Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Disepelekan Tentara Belanda
Pada 1946, Kapten Soegih Arto diperintahkan pergi ke pos militer Belanda. Yang memberi perintah ialah Kolonel Hidayat Martaatmadja, wakil panglima Divisi Siliwangi. Hidayat menugaskan Soegih Arto mengantarkan surat tentang persiapan pertemuan antara Tentara Repoeblik Indonesia (TRI) dengan militer Belanda terkait batas demarkasi. “Pada waktu itu saya menjadi komandan batalyon di Ciparay, Bandung Selatan,” tutur Soegih Arto dalam Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Menurut pihak Belanda, Soegih Arto hanya boleh membawa 10 pengawal bersenjata. Tempat pertemuan ditentukan dekat jembatan Citarum, Dayeuhkolot. Di sana, Soegih Arto akan bertemu dengan seorang kapten Belanda. Dalam tugas tersebut, Soegih Arto memilih prajurit yang pendek-pendek dan wajahnya imut-imut. Mereka dipersenjatai dengan senapan Jepang yang panjang-panjang dan senapan mesin ringan Jepang. Bisa dibayangkan bagaimana anak buah Soegih Arto yang cungkring-cungkring itu menenteng senjata laras panjang. Ketika tiba di tempat yang ditentukan, Soegih Arto dan anak buahnya menyaksikan para prajurit Belanda (sebagian besar totok) sudah siap dengan mengenakan pakaian loreng-loreng. Kapten Belanda mengajak Soegih Arto bicara dalam bahasa Belanda. Soegih Arto hanya menggeleng-geleng. Isyarat bahwa dirinya tidak berbahasa Belanda. Mengetahui perwira paling senior di pihak TRI tidak dapat berbahasa Belanda, pasukan Belanda jadi meremehkan TRI. Padahal sejatinya Soegih Arto mengerti bahasa Belanda. Menurut Soegih Arto, pasukan Belanda jadi bebas berkomentar menilai keadaan para anak buahnya. Kadang-kadang komentar itu bernada lucu sehingga Soegih Arto sukar menahan tawa. Pasukan Belanda memandang sebelah mata tentara Indonesia seperti tentara ingusan. Memang ada beberapa prajurit yang tidak bersepatu. “ Hebben wij tegen deze snotneuzen noeten vech zen? Ah, te erg, zeg! (Masa kita harus berkelahi melawan anak-anak ingusan ini? Ah, keterlalun!),” demikian kata pasukan Belanda ditirukan Soegih Arto. Meski disepelakan, Soegih Arto menjalankan tugasnya dengan baik. Beberapa hari kemudian terjadilah perundingan antara TNI dengan Belanda di Dayeuhkolot. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Kolonel Hidayat dan seorang anggotanya Letnan Kolonel Soetoko. Adapun Soegih Arto berposisi sebagai pengawal. Sementara itu, delegasi Belanda dipimpin oleh seorang mayor bernama Bayetto. Ketika Kolonel Hidayat mengulurkan tangannya untuk bersalaman, Mayor Bayetto pura-pura tidak melihat. Sang mayor kemudian mempersilakan delegasi Indonesia duduk. Soegih Arto mengingat betul sambutan dingin Mayor Bayetto. Bertahun-tahun kemudian, setelah pengakuan kedaulatan mereka bersua kembali. Pada 1952, Soegih Arto ditugaskan bersekolah di Belanda. Menuntu ilmu di Hogere Krigsschool Den Haag itu, Soegih Arto merasa tidak asing dengan salah satu pengajarnya. Memorinya kembali pada perundingan di Dayeuhkolot tahun 6 tahun silam. “Kebetulan sekali mayor yang tidak mau bersalaman dan berkulit hitam itu ternyata guru sejarah di Hogere Krigsschool Den Haag,” kenang Soegih Arto.
- Tan Malaka dan PKI
Perjalanan hidup Tan Malaka dari Pandam Gadang hingga mati dibunuh di Selopanggung, Kediri.
- Mencari Jejak Kejayaan Blambangan
ALKISAH, Tawangalun pergi menyepi. Ia bersembah semedi di pertapaan kaki Gunung Raung. Sudah tujuh hari ia melakukan laku pembersihan diri. Sampai kemudian ia mendengar suara gaib menggema berbicara kepadanya. “Pulanglah Gusti Prabu.” Tawangalun diminta agar berjalan ke arah timur. “Jika kau bertemu dengan Macan Putih, tunggangilah.” Maka, Tawangalun turun dari pertapaannya. Ia tempuh perjalanan berhari-hari ke arah matahari terbit. Sampai kemudian dilihatnya sesosok macan putih menghadang. Teringat suara gaib dalam semedinya, ia mendekati macan itu lalu menungganginya. Mereka mengelilingi hutan yang luas hingga sampai ke tengah rimba Sudimara. Seakan tahu di situlah tujuan mereka, Tawangalun turun dari punggung macan. Binatang gaib itu pun tiba-tiba lenyap, tak berbekas. Pahamlah Tawangalun bahwa di tempat itulah ia harus membangun negerinya. Begitulah ia kemudian membuka Hutan Sudimara. Menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Blambangan yang baru, berjuluk Macan Putih. Kisah para penguasa di Macan Putih itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Babad Tawang Alun. Tawangalun adalah moyang para penguasa di Macan Putih di tanah pedalaman Banyuwangi. Sejarawan Belanda, H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa mencatat kalau di sinilah tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 hingga ke-19. Kini sebuah desa bernama Macan Putih, di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, dikaitkan dengan kisah itu. Sri Margana dalam disertasinya Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813 menulis kalau pada 1805, beberapa puing bata masih dapat dilihat. Bekas bangunan kuno itu tadinya masih dilingkupi belantara. “Macan Putih, yang berlokasi di Dusun Malar (salah satu dusun di Desa Macan Putih, red. ), utara Rogojampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata. Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding bata besar,” catatnya. Kata Margana, puing itu bisa mengindikasikan kalau pada masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera. Banyak bangunan kota dan kuil didirikan, sebelum akhirnya dihancurkan Mataram. Penguasa Tawangalun Nama mirip dengan Tawangalun muncul dalam catatan seorang pertapa Sunda Kuno, Bujangga Manik. Pada sekira abad ke-14 atau awal abad ke-15, Bujangga Manik melakukan perjalanan melintasi Pulau Jawa dan Bali. Catatan perjalanannya dibahas J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa. Diceritakan dalam perjalanannya dari Gunung Raung, Bujangga Manik pergi ke Balungbungan. Di sana ia tinggal, melakukan tapa, hingga lebih dari setahun. Seusainya, Bujangga Manik pergi ke tepi pantai. Ia melihat sebuah kapal yang akan berlayar ke Bali. Artinya, Balungbungan letaknya tak jauh dari laut. Kata Noorduyn, Balungbungan yang tertulis di sana adalah Pelabuhan Blambangan yang ketika itu sudah terkenal. “Balambangan atau Balangbangan terletak di sebelah selatan Banyuwangi sekarang, di Teluk Pangpang,” katanya. “Pelabuhan ini tetap menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai timur Jawa sampai 1774 dan kemudian diganti menjadi Banyuwangi.” Sekembalinya dari Bali, Bujangga Manik menumpang kapal besar. Kapal itu berlayar dari Bali ke Balungbungan. Dalam perjalanan pulang itu, Bujangga Manik melewati rute sepanjang pantai selatan Jawa. Ia pun melalui Padangalun. “Sebuah nama yang jelas mengingatkan pada Tawangalun, bandingkan bahasa Jawa padang yang berartiterang, terbuka, dan tawang, yang berarti terbuka, tidak terhalang,” jelas Noorduyn. Kata sejarawan Jember Zainollah Ahmad lewat bukunya Tahta di Timur Jawa , penyebutan itu pun memperkuat dugaan kalau nama Tawangalun diambil dari nama tempat ia memerintah. “Atau mungkin sebaliknya,” kata dia. Simpang Siur Tawangalun kalau menurut de Graaf dan Pigeaud adalah tokoh setengah legenda. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Pada masanya Kerajaan Blambangan dipercaya mencapai era kedamaian dan kejayaan. Sayangnya, kata Margana, tak banyak informasi yang ditemukan dalam arsip-arsip Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) soal kondisi Blambangan pada masa Tawangalun. Kecuali tahun-tahun terakhir pemerintahannya, yakni tepat sebelum kematiannya pada 1691. Untungnya sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap tersimpan dengan baik. Dapat dilihat pada Babad Blambangan. Babad Blambangan bukanlah satu manuskrip utuh, melainkan tersusun dari beberapa babad yang ditulis pada tahun berbeda-beda. Di dalamnya terdiri dari Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Aksara yang dipakai adalah aksara Jawa, Bali, Pegon, dan Latin. “Seperti dalam babad Jawa lainnya, perhatian utama penyusun adalah mencatat peristiwa politik dan informasi silsilah tentang dinasti yang berkuasa,” jelas Margana. Dalam Babad Blambangan, nama Tawangalun memiliki urutan silsilah yang tak sama antara sumber yang satu dan lainnya. Tidak sinkronnya penyebutan nama-nama penguasa di Blambangan dan peristiwa yang terjadi membuat penyusunan silsilah menjadi semakin sulit. Dalam penelusuran Zainollah Ahmad, Tawangalun disebut sebagai anak Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung. Keratonnya di Lamajang dan Kedawung. Di atas Minak Lumpat, secara berurutan dalam silsilah, ada Minak Lampor, Minak Gadru, dan Boma Koncar. Yang teratas adalah Lembu Miruda atau Panembahan Brahma (Bromo). Disebutkan pula ada dua Tawangalun, I dan II. Ada Pangeran Kedhawung dan Mas Kembar yang disebut Tawangalun I. Lalu Minak Sumendhi disebut Susuhunan Tawangalun II. “Dalam hal ini posisi silsilah Tawangalun sama dengan yang disebutkan dalam Babad Sembar ,” katanya. Sementara berdasarkan versi Babad Tawang Alun, Tawangalun disebutkan sebagai anak dari Tanpa Una (Pangeran Kedhawung I) atau Ki Mas Kembar. Menurut versi ini hanya ada satu Tawangalun, yaitu yang disebut dengan Pangeran Kedhawung II. Sementara Mas Wila (adik Tawangalun) dikenal pula sebagai Pangeran Kedhawung III. Saat menjadi raja, Tawangalun memiliki nama Susuhunan Macan Putih dan Mas Sanepa. Mas Sanepa inilah yang kemudian memerintah Keraton Macan Putih. Gelarnya Susuhunan Gusti Prabu Tawangalun. “Padahal gelar ini biasanya dipakai oleh raja atau wali dalam tradisi Islam. Sementara Tawangalun menganut ajaran Hindu,” kata Zainollah. Babad Tawang Alun dibuat pada 1832-1841. Ditulis pada masa Suranegara menjadi bupati di Surabaya. Namun keterangan lain, yaitu menurut Winarsih Arifin dalam Babad Blambangan , menyebut kalau Babad Tawang Alun dibuat antara 1826-1827. Ditulisnya di Banyuwangi. Masa Kejayaan Sebagaimana dijelaskan dalam Babad Tawang Alun, daerah asal Tawangalun adalah Kedawung. Moyangnya adalah Ki Mas Tanpa Una. Ki Mas Tanpa Una pun bergelar Pangeran Kedawung. Pemerintahan Ki Mas Tanpa Una berlangsung sekira 1651-1665. Ia bergelar Pangeran Kedawung dengan pusat pemerintahan di Kedawung. Menurut Zainollah, kini letaknya masuk wilayah Jember. Menurut Babad Tawang Alun, dari tahun ke tahun kekuasaan Ki Mas Tanpa Una, kehidupan rakyat membaik. Muncul kemudian generasi dari Pangeran Kedawung dengan putra sulungnya Raden Mas Tawangalun (1665-1691), Mas Wils, Mas Ayu Tanjung Sekar, Mas Ayu Melok, dan Mas Ayu Gringsing Retna. Ketika Ki Mas Tanpa Una wafat, Tawangalun sang Putra Mahkota menggantiakannya sebagai penguasa Blambangan di Kedawung. Saudaranya yang termuda, Mas Wils, diberinya jabatan sebagai patih. Namun empat tahun berikutnya, ia berontak terhadap kakaknya. Tawangalun pun lari dari istana dan mengungsi ke Bayu. Tempat yang kata Margana, 100 tahun kemudian menjadi markas para pemberontak Blambangan, Rempeg atau Jagapati. Di sana Tawangalun membangun sebuah keraton baru dan mendapatkan dukungan dari rakyat Blambangan. Namun, gangguan dari adiknya tak berhenti. Enam tahun kemudian, Mas Wils membawa pasukan menyerang dan mengepung Bayu. Buntutnya, Mas Wils yang harus tewas. Pusat pemerintahan pun dipindahkan kembali. Kali ini ke Macan Putih. Sejak itu, Blambangan kian maju pesat. Kekuasaannya menyatu hingga Lumajang. Tawangalun pun menguasai seluruh Kerajaan Blambangan. Sejak abad ke-16 pengaruh eksternal di kekuasaan Blambangan semakin kuat. Hingga pada akhir abad itu, kata Sri Margana, Blambangan jatuh ke dalam kekuasaan Raja Bali Gelgel. C. Lekkerkerker pun meyakini bahwa setelah tahun 1600, raja-raja Blambangan memiliki darah Bali. Pada waktu yang bersamaan, Kesultanan Mataram mulai menunjukkan kekuatannya di Jawa Timur. Pada 1625, Sultan Agung (1613-1646) mengirim ekspedisi militer ke Blambangan. 20.000 hingga 30.000 prajurit dilibatkan. Belum lagi VOC yang kemudian menancapkan pengaruhnya di Blambangan. Makin seringlah terjadi pergolakan perebutan takhta. Sepanjang 42 tahun, sejak 1655 sampai 1697, terjadi empat kali pemberontakan dan empat kali perpindahan ibukota. “Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu pada 1655, lalu ke Macan Putih dan akhirnya ke Kutha Lateng,” jelas Zainollah. Kata dia, kuatnya pengaruh eksternal yang selalu mencampuri urusan suksesi Blambangan menyebabkan perang terus-menerus. Namun pada 1676, Tawangalun akhirnya memutuskan untuk membebaskan diri dari Mataram. “Ia menghentikan pemberian upeti serta kunjungan tahunannya ke Mataram,” kata Margana. Dalam kisah, Tawangalun dikenal memiliki wawasan luas. Ia merupakan penganut Hindu yang taat. Kendati begitu, ia tak melarang komunitas Islam berkembang. Ia hanya berkeinginan kuat untuk membendung dominasi asing yang makin kuat. Sepak terjang Tawangalun ini tercatat dalam arsip-arsip Belanda. Khususnya masa-masa terakhir kekuasaannya. Arsip Belanda misalnya mencatat prosesi pembakaran jenazah Prabu Tawangaun yang meninggal pada 1691. Proses ini juga direkam dalam Babad Blambangan. Berdasarkan penuturan babad, setelah tubuh Tawangalun dikubur di belantara Plecutan pada 1691 atau 25 hari sejak kematiannya, mayatnya dikremasi dalam sebuah acara ritual pengorbanan diri ( sati ) secara besar-besaran. Disebutkan sebanyak 271 orang dari 400 istri Tawangalun ikut bela sati. “Ia dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak istri, selir dan keturunannya yang kemudian tersebar,” kata Zainollah. Dalam waktu relatif singkat, Kerajaan Blambangan di bawah Tawangalun mencapai puncak kejayaannya. “Tampaknya, tidak ada satu hal pun yang membuat nama Tawangalun ternoda dalam pandangan rakyat Blambangan,” jelas Margana.
- Butuh Uang, Presiden Lelang Barang
Motor listrik Gesits milik Presiden Joko Widodo dilelang dalam acara konser virtual "Berbagi Kasih Bersama Bimbo" pada Minggu, 17 Mei 2020. Motor bertanda tangan Jokowi itu laku Rp2,5 miliar. Pemenangnya M. Nuh yang disebut sebagai pengusaha dari Jambi. Ternyata, setelah ditelusuri, ia adalah buruh harian lepas. Ia mengira telah menang hadiah dalam acara lelang itu. Warganet pun menyebutnya telah nge- prank Jokowi. Kejadian serupa tapi tak sama pernah dialami Presiden Sukarno. Sama-sama lelang di bulan puasa, bedanya Jokowi melelang motornya untuk warga terdampak pandemi virus corona ( Covid-19 ) sedangkan Sukarno melelang peci untuk zakat fitrah. Sukarno tak punya uang menjelang lebaran. Ia meminta bantuan orang kepercayaannya, Roeslan Abdulgani. Roeslan mulai dekat dengan Sukarno saat menjabat sekretaris jenderal Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Setelah itu, ia menjabat menteri luar negeri, wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, menteri penerangan, dan wakil perdana menteri. Roeslan disebut sebagai orang yang mampu menangkap kebijakan dan doktrin politik Sukarno, yaitu Manipol Usdek (Manifestasi Politik/UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia), untuk disampaikan kepada masyarakat. Sehingga dia dijuluki Jubir Usman (Juru Bicara Usdek Maniol). Roeslan juga mampu mendapatkan uang untuk Sukarno. Caranya dengan melelang peci bekas Sukarno. Sukarno memang bukan yang pertama memakai peci. Sebelumnya, tokoh-tokoh pergerakan telah memakainya. Namun, Sukarno-lah yang mempopulerkannya. Dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , Sukarno menyebut peci sebagai "ciri khas saya... simbol nasionalisme kami". Sukarno menunjukkannya pertama kali di usia 20 tahun dalam rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921: "…Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka." Tentu saja peci yang dipakai Sukarno sangat berharga dan pasti diminati banyak orang. Sehingga barang itulah yang diminta Roeslan dari Sukarno untuk dilelang. Roeslan menceritakan lelang itu dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno karya Kadjat Adra'i. Presiden Joko Widodo mengendarai motor listrik Gesits yang kemudian dilelang. (Twitter @jokowi). "Saya punya usul Bung," kata Roeslan. "Saya minta pecinya satu yang pernah dipakai Bung Karno untuk dilelang." "Laku berapa Cak?" tanya Sukarno. "Sudahlah, serahkan saja soal itu ke saya. Yang penting kan beres," kata Roeslan. Roeslan kemudian menyerahkan peci Sukarno itu kepada keponakannya, Anang Toyib, pengusaha peci merek Kuda Mas yang selalu dipakai Sukarno. Para pengusaha Gresik dan Surabaya antusias mengikuti lelang peci Sukarno itu. Alangkah terkejutnya Roeslan karena Anang melelang tiga peci. Biar hasil lelang dapat besar, Anang nge- prank peserta lelang. Anang berkilah seraya bertanya: "Saudara-saudara, sebenarnya hanya satu peci yang pernah dipakai BungKarno. Tetapi saya sudah tidak tahu lagi mana yang asli. Yang penting, ikhlas atau tidak?" "Ikhlaaas," sambut hadirin. "Alhamdulillah," kata Anang. Lelang tiga peci itu menghasilkan Rp10 juta. Semuanya diserahkan kepada Roeslan. Roeslan pun menanyakan kepada Anang, "Aslinya kan satu?" "Betul, yang dua itu rencananya akan saya kirimkan ke Bung Karno," jawab Anang. "Tetapi kok semuanya jelek, Nang?" tanya Roeslan. "Memang saya bikin supaya kelihatan jelek," kata Anang. "Peci itu saya ludahi, saya kasih air, saya kasih minyak, pokoknya agar peci-peci itu sudah pernah dipakai Bung Karno." Roeslan menceritakan kelakuan Anang itu kepada Sukarno. "Kurang ajar Anang," kata Sukarno sambil tertawa. "Kalau begitu, yang berdosa saya atau Anang, Cak?" "Ya, Anang," jawab Roeslan. "Kalau begitu biarin aja," kata Sukarno. Sukarno memberi tahu Roeslan bahwa uang itu untuk zakat fitrah. Ia menyuruh Roeslan membagikannya kepada orang-orang miskin di makam Sunan Giri. Kumpulan tulisan Hendri F. Isnaeni bisa dibaca di sini .
- Lebaran Bersama Gajah Oling
DIIRINGI dentuman musik, puluhan peragawan dan peragawati melenggang di catwalk . Para model membawakan busana batik hasil kolaborasi puluhan desainer lokal dan nasional dengan para pembatik lokal Banyuwangi. Karya-karya menarik disuguhkan, dari yang bergaya kasual, busana kerja, hingga busana pesta. Ribuan penonton antusias menyaksikan pagelaran puncak Banyuwangi Batik Festival 2019, yang digelar di Gelanggang Seni Budaya, Taman Blambangan, Banyuwangi, akhir November tahun lalu. Salah satu yang ditunggu adalah penampilan karya-karya Samuel Wattimena, perancang busana nasional yang dikenal suka mengangkat kain Nusantara. Samuel membawakan 10 desain rancangannya yang memadukan kain Nusantara seperti lurik dan tenun dengan batik motif blarak sempal khas Banyuwangi. “Saya kagun kepada Banyuwangi yang memberi ajang luas bagi desainer lokal. Pengemasannya juga tematik sesuai motif-motif lokal. Ini berarti Banyuwangi punya kesadaran untuk memaksimalkan potensi batiknya,” ujar Samuel dalam laman Pemkab Banyuwangi. Blarak sempal adalah salah satu motif batik khas Banyuwangi. Dalam bahasa Osing, blarak sempal berarti daun kelapa kering yang jatuh. Sesuai namanya, motif batik ini menyerupai daun kelapa tua dengan bentuk garis-garis miring yang tersusun berbanjar dan saling berlawanan. Tahun ini blarak sempal dijadikan tema event tahunan Banyuwangi Batik Festival. Banyuwangi Batik Festival rutin digelar sejak 2013. Temanya berlainan setiap tahun, sesuai motif batik yang ingin ditampilkan dan diperkenalkan. Dimulai dari gajah oling , kangkung setingekas , paras gempal , sekar jagat , kopi pecah , gendhegan , hingga tahun lalu blarak sempal . Motif Legendaris Motif batik Banyuwangi punya banyak ragam. Setidaknya ada 22 motif batik yang tersimpan di Museum Budaya Banyuwangi. Jumlah itu belum termasuk beberapa motif batik yang belum diberi nama. Dari sekian banyak motif batik, yang paling tua dan legendaris adalah gajah oling . Batik Banyuwangi memiliki akar tradisi dari zaman Majapahit dan Mataram Islam. Dalam perkembangannya, muncul kesadaran untuk menetapkan tradisi membatik sendiri sebagai sebuah identitas budaya. Lahirlah motif batik khas Banyuwangi. Menariknya, menurut budayawan Banyuwangi Aekanu Hariyono, keterpengaruhan unsur Mataram atau Bali pada motif Banyuwangi tidak terlalu terlihat. Ini berbeda dari batik Madura maupun batik Jawa Timur lainnya yang tampak adanya pengaruh Mataram. “Menurut saya batik Banyuwangi, termasuk gajah oling , telah ada sebelumnya. Bahkan mendapat pengaruh peradaban zaman Majapahit. Lihat saja batik berupa selendang. Orang Osing menyebut selendang juwono . Ini adalah motif yang dibuat oleh Induwati, seorang pembatik keraton yang keluar dan bersembunyi di Juwono, pesisir utara pulau Jawa, dengan tetap membatik. Selendang juwono dipakai Seblang Olehsari sekitar tahun 1930-an,” ujar Aekanu, yang juga menulis buku Barong Jakripah dan Paman Iris . kepada Historia . Aekanu melanjutkan, bagi orang Osing, selendang juwono dianggap punya kekuatan magis sehingga kerap digunakan dalam ritual dan penyembuhan orang sakit. Motif ini mendapat pengaruh Cina karena ornamen hiasnya terlihat jelas ada hewan mitologi. Ada yang menyebut motif ini lok can . Orang Osing menolak disebut sebagai orang Jawa atau Bali. Mereka memiliki identitas budaya sendiri. Salah satunya tercermin dalam motif batiknya. Batik Osing terbuka untuk berbagai pengaruh, tapi tidak menerima begitu saja. Hibridisasi berbagai budaya ini membuat lembaran batik Banyuwangi tampak percaya diri. Menurut Ikhwanul Qiram dalam Batik Banyuwangi: Aesthetic and Technical Comparison of Coastal Batik , dimuat jurnal Lekesan , Oktober 2018, batik bagi masyarakat Osing bukan hanya kain atau pakaian. Mereka memiliki apresiasi dan rasa hormat mendalam terhadap batik, terutama saat Hari Lebaran. Batik ditempatkan sebagai warisan pusaka leluhur yang dijaga dengan sepenuh hati dan Lebaran menjadi puncak merayakan kemuliaan batik sebagai representasi dari kehadiran leluhur. “Beberapa warga Kemiren bahkan punya kebiasaan menyimpan kain batiknya dalam toples kaca supaya tetap awet dan tidak dimakan ngengat. Hampir semua warga Kemiren memiliki koleksi batik tulis klasik warisan keluarga. Batik itu biasanya dikenakan sebagai sewek atau kain panjang pada acara-acara tertentu seperti Idul Fitri, pernikahan, atau acara tradisi lainnya,” ujar Ikhwanul Qiram, pengajar Universitas PGRI Banyuwangi, kepada Historia . Mbah Sum, pembatik tertua di Banyuwangi, memegang lembaran batik Gajah Oling. (Koleksi Aekanu Hariyono). Khas Banyuwangi Batik Banyuwangi memiliki karakteristik warna, yang cenderung kontras. Kombinasi warna itu menggambarkan keragaman hidup dan lingkungan alami. Karakteristiknya sangat berbeda dibandingkan batik lain dari daerah pesisir Jawa Timur. Salah satu ciri khas batik Banyuwangi dapat ditemukan pada motif gajah oling . “Motif batik gajah oling , yang dipromosikan sebagai khas Banyuwangi oleh Departemen Perindustrian Banyuwangi sejak 1981, pada 1986 telah menjadi bahan favorit untuk kemeja dan kain pinggang yang dikenakan pada acara-acara resmi,” tulis Bernard Arps dalam “Osing Kids and the banners of Blambangan”, dimuat jurnal Wacana , April 2009. Gajah oling melambangkan bentuk kekuatan yang tumbuh dalam identitas masyarakat. Motif ini berlatar putih, tampak sakral dengan ornamen hias yang menonjol berupa stilir belalai gajah melengkung ke kiri dan menyerupai tanda tanya, manggar, melati, daun dilem. Kemudian isen-isen berupa kupu-kupu dan lung-lungan . Semua ornamen terlihat sederhana tapi artistik dan esensi yang begitu dalam tiap ornamen memiliki makna tersendiri. “Ornamen manggar atau bunga kelapa agar jadi manusia seperti kelapa yang semua bagiannya memiliki manfaat. Ornamen bunga melati, warnanya putih dan harum, esensinya manusia harus jujur, jauh dari rasa iri, dan semua tingkah laku yang baik itu akan terpancar keluar bila dilakukan dengan tulus. Ornamen hias daun dilem dulu digunakan mencuci pakaian, berbau harum walau daunnya sampai kering, artinya jadilah manusia yang meninggalkan nama harum,” ujar Aekanu. Selain itu, motif gajah oling berkaitan erat dengan karakter masyarakat Banyuwangi yang religius dan selalu ingat ( eling ) Kemahabesaran Allah SWT (disimbolkan dengan gajah sebagai hewan yang besar). Masyarakat Osing kerap menggunakan jarik motif gajah oling untuk menenangkan bayi yang rewel atau agar tak diganggu makhluk halus. Selain sebagai motif pada kain, motif ini juga dijadikan ornamen pahatan dan ukir kayu di rumah adat Osing dan Masjid Agung Baitturahman Banyuwangi. Ikhwanul Qiram, yang melakukan penelitian soal batik Banyuwangi, menerangkan bahwa upaya melestarikan budaya leluhur ini membuat pasar batik klasik Banyuwangi tidak pernah mati. Warga Osing sangat fanatik pada batik klasik buatan Temenggungan. Warga yang kurang mampu mengadakan arisan batik. Mereka rela menunggu berbulan-bulan untuk memiliki selembar kain batik tulis halus seharga 1-2 juta rupiah. Selain kain panjang, banyak juga yang memesan sepasang sarung dan kainnya seharga Rp 4 juta. “Bahkan, mereka rela membayar mahal untuk selembar batik klasik kuno yang ada cacatnya (berlubang) dalam proses pembuatan. Nilai dan keindahan yang terlukis dalam selembar kain itu tidak bisa dinilai dengan rupiah. Kepuasan karena memilikinya lebih berharga,” ujar Ikhwanul. Batik Banyuwangi mulai bergeliat kembali sekitar tahun 1980-an setelah Pemkab Banyuwangi memberi pelatihan kepada beberapa individu yang tertarik menggeluti batik, khususnya di Temenggungan. Temenggungan, sebuah kelurahan di wilayah Kecamatan Banyuwangi, dikenal sebagai sentral industri batik sejak 1950-an. Materi yang diberikan mulai teknik membatik, pewarnaan alami, desain busana, kemasan dan branding , pengelolaan limbah, hingga pemasaran digital. Pelatihan itu membuahkan beberapa usaha batik baru di Temenggungan, seperti Sritanjung dan Sayu Wiwit. Usaha batik lalu berkembang pula di wilayah lainnya. Pagelaran Banyuwangi Batik Festival tentu kian membuat jumlah pengrajin batik di Banyuwangi meningkat. “Festival ini bukan cuma soal menampilkan batik di panggung, tapi instrumen menggerakkan partisipasi masyarakat dan menumbuhkan kewirausahaan batik hingga pelosok desa,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas .
- Roem: Tidak Ada Waktu Membenci Sukarno
Periode 1960-an merupakan tahun-tahun terberat bagi perpolitikan Indonesia. Perubahan sikap Presiden Sukarno yang dianggap menjadi penyebabnya. Gelombang kehancuran pun begitu kentara saat pemerintah mulai menutup diri dari berbagai kritik. Juga saat mereka semakin reaktif terhadap berbagai tindakan yang dinilai bertentangan dengan kebijakan sang pemangku kekuasaan. Akibatnya, pada 1962, enam orang tokoh penting tersingkir dan dipenjarakan. Sebagian dari mereka adalah kawan yang pernah berjuang bersama Sukarno semasa kemerdekaan, yakni: Sutan Sjahrir, Prawoto, Mohammad Roem, Subadio Sastrosatomo, Anak Agung Gde Agung, dan Sultan Hamid. Bagi Roem, diceritakan dalam Bunga Rampai dari Sejarah , penangkapan tersebut cukup membuat ia dan kawan-kawannya tertekan. “Alasannya karena menurut “logika revolusi” harus ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Karena kami tidak dapat dipandang sebagai kawan maka kami dianggap musuh. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!” tegas Roem. Selama di balik jeruji, para tahanan politik ini ditempatkan di dalam blok yang sama. Ikatan emoisonal pun semakin terbangun di antara mereka. Satu sama lain sudah saling mengenal sifat-sifat, serta kebiasaan kawan senasibnya ini. Dan di antara semuanya, Roem cukup tertarik dengan kebiasaan Subadio yang beraktifitas pada pukul 12 malam. Bermodalkan rasa penasaran, Roem memberanikan diri bertanya kepada Subadio. Tokoh PSI (Partai Sosialis Indonesia) itu lalu bercerita bahwa dia diberi pesan oleh ibunya agar jangan tidur sebelum jam 12 malam, atau jika sesuatu membuatnya terpaksa harus tidur, dia diminta untuk bangun meski hanya sebentar. Kemudian di luar kamar tidur, Subadio diminta untuk “memohon kepada Tuhan agar dosa Sukarno dimaafkan”. Roem terperangah. Hampir tidak ada komentar yang keluar dari mulutnya saat Subadio berkata demikian. Dia tidak menyangka kawannya ini memiliki pandangan hidup seperti itu, mengingat sikap Sukarno kepadanya. Roem juga menyaksikan sendiri ucapannya bukan hanya sebatas di mulut saja, setiap malam Subadio benar-benar melaksanakan pesan sang ibu. Meski hanya sebuah kalimat sederhana, pesan ibu Subadio terukir begitu dalam di ingatan Roem. “Subadio seorang yang berbahagia, meskipun sudah matang dan dewasa, masih mempunyai seorang ibu, yang memberikan pandangan hidup. Tentu Subadio sendiri setuju, dalam pada itu sesuatu “pengasih” dari ibu, mempunyai nilai lebih, dari pada kalau sikap hidup itu hasil pemikiran sendiri,” ungkap Roem. Suatu hari dia berkesempatan bertemu ibu Subadio saat kunjungan ke penjara. Keduanya sempat saling menyapa dan berbincang. Selain pemikirannya, kepribadian ibu Subadio juga rupanya membuat Roem terkesan. Berbagai pertanyaan seketika timbul dibenaknya: apakah ibu Subadio memang tidak membenci Sukarno? atau Mengapa dia meminta putranya memohon kepada Tuhan agar dosa Sukarno dimaafkan? “Kesimpulan penulis, ialah bahwa Ibu Sastrosatomo (Subadio) tidak membela Sukarno, tapi prihati dan berusaha agar putranya jangan dihinggapi penyakit benci Sukarno. Dan kalimat yang ia berikan kepada putranya itu merupakan suatu latihan mental yang dikerjakan tiap hari, yang menurut penulis efeknya akan tepat,” tulis Roem. Lantas bagaimana dengan sikap Roem? Baginya ucapan ibu Subadio sangat menolongnya. Dia jadi sungguh-sungguh memikirkan kebenciannya kepada Sukarno, dan mempertimbangkan agar tidak membenci Sukarno atas segala dosa yang dibuatnya. Sebab kebencian, kata Roem, tidak memberi manfaat apapun. Tapi dia tidak mungkin bisa bersikap sejauh ibu Subadio di dalam memandang sosok Sukarno. Terkesan Tidak Membenci Pada Agustus 1967, Roem berangkat ke Belanda. Setiba di Bandara Schiphol, Amsterdam, sejumlah wartawan telah menunggu kedatangan Roem. Mereka ingin meminta kabar terkini soal Indonesia dari sang diplomat. Terutama tentang perubahan situasi politik yang sedang terjadi di Tanah Air, dan kondisi Sukarno di dalam negeri. Setelah selesai memberi keterangan pers, Roem pamit melanjutkan perjalanannya. Ketika akan beranjak, seorang wartawan melontarkan pertanyaan yang menohok. “Tuan Roem, mengapa anda tidak membenci Sukarno?” tanyanya. Roem terdiam. Dia sama sekali tidak ingin menceritakan kepada wartawan itu bahwa seorang perempuan yang bijaksana telah memberkati pikirannya dengan falsafah yang sangat baik. Sambil berpura-pura heran, Roem berbalik melontarkan pertanyaan. “Siapa bilang saya tidak membenci Sukarno? Saya sudah ditahan 4 tahun 4 bulan, tanpa diadili,” pungkas Roem. “Anda menjawab berbagai-bagai pertanyaan tentang Sukarno, dan tidak ada gejala-gejalanya bahwa anda membenci Sukarno,” jawab si wartawan. Karena sesi wawancara memang sudah selesai, dan beberapa kawan yang menjemput sudah lama menunggu, Roem segera mengakhiri percakapan itu. Sambil tertawa dia mengatakan: “Oh, saya tidak punya waktu untuk membenci Sukarno”. Para wartawan tertawa dan mereka berpisah.
- Ali Sadikin Menutup Jakarta
MENJELANG lebaran, warga Jakarta kembali memenuhi ruang publik. Sempat viral ketika warga turun beramai-ramai menyaksikan drama penutupan sebuah waralaba makanan cepat saji di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Belakangan ini, warga bahkan tumpah ke beberapa pusat perbelanjaan yang kembali dibuka. Salah satunya, Pasar Tanah Abang yang merupakan sentra tekstil di ibu kota. Padahal, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19 masih berlaku. Ketidakpatuhan ini membuat tenaga medis yang berjuang di garda depan seakan percuma. Di masa pandemi seperti sekarang, berkumpul di keramaian kian memperbesar potensi penyebaran dan penularan virus. Buntut kekecewaan mereka kemudian memunculkan gerakan “Indonesia? Terserah!” ≠sukasukakaliansaja. Bila menengok kembali ke rumah sejarah, warga Jakarta memang sulit untuk dikendalikan. Perkara serupa juga pernah dialami Ali Sadikin, gubernur terbaik yang pernah memimpin kota Jakarta. Bang Ali –demikian Ali Sadikin disapa– menjabat pada periode 1966–1977. Pada 1970, Bang Ali memberlakukan kebijakan “Jakarta sebagai Kota Tertutup”. Menjadikan Jakarta sebagai Kota Tertutup merupakan upaya untuk mengatur dan mengurangi laju perkembangan penduduk Jakarta. Kebijakan itu kemudian diatur dalam Surat Keputusan Gubernur No lb.3/1/27/1970. Di dalamnya disebutkan Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang baru dari daerah lain. Ketika diberlakukan, kebijakan Ali Sadikin “menutup Jakarta” cukup mengejutkan publik. Peraturan menetapkan bahwa semua warga harus memiliki kartu tanda penduduk. Hanya mereka yang dapat membuktikan identitas sebagai penduduk tetaplah yang diizinkan menetap di Jakarta. “Tim-tim keamanan sering melakukan razia untuk mengumpulkan para imigran ilegal yang kemudian dikembalikan ke daerah asal mereka,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun . Operasi kependudukan ini kerap didukung dengan operasi pembersihan jalan. Biasanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan. Misalnya, tukang becak dan pedagang keliling. Sejarawan Universitas Indonesia, Tri Wahyuning M. Irsyam mencatat, jumlah penduduk pada saat Ali Sadikin diangkat sebagai gubernur adalah 3.639.465 jiwa. Jumlah tersebut meningkat pada akhir periode pertama Bang Ali (1972), yaitu 4.755.279 jiwa. Pada akhir masa jabatannya yang kedua (1977), jumlah penduduk Jakarta telah mencapai 5.925.417 jiwa. Jika ditelusuri lebih lanjut, tampak bahwa penduduk Jakarta sebagian besar berasal dari luar Jakarta. “Dari data tersebut tampak bahwa Kebijakan Jakarta sebagai Kota Tertutup tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” tulis Tri Wahyuning dalam disertasinya yang dibukukan Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950 – 1990. Di tengah jalan, Ali Sadikin kalah lihai dari warganya. Gagasannya menjadikan Jakarta kota tertutup tidak kesampaian. Penyebab kegagalan Bang Ali, sebagaimana dalam penelitian Susan Blakckburn yang menyebutkan terjadi praktik pemalsuan kartu tanda penduduk. Selain lumrahnya pemalsuan identitas, banyak penduduk Jakarta yang menyembunyikan pendatang “gelap”. Para imigran tanpa identitas ini tidak terdeteksi oleh aparatur pemerintah DKI Jakarta. Sementara itu, menurut Ian Wilson dalam Politik Jatah Preman , lonjakan ekonomi pada 1970-an ditandingi oleh gelombang migrasi terus-menerus yang membuat populasi ibu kota terus meningkat. Ali Sadikin pada akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan. Populasi warga Jakarta menjadi sangat besar dan terus bertambah. Dalam perkembangannya, para penerus Ali Sadikin juga tetap berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk. “Sayangnya, sejauh ini tidak ada yang berhasil” kata budayawan Betawi Alwi Shahab dalam Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe “Bahkan, penduduk Ibu Kota kini membengkak lebih dari 10 juta jiwa.”*
- Sukarno dan Islam
Siapa meragukan ke-Islaman Sukarno? Sedari muda akrab dengan Ahmad Hassan dari Persis, pernah akan syahid ketika salat Idul Adha, dan naik haji setelah sukses melaksanakan Konferensi Asia Afrika
- Henk Sneevliet yang Ulet
Peletak dasar komunisme di Hindia Belanda dan dihukum mati oleh NAZI.
- Silakan, Ini Sejarah Satpam
Suwandi, satpam BNI di Kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, mendapat penghargaan dari Plt. Bupati Jepara, Dian Kristiandi, karena telah bersikap tegas terhadap seorang laki-laki tidak bermasker yang ingin masuk ke bilik ATM. Video aksi Suwandi itu viral di sosial media. Sebelumnya, satpam BCA menjadi trending topic . Akun @BanyuSadewa yang mengawalinya dengan cuitan disertai unggahan foto satpam BCA: "Cowok berseragam paling baik, ramah dan perhatian itu pokoknya cuman Satpam BCA!" Baca juga: (R)evolusi ATM BCA Karena menyinggung orang berseragam, cuitan itu agaknya terkait video viral sebelumnya, yaitu seorang anggota polisi, Bripda GAP, yang berkata: "Pacar kamu ganteng? Kaya? Bisa gini ga? (mengokang senjata)." Akibatnya, Bripda GAP diperiksa Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya. Tak terima telah di-viralkan, Bripda GAP melaporkan akun @kapansarjana_ yang mengunggah video pertama kali, ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya. Barangkali belum banyak yang tahu kalau sejarah Satpam berhubungan dengan kepolisian. Pendirinya adalah Kapolri Jenderal Polisi Awaloedin Djamin yang menjabat 1978–1982. Gagasannya berawal dari keterbatasan jumlah polisi dalam menjaga keamanan. "Awaloedin Djamin berpikiran bahwa polisi yang jumlahnya terbatas tidak mungkin menjaga daerah pertokoan dan perkantoran. Maka ia mengusulkan adanya Satpam (satuan pengamanan) yang dibiayai oleh kantor tertentu namun latihan dasarnya diberikan oleh pihak kepolisian," tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah . Baca juga: Jenderal Polisi (Purn) Awaloedin Djamin: Soekanto Bapak Polisi Kita Dalam memoarnya, Pengalaman Seorang Perwira Polri , Awaloedin Djamin menjelaskan, untuk menggalang partisipasi masyarakat, Polri dengan dukungan Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) mencanangkan sistem Kamtibmas Swakarsa termasuk keamanan lingkungan (Siskamling). “Pola ini saya susun dengan jelas, untuk daerah pedesaan dan daerah perkotaan, untuk kawasan permukiman dan lingkungan usaha serta perkantoran," kata Awaloedin. Kapolri Letjen Polisi Awaloedin Djamin menerima kunjungan kehormatan Kepala Kepolisian Filipina Mayjen Fidel V Ramos (kiri), Desember 1979. (Wikipedia/Dok. Kompas /Dinas Penerangan Polri). Setelah penelitian dan studi perbandingan, Awaloedin mengeluarkan Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: SKEP/126/XII/1980 tanggal 30 Desember 1980 tentang Pola Pembinaan Satpam. "Saya bentuk Satpam (satuan pengamanan), terjemahan dari security guards ," kata Awaloedin. "Lahirnya Satpam ini tidak begitu mulus. Sebelumnya, sudah ada beberapa perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengamanan, yang umumnya dipimpin oleh purnawirawan Pati ABRI." Awaloedin menetapkan Satpam merupakan tanggung jawab perusahaan atau instansi yang bersangkutan, serta didaftar, dilatih, dan dibina oleh Polri. Bagi Awaloedin, pembentukan Satpam juga untuk menghindari pengalaman yang terjadi di negara lain. "Di Jepang misalnya, terdapat Yakuza yang memaksakan perlindungan bagi pengusaha-pengusaha. Demikian pula permulaan mafia di Amerika Serikat," kata Awaloedin. Baca juga: Nick Zapetti Raja Mafia Amerika di Jepang Pada tahap persiapan, dalam suatu acara di Mabak (Markas Besar Angkatan Kepolisian), Kepala Perbekalan Umum Brigjen Polisi Drs. Basiroen Nugroho, memperagakan berbagai contoh seragam Satpam. Awaloedin memutuskan seragam Satpam: biru-biru untuk lapangan dan biru-putih untuk lingkungan gedung perusahaan. Pada lengan harus ditempeli nama perusahaan dan wilayah Polri tempatnya bertugas. Segera setelah Surat Keputusan Kapolri keluar jumlah anggota Satpam meningkat menjadi 30.000 di seluruh Indonesia. Wadah profesi Satpam, Asosiasi Manajer Sekuriti Indonesia (AMSI), terbentuk pada 9 Juli 2001 di Jakarta. Dalam perkembangannya, AMSI berubah menjadi Asosiasi Profesi Sekuriti Indonesia (APSI) pada 1 November 2018. Pada hari ulang tahun Satpam yang ke-13 tanggal 30 Desember 1993, dalam suatu acara di Mabak, Kapolri Letjen Polisi Drs. Banurusman mengukuhkan Awaloedin Djamin sebagai Bapak Satpam Indonesia. Awaloedin Djamin meninggal dunia pada 31 Januari 2019.
- Ironi Pendiri McDonald's dalam The Founder
SAMBIL menggendong mixer atau pengaduk otomatis milkshake nan berat, Ray Kroc (diperankan Michael Keaton) berusaha “menjahit” kata-katanya demi meyakinkan seorang pemilik restoran drive-in agar mau membeli alat dagangannya itu. Semua jurus bujuk rayunya sebagai salesman senior pun dikerahkannya. Sial, mixer bermerk White Castle-nya itu tak jua laku. Silat lidah Kroc menjajakan mixer itu mentah oleh beberapa pemilik restoran di Negara Bagian Illnois. Di medio 1951 itu, alat yang dijajakan Kroc belum familiar digunakan restoran-restoran drive-in . Alhasil Kroc selalu pulang dengan langkah gontai dan pikiran kusut. Namun, suatu hari, Kroc mendapat telepon dari Richard ‘Dick’ McDonald (Nick Offerman), pengusaha restoran cepat saji di San Bernardino, California. Di ujung telepon, Dick memesan enam mixer sekaligus minta diantarkan langsung ke tempatnya. Kroc sempat ragu, namun akhirnya ia pun mencoba peruntungannya membawa sendiri alat-alat itu. Tak disangka, perjalanan darat sejauh hampir dua ribu mil melewati lima negara bagian itu bakal mengubah masa depannya. Lewat adegan-adegan itulah sutradara John Lee Hancock membuka film biopik bertajuk The Founder . Film ini mengisahkan bagaimana “kerajaan” franchise McDonald’s bermula dari sekadar restoran kecil di pesisir barat Amerika Serikat. Michael Keaton (kanan) memerankan sosok Roy Kroc, visioner yang membawa McDonald's mengglobal (Foto: britannica.com/IMDb ) Bermula dari pesanan mixer untuk milkshake itulah Kroc berkenalan dengan dua bersaudara: Dick dan Maurice ‘Mac’ McDonald (John Carroll Lynch). Kroc terkesima dengan cara restoran hamburger seharga 15 sen dolar itu beroperasi. Tidak hanya soal cita rasa burger yang ia jajal, namun juga dengan kecepatan penyajian pesanannya. Tak pernah ia melihat restoran dengan sajian pesanan secepat 30 detik di manapun, apalagi jika membandingkan dengan restoran-restoran drive-in yang ditemui Kroc sebelumnya. Sudah lelet penyajiannya, sering tak sesuai pesanannya pula. Kroc yang terkagum-kagum, diajak tur operasional restoran McDonald’s itu. Ia mendapati rahasianya, yakni efisiensi yang ditopang dua faktor: Pertama , menu sederhana di mana McDonald’s hanya menyajikan burger, kentang goreng, dan soft drink . Hal itu berpengaruh juga pada faktor Kedua , yakni “Speedee Service System” atau sistem operasional ekstra cepat. Jadi kalaupun konsumennya mengular, mereka tak perlu menunggu lama karena punya standar pelayanan berdurasi 30 detik per pesanan. Kroc lantas mengajukan ide agar McDonald’s membuka franchise. Tetapi ide itu ternyata sudah pernah dijalankan Dick dan Mac yang berujung kegagalan. Perkara utamanya adalah quality control . Tetapi Kroc tak menyerah. Ia mengaku punya solusi untuk itu. Kroc bahkan rela menggadaikan rumahnya untuk memodali franchise McDonald’s lewat perjanjian hitam di atas putih dengan Dick dan Mac. Adegan Ray Kroc (tengah) meyakinkan Dick dan Mac McDonald untuk mau membuka franchise McDonald's (Foto: IMDb) Bagaimana kelanjutannya? Seperti apa intrik-intrik culas namun sukses yang dilakoni Kroc hingga franchise McDonald’s berkembang pesat tak hanya karena bisnis kuliner tapi juga properti? Jauh lebih asik Anda tonton sendiri The Founder, yang sebetulnya sudah rilis pada 20 Januari 2017 namun hanya bisa disimak sebagai tontonan di rumah akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) imbas pandemi corona , di layanan daring berbayar Netflix dan CATCHPLAY+ . The Founder bisa jadi suguhan pas untuk memuaskan diri tanpa harus melanggar PSBB. Tak hanya memanjakan dengan suasana era 1960-an sebagai latarbelakang, The Founder juga cermat menyajikan set gambar dan properti yang detail. Lebih jauh, iringan music scoring retro Carter Burwell juga membangkitkan nostalgia. Dari Kedai Hotdog hingga Kerajaan Fast Food Nostalgia serupa, meski berwajah beda, yang dirasakan ratusan pelanggan setia McDonald’s Sarinah saat membuat kehebohan dengan seremoni penutupan McD tertua itu pada 10 Mei 2020, tak peduli di ibukota tengah diberlakukan PSBB. Hampir setiap pelanggan punya kenangan masing-masing. Alhasil, pengelola outlet McDonald’s pertama yang beroperasi sejak 14 Februari 1991 itu didenda Rp10 juta karena melanggar Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam penanganan COVID-19. Outlet McDonald's di Sarinah, Thamrin, Jakarta yang tutup per 10 Mei 2020 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Yang tak disajikan secara mendetail The Founder adalah bagaimana dua bersaudara Dick dan Mac McDonald pontang-panting membangun restoran fast food kondang itu dari nol. Mengutip Marcia Chatelain dalam Franchise: The Golden Arches in Black America , bisnis kuliner dua bersaudara itu merupakan warisan dari ayahnya, Patrick McDonald sejak 1937. “Patrick McDonald membuka kedai ‘The Airdrome’ dekat Bandara Monrovia, California sejak 1937. Ia menyajikan paketan hotdog dan jus jeruk yang dibanderol 10 sen. Menu burger jadi tambahan dalam paketan senilai sama di kemudian hari,” tulis Chatelain. Tiga tahun berselang, bisnis itu diwariskan kepada Dick dan Mac yang kemudian mengumpulkan modal untuk membangun sebuah restoran barbecue. Dick dan Mac memulainya pada 1940 di San Bernardino, California dengan restoran bernama “McDonald’s Bar-B-Que” dengan 25 pilihan menu. Dua pendiri McDonald's, Dick dan Mac McDonald (Foto: allardrealestate.com ) Restoran itu kurang moncer dan baru pada Oktober 1948 Dick dan Mac menyadari bahwa mereka terlalu banyak menyajikan pilihan menu sehingga berimbas pada terbuangnya bahan-bahan baku sejumlah menu yang tak laku. Selain itu, lamanya waktu penyajian bikin para pelanggan tak sabar. “Pada 1948 itulah McDonald bersadara menyadari bahwa ternyata produk mereka yang paling laris hanya menu burger. Mereka juga mengubah konsep restorannya dari restoran drive-in atau carhops menjadi restoran cepat saji dengan model ‘Speedee Service System’,” ungkap Quentin R. Skrabec dalam The 100 Most Significant Events in American Business: An Encyclopedia. “Sistem servis itu membatasi menu hanya berupa burger, kentang goreng, susu kocok dan soft drinks. Mereka meminjam sistem cepat saji itu dari pionir yang juga pemilik resto cepat saji White Castle, Walter Anderson. Tetapi McDonald’s bersaudara mendesain ulang dapur mereka yang sama sekali berbeda dari White Castle untuk mendongkrak kecepatan dalam hal persiapan pesanan,” lanjutnya. Resto fast food McDonald's pertama di San Bernardino beroperasi pada 1948-1955 (kiri) & outlet pertama di luar negeri, tepatnya di Richmond, Kanada yang hadir pada Juni 1967 (Foto: mcdonalds.com ) Setelah berkenalan dan bekerjasama dengan Kroc pada 1951, resto cepat saji itu mulai diglobalkan. Kroc juga memasukkan McD ke pasar saham sehingga dia bisa lebih leluasa mencari investor. Lewat sejumlah program pemasaran yang ia buat, McDonald’s sudah punya 100 outlet di dalam negeri pada 1959. “Pertumbuhan demografi di sejumlah kawasan pinggiran kota juga jadi faktor yang membantu franchise McDonald’s. Namun di sisi lain, Kroc dan McDonald bersaudara mulai berselisih sampai pada 1961 Kroc berhasil memaksa McDonald bersaudara menjual hak franchise-nya senilai USD2,7 juta,” imbuhnya. Setelah jual-beli di atas kertas itu, Kroc bersaing dengan McDonald bersaudara. Kroc dengan cepat membenamkan bisnis mereka. Resto McDonald’s di San Bernardino yang didirikan McDonald bersaudara, tak lagi jadi resto nomor satu. Kroc mengklaim resto McDonald yang ia dirikan di Des Plaines, Illnois pada April 1955 sebagai resto nomor satunya, yang tetap mempertahankan nama franchise McDonald’s-nya. “Namanya tetap akan jadi milik mereka dan saya yakin 100 persen nama itu sangat mudah untuk dipromosikan. Buat saya, rasanya nama itu catchy buat publik. Saya juga punya intuisi yang kuat bahwa nama McDonald’s sudah sangat pas. Saya tak bisa menggantinya,” aku Kroc dalam bukunya, Grinding It Out: The Making of McDonald’s. Cetak biru bangunan resto dengan model "The Golden Arches" yang menginspirasi logo McDonald's saat ini (Foto: mcdonald's.com) Soal logo, mulanya McDonald’s menggunakan ilustrasi kartun seorang koki yang wajahnya mirip Mac McDonald tengah memegang papan harga “15¢”. Pada 1962, logo itu digantikan logo baru berupa sepasang gerbang lengkung emas (The Golden Arches) yang bersinggungan hingga membentuk huruf “M”. “The Golden Arches” sejatinya bermula dari cetak biru desain gedung baru rancangan Dick McDonald, namun belum kesampaian, termasuk ketika mereka berkenalan dengan Kroc pada 1951. Desain itu pertamakali digunakan pada bangunan franchise McDonald’s di Phoenix, Arizona pada Mei 1953. Ketika Fred Turner, bawahan Kroc, diperintah mengerjakan desain baru pada 1962, ia membuat sketsa berbentuk huruf “V”. Sketsa itu lalu disempurnakan Jim Schindler, kepala Teknisi dan Desain McDonald’s Corporation, dengan menambahkan dua garis sehingga membentuk huruf “M” sebagaimana yang digunakan hingga zaman kiwari. Ronald McDonald, maskot kondang yang dicintai jutaan "umat" pelanggan McD (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Hal terakhir yang membuat McDonald’s mengglobal adalah maskotnya, Ronald McDonald. Maskot itu berupa badut ramah berambut merah dan mengenakan kaos bergaris putih-merah dibalut jumpsuit kuning. Sebagai penguat identitas selain logo “M”, patung Ronald wajib dihadirkan di setiap franchise McD. Meski Ronald sering tampil ditemani maskot lain seperti The Hamburglar, Mayor McCheese, Birdie the Early Bird, dan The Fry Kids, karakter Ronaldlah yang diakui paling merepresentasikan McDonald’s. Ronald bahkan jadi karakter kedua yang paling dikenal anak-anak di Amerika setelah Sinterklas. Ronald diklaim sebagai ciptaan Willard Scott. Ia presenter radio asal Washington DC yang juga acap nongol sebagai performer program anak-anak “Bozo the Clown” di WRC-TV . Dalam otobiografinya, Joy of Living , Scott sebagai badut Bozo sering diminta tampil di iklan pada tiga televisi yang dipasang franchise McDonald’s area Washington DC milik Oscar Goldstein. “Saat itu saya sedang terkenal sebagai Bozo tapi kemudian saya merasa ada sesuatu tentang kombinasi antara hamburger dan Bozo yang menarik perhatian anak-anak. Kemudian manajemen lokal McDonald’s ( franchise Washington DC) minta saya membuat karakter baru untuk menggantikan Bozo. Jadi saya duduk di meja untuk mendesain ulang hingga menciptakan Ronald McDonald, si badut hamburger yang bahagia sejak 1963,” tandasnya.
- Ketika Timnas Primavera Puasa di Italia
MENYUSUL Bundesliga Jerman, tiga liga top Eropa lain bakal menggelar kick off lagi terlepas belum sirnanya pandemi virus corona. Di sisi lain, perkara klasik bagi para pemain Muslim kembali muncul, yakni pilihan antara mempertahankan puasa atau memilih profesionalitas. Pengalaman seperti itu pernah dialami Yeyen Tumena, eks bek timnas, PSM Makassar, Persebaya, dan Persma Manado. “Saya mengalaminya langsung mulai dari Primavera ya. Sebagian besar anak-anak (Timnas Primavera) merasa ya akidah tetap akidah. Agama tetap agama, dan sepakbola adalah sepakbola,” kata Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria: Puasa dan Sepakbola” di Youtube maupun Facebook yang dihelat Historia dan Bolalob.com pada Jumat (15/5/2020). Menurut Yeyen, titik persoalannya bukan hanya pengertian pihak klub atau pelatih, namun juga bagaimana si pemain menjaga disiplin diri seandainya memilih tetap berpuasa di tengah jadwal latihan dan pertandingan. Tantangan itu datang ketika Yeyen berusia 18 tahun, saat menjadi bagian timnas Primavera. Sebagaimana pemuda Minang yang lazimnya kehidupannya kental nilai agama, Yeyen berusaha sekuat mungkin mempertahankan imannya di bulan Ramadan sekaligus menjawab kepercayaan padanya mengingat hanya 22 pemuda Indonesia yang terpilih masuk tim Primavera. Baca juga: Sepakbola, Puasa, dan Corona Yeyen Tumena (kostum nomor 6) di Tim PSSI Primavera (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Mengutip biografi Azwar Anas, Ketua Umum PSSI kala itu, Teladan dari Ranah Minang , proyek Primavera yang memakan dana sekira Rp8 miliar digulirkan PSSI bersamaan dengan pendidikan calon pelatih ke Eropa. Bersama 22 pemain kelompok umur 17-21 tahun, tiga pelatih juga diberangkatkan: Danurwindo dari Semarang dan Suhatman dari Padang. Proyek tersebut dicetuskan berdasarkan rangkuman rekomendasi Franz Beckenbauer, tokoh sepakbola Jerman cum pelatih Bayern Munich, yang diundang Azwar Anas ke tanah air. “Sesuai rekomendasi Beckenbauer, beberapa langkah yang diambil PSSI untuk meningkatkan kualitas sepakbola Indonesia, pertama mendatangkan instruktur untuk para pelatih, pelatihan wasit-wasit, mendidik calon pelatih timnas di Eropa, serta membentuk kesebelasan Primavera dan Barreti (kelompok umur 15-17 tahun. Mereka dilatih di (akademi) klub Sampdoria,” ungkap Abrar Yusra si penulis biografi Azwar Anas. Baca juga: Parma yang Bangkit dari Kubur Timnas PSSI Primavera yang terdiri dari Yeyen cs. dikirim ke Genoa, basis akademi sepakbola Sampdoria, untuk diasuh pelatih asal Swedia Tord Grip. Tim itu disebut Timnas PSSI Primavera lantaran kemudian mereka diikutkan ke kompetisi Campionato Nazionale Primavera musim 1993-1994 guna memperebutkan Trofi Giacinto Facchetti. Kompetisi itu dioperasikan Lega Calcio dan berisi tim-tim asal akademi klub-klub Serie A. “Kita hadir di sana istilahnya dengan tim-tim pelapis Serie A, sehingga pemain-pemain yang ada di Serie A adalah pemain yang lahir di kompetisi Primavera. Semua pemain Serie A pasti melewati fase bermain di Primavera. Alessandro Del Piero, misalnya. Setelah kita kalah lawan Juventus 3-0, di mana semua gol diciptakan dari dia, minggu depannya itu pertandingan terakhir dia untuk kemudian main di Serie A,” tutur Yeyen lagi. “Juventus saat itu lagi kehilangan (Gianluca) Vialli, (Fabrizio) Ravanelli, dan Roberto Baggio. Jadi pemain Primavera yang terdekat yang naik. Debutnya lawan Reggiana sebagai pemain pengganti dan dia cetak gol. Setelah itu tak pernah lagi dia turun ke Primavera,” lanjutnya. Yeyen Tumena (kiri) saat mengawal Ruud Gullit di kompetisi Primavera (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Kompetisi Primavera, imbuh Yeyen, juga lazim jadi ajang para pemain yang baru pulih cedera menjalani laga-laga percobaan sebelum comeback ke tim utama. Maka di kompetisi itu Yeyen tak hanya pernah bermain dan mengawal calon-calon bintang macam Alessandro Del Piero dan Francesco Totti, tetapi juga pemain-pemain kawakan macam Pietro Vierchowood hingga Ruud Gullit. “Jadi kalau bicara masa itu, waktu kita lawan Sampdoria, di skuad Primavera-nya mereka ada (Pietro) Vierchowod, (Ruud) Gullit, (Roberto) Mancini. Kurniawan (Dwi Yulianto) saat itu memang bisa bikin gol. Tetapi yang masuk koran bukan Kurniawannya. Justru saya karena saya jaga Ruud Gullit saat itu,” kata Yeyen mengenang. Puasa dan Lebaran di Negeri Pizza Pada awal di Italia, Yeyen cs. mengalami masalah dengan makanan. “Awal-awal kita kesulitan adaptasi dengan makanan di sana: pasta dan pizza,” ujarnya. Beruntung, manajemen mau mendatangkan koki dari tanah air. Maka sejak musim panas 1993, di masa awal kompetisi Primavera, mereka masih dimanjakan masakan-masakan Indonesia. “Tetapi diatur, pagi dan siang makanannya masih ala Italia, malamnya baru makan nasi, ayam goreng dll,” papar Yeyen. Dari adaptasi itu Yeyen mendapati perbedaan asupan karbohidrat, yang punya pengaruh berbeda bagi tubuh, antara dari nasi dan jenis-jenis pasta. Nasi karena mengandung gula, lebih cepat terbakar dalam pencernaan. Sementara, pasta terbilang lebih awet sebagai bahan bakar energi. Pelajaran sederhana ini ternyata berguna bagi para punggawa PSSI Primavera yang berusaha tetap berpuasa di tahun 1994, yang bulan Ramadhan-nya dimulai pada pertengahan Februari. “Memang ketika kita berpuasa, sangat berdampak pada penampilan di lapangan. Seperti kita lawan Fiorentina yang jam tandingnya siang, kita sampai kalah 6-0. Manajemen dan tim pelatih sampai memberi wejangan supaya anak-anak jangan puasa dulu kalau memang tidak mampu mengatur kondisi. Sampai didatangkan psikolog top dari Indonesia, Pak Jo Rumeser,” kata Yeyen. Tim PSSI Primavera saat diperkenalkan ke publik Italia (Foto: Instagram @yeyen_tumena) Rumeser datang untuk memberi gambaran, tetapi bukan dalam konteks memberi tekanan pemain untuk tidak berpuasa. “Kita juga sampai didatangkan ustadz dari KBRI di Roma. Artinya saat kita punya pekerjaan yang cukup berat dan berada di negara orang, kemudian ada target yang mungkin sudah disiapkan, tentu tergantung pada keimanan. Lalu juga bagaimana memenuhi nutrisi yang dibutuhkan karena kita main siang,” tambahnya. Baca juga: AS Roma, Darah Daging Fasisme Italia yang Menggebrak Eropa Setelah diberi pengertian, beberapa punggawa akhirnya memilih untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain. Pasalnya, menurut Yeyen, sangat tidak mudah menyesuaikan rutinitas fisik agar tak kekurangan nutrisi untuk tubuh yang harus digenjot jadwal latihan dan pertandingan di tengah ibadah puasa. “Kalau main siang, artinya nutrisi yang dikumpulkan dari malam harus diatur, apa yang dimakan saat berbuka puasa. Kemudian sahur kan harus bangun sebelum Subuh, kemudian tidurnya jadi agak telat. Dari bimbingan mereka, kita mencoba mengambil dua garis besar. Ketika berniat puasa, kita harus disiplin dengan apa yang dibutuhkan,” ujar Yeyen. “Misal, saya butuh 3.500 kalori untuk bertanding. Kemudian saya butuh tiga liter air. Kebutuhan itu apakah sudah kita penuhi ketika berbuka dan sahur? Kalau tak bisa terpenuhi, kita harus berpikir, saya memaksakan main dengan kondisi tidak fit atau saya berhutang puasa. Jadi dua hal itu yang pribadi kita (tentukan, red .), antara mau puasa atau tidak,” tuturnya. Yeyen Tumena (kanan) berbagi pengalaman berpuasa dan Lebaran di Italia dalam obrolan live "Bolatoria" Ketika bulan Ramadan usai, para anggota timnas Primavera yang Muslim mesti shalat ied (Hari Raya Idul Fitri). Seingat Yeyen, saat itu kompetisi tak diliburkan. “Di Italia itu kompetisi tetap jalan, termasuk ketika Idul Fitri. Masjidnya di Genoa itu butuh perjalanan darat tiga jam. Sementara di tim kan tidak semuanya Muslim, dan kita tetap ada jadwal latihan pas Lebaran itu. Sehingga tim pelatih mencoba penyesuaian jadwal di- mix and match ,” ujar Yeyen. “Jadi (pemain-pemain) yang Muslim diantar dulu ke masjid, tapi yang non-Muslim tetap di hotel dan apartemen. Ketika yang Muslim sudah selesai (shalat ied) dan langsung berangkat lagi ke lapangan, teman-teman yang non-Muslim bergerak juga ke lapangan, jadi ketemu di lapangan. Karena kalau yang Muslim ke hotel/apartemen lagi, enggak efisien waktunya.” Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907






















