Kampung Jongaya menuju Makassar. Kendaraan itu diadang delapan orang yang dipimpin Daeng Toto, adik Karaeng Lengkese. Mereka membunuh empat orang, sedangkan kusir berhasil melarikan diri. Sasaran utamanya terbunuh dengan 17 luka tusukan. Nyampa Daeng Sisila, bangsawan Kerajaan Gowa, atau lebih dikenal sebagai Haji Bau. Koran Pemberita Makassar , 4 Agustus 1925, menuliskannya sebagai kejadian yang sangat menggemparkan warga kota. Judul artikelnya “Karena Satoe Tempeleng Menghilangkan 4 Djiwa Manoesia.” Penjelasan artikelnya menyebutkan jika Nyampa Daeng Sisila, mencoba menggoda anak Karaeng Lengkese dan hendak menikahinya, tapi ditolak. Haji Bau merasa terhina dan tak terima dengan penolakan itu. Dalam sebuah perjumpaan, dia menampar Karaeng Lengkese. Karaeng Langkese menceritakan kejadian yang menimpanya kepada keluarga. Saudaranya, Karaeng Toto merencanakan pembalasan dendam karena persoalan tersebut dianggap penghinaan. Malu besar. Karaeng Toto bersama keluarga lainnya menumpang sebuah trem menuju jalur yang selalu dilalui Haji Bau. Di Jongaya –saat ini antara Sungguminasa Gowa dan Makassar– mereka menunggu di tepian. Mereka serang Haji Bau sampai tewas. Sang kusir yang mendapat satu tusukan dengan susah payah berlari menuju Gowa dan melaporkan kejadiannya pada kontrolir di Sungguminasa. Dari laporan itulah, kemudian aparat keamanan berhasil menangkap Karaeng Toto dan pengikutnya. Masing-masing dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara. Sejarawan Universitas Hasanuddin, Amrullah Amir mengatakan, sehari setelah pembunuhan Haji Bau terjadi, sekitar sebulan penuh beberapa lokasi di wilayah Makassar dan Gowa, dipenuhi penjagaan keamanan aparat. Tak ada warga yang berani keluar rumah hingga menjelang sore, atau bahkan berjalan sendiri. Penduduk, utamanya di Makassar merasa ketakutan akan timbulnya kericuhan dari keluarga Haji Bau. “Sepi sekali. Jadi cerita-cerita orang dan kabar angin bergerak cepat. Satu bulan itu, saya kira Makassar bagai kota yang mencekam,” katanya. “Bayangkan, pembukaan pasar malam pada 5 Agustus itu (1925), yang dihadiri gubernur jenderal Hindia Belanda Celebes dan pejabat lainnya, menjadi sepi pengunjung,” lanjut Amrullah Amir. Siapa Haji Bau sebenarnya? Dia adalah anak dari Raja Gowa ke-32, I Kumala Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid (1815-1893) dari perkawinannya dengan Daeng Meneq. Haji Bau juga merupakan paman Raja Gowa ke-33, Karaeng Lembangparang yang gugur dalam pertempuran penaklukan Gowa pada 1906. Sedangkan Karaeng Lengkese dengan nama lengkap Cincing (Tjintjing) Daeng Makkilo adalah putra bangsawan, I Mallombasang Daeng Mattawang dan ibunya I Patimasang Karaeng Sanggirangang, putri dari Gutto Datu Lulu Karaeng Sanrobone. Antara Haji Bau dan Karaeng Lengkese memiliki kekerabatan. Rumah mereka berdekatan dan bermain bersama semasa kecil. Ketidaksenangan Karaeng Lengkese pada Haji Bau karena perangainya yang keras dan selalu bertindak di luar kendali kebiasaan. “Tapi jauh dari pada itu, saya kira ini dampak yang ditimbulkan Belanda ketika 1906, benar-benar telah menguasai hampir Sulawesi Selatan –penaklukan Gowa. Bisa pula sebagai konflik dan persaingan antarbangsawan,” kata Amrullah Amir. Haji Bau meninggal dunia di usia 50-an tahun. Memiliki tubuh tambun dan besar tinggi. Menggunakan kacamata bergagang emas dan memiliki kebun yang luas di wilayah Pakatta. Sebagai bangsawan tinggi, tak mengherankan dia memiliki akses terhadap pengusaan dan melaksanakan ibadah haji. Namun, kata Amrullah Amir mengutip laporan Friedericy, kontrolir Belanda di Sungguminasa (1925-1928), menyatakan, jika Haji Bau berhubungan dengan sedikitnya 70 kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah Makassar dan sekitarnya. “Dalam versi Friedericy, Haji Bau adalah seorang pelindung dari beberapa kelompok-kelompok perampok yang menyusahkan sistem pemerintahaan Belanda di Sulawesi Selatan,” katanya. Kini, Haji Bau diabadikan menjadi nama jalan dalam kawasan penting di Makassar. Jalan Haji Bau berada di dekat Pantai Losari Makassar dan di sana berumah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jalan itu, tak begitu panjang, hanya beberapa ratus meter, dan hanya ada beberapa rumah saja, selebihnya adalah hotel. Ketika menemui beberapa orang di kawasan itu, pada Senin 17 Oktober 2016, dan bertanya mengenai Haji Bau, tak ada yang bisa menjawab. Bahkan seorang juru parkir beranggapan jika Haji Bau, adalah keturunan dari Haji Kalla, orang tua Jusuf Kalla.
- Mengembalikan Tradisi Bahari yang Hilang
Sejak hancurnya kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara, secara langsung dinamika kebaharian Indonesia kian menurun. Masyarakatnya lebih diarahkan menjadi petani dan melupakan bahari. “Sejak VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) berkuasa, dinamika kemaritiman dan tradisi besar maritim kita menghilang. Astronomi, undang-undang laut, mitologi laut menjadi hilang,” ucap Mukhlis PaEni, ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), kepada wartawan di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Kamis (3/11). Misalnya, Mukhlis menjelaskan, setelah Perjanjian Bongaya yang ditandatangani Kesultanan Gowa dan pemerintah Hindia Belanda pada 18 November 1667, kehidupan bahari di wilayah itu bergeser. Kerajaan di Makassar itu harus memerintahkan rakyatnya tidak hidup dari laut, tetapi bertani. Bahkan, seluruh perkampungan di pesisir pantai harus mengubah rumahnya membelakangi laut dan ditarik 10 mil dari garis pantai. “Ini rekayasa politik luar biasa. Ini memotong tradisi. Kita pun berangsur jadi petani,” jelas Mukhlis. Sebaliknya, yang dilakukan VOC adalah membangun dermaga dan galangan kapal secara besar-besaran. Sementara, rakyat hanya menjadi buruh di pelabuhan itu. Padahal, Presiden Joko Widodo gencar mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Maka, Mukhlis berpendapat, ketika bahari dilihat sebagai ikon bangsa, sudah saatnya sejarah menjawab dan mencari jalan keluar apakah kejayaan bahari Indonesia hanya tinggal nostalgia semata. “Jika kita tidak ambil kembali budaya maritim kita, kita tidak ada bedanya dengan VOC. Ini harus menggugah bahwa ada yang hilang. Budaya bahari kita sudah mati sejak 400 tahun lalu,” cetus Mukhlis. Dengan modal semangat itu, MSI bekerjasama dengan Kemendikbud menyelenggarakan Konferensi Nasional Sejarah (KNS) ke-10. Dilaksanakan di Jakarta pada 7-10 November mendatang, KNS kali ini mengangkat tema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah.” Secara garis besar, dalam konferensi itu akan dibahas seperti apa dinamika masyarakat bahari di negeri ini. “Masih berdenyutkah masyarakat bahari ketika pembangunan bahari diarahkan ke situ? Apakah masyarakat Indonesia masih memiliki akar budaya bahari atau budaya bahari hanya impian dan tidak ada lagi di tengah kita?” lanjut Mukhlis. Targetnya konferensi ini diharapkan akan mampu ikut membangun masyarakat teluk agar kembali memiliki lautnya sendiri. Laut harus dikembalikan kepada pemiliknya, yaitu rakyat. Menurut Mukhlis, ada dua rekayasa yang harus dihidupkan. Dalam menghidupkan tradisi bahari, negara harus melakukan rekayasa budaya. Sementara untuk memacu kehidupan bahari, negara harus kembali melakukan rekayasa politik. “Ada satu desakan dalam konferensi ini harus ada rekayasa politik untuk mengembalikan kehidupan bahari,” tegasnya. Sementara itu, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan menerangkan, konferensi ini merupakan langkah awal yang baik. Dalam konferensi ini terkumpul sebanyak 315 peminat sejarah bahari dari berbagai kalangan. Jumlah tersebut menunjukkan cukup banyak orang yang mempelajari dan mengetahui sejarah bahari dan akan mengangkatnya ke permukaan. Namun, pengembangannya ke dalam program di luar tugas konferensi. Hilmar Farid berjanji akan mengkomunikasikan hasil konferensi ini ke semua pihak yang memiliki kaitan dengan masyarakat pesisir. “Jadi akan sangat penting untuk mengangkat ini terutama juga yang berkaitan dengan masyarakat pesisir yang bentang pantainya terpanjang kedua di dunia,” pungkasnya.
- Ngopi Cantik, Cara Asyik Menikmati Museum
Mendekatkan museum kepada masyarakat luas memang tidak mudah. Apa lagi selama ini museum sering kali lekat dengan kesan menjemukan. Padahal museum adalah wahana memahami sejarah dan budaya masyarakat Nusantara di masa lalu. Pengelola museum perlu menerapkan pendekatan-pendekatan yang lebih segar untuk mempopulerkannya. Salah satunya dengan mengajak ngopi di museum. “Saya ingin mengajak orang mencintai museum dengan cara yang fun , itu sebabnya acara ini tajuknya Ngopi Cantik. Kalau kami menggelar seminar orang pasti jenuh. Siapa yang mau datang kalau jenuh duluan?” terang Krisnina Akbar Tanjung kepada Historia usai acara Ngopi Cantik Di Museum Bahari, Minggu (30/10). Museum Bahari terletak di Jalan Pasar Ikan No. 1 Penjaringan, Jakarta Utara. Bekas gudang penyimpanan rempah-rempah atau “gudang barang tepi barat kali” ( westzijdsche pakhuizen ) ini dibangun di belakang tembok Kota Batavia. Dahulunya, wilayah ini berupa rawa-rawa dan empang. Museum Bahari terdiri dari beberapa bangunan dengan tahun pembuatan yanga berbeda-beda. Bangunan pertama dibuat pada 1652 dan terakhir dibangun tahun 1774. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan ini tetap difungsikan sebagai gudang, begitu pula setelah masa kemerdekaan. Dari tahun 1962 sampai 1977, bangunan ini tetap sebagai gudang yang dikelola oleh Perumtel (Perusahaan Umum Telekomunikasi). Akhirnya, pada 7 Juli 1977 diserahkan ke pemerintah daerah DKI Jakarta untuk dijadikan sebagai Museum Bahari. Museum Bahari satu-satunya museum di Indonesia yang menyajikan tema spesifik kebaharian. Para peserta dapat menikmati kurang lebih 1.670 koleksi dari berbagai aspek kebaharian yang dipamerkan, termasuk benda warisan alam dan warisan budaya. Koleksi-koleksi seperti perahu tradisional (asli dan model) yang terdapat di Nusantara antara lain perahu Bugis, pinisi, padekawang, miniatur perahu Alut Pasa dari Kalimantan dan kapal perang dari Maluku yang disebut kora-kora. Selain itu, terdapat pula koleksi terkait biota laut, arkeologi laut, perlengkapan nelayan, antropologi dan folklore nelayan, sejarah hubungan pelayaran Nusantara dan Belanda, wisata Bahari, matra TNI Angkatan Laut, lukisan para tokoh kebaharian, dan informasi penting lainnya tentang kemaritiman. Acara Ngopi Cantik diselenggarakan oleh Yayasan Warna Warni Indonesia (WWI) yang diketuai Nina, sapaan Krisnina Akbar Tanjung. Mengundang rekan, kolega, dan yayasan mitra WWI, acara dibuka dengan tur Museum Bahari. Para peserta diajak berkeliling museum dengan dipandu petugas museum. Di sela-sela tur, banyak peserta yang sebagian besar perempuan, memanfaatkan arsitektur museum untuk berfoto. “Harapan kami dengan kegiatan yang menyenangkan seperti ini bisa menularkan virus-virus cinta museum dan sejarah bangsa. Kami bagikan juga handout kepada peserta supaya kegiatan senang-senang itu juga tetap bernilai edukasi,” tutur Nina. Usai berkeliling museum peserta disuguhi racikan kopi dan cokelat macadamia hasil produksi PT PTPN XII dan PT Riset Perkebunan Nusantara. Panitia dari WWI mengundang perwakilan kedua perusahaan agribisnis itu guna mempromosikan komoditas kopi lokal berkualitas. “Dengan ini dua tujuan bisa dicapai. Bulan Oktober ini terjadi beberapa peristiwa sejarah penting dan sekaligus Hari Kopi Sedunia. Jadi kita belajar sejarah dan merayakan juga hari kopi. Pokoknya semua yang kita punya, mesti kita bangkitkan,” kata Nina. Acara sore menjelang senja itu kian hangat dengan penampilan band akustik yang rancak. Puncak acara ditutup dengan menari bersama seluruh peserta. Nina selaku penggagas acara mengaku senang dengan kemeriahan acara sore itu. “ Please come to museum dan mari kita sama-sama perhatikan museum. Saya berharap semakin banyak pembangunan budaya dan sejarah. Semua peninggalan ini harus terus dirawat,” pungkas Nina menutup pembicaraan sore itu.
- Organisasi Mahasiswa di Balik Sumpah Pemuda
ORGANISASI mahasiswa yang beperan penting dalam pelaksanaan Kongres Pemuda I (1926) dan II (1928) adalah Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Ia didirikan oleh mahasiswa RHS (Sekolah Tinggi Hukum) dan Stovia (Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia, serta THC (Sekolah Tinggi Tekhnik) di Bandung. Pendirinya antara lain Soegondo Djojopoespito, Sigit, dan Soewirjo. Didirikan pada 1925, PPPI baru diresmikan pada September 1926. “PPPI satu-satunya perkumpulan mahasiswa di Batavia yang anggotanya semuanya adalah mahasiswa yang beraliran nasionalis,” kata anggota PPPI, Ide Anak Agung Gde Agung, dalam memoarnya, Kenangan Masa Lampau. “ Di dalam perkumpulan mahasiswa ini, masalah nasionalisme, kolonialisme, dan perjuangan kebangsaan dibicarakan secara serius dan tidak ada waktu dan kesempatan bagi para anggota perhimpunan ini untuk berfoya-foya atau mengadakan pesta-pesta.” PPPI, disebut dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda , mengusahakan persatuan Indonesia dan ini berarti PPPI berpolitik dan “PPPI bukan merupakan korps mahasiswa Indonesia yang mau bersenang-senang saja. PPPI harus berjuang untuk kemerdekaan tanah air. Di samping berjuang, anggota-anggotanya harus tetap rajin belajar agar mendapatkan ilmu yang diperlukan buat perjuangan.” PPPI cepat populer karena ketika itu jumlah mahasiswa bumiputera sangat sedikit dan penerimaannya sangat ditentukan oleh kemampuan intelektual. Selain itu, para pelajar sekolah menengah menganggap mereka sebagai saudara tua, di samping karena banyak anggota PPPI menjadi pemimpin organisasi pemuda lainnya. “Dengan demikian, wajarlah kalau PPPI menjadi pemimpin dari organisasi-organisasi pemuda lainnya,” tulis Leo Suryadinata dalam Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia . PPPI berusaha menyatukan berbagai organisasi pemuda dengan membentuk sebuah pengurus pusat organisasi-organisasi pemuda. Dalam kepengurusan ada Moh. Tabrani (Madura), Bahder Djohan (Sumatera), Soemanto (Jawa), Jan Toule Soulehuij (Ambon), dan Paul Penontoan (Manado). Mereka mewakili berbagai organisasi pemuda berlatar belakang etnis. Pengurus mengadakan Kongres Pemuda I di Jakarta pada 30 April-2 Mei 1926. Dalam kongres tersebut, PPPI mengusulkan dibentuk organisasi pemuda hasil fusi: Perhimpoenan Massa Moeda Indonesia. Kelompok lain mengusulkan pembentukan sebuah organisasi pemuda di samping organisasi-organisasi pemuda yang ada. Kedua usul ini ditolak kongres karena masih kuatnya sentimen kedaerahan dan kesukuan. PPPI kemudian juga memprakarsai Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 di Jakarta. Susunan panitia kongres mewakili berbagai organisasi: Ketua Soegondo (PPPI), Wakil Ketua Djoko Marsaid (Jong Java), Sekretaris Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond), Pembantu I Djohan Muh. Tjai (Jong Islamieten Bond), Pembantu II R. Katjasungkana (Pemuda Indonesia), Pembantu III Senduk (Jong Celebes), Pembantu IV J. Leimena (Jong Ambon), dan Pembantu V Rohyani (Pemuda Kaum Betawi). Soegondo mengajukan kembali usul PPPI dalam Kongres Pemuda I mengenai pembentukan organisasi yang tunggal. Usul ini kandas karena bakal mengakibatkan pembubaran berbagai organisasi pemuda yang harus dibicarakan dulu oleh masing-masing organisasi. “Namun, keinginan bersatu sangat menonjol. Pada 28 Oktober dikeluarkan resolusi Sumpah Pemuda,” tulis Leo. Federasi organisasi pemuda yang diusulkan PPPI akhirnya terwujud dalam Indonesia Moeda, gabungan Jong Java, Jong Celebes, Pemoeda Soematera, Pemoeda Indonesia, dan Sekar Roekoen. PPPI sendiri enggan bergabung karena Indonesia Moeda tidak politik. Langkah ini ditempuh karena pemerintah kolonial Belanda tengah menekan berbagai pergerakan sebagai akibat pemberontakan PKI pada 1926-1927. Namun, Indonesia Moeda pada akhirnya juga menjadi radikal. Sebagai organisasi politik, PPPI mengadakan berbagai kegiatan di antaranya rapat umum menentang penangkapan pemimpin-pemimpin PNI, memprotes didirikannya Monumen Van Heutz yang menumpas perlawanan rakyat Aceh, mendukung aksi Ki Hajar Dewantara menentang Undang-udang Sekolah Liar ( Wilde Scholen Ordonantie ), ikut serta dalam Kongres Rakyat Indonesia dalam rangka Aksi Indonesia Berparlemen; dan mendesak agar jumlah akademisi dalam jabatan pemerintah ditambah. Untuk menarik para mahasiswa dari arena politik, pada 1933 guru-guru besar Belanda mendirikan Universitas Studiosorum Indonesiensis dan Studenten Islam Studieclub yang tidak berpolitik. PPPI pun memperlunak gerakannya. PPPI juga menyuarakan perlawanannya melalui majalah Indonesia Raya. Namun, pada 1940 Indonesia Raya dilarang terbit karena memuat karangan berjudul “Eereschuld der Indonesische Intellectuelen” (Utang Kehormatan dari Intelektual Indonesia) yang dianggap menyerang pemerintah. Akhirnya, PPPI seperti semua organisasi lainnya dipaksa membubarkan diri oleh pemerintah militer Jepang. Ia tidak hidup lagi sesudah Indonesia merdeka.
- Asal Usul Daerah Tertua di Purworejo
SUASANA sunyi menyergap kompleks makam pendiri daerah Loano, salah satu daerah tertua di Purworejo, Jawa Tengah. Letaknya di gugusan perbukitan Gunungdamar, sekira 1,5 kilometer ke arah barat kantor Polsek Loano. Sesekali suara tonggeret, serangga yang muncul sebagai penanda akhir musim penghujan, turut menyapa. Jauh masuk kedalam hutan, suara mesin gergaji mengalun, memotong batang pohon di hutan-hutan Purworejo. Di kompleks makam itu, terdapat dua nisan utama dalam satu cungkup. Di sekitar cungkup utama itu, masih terdapat sekira 13 nisan lain yang berukuran lebih kecil. “Dua nisan besar itu adalah persemayaman terakhir Adipati Anden dan istrinya, Nyai Dewi Retno Marlengen. Dan 13 nisan lain adalah keturunannya. Dan di antara 13 nisan kecil itu ada satu nisan Tionghoa bernama Nyai Tan Ing Hwat atau Mak Kempiang,” ujar Erwan Wilodilogo, 37 tahun, perangkat desa Lowano sekaligus penulis buku Lowano, Sejarah yang Tersembunyi . Ke-15 nisan itu berada dalam satu kompleks makam sejak setahun lalu. KH Ibnu Hajar Soleh Pranolo, generasi ke-25 Adipati Anden, membangunnya pada Agustus 2015. Siapakah Adipati Anden? Dalam cerita tutur setempat, Haryo Bangah dari Kerajaan Galuh di Jawa Barat, berjalan ke arah timur untuk mencari adiknya, Raden Tanduran. Dia menyingkir ke timur setelah kalah bertarung dengan Ciung Wanara. Menurut Saleh Danasasmita dalam Babad Pakuan atau Babad Pajajaran I , Haryo Bangah merupakan pewaris takhta Kerajaan Galuh. Hingga di tepi sungai Bogowonto, Haryo Bangah putus asa karena belum juga menemukan adiknya. “Haryo Bangah jatuh sakit di daerah yang namanya Pagelen. Dia sakit karena tak kunjung dapat menemukan adiknya,” seperti tercatat dalam Babad Lowano . Dia pun memutuskan tidak meneruskan perjalanan dan menetap di daerah ini. Haryo Bangah dalam perjalanannya ditemani beberapa pendamping dan meminta mereka membuat perkubuan sederhana. Perlahan mereka mulai berinteraksi dengan penduduk setempat. Haryo Bangah selalu bercerita ihwal perjalanannya kepada penduduk. Penduduk pun menyebut rombongan Haryo Bangah sebagai sing gelo atau mereka yang kecewa. Haryo Bangah menyunting seorang gadis desa dan menurunkan beberapa putra. Salah satunya sering dipanggil Anden yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Anden Lowano. Bukan saja dapat membangun keluarga, perkubuan sederhana Haryo Bangah pun berkembang. Hingga pada akhirnya daerah itu lebih dikenal sebagai Singgelopuro. Pangeran Anden tumbuh menjadi pemuda tangkas. Dia diproyeksikan sebagai penguasa selanjutnya dari Kadipaten Singgelopuro. Guna menambah pengalaman, Haryo Bangah meminta Pangeran Anden menjadi prajurit Majapahit. Singkat cerita, dia sukses menjadi perwira di Majapahit. Bahkan, dia menyunting Ratna Marlengen, saudara perempuan dari salah satu selir raja. Namun, mahligai keluarga mereka tak tenteram karena dirongrong oleh Jayakusuma, yang juga masih kerabat Majapahit. Anden mengetahui asmara terpendam Jayakusuma terhadap istrinya. Saat kesabarannya hilang, mereka memutuskan duel. Anden kalah sedangkan Jayakusuma menghilang. Sejak itu, Anden merasa malu kepada istrinya, Ratna Marlengen. Hingga beberapa lamanya, mereka tak bertegur sapa, meski masih seatap. Hingga pada satu waktu, Ratna Marlengen diiringi pembantunya berjalan di dekat pertemuan sungai Bogowonto dan sungai Kodil dan menemukan sebuah telaga yang kini disebut sendang Ngumbul. Di dekat telaga itu terdapat pohon besar yang berbuah menarik. “Apa nama pohon itu?” tanyanya kepada para pembantunya. Tak ada yang menyahut karena tak tahu nama pohon dan buah itu. “Itu namanya pohon Lo,” jawab seorang laki-laki. Ratna Marlengen menoleh kaget. Ternyata suaminya, Adipati Anden, sudah berdiri tak jauh dari tempatnya. Akhirnya, ujar Erwan, kebekuan yang terjadi menjadi cair. Mereka saling berbicara kembali. Masyarakat pun kemudian menyebut lokasi itu sebagai Lowano: Lo (pohon) dan wanuh (menyapa). Kini, secara administratif, nama Loano menggantikan Lowano, dan di beberapa literatur disebut juga Lowanu. Bahkan pada awal tahun lalu, di bekas situs kadipaten Loano, ditemukan arca Mahakala atau Nandikala yang diduga peninggalan era Hindu.
- Merekam Sejarah Penerbangan
KENDATI lebih dikenal sebagai negara maritim, kedirgantaraan Indonesia mengurai kisah panjang. Tak banyak diketahui, industri penerbangan negeri ini telah dirintis sejak 1946 oleh Tentara Republik Indonesia Angkatan Udara (TRI AU). Dengan nama Biro Rencana dan Konstruksi di bawah pimpinan Opsir Udara III Wiweko Supono, industri penerbangan Indonesia bermula. Prestasi pertama biro tersebut adalah inovasi pesawat layang jenis Glider Zogling. Selanjutnya, pesawat ini dikenal dengan NWG-1, diambil dari nama pembuatnya: Opsir Muda Udara II Nurtanio yang disupervisi oleh Wiweko. "Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang membangun kedirgantaraannya sedari awal, sejak zaman kemerdekaan," ujar Hisar Manongam Pasaribu, pakar teknik dan penerbangan ITB pada gelaran "Ekspose Daftar Arsip PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (PT IPTN) 1950-1988" yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di hotel Amaroosa, Bandung, 19-20 Oktober 2016. Pada dekade 1950, kegiatan kedirgantaraan Indonesia terwadahi dalam Seksi Percobaan yang dilanjutkan dengan Depot Penyelidikan, Percobaan dan Pembuatan Pesawat Terbang. Dikepalai Nurtanio, seksi ini dikenal karena eksperimen pesawat dengan nama unik khas Indonesia. Beberapa di antaranya: Si Kumbang (berkapasitas satu orang), Si Belalang 85, Belalang 89, dan Si Kunang 25. Selain jenis pesawat terbang, dua jenis helikopter juga diproduksi: Si Manyang dan Kolentang. Keseriusan pemerintahan Sukarno dalam kedirgantaraan dibuktikan dengan pembentukan Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) tahun 1960. LAPIP bekerja sama dengan negara-negara Eropa Timur seperti Cekoslovakia dan Polandia untuk memajukan teknologi penerbangannya. LAPIP berhasil memproduksi pesawat ringan serbaguna: Gelatik sebanyak 44 unit; delapan unit pesawat latih AU jenis Belalang 90; tiga unit pesawat olahraga jenis Kunang 25. Gelatik paling populer karena multifungsi sebagai pesawat pertanian pemberantas hama, transportasi udara untuk daerah terpencil, hingga pesawat ambulans. Pada 1966, LAPIP diubah menjadi Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) sebagai penghargaan atas kepeloporan Nurtanio dalam industri penerbangan. Nahas, dia menjadi korban kecelakaan tatkala uji terbang pesawat Super Aero-45 buatan Yugoslavia pada 21 Maret 1966. Di era Orde Baru, industri penerbangan Indonesia mulai dipersiapkan menuju komersialisasi. Pada 1976 LAPIP berubah menjadi PT Industri Pesawat Terbang (IPT) Nurtanio. Helikopter menjadi produk unggulan IPT Nurtanio seperti BO-105, Puma, dan Super Puma. Beberapa pesawat penumpang sipil yang diproduksi antara lain C-212 Aviocar dan CN-235. Pada 1985, IPT Nurtanio disempurnakan menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). BJ Habibie, yang ditunjuk sebagai direktur utama IPTN, menjadi tokoh penting dibalik menggeliatnya industri penerbangan Indonesia. Menurut Hisar, di masa inilah sekira medio 1990-an, industri penerbangan Indonesia mencapai tonggak kejayaannya. IPTN berhasil memproduksi pesawat N-250 rancangan BJ Habibie. Pesawat itu menjadi kebangaan Indonesia bahkan diminati negara lain seperti Thailand. "Pesawat N-250 adalah pesawat pertama dengan teknologi turboprop untuk penerbangan sipil. Saat itu, Indonesia juga sudah mulai memasuki program pesawat jet," ujar Hisar. Namun, masa gemilang itu, lanjut Hisar, hanya berlangsung hingga tahun 1997. Krisis moneter yang melanda memutus pembiayaan untuk pengembangan IPTN. Dampaknya, industri penerbangan Indonesia terpuruk dan baru bangkit belakangan ini dengan nama PT Dirgantara Indonesia (DI). Menurut Eko Daryono, direktur SDM PT DI, arsip-arsip IPTN sangat kaya akan data-data yang merekam sejarah industri penerbangan tanah air. "Satu pesawat yang berhasil diproduksi itu bisa menghasilkan dokumen sebanyak dua lemari arsip," katanya mencontohkan. "Dokumen pesawat harus disimpan dan dijaga selama pesawatnya masih ada." Pada 23 Agustus 1997, IPTN menyerahkan arsip tekstual periode 1950-1988 kepada ANRI. Arsip-arsip IPTN sebanyak 50 boks berukuran 20 cm ini dapat diakses publik pada akhir tahun ini bersamaan dengan arsip perusahaan negara lainnya: Perusahaan Film Negara dan Bank Indonesia.
- Sulitnya Mundur dari Dinas Militer
MAYOR Inf. Agus Harimurti Yudhoyono, putra mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, maju sebagai calon gubernur DKI Jakarta dari Partai Demokrat. Untuk itu dia mengajukan pengunduran diri dari dinas ketentaraan. Pengajuannya diproses dengan cepat sehingga menjadi perbincangan di dunia maya. Pasalnya, proses itu biasanya memakan waktu lama, dinilai amat cepat. Setelah mendapat persetujuan dari matranya, seorang prajurit masih harus mendapatkan persetujuan dari Mabes TNI. Meski berbeda era dan aturan, Didi Kartasasmita, panglima Komandemen Jawa Barat, pernah mengalami sulitnya mundur dari dinas ketentaraan. Pengunduran Didi berawal dari ketidaksetujuannya atas langkah Presiden Sukarno yang memecat Letjen TNI Oerip Soemohardjo sebagai kepala staf oemoem TKR dan memberinya kedudukan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung. Didi, yang sepikiran dengan Oerip, menganggap itu merupakan bentuk pembuangan. Didi juga kecewa lantaran dilangkahi perwira-perwira eks KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) lulusan Bandung seperti TB Simatupang yang jauh lebih junior. Menurutnya, sesuai etika di lingkungan perwira KNIL, pelangkahan sama saja menganggap orang yang dilangkahi tak becus. Suasana itu membuat Didi tak nyaman. Didi memutuskan menulis surat pengunduran diri kepada Presiden Sukarno pada 20 April 1947. Sambil menunggu balasan, dia tetap aktif menjalankan tugas. Tapi berbulan-bulan lamanya surat balasan yang dinanti tak kunjung tiba. “Saya akhirnya menulis surat pengunduran diri dari dinas ketentaraan untuk kedua kalinya, tertanggal 9 Februari 1948,” ujar Didi dalam biografinya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Surat yang ditujukan kepada presiden itu juga ditembuskan kepada menteri pertahanan, panglima besar, dan kepala staf angkatan perang. Pada 14 Februari 1948, surat dari pemerintah akhirnya datang. Didi senang tapi hanya sebentar. Surat itu ternyata pengangkatan Didi sebagai anggota Mahkamah Tentara Agung. Badan yang baru dibentuk itu bertugas mengadili para pelaku Peristiwa 3 Juli, yaitu penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Sambil terus menanti jawaban, Didi tetap menjalankan tugasnya. Wakil KSAP TB Simatupang sempat membujuknya agar membatalkan niatnya untuk mundur tapi Didi tetap pada pendiriannya. Pada 15 Maret 1948, Didi akhirnya menerima surat balasan No. 34/A.Mil./48 yang isinya Presiden Sukarno selaku panglima tertinggi tentara menolak pengunduran dirinya. Pertimbangannya, Didi masih dibutuhkan negara. Didi tetap tak tenang. Pada 8 Mei 1948, dia mengirim surat pengunduran diri untuk ketiga kali. Tak lama kemudian surat itu berbalas. Lagi-lagi, isinya bukan persetujuan. KSAP Suryadarma, yang mengirim surat itu, justru memberi penugasan baru kepada Didi sebagai mahaguru di Pusat Pendidikan Ketentaraan di Yogyakarta. Tugas tersebut harus sudah berjalan pada 15 Mei 1948. Didi buru-buru membalasi surat itu untuk menolak. “ Pertama , saya berpangkat jenderal mayor, sedangkan direktur Pusat Pendidikan Ketentaraan hanya berpangkat kolonel. Kedua , saya tidak sanggup menjadi guru,” ujar Didi. Didi kemudian melayangkan surat pengunduran diri keempat pada 1 Juni 1948. Lantaran tak kunjung mendapat balasan, dia mengirim surat susulan pada 24 Juni 1948. Kali ini Didi agak mengancam: “apabila sampai tanggal 1 Juli 1948 tidak juga ada balasan, maka saya akan menganggap diri sudah bukan tentara lagi.” Sampai tenggat waktu yang ditentukan lewat, Didi tak juga mendapat tanggapan. Dia pun menyatakan diri sudah bukan tentara lagi. “Secara militer tindakan saya itu tidak dapat dibenarkan. Ya, seorang anggota militer tidak dibenarkan memberikan ultimatum kepada atasannya, lalu menganggap dirinya telah keluar dari dinas ketentaraan. Akan tetapi, juga secara militer tidak dapat diterima jika pemerintah tidak juga membalas surat-surat saya. Saya mesti menunggu berita lama. Hal itu sudah di luar batas disiplin.” Akhirnya, pada 31 Juli 1948, surat dari presiden tiba. Isinya, pemerintah secara resmi memberhentikannya dengan hormat dari dinas ketentaraan, dengan pangkat kolonel, atas permintaannya sendiri. “Entah apa yang menjadi dasar pertimbangan pemerintah menurunkan pangkat saya. Namun, saya tidak begitu memedulikannya. Itu kan hanya soal pangkat. Saya ikut terjun ke dalam revolusi bukan untuk mencari pangkat atau kekayaan, tapi semata-mata panggilan nurani untuk membela kemerdekaan RI,” kata Didi.
- Amuk Karena Kentut
H.J. Friedericy, seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Watampone, pusat kota kerajaan Bone, Sulawesi Selatan, tercengang ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit pada 22 Juli 1922. Dia melihat seorang pria dengan balutan perban hampir di sekujur tubuhnya. Di ruang inap kelas bangsal itu, terdapat 24 tempat tidur. Dan terlihat beberapa pasien. Friedericy mengulik dan bertanya tentang kejadian yang menimpa sang pasien. Jawabannya, karena amukan seorang pria yang kentut di tengah keramaian dan tak kuasa menahan malu. “Bisa bayangkan bagaimana muka Friedericy saat itu,” kata Amrullah Amir, sejarawan Universitas Hasanuddin. Amrullah Amir dalam tesisnya "Penguasa Kolonial, Bangsawan dan Orang-orang Makassar: Perubahaan Sosial dan Budaya politik di Gowa 1906-1942", mengutip kejadian itu melalui catatan harian Friedericy, di mana amuk karena kentut ini bermula dalam sebuah pesta pernikahan di kampung Ujung Lamuru. Dijabarkannya, saat pesta pernikahan telah usai dan orang-orang bersiap istirahat dan tidur pada malam hari, tiba-tiba seorang tamu kentut dengan suara keras. Orang-orang yang hadir dan mendengar suara buang angin itu tertawa. Sontak saja, tamu yang membuang angin itu malu. Akhirnya dalam keadaan gelap, sang tamu yang kentut mengeluarkan badik dan melakukan amuk ( jallo ). Tentu saja orang itu melakukannya dengan cara membabi buta. Akhirnya delapan orang meninggal dunia dan beberapa lainnya mengalami luka. Asisten residen yang mendengar laporan itu dari kontrolir berkata, “yang mengamuk itu sebetulnya tidak perlu malu, sebab tidak seorang pun tahu siapa yang kentut.” Kejadian serupa terjadi di Soppeng pada 1977. Dalam publikasi seminar "Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan", tim peneliti Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin mencatat, seorang laki-laki tanpa sengaja melepaskan kentut ( nakelo ettu ) di hadapan orang banyak. Merasa malu, pria itu seketika menghunus keris. Tapi, tak ada seorang pun yang mendengarkan suara kentut menengadahkan wajah. Semua orang terntunduk dan diam. Sesampainya di rumah, sang pria berkata, “Sayang sekali, tidak ada seorang pun mengangkat wajahnya, kalau ada pasti kutikam.” Tapi anehnya, di rumah pun si pria belum bisa membendung rasa malunya. Untuk itu, dia meminta istrinya menumbuk lada sebanyak mungkin dan kemudian diulaskannya ke dubur. Di Sulawesi Selatan, ekspresi amuk ( jallo untuk Bugis dan ajjallo untuk Makassar) memang dikenal. Amuk ini terkadang dibenarkan dalam hukum sosial dan adat karena menyangkut harga diri ( passe ) dan rasa malu ( siri ). Tak mengherankan jika seorang saudara dapat membunuh saudara perempuannya bila kawin lari ( silariang ) dengan laki-laki. Ekspresi amuk inilah yang hingga sekarang bahkan menjadi stereotipe bagi orang Sulawesi Selatan. Antropolog Universitas Hasanuddin Ismail Ibrahim mencermatinya dalam laku kehidupan sehari-hari. Misalkan, aksi demonstrasi di Makassar selalu ditampilkan dalam keadaan rusuh dan kacau. Kalau tak rusuh bukan Makassar. “Jadi bisa saja, ada hal prinsip yang membuat kelompok dan perorangan melakukan amuk. Masyarakat luar tak memahaminya,” katanya. Amuk atau jallo dalam pandangan budaya (Bugis dan Makassar) bisa saja dibenarkan sekalipun bertentangan dengan hukum positif (negara). “Seorang yang membawa lari istri orang lain bisa saja melakukan amuk hingga membunuh, dan dalam kelompok masyarakat tertentu itu dibenarkan karena soal harga diri,” kata Ismail Ibrahim. Aturan dan tata cara dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan inilah yang tak jarang pula membuat pemerintah Hindia Belanda kebingungan. Ekspresi amuk masyarakat Sulawesi Selatan akan berakibat fatal bila dihubungkan dengan perempuan, di mana yang menjadi tolak ukuran harga diri dan dapat saja taruhannya adalah nyawa. Koran Pemberita Makassar pada 4 Juni 1936 menuliskan sebuah kisah memilukan. Seorang laki-laki membunuh saudara perempuannya, berstatus janda beranak satu, yang nekat kawin lari ( silariang ) dengan seorang pria. Kawin lari ini tanpa izin dari pihak keluarga. Setelah lama mencari, keberadaan sang perempuan ditemukan pada suatu siang. Tanpa menunggu waktu lama saudara laki-lakinya langsung memukulkan sebuah tongkat kayu pada perempuan tersebut, hingga tewas. Dalam sistem hukum Belanda yang mengacu pada Wetboek van Stafrecht 1918 , budaya siri’ adalah persoalan rumit dalam penegakan hukum. Gubernur Hindia Belanda di Celebes F.C. Vortsman dalam suratnya 5 Juni 1923 mengeluhkan peristiwa itu. “Membawa lari wanita di bawah usia 21 tahun tanpa tipu daya atau kekerasan, dengan berdasar pada kepentingan wanita tersebut, kecuali didasarkan atas perzinahan, tidak dikenai hukuman. Wanita itu dianggap sudah dewasa,” tulisnya.
- Sejarah Awal Label Halal
Mulai 17 Oktober 2019, pemerintah mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia bersertifikat halal. Keputusan ini diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Selain itu, seperti diberitakan cnnindonesia.com , kewenangan sertifikasi produk halal yang sebelumnya dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI), diambil alih oleh pemerintah melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Bagaimana sejarah label halal? Dalam situs halalmui.org disebutkan bahwa LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Badan ini dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988. Pemerintah meminta MUI berperan dalam meredakan masalah tersebut. Maka, berdirilah LPPOM. Namun, penanganan label halal pada makanan sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum LPPOM didirikan. Hal ini diungkapkan Sunarto Prawirosujanto, Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan Kementerian Kesehatan. Dia menyebutkan bahwa penanganan label halal sudah dimulai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 280/Men.Kes/Per/XI/1976 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi. “Konsep SK diajukan kepada Menteri Kesehatan yang waktu itu dijabat oleh almarhum Prof Dr. GA Siwabessy. Almarhum langsung menyetujuinya walaupun almarhum beragama Kristen,” kata Sunarto dalam biografinya, Rintisan Pembangunan Farmasi Indonesia. Peraturan ini, kata Sunarto, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi” dan diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih. Bekerjasama dengan Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), label dibagikan secara cuma-cuma pada perusahaan yang memerlukan. Logo baru label halal yang ditetapkan olehBPJPHKementerian Agama pada 12 Maret 2022. (kemenag.go.id). Mengapa yang dikasih label malah makanan yang mengandung babi? “Pertimbangannya waktu itu ialah bahwa 99 persen makanan dan minuman yang beredar di Indonesia adalah halal,” kata Sunarto. “Jadi lebih praktis mengamankan yang 1 persen yang tidak halal itu dulu, termasuk makanan di restoran dan hotel.” Namun, lanjut Sunarto, perusahaan yang ingin mencantumkan label halal boleh saja asal bertanggung jawab. Kendati waktu itu belum ada undang-undang khusus yang mengatur hal itu, perusahaan yang menyebutkan produknya halal namun terbukti tidak halal dapat dituntut sebagai penipuan sesuai undang-undang yang ada. Selain itu, sambil menunggu peraturan labelisasi halal yang akan makan waktu, Sunarto mengusulkan agar perusahaan yang yakin produknya tidak mengandung bahan hewani atau alkohol diberi kelonggaran untuk mencantumkan label “tidak mengandung bahan hewani dan alkohol”. “Dengan demikian 90 persen persoalan sudah bisa diatasi,” kata Sunarto. Sepuluh tahun kemudian, pencantuman label halal baru secara resmi diatur dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama No. 427/Men.Kes/SKB/VIII/1985 dan No. 68 tahun 1985 tentang Pencantuman Tulisan “Halal” pada Label Makanan. Dalam peraturan yang diteken pada 12 Agustus 1985 ini, yang membuat label halal adalah produsen makanan dan minuman setelah melaporkan komposisi bahan dan proses pengolahan kepada Departemen Kesehatan. Pengawasan dilakukan oleh Tim Penilaian Pendaftaran Makanan Deirektorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan. Dalam tim ini terdapat unsur dari Departemen Agama. MUI sendiri baru terlibat dalam menangani labelisasi halal setelah dibentuknya LPPOM pada 1989 dan berakhir pada 2019 karena kewenangan sertifikasi produk halal diambil alih oleh pemerintah melalui BPJPH Kementerian Agama. Tulisan ini diperbarui pada 17 Oktober 2019 .
- Bapak Tentara yang Dilupakan
KENDATI 70 berlalu, Letnan Jenderal (Purn.) Sayidiman Suryohadiprojo tak melupakan sosok Jenderal (Anumerta) Oerip Soemohardjo. Baginya, Oerip patut menjadi teladan. “Di awal-awal menjadi kadet, saya pernah sekitar dua kali bertemu beliau. Kesan saya, Pak Oerip tipikal militer sejati: loyal dan penuh disiplin,” ujar Sayidiman Suryohadiprojo (98), salah satu lulusan terbaik Akademi Militer Yogyakarta tahun 1948. Sikap loyal dan disiplin Oerip bukan isapan jempol semata. Komodor Suryadi Suryadharma, kepala staf Angkatan Udara Republik Indonesia yang pertama, pernah kena sentil soal ini. Ceritanya, suatu hari Suryadharma “menolak” ditempatkan Oerip di Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (MBTKR) dengan alasan “lebih dibutuhkan” kawan-kawannya di Jawa Barat. Dengan marah, seperti dikisahkan Rochmah Soemohardjo Soebroto, istrinya, dalam Oerip Soemohardjo: Letnan Jenderal TNI (22 Pebruari 1893-17 November 1948) , Oerip berujar: “Kau ini berdinas untuk Jawa Barat atau untuk Republik?” Terlahir dalam nama Mochamad Sidik di Purworejo pada 22 Februari 1893, semula Oerip diarahkan orangtuanya untuk jadi pamongpraja; bupati seperti sang kakek. Namun ketertarikan pada dunia militer mendorongnya masuk Sekolah Militer Meester Cornelis di Batavia (kini, Jakarta). Kariernya di Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) terbilang moncer. Buktinya, dia berhasil meraih pangkat mayor; pangkat tertinggi di antara tentara bumiputra. Namun kariernya seakan tamat setelah Jepang masuk. Bersama puluhan ribu anggota KNIL lainnya dia jadi tawanan perang. Setelah dibebaskan, Oerip kembali menjadi warga sipil biasa. Gempita Proklamasi 17 Agustus 1945 menyeret Oerip kembali ke dunia militer. Ucapannya yang terkenal: ”Aneh, negara zonder (tanpa) tentara” menginspirasi para pendiri Republik Indonesia untuk membentuk organisasi tentara resmi, Tentara Keselamatan Rakyat (TKR). Pada Oktober 1945, Oriep didapuk sebagai Kepala Staf Oemoem (KSO) TKR. Pada 12 November 1945, Oerip membuat semacam konferensi yang dihadiri eks KNIL dan eks Peta (Pembela Tanah Air) di Yogyakarta. Dari konferensi inilah muncul nama Soedirman sebagai panglima besar TKR, sementara Oerip tetap menjabat KSO. Sebagai tentara profesional, Oerip kerap menanggung kecewa karena sikap politik pemerintah. Kekecewaan itu berujung pada niat Oerip mengundurkan diri. Namun, Presiden Sukarno keburu “memecatnya” sebagai KSO dan memindahkannya ke Dewan Pertimbangan Agung, suatu posisi yang disadari Oerip hanya untuk membuatnya “tak berdaya”. Sejak itu Si Tua melalui hari demi hari dengan memendam kecewa. Hingga, pada suatu senja 17 November 1948, Oerip Soemohardjo wafat. Perannya dalam pembentukan tentara nasional Indonesia seolah terlupakan.





















