top of page

Hasil pencarian

9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bahaya Laten PKI hanya Halusinasi

    Pasca 1965, nasib buruk tidak hanya menimpa orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Anak dan cucu dari mereka yang bersinggungan dengan PKI atau organisasinya juga kena getahnya. Stigma pemberontak atau pengkhianat negara terus dilekatkan pada mereka yang bahkan ketika peristiwa kelam itu terjadi, masih berusia seumur jagung. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) Asvi Warman Adam dalam dialog sejarah “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” live  di saluran Facebook  dan Youtube   Historia , Selasa 7 Juli 2020, menyebut bahwa stigma ini harus dihentikan karena “dosa” orang tua tidak seharusnya ditanggung oleh anak cucunya. “Jadi, ini yang seyogianya dipahami oleh masyarakat, kita tidak menganut dosa turunan. Jadi, kalau orang tuanya PKI atau anggota ormas kiri, anaknya tidak otomatis akan menganut ajaran komunis,” kata Asvi. Stigma itu pun juga tak berdasar mengingat Partai Komunis Indonesia (PKI) telah dilarang sejak 1966. Lebih-lebih, mereka yang dituduh demikian juga belum tentu bersalah, mengingat banyak orang ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan pasca 1965. Menurut Asvi, stigma terhadap anak PKI harus dihilangkan karena merugikan demokrasi. Ia mencontohkan, yang sering didengung-dengungkan bahwa ada anggota PKI yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Jelas tidak ada. Sejak masa Orde Baru sudah ada yang disebut dengan surat bebas G30S/PKI. Mereka sudah di- screening , diseleksi, dan dinyatakan bahwa mereka tidak terlibat,” kata Asvi. Yang dimaksud Asvi adalah Ribka Tjiptaning, kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sering dilabeli sebagai anggota PKI. Pasalnya, ia menulis buku yang menghebohkan berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI . Buku itu kemudian digunakan banyak pihak untuk menyerang Ribka. Padahal, kata Asvi, buku itu berisi kisah penderitaan seorang anak yang orang tuanya ditangkap dan dipenjara karena dituduh terlibat peristiwa 1965. Sementara Ribka sendiri selain memang tidak telibat, telah menjalani screening  dan memiliki Surat Keterangan Tidak Terlibat G30S/PKI. “Dia sudah di- screening  oleh kepolisian di Jakarta Timur dan dikeluarkan surat bebas G30S/PKI, bahwa dia bukan PKI. Dan proses untuk menjadi anggota partai itu bertahap, bertingkat, tentunya kalau ada anggota PKI tidak akan mungkin lolos. Semua partai yang ada di Indonesia akan bersikap demikian,” ujar Asvi. Menurut Asvi, alih-alih hanya menebarkan isu, mereka yang menuduh harusnya membuktikan atau melaporkan ke pihak berwajib jika memang ada anggota PKI di DPR. Berbeda dengan Ribka, Okky Asokawati anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) periode 2014–2019 tidak mendapat stigma berlebih seperti yang terima Ribka. Padahal, ayahnya Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Anwas Tanuamidjaja adalah wakil komandan G30S. Anwas hanya satu tingkat di bawah Komandan G30S Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Namun, apapun kaitannya, Okky juga tidak seharusnya menerima stigma anak pemberontak. “Jadi Okky sendiri kan tidak memilih bahwa ayahnya adalah wakil komandan G30S. Tapi faktanya atau takdirnya demikian dan Okky jelas bukan komunis. Dan dia seorang muslimah,” katanya. Okky tetap bisa menjadi anggota DPR dan bahkan berangkat dari partai Islam, sekarang pindah ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Okky menuliskan kisah masa lalunya dalam buku Jangan Menoleh ke Belakang . Tetapi, menurut Asvi, buku Okky tidak dipermasalahkan orang karena judulnya tidak menggebrak seperti buku Ribka. Dari generasi ketiga orang-orang yang distigma PKI, Asvi bercerita tentang aktor kenamaan Indonesia, Reza Rahadian. Nenek Reza, Francisca C. Fanggidaej adalah anggota parlemen Indonesia. Ia juga seorang aktivis dan ikut berjuang di Surabaya pada 1945. Pada 1 Oktober 1965, Francisca tengah berada di Beijing. Peristiwa yang menyeret pula orang-orang yang dekat dengan Sukarno itu kemudian membuatnya tak bisa pulang. Ia sendiri juga dekat dengan Bung Besar. “Dan selama 20 tahun itu di Tiongkok dan kemudian minta suaka ke Belanda. Baru di Belanda dia memberi tahu kepada keluarganya di Indonesia bahwa dia masih hidup. Coba bayangkan 20 tahun itu memendam rahasia,” ungkap Asvi. Francisca kala itu menyembunyikan keberadaannya agar keluarganya di Indonesia tidak terkena imbas peristiwa itu. Stigma yang diterima Francisca tidak ingin ia wariskan kepada anak cucunya. “Banyak orang seharusnya tidak disalahkan karena orang tua atau karena neneknya itu pernah tersangkut atau berhubungan dengan Gerakan 30 September '65,” kata Asvi. Asvi kembali menegaskan bahwa jika ada yang menuduh anggota PKI duduk di DPR misalnya, lebih baik melapor ke pihak berwajib. Karena jelas, tuduhan itu tidak berdasar. “Jadi, menurut saya, bahaya laten PKI itu hanya halusinasi,” ujarnya.

  • Swastika, Lambang Mulia yang Dicemari Nazi

    SWASTIKA. Simbol yang sejatinya eksis sejak ribuan tahun lampau itu tak dimungkiri sudah ternoda maknanya gegara Adolf Hitler cs. menggunakannya ketika menguasai Jerman lewat Partai Nazi. Pasca-Perang Dunia II, simbol itupun jadi hal yang haram dipergunakan lagi, kecuali oleh Ilmavoimat alias Angkatan Udara Finlandia. Unit Komando AU Finlandia menggunakan logo swastika sejak 1918 walau akhirnya ditanggalkan. Logonya berupa simbol swastika dihiasi sayap keemasan diganti menjadi elang berwarna emas di dalam perisai bulat berwarna biru yang dikelilingi enam sayap putih. Perubahan itu tak menimbulkan kegaduhan apapun lantaran Ilmavoimat mengubahnya tanpa pengumuman publik pada 2017. Publik baru aware ketika sejarawan dan pengamat politik internasional Universitas Helsinki Profesor Teivo Teivainen mengunggah sebuah utas di akun Twitter -nya, @TeivoTeivainen, 30 Juni 2020. “RIP ID (logo) Staf Komando Angkatan Udara. Saya kira simbol itu takkan pernah diganti? Jadi biar saya ungkapkan sebuah kabar: logonya sudah diubah diam-diam,” tulisnya. Baca juga: Riwayat Presidentinlinna, Istana Megah di Finlandia Kabar itu lantas dikonfirmasi Kepala Staf Komando AU Finlandia Brigjen Jari Mikkonen. “Tak dimungkiri, kami harus selalu menjelaskan dari waktu ke waktu tentang sejarah swastika di AU Finlandia sejak 1918. Logo ini memicu kesalahpahaman dengan para mitra luar negeri kami, jadi untuk terus menggunakannya adalah hal yang tidak perlu dan tidak pantas,” jelasnya, dikutip USA Today , 2 Juli 2020. Simbol Populer di Militer Simbol swastika sudah jadi tanda pengenal di pesawat-pesawat Finlandia bersama roundel lingkaran triwarna putih-biru-putih sejak 102 silam. Simbol tersebut jadi bagian sejarah terkait AU Finlandia yang berdiri sejak awal abad ke-20 seiring gejolak Perang Saudara antara kaum merah yang disokong Partai Komunis Rusia dan golongan putih ( White Guard ) yang didukung Kekaisaran Jerman. Mengutip Christopher Shores dalam Finnish Air Force, 1918-1968 , adalah pesawat intai dua kokpit hibah dari bangsawan Swedia Count Eric von Rosen yang pertamakali menggunakan simbol swastika. Pesawat itu merupakan alutsista udara kedua White Guard. Pesawat pertamanya adalah NAB Albatros, yang juga hibah dari Swedia melalui seorang pengusaha media Waldemar Langlet pada 25 Februari 1918. “Pada 6 Maret (1918) pesawat itu dipersembahkan Count Eric von Rosen, di mana pesawatnya sudah tertera simbol personal untuk keberuntungan, sebuah swastika biru dan itu diadopsi untuk semua pesawat baru dan tanggal 6 Maret 1918 diresmikan menjadi hari jadi AU Finlandia,” tulis Shores. Pesawat Thulin Typ D hibah dari Count Carl Gustaf Bloomfield Eric von Rosen. ( ilmavoimat.fi ). Kegemaran Von Rosen menggunakan swastika sebagai simbol keberuntungan bangsa Viking berawal dari ketika melihat simbol itu di situs reruntuhan batu kuno di Gotland pada masa sekolah. Mengingat titimangsanya, Von Rosen tak punya afiliasi apapun dengan Partai Nazi yang baru mengadopsi logo swastika pada 1920, kendati dia memiliki hubungan ipar dengan Hermann Goering, veteran pilot Perang Dunia I yang jadi gembong Nazi. Goering menikahi Carin Axelina Hulda Fock, adik dari istri Von Rosen, pada 1923. Finlandia bukan satu-satunya yang mengagungkan swastika sebagai simbol. Swastika punya sejarah panjang sebagai ikon spiritual Hinduisme, Buddhisme, dan Jainisme di India, bahkan hingga peradaban bangsa Viking di Eropa Utara dan Yunani, dan Jermanik di daratan Eropa. Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Khusus di Eropa, swastika dianggap sebagai simbol keberuntungan tanpa keterkaitan politis. Maka ia digunakan sejumlah pihak untuk urusan komersil. Kantor pusat perusahaan bir Carlsberg di København, Denmark, misalnya, menggunakannya dengan menaruh swastika di tubuh seekor gajah di gapuranya sejak 1901. Novelis Inggris Rudyard Kipling acap menjadikan swastika sebagai cap khasnya di setiap sampul buku-buku hasil karyanya sebelum era Nazi. Di Dublin, Irlandia sejak 1912, ada perusahaan binatu bernama Swastika Laundry. Di Miami, Florida, Amerika Serikat (AS) bahkan ada taman Swastika Park sejak 1917, dan merk tongkat golf buatan Morehead. Salah satu pesawat dari unit La Fayette Escadrille dengan simbol swastika. (Repro The La Fayette Escadrille ). Militer di berbagai negara pun “tergoda” memakai swastika demi keberuntungan di medan perang. Jauh sebelum AU Finlandia menggunakannya, simbol swastika sudah dipakai Resimen Infantri ke-12 AS di yang dibentuk 20 Oktober 1861. Unit yang 12 kali diterjunkan pihak Union di Perang Saudara Amerika itu menyematkan swastika menghadap ke kiri di antara simbol-simbol kuno di panjinya. Unit intai-tempur udara Prancis di Perang Dunia I La Fayette Escadrille yang –berisi para relawan pilot dari Amerika– dibentuk pada 1916 juga menggunakan swastika. “Dalam berperang di udara, para pilot Amerika menerbangkan pesawat-pesawat yang terdapat gambar swastika besar di kedua sisi badan pesawat. Simbol swastikanya juga terdapat di logo unit bergambar kepala suku Indian, di mana hiasan kepalanya juga terselip simbol swastika kecil. Simbol itu tak lebih untuk keberuntungan semata,” tulis Rex Curry dalam Pledge of Allegiance and Swastika Secrets. Tentara Merah pun tak mau kalah. Unit Kalmyk dalam Revolusi Bolshevik 1917 mengenakan seragam dengan patch di kerah berbentuk berlian merah dan terselip swastika kuning di tengahnya. Di antara sudut swastikanya disematkan singkatan RSFSR yang terjemahannya: Republik Sosialis Federasi Soviet Rusia. Baca juga: Pesawat Berlambang Nazi di Bali Hampir bersamaan dengan AU Finlandia, unit intai Skadron 273 RAF (AU Inggris) yang berdiri 30 Juli 1918 dan berlaga di Perang Dunia I juga menggunakannya. Skadron yang dibubarkan setahun kemudian itu menggunakan swastika di emblem bergambar laba-laba Black Widow-nya. Sementara, AU Latvia, disebutkan Dov Gutterman dalam Latvia: Aircraft Marking , sejak 1919 memakai insignia berwarna merah marun di dalam perisai bundar putih yang menyertai roundel pesawat kombinasi merah marun dan putih. Tak jauh dari Latvia, pasukan infantri gunung Polandia di wilayah Podhale menggunakan swastika pada 1920. Divisi Infantri Gunung ke-21, ke-22, dan Brigade Gunung ke-2 Polandia pun ikut menggunakan swastika dengan beragam varian. Sejak berdiri pada 1923, Divisi Infantri ke-45 AS juga mengagungkan insignia berlian segi empat berwarna merah darah dengan swastika kuning di tengahnya. Lantaran kemudian digunakan Nazi, divisi itu mengganti swastikanya dengan gambar burung mistis “Thunderbird” kuning pada 1939. Pasukan sukarela Marinebrigade Ehrhardt dengan helm dan truknya menyematkan logo swastika. (Bundesarchiv). Sebelum digunakan Nazi, di Jerman swastika sudah dipakai oleh Marinebrigade Ehrhardt, pasukan sukarela pimpinan Korvettenkapitän Hermann Ehrhardt, sejak 1918. Marinebrigade Ehrhardt terlibat dalam Revolusi Jerman (29 Oktober 1918-11 Agustus 1919), Pemberontakan Silesia I (Agustus 1919-Juli 1921), hingga Kudeta Kapp-Lüttwitz (13 Maret 1920). Rangkaian konflik di Jerman pasca-Perang Dunia I itu lantas melengserkan Kaisar Wilhelm II dan melahirkan Republik Weimar. Walau tak diletakkan di patch seragam mereka, swastika atau hakenkreuz (salib berkait) dalam bahasa Jerman senantiasa diterakan di semua helm pasukan dan truk-truk pengangkut pasukan. Meski tiada afiliasi antara korps sukarela itu dengan Hitler, swastika atau hakenkreuz -lah yang diajukan sebagai simbol partai dan disetujui partai ketika Hitler mengambil swastika dengan pemaknaan berbeda. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Seiring masuknya Hitler menjadi kader partai yang semula bernama Deutsche Arbeitpartei (DAP) atau Partai Buruh Jerman itu, pada Maret 1920 partai mengganti namanya menjadi Nationalsozialistische Deutsche Arbeitpartei (NSDAP) atau Partai Buruh Nasionalis-Sosialis Jerman. Pergantian nama itu diikuti pula dengan penggantian lambang partai: dari berupa perisai bundar hitam-putih bertuliskan DAP menjadi lingkaran perisai berwarna hitam-putih-merah dengan hakenkreuz hitam di tengahnya serta tulisan National-Sozialistische D.A.P. Pasca-Hitler naik jadi kanselir, emblem dan bendera Partai Nazi dijadikan bendera nasional Jerman. (Randy Wirayudha/ Historia ). Hitler juga menyederhanakan desain panji partai berupa bendera merah darah dengan lingkaran putih di tengahnya. Di dalam lingkaran putih itu ia sematkan swastika hitam menghadap ke kanan dan miring 45 derajat. “Dari percobaan (sketsa) yang tak terhitung, saya sampai pada desain final: sebuah bendera dengan latarbelakang merah, lingkaran putih, dan swastika hitam di tengahnya. Warna-warna itu mengekspresikan penghormatan kami akan kejayaan masa lalu yang membanggakan bangsa Jerman. Merah sebagai gagasan sosial dalam pergerakan kami. Putih sebagai gagasan yang nasionalistik. Swastika menggambarkan perjuangan mencapai kemenangan bangsa Arya,” ungkap Hitler dalam Mein Kampf. Baca juga: Marsekal Blomberg dan Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler Seragam kader dan pasukan paramiliter Sturmabteilung (SA) dan Schutzstaffel (SS) yang trendy buatan Hugo Boss juga disempurnakan dengan disematkan swastika mulai dari topi, pita tangan, hingga patch lengan. Setelah Hitler menjadi kanselir pada 1933 dan utamanya setelah Presiden Paul von Hindenburg wafat pada 1934, Hitler punya kewenangan tanpa batas. Bendera nasional digantinya dengan bendera Partai Nazi. Seragam tiga matra dalam Reichswehr (angkatan bersenjata Jerman) disematkan logo Parteiadler (elang Partai Nazi) yang mencengkeram swastika lewat titah Menteri Pertahanan Generalfeldmarschall Werner von Blomberg. Sejak saat itu, makna swastika yang bertabur nilai-nilai mulia berubah menjadi simbol terkutuk untuk memuja-memuja bangsa Arya.

  • Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian II–Habis)

    ERWIN Rommel. Pamornya begitu tinggi di kalangan serdadu Jerman maupun di kubu Sekutu. Adolf Hitler paham jika sang generalfeldmarschall (marsekal medan) sampai diseret ke pengadilan, moril para prajurit yang tengah mati-matian menahan gempuran Sekutu bakal ambyar. Namun, Hitler tidak bisa mengabaikan masukan dan info dari para pembantu terdekatnya bahwa Rommel (dituduh) terlibat dalam konspirasi Plot 20 Juli 1944. Komplotan sejumlah perwira militer dan politisi oposisi itu bersepakat untuk melenyapkan Hitler. Maka meski nama Rommel begitu kondang, Hitler memutuskan untuk menyingkirkannya. Agar tak menimbulkan gejolak lebih besar di kalangan Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman), kasus keterlibatan Rommel dalam Plot 20 Juli terlebih dulu disidang di Pengadilan Kehormatan Militer, Berlin. Sedikitnya delapan perwira tinggi, termasuk Panglima Komando Tinggi Wehrmacht Generalfeldmarschall Wilhelm Keitel, dilibatkan sebagai saksi yang keterangannya bakal dijadikan masukan final buat Hitler. “Nama Rommel disebutkan dalam pengakuan Jenderal Carl-Heinrich von Stülpnagel, mantan panglima pasukan pendudukan Jerman di Paris. Stülpnagel sendiri mengaku dalam keadaan tidak sadar, saat dia sedang dalam kondisi koma akibat percobaan bunuh diri yang gagal,” tutur Alif Rafik Khan, pemerhati sejarah militer Jerman-Nazi, kepada Historia . Baca juga: Erwin Rommel Si Rubah Gurun Hasilnya, Hitler memberi pilihan pada Rommel: bunuh diri atau diseret ke mahkamah militer dengan konsekuensi namanya bakal tercemar sebagai pengkhianat. Marsekal jenius dan juru taktik jempolan itu pun memilih mempertahankan kehormatannya dengan bunuh diri pada 14 Oktober 1944. Rommel dimakamkan dengan penghormatan militer. “Dia (Rommel) tahu tentang plot itu dari stafnya, Caesar von Hofacker dan Hans Speidel, tapi tidak terlibat. Dia juga sempat diajak bergabung tapi menolak. Dia menolak karena masih menghormati sumpah prajuritnya meskipun berlawanan dengan nuraninya. Dia memilih bersikap netral sekaligus tidak memberitahukan rencana plot tersebut kepada pihak yang berwenang,” tambah penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman itu. Sejatinya, Rommel tidak bersalah penuh lantaran ia tak terlibat ketika Kolonel Claus von Stauffenberg, eksekutor Plot 20 Juli, meledakkan bom di markas Hitler. Rommel tak seperti enam jenderal berikut ini yang akhirnya disingkirkan Hitler pascainsiden tersebut: Carl-Heinrich von Stülpnagel General der Infanterie Carl-Heinrich Rudolf Wilhelm von Stülpnagel. (Bundesarchiv). Stülpnagel merupakan sosok cemerlang di medan perang yang sanggup membawa pasukannya, Tentara AD ke-17, di front Rusia timur dan selatan pada babak awal Perang Dunia II. Prestasi itu membuatnya diganjar Hitler dengan posisi yang terbilang nyaman: panglima pendudukan Prancis. Dia menggantikan sepupunya, Jenderal Otto von Stülpnagel, pada Februari 1942. Namun yang sedari awal tak diendus Hitler adalah keterlibatan Stülpnagel dalam Plot 20 Juli. Sebagaimana Jenderal Hans Oster di artikel sebelumnya, Stülpnagel yang setia pada Hitler memilih berbalik haluan akibat kekeraskepalaan Hitler untuk mencaplok Sudetenland (kini wilayah di Republik Ceko) dan Cekoslovakia pada 1938. Faktor lain yang membuatnya putar haluan adalah ketika Hitler mendongkel Menteri Pertahanan Marsekal Werner von Blomberg. Sejak saat itu, Stülpnagel mulai turut berkomplot dengan Oster dan Jenderal Ludwig Beck seraya menjalankan tugasnya sebagai Panglima Tentara ke-17 yang merangsek hingga Ukraina. Dalam perencanaan Operasi Valkyrie sebagai ujung tombak Plot 20 Juli, Stülpnagel dipercaya oleh Beck sebagai kepanjangan tangan komplotan di Prancis. Tugasnya merayu atasannya Oberbefehlshaber West (Panglima Tertinggi Tentara Jerman di Front Barat) Generalfeldmarschall Günther von Kluge agar ikut mendukung. Kluge memberi syarat hanya jika nyawa Hitler menguap. Baca juga: Selusin Jenderal yang Disingkirkan Hitler (Bagian I) Kala Stauffenberg meledakkan bom di markas Hitler di Prussia Timur pada 20 Juli 1944, Operasi Valkyrie digulirkan. Setelah di Berlin, giliran Stülpnagel memainkan perannya menciduki para perwira Schutzstaffel (SS/Paramiliter Partai Nazi) dan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi) di Paris. Nahas kemudian, Hitler selamat. Kluge pun menarik dukungannya terhadap Stülpnagel. Ia pun ditahan dan dipanggil ke Berlin. “Kluge yang juga dipanggil memilih menelan kapsul sianida. Stülpnagel juga yakin bahwa dia tak bisa melarikan diri dan akhirnya mencoba bunuh diri dengan pistol. Tetapi gagal dan hanya melukai salah satu matanya. Dia dibawa Gestapo ke rumah sakit dan dalam perawatan, ia mengigau menyebut nama Rommel berulang-ulang,” tulis Terry Brighton dalam Masters of Battle: Monty, Patton and Rommel at War . Setelah pulih, Stülpnagel dijebloskan ke Penjara Plötzensee di Berlin dan disiksa Gestapo hingga mengakui keterlibatannya di Plot 20 Juli lantaran Hitler menuntut semua tahanan komplotan mengaku di muka umum. Setelah diajukan ke Volksgerichtshof (Pengadilan Rakyat) pada 30 Agustus 1944, Stülpnagel divonis hukum gantung. Erich Fellgiebel General der Nachrichtentzruppe Fritz Erich Fellgiebel. ( gdw-berlin.de ). Meski termasuk perwira terpenting Jerman terkait pengembangan mesin kode rahasia Enigma yang sohor, disebutkan Peter Hoffmann dalam History of the German Resistance: 1933-1945, Fellgiebel tak terlalu disukai Hitler karena independent-minded -nya. Tetapi Hitler terpaksa mempertahankannya sebagai Chef des Heeresnachrichtenwesens (kepala sinyal dan komunikasi di Komando Tinggi AD Jerman) lantaran Fellgiebel tahu banyak dapur riset rahasia roket yang tengah dikembangkan Hitler diam-diam lewat ilmuwan Wernher von Braun. Fellgiebel terseret arus konspirasi Plot 20 Juli lewat persuasi eks Kepala Staf Oberkommando des Heeres (Komando Tinggi AD Jerman) Generaloberst (kolonel jenderal) Ludwig Beck yang pernah jadi atasannya. Dalam Operasi Valkyrie, kala Stauffenberg meledakkan bom pada 20 Juli 1944, Fellgiebel ditugasi mencegat setiap masuk-keluarnya komunikasi dari markas Hitler di Prussia Timur agar tak sampai ke Berlin. “Sebenarnya kehadiran Fellgiebel di kantor sinyal dan komunikasi di ‘Wolfschanze’ tanpa alasan yang valid dan mencurigakan karena sudah ada perwira lain yang berwenang, yakni Letnan Kolonel Sander,” tulis Hoffmann. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler Ketika bom yang dibawa dan diaktifkan Stauffenberg meledak, Fellgiebel memerintahkan semua opsir di kantor sinyal memutus semua saluran komunikasi. Sial, Fellgiebel alpa bahwa ada kantor komunikasi lain yang dipegang pasukan SS. Dari situlah Menteri Propaganda Joseph Goebbels di Berlin mendengar kejadian itu dan mengetahui bahwa Hitler masih hidup. “Fellgiebel jadi kemudian jadi jenderal pertama yang ditahan langsung di markas Hitler pada petang 20 Juli. Sampai tiga pekan ia disiksa untuk dipaksa menyebut siapa-siapa saja komplotannya. Tetapi ia bertahan dan mengaku bertindak atas nama sendiri. Ia kemudian dibawa ke Pengadilan Rakyat dan divonis hukuman mati di tiang gantung pada 4 September 1944,” tandas Hoffmann. Friedrich Olbricht General der Infanterie Friedrich Olbricht. (Bundesarchiv). Operasi Valkyrie mulanya merupakan operasi penertiban masyarakat sipil dengan pengerahan Ersatzheer (Tentara Cadangan Teritorial AD Jerman) jika masyarakat terlibat kerusuhan akibat pemboman udara Sekutu atau pemberontakan pekerja paksa di tanah Jerman. Tapi oleh komplotan Plot 20 Juli operasi ini diubah menjadi operasi penangkapan semua pejabat Partai Nazi. Otak di balik revisi itu adalah Olbricht. Perwira yang gilang-gemilang di front Polandia pada akhir 1939 dan kemudian dipindah ke Berlin sebagai kepala Staf Pasukan Cadangan di OKH itu sudah lama menyimpan kedengkian pada Hitler. Aksi pembersihan “Malam Belati Panjang” (30 Juni-2 Juli 1934) oleh Hitler yang banyak memakan korban perwira militer Jerman membuatnya tak ragu turut dalam kelompok Plot 20 Juli. Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal Pasca-mendengar kabar bom meledak di markas Hitler pada 20 Juli 1944 dari Stauffenberg, Olbricht langsung meneken surat perintah digulirkannya Operasi Valkyrie untuk dijalankan pasukan Ersatzheer. “Namun ketika kudeta itu gagal, Olbricht ikut ditangkap di markasnya di Bendlerblock pada pukul sembilan malam. Generaloberst Friedrich Fromm (Panglima Ersatzheer, red. ) memerintahkan dengan segera Olbricht bersama Stauffenberg dan konspirator lainnya dihadapkan ke regu tembak. Pada tengah malam 21 Juli, ia jadi perwira pertama yang ditembak mati di halaman Bendlerblock, meski Hitler memerintahkan mereka ditangkap hidup-hidup,” ungkap Don Gregory dalam After Valkyrie: Military and Civilian Consequences of the Attempt to Assassinate Hitler . Erwin von Witzleben Generalfeldmarschall Job Wilhelm Georg Erdmann Erwin von Witzleben (kiri). (Bundesarchiv). Kegagalan demi kegagalan dialami Generalfeldmarschall Erwin von Witzleben meski sudah berkonspirasi menyingkirkan Hitler sejak 1938 dengan bergabung ke kelompok konspirasi Oster yang berisi Jenderal Ludwig Beck, Laksamana Wilhelm Canaris, Jenderal Stülpnagel, dan Jenderal Erich Hoepner. Pembangkangan Witzleben pada Hitler dipicu oleh pembunuhan perwira-perwira Jerman di “Malam Belati Panjang”. Upaya konspiratif kelompok Oster gagal. Pun dengan rencana penggerudukan Gedung Kekanseliran yang digulirkan Jenderal Hammerstein-Equord tak lama setelah rencana Oster diurungkan. Di luar rencana-rencana rahasia itu, Witzleben bersama Jenderal Gerd von Rundstedt, Jenderal Erich von Manstein, dan Jenderal Wilhelm Ritter von Leeb tetap vokal mengkritik Hitler. Imbasnya, dia dipaksa pensiun oleh Hitler meski pada November 1938 diangkat lagi karena Hitler butuh banyak perwira cakap untuk membuka tirai Perang Dunia II. Witzleben ditugasi memegang komando Tentara AD ke-1 untuk menginvasi Prancis pada 10 Mei 1940. Baca juga: Blitzkrieg , Serbuan Kilat ala Nazi Setahun berikutnya, ia bahkan dipercaya menjadi panglima tertinggi Jerman di Front Barat. Namun setahun kemudian ia dicopot gegara mengkritisi Hitler soal invasi ke Uni Soviet. Dalam kelompok Plot 20 Juli, Witzleben ikut memberi dukungan. Namanya bahkan dimasukkan ke daftar Panglima Wehrmacht di pemerintahan baru seandainya Hitler berhasil dilenyapkan. Namun, Plot 20 Juli gagal membunuh Hitler. Pada 21 Juli ia ditangkap di markasya di Zossen. Setelah dipecat dari dinas kemiliteran, ia ditahan di Penjara Plötzensee, Berlin, untuk kemudian diajukan ke Pengadilan Rakyat. Oleh hakim Nazi nan kondang Roland Freisler, Witzleben divonis hukum gantung pada 7 Agustus 1944. “Anda mungkin bisa mengajukan kami ke algojo, namun dalam beberapa bulan ke depan empat kekuatan dunia yang jijik dan marah akan menghancurkan kalian selamanya dan membawa Anda masuk ke dalam sejarah sebagai penjahat mengerikan yang mestinya kami hentikan,” kata Witzleben memberi pernyataan usai divonis Freisler, dikutip Hannsjoachim Wolfgang Koch dan I. B. Tauris dalam In the Name of the Volk: Political Justice in Hitler’s Germany. Erich Hoepner Generaloberst Erich Hoepner. (Bundesarchiv). Selain Jenderal Heinz Guderian dan Marsekal Erwin Rommel, Generaloberst Erich Hoepner merupakan sosok ternama dalam dunia lapis baja. Di tengah beratnya medan akibat musim dingin yang menusuk tulang, Hoepner berhasil membawa Grup Panzer ke-4-nya berada 30 kilometer dari Moskow pada 2 Desember 1941. Namun capaian itu justru menjadi titik balik kariernya setelah Hitler menuntut ofensif tak masuk akal di Pertempuran Moskow. Sialnya, barisan infantri dari Tentara AD ke-4 pimpinan Jenderal Günther von Kluge tak mampu menyusul untuk menyempurnakan pengepungan Moskow. Hoepner pun minta Kluge menyampaikan pesan kepada Hitler bahwa sisa-sisa pasukannya terpaksa mundur. Hitler pun naik pitam dan memecat Hoepner tanpa tunjangan pensiun. Tak terima, Hoepner mengajukan gugatan hukum dan ia menang hingga Wehrmacht diwajibkan tetap membayarkan uang pensiunannya. Itu satu dari sekian faktor kebencian Hoepner pada Hitler. Hoepner lalu tak ragu mendukung kelompok Plot 20 Juli. “Jenderal Erich Hoepner salah satu partisipan Plot 20 Juli. Ia hadir di Bendlerblock bersama Jenderal Olbricht, Kolonel Stauffenberg, Kolonel Albrecht Mertz von Quirnheim, untuk membantu mensupervisi jalannya operasi dan kudeta. Tetapi ketika kudeta gagal, dia mencoba melakukan pembicaraan tertutup dengan Jenderal Fromm. Oleh Fromm, ia pun urung diajukan ke hadapan regu tembak seperti Stauffenberg dll.,” tulis Dahn Batchelor dalam The Courier. Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Fromm sendiri kemudian dieksekusi gegara melanggar perintah Hitler untuk membawa semua antek-antek Plot 20 Juli hidup-hidup. Fromm malah memerintahkan para pelaku ditembak mati demi menutup jejak bahwa Fromm juga bersalah karena tahu akan konspirasi itu tapi diam. Nasib Hoepner dan keluarganya kemudian sangat memilukan. Di Penjara Plötzensee, Hoepner disiksa sebelum dihadapkan ke Pengadilan Rakyat sebagaimana Marsekal Witzleben. Ia dihukum mati dengan cara digantung punggungnya dengan kait daging pada 8 Agustus 1944. Istri, kakak perempuan, dan putrinya diseret ke Kamp Konsentrasi Ravensbrück. Sementara, adik lelaki dan puteranya yang berdinas di AD dibuang ke Kamp Konsentrasi Buchenwald, sebagai konsekuensi hukuman kolektif Sippenhaft. Wilhelm Canaris Admiral Wilhelm Franz Canaris. ( dhm.de ). Kecakapannya sebagai perwira intelijen sejak Perang Dunia I membuat Laksamana Wilhem Canaris dipercaya Hitler sebagai Kepala Abwehr (Dinas Intelijen Militer Jerman) sejak 1935, menggantikan Laksamana Madya Conrad Patzig. Posisi inilah yang dimanfaatkan kelompok konspirator Jenderal Ludwig Beck dkk. untuk mengajaknya bergabung. Canaris ternyata punya pemikiran sama dengan Beck dan Jenderal Hans Oster terkait rencana Hitler mencaplok Cekoslovakia. Agresi Hitler ke Cekoslovakia menurut mereka bisa memicu perang dahsyat yang justru akan menghancurkan Jerman. Pemikiran mereka lantas jadi kenyataan. Baca juga: Rudeltaktik , Kawanan Serigala Berburu Mangsa Bara peperangan yang dilancarkan Hitler nyatanya betabur tindak kejahatan kemanusiaan. Berulang kali Canaris protes pada Panglima Tertinggi Tentara Jerman Marsekal Wilhelm Keitel terkait kebrutalan prajurit SS Einsatzgruppen, namun tak digubris. “Abwehr tak ada hubungannya sama sekali dengan persekusi terhadap Yahudi. Bukan urusan kami dan kami menjauhkan diri dari hal itu sama sekali,” tutur Canaris di sebuah konferensi militer di Berlin, Desember 1941, dikutip Richard Breitman dkk dalam US Intelligence and the Nazis. Jika Oster dkk. melancarkan gerakan komplotannya di dalam, Canaris bermain di luar lewat jalinan kontak dengan musuh, mulai dari kelompok mata-mata Polandia hingga Dinas Intelijen Inggris MI6. Canaris juga menyebar mata-mata di pantai timur Amerika Serikat dan membuka kontak dengan agen-agen Inggris di Paris, Spanyol, Gibraltar, dan Zürich. Semuanya dilakukannya guna mengetahui apakah Sekutu bersedia berdamai jika Hitler dilenyapkan. “Di Paris Canaris disebutkan menjalin kontak dengan para agen Inggris. Salah satunya di Gereja 127 Rue de la Sante, di mana dia menemui agen intel Kolonel Claude Olivier. Canaris ingin tahu apa syarat untuk damai jika Jerman menyingkirkan Hitler. (Perdana Menteri Inggris, Winston) Churchill membalas dalam komunikasi itu dengan sederhana: menyerah tanpa syarat,” ungkap Richard Bassett dalam Hitler’s Spy Chief: The Wilhelm Canaris Betrayal. Tetapi akhirnya lewat laporan-laporan Sicherheitdienst, dinas intelijen SS pesaing Abwehr, Canaris ketahuan membangkang. Abwehr pun dibubarkan Hitler pada Februari 1944. Canaris dijadikan tahanan rumah pada Juni 1944, hingga tak bisa terlibat langsung dalam Plot 20 Juli. Ketika buku catatan rahasia Canaris ditemukan dan disita, terbukalah bahwa bukan hanya gerombolan Plot 20 Juli yang hendak melenyapkan Hitler, namun juga kelompok Oster sebelum Perang Dunia II. Canaris bersama Oster dicap pengkhianat dan dijebloskan ke Kamp Konsentrasi Flossenbörg sebelum diajukan ke Hauptamt SS-Gericht (pengadilan khusus SS) dan divonis bersalah. Sebagaimana Oster, Canaris ditelanjangi sebelum diseret ke tiang gantung di halaman kamp konsentrasi pada 9 April 1945. Baca juga: Rekayasa Hoax Mengelabui Hitler

  • Gaya Kritik Media Zadul

    Istana Cipanas 7 Juli 1953. Hartini resmi menjadi istri ke-4 dalam hidup Presiden Sukarno. Kendati acara pernikahan itu dirahasiakan, namun tak ayal kabarnya tetap tertiup ke luar Istana Cipanas. Orang-orang kemudian sibuk memperbicangkannya. Organisasi Persatuan Istri Tentara (Persit), Kongres Wanita Indonesia (Kowani), dan Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) melakukan demonstrasi menolak pernikahan tersebut. Perwari bahkan mendukung penuh keputusan istri pertama Sukarno, Fatmawati, keluar dari Istana Negara. Seperti tak mau kalah dengan para aktivis organisasi-organisasi perempuan itu, jurnalis perempuan senior S.K. Trimurti pun angkat pena. Di Suluh Indonesia , harian kaum nasionalis yang menjadi pendukung utama Presiden Sukarno, Trimurti “menghabisi” Bung Karno dalam suatu tulisan berjudul “Bandot Tua Memakan Daun Muda". Tulisan itu membuat geger istana. Bukan saja karena yang mengkritik adalah pengikut setia Bung Karno sejak era pergerakan melawan kolonialisme Belanda, namun juga kalimat-kalimatnya menohok perasaan Bung Besar. Namun yang terkena getah langsung dari tulisan tersebut adalah Suluh Indonesia . “Sebagai wartawan Suluh Indonesia yang mangkal di Istana, saya kemudian dilarang untuk datang ke Istana Negara selama tiga bulan oleh Kolonel R.H. Sugandhi, salah satu ajudan Presiden Sukarno,” kenang Satya Graha, eks awak koran yang berafiliasi ke Partai Nasional Indonesia (PNI) itu. Soal kritik ini, sebelumnya kejadian yang lebih seru dialami oleh Rosihan Anwar, jurnalis terkemuka dari Pedoman . Dia pernah diintimidasi oleh Menteri Perekonomian era Kabinet Sukiman yakni Soejono Hadinoto. Ceritanya, suatu hari di tahun 1951,  Pedoman via Kili-Kili (tulisan pojok khas koran tersebut) mengkritik kebiasaan Soejono yang kerap menggunakan voorrijders lengkap dengan sirene setiap keluar dari kantornya. “Buat zaman itu, hal seperti ini dianggap sebagai tidak biasa,” ungkap Rosihan Anwar dalam Menulis dalam Air: Sebuah Otobiografi . Dikritik demikian, Soejono tersinggung. Beberapa hari usai penayangan tulisan pojok itu, sekitar pukul dua siang, tetiba Soejono muncul dengan dua pengawalnya di kamar redaksi Pedoman . Dia kemudian menghampiri Rosihan yang saat itu tengah menulis. Sambil melotot, dia memarahi Rosihan. “Ayo kalau kamu laki-laki, mari kita sekarang juga berkelahi! Aku tantang kamu!” teriaknya. “Ada apa ini?” jawab Rosihan dalam nada tenang. “Ada apa?! Seperti tidak tahu. Sudah menulis tentang orang, kok bertanya ada apa? Ayo berani enggak berkelahi dengan aku?!” ujar Soejono masih dalam nada keras. Rosihan tidak meladeni mau Soejono. Alih-alih menerima tantangan, dia malah menyarankan Soejono untuk menggunakan prosedur hak jawab kalau memang merasa kritik Pedoman tidak benar. “Ah, saya tidak mau berkelahi. Jika memang tidak senang dengan tulisan itu, silakan menulis sanggahannya,” jawab Rosihan. “Ja, je bent een vis wift. Je bent een lafaard (Ya, kau perempuan yang hanya banyak ngomong. Kau seorang penakut),” ledek Soejono. “Terserah!” kata Rosihan. Sejurus lamanya Soejono Hadinoto berdiri di depan meja Rosihan dengan tatapan mata merah menyala. Rosihan sendiri hanya meladeni dengan sikap tenang-tenang saja. Mungkin karena bosan atau merasa tidak diladeni, pada akhirnya Soejono dan dua pengawalnya pergi meninggalkan redaksi Pedoman. Rupanya dendam sang mentri belum juga sirna. Beberapa hari kemudian saat menghadiri suatu resepsi, Rosihan bersirobok dengannya di beranda belakang Istana Negara. Refleks Soejono kembali melayangkan tantangan. “Ayo bilang, kapan kita berduel dengan badik dan di dalam sarung. Ayo, berani?!” gertaknya. Rosihan hanya mengangkat bahu seraya menjawab: “ Dat is te middlelueuws voor mij, nee hoor (Cara itu bagi saya terlalu abad pertengahan, saya tidak mau melakukannya).” Sejak itu, Soejono tak pernah lagi membahas soal “ajakan berduel” tersebut. Ketika dia dipindahkan ke Kementerian Luar Negeri, dia malah menjadi seorang kawan yang baik untuk Rosihan. Gegara tulisan pojok pula, dua media ternama saat itu, Merdeka dan Indonesia Raja,  pernah saling hantam. Tulisan pojok Merdeka yang menyebut diri sebagai dr. Clenik menyebut gaya tulisan Mas Kluyur , tulisan pojok kepunyaan Indonesia Raja , sebagai gaya straatjongen (berandalan). Mas Kluyur membalas serangan itu dengan pertanyaan: mengapa setiap kritik atau bentrokan pendapat harus dimaki dengan kata-kata kasar oleh dr. Clenik ? Besoknya dr. Clenik malah menyebut Mas Kluyur dengan makian baru: straatmeid (pelacur). Kili-Kili sendiri menyebut gaya dr. Clenik itu sebagai “upaya usang” untuk menaikan oplah. Tahun 1964, “pertempuran berdarah-darah” juga terjadi antara Suluh Indonesia vs Harian Rakjat . Adalah Satya Graha, wakil pemimpin redaksi Suluh Indonesia , yang mendengar pada sutau hari mendapat laporan bahwa ratusan eksemplar korannya telah ditemukan berserakan sepanjang jalur kereta api di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari para informan terpercaya, Satya Graha mendapat kabar bahwa itu merupakan ulah para buruh kereta api yang berafiliasi ke SOBSI, organisasi buruh yang terkait dengan PKI. Mereka mendapat perintah dari pihak  Harian Rakjat , koran kiri saingan berat  Suluh Indonesia . “Cara mereka memang kasar, maka saya putuskan untuk membalas aksi mereka tersebut,” kenang Satya. Dia lantas meminta tolong kepada para buruh kereta api yang berafiliasi dengan KBM, organisasi buruh onderbouw  Partai Nasional Indonesia, untuk “menahan” koran  Harian Rakjat  supaya terlambat datang ke pelosok-pelosok tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Dibandingkan aksi mereka, cara saya itu bisa dikatakan masih halus lho,” kata Satya. Rupanya aksi balasan tersebut sampai ke telinga Presiden Sukarno, yang secara pribadi memang dekat dengan Satya. Maka pada suatu pagi, usai sarapan, Sukarno pun memanggil Satya. “Satya, kamu sekarang sudah mulai  komunistophobia  juga ya?” selidik Bung Karno “Lho, maksudnya bagaimana, Pak?” “ Aku dengar kamu mulai menyusahkan  Harian Ra k jat. ” Mendengar jawaban Bung Karno tersebut, Satya langsung maklum: dia telah dilaporkan oleh orang-orang PKI. Tanpa ragu dia lantas menceritakan duduk persoalan pertamanya mengapa semua itu terjadi. Lantas bagaimana reaksi Bung Karno? “Dia diam saja, tapi sepertinya paham dengan apa yang saya sampaikan,” ujar Satya. Suluh Indonesia  memang kerap memilih “jalur keras” terkait dengan PKI. Saat ramai-ramainya aksi sepihak yang dilakukan oleh aktivis-aktivis tani komunis, koran kaum nasionalis itu pun tampil mengecam aksi-aksi tersebut sebagai “revolusi kebablasan”.

  • Pulau Penyengat, Mas Kawin Sultan Melayu

    Luasnya yang tak sampai 2 km membuat Pulau Penyengat bisa dikelilingi dengan berjalan kaki. Kendati mungil, Kerajaan Melayu Riau-Lingga pernah membangun ibu kota di sini. Setidaknya 46 peninggalan cagar budaya terdapat di Pulau Penyengat. Ada yang masih utuh, tapi ada pula yang hanya pondasi atau dinding, seperti Masjid Raya Sultan Riau, Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII, perigi atau sumur, dan Benteng Bukit Kursi, serta bekas dermaga kuno. "Beragam bangunan peninggalan sejarah yang terkait dengan peranan Pulau Penyengat sebagai pusat pertahanan, pemerintahan masa Kerajaan Riau-Johor dan Riau-Lingga," ujar Surjadi, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dalam seminar daring berjudul "Warisan Budaya Pulau Penyengat, Tantangan, dan Peluang Pelestarian serta Pengelolaannya" yang diadakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat . Karenanya Pulau Penyengat dinobatkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Nasional dua tahun lalu. "Ini satu-satunya pulau seluas 1,12 km persegi yang pernah menjadi pusat kerajaan besar, bukan kerajaan kaleng-kaleng," kata Surjadi. Titik Penting Kesejarahan Marsis Sutopo, arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, menjelaskan bahwa Kerajaan Melayu di Kepualauan Riau berasal dari Melayu di Johor, di ujung Semenanjung Malaka. Ketika terjadi pertempuran dengan Belanda, pusat Kerajaan Melayu pindah ke Kepulauan Riau yang pusatnya di Pulau Bintan pada awal abad ke-18. Dari sana, Sultah Mahmud Syah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Pulau Lingga pada 1787. Lalu pindah lagi ke Pulau Penyengat pada awal abad ke-20, dari tahun 1900–1911. "Ada peperangan dengan Belanda, Pulau Penyengat ditinggalkan,"  kata Marsis . Ketika membangun Daik Lingga, Sultan Mahmud Syah III juga membangun Pulau Penyengat. Konon, pulau ini menjadi mas kawin saat sultan menikah dengan Engku Putri. "Terkenal sebagai Pulau Mas Kawin, karena saat Sultan Mahmud Syah meminang Raja Hamidah sebagai permaisuri, ia menjadikan Pulau Penyengat sebagai mas kawin, walaupun konteks mas kawin ini masih dalam perdebatan," kata Surjadi. Namun, beberapa bangunan di Pulau Penyengat sengaja dihancurkan supaya tak diambil alih Belanda. "Dalam sejarahnya ada proses bumi hangus waktu Belanda mengambil alih," kata Surjadi. Pulau Penyengat juga menyimpan titik kesejarahan penting terkait proses pemisahan kekuasaan Inggris dan Belanda di semenanjung. Pasca wafatnya Sultan Mahmud Syah III di Lingga , Sultan Tengku Abdul Rahman menjadi penggantinya. Padahal, putra sulung sultan adalah Tengku Hussin. Raja Hamidah sebagai pemegang regalia kerajaan tak merestui penobatan Tengku Abdul Rahman. Ia menolak menyerahkan regalia sebagai tanda ditabalkannya sultan. Menurutnyapentahbisan Tengku Abdul Rahman sebagai raja melanggar pakem kerajaan. Inggris memanfaatkan situasi itu. Ketika Inggris dan Belanda membuat perjanjian di London pada 17 Maret 1824, Inggris mengangkat Tengku Hussin sebagai Sultan Johor di Singapura. "Ini yang akhirnya dimanfaatkan Inggris, yaitu ditabalkan Sultan Hussin di Singapura. Ini awal pecahnya Johor menjadi Riau-Lingga," kata Surjadi. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Syah bertahan sebagai Sultan Riau-Lingga dari1824–1832. Persoalan Tata Kota Kuno Sayangnya, selama ini belum banyak yang mempelajari kota kuno di Pulau Penyengat. Tujuannya untuk merekonstruksi tata letak, misalnya rumah raja, alun-alun, dan rumah-rumah pejabat tinggi pada masa lalu. "Ada bangunan istana, ini pusat istana atau rumah sultan? Ada juga bekas situs kedaton," ujar Marsis. Dalam hal ini, rekonstruksi fungsi ruang juga memungkinkan untuk dikerjakan. Pasalnya sisa-sisa bangunan masih banyak yang bisa ditemukan. Berbeda dengan di Daik, sisa istana tak lagi utuh. Kendati bangunan lainnya, seperti masjid sultan masih ada. Sedangkan di hulu sungai di Pulau Bintan, sisa bangunannya hanya sedikit. Lebih sulit untuk membayangkan bagaimana tata kotanya. "Bisa dibandingkan (Pulau Penyengat, red. ) dengan tata kota di Daik. Dari sana bisa diambil kesimpulan, bagaimana tata kota pada masa Melayu Kepulauan, baik di Daik maupun di Penyengat," kata Marsis. Selama ini kajian di Pulau Penyengat kebanyakan berkaitan dengan masalah zonasi bagi perlindungan situs-situs cagar budaya. "Ini tantangan baru untuk melakukan kajian di Pulau Penyengat. Tata kota Pulau Penyengat sebagai pusat kerajaan tentu punya,"  u jar Marsis. Menurut Marsis, peristiwa lokasi pemerintahan Melayu Johor yang berubah menjadi Riau-Lingga Daik merupakan hal menarik. Tantangannya membangun narasi Kerajaan Melayu yang waktu itu bisa menguasai dunia maritim atau laut di sekitar Selat Malaka dan Kepulauan Riau sendiri. "Ini hal menarik," ujar Marsis, "Ini bukan kerajaan daratan tapi yang warna lautnya lebih banyak, ada pelabuhannya. Ini pusat kerajaan yang berbasis pada kelautan."

  • Proyek Rutin Hantu PKI

    Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) tampaknya tak pernah absen mewarnai perpolitikan Indonesia. Setiap tahun, isu ini dipakai oleh berbagai kalangan untuk berbagai kepentingan. Dan jualan isu ini sejak Orde Baru hingga Reformasi masih saja laku. Yang masih hangat misalnya pada demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Rabu (24/6/2020) itu diwarnai aksi pembakaran bendera PKI dan bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai palu arit yang telah dilarang sejak 1966 itu disangkutpautkan dengan munculnya RUU HIP. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam, menyebut bahwa fenomena ini berkaitan dengan pemilihan presiden 2024 nanti. Asvi menengarai pihak-pihak yang berkepentingan menghidupkan isu komunisme adalah bagian dari rezim Orde Baru. Mereka hendak menjadikan isu komunisme kembali menjadi musuh bersama. “Jadi, beberapa pihak yang saya lihat, dengan sengaja, dengan masif, menggoyang masyarakat dengan mengatakan kebangkitan kembali komunisme,” kata Asvi dalam dialog sejarah “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” live  di saluran Facebook  dan Youtube   Historia.id , Selasa 7 Juli 2020. Sejak Orde Baru Sejak Soeharto mendapuk diri sebagai presiden menggunakan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), PKI dan ideologi komunisme menjadi yang pertama dibumihanguskan melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966. TAP MPRS ini tidak memberi peluang sama sekali bagi organisasi yang berideologi komunis. Namun, tak hanya sampai di situ, perang melawan komunisme kemudian secara bertahap dilancarkan melalui beragam jalan. Dari buku sejarah, film dan produk kebudayaan lainnya, serta berbagai propaganda yang bersumber dari satu pihak, yakni pemerintah Orde Baru sendiri. Asvi menyebut isu ini kemudian berkembang dan digunakan rezim untuk memberantas orang-orang yang kritis terhadap pemerintah. Tuduhan komunis pada era Orde Baru menjadi tuduhan yang akan berakibat fatal. “Mereka dengan mudah dituduh komunis. Isu PKI digunakan untuk, misalnya mengambil tanah dari rakyat atau membeli tanah dengan murah. Dan itu sebabnya pada masa Orde Baru, setiap menjelang tanggal 30 September pasti ditemukan bendera palu arit, kaos palu arit, dan semacamnya,” kata Asvi. Asvi menyebut, ketika Orde Baru runtuh, ternyata propaganda antikomunis dan PKI tidak turut hilang. Berbagai pihak justru memanfaatkan isu yang dirintis Orde Baru itu untuk kepentingannya masing-masing. “Itu proyek rutin aparat keamanan pada masa Orde Baru,” kata Asvi. “Pada era Reformasi ini, perubahannya bertambah banyak para pelaku yang punya kepentingan, mengangkat lagi isu komunisme.” Lebih jauh lagi, Orde Baru meninggalkan stigma terhadap mereka yang dituduh terlibat G30S, bahkan menyeret anak cucu mereka. Stigma ini menjadi senjata untuk menyerang, misalnya, partai yang memiliki kader yang orang tuanya terkait PKI. Memutus Rantai Stigma Stigma dan jualan isu PKI sebenarnya bisa diredam. Pasalnya, sejak Reformasi banyak buku dan kajian yang mengulas Gerakan 30 September 1965 sebagai narasi sejarah baru dalam melihat peristiwa tersebut. Banyak pula kesaksian dari orang-orang yang dicap PKI, dibuang ke Pulau Buru, dan mereka yang tak bisa pulang ke Tanah Air. Kesaksian mereka juga dapat menjadi alternatif dalam melihat peristiwa 1965. “Bagaimana pengalaman dia diasingkan, dibuang ke Pulau Buru itu membuka sejarah baru. Membuka pengetahuan orang tentang apa yang sebetulnya terjadi pada masa Orde Baru. Jadi, ingatan itu harus dipulihkan kembali, diajarkan di sekolah, sehingga orang tahu dengan apa yang terjadi pada masa itu. Itu salah satu cara untuk menghapuskan stigma,” kata Asvi. Upaya lain juga telah dilakukan seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hingga pengadilan HAM ad hoc . Namun, usaha itu harus melewati banyak hambatan.   Menurut Asvi, persoalan 1965 diselesaikan dari yang mudah dulu, seperti kasus eksil. “Seyogianya pemerintah di dalam hal ini presiden mengatakan bahwa hal itu pernah terjadi pada masa lalu. Kalau tidak mau minta maaf, diakui bahwa sudah terjadi kekeliruan pada masa lalu,” ujar Asvi. Asvi menyebut pula orang-orang yang dibuang tanpa proses pengadilan ke Pulau Buru. Para penyintas yang belasan tahun dipenjara dan melakukan kerja paksa itu hendaknya direhabilitasi “Jadi, hendaknya pemerintah merehabilitasi mereka. Ini menurut saya lebih mudah ketimbang menyelesaikan pembunuhan massal tahun ‘65 yang menyangkut aparat keamanan alat negara tetapi juga ada masyarakat di situ,” sebut Asvi. Selain itu, untuk menghilangkan stigma, perlu juga mengenalkan generasi muda pada sejarah yang lebih jernih. Melalui pendekatan sejarah yang berimbang terkait isu 1965, generasi muda diharapkan bisa terlepas dari propaganda yang digencarkan sejak Orde Baru. Perlu lebih banyak situs-situs yang mewartakan sejarah mengingat sudah banyak buku-buku dan kajian yang semakin memperjelas peristiwa 1965.

  • Hobi dan Kesukaan Bung Karno

    Sukarno sebagai manusia memiliki hobi dan kesukaan lain. Ini adalah hobi dan kesukaan Bung Besar.

  • Ketika Ali dan Hoegeng Menolak Permintaan Bung Karno

    Di puncak kekuasaannya, Sukarno memiliki serenceng gelar kebesaran. Mulai dari Proklamator Kemerdekaan, Pemimpin Besar Revolusi, hingga Penyambung Lidah Rakyat.  Kendati demikian, dengan kuasa yang dimilikinya Bung Karno tidak selalu bisa berbuat sekehendaknya. Apalagi untuk kepentingan keluarganya. Ali Sadikin menjadi salah seorang pejabat yang berani menolak permintaan Sukarno. Pada periode 1964—1966, Ali Sadikin menjabat Menteri Koordinator Urusan Maritim dalam Kabinet Dwikora I. Sebagai menteri dalam kabinet, Ali Sadikin kerap kali berurusan dengan presiden. “Ada yang mengatakan bahwa dulu kemauan dan kehendak Bung Karno tidak bisa dicegah. Pengalaman saya, ya, bisa,” ujar Ali Sadikin dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi yang disusun Ramadhan K.H.   Kepentingan Mertua Sekali waktu Presiden Sukarno memanggil Menko Urusan Maritim Ali Sadikin. Rupanya Bung Karno meminta bantuan Ali Sadikin untuk kepentingan sang mertua, Hasan Din. Menurut Ali, Bung Karno tidak bilang harus dipenuhi, tapi bertanya, “Bisa nggak ?” Alih-alih menuruti, Ali malah menimbang-nimbang. Ali Sadikin membawa berkas-berkas Hasan Din ke kantornya. Bersama para stafnya, Ali Sadikin mempelajari masalah dalam berkas tersebut. Ternyata Ali Sadikin tidak dapat memenuhi permintaan Sukarno untuk membantu proyek mertuanya. Setelah Ali Sadikin menjelaskan duduk persoalannya, Bung Karno berkata, “Baiklah kalau begitu.” Selesai persoalan. “Ini orang benar-benar hebat. Ia tidak mempergunakan kekuasannya sebagai presiden untuk soal-soal begitu,” kenang Ali Sadikin. Walau terpaksa menolak, sebagai pembantu presiden Ali Sadikin merasa dihargai oleh Sukarno. Menurut Ali, Sukarno sama sekali tidak marah. Apalagi sentimen. Buktinya Bung Karno masih sering mengajak Ali Sadikin bersama istrinya, Nani berlenso ria di Istana. Ali Sadikin bahkan dipercaya Sukarno untuk memimpin ibu kota Jakarta sebagai gubernur pada 1966. Melayani Istri Kejadian yang persis serupa juga pernah dialami Hoegeng Iman Santoso. Pada 1965, Bung Karno mengundang Hoegeng beserta istrinya Mery ke Istana Bogor. Saat itu, Bung Karno meminta Hoegeng untuk mengisi salah satu kementrian baru yang akan dibentuk. Hoegeng bersedia. Namun setelah itu, Bung Karno mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mery mengenai para istrinya.  “Mery kenal dengan Bu Fatmawati?” kata Sukarno “Kenal, kami satu pengajian,” jawab Mery. “Bagaimana dengan Haryati? tanya Sukarno lagi. “Kenal,” ujar Mery, “soalnya waktu di Surabaya, rumah Haryati berhadapan dengan rumah kami.” “Lalu dengan Bu Hartini?”   “Belum.” “Bu Dewi?” “Belum juga.” “Nah, Mery,” pinta Sukarno, “Kamu layani salah satu istri saya yang Mey kenal.” Hoegeng dan Mary sama terdiam mendengar permintaan Sukarno. Menurut Hoegeng, zaman itu pelayanan yang habis-habisan terhadap istri Bung Karno maupun istri menteri menjadi suatu mode. Pelayanan itu bahkan dibarengi dengan membeo-nya cara hidup para istri menteri. Sementara itu, Hoegeng tahu betul istrinya tidak ingin larut dalam mode semacam itu. Semua istri Bung Karno dianggapnya sama saja Akhirnya, Mery menolak secara halus permintaan Sukarno untuk melayani istrinya. Mery beralasan kalau hanya meladeni satu orang, maka tidak enak dengan yang lain. Perlakuan demikian akan menimbulkan ketegangan nantinya. Mendengar itu, Bung Karno hanya mengangguk seraya berkata, “Ya, itu betul.” Jawaban tersebut tentu diluar dugaan Mery dan Hoegeng. Padahal, mereka telah siap pasang telinga apabila mendengar Bung Karno marah.    “Dari jawaban Bung Karno terhadap pendirian kami, saya menyimpulkan betapa demokratnya beliau. Ia tidak marah dengan keterusterangan kami,” kata Hoegeng dalam wawancara dengan wartawati Tempo  Leila S. Chudori pada 22 Agustus 1992, sebagaimana terkisah dalam jilid ketiga  Memoar Senarai Kiprah Sejarah . Tidak lama setelah kejadian itu, Hoegeng pun ditunjuk Sukarno sebagai Menteri Iuran Negara (setara Dirjen Pajak) dalam Kabinet Dwikora II. Selepas jadi menteri Sukarno, Hoegeng kemudian meniti puncak kariernya di kepolisian sebagai Kapolri periode 1968—1971. Dia dikenal sebagai polisi jujur dan anti suap. “Begitu kagumnya saya pada Bung Karno,” kenang Hoegeng, “Buat saya, ia adalah pemimpin yang demokrat dan seorang Bapak Negara.”

  • Operasi Palmer Dinas Intelijen Cekoslowakia di Indonesia

    Dalam rapat para panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia di Markas Besar Ganefo, Senayan, Jakarta, 28 Mei 1965, Presiden Sukarno menyampaikan pidato berjudul “Imperialis Mau Menghantam, Kita Harus Siap Siaga.” Sukarno mengatakan sudah tentu pihak musuh mengadakan spionase hebat kepada kita. Pada suatu hari rumah Bill Palmer di Gunung Mas, Puncak, Bogor, digerebek dan ditemukan dokumen. “Salah satu dokumen itu nyata betul apa yang saya tadinya masih betwijfelen (meragukan). Kan dulu itu selalu berkata oleh pihak kiri, Bill Palmer adalah spion CIA. Bil Palmer adalah orang CIA. Tadinya saya sendiri, terus terang, is dat wel waar (benarkah), bahwa Bill Palmer itu spion CIA? Sebab dia itu begitu baik, apalagi terhadap film artis Indonesia. He, kiranya pada waktu rumahnya digerebek, anak-anak kita ini mendapat dokumen di rumah Bill Palmer. Itu yang ditunjukan. Wah betul, hij was een spion (dia adalah mata-mata),” kata Sukarno. Bill Palmer adalah kepala American Motion Picture Association of Indonesia (AMPAI). Kehadiran AMPAI di Indonesia pada 1950-an berdasarkan perjanjian antara pemerintah Indonesia dan MPEAA (Motion Picture Export Association of America) yang berdiri pada 1945 –kemudian ganti nama jadi Motion Picture Association (MPA) pada 1994. Menurut liputan Tempo , 29 Juni 1991, MPEAA membantu merancang perjanjian internasional mengenai pemasaran, penjualan, penyewaan, pemajakan, maupun penyaluran film Amerika Serikat. MPEAA melalui AMPAI mengizinkan peredaran film-film produksi anggotanya: MGM, United Artists, Universal, Paramount, Warner Brothers, 20th Century Fox, Columbia/Tri Star, Buena Vista/Touchstone, Orion, dan Carolco. Selain film Amerika Serikat, film produksi Inggris juga masuk berkat negosiasi AMPAI dengan studio film terbesarnya, J. Arthur Rank Organisation. Pada 1950-an sampai 1960-an, AMPAI merajai film Indonesia. Ia menguasai bioskop-bioskop dan distribusi film. Film nasional, yang mulai bangkit tahun 1950, tak bisa masuk bioskop kelas satu. Sampai-sampai, seperti diulas Tempo , 29 Juni 1991, untuk masuk bioskop kelas satu, mantan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim harus melobi Bill Palmer. Dengan begitu, film Krisis , garapan Usmar Ismail bisa tayang dan bertahan selama 35 hari di bioskop Metropole, Jakarta. Insan film juga berhasil meyakinkan Walikota Jakarta Soediro agar mengeluarkan “wajib putar” film Indonesia di bioskop kelas satu . Tapi pelaksanaan nya kurang lancar. Tantangan bagi film nasional juga datang dari film negara-negara lain. Kementerian Perdagangan didesak untuk membendung film Malaya dan Filipina. Tekanan bertambah ketika film India memenuhi bioskop-bioskop kelas dua, pasar utama film Indonesia. Berkat desakan Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), Menteri Perekonomian setuju menurunkan kuota impor film India. Perlawanan keras datang dari kelompok kiri. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menyerukan aksi boikot film Amerika Serikat.Bahkan, dalam sidang pleno pada Juli 1961, Lekra mendesak pemerintah untuk membubarkan AMPAI karena melakukan monopoli film Amerika Serikat dan Eropa serta bioskop-bioskop di Indonesia. Selain masalah monopoli, Lekra mengganyang film-filmHollywood itu karena dianggap mengakibatkan demoralisasi. Padahal, film bukan hanya untuk hiburan, tapi juga alat perubahan, pendidikan, dan penyadaran. Pada 9 Mei 1964, tak lama setelah Festival Film Asia Afrika di Bandung, terbentuklah Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (Papfias). Berbagai organisasi dan partai politik mendukung Papfias. Selain mendorong perbaikan perfilman nasional, Papfias juga menuntut AMPAI dibubarkan.Aksi boikot film-film Amerika Serikat pun mulai dilancarkan di Jakarta. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah daerah. Wartawan senior, Rosihan Anwar, mencatat bahwa pada 1 April 1965 rumah Bill Palmer di Gunung Mas, Puncak, diambil alih sejumlah rakyat dan pemuda dari golongan kiri yang sejak beberapa waktu lalu melancarkan kampanye supaya pemutaran film-film Amerika Serikat dihentikan. Sebelumnya, gedung AMPAI diambil alih oleh tidak kurang dari 1.500 pemuda, artis, dan pekerja film pada 16 Maret 1965. “Para pemuda itu menuntut kepada pemerintah supaya AMPAI segera dibubarkan dan Bill Palmer diusir atau ditangkap dan diadili karena dia seorang agen CIA di Indonesia,” tulis Rosihan dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia, 1961-1965. Paul F. Gardner, pejabat Dinas Luar Negeri Amerika Serikat yang tinggal di Indonesia hampir sepuluh tahun, menyebut bahwa William E. Palmer tidak cocok dijadikan sasaran kemarahan. Seorang yang ramah dan suka berteman, lahir di Bangkok dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Asia. Pada waktu dia diserang, film-film Amerika Serikat telah dilarang dan satu-satunya pelanggan Palmer adalah Sukarno, yang terus menyelenggarakan tayangan pribadi di istana presiden. “Walaupun begitu dia dicap oleh PKI sebagai seorang agen CIA yang keji,” tulis Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat–Indonesia . Kompleks bungalow Palmer di Puncak menjadi pusat hiburan akhir pekan bagi komunitas Amerika Serikat. Sebelum film-film Barat dilarang, orang-orang desa sekitar suka menonton film di sana pada Sabtu malam. Ketika kelompok kiri menduduki bungalow itu, Palmer tengah berada di luar negeri. “Mereka merebut tempat itu dan semua berada di atasnya. Di antaranya seekor kuda bernama Slamet dan keretanya, yang telah dibeli oleh pejabat Kedutaan Besar Amerika Serikat, Mary Vance Trent, untuk digunakan anak-anak dari tamu-tamu Palmer pada akhir pekan,” tulis Gardner. Trent berhasil menyelamatkan Slamet. Penggantinya kemudian menyerahkan Slamet kepada kepala perusahaan minyak Amerika Serikat. AMPAI diambil alih pemerintah, impor film dari Amerika Serikat dihentikan, dan Palmer di- persona non grata .Penutupan AMPAI juga berimbas pada film-film Inggris, Malaya, dan India. Akibatnya, ratusan gedung bioskop gulung tikar. Sedangkan produksi film nasional cuma 1-2 judul setahun. Film-film Uni Soviet dan China, yang berusaha mengisi kekosongan, tak memadai. Film-film Hollywood datang lagi dan merajai bioskop-bioskop di Indonesia pada masa Orde Baru hingga sekarang. Operasi Palmer Aksi boikot film-film Amerika Serikat dimanfaatkan oleh Dinas Intelijen Cekoslowakia. Mayor Louda, perwira senior Departemen D, merancang operasi rahasia pada 1964. Dia menyadari tidak efisien membuat bukti baru mengenai pengaruh film-film Amerika Serikat yang merusak kepada masyarakat Indonesia. Pendekatan yang lebih efektif adalah menciptakan bukti hidup yang melambangkan imperialisme Amerika Serikat dengan otaknya CIA. Palmer dipilih sebagai korban. Ladislav Bittman, mantan wakil kepala Departemen VIII Dinas Intelijen Cekoslowakia yang kemudian menyeberang ke Amerika Serikat pada 1968, mengungkapkan, “sesungguhnya kami tidak mempunyai bukti nyata dan meyakinkan, bahwa Palmer adalah agen CIA, kami hanya menyangka saja.” Sangkaan mereka berdasarkan pergaulan Palmer dengan kalangan politik tertinggi di Indonesia dan masyarakat luas. Sumber keuangannya yang tidak pernah kering membuatnya menjadi lambang penjelmaan pengaruh jahat Amerika Serikat di Indonesia. “Berdasarkan laporan yang tidak pasti dan terpisah-pisah, kami menyusun satu berkas keterangan bahwa Palmer adalah agen CIA yang paling utama di Indonesia,” kata Bittman dalam The Deception Game , yang diterjemahkan oleh Oejeng Soewargana menjadi Permainan Curang: Peranan Intelijen Cekoslowakia dalam Perang Politik Uni Soviet . Mayor Louda menyerahkan laporan itu kepada seorang duta besar Indonesia yang disebut Polan, bukan nama sebenarnya. Dengan imbalan apartemen dan perempuan cantik, Polan menjadi saluran berbagai berita anti-Amerika Serikat kepada pemerintah Indonesia. Laporan dan dokumen yang diterimanya dari Dinas Intelijen Cekoslowakia tidak pernah disebut informasi palsu. Namun, dia menjaminnya.    Selain Polan, saluran penting lain Operasi Palmer adalah wartawan Indonesia untuk menyiarkan kampanye anti-Amerika Serikat. Mereka menerima konsep artikel yang diolah dengan gaya jurnalistik sesuai istilah-istilah politik Indonesia. Operasi Palmer juga menggunakan saluran-saluran anonim (pengiriman yang merahasiakan nama serta alamat pengirimnya) untuk mengirimkan dokumen palsu dan informasi yang diputarbalikkan kepada pemuka politik, organisasi massa, dan redaksi surat kabar Indonesia. Di luar Indonesia, bahan yang menuduh Palmer melakukan kegiatan subversi di Indonesia muncul di harian Ceylon Tribune pada 12 September 1964. Berita itu dikutip oleh surat kabar di Singapura pada 30 September 1964, yang diterbitkan Barisan Sosialis. Radio Moskow menyiarkan soal Palmer pada 8 Juni 1965. Pada 28 Februari 1965, pemerintah Malaysia menuduh Indonesia berkomplot dengan kelompok radikal, seperti Dato Raja Abu Hanifa, Ishak Haji Muhammad, dan Dr. Burhanuddin, untuk mengadakan kudeta. Keterangan resmi menghubungkan kegiatan mereka dengan pejabat intelijen Indonesia, R.M. Soenita, mantan anggota staf Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Kejadian itu digunakan untuk meningkatkan hasil Operasi Palmer. “Kami memutuskan untuk menimpakan kegagalan Indonesia itu pada Palmer,” kata Bittman. Melalui saluran informasi palsu, Menteri Luar Negeri Soebandrio, dan dengan perantaraannya , Presiden Sukarno menerima laporan bahwa Palmer telah mengungkapkan informasi mengenai kegiatan bawah tanah Indonesia di Malaysia, kepada pemerintah Malaysia. Palmer juga dituduh terlibat dalam kegiatan subversi anti-Sukarno di Jawa dan Sumatra. “Di samping itu dengan bantuan penasihat Rusia, kami menciptakan bukti-bukti bahwa CIA dan Palmer terlibat dalam usaha untuk membunuh Sukarno, Soebandrio, dan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani,” kata Bittman. Sukarno menyebut rencana pembunuhan terhadap dirinya itu dalam rapat para panglima Angkatan Darat seluruh Indonesia di Markas Besar Ganefo, Senayan, Jakarta, 28 Mei 1965. “Salah satu plan adalah, untuk bunuh beberapa pemimpin Indonesia, Sukarno, Yani, Soebandrio, itu yang pertama-tama harus om zeep gebracht (dibunuh). Malah kalau bisa sebelum Konferensi Aljazair,” kata Sukarno. Dalam pidato itu, Sukarno juga menyebut Palmer agen CIA berdasarkan bukti dokumen yang di buat Operasi Palmer dan ditemukan di rumahnya ketika digerebek pemuda kiri pada 1 April 1965. Bittman menyimpulkan bahwakeberhasilan Operasi Palmer karena dicetuskan pada waktu yang tepat dan keadaan yang menguntungkan. Sehingga, dengan alat-alat yang paling sederhana dan bantuan beberapa agen rahasia saja, Dinas Intelijen Cekoslowakia dan Uni Soviet dapat mempengaruhi pendapat umum dan pemerintah Indonesia, termasuk Sukarno. Operasi Palmer berhasil menunggangi gelombang anti-Amerika Serikat. Operasi itu juga memperkuat pendapat Sukarno dan Soebandrio bahwa CIA merencanakan akan membunuhnya. Pada Agustus dan awal September 1965, Operasi Palmer masih dipuji sebagai tour de force (pertunjukan adu kekuatan) bagi intelijen Cekoslowakia dan Uni Soviet. Pencetusnya, Mayor Louda disanjung-sanjung. Namun, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, tidak seorang pun yang mau menyebutnya. “ D alam kekacauan sebagai akibat dari tindakan antikomunis yang dilakukan pemerintah Orde Baru secara tidak kepalang tanggung, duta besar Polan lenyap, seorang yang doyan wanita-wanita muda dan cantik,” kata Bittman menutup cerita Operasi Palmer di Indonesia.

  • Raja Ali Haji dan Pulau Bahasa Indonesia

    Luas Pulau Penyengat tak sampai 2 km persegi, berada di perbatasan Indonesia dan Singapura. Namun, pulau ini menjadi pusat kebudayaan Melayu dan tumbuh kembang bahasa Indonesia.  Pada awal abad ke-19, Pulau Penyengat terkenal sebagai pusat kesusastraan dan literatur. Bisa dibilang, pulau ini menjadi pusat kajian Melayu Islam. "Bukan Melayu kalau belum ke Pulau Penyengat," kata Surjadi, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjungpinang, dalam seminar daring berjudul "Warisan Budaya Pulau Penyengat, Tantangan, dan Peluang Pelestarian Serta Pengelolaannya" yang diadakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat. Berkat dorongan kerabat istana, pulau yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Riau-Lingga itu,tumbuh menjadi pusat kegiatan penulisan naskah Melayu. Naskah-naskah Melayu-Riau ditulis dan disalin ke dalam aksara Jawi. Berbagai karya ditulis di pulau ini, di antaranya yang terkenal, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji (1809–1872). Karenanya Pulau Penyengat kerap disebut sebagai Pulau Bahasa. Marsis Sutopo, arkeolog Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, mengatakan di sinilah bahasa dan sastra Melayu berkembang pesat, yang kemudian mendasari lahirnya bahasa Indonesia yang diakui sebagai bahasa nasional. "Pulau Penyengat menjadi asal tumbuhnya bahasa Indonesia dan sastra Indonesia," kata Marsis. Karya Terkenal Jajat Burhanudin, sejarawan UIN Syarif Hidayatullah dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia menjelaskan, Raja Ali Haji adalah sarjana terkemuka dari keluarga Kerajaan Riau-Lingga. Ayahnya, Engku Haji Ahmad juga banyak menghasilkan naskah. Selain Gurindam Dua Belas , karya Raja Ali Hajiyang terkenal di antaranya Syair Abdul Muluk dan Bustanul Katibin tentang risalah tata bahasa Melayu . Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara menyebut karya sastra karangan Raja Ali Haji banyak yang berupa syair keagamaan dan kesejarahan, di antaranya Syair Hukum Nikah , Syair Hukum Fara’id , Syair Gemala Mestika Alam ,dan Silsilah Melayu dan Bugis. Sementara itu, Raja Ali Haji menulis  Tuhfat al-Nafis bersama ayahnya pada 1866. Karya ini merupakan sastra sejarah yang mengamanatkan dilaksanakannya ajaran Islam dan adat istiadat Melayu. Raja Ali Haji juga menulis tentang tatanegara dan nasihat untuk raja-raja, seperti Thamara al-Muhimmah Diyafah lil umara wal Kubara li Ahl al-Mahkama , Syair Nasihat ,termasuk Gurindam Dua Belas. Menurut Uka, melalui Thamara , Raja Ali Haji memberi petunjuk soal politik Islam kepada para raja Riau-Lingga, yang mengingatkannya pada Taj al-Salatin di Aceh dari abad ke-17. “Tentu saja Nasihat al-Muluk karya al-Ghazali menjadi sumber utama sebagian isi Thamara ,” tulis Uka. Selain Raja Ali Haji dan ayahnya, masih ada pengarang lain, seperti Raja Daud bin Raja Ahmad yang mengarang Syair Pangeran Syarif Hasyim danEncik Kamariah yang menulis Syair Sultan Mahmud di Lingga. Tak Mendapat Perhatian Kendati bernilai tinggi, para sarjana Belanda tidak memperhatikan karya Raja Ali Haji, khususnya yang berisi kandungan Islam. Akibatnya, karya seperti Thamara berada di luar sistem pengetahuan masa kolonial. “Padahal dalam karya itu ia melontarkan keinginan dan agenda yang kuat bagi restorasi politik Kerajaan Melayu,” tulis Jajat. Menurut Jajat, sarjana Belanda memberikan perhatian besar hanya kepada karya yang isinya sejalan dengan kerangka kepentingan kolonial. Karya-karya Raja Ali Haji yang diterbitkan orang Belanda misalnya, Syair Abdul Muluk , Gurindam Dua Belas ,dan Bustanul Katibin . “Pemerintah Belanda dan para sarjana Melayu, berpusat di Tanjung Pinang, juga berkonsentrasi pada pengembangan kesusastraan dan bahasa Melayu asli,” tulis Jajat. Raja Ali Haji tidak menyebut dua karyanya dalam korespondensi dengan sahabatnya dari Jerman, Von de Wall. “Dia tampaknya menyadari bahwa karya-karya itu tidak akan dan dalam faktanya memang tidak menarik perharian para sarjana Belanda untuk penelitian mereka,” tulis Jajat. Karenanya karya-karya Raja Ali Haji hampir tidak dikenal di lingkungan masyarakat muslim. Padahal, Thamara  dan masterpiece -nya, Tuhfah al-Nafis, merupakan karya yang penting tentang Islam dan budaya Melayu. Naskah Klasik Tersebar Khairunnas Jamal dan Idris Harun, dosen Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau,menyebut di luar karya-karya itu, masih ada ribuan naskah Melayu. “Hampir sama dengan kerajaan Melayu lainnya, Kerajaan Lingga mengembangkan tradisi tulis menulis yang sangat baik, untuk kepentingan transmisi pengetahuan, baik dalam bidang sastra maupun keagamaan,” tulisnya dalam “Inventarisasi Naskah Klasik Kerajaan Lingga” yang terbit di jurnal Sosial Budaya: Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya ,Vol.11, No.1 Januari–Juni 2014 . K eberadaan naskah di bekas wilayah Kerajaan Lingga tersebar di empat tempat. Pertama, Masjid Raya Pulau Penyengat menyimpan naskah-naskah yang lebih banyak berkaitan dengan kajian keislaman. Salah satunya naskah Al-Qur’an tulis an tangan berusia ratusan tahun. Kedua, Masjid Sultan Lingga di Daik, Kecamatan Lingga, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. Wilayah ini pernah menjadi ibukota Kerajaan Riau-Lingga sebelum pindah ke Pulau Penyengat. Awalnya koleksi milik masyarakat yang dititipkan, di antaranya berkaitan dengan keagamaan. Belakangan, pihak Museum Linggam Cahaya meminta pengelola masjid untuk memindahkan naskah-naskah itu ke museum milik pemerintah Kebupaten Lingga. Ketiga, Museum Linggam Cahaya di Daik menyimpan naskah-naskah bertema pengobatan, keagamaan, dan sastra, dalam berbagai bahasa, yaitu Arab, Arab-Melayu, dan Tamil. Keempat, keturunan keluarga besar kerajaan, seperti Datuk Tengku Husin dan Raja Malik. Koleksi naskah Tengku Husin lebih banyak bertema keislaman, seperti tafsir, tasawuf, dan fara’id (hukum waris). Sedangkan naskah yang disimpan Raja Malik kebanyakan bertema keagamaan dan pengobatan. Konon, masih banyak naskah Melayu klasik yang disimpan masyarakat Pulau Penyengat dan Daik. Mereka tidak menyerahkannya kepada instansi terkait bukan karena ekonomi, namun sejarah keluarga.

  • Ketika Sukarno Berdandan Perempuan

    Pada masa pembuangannya di Ende (1934–1938) dan Bengkulu (1939–1942), Sukarno tak hanya berdiam diri. Selain membaca buku tentunya, ia juga menulis naskah sandiwara. Hubungannya dengan sandiwara sudah terjalin sejak ia mondok di rumah H.O.S Tjokroaminoto, di Surabaya. Kala itu, Sukarno aktif dalam Jong Java yang sering mengadakan kegiatan sosial di kampung-kampung, sekolah, dan lokasi terdampak bencana alam. Untuk mengumpulkan uang demi menyokong kegiatan itu, Jong Java mengadakan pertunjukan sandiwara. Jong Java tidak banyak memiliki anggota perempuan. Sukarno yang tampan kelihatan seperti anak gadis. Maka, ia pun memerankan perempuan dalam banyak pertunjukan sandiwara. “Dan potonganku lebih banyak menyerupai seorang perawan cantik, kalau Jong Java mengadakan pertunjukan diserahi memainkan peran wanita. Aku betul-betul membedaki pipi dan memerahkan bibirku,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Untuk mendukung peran perempuannya itu, Sukarno menggunakan dua buah roti yang dimasukan ke dalam bajunya. Alhasil, jadilah payudara buatan yang membuat tubuhnya yang langsing semakin mirip perempuan. “Untunglah dalam peranku itu tidak termasuk adegan mencium laki-laki. Selesai pertunjukan kupikir, tentu aku tak dapat menghamburkan uangku begitu saja karena itu kukeluarkan roti itu dari dalam baju dan kumakan,” kenangnya. Harsono Tjokroaminoto, anak H.O.S Tjokroaminoto juga terkenang dengan peran perempuan yang dilakoni Sukarno. Dalam Menelusuri Jejak Ayahku, Harsono menyebut bahwa Sukarno juga sering bermain sandiwara dalam acara-acara ulang tahun. Dari ulang tahun perkumpulan-perkumpulan di sekolah hingga organisasi. “Peran yang sangat digemari oleh beliau, anehnya bukan peran laki-laki melainkan justru peran sebagai wanita. Dengan badan yang tinggi, langsing orang tidak akan mengira kalau yang berperan itu seorang pria. Tetapi karena mendengar suaranya maka barulah penonton akan mengetahui bahwa yang berperan itu seorang pria sejati,” kata Harsono. Harsono sering kali dimintai bantuan oleh Sukarno untuk mencari roti dan rambut palsu. Saat itu susah sekali mencari rambut palsu karena termasuk barang langka. Yang ada hanyalah rambut palsu yang dirangkai dari benang. “Zaman dulu rambut palsu dibikin dari benang besar yang namanya suyet. Selain rambut palsu saya juga harus mencari dua buah roti karambol yaitu roti bulat yang berbentuk payudara wanita. Zaman sekarang roti karambol juga ada tetapi sekarang dinamakan roti manis, tanpa campuran kismis ataupun coklat. Dua buah roti karambol ini sangat dibutuhkan untuk dipasang pada dada beliau,” sebut Harsono. Kenangan Harsono itu membuatnya heran ketika Sukarno telah menjadi presiden. Kegemaran berperan sebagai wanita itu, menurutnya sangat berbanding terbalik dengan sosok Sukarno yang gagah dan disukai banyak perempuan ketika menjadi presiden. “ …sebab kalau dulu Bung Karno dalam masa remajanya dalam bermain sandiwara selalu ingin menjelma sebagai wanita, tetapi kemudian apalagi sesudah menjadi presiden beliau justru menjelma menjadi seorang perkasa seperti yang dikemukakan ibu-ibu, Bung Karno ‘ He is a man and that is why we like him ’,” katanya. Dari Surabaya, Sukarno membawa pengalaman bermain sandiwara ke pembuangan. Setidaknya ia membuat 12 naskah di Ende dan empat naskah di Bengkulu. Namun, dari semua naskah itu, tidak ada aktor perempuan yang dilibatkan. Peran perempuan dimainkan oleh laki-laki. Taufik Rahzen dalam diskusi bertajuk “Drama Bung Karno” di Youtube dan Facebook Historia.id , Selasa, 30 Juni 2020 menyebut hal itu berasal dari tradisi ludruk yang bisanya hanya laki-laki yang bermain. “Kenapa perempuan tidak main dalam tonil-tonil Bung Karno itu mengikuti tradisi ludruk sebenarnya. Ludruk di Surabaya, kalau anda tahu, hanya laki yang main. Dan kalau perempuan, ya dimainkan oleh laki-laki,” kata Taufik. Sementara itu, Sukarno menyebut bahwa perkumpulan sandiwara di Ende hanya beranggotakan laki-laki karena para perempuan takut dituduh terlalu berani. Meski demikian, peran perempuan dalam sandiwara-sandiwara Sukarno, baik di Ende maupun Bengkulu, bukan berarti tidak ada. Menurut Taufik, perempuan pertama yang berjasa besar adalah Inggit Garnasih. Inggit Garnasih berhasil membuat gagasan dan ide Sukarno bisa tertuang dalam sandiwara. Periode ini disebut Taufik sebagai periode “Negara Teater”. Di mana Sukarno berada dalam dunia ide dan Inggit yang membantu menyalurkan ide-ide itu. “Inggitlah yang memungkinkan memproduksi seluruhnya. Memungkinkan membuat tonil Kelimutu, memungkinkan membuat tonil Monte Carlo di Bengkulu,” kata Taufik. Periode “Negara Teater” kemudian berubah menjadi “Teater Negara” setelah Sukarno bertemu Fatmawati. Dari dunia ide, Sukarno masuk ke dunia realitas pada periode ini berkat Fatmawati. Senada dengan Taufik, penggiat teater Faiza Mardzoeki juga menyebut bahwa Inggit memang memiliki peranan besar bahkan hingga hal-hal detil dalam sandiwara. “Peran Inggit itu harus ditulis lagi. Bahkan saya juga membaca, Inggit selalu juga melakukan penataan make up untuk terutama aktor (yang berperan) perempuan,” kata Faiza. Taufik menambahkan, meskipun tidak tampil di atas panggung, Sukarno justru menempatkan nilai-nilai yang memperjuangkan perempuan dalam naskah-naskahnya. “Peranan perempuan di dalam Sukarno itu besar, bukan hanya besar tapi amat besar sebenarnya. Dan seluruh dari karya-karya dia itu adalah karya yang mengidolakan (perempuan). Tanpa pemain (perempuan), tapi sebenarnya nilai-nilai dasar perempuan itu yang diperjuangkan atau yang muncul dalam karya-karya Sukarno,” kata Taufik.

  • Saat Natsir Gagal Merangkul PNI

    Pada 1950, setelah berhasil mengamankan pemerintahan pasca pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS), Mohammad Natsir resmi melepas jabatan Menteri Penerangan di Kabinet Hatta I (1948-1949). Dia segera mengalihkan fokus kepada urusan lain, yakni mengemban amanah sebagai ketua Partai Masyumi. Natsir bertekad menjadikan partai berasas Islam itu garda terdepan perjuangan. Namun di tengah upaya tersebut, Natsir harus membuat keputusan yang sulit. Pada 22 Agustus 1950 di Istana, Presiden Sukarno menyampaikan keputusannya menunjuk Natsir menjadi formatur kabinet. Menurut Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran, dan Perjuangan,  berdasar keputusan muktamar Masyumi tahun 1949, ketua partai dilarang menduduki jabatan di pemerintahan, termasuk menjadi perdana menteri. “Natsir merespon keputusan presiden itu dengan mengatakan bahwa hal tersebut akan dia musyawarahkan dulu dengan pimpinan partai Masyumi. Sesudah mendapat persetujuan dari pimpinan partai, keesokan harinya Natsir kembali menemui Bung Karno, dan menyatakan kesiapannya melaksanakan tugas dari presiden,” tulis Lukman. Dalam melaksanakan tugas formatur kabinet, Natsir dibantu oleh dua pimpinan Masyumi lain: Sjafruddin Prawiranegara, dan K.H. Abdul Wahid Hasyim. Ketiganya sepakat membentuk kabinet yang akan diisi oleh sebanyak mungkin partai dan sebesar mungkin suara di parlemen. Mereka merasa harus mendapat dukungan luas agar sifat kesatuan nasional dari kabinet yang akan disusun benar-benar tercermin sebagai persatuan bangsa Indonesia. Selain Masyumi, mereka juga merasa perlu membuat basis dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI) agar kebinet berdiri kokoh. Ketika Natsir menyampaikan pemikirannya itu kepada Sukarno, presiden merasa senang dan mendoakan agar Natsir dapat berhasil mengemban tugasnya.  Ternyata menjalankan keinginan baik itu tidaklah mudah bagi Natsir. Menurut Remy Madinier dalam Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party Between Democracy and Intergralism , sikap PNI seringkali bersebrangan dengan Masyumi, begitu pula sebaliknya. Sulit rasanya membuat kedua partai ini menyepakati sebuah hal bersama-sama. Banyak perundingan yang berujung perdebatan keras di antara keduanya, seperti ketika koalisi PNI dan PSI menolak usulan Masyumi soal bentuk Negara Kesatuan yang seharusnya dikelola dalam sistem pemerintahan presidensil bukan parlementer. Di dalam kabinet yang akan dibentuk Natsir, PNI menuntut hak yang sama dengan Masyumi. Bukan saja soal jumlah kursi, tetapi juga dalam menentukan posisi mana saja yang hendak mereka isi. PNI misalnya, meminta jatah Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. “Tuntutan yang tentu saja tidak bisa dipenuhi oleh Natsir, sebab bagaimanapun dirinyalah (sebagai Masyumi) yang ditunjuk oleh presiden menjadi formatur kabinet. Sebagai formatur, tentu saja Masyumi harus mendapat hak lebih, dibanding partai lain,” tulis Lukman. Demi tercapainya kabinet ideal yang dicita-citakan, Natsir mencoba menurunkan ego kepartaiannya. Dia memilih berdialog dengan pimpinan PNI untuk mencari solusi terbaik dari permintaan kursi tersebut. Beberapa kali Natsir menghubungi dua pimpinan PNI, Sidik Djojosukarto dan Sarmadi Mangungsarkoro. Tetapi tidak mudah menemui keduanya. Pimpinan PNI lainnya, Mr. Soewirjo, meski berhasil dihubungi selalu berdalih tidak bisa asal memutuskan dan perlu kesepakatan partai. Akibatnya, upaya berunding dengan PNI selalu terhambat. Ternyata Presiden Sukarno tidak begitu saja lepas tangan dalam upaya pembentukan kabinet ini. Dia mencoba mendukung Natsir karena rupanya presiden tidak ingin Natsir gagal dalam mewujudkan kabinet yang menurutnya sangat baik tersebut. Beberapa kali Sukarno mengundang Natsir dan beberapa pemimpin partai untuk mendiskusikan pembentukan kabinet itu. Meski para pimpinan beberapa partai sepakat menjalani koalisi, Natsir tatap tidak puas selama PNI belum bergabung memberi dukungan. Tanpa keikutsertaan partai yang dibentuk Sukarno itu, Natsir merasa penyusunan kabinetnya tidak akan ideal. Karena tidak kunjung mendapat dukungan PNI, Natsir merasa telah gagal menjalankan tugas. “Apa salah saya kepada PNI?” keluh Natsir kepada Anwar Harjono seperti ditulis Perjalanan Politik Bangsa: Menoleh ke Belakang Menatap Masa Depan . Natsir lalu menghadap Sukarno bermaksud mengembalikan mandat yang diberikan kepadanya. Tetapi presiden menolak. Bantuan lain malah diberikan Sukarno dengan menawarkan diri berdiskusi dengan Djojosukarto dan Mangunsarkoro. Upaya itu juga ternyata mengalami kegagalan. Natsir kembali menemui Sukarno dengan maskud yang sama seperti sebelumnya. Namun Sukarno tetap pada pendiriannya menunjuk Natsir sebagai formatur. Natsir mulai ragu dengan keputusannya menjalankan kabinet. Melihat hal itu, Sukarno menegaskan keputusannya: membentuk kabinet dengan atau tanpa PNI di dalamnya. Menurut Lukman, itulah kali pertama Sukarno “meninggalkan” PNI untuk memberikan sokongan penuh kepada Natsir dalam pembentukan kabinetnya. “Di masa itu, Sdr. Natsir masih tetap favorit Bung Karno,” kata Mohammad Hatta seperti diutarakan Yusuf Abdullah Puar dalam Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-Kenangan Kehidupan dan Perjuangan . Akhirnya pada 6 September 1950, Kabinet Natsir terbentuk. Sehari setelahnya, Presiden Sukarno secara resmi mengumumkan pendirian kabinet pertama setelah Indonesia resmi memakai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

bottom of page