Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Liur Walet yang Sehat dan Mahal
Sarang burung walet dipercaya memiliki daya penyembuh. Menjadi primadona niaga dari Nusantara ke Tiongkok. Pernah dilarang pada masa Ketua Mao berkuasa.
- Orang Dayak Menghadapi Wabah Penyakit
PENYAKIT menular mulai muncul pada masyarakat prasejarah yang menetap, bertani, dan beternak. Sebagian besar hidup dalam permukiman permanen. Permukiman yang padat dan tak higienis menjadi sarang bagi munculnya wabah. “Sebagian besar penyakit menular, seperti campak, cacar, kolera, TBC, dan sebagainya, ditularkan dari hewan yang didomestikasi oleh umat manusia sendiri,” kata Muslimin A.R. Effendy, kepala BPCB Kalimantan dalam diskusi daring lewat aplikasi zoom tentang “Wabah Penyakit Menular dan Bencana Kemanusiaan Perspektif Sejarah dam Budaya” pada Kamis 30 April 2020. Di Indonesia, penyakit menular muncul sejak akhir masa neolitik 2.000 tahun lalu. Di Lambanapu dan Melolo, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, ditemukan rangka manusia dalam jumlah banyak dan betumpuk. “Kesimpulannya kematian dalam jumlah banyak ini diduga karena epidemi wabah penyakit yang menyerang wilayah itu,” kata Muslimin. “Dari hasil ekskavasi peneliti menemukan rangka dan temuan lain berada di lapisan yang sama, jadi diduga berasal dari periode sama.” Ekskavasi di Jembrana, Gilimanuk, tahun 1963 ditemukan wadah kubur yang sebagian besar berisi rangka anak-anak muda berusia 21–30 tahun. Diduga bukan sekadar penyakit tulang, tetapi juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan berbatu gamping. Akibatnya, banyak penyakit epidemi menyerang masyarakat Jembrana. “Rangka di Jembrana ini kesimpulannya ada pelapukan pada tulang akibat mengkonsumsi bahan makanan dan sumber air yang tak higienis. Penyakit ini berlangsung cukup lama sehingga masih ditemukan pada orang-orang dari masa berikutnya,” kata Muslimin. Memasuki masa sejarah, pada Oktober 1880, berawal dari Kalimantan Barat, kolera dan cacar menyebar ke Banjarmasin, Martapura, Amungtai, Sampit, Samarinda, dan Kutai. Banyak korban jiwa berjatuhan. Namun, wabah itu tidak menyebar di pedalaman Dayak. Menurut Muslimin karena pemimpin adat mampu melakukan isolasi dan mendata orang-orang yang masuk ke lingkungannya. Namun, isolasi itu tak bertahan lama. Muncul pula pemikiran kalau penyakit itu datang dari Tuhan, bukan ditularkan antarmanusia. “Lambat laun wabah penyakit yang diproteksi oleh tokoh-tokoh adat itu kembali mewabah di daerah itu. Akibatnya jumlah korban makin banyak. Di Kutai pada 1882, korban makin banyak,” kata Muslimin. Kolera dan cacar muncul di Muara Teweh dan Martapura pada Juni 1884. Untuk menghadapinya, pemerintah kolonial memerintahkan sekolah untuk menyusun protokol kesehatan, di antaranya membersihkan lingkungan sekolah dan rumah, membiasakan siswa minum air matang, menghindari mandi di sungai yang tercemar bakteri kolera, tak mengkonsumsi ikan di sungai tercemar, dan mandi minimal sekali. “Menariknya dalam laporan kolonial ternyata masyarakat di sana jarang mandi, jadi wabah kudis, disentri, kolera mudah menyerang,” kata Muslimin. Protokol kesehatan lain yang diterapkan adalah rajin mencuci pakaian, alat makan, dan bahan makan yang akan diolah. Mereka juga harus menghindari kontak fisik dengan orang yang sudah tertular. “Kalau dibandingkan dengan kondisi sekarang, walaupun tak selalu sama karena waktunya cukup jauh, sebetulnya masyarakat kita dulu sudah melakukan protokol kesehatan,” kata Muslimin. Hingga tahun 1910, korban meninggal dunia karena kolera dan cacar di Kutai, Banjarmasin, Amungtai, Sampit, berjumlah 1.940 orang. Sedangkan korban meninggal dunia karena cacar di seluruh Kalimantan mencapai 2.000 orang. Jumlahnya meningkat sebagaimana tercatat dalam laporan kolonial ( Kolonial Verslag ) tahun 1919. Penderita kolera di Banjarmasin berjumlah 5.191 orang dan 316 orang meninggal; Hulu Sungai (penderita 11.907 orang dan 1.131 orang meninggal); Kuala Kapuas (penderita 1.184 orang dan 75 orang meninggal); Tanah Dusun (316 orang meninggal); serta Samarinda dan sekitarnya termasuk Kutai (penderita 2.900 orang dan 212 orang meninggal). “Jadi pada 1919 saja total yang meninggal karena penyakit kolera berjumlah 2.050 orang,” kata Muslimin. “Saya belum menemukan sumber lokal yang memadai, seperti manuskrip yang bisa mendokumentasikan wabah itu.” Kolera juga menyebar ke area pertambangan batu bara di wilayah Prapatan, Berau, dan area pengeboran minyak di Balikpapan. Wabah itu mengakibatkan 85 pekerja meninggal. Wabah yang tak kunjung teratasi menimbulkan kepanikan di tengah masyarakat. Pada 1910, kepala suku Dayak yang tinggal di perbatasan Dusun Tengah dan Kutai berusaha menghimpun masyarakat untuk mengadakan upacara adat berejo . Penduduk yang ikut membawa sesaji agar terbebas dari wabah. Upacara adat berejo ini diyakini dan diteruskan oleh pengikutnya. Menurut Muslimin, upacara adat itu semacam gerakan kebatinan yang mencoba mengumpulkan pengikut dan memberikan suatu mantra dan jimat agar mereka kebal penyakit. “Sebetulnya gerakan keagamaan ini dalam tataran tertentu karena ketidakmampuan mereka menjelaskan secara logika dan mencegah tersebarnya wabah, mereka lalu melakukan kontemplasi dengan membuat gerakan spiritual keagamaan,” kata Muslimin. Kearifan Lokal Masyarakat Dayak sebenarnya telah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi wabah. Menurut Nasrullah Mappatang, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, orang Dayak memiliki pandangan kosmologis bahwa wabah datang karena keseimbangan alam rusak. Mereka percaya penyakit bisa diobati dengan ritual dan pantangan makanan dan aktivitas fisik lain. Pada 1894, orang Kayan di Borneo Tengah dan Bahau di Kalimantan Timur selain melakukan ritual juga memiliki ramuan untuk mengobati penyakit. Mereka menerapkan pantangan terhadap setiap penyakit. Ritual-ritual yang dilakukan antara lain ritual mencari penyebab penyakit ( senteau ); ritual penyembuhan ( balian bawo ) dilakukan masyarakat Dayak Benuaq dan Tunjung di Kalimantan Timur; ritual meminta perlindungan kepada para leluhur ( manggatang sahur lewu ); dan ritual bersih kampung dari pengaruh jahat akibat ulah manusia ( Amapas Lewu ). Orang Dayak Badamea, Sambas, Kalimantan Barat, melakukan ritual basaman. Doa dan ritual Parauh/Paramak dengan memasang tabit ayar dan berdoa kepada Jubata (Tuhan) agar dijauhkan dari wabah penyakit dan roh-roh jahat. Ketika wabah merebak, ada beberapa pantangan yang harus dijalani, seperti dilarang mangas (membunuh binatang dan memotong hewan ternak), ngingso (menebang pohon), bahanyi (panen), dan keluar kampung selama dua hari ( lockdown atau karantina wilayah). Selain ritual, ada perilaku pencegahan seperti pungan bengan, yaitu mengisolasi diri dari orang lain untuk mencegah penularan penyakit. Tindakan ini seperti pembatasan jarak dan isolasi mandiri. Misalnya dalam pencegahan cacar, orang Dayak di Borneo percaya cacar dapat dihindari dengan melarang orang pergi ke dataran rendah dan berada di sekitar “orang asing”. Mereka melakukan transaksi dengan cara barter bisu, lewat jarak jauh, dan menghindari dataran rendah. “Cacar dikenal sejak abad ke-16 di Asia dan muncul kembali sekira abad ke-18,” kata Nasrullah. Menurut Nasrullah, masyarakat tradisional di Kalimantan melihat penyakit lebih kepada relasi mereka dengan lingkungan dan alam. Mereka melakukan ritual karena menganggap roh jahat adalah penyebab orang terkena penyakit atau merebaknya wabah. “Makanya penyakit tidak dibunuh, tapi dikembalikan ke tempatnya. Salah satu cara pandang yang relevan sampai hari ini, yakni bagaimana relasi kerusakan habitat hidup menyebabkan lahirnya penyakit,” kata Nasrullah. Cara pandang itu, kata Nasrullah, secara simbolik menunjukkan betapa berjaraknya manusia dengan alam. Ketika alam dirusak, maka “roh” hutan atau lingkungan yang marah pun mengganggu manusia. “Jadi manusia itu selalu reflektif, kita sakit, kita diserang penyakit itu karena ada kerusakan di sekitar kita. Karena sangat menyatu manusia dengan alam,” ujar Nasrullah. Kendati begitu, karena melihat kurangnya pengetahuan tentang penyakit menular di tengah masyarakat adat, Nasrullah menilai edukasi dan sosialisasi cara-cara pencegahan dan pengendalian wabah penyakit masih dibutuhkan. “Pendekatan dialogis antara paradigma kesehatan secara tradisional dan modern,” ujarnya. Muslimin pun mengatakan, mewabahnya penyakit diakibatkan karena ada pengabaian. Seperti dalam sejarah terjadinya wabah kolera pada masa kolonial. Pemerintah Hindia Belanda mengabaikan peringatan pada 1819 ketika penyakit ini sudah menyerang Penang dan Malaka. Peringatan ini tak diindahkan karena pemerintah Hindia Belanda percaya penyakit akan dengan sendirinya mati di tengah iklim tropis di Nusantara. “Nyatanya penyakit ini menyerang semua kalangan, yang paling terdampak adalah kaum pribumi miskin, gizi di bawah standar, dan mengkonsumsi makanan tak sehat, inilah yang membuat mereka rentan terserang penyakit,” ujarnya.*
- Stadion Terbesar Dunia Stadion Buruh
PERANG Korea (1950-1953) jadi penanda pemisahan dua Korea. Gengsi berbau politis acap mewarnai persaingan Korea Selatan dan Korea Utara. Mulai dari budaya, senjata hingga olahraga. Khusus olahraga, Korea Utara (Korut) boleh bangga punya arena olahraga monumental yang diakui sebagai yang terbesar se-kolong langit. Meski rezim terus berganti dan karakter pemerintahannya tetap represif, prestis bidang olahraga tak pernah dilupakan sejak rezim Kim Il-sung hingga cucunya Kim Jong-un. Selain prestasi, yang bisa dibanggakan Korut dalam olahraga tak lain adalah stadion. Negeri itu punya Stadion Rungrado 1 Mei atau Stadion May Day. Ia terletak di ujung selatan Pulau Rungra yang berada di tengah-tengah Sungai Taedong, tak jauh dari ibukota Pyongyang. Mengutip sejarawan Amerika Serikat cum eks-Direktur Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih bidang Asia kelahiran Korea Selatan Victor Cha dalam The Impossible State: North Korea, Past and Future , Stadion Rungrado dibangun sebagai venue utama untuk perhelatan Festival Pelajar dan Pemuda Dunia ke-13. Hajatan itu jadi jawaban atas persaingannya dengan Korsel, mengingat “saudara” mereka di selatan memenangkan pemilihan tuan rumah Olimpiade Seoul 1988. Kim Il-sung di perhelatan pembukaan World Festival of Youth and Students ke-13 (Foto: daum.net ) Event itu ingin dibuat pemerintahan Kim Il-sung menjadi festival dengan edisi terbesar dan termegah. Korut jor-joran melimpahkan dana pembangunan mega-proyek demi ajang itu mengingat di tahun 1980-an ekonominya tengah booming berkat industri fiber dan nilonnya. Selain mendatangkan mobil-mobil Mercedes-Benz mewah, pemerintah juga membangun Hotel Ryugyong di dekatnya setinggi 105 lantai dengan beragam fasilitas hotel mewah kelas dunia. Persiapannya sudah dimulai sejak 1986, termasuk pembangunan stadionnya. Itu diperkirakan “membakar” duit hingga miliaran dolar. “Ajang itu jadi jawaban atas Olimpiade Seoul dan mereka berinvestasi dalam bangunan infrastruktur yang masif. Menghabiskan dana antara USD4-9 miliar. Mereka membangun 260 fasilitas megah, termasuk stadion tenis meja berkapasitas empat ribu kursi, stadion bulutangkis (3 ribu kursi), dan yang utama Stadion Rungrado May Day yang terbesar di dunia dengan 150 ribu kursi,” ungkap Cha. Sayangnya belum ada sumber yang menyingkap siapa atau pihak mana arsitek cum desainer Rungrado May Day. Hanya disebutkan bahwa Kim Il-sung menginginkan bangunan itu selain megah juga anggun dan ikonik. Maka jadilah stadion yang jika dilihat dari ketinggian bentuknya mirip kembang magnolia merekah. “Stadion setinggi delapan lantai itu didesain seperti sekuntum bunga yang mengapung di atas sungai. Stadionnya memiliki 16 kanopi lengkung berbentuk busur sebagai atapnya yang menyatu satu sama lain untuk menggambarkan kelopak bunga,” sebut Michael Hurley dalam The World’s Most Amazing Stadiums . Tampak dalam Stadion Rungrado 1 Mei/Stadion May Day dengan atap lengkung berbentuk kelopak bunga magnolia (Foto) Bagian dalam stadion yang berdiri di atas kompleks lahan seluas 20,7 hektar itupun, lanjut Hurley, dilengkapi beragam fasilitas top. Selain rumput lapangan sepakbola dan trek lari berstandar internasional, ia dilengkapi ruang sauna,kolam renang indoor. Sebagaimana keinginan sang pemimpin, stadion itu rampung dan diresmikan Kim Il-sung pada 1 Mei 1989 bertepatan dengan May Day atau Hari Buruh Internasional. Saat diresmikan, Rungrado semata stadion terbesar di Asia lantaran status stadion berkapasitas terbesar dunia masih dipegang Estádio do Maracaña di Rio de Janeiro, Brasil, tempat final Piala Dunia 1950 mencatatkan jumlah penonton mencapai 199 ribu. Tetapi setelah Maracaña direnovasi tiga kali sejak 2000, sekarang hanya berkapasitas 78.838. Maka status stadion terbesar dunia jadi milik Rungrado dengan 150 ribu kursi. Ajang Festival Pelajar dan Pemuda ke-13 yang dibuka pada 1 Juli 1989 di Stadion Rungrado pun bergulir sukses. Momen itu membuat Kim Il-sung bisa pamer terutama kepada para partisipan asal negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat yang mengizinkan perwakilannya menginjakkan kaki pertamakali ke sana sejak Perang Korea (1950-1953). Bagian dalam stadion yang tentunya memajang dua foto pemimpin besarnya: Kim Il-sung & Kim Jong-il (Foto: stadiumdb.com/frankjasperneite.de ) Usai hajatan itu, stadion tersebut menjadi markas timnas sepakbola putra dan putri Korut dan klub terbesarnya, 4.25 (April 25 Sports Club). Stadion ini lalu beberapakali dijadikan venue hajatan kolosal lain, di antaranya “Collision in Korea” pada April 1995. Ajang gulat pay-per-view yang menggandeng New Japan Pro-Wrestling dan World Championship Wrestling pada 28-29 April 1995 itu dihelat dalam rangka Pyongyang International Sports and Culture Festival for Peace. Ajang tersebut sukses besar mengingat stadion itu disesaki penonton melebihi kapasitasnya, 165 ribu orang. Hajatan lainnya adalah Festival Arirang yang rutin digelar tahunan sejak 2002. Festival seni, budaya, dan senam massal warisan Kim Jong-il, putra sekaligus suksesor Kim Il-sung, itu pada 2007 mencetak rekor dunia Guinness dengan 100.090 partisipan menyesaki Stadion Rungrado. “Festival Arirang biasanya digelar sebagai puncak Hari Kemerdekaan atau perayaan berdirinya Republik Demokratik Rakyat Korea pada 9 September. Nama Festival Arirang diambil dari cerita rakyat (Arirang) yang merepresentasikan pemisahan Korea, di mana kisahnya menceritakan sepasang muda-mudi yang dipisahkan oleh tuan tanah jahat,” tulis Paul Fischer dalam A Kim Jong-il Production: The Incredible True Story of North Korea and the Most Audacious Kidnapping in History Paperback . Arena indoor di dalam stadion dari sumbangan FIFA sebagai penambahan fasilitas kala renovasi (Foto: koryogroup.com ) Setelah Kim Il-sung sukses membangun Stadion Rungrado untuk festival pelajar dan pemuda sedunia di akhir 1980-an dan Kim Jong-il memprakarsai Festival Arirang di awal 2000-an, lantas di tangan Kim Jong-un Stadion Rungrado di- upgrade dengan fasilitas yang lebih modern mulai 2013. Jong-un juga memprakarsai proyek pembangunan beberapa venue olahraga baru di kompleks olahraga yang mengelilingi Stadion Rungrado. Selain venue sepatu roda, ada venue berkuda, ski air, dan arena selancar air dan selancar angin. “Sudah menjadi keinginan partai (Partai Pekerja Korea, penguasa pemerintah) untuk merenovasi Stadion May Day dengan sukses menjadi ikon fasilitas olahraga yang lebih modern dan menjadi stadion yang pantas bagi sebuah bangsa yang beradab,” cetus Kim Jong-un saat mengunjungi Stadion Rungrado pada 2013 sebagaimana dikutip The Guardian , 7 Oktober 2015. Sementara, di dalam stadionnya penambahan-penambahan fasilitas modern dilakukan dengan menyulap ruang ganti pemain menjadi lebih modern dan penambahan ruang-ruang fisioterapis, media centre , serta arena indoor sebagai wadah akademi sepakbola baru Korut. Khusus arena indoor, pembiayaannya juga disokong FIFA sebesar USD800 ribu. Meski begitu, kursi penonton yang juga direnovasi berdampak pada pengurangan kapasitas, menjadi 114 ribu. Tetapi hal itu belum menggeser statusnya sebagai stadion berkapasitas terbesar dunia. Presiden Korsel Moon Jae-in saat berpidato di hadapan 150 ribu rakyat Korut di Stadion May Day (Foto: president.go.kr ) Ada satu fakta kelam yang jarang diketahui publik internasional, yakni stadion itu pernah jadi tempat eksekusi puluhan perwira militer Korut pada 1992. Eksekusi dilakukan sebagai jawaban atas pengarahkan moncong-moncong tank ke arah Kim Il-sung dan Kim Jong-il pada perayaan HUT ke-60 Tentara Rakyat Korea oleh komplotan sekira 40 perwira lulusan Akademi Militer MV Frunze, Moskva, Rusia yang dipimpin Jenderal-kolonel An Chang Ho. Toh di stadion ini pula salah satu momen progres perdamaian antara Korsel dan Korut terjadi. Di hadapan 150 ribu warga Korut yang memadati Stadion Rungrado pada 20 September 2018, Presiden Korsel Moon Jae-in berpidato di podium kehormatan. “Ketua Kim Jong-un dan saya sebelumnya bertemu pada 27 April di Panmunjom dan kami saling berangkulan… Kepada warga Pyongyang, sesama bangsa Korea, kita telah hidup bersama selama lima ribu tahun namun terpisah hanya dalam 70 tahun. Di sini, di stadion ini hari ini, saya mengajukan langkah maju menuju gambaran besar perdamaian dengan harapan kita bisa bersatu lagi,” tandas Presiden Moon dalam pidatonya, dikutip situs resmi kepresidenan Korsel .
- Kisah Dewa dari Korea Utara
SENO Gumira Ajidarma mengisahkan suatu kejadian tak mengenakan saat dirinya berkunjung ke Korea Utara pada 2002. Sebagai tamu resmi pemerintah negera komunis itu, Seno yang seorang kritikus film sekaligus fotografer, suatu hari berkesempatan mengambil gambar patung Kim Il-sung, Bapak Pendiri Korea Utara. Saat tengah asyik memotret bagian-bagian patung itu secara rinci dari jarak dekat, tetiba seorang petugas mendekatinya. Dengan ketus dia melarang Seno untuk mengambil gambar patung tersebut secara tidak utuh. “Kalau memotret pemimpin kami, tolong jangan dipotong-potong!” katanya seperti dituturkan oleh Seno dalam bukunya Jejak Mata Pyongyang. Bagi orang Korea Utara, Kim Il-sung bukan hanya sekadar Bapak Pendiri Bangsa. Bisa jadi khalayak di sana sudah menabalkannya sebagai dewa. Semua yang diucapkannya adalah perintah yang harus diamalkan. Termasuk memaksa rakyat Korea Utara untuk memeluk “agama baru” ciptannya bernama Juche . Bagi rakyat Korea Utara, menampik “agama” baru itu sama dengan mememanggil bahaya untuk datang dalam kehidupan mereka. “Para pemeluk Juche tak perlu memikirkan 'kehidupan sesudah mati'. Mereka justru sedang berada di 'surga dunia yang disinari matahari gilang gemilang Pemimpin Besar Kebapakan, Kim Il-sung',” ungkap Lim Un dalam Secrets of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim Il-sung. Lim Un adalah nama samaran seorang bekas pengikut fanatik Kim Il-sung. Karena suatu sebab, dia dituduh menjadi pengkhianat dan diburu oleh polisi rahasia Korea Utara hingga kemudian menyingkir ke Uni Soviet. Lim kemudian menulis biografi sang mantan pujaan-nya itu dan terbit kali pertama dalam bahasa Jepang di Tokyo pada 1980-an. Lim berkisah sejak berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) pada 9 September 1948 (hingga hari ini), catatan mengenai kiprah kakek dari Kim Jong-un (pemimpin Korea Utara sekarang) itu 100 persen tanpa cela. Para remaja Korea Utara tiap waktu bahkan kerap memuji Kim dalam sebuah nyanyian sebagai “pahlawan legendaris yang menaklukan sejuta tentara Jepang” Padahal faktanya, itu semua hanyalah bualan semata. Dalam majalah Reader’s Digest edisi Maret 1982, pakar tentang Korea Utara Anthony Paul menyebut bahwa di era perjuangan melawan penjajahan Jepang, sebagian besar waktu Kim Il-sung dihabiskan di kampus pendidikan politik yang terletak di Uni Soviet. "Dia sebenarnya tak pernah memimpin lebih dari 300 orang partisan,” ungkap Anthony Paul. Kultus individu itu bukanlah sesuatu yang berjalan kebetulan saja. Kim Il-sung memang sengaja membangunnya guna menjamin keberlanjutan kekuasaannya. Maka tak heran jika segala sesuatu mengenai Kim Il-sung haruslah sempurna. Termasuk penyebutan khas media massa Korea Utara terhadapnya: Jenderal Maha Tahu yang kuat bagai baja, yang merebut 100 kemenangan dari 100 pertempuran. Untuk hal-hal kecil saja, misalnya soal ukuran badan, Kim Il-sung harus diperlihatkan dalam media sebagai sosok pemimpin yang gagah dan tegap. Dalam beberapa kasus, foto resmi yang memperlihatkan Kim Il-sung bersama tamu asing berpostur jangkung haruslah direvisi dahulu sebelum dipublikasikan. Kendati aslinya Kim adalah sosok gemuk dan agak pendek namun dalam penampilan di media adalah haram hukumnya sang pemimpin besar berpenampilan cebol. Di tingkat internasional, pamor Kim Il-sung diangkat di berbagai surat kabar Barat dengan mengeluarkan dana sampai jutaan dolar. Itu meliputi bayaran untuk memuat iklan pidato-pidato Kim Il-sung di berbagai surat kabar luar negeri. Setelah dimuat, maka secara cepat koran-koran pemerintah memberitakannya: pelbagai penerbitan utama dunia menyediakan kolomnya untuk gagasan-gagasan Pemimpin Besar. Tidak puas dengan program-program propaganda yang sudah dilakukan, Kim Il-sung pun mendirikan Museum Revolusi Korea. Persis di muka gedung museum itu didirikanlah patung dirinya sendiri setinggi 79 kaki. Di dalam museum itu kurang lebih terdapat 90 ruangan yang melukiskan betapa bersatunya rakyat di sekitar Pemimpin Besar. Pengkultusan di luar akal sehat memunculkan “teror tersendiri” untuk rakyat Korea Utara. Alih-alih untuk melakukan kritik, memperlakukan gambarnya secara tak layak saja bisa berakhir di ujung senjata atau paling ringan masuk penjara. Kerani kantor pos misalnya. Dia harus sangat berhati-hati jika mencap perangko bergambar Kim Il-sung. Aturan di Korea Utara hanya sudut-sudut perangko tersebut yang boleh terkena tinta. Jika tinta itu mengenai bagian gambar wajahnya, itu alamat kiamat bagi hidup sang kerani. Begitu jug cara memperlakukan koran bekas yang ada foto Pemimpin Besar, tak boleh sembarangan. Ada aturannya jika seseorang akan menggunakan koran bekas tersebut untuk membungkus sesuatu atau penambal dinding. Gambar Kim harus lebih dulu digunting lalu disimpan secara baik-baik di tempat yang layak. Pendewaan terhadap Kim Il-sung tidak berakhir ketika dia meninggal pada 8 Juli 1994. Layaknya para diktator di negara-negara komunis, jasad Pemimpin Besar kemudian dibalsem dan disemayamkan di sebuah peti kaca. Tubuhnya dibaringkan di Mausoleum Istana Kumsusan, Pyongyang yang diresmikan pada saat memperingati setahun kematiannya.*
- Islamisasi Minangkabau
PROSES Islamisasi di Minangkabau –mencakup wilayah Sumatera Barat, sebagian Riau, Bengkulu, Jambi, sebagian Sumatera Utara, dan sebagian Aceh– terjadi pada kurun masa yang sangat panjang. Banyak bukti yang menjelaskan keberadaan ajaran tersebut. Namun mengenai kapan dan dari mana pertama kali ajaran tersebut masuk, banyak ahli yang kesulitan untuk merekonstruksinya. Keterbatasan informasi menjadi kendala utama. Menurut sejarawan Taufik Abdullah sumber-sumber tentang Islam di Minangkabau belum terekam secara baik. Di dalam tulisannya “Adat and Islam: An Examination of Conlict in Minangkabau” dimuat Readings on Islam in Southeast Asia karya Yasmin Hussein, Taufik Abdullah menyebut jika pengetahuan pertama tentang Islam di wilayah itu datang dari Ulakan, Padang, Sumatera Barat. Tokoh utamanya adalah Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin dianggap sebagai ulama pertama yang menyebarkan Islam di antara masyarakat Minangkabau. Dia merupakan murid dari ulama terkenal Aceh, Syekh Abduurauf Singkel. Tetapi, kata Taufik Abdullah, banyak bukti yang mengindikasikan bahwa Syekh Burhanuddin bukan yang pertama memperkenalkan Islam di sana. “Meski begitu, ia tampaknya menjadi ulama penting pertama yang mendirikan pusat keagamaan di Minangkabau. Dia menjadi satu-satunya ulama yang memiliki wewenang dalam urusan agama,” kata Taufik Abdullah. Syekh Burhanuddin diketahui membangun sebuah surau di Ulakan. Surau itu menjadi tempat pertama ulama-ulama Minangkabau belajar soal agama Islam secara lebih dalam. Murid-murid Syekh Burhanuddin berasal dari berbagai daerah di Minangkabau. Setiap orang, baik muda ataupun tua, yang ingin memperdalam tentang Islam boleh belajar di sana. Menurut Mhd. Nur, dkk dalam Perjuangan Sultan Alam Bagagar Syah dalam Melawan Penjajah Belanda di Minangkabau pada Abad ke-19 , mereka yang telah belajar di Ulakan akan kembali ke daerahnya masing-masing dan membangun surau sendiri. Proses inilah yang mempercepat proses islamisasi. Bahkan pengaruh dari Ulakan itu sampai juga ke seluruh Nusantara, seperti yang dilakukan Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Patimang di Makassar, Sulawesi Selatan. “Para murid Syekh menyebarkan Islam di Minangkabau dengan jalan menanamkan budi dan memperlihatkan akhlak yang baik kepada masyarakat. Masyarakat Minangkabau cepat merespon Islam dan ikut menyebarkan Islam ke daerah-daerah lainnya di Nusantara,” tulis Mhd. Nur, dkk. Pada akhir abad ke-17, ulama-ulama besar bermunculan di Tanah Minang. Beberapa di antaranya: Tuanku Pamansiangan di Luhak Agam, Tuanku Koto Tuo, dan Tuanku Nan Tuo. Mereka adalah bekas murid-murid Syekh Burhanuddin. Di bawah pimpinan ulama-ulama ini, beberapa daerah menjadi pusat pengajaran fiqih Islam, serta Al-Qur’an dan Hadits. Permasalahan hukum, kepercayaan, dan seluruh aspek kehidupan sosial juga tidak lupa diajarkan. Perbedaan Pendapat Awal abad ke-19, setelah berjalan selama dua abad, proses Islamisasi di Minangkabau memasuki fase baru. Para ulama, dikenal sebagai “kaum Paderi”, mencoba melakukan pembaharuan Islam. Misi utamanya: pelaksanaan ajaran Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Dengan kata lain, pemurnian terhadap Islam di Minangkabau. Tokoh utama dalam gerakan reformasi ini adalah para ulama yang baru saja kembali dari Makkah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Setelah melihat dan belajar Islam di Tanah Suci umat Islam itu, mereka merasa ada kekeliruan dalam praktek agama di Minangkabau. Utamanya pelaksanaan adat yang berlebihan. Meski mayoritas masyarakat Minangkabau telah memeluk Islam, tetapi tiga haji itu masih menemukan praktek-praktek keagamaan yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Hadits. Seperti banyak guru agama masih berkhidmat kepada kuburan yang dianggap keramat, sabung ayam, berjudi, minum tuak, meninggalkan ibadah, dan pelanggaran agama lainnya. Kaum Putih (nama lain kaum Paderi) menentang seluruh sistem adat yang telah sejak lama menjadi bagian dari tradisi Minangkabau pra Islam. Mereka berusaha menghapusnya, dan menggantikan kebiasaan-kebiasaan di masyarakat tersebut dengan tradisi islami. Hal itu tentu mendapat pertentangan dari golongan adat yang ingin mempertahankan tradisi turun-temurun itu. “Kaum Paderi bukan saja mencela sistem adat, tetapi juga sekaligus menentang pelaksanaan tradisi adat yang bertentangan dengan Islam yang telah menjadi tradisi bagi kaum Adat di Minangkabau,” tulis Mhd. Nur, dkk. Pada 1803, suasana di Minangkabau semakin memanas. Berbagai perundingan dengan Kerajaan Pagaruyung, sebagai penggerak kaum adat, gagal mencapai kesepakatan. Puncaknya, kaum Paderi dan kaum adat terlibat pertikaian besar yang berujung kepada perang saudara. Di bawah komando Harimau Nan Salapan, kaum Paderi berhasil mendesak pasukan kaum adat pimpinan Sultan Arifin Muningsyah. Pagaruyung lalu meminta bantuan Belanda, yang kebetulan sedang mencari celah menguasai wilayah Sumatera. Kesempatan itu juga digunakan Belanda untuk melemahkan pengaruh kaum ulama Paderi. Merek sadar, setelah melihat kasus Aceh, bahwa kaum ulama militan bisa menjadi penghalang upaya kolonialisasi. Namun di tengah pertikaian besar itu, kaum adat mulai menyadari siasat Belanda yang hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan kolonial. Akhirnya kaum adat dan kaum Paderi setuju melakukan genjatan senjata demi mengusir Belanda dari Tanah Minang. “Dampak paling awal dari Islam tercermin di dalam formulasi baru sistem adat sebagai pola perilaku ideal. Hingga akhirnya elemen-elemen luar dapat diserap secara menyeluruh ke dalam tatanan yang ada sebagai bagian dari sistem yang koheren,” kata Taufik Abdullah.*
- Baret Merah Bikin Inggris Berdarah-darah
SETELAH pertempuran salah paham antara Yon 1/RPKAD melawan Yon 454/Diponegoro di luar PAU Halim Perdanakusuma pada pagi 2 Oktober 1965 mereda, Sersan mayor (Serma) Soediono mendapat perintah dari Kapten Oerip, atasannya di Kompi Ben Hur. Soediono diperintahkan sang komandan masuk ke Halim untuk menemui Komandan RPKAD (kini Kopassus) Kolonel Sarwo Edhie Wibowo guna melaporkan perkembangan situasi dan minta arahan lebih lanjut. Ditemani Kopral Miptah, Serma Soediono lalu berjalan kaki masuk ke Halim. Sempat salah masuk ke markas Kolaga, Soediono dan Miptah berhasil menemui Sarwo Edhie di Makoops AURI. Sarwo Edhie berada di Makoops AURI ditemani sejumlah petinggi AURI seperti Laksda Udara Sri Mulyono Herlambang. Di sana, Sarwo Edhie mendapatkan penjelasan bahwa AURI tidak punya rencana membombardir titik-titik vital AD sebagaimana diyakini Pangkostrad Mayjen Soeharto dan pimpinan AD. Maka begitu berhasil menemui sang kolonel, Soediono langsung menjalankan tugasnya. Dia diterima dengan baik oleh Sarwo Edhie. “Kolonel Sarwo Edhie mengenalnya dengan baik, karena dialah yang memberikan kenaikan pangkat luar biasa, menjadi Sersan Mayor di perbatasan Kalimantan Barat, berkat keberhasilannya menghancurkan perkubuan Inggris di Mapu, Sarawak,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Soediono merupakan anggota Kompi B “Ben Hur”, kompi yang dipilih untuk menjalankan tugas menghancurkan pos terdepan Inggris di Desa Plaman Mapu, Sarawak, sekira satu kilometer dari perbatasan Kalimantan Barat, pada 27 April 1965. “Plaman Mapu adalah serangan utama terhadap pangkalan Inggris dan dilakukan oleh pasukan berpengalaman sebagai bagian dari strategi eksperimental Indonesia bahwa pasukan kecil dapat mengalahkan pasukan gerilya yang lebih besar,” tulis Nicholas van der Bijl dalam Confrontation the with Indonesia, 1962-1966 . Serangan itu merupakan penjabaran lapangan dari keinginan politik Presiden Sukarno dalam Konfrontasi dengan Malaysia. Perang tanpa deklarasi itu tak kunjung menampakkan hasil gemilang bagi Indonesia setelah lebih dua tahun dijalankan. Sebaliknya, Konfrontasi semakin mempersulit posisi politik Sukarno di dalam negeri karena perekonomian terkesampingkan dan adanya penentangan dari angkatan darat. “Konfrontasi membantu menyulut masalah ekonomi Indonesia, menjadi semakin vital bagi masa depan politik Presiden Sukarno untuk membuat pasukannya harus mengamankan kemenangan militer yang menentukan. Inilah latar belakang Pertempuran Plaman Mapu,” ujar sejarawan Charles Allen dalam The Savage Wars of Peace: Soldiers’ Voices, 1945-1989 . Adanya keinginan untuk membuat satu serangan fenomenal itu bertemu dengan keinginan Sarwo Edhie yang ingin menguji konsepsinya. Saat mengikuti kursus Staff Queenschliff di Australia, sekutu Inggris dalam Konfrontasi, Sarwo Edhie pernah mendiskusikan konsep itu dengan rekannya asal Inggris, lawan Indonesia dalam Konfrontasi, Mayor Jeremy Moore. Edhie yakin pengerahan sedikit pasukan khususnya jauh lebih efektif untuk melumpuhkan lawan ketimbang menggunakan pasukan besar gerilyawan. Konsepnya terinspirasi dari pasukan Belanda ketika melakukan agresi di Perang Kemerdekaan. Meski jumlahnya kecil, mereka dapat mengalahkan pasukan gerilya yang jumlahnya jauh lebih besar. “Wibowo yakin bahwa para komandannya dapat melakukan hal yang sama. Wibowo memilih kompi FDL di Plaman Mapu untuk menguji teorinya,” sambung van der Bijl. Pos Plaman Mapu, yang terletak di atas sebuah bukit, dipilih sebagai sasaran karena sering digunakan untuk mendrop pasukan elit Inggris SAS sebelum melakukan patroli di hutan-hutan perbatasan atau penyusupan ke wilayah Indonesia. Selain itu, pos tersebut juga dipilih jadi sasaran karena pada awal 1965 dijaga Kompi B Batalyon Ke-2 Resimen Parasut (2 Para) AD Inggris yang personilnya minim jam terbang. Lima belas dari personil Kompi B masih berusia 18-19 tahun dan baru saja menyelesaikan pendidikan singkat jungle warfare di hutan Semenanjung Malaya pada Februari. Untuk mewujudkan rencana itu, RPKAD mengirim satu batalyon dari Grup 2 pada Februari. Setelah mendarat di Pontianak, mereka berjalan kaki menuju pos di Balai Karangan. Dari sana, mereka terus melakukan pengintaian ke pos terdepan Inggris dan mengonsep serangan. Mereka mendapati ada hari-hari di mana pos Inggris hanya dijaga oleh satu pleton karena dua pleton lain berkeliling patroli. Setelah sebulan mengadakan pengintaian dan persiapan, pada 25 April Komandan Batalyon Mayor Sri Tamigen memutuskan tiga kompi, termasuk Kompi Ben Hur, sebagai pelaksana misi, sementara satu kompi lain bersiaga di wilayah Indonesia. Selepas magrib tanggal 26 April yang diiringi hujan, sekira 200 personil RPKAD itu berjalan menuju Mapu dengan bersenjatakan masing-masing senapan otomatis AK-47. Kompi itu juga membawa bren, mortir, peluncur roket serta Bangalore torpedo untuk menyingkirkan rintangan kawat atau ranjau. Saat itu, pos Mapu dijaga oleh 36 personil. Pos itu terbagi ke dalam empat seksi, masing-masing seksi dilengkapi senapan mesin, dengan pusat komando di tengah. Selain dilengkapi bungker dan parit perlindungan, pos itu dipagari kawat berduri, ditanami ranjau, dan dilindungi dua mortir 3 inci. “Pos ini bila dihujani peluru dari luar perimeter tidak akan menghasilkan apa-apa karena lubang-lubang di pos-Ubang sangat kuat perlindungannya. Satu-satunya cara untuk merebut pos ini adalah mendorong ke perimeter dan bertarung dari jarak dekat,” kata Mayor Sri Tamigen dalam laporannya, dimuat di paradata.org.uk . Namun, suara hujan membuat suara langkah-langkah manusia atau suara lain tak terdengar dari pos itu ketika peluru-peluru pasukan RPKAD menghujani pos pukul 5 pagi. “Dalam kegelapan total dan hujan lebat, pasukan parasut Indonesia menyerang Plaman Mapu dengan kekuatan penuh senjata superior mereka, menembakkan artileri, mortir, senapan mesin, dan roket langsung ke salah satu segmen (pos, red .) Inggris, segera memangsa posisi dan salah satu mortir,” tulis buku terbitan RW Press Paratroopers, Ready for Anything: From WWII to Afghanistan . “Dalam rentetan tembakan pertama, salah satu dari dua posisi mortir kami dihancurkan, bersama dengan setengah dari orang-orang yang memegang mortir. Mereka telah membunuh dua tentara dan melukai beberapa lainnya yang membuat jumlah kami turun menjadi delapan belas yang berdiri dan mampu bertempur,” kata Serma John Williams, dikutip Allen. Mayor Jon Fleming, komandan Kompi B, baru tahu jika posnya diserang setelah seorang petugas sinyal memberitahunya. “Sambil meletakkan kainnya di atas sarung yang ia kenakan, ia (Fleming) keluar ke malam yang basah diterangi ledakan, tracer , dan suar. Kedua tangki air tertembak, seperti juga area di sekitar menara penjaga. Meski personil para-nya berdiri dengan cepat, sebuah mortir membunuh Prajurit Smith dan melukai dua lainnya ketika mereka bergegas ke mortir di dekat gudang,” sambung Allen. Seluruh personil di pos Inggris kaget oleh serangan kilat RPKAD itu dan secepat mungkin meraih senjata untuk mengadakan perlawanan. Serma Williams langsung berlari menuju sektor tempat pertempuran berlangsung. “Ia bertemu Prajurit Kelly, seorang penembak mesin dari bunker yang telah diserang, linglung karena kepalanya tertembak dua kali dan terus mengacungkan pistol Browning 9mm-nya ke hampir semua yang bergerak. Williams dengan tenang melucuti dirinya dan menginstruksikan seorang prajurit untuk membawa Kelly ke Pos Komando tempat para korban sedang berkumpul,” sambung Allen. Mayor Fleming langsung melaporkan serangan itu ke atasannya, Letkol Ted Eberhardie. Karena setiap kali Fleming akan kembali ke lokasi pertempuran dia dipanggil kembali ke radio, dia lalu menyerahkan kepada Serma Williams. “Dia (Williams) berkeliaran, meraih sebanyak mungkin prajurit yang bisa dikerahkannya, dan berusaha membawa mereka ke posisi yang menguntungkan, tetapi, ketika dia melakukannya, pasukan Indonesia meledakkan mortir, menyebar prajurit dan hanya menyisakan lima kaki. Williams melesat ke salah satu posisi senapan mesin, dijaga Kopral Malcolm Baughan dan beberapa lainnya sementara mereka memaksa musuh kembali ke parit,” sambung Paratroopers, Ready for Anything. Pertempuran yang melibatkan pertarungan jarak dekat itu akhirnya berubah begitu fajar menyingsing dan pasukan Inggris mulai mendapatkan jarak pandang yang baik. Ketika pasukan Gurkha tiba untuk membantu pasukan pos jaga Inggris sekira dua jam dari awal pertempuran, pasukan Indonesia telah mundur. Pertempuran Plaman Mapu pun berakhir.*
- Supeni, Kim Il-sung, dan Ganefo
PRESIDEN Sukarno mengangkat Supeni, politisi perempuan PNI, sebagai duta besar keliling. Ia ditugaskan meyakinkan pemimpin negara-negara Asia-Afrika untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok pertama di Beograd, Yugoslavia, pada 1–6 September 1961. Di luar tugas resmi itu, saat diundang ke Korea Utara, Supeni sempat menyinggung soal pesta olahraga yang sedang dipersiapkan oleh Sukarno untuk menandingi Olimpiade, yaitu Games of The New Emerging Forces (Ganefo). "Meskipun Bu Peni tidak punya urusan kegiatan apa-apa dengan Ganefo, tapi dalam pembicaraan dengan Kim Il-sung, sepintas lalu disinggung juga masalah ini," tulis Paul Tista dalam Supeni, Wanita Utusan Negara . Supeni sekadar bertanya kepada Kim Il-sung, apakah Korea Utara akan mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo. Ternyata, Kim Il-sung belum tahu tentang Ganefo dan minta dijelaskan. Setelah mendengar penjelasan dari Supeni, Kim Il-sung bertanya apakah negaranya perlu mengirim kontingen ke Ganefo? "Perlu sekali," kata Supeni "Kalau tidak kirim, bagaimana?" tanya Kim Il-sung. "Rugi, karena dengan demikian maka Korea Utara akan terisolasi," jawab Supeni. "Apakah Soviet Uni dan RRT (Republik Rakyat Tiongkok) akan kirim juga?" tanya Kim Il-sung. "Ya, mereka akan kirim kontingen yang besar," kata Supeni. "Kalau begitu, sebaiknya saya kirim juga," kata Kim Il-sung. Korea Utara pun mengirimkan kontingennya ke Ganefo. Menurut Paul Tista, percakapan dengan Kim Il-sung itu tidak pernah dilaporkan kepada Sukarno maupun Menteri Luar Negeri, dr. Subandrio atau Menteri Olahraga, Maladi. "Jadi, di Indonesia pun tidak ada orang yang mengerti bahwa Bu Peni pernah memengaruhi Kim Il-sung supaya mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo," tulisnya. Ganefo diselenggarakan pada 10–22 November 1963 di Jakarta. Sekitar 2.700 atlet dari 51 negara bertanding dalam 20 cabang olahraga. Hasilnya, Tiongkok keluar sebagai juara, diikuti Uni Soviet, Indonesia, Republik Persatuan Arab, dan Korea Utara. Pada April 1965, Kim Il-sung mengunjungi Indonesia sebagai balasan atas kunjungan Sukarno ke Korea Utara pada 1–4 November 1964. Supeni termasuk yang turut menyambut Kim Il-sung di Istana Merdeka. "Ketika Kim Il-sung melihatnya, tiba-tiba saja tamu negara ini keluar dari jalur protokol dan menyalami Bu Peni. Presiden Sukarno tersentak melihat tamunya keluar dari jalur, tapi setelah melihat Kim Il-sung menyalami Supeni, dia tersenyum," tulis Paul Tista. Frank Galbraight, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, tak suka dengan keakraban Supeni dan Kim Il-sung. Ia mendekati Supeni dan berkata dengan nada mengancam, " Oh, you, you bring about this, you'll see later, I know now " (Oh, Anda, Anda membawa ini, Anda akan lihat nanti, saya tahu sekarang). Supeni menjawab, " What do you mean, is that the way you meddle in other country’s business ?" (Apa maksud tuan? Apa ini caranya tuan mencampuri persoalan negara orang lain?). Sukarno tidak mengira kalau Kim Il-sung sudah mengenal Supeni. "Kim Il-sung sendiri kemudian menceritakan kepada Bung Karno, kalau tidak ketemu Supeni, mungkin Korea Utara tidak mengirimkan atlet-atletnya ke Ganefo," tulis Paul Tista.*
- Lapo, Restorannya Orang Batak
PUKUL tiga sore. Meski jam makan siang telah lewat, Lapo Siagian/br. Tobing yang berlokasi di Jalan Darat No. 17 Medan masih ramai pengunjung. Sebagian menyantap makanan, sebagian lainnya menanti pesanan. Di etalase, menu makanan seperti saksang babi, daging panggang babi, dan ikan mas arsik, daun ubi tumbuk, dan kue ombus-ombus tersaji rapi di tiap baskom. Meski terlihat sederhana, mereka sungguh menggugah selera.
- Martir Anarkis pada Peristiwa Mei 1886
1 MEI 1886. Puluhan ribu buruh di Chicago turun ke jalan. Mereka menuntut delapan jam kerja dalam sehari. Aksi itu disambut oleh senjata api polisi sehingga menggerakan aksi lebih besar lagi yang kemudian menjadi cikal bakal May Day atau Hari Buruh Internasional. Kala itu, Chicago menjadi pusat gerakan anarkis terutama di kalangan imigran Jerman dan Ceko. Pada Kongres Internasional Kedua 1883 di Pittsburgh, mereka mengirim lebih banyak delegasi daripada kota-kota lain. Jumlahnya bahkan mencapai setengah dari total keanggotaan Amerika Serikat. Tiga makalah anarkis juga diterbitkan di Chicago dan dibaca banyak kelas pekerja. “Agitasi mencapai puncaknya di Chicago pada tahun 1886. Pada 3 Mei polisi menembaki kerumunan di luar pabrik McCormick Reaper Works yang telah mengunci orang-orangnya, membunuh beberapa orang,” tulis Peter Marshall dalam Demanding The Impossible, A History of Anarchism. Kejadian itu menyulut lagi protes besar yang digelar di lapangan Haymarket. Protes hari itu hampir berakhir damai. Hujan turun dan kerumunan tersebar. 200 polisi berbaris di alun-alun. Namun, ketika mereka mulai membubarkan massa, sebuah bom dilemparkan dari sebuah gang. Kekacauan terjadi. Polisi kemudian mulai menembak ke arah kerumunan. Dalam baku tembak itu tujuh polisi tewas dan kemungkinan tiga kali lebih banyak yang tewas dari pihak demonstran, serta enam puluh lainnya terluka. Jumlahnya tidak pernah dipublikasikan. Peristiwa itu membuat delapan orang anarkis dituduh bertanggung jawab. Mereka adalah Albert Parson, August Spies, Michael Schwab, Samuel Fielden, George Engel, Adolph Fischer, Oscar Neebe dan, Louis Lingg. Albert Parsons adalah editor suart kabar Alarm dan August Spies editor Chicagoer Arbeiter-Zeitung . Pengadilan memvonis tujuh orang dihukum mati sementara satu orang mendapat lima belas tahun penjara. Namun kemudian, vonis dua orang dari mereka yang dihukum mati diubah menjadi penjara seumur hidup. “Dari lima orang yang dihukum mati, satu melakukan bunuh diri pada malam sebelum eksekusi,” sebut Marshall. Empat orang yang akhirnya dieksekusi adalah Parsons, Spies, Engel, dan Fischer. Mereka digantung pada November 1887. Sementara itu, para penyintas dibebaskan beberapa tahun kemudian ketika Gubernur Illinois John Peter Altgeld memerintahkan penyelidikan atas kasus tersebut dan tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam pemboman itu. George Woodcok dalam Anarchism: A History of Libertarian Ideas and Movements menyebut pengakuan ketidakadilan yang dialami para anarkis itu membuat mereka menjadi martir klasik gerakan buruh. Namun, ada satu hal yang masih kabur. “Tidak seorang pun, seperti yang saya katakan, pernah tahu siapa yang melempar bom Haymarket. Itu mungkin agen provokator,” sebut Woodcock. Insiden Chicago menjadi awal dari prasangka orang Amerika terhadap anarkisme dalam bentuk apa pun. Pada tahun-tahun berikutnya, kaum anarkis di Amerika Serikat terlibat dalam sedikit kekerasan. Namun sayangnya, dua dari sedikit insiden yang melibatkan mereka begitu terkenal, yakni percobaan pembunuhan terhadap pemodal Henry Clay Frick oleh Alexander Berkman pada 1892 dan pembunuhan Presiden McKinley oleh Leon Czolgosz pada 1901. Meski demikian, Kongres Sosialis Internasional II di Paris pada Juli 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Sementara itu, Amerika Serikat memilih hari Senin pertama di bulan September sebagai Hari Buruh.*
- Wabah Penyakit Kala Puasa Ramadan
WABAH penyakit beberapa kali menyerang umat muslim saat Ramadan. Tak jarang pada bulan puasa itu wabah mencapai pucaknya. Para ulama pun mencatat wabah itu dalam karya-karyanya. Karya-karya itu lahir saat Maut Hitam (Black Death) menyergap. Wabah ini dengan dahsyat menyebar melintasi padang rumput Asia Tengah ke pantai-pantai Laut Hitam, tak terkecuali kota-kota besar dan kecil Islam. "Persebaran wabah ini sangat terkait dengan aktivitas keagamaan," kata Oman Fathurahman, Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah dalam seminar daring lewat aplikasi zoom tentang "Wabah dalam Lintasan Sejarah Umat Manusia" yang diselenggarakan Museum Nasional pada 21 April 2020. Puncak Wabah Saat Ramadan Michael Walters Dols, sejarawan Amerika Serikat, dalam "Plague in Early Islamic History" termuat di Journal of the American Oriental Society mencatat wabah yang dinamakan Salam bin Qutaibah terjadi pada Rajab sampai Syawal (Februari–Juni) tahun 749 di Basrah. Nama wabah itu diambil dari nama seorang gubernur Baṣrah di bawah Dinasti Umayah dan Abbasiyah. "Wabah ini menjadi semakin parah saat Ramadan dan melandai pada Syawal," catat Dols. Wabah berulang kali menyerang pada masa kekuasaan Umayah yang berlangsung dari 661 sampai 750. Bahkan, seorang pejabat pemerintah menjadi korban. Ziyad Ibn Abi Sufyan atau Ziyad bin Abihi meninggal dunia di Kufah (Irak) pada Ramadan (Agustus) tahun 673. Ia menjabat gubernur Basra pada 665–670 dan menjadi gubernur Irak pertama pada 670 hingga kematiannya. "Untuk alasan ini, saat wabah datang selama musim panas, kekhalifahan Umayah meninggalkan kota, mereka pindah ke tempat-tempat terpencil dan tinggal dekat dengan orang-orang Badui," tulis Dols. Pada abad pertengahan, pengalaman merasakan wabah saat Ramadan dikisahkan oleh Al-Maqrīzī, sejarawan terkemuka Mesir. Dalam kitab as-Sulūk, ia mencatat bahwa wabah Maut Hitam melanda Mesir mulai dari Syakban, Ramadan, sampai Syawal 749 (November 1348–Januari 1349). Ketika itu wabah dalam kondisi terburuk. "Wabah pneumonik, mungkin mirip dengan sekarang Covid-19, gejala di radang paru, sesak, panas, ini terjadi biasanya dimulai pada musim dingin di wilayah Eropa abad ke-14," kata Oman. Ibnu Abi Hajalah menulis Daf’an-niqmah ketika wabah melanda Kairo pada 1362. Saat itu Maut Hitam merebak di Eropa dan Timur Tengah. Menurutnya, puncak wabah terjadi pada Syakban, Ramadan, dan Syawal. "Kalau kita lihat korban 900 ribu dalam dua bulan dari Syakban hingga Ramadan. Ini baru dari Kairo saja belum wilayah lainnya," katanya. Manuskrip ketiga menjelaskan wabah pada 1373–1374, sejak Rajab hingga Muharam. "Berapa bulan itu coba? Rajab, Syakban, Ramadan, Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, Muharam," kata Oman. "Bayangkan haji terganggu, Ramadan terganggu. Jadi bukan sekarang saja kita harus beribadah di rumah." Muhammad al-Manjibi al-Hambali atau Muhammad bin Muhammad al-Manbiji, ulama Suriah Utara abad ke-14, menyusun kitab saat wabah merebak pada Rajab 775 H (1373) yang meningkat menjelang akhir Syawal, Zulkaidah, Zulhijah, kemudian menurun pada Muharam tahun berikutnya. Kitab itu diterjemahkan Avner Giladi, profesor sejarah Timur Tengah di University of Haifa dalam "'The Child Was Small... Not So the Grief for Him': Sources, Structure, and Content of Al-Sakhawi’s Consolation Treatise for Bereaved Parents" yang terbit di jurnal Poetics Today. Wabah itu mengakibatkan banyak rumah dikosongkan dan ribuan orang tewas, mayoritas anak-anak. "Karena begitu banyak orang beriman yang meninggal, saya menyebut wabah ini 'wabah orang-orang saleh' ( ta'un al-akhyar )," kata Al-Manjibi. "Jadi bagaimana mungkin mengatakan wabah ini adalah hukuman bagi orang berdosa, bagi kelompok yang maksiat sementara orang-orang saleh juga jadi korban, saya kira penafsiran begini meski ada, tapi tidak produktif dalam kontribusi penanganan, dalam memberikan ketenangan kepada sesama," kata Oman. Tak hanya di Timur Tengah, wabah beberapa kali merebak di Hindia Belanda, seperti flu Spanyol dan kolera. Dalam Histories of Health in Southeast Asia suntingan sejarawan Cambridge University, Tim Harper, disebutkan kolera terjadi selama Ramadan tahun 1933 yang mengakibatkan lebih dari 500 pasien meninggal dunia di rumah sakit ibu kota. Kegiatan Keagamaan Meningkat Di saat wabah merebak, kegiatan keagamaan meningkat kendati masjid ditutup. "Ini spesifik ketika pandemi terjadi berbulan-bulan," ujar Oman dalam siaran Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara (Ngariksa) lewat akun media sosialnya beberapa waktu lalu. Hal itu juga tampak dalam catatan Ibnu Battuta yang dituliskan kembali oleh Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14 . Maut Hitam merupakan salah satu wabah yang pernah terjadi di negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah. Orang-orang menghentikan kebiasaan sehari-hari. Mereka lebih memilih salat dan berdoa. Kebanyakan muslim menerima wabah itu sebagai rencana Tuhan yang tak diketahui ciptaan-Nya. Masjid-masjid ditutup khususnya saat para petugas dan anggota pengurusnya menjadi korban. Kegiatan memandikan, membersihkan, dan mengubur jenazah tiada hentinya. Iring-iringan penguburan bergerak melalui jalan-jalan dalam parade yang tak berkesudahan. Persediaan peti mati dan pakaian penguburan cepat habis. "Para penggali kubur yang berhasil bertahan hidup meminta upah amat tinggi untuk pekerjaan mereka," tulis Dunn. Selain berpuasa Ramadan, diadakan pula doa bersama dengan bacaan tertentu. Pada Jumat, 6 Ramadan 1348 saat wabah berada di puncak, masyarakat diminta datang untuk berdoa bersama. Mereka membaca kitab Bukhari. "Di Kairo ada keyakinan membaca kitab-kitab Bukhari memberikan hikmah, healing , pengobatan dari agama karena membantu memberikan ketenangan," kata Oman. Selain sebagai hadis sahih, kata Oman, kitab Bukhari banyak menjelaskan tentang wabah, di antaranya yang mengatakan: "Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari daripadanya". "Ini bentul-betul jadi prinsip yang mewarnai para penafsir abad berikutnya," kata Oman. Namun, sebagaimana ditulis Ibnu Hajar al-Asqalani yang dikutip Dols, kegiatan berdoa bersama menyebabkan orang-orang berkumpul. Mereka berbondong-bondong datang. "Muslim dan non-muslim, anak-anak, mereka menangis meminta, tapi berkerumun. Justru wabah semakin menyebar, kematian semakin bertambah," tulis Dols.*
- Temu Legenda Banyuwangi
IKON kesenian gandrung Banyuwangi, Jawa Timur, unjuk kebolehan. Meski usianya menua, gerakan tangan, pinggul, kaki, dan kepalanya masih lincah dan luwes. Mengikuti irama gamelan yang rancak. Sesekali, dengan cekatan, tangannya melempar sampur. Begitulah Temu menari kala mengisi acara Sarasehan Budaya “Masa Depan Kesenian Gandrung di Banyuwangi” yang merupakan bagian dari Festival Lembah Ijen, medio Februari lalu. Temu dikenal sebagai maestro gandrung Banyuwangi. Sebagai penari gandrung senior, Temu memiliki kemampuan dalam bernyanyi, menari, dan wangsalan . “Penari gandrung sekarang, ada yang bisa menyanyi tapi tak bisa menari, atau ada yang bisa menari tapi tak bisa menyanyi –sehingga yang menyanyi adalah orang lain,” ujar Temu dalam wawancara yang dimuat buku Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan suntingan Philip Yampolsky. Sang Primadona Nama kecil Temu adalah Misti. Dia lahir 20 April 1953 di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, sekira tujuh kilometer dari Kota Banyuwangi. Misti adalah anak kedua dari pasangan Mustari dan Supiah. “Darah seni Temu mengalir dari sang ayah yang merupakan pemain ludruk dan biasa membawakan lagu jula-juli yang disebut kidungan ludruk . Darah seni juga dimiliki sang kakek, yakni Samin. Beliau ahli dalam seni tradisi mocoan lontar ,” tulis Dwi Ratna Nurhajarini dalam artikelnya “Temu: Maestro Gandrung dari Kemiren Banyuwangi”, dimuat Patrawidya , Desember 2015. Misti kecil sering sakit. Karena khawatir, ibunya bernazar kalau sudah besar Misti menjadi gandrung. Mirip dengan kisah Semi yang dikenal sebagai penari gandrung pertama. Namun jalan Temu menjadi penari gandrung lebih berliku. Karena orangtuanya bercerai, Misti kecil tinggal bersama keluarga bude dan pakdenya. Karena sejak kecil sakit-sakitan, Misti dibawa dan diobati ke seorang dukun. Misti juga dibawa ke juragan gandrung bernama Mbah Ti'ah. Oleh Mbah Ti’ah, dia diharapkan menjadi gandung. “Kesembuhan Misti dari sakit menurut istilah dari juragan Ti'ah adalah nemu nyawa (mendapatkan kehidupan lagi setelah sakit parah). Dari istilah nemu kemudian berubah menjadi Temu,” tulis Dwi. Temu mulai intens belajar gandrung. Menginjak usia 15 tahun, dia manggung untuk pertama kali di Dusun Gadok, tak jauh dari tempat tinggalnya. Pementasan ini merupakan fase wisuda sebagai penari gandrung atau biasa disebut meras . Nama Gandrung Temu kemudian melekat padanya, kendati o rang Using sering menyebutnya dengan nama Gandrung Temuk atau Mak Muk. Dengan suara dan gerak khas yang tak dimiliki gandrung lain, Temu perlahan dikenal orang. Dia kerap ditanggap. Jadwal pentasnya padat; bisa sampai 20 kali dalam sebulan. Temu jadi primadona. Penari gandrung Banyuwangi, Jawa Timur. (@banyuwangi_kab) Album Rekaman Selain teknik menari yang bagus, Temu piawai melantunkan gending atau lagu gandrung. Dengan cengkok khas Osing, suara melengking tinggi dan jelas, keindahan suara Temu disebut-sebut sebagai eksotisme dari timur. “Memang sulit untuk mempelajari lagu-lagu gandrung, saya tak tahu kenapa,” ujar Temu dalam buku Yampolsky. Karena keindahan suaranya, Temu dilirik perusahaan rekaman. Sejumlah album lagu gandrung direkam dan dijual dalam bentuk kaset atau CD. Penjualannya lumayan laris di pasaran. Farida Indiriastuti dalam “Dari Kemiren ke Hollywood” di Kompas , 3 November 2007, mengambil sampel album kompilasi Temu Disco Etnik Banyuwangi yang direkam Sandi Record. Album ini mampu menembus angka penjualan fantastis: 50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali. “Lagu bahasa Osing itu disenangi. Lagunya sendiri gak dimengerti. Tapi orang senang. Enak didengar,” ujar Hasnan Singodimayan, budayawan Banyuwangi, dalam tayangan berjudul “Bahasa Using (Osing) Banyuwangi” produksi Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta yang beredar di YouTube . Suara emas Temu bahkan melanglang hingga ke mancanegara. Pada 1980-an, Smithsonian Institution dari Amerika Serikat melakukan proyek pendokumentasian dan penerbitan musik rakyat bekerjasama dengan Masyarakat Musikologi Indonesia –kini, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Mereka membuat 20 volume atau album yang dilabeli Music of Indonesia . Volume pertama adalah Gandrung Banyuwangi dengan judul Songs Before Dawn yang rilis tahun 1991. Gandrung Banyuwangi dibawakan oleh Temu dan direkam di sebuah kebun pada malam hari di Desa Kemiren. Rekaman dalam bentuk CD itu berisi 11 lagu gandrung. Di Indonesia, album ini rilis enam tahun kemudian dengan judul Nyanyian Menjelang Fajar . Seperti judul albumnya, 11 lagu itu biasa dibawakan kala seblang subuh atau bagian terakhir dari pertunjukan gandrung. Pada bagian ini, penari gandrung menari sendiri sambil melantunkan lagu-lagu gending untuk mengakhiri pertunjukan. Tujuannya mengingatkan penonton atau para tamu untuk kembali ke rumah, bertemu dengan keluarga, dan memenuhi kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Dewasa ini seblang subuh jarang dipentaskan. Songs Before Dawn rupanya diperjualbelukan secara luas dan laku. Pada medio Juli 1992 saja, catat Farida, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan sebanyak 284.999 keping CD dalam tempo 24 jam. Belum lagi kalau dihitung angka penjualan di negara-negara lain dalam format CD, kaset, dan unduhan via internet. Popularitas Temu tak berbanding lurus dengan penghasilan yang didapatkannya. Temu tetap hidup sederhana. Dengan kesederhanaan pula dia menjalani hidup sebagai seniman. Berkat Temu, gandrung Banyuwangi kian dikenal di dunia. Berkat dedikasi Temu pula, gandrung Banyuwangi tetap lestari dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Menurut Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, Temu menjadi salah satu inspirasi bagi Banyuwangi untuk menggelar Festival Gandrung Sewu. “Kami bangga memiliki Bu Temu yang tak pernah lelah dan bosan menguri-uri kesenian Gandrung. Festival Gandrung Sewu juga terinspirasi dari semangat Bu Temu,” ujar Anas dalam laman Pemkab Banyuwangi . Kini, di rumahnya yang sederhana, Temu masih berupaya melestarikan gandrung. Temu memiliki grup gandrung sekaligus sanggar di rumahnya yang diberi nama Sopo Ngiro. Salah satu yang nyantrik atau belajar kepadanya adalah Mudaiyah, yang kini dikenal sebagai penari gandrung muda Desa Kemiren. “Saya akan terus menari sampai saya tak laku lagi. Saya ingin terus menari sampai saya punya murid yang menekuni tradisi ini, sampai murid itu bisa menari semua tarian dan bisa menyanyi semua lagu. Baru saya bisa pensiun!,” ujar Temu dalam buku Philip Yampolsky.
- Menanti Vaksin Pembasmi Penyakit
SEBAGAI salah satu lembaga yang meneliti vaksin corona, Universitas Oxford pada 23 April 2020 sudah mulai mengujicoba hasil risetnya pada manusia. Sebanyak 1110 sukarelawan menjadi bagian dari percobaan tersebut. Setengahnya menerima vaksin ujicoba, setengah lainnya mendapat vaksin meningitis. Vaksin yang diujicoba merupakan ChAdOx1 nCoV-19, yang dibuat dari virus (ChAdOx1) atau virus flu biasa (adenovirus) yang sudah dilemahkan. Adenovirus biasanya menginfeksi simpanse. Secara genetis, virus ini telah berubah sehingga muskil berkembang pada manusia. Materi genetik dari protein SARS-Cov-2 (disebut Spike Glycoprotein ) ditambahkan pada konstruksi ChAdOx1. Protein ini biasa ditemukan pada permukaan SARS-Cov-2 dan punya peran penting dalam proses infeksi ke manusia. Vaksinasi ChAdOx1 nCoV-19 diharapkan membuat tubuh mengenali dan mengembangkan respon imun terhadap protein Spike Glycoprotein. Dengan begitu, dapat menangkal virus SARS-CoV-2 memasuki sel manusia sehingga mencegah infeksi. Vaksin virus ChAdOx1 telah diberikan pada lebih dari 320 orang. Sejauh ini, penggunaan vaksin tersebut diklaim aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Beberapa efek samping sementara yang ditimbulkannya semisal demam ringan, sakit kepala, atau lebam di lengan. Ujicoba vaksin yang dilakuakn Universitas Oxford ini merupakan satu dari 76 kadidat vaksin yang diteliti di berbagai lembaga riset dunia. Para ahli berpendapat, pandemi Covid-19 bisa diatasi apabila obat yang terbukti efektif menyembuhkan penyakit bisa diproduksi massal atau penemuan vaksin untuk mencegah infeksi virus. Dikutip dari BBCnews, para ahli memprediksi bahwa vaksin corona baru bisa diproduksi massal pada 2021. Upaya pemberantasan penyakit dengan vaksinasi juga pernah dilakukan kala cacar mewabah. Vaksin cacar ditemukan pada 1778 di Inggris oleh Edward Jenner. Pada 1780-an metode variolasi diperkenalkan Inggris di Bengkulu, Sumatera selatan. Sementara, di Jawa metode ini diperkenalkan oleh Belanda. Variolasi atau inokulasi merupakan metode pertamakali yang digunakan untuk mengebalkan imun tubuh dari penyakit dengan mengambil sebagian infeksi ke tubuh orang lain. Peter Boomgaard dalam “Smallpox, vaccination, and the Pax Neerlandica” menyebut, pada mulanya sejumlah kecil orang yang diinokulasi kebanyakan orang Eropa dan budaknya. Inokulasi ini jauh lebih berbahaya daripada vaksinasi. Ketika beberapa orang meninggal setelah diinokulasi, antusiasme untuk menjalani metode ini turun drastis. Sementara, vaksin yang sudah diproduksi massal dibawa Inggris ke Bombay dan Sri Lanka pada 1802. Dua tahun kemudian vaksin yang sama dibawa ke Jawa oleh Belanda. Antara 1805 dan 1815, vaksinasi meluas di Jawa dan makin banyak orang yang menerima vaksin. Ketika Inggris berkuasa pada 1815, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles menjalankan program vaksinasi dengan sistematisasi detil dan menyeluruh. Petugas medis, khususnya mantri, dikirim ke pelosok sehingga distribusi vaksin bisa sampai ke desa-desa. Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market mencatat, ketika vaksinasi pertamakali diperkenalkan di Priangan, orang-orang mencurigai program ini. Beredar desas-desus bahwa vaksinasi merupakan usaha pemerintah kolonial menandai setiap anak lelaki untuk dimasukkan sebagai tentara kelak ketika dewasa. Orang-orang yang takut lantas kabur ke hutan untuk sembunyi. Pada 1818, pemerintah kolonial menggratiskan vaksinasi cacar di semua daerah. Dua tahun berikutnya, dikeluarkan Reglement voor den Burgelijke Geneeskundige Dienst (peraturan mengenai Dinas Kesehatan Publik) dan Reglement op de Uitoefening der Keoepokvaccinatie in Nederlandsch-Indie (peraturan pelaksanaan vaksinasi cacar). Dari situlah pengorganisasian program vaksin dimulai. Seperti ditulis Baha’udin dalam “Dari Mantri hingga Dokter Jawa”, program itu cukup sukses dijalankan. Sebanyak 50.420 orang di Jawa dan Madura menerima pencacaran pada 1818. Jumlah itu naik pada tahun berikutnya menjadi 55.322 pencacaran. Pada 1820 sebanyak 83.237 orang menerima vaksin cacar. Namun pada 1860, pencacaran mesti dilakukan dua kali karena beberapa orang menerima pencacaran ulang. Sebanyak 479.768 orang menerima pencacaran dan sebanyak 211.051 menerima pencacaran ulang. Hal serupa terjadi pada 1871, di mana 524.553 orang menerima pencacaran dan 209.479 divaksin ulang. Pada 1875, angkanya naik menjadi 570.652 orang menerima vaksin pertama dan 360.201 divaksin untuk kedua kalinya. Keberhasilan program vaksinasi cacar ini kemudian dijadikan model kebijakan dalam menangani penyakit-penyakit rakyat ( volkziekte ), salah satunya pes. Kala wabah pes melanda Jawa, penanganan penyakit berada di bawah Dinas Kesehatan Publik ( Burgerlijke Geneeskundige Dienst, BGD). Lembaga ini, seperti ditulis dosen IAIN Surakarta Martina dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, membentuk program Pestbestrijding (pemberantasan pes). Mereka mendatangkan dokter dari Eropa, mengatur implementasi karantina, mengelola rumah sakit umum dan klinik, skema kebersihan intensif, penelitian obat dan vaksin, pelatihan dokter dan mantri pes, produksi vaksin, dan pengumpulan data statistik. Awalnya, BDG mengimpor dua jenis vaksin pes dari Jerman dan Inggris. “Dalam penanganan pes, segala vaksin dicoba di negeri jajahan sampai ditemukan yang paling efektif,” kata Martina pada Historia. Pemberian kedua vaksin ini dilakukan pada 65.720 orang dalam jangka waktu tujuh bulan. Sebanyak 54.017 orang dengan vaksin Jerman dan 11.703 dengan vaksin Inggris. Namun, kedua vaksin tersebut dinilai kurang efektif di samping biaya impor dan harganya yang mahal. Pada 1930-an, dokter Otten dari Institute Pasteur, Bandung mengembangkan vaksin dari bakteri pes hidup. Vaksin ini ternyata lebih efektif dibanding vaksin impor dari Jerman dan Inggris. Martina menyebut, kala penanganan cacar, dokter Otten juga mengembangkan vaksin kering cacar yang lebih efektif digunakan di wilayah tropis. Pemvaksinan massal kemudian dilakukan dengan bantuan mantri, seperti ketika vaksinasi cacar. Pada 1939, pemerintah kolonial mengklaim sebanyak 2,5 juta orang telah menerima vaksin temuan dokter Otten dan lebih dari 10 juta orang telah divaksin ulang. Vaksinasi ini berhasil mengurangi 25 persen tingkat kefatalan penyakit pes. Pada akhir masa pemerintahan kolonial, laporan tentang angka korban penyakit pes terus menurun karena meningkatnya daya imun penduduk terhadap penyakit pes.*






















