top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dalam Keadaan Sakit, Aliarcham Tetap Melawan

    Ketika akhirnya dipindahkan ke Kamp Tanah Tinggi, Aliarcham mulai mengalami batuk-batuk. Kondisinya menjadi semakin parah dan diketahui ia mengidap penyakit Tuberkulosis (TBC). Kian hari badannya semakin kurus. Mukanya pucat dan matanya juga cekung. Sukimah adalah istri Aliarcham yang pada 1926 ikut dalam pembuangan ke Okaba. Ia turut pula ketika Aliarcham dipindahkan ke Tanah Merah dan kemudian ke Tanah Tinggi. Anak laki-laki mereka yang bernama Aneksimander juga ikut dalam pengasingan ini. Di Tanah Tinggi ketika Aliarcham mulai sakit, istrinya diminta kembali Jawa. Sukimah yang saat itu tengah mengandung diminta pulang agar melahirkan di Jawa. Lagi pula akan sangat berbahaya jika penyakit Aliarcham menular ke keluarganya. “Bulan Juli 1929, dengan hati yang pilu, bertentangan dengan perasaannya dan atas desakan yang kuat dari suaminya, akhirnya Sukimah terpaksa berangkat dan meninggalkan suaminya di pembuangan,” tulis penyusun buku Aliarcham, Sedikit tentang Riwayat dan Perjuangannya . Sementara itu, keadaan Aliarcham makin buruk. Kawan-kawannya menganjurkan supaya ia berobat ke Tanah Merah. Namun Aliarcham menolak karena ia yakin bahwa pemerintah kolonial tidak akan mengobatinya karena sangat membencinya. Setelah terus didesak oleh kawan-kawan, akhirnya Aliarcham akhirnya sempat berobat di Tanah Merah dan kemudian kembali lagi ke Tanah Tinggi. Aliarcham ternyata memilih mati dikelilingi kawan-kawan daripada harus berobat hingga sembuh kepada pemerintah kolonial. Aliarcham memang keras pendirian. Padahal di Tanah Tinggi, mengidap penyakit seperti penyakit paru-paru atau malaria tanpa pengobatan berarti kematian. Seorang sersan penjaga di Tanah Tinggi bercerita kepada Chalid Salim bahwa selama berminggu-minggu Aliarcham terus batuk pada malam hari. Kemudian setiap pagi jam enam ia terlihat berjalan-berjalan di depan rumahnya untuk berjemur dengan berkalung handuk. “Tak pernah ia minta tolong. Sungguh orang luar biasa!” katanya, seperti dikutip Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul. Dokter Schoonheyt yang sempat mengobati Aliarcham di Tanah Merah memberitahu Sukimah melalui sepucuk surat. Ia menganjurkan Sukimah agar kembali ke Digul karena penyakit suaminya sudah parah. “ Saya melihat sesuatu yang luar biasa kuatnya pada diri suami nyonya, yaitu pendirian politiknya yang tak pernah kendor melawan pemerintah. Dan sebagai manusia, saya sangat menghormati akan keteguhan hati ini,” tulis Schoonheyt. Sukimah segera mengirim surat untuk Aliarcham. Ia mengatakan akan kembali ke Tanah Tinggi untuk merawatnya. Namun, keinginan sang istri ditolak Aliarcham. “Sakit saya hanya sedikit dan kalau kau datang penyakit ini takkan sembuh. Dan kau pasti tinggal saja terus di Jawa mendidik anak-anak. Dan saya pasti sembuh,” kata Aliarcham dalam surat balasannya. Sukimah tentu saja khawatir. Namun sebelum ia sempat mengabarkan terkait kepastian keberangkatannya ke Tanah Tinggi, kabar kematian suaminya justru datang lebih dulu. Pada 1 Juli 1933, Aliarcham meninggal dunia di atas perahu menuju Tanah Merah.

  • Unit 731 yang Tak Tersentuh

    Unit 731 berhasil menebar teror di Perang Dunia II. Unit penelitian senjata biologis dan kimia milik Pasukan Kekaisaran Jepang tersebut disiapkan untuk menyokong kekuatan tempur Jepang di garis depan pasca kemenangan tidak memuaskan pada PD I. Kesatuan itu beroperasi secara baik hingga Negeri Matahari Terbit mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada 14 Agustus 1945. Kawasan Asia-Pasifik, khususnya timur laut Cina, saat itu seolah dijadikan “taman bermain” militer Jepang. Uji senjata hasil kreasi Unit 731 bebas dilakukan terhadap manusia di sana. Ribuan nyawa dari kalangan sipil dan militer melayang. Kekejaman militer Jepang semakin tergambar jelas ketika para sejarawan menyamakan teror Unit 731 dengan Kamp Auschwitz milik Nazi, Jerman. Namun rupanya dalam kasus Unit 731 tidak hanya pihak militer saja yang harus bertanggung jawab. Menurut sejarawan Alan Jay Vanderbrook, ada pihak lain yang sebenarnya ikut mengambil peran dari kelahiran senjata pembunuh massal itu, meski tidak sebesar peran pasukan kekaisaran. Dalam tesisnya di University of Central Florida, Amerika Serikat, Imperial Japan’s Human Experiments Before And During World War Two , Vanderbrook menyebut Unit 731 beroperasi dalam konteks yang jauh lebih besar dan kompleks dari yang diduga masyarakat. “Hampir setiap universitas utama di Jepang, serta banyak orang di bidang ilmiah dan komunitas medis, rumah sakit militer, laborartorium sipil dan militer, dan tentu kesatuan militer Jepang secara keseluruhan,” ungkapnya. Otak di Balik Kekejaman Bergabungnya Jepang di gelanggang utama PD II merupakan salah satu capaian besar Kaisar Hirohito di dunia politik-militer. Demi mempertahankan kedudukan tersebut, dia melakukan berbagai cara. Hirohito dan para pimpinan militer Jepang sadar –setelah terlibat perang melawan Cina dan Rusia– bahwa negaranya tidak memiliki cukup sumber daya untuk memulai perang besar. Cara terbaik untuk menutup kekurangan tersebut adalah pengembangan senjata pembunuh berskala besar. Maka ditunjuklah seorang ilmuwan, sekaligus dokter di kesatuan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang bernama Shiro Ishii. Sosoknya memang menjadi perhatian para petinggi militer karena berbagai penelitian yang mengesankan. Shiro Ishii (Wikimedia Commons) Shiro Ishii lahir pada 25 Juni 1892 di Chiyoda, sekitar Tokyo sekarang. Ketika menginjak usia 24, Ishii terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran, spesialisasi bakteriologi, di Kyoto Imperial University. Sejak masih di bangku kuliah, dia dikenal sebagai seorang yang ambisius dan keras kepala. Pada 1920, Ishii menyelesaikan pendidikan dokternya dan langsung diterima di kesatuan militer kekaisaran Jepang dengan pangkat letnan. Tapi Ishii tidak bekerja di garis depan, melainkan di rumah sakit militer Tokyo. “Berbagai pencapaian penelitian Ishii diharga oleh atasannya. Dua tahun kemudian dia mendapat tugas melanjutkan pendidikan master di bidang bakteriologi, di almamaternya (Kyoto Imperial University),” tulis Hal Gold dalam Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program . Setelah selesai dengan program master, Ishii ditugasi untuk mendalami soal senjata biologis ke Barat. Selama hampir dua tahun berkelilingi Eropa dan Amerika, Ishii memperluas pengetahuan tentang senjata biologis dan kimia yang dikembangkan semasa PD I, terutama racun buatan Amerika. Pengetahuan ini sangat penting bagi pengembangan persenjataan pasukan Jepang. Pada 1932, Ishii dan timnya merencanakan pembangunan pabrik senjata biologis agar dapat memproduksi massal senjata buatannya. Dia juga memimpin para ilmuwan untuk mengujicobakan hasil penelitiannya kepada manusia. Ishii lalu pergi ke wilayah Manchuria yang telah dikuasai militer Jepang. Dia menetapkan daerah Harbin di sana sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Maka berdirilah Unit 731, kesatuan mematikan kekaisaran Jepang yang menciptakan neraka di dataran Cina. Peran Besar AS Aktifitas pembuatan senjata biologis dan kimia secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Jepang akhirnya terendus juga oleh Amerika Serikat. Meski informasinya tidak lengkap, Sang jawara PD II ini telah cukup lama mengetahui keberadaan unit rahasia milik Jepang tersebut. Begitu perang berakhir, AS segera memulai investigasi pertamanya. Letnan Kolonel Murray Sanders dikirim untuk tugas ini. Pada 1946, Jenderal Douglas McArthur menerima sejumlah laporan tentang eksperimen Unit 100 dan Unit 731 selama PD II. Satu yang membuatnya geram adalah sampel manusia yang dijadikan percobaan unit itu tidak hanya masyarakat di kawasan Asia, tetapi juga tawanan asing semasa perang, termasuk orang Rusia, Prancis, bahkan sejumlah kecil orang Amerika. McArthur mendapat informasi tersebut dari seseorang (identitas dirahasiakan) yang bekerja sebagai perawat di Unit 200, sub-Unit 731. Namun fakta tersebut tidak membuat AS bergerak mengadili para aktor Unit 731 atas berbagai eksperimen jahatnya. Malah, Negeri Paman Sam melihatnya sebagai peluang menambah pengetahuan tentang senjata dan tubuh manusia. “Ini bukan pertama kalinya AS menahan keberadaan eksperimen manusia. Seperti yang mereka lakukan terhadap para ilmuwan Nazi yang ditangkap, kemudian dibawa ke AS untuk bekerja di proyek pembuatan roket,” ungkap Vanderbrook. Dengan mengatasnamakan kepentingan ilmu pengetahuan, para ilmuwan di Unit 731 mendapat perlindungan. Shiro Ishii meninggal dunia tahun 1959 akibat kanker. Ia tidak sedikitpun tersentuh hukum atas perannya mempimpin Unit 731. Para petinggi lain di Unit 731 juga mendapat berkah yang sama. Sebagian dari mereka kembali ke rutinitas sebelum perang, mengajar di universitas dan bekerja di rumah sakit. Hampir seluruhnya meninggal akibat usia, bukan karena hukuman. Ditutupi Pemerintah Kekejaman Unit 731 nyatanya menjadi bahasan yang tabu di Jepang. Hampir tidak ada yang membicarakan persoalan ini, baik di tingkat umum maupun di antara para intelektual. Hingga tahun 1990-an, pemerintah menutup rapat akses informasi Unit 731 dan unit lainnya. Berbagai dokumen peneilitian, foto, dan nama-nama tokoh yang terlibat seakan menjadi dongeng yang tidak pernah terjadi. Para ilmuwan yang terlibat di Unit 731 (The Guardian) Diberitakan The Guardian pada 2018, Jepang akhirnya membuka daftar nama orang-orang di pasukan kekaisaran Jepang yang terlibat dalam pembuatan senjata bilogis dan kimia sepanjang 1930-an sampai 1940-an. Profesor di Shiga University of Medical Science Katsuo Nishiyama menginisiasi pengungkapan faktar sejarah tersebut. Dokumen bertanggal 1 Januari 1945 ini memuat lengkap identitas tokoh yang terlibat. Terdiri dari nama, pangkat, dan informasi lainnya. Ada lebih dari 1.000 petugas medis militer, 52 dokter, 38 perawat, dan sejumlah besar teknisi yang namanya tercantum di dokumen rahasia tersebut. “Ini adalah pertama kalinya dokumen resmi yang memuat hampir semua nama-nama tokoh yang terlibat di Unit 731 diungkap,” ucap Nishiyama. “Daftar ini merupakan bukti penting untuk memperkuat kesaksian mereka yang terlibat. Penemuan ini akan menjadi langkah besar untuk mengungkap fakta-fakta yang disembunyikan.”

  • Hukuman Bagi Pelanggar Karantina di Hindia Belanda

    Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya diberlakukan di Jakarta mulai Jumat, 10 April 2020. Aturan tentang PSBB ini tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 33 Tahun 2020 sebagai upaya memutus penyebaran virus korona. Kegiatan perkantoran dan sekolah diliburkan. Hanya beberapa sektor yang diizinkan beroprasi, seperti sektor kesehatan, pangan, energi, komunikasi, keuangan, logistik, dan penyediaan kebutuhan sehari-hari. Transportasi umum tetap beroperasi namun hanya dari pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB dan kapasitasnya dibatasi menjadi 50 persen. Pembatasan kapasitas angkut ini juga berlaku untuk mobil pribadi. “Dalam satu kendaraan, jumlah penumpang yang bisa naik bersamaan dibatasi. Bila jumlah kursinya untuk enam orang maka maksimal hanya tiga orang, dan semua di dalam mobil wajib pakai masker," kata Gubernur Anies Baswedan seperti dikabarkan Kompas.com. Kebijakan tersebut diberlakukan hingga 23 April 2020 namun bisa pula diperpanjang. Masyarakat yang terbukti melanggar aturan PSBB bisa dihukum 1 penjara atau denda hingga Rp100 juta. Pemberlakuan hukuman bagi para pelanggar karantina kesehatan juga pernah terjadi di era kolonial. De Sumatra Post 20 Juli 1910 memberitakan, karantina kesehatan diberlakukan di Deli. Seluruh biaya karantina untuk orang yang membutuhkan dibayar oleh pemerintah. Namun, bagi mereka yang melanggar aturan pada kesempatan pertama akan langsung mendapat hukuman berupa denda f 2000 atau dua tahun penjara bagi orang Eropa dan dua tahun kerja paksa bagi pribumi. “ f 2000 akan menjadi jumlah yang sangat besar bagi orang pribumi,” kata Liesbeth Hesselink, penulis buku Healers on the Colonial Market, kala dihubungi Historia. Pada tahap akhir penjinakan pes, seperti dikisahkan Martina Safitry dalam tesisnya, “Dukun dan Mantri Pes”, hukuman dan denda juga diberlakukan bagi para pelanggar aturan. Besluit No. 4064/52 tanggal 25 April menerangkan bahwa setiap orang harus menjaga kebersihan pekarangan, rumah, dan lingkungannya agar terhindar dari sarang tikus. Bambu utuh dan kotor dilarang digunakan untuk perkakas rumah. Barang-barang harus ditata dengan rapi dan beraturan. Barang siapa yang melanggar peraturan tersebut, akan dihukum berdasar artikel II dalam Staatsblad no. 484 tahun 1916 yakni denda sebanyak f 100 atau hukuman penjara 1-6 hari bagi pribumi maupun Eropa. Kala wabah influenza menyerang Hindia Belanda, aturan karantina beserta hukumannya juga diberlakukan. Dalam Staatsblad tahun 1920 nomor 723 disebutkan wewenang untuk karantina diberikan kepada pejabat kesehatan setempat. Orang dari daerah terjangkit dilarang keluar atau memasuki daerah yang dinyatakan masih sehat. Bila aturan tersebut dilanggar, hukuman pidana sudah menanti. Setiap orang yang menolak pengawasan dan tindakan karantina diancam kurungan maksimal enam hari atau denda uang maksimal f 50. Kepala sekolah atau pengelolanya yang tidak meliburkan sekolah juga akan dijatuhi hukuman serupa. Kontrol rutin terhadap kondisi kesehatan masyarakat juga digalakkan, khususnya terhadap korban-korban penyakit influenza. Lantaran penyakit ini berasal dari luar negeri, aturan ketat pada kapal-kapal di pelabuhan pun diterapkan. Orang-orang dari kapal dilarang turun dari kapal karena dikhawatirkan menulari penduduk di pelabuhan dan menyebarkan penyakit di darat. Setiap penumpang kapal yang turun harus menunjukkan bukti bahwa mereka bebas dari influenza. Bila tidak, mereka diperintahkan untuk tetap berada di kapal (bila transit) atau dikarantina terlebih dahulu sebelum diizinkan melanjutkan perjalanan. Mengingat kapal berada di bawah tanggungjawab nahkoda (kapten kapal), maka pengawasan menjadi tugasnya. Apabila ada penumpang yang melanggar, nahkoda wajib menghukum pelanggar; bila tidak, nahkoda itu sendiri yang akan dihukum pemerintah karena dianggap melalaikan tugas. Kepala Dinas Kesehatan Rakyat dokter de Vogel, yang tercatat dalam karya Priyanto Wibowo berjudul Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918, merupakan orang yang mengusulkan aturan hukuman bagi pelanggar aturan karantina pada Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum. Seorang nahkoda kapal yang didapati melalaikan tanggung jawab terkait karantina kesehatan akan dihukum kurungan maksimal setahun atau denda uang maksimal f 2000. Pandangan de Vogel itu segera menuai protes dari direksi Perusahaan Pelayaran Kerajaan (Koninklijk Paketvaart Maatschappij, KPM). Mereka keberatan bila nahkoda dimintai tanggung jawab untuk mengawasi penumpang atau awak kapal yang turun tanpa izinnya. Terlebih, aturan karantina yang disebutkan de Vogel bukan bagian dari tugas seorang nahkoda, melainkan tugas petugas kesehatan atau bahkan pemerintah setempat. Pihak KPM kemudian mengusulkan agar tanggung jawab dalam peraturan karantina seharusnya diberikan oleh kepala pelabuhan. Mereka juga menyebut kebijakan tersebut bukan hanya menyulitkan nahkoda dan penumpang tetapi juga akan mematikan aktivitas perekonomian di sekitar pelabuhan. De Voogel tetap pada pendiriannya. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal, dia mengatakan bahwa alasan direksi KPM tentang hambatan aktivitas ekonomi terlalu dibesar-besarkan. Namun dari aturan karantina kala pandemi influenza tersebut, hanya kalangan pendidikan, perkapalan, dan masyarakat umum yang diancam hukuman apabila tidak mematuhi aturan. “Ancaman seperti itu tidak berlaku bagi dinas kesehatan atau kepala pemerintah daerah yang lalai dalam melaksanakan tugasnya,” tulis Priyanto dalam bukunya.

  • Menggali Akar Anarkisme di Indonesia

    NARASI tentang anarkisme sebenarnya sudah eksis bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Hanya saja ketika membicarakannya pada hari-hari ini, seolah-olah ia menjadi sebentuk barang baru dari dunia Barat. Anarkisme adalah ideologi yang tak memiliki tanah air. Ia hanya tampak sebagai paham impor dari Eropa hanya karena dari sana bermula ideologi ini diartikulasikan, elemen-elemen dasarnya diformulasikan, diperbincangkan hingga paham ini terus mengada di antara paham-paham besar lainnya yang juga dilantangkan dari sana.

  • Upaya Menggali Inspirasi Lewat Film Kadet 1947

    PERJUANGAN kemerdekaan negeri ini tak melulu berisi kisah-kisah heroisme dari peperangan di darat. Ada pula para pemuda di masa itu bertaruh nyawa di udara. Epos pemboman yang dilakukan para kadet Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) 73 tahun lampau itulah yang bakal diangkat ke layar lebar dengan tajuk Kadet 1947. Adalah Temata Studios yang menggarap petite histoire (sejarah kecil) yang tak pernah atau jarang tertera di buku pelajaran sejarah zaman kiwari itu. Film yang juga didukung TNI AU itu bakal dikemas dengan drama berlabel “ inspired by true story ” oleh duet sineas muda Rahabi Mandra dan Aldo Swastia. “Cerita ini memang berdasarkan zaman Agresi Militer Belanda (pertama). Serangan dilakukan para kadet yang notabene masih amatir. Tapi semangat ini yang ingin kita bagikan. Ini semacam untold story karena kisah mereka ini bukan cerita yang besar seperti cerita-cerita Jenderal Sudirman, tetapi kisah mereka dapat membangkitkan semangat bagi gerakan-gerakan (perjuangan) yang lain,” kata produser Celerina Judisari dalam konferensi pers virtual via platform video conference Zoom, Rabu (15/4/2020). Para kadet disebut amatir karena saat melakukan pemboman udara pertama Indonesia itu masih berstatus taruna AURI. Jangankan melakukan misi tempur, jam terbang mereka pun masih nol alias belum pernah terbang. Kendati faedah misi mereka kecil jika ditilik arti strategisnya, seperti dikatakan KSAU Komodor Suryadarma, pengaruhnya begitu berarti. Enam dari tujuh kadet AURI dalam misi pemboman dari kiri ke kanan: Suharnoko Harbani, Sutardjo Sigit, Mulyono, Kaput, Dulrachman, dan Sutardjo (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang: Periode: 1945-1950") Misi pemboman mereka pada 29 Juli 1947 dengan sasaran sarang-sarang militer Belanda di Salatiga, Semarang, dan Ambarawa itu adalah misi balas dendam terhadap Agresi Militer I (27 Juli 1947) Belanda dua hari sebelumnya. Misi itu diusulkan kadet-kadet AURI di Pangkalan Maguwo (kini Lanud Adisucipto) seperti Kadet Sutardjo Sigit, Kadet Kaput, Kadet Sutardjo, Kadet Suharnoko Harbani, Kadet Mulyono, Kadet Doelrachman, dan Kadet Bambang Saptoadji. “Rupanya anak-anak (kadet) itu merasa gemas. Apalagi kemudian banyak sekali yang hancur akibat serangan udara (Belanda) itu. Lantas dianggapnya kekuatan Indonesia sudah tidak ada lagi. Semangat anak-anak amatiran itu yang ingin kita angkat,” tambahnya. Darah muda mereka bergolak ketika melihat efek Agresi Militer Belanda I yang turut menghancurkan beberapa pesawat AURI bekas Jepang di Pangkalan Maguwo.  Dengan pesawat-pesawat yang tersisa seperti pesawat latih Cureng (Yokosuka K5Y), pesawat tempur Hayabusa (Nakajima Ki-43), dan pembom tukik Guntai (Mitsubishi Ki-51), mereka lalu melakukan perhitungan dengan sepengetahuan KSAU Komodor Suryadi Suryadarma (KSAU) dan Deputi Operasi KSAU Komodor Muda Halim Perdanakusuma. Meski sempat mengalami sedikit problem teknis di udara, misi itu sukses bikin Belanda panik. Belanda tak menyangka Operatie Product (Agresi Militer) yang dilancarkannya dibalas Indonesia lewat pemboman udara dua hari kemudian. Kejengkelan Belanda itulah yang mendorongnya balas dendam. Di hari yang sama, Belanda menembak jatuh pesawat angkut Dakota C-47 Indonesia dan menewaskan beberapa tokoh penting AURI seperti Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo. Di kemudian hari, tragedi Dakota itu oleh Indonesia diperingati sebagai Hari Bhakti TNI AU. Inspirasi Spirit Kadet-Kadet Pemberani Semangat menggebu tim produksi sayangnya mesti menunda proses penggarapan film akibat pandemi SARS-Cov-2 (virus corona ). Dari rancana 40 hari proses syuting yang dilakoni sejak awal Maret 2020, baru berjalan tiga hari. Padahal, rencana awal film ini akan tayang pada Agustus 2020 sebagai “kado” HUT ke-75 RI. Jadwal pun bergeser. Rencananya, produksi akan digulirkan lagi pada Juni 2020, sementara jadwal tayang yang belum ditentukan. Namun bukan berarti tim produksi berkecil hati karena bencana global ini. “Film ini tentang bagaimana anak-anak muda berjuang di masa itu. Kalau ditarik konteksnya zaman sekarang, saat ini sekarang kita lagi dijajah oleh COVID-19. Kita terbelenggu enggak bisa ke mana-mana. Tapi bagaimana caranya kita tetap ‘bersatu’ walau tidak dengan bersatu. Tentang bagaimana survival kita sebagai bangsa, tentang semangat harus terus maju mempertahankan hidup kita,” ujar Aldo Swastia. Pesawat pembom tukik Guntai alias Mitsubishi Ki-51 yang digunakan Kadet Mulyono dalam misi pemboman (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang Periode 1945-1950") Oleh karena kisah itu dilakoni kadet-kadet muda dan untuk menggaet minat milenial sebagai sasaran audiens Kadet 1947 , tim produksi pun memilih para aktornya yang juga seusia dengan tokoh yang mereka perankan. Selain Kevin Julio yang memerankan Kadet Mulyono, ada Baskara Mahendra sebagai Kadet Sutardjo Sigit, Ajil Ditto sebagai Kadet Suharnoko Harbani, Samo Rafael sebagai Kadet Bambang Saptoadji, Wafda Saifan sebagai Kadet Sutardjo, Chicco Kurniawan sebagai Kadet Dulrachman, dan Fajar Nugra sebagai Kadet Kaput. Mereka bakal beradu akting dengan beberapa aktor berpengalaman seperti Ibnu Jamil yang memerankan Halim Perdanakusuma, Mike Lucock sebagai Suryadi Suryadarma, Indra Pacique sebagai Jenderal Sudirman, dan Ario Bayu sebagai Presiden Sukarno. Para aktor kawakan ini diharapkan bisa mendongkrak animo publik mengingat genre film drama sejarah minim peminat dan epos para kadet sendiri masih belum banyak diketahui publik. “Bicara genre film sekarang top of the list -nya ya drama, komedi, dan horor. Tapi bagaimana kami bisa menyiasatinya untuk bisa membawa kisah sejarah ini bisa dinikmati generasi muda dengan dijiwai juga. Sehingga sejarah yang kita kemas di sini bisa jadi inspirasi generasi sekarang,” ujar produser Tesadesrada Ryza. Pesawat latih Cureng alias Yokosuka K5Y yang diterbangkan Kadet Sutardjo Sigit & Suharnoko Harbani selepas misi pemboman (Foto: Repro "Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang Periode 1945-1950") Meski disebutkan sang produser bahwa jika bicara statistik film-film bertema sejarah berada di bawah, mereka optimis kemasan epos yang didramatisir ini bakal punya daya tarik bagi generasi milenial. Bukan hanya karena dimainkan aktor-aktor yang juga milenial, namun pesan, inspirasi, dan semangat para kadet itu juga masih relevan untuk digali dan diamalkan generasi kekinian. Diharapkan juga, lanjut Ryza, film Kadet 1947 bisa menghidupkan semangat kadet-kadet itu untuk membuka mata generasi muda agar bangga akan sejarah yang sudah diukir. Betapa spirit pantang menyerah, semangat kolaboratif dan gotong-royong bisa jadi inspirasi orang-orang muda di masa sekarang. “Kalau kita enggak kenal sejarah dan apa yang sudah dilakukan pejuang-pejuang Indonesia di masa lampau, kita enggak akan pernah bisa mengucap terimakasih. Kita enggak tahu seberat apa perjuangan mereka. Makanya dalam Kadet 1947 ini wajib kita hidangkan suguhan bervitamin buat rasa nasionalisme yang menurut gue, semakin lama semakin menipis,” tandas Ibnu Jamil yang memerankan tokoh Halim Perdanakusuma.

  • Ketika Asisten Pribadi Presiden Soeharto Berkuasa

    Presiden Joko Widodo membuat kejutan ketika mengangkat beberapa staf khususnya dari kalangan milenial. Namun belum sempat menorehkan prestasi mentereng, salah satu dari mereka telah membuat blunder fatal. Andi Taufan Garuda Putra, staf khusus presiden bidang Usaha Mikro Kecil Menegah (UMKM) ketahuan menyurati camat se-Indonesia agar menggunakan jasa relawan PT Amartha Mikro Fintek dalam program penanggulangan Covid-19. Amartha  merupakan perusahaan dimana Taufan duduk sebagai kepala eksekutifnya.

  • Anarkisme dalam Perang Sipil Spanyol 1936

    KETIKA Perang Sipil Spanyol bergejolak (1936-1939), berbagai gerakan kiri di Spanyol bersatu melawan pemberontakan militer yang dipimpin oleh Fransisco Franco. Kaum anarkis, yang telah lama aktif dalam gerakan buruh Spanyol memiliki peranan penting dalam pertempuran itu. Perang ini diawali ketika para jenderal Spanyol memulai pemberontakan militer pada Juli 1936. Sejak itu pula, para pekerja dan petani Spanyol telah merespon mereka dengan revolusi sosial. Sebagian besar revolusi sosial inipun bersifat anarkis. Murray Bookchin dalam To Remember Spain: The Anarchist and Syndicalist Revolution of 1936 , menyebut selama beberapa bulan pertama pemberontakan militer, pekerja sosialis di Madrid juga sering bertindak secara radikal seperti yang dilakukan para pekerja anarko-sindikalis di Barcelona. “Mereka mendirikan milisi mereka sendiri, membentuk patroli jalanan, dan mengambil alih sejumlah pabrik strategis, menempatkan mereka di bawah kendali komite pekerja. Demikian pula, para petani sosialis di Castile dan Estramadura membentuk kolektif, banyak di antaranya sama libertariannya dengan yang diciptakan oleh petani anarkis di Aragon dan Levante,” tulis Bookchin. Bahkan menurut Bookchin, yang membuat Revolusi Spanyol unik adalah kontrol buruh dan kolektifnya yang telah diadvokasi selama hampir tiga generasi oleh gerakan libertarian besar-besaran. Revolusi ini juga menandai puncak dari 60 tahun lebih agitasi dan aktivitas anarkis di Spanyol sejak awal 1870-an, ketika Giuseppi Fanelli seorang anarkis Italia memperkenalkan ide-ide Bakunin kepada kelompok-kelompok pekerja dan intelektual di Madrid dan Barcelona. David Porter dalam Vision on Fire: Emma Goldman on the Spanish Revolution bahkanmenyebut bahwa gerakan anarkis terorganisir di Spanyol menjadi lebih besar dan lebih kuat pada 1930-an dibanding ‘kapanpun dan di manapun di dunia’. Pada September 1936, Largo Caballero, pemimpin Partai Sosialis Spanyol membentuk pemerintahan ‘kiri’. Ia memobilisasi para pemimpin sosialis, anarko-sindikalis, dan komunis untuk melawan tentara. Pemerintahan ini kemudian diisi menteri-menteri yang mewakili serikat pekerja sosialis UGT (Unión General de Trabajadores) dan serikat pekerja anarko-sindikalis CNT-FAI (Confederación Nacional del Trabajo dan Federacien Anarquista Ibe'rica). Menurut Peter Marshall dalam Demanding the Impossible, A History of Anarchism empat pemimpin CNT kemudian menjadi menteri dalam pemerintahan sosialis Largo Caballero. Dua nama, Juan L ó pez dan Juan Peir ó masing-masing menjadi Menteri Perdagangan dan Menteri Industri. Sedangkan militan FAI Garcia Oliver menerima jabatan Menteri Kehakiman. Oliver kemudian memperkenalkan beberapa reformasi liberal, tetapi dikurangi menjadi membela kamp kerja bagi tahanan politik. Federica Montseny berpidato pada pertemuan bersejarah CNT di Barcelona pada 1977, pertama kalinya setelah 36 tahun kediktatoran di Spanyol. (Wikimedia Commons). Sementara itu, intelektual anarkis Federica Montseny menjadi Menteri Kesehatan. Montseny adalah orang yang selalu percaya bahwa 'negara tidak dapat mencapai apa pun, bahwa kata ‘pemerintah’ dan ‘otoritas’ berarti meniadakan kemungkinan kebebasan bagi individu dan masyarakat. Keputusan ini menuai kontroversi karena dianggap telah mematahkan tradisi terhormat pantang dari semua bentuk politik parlementer. CNT juga selalu tegas dalam penolakan terhadap negara dan intrik politik serta independen dari partai politik dan berkomitmen untuk revolusi melalui aksi langsung. Surat kabar CNT Solidaridad Obrera menyatakan, ketika para pemimpinnya bergabung dengan Caballero, pemerintah 'sebagai instrumen pengatur organisme negara, telah berhenti menjadi kekuatan penindas terhadap kelas pekerja , sama seperti negara tidak lagi mewakili organisme yang membagi masyarakat ke dalam kelas’. Sementara itu, Emma Goldman feminis anarkis yang juga anggota CNT-FAI menyebut pilihan masuk ke dalam pemerintahan adalah konsesi paling tidak ofensif. Emma tidak mengubah sikapnya terhadap ‘pemerintah sebagai kejahatan’. Ia masih menganggap negara adalah monster yang dingin dan melahap semua orang dalam jangkauan. “Saya mungkin harus lebih waspada terhadap masa depan CNT-FAI. Tetapi dengan Franco di gerbang Madrid, saya hampir tidak dapat menyalahkan CNT-FAI karena memilih partisipasi yang lebih tidak jahat dalam pemerintahan daripada kediktatoran, kejahatan paling mematikan.,” sebutnya seperti termuat dalam Vision on Fire: Emma Goldman on the Spanish Revolution. Pemerintahan ‘kiri’ itu ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Perombakan-perombakan selanjutnya yang dilakukan pemerintah melangkah ke arah ‘kanan’. Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM, Partai Buruh Marxis Bersatu) menjadi yang pertama diusir. CNT dan UGT menyusul tak lama setelah itu. Meski demikian revolusi masih berjalan. George Orwell dalam Homage to Catalonia mengisahkan pada Desember 1936 – Januari 1937 kaum anarkis masih mengendalikan Katalonia dan Barcelona menjadi kota yang mengejutkan ketika orang mengira periode revolusioner telah berakhir. “Itu adalah pertama kalinya saya berada di sebuah kota di mana kelas pekerja berada di pelana,” tulis Orwell. Setiap bangunan, lanjut Orwell, telah direbut oleh para pekerja dan dibalut dengan bendera merah atau bendera merah hitam kaum anarkis. Setiap tembok digambar palu arit dan inisial partai-partai revolusioner. Dan setiap toko dan kafe telah menjadi milik bersama. Sayangnya, serangkaian kekalahan dalam pertempuran terjadi hingga awal 1939. Sementara itu kaum anarkis terus direpresi. Kemudian pada April 1939, pasukan fasis sepenuhnya mengambil alih Spanyol.

  • Riwayat Blitzkrieg, Serbuan Kilat ala Nazi

    MENTARI belum lama mengintip dari ufuk timur pada 15 Mei 1940 ketika pesawat telefon di kamar kerja Winston Churchill tak berhenti berderinghingga sang perdana menteri Inggris itu akhirnya angkat gagang telefon. Dari seberang, terdengarsuara penelepon bergetar hebat dan ketakutan. Panik. Lawan bicara Churchill itu tak lain adalah PM Prancis Paul Reynaud. Suasana hatinya masih begitu kacau ketika menginformasikan Churchillbahwa mereka, Sekutu, yang pada Perang Dunia I menundukkan Jerman, kini telah keok . Blitzkrieg alias perang kilat yang dilancarkan Jerman Nazi sejak 10 Mei 1940 telah meluluhlantakkan kekuatan gabungan Prancis, Inggris, dan Belgia. Manuver dengan kecepatan tinggi itu bikin Maginot Lini –garis pertahanan perbatasan Belgia hingga selatan Prancis dengan Jerman sepanjang 500 kilometer– ambruk meski di atas kertas Sekutu punya lebih banyak serdadu dan panser/tank ketimbang Jerman. Untuk menenangkan hati koleganya, Churchill terbang ke Paris menemui Reynaudsekaligus Menhan Prancis Edouard Daladierdan Panglima militer Prancis Jenderal Maurice Gustave Gamelin pada 16 Mei. Saat dijabarkan peta pertahanan, Churchill terperangah lantaran Prancis tak punya satu unit pun pasukan cadangan untuk menambal kebocoran-kebocoran garis pertahanan Sekutu, baik di front Belgiamaupun Prancis. Meski jumlah serdadu dan kendaraan tempur (ranpur) lapis baja Sekutu lebih besar, kekuatannya disebar sepanjang Maginot Lini. Sementara, Jermanmemfokuskan pasukan lapis bajanya sebagai ujung tombak hanya ke beberapa titik pertahanan terlemah Sekutu. Salah satunya, di Hutan Ardennes. B arisan korps panser Jenderal Heinz Guderian menerobos hutan Ardennes yang sebelumnya dianggap Sekutu takkan bisa dilewati pasukan musuh, lal u berpenetrasi ke kota Sedan. P ertahanan Sekutu pun kocar-kacir. Setelah tertembus, banyak kubu pertahanan Sekutu yang terkepung dan hancur. Guderian pula yang mengejar ratusan ribu pasukan Inggris (British Expeditionary Force) hingga ke Dunkirk di pesisir Prancis. Namun jago tank Jerman itu hanya bisa geleng-geleng kepala ketika Kanselir Jerman-Nazi Adolf Hitler menyerukan penghentian serbuan. Begitulah inti konsep Blitzkrieg (serangan kilat) yang gemilang. Konsep itu sudah digulirkan kala Jerman menginvasi Polandia, 1 September 1939. Namun Blitzkrieg pada 10 Mei yang berbuah penaklukkan Eropa Barat (Belanda menyerah 14 Mei, Belgia 28 Mei, dan Prancis 25 Juni) yang begitu cepat membuat pasukan baja Jerman kian naik pamor. Siapa Otak di Balik Blitzkrieg? Sebagai konsep operasi militer, Blitzkrieg bersifat lugas dan tak berbelit-belit. Inti Blitzkrieg adalah serangan terkonsentrasi menggunakan ranpur sebagai penggebrak, infantri gerak cepat untuk mencegah musuh mengorganisir ulang pertahanan, dan dukungan kekuatan udara. “Strategi Blitzkrieg adalah strategi terbaik sampai detik ini untuk mengalahkan pertahanan musuh. Hanya saja butuh peralatan perang dan teknologi yang mumpuni untuk membuatnya bekerja maksimal. Juga air support (dukungan udara). No air support, no Blitzkrieg ,” tutur pemerhati militer Jerman-Nazi Alif Rafik Khan kepada Historia . Pesawat-pesawat Junkers Ju 87 "Stuka" atau pembom tukik milik Luftwaffe (AU Jerman) yang aktif menyokong Blitzkrieg (Foto: Bundesarchiv) Dalam beberapa sumber, konsep dan manuver serupa tapi tak sama dengan Blitzkrieg sudah dilahirkan para juru taktik sejumlah negara Eropa yang “berkelahi” di Perang Dunia I. Di kubu Jerman, misalnya, terdapat teori perang Vernichtungsschlacht, yakni manuver pasukan dalam jumlah besar dan terkonsentrasiuntuk mengepung posisi musuh untuk memberi pukulan menentukan dalam suatu babak peperangan. Strategi itu, diungkapkan Bryan Perrett dalam A History of Blitzkrieg , merupakan buah pikiran jenderal Prussia yang sohor dari abad ke-19, Carl von Clausewitz. Pada Perang Dunia I, teori perang itu lantas dimodifikasi seiring dengan perkembangan teknologi persenjataan masing-masing negara. “Manuver itu berkembang secara terpisah, secara independen masing-masing mengembangkan konsepnya. Kalau Jerman asal-usulnya dari Bewegungskrieg (taktik manuver) yang dirancang (Marsekal Alfred) Von Schlieffen,” lanjut Alif yang juga penulis buku 1000 + Fakta Nazi Jerman itu. Di Prancis, manuver menggunakan tank-tank yang terkonsentrasi juga sudah digunakan sejak 1918 oleh Kolonel Charles de Gaulle yang kelak jadi panglima tentara Prancis. Menurutnya, setelah Perang Dunia I dibutuhkan operasi-operasi yang lebih mobil dan tak hanya terpaku pada parit-parit perlindungan (perang pasif). Gagasan itu kemudian diabaikan para seniornya. Konsep serupa juga pernah digagas Jenderal Alexei Brusilov di Rusiapada 1916. Esensi dari konsep itu yakni, unsur pendadakan dan infiltrasi dengan tank sangat vital untuk memukul mundur posisi musuh. Namun, gagasan Brusilovtak dijadikan prioritas lantaran kekuatan ranpur mekanis lapis baja Rusia masih terbatas. Generaloberst Heinz Wilhelm Guderian (kanan) perwira penting dalam taktik lincah tank-tank Jerman untuk manuver Blitzkrieg (Foto: Bundesarchiv) Sementara, di Inggris gagasan serupa dilontarkan juru taktik John Fuller dan Liddell Hart. Menariknya, para jago tank Jerman seperti Guderian dan Marsekal Erwin Rommel “berguru” pada kedua perwira Inggris yang gagasannya itu tak didengar para pejabat teras militer Inggris. “Memang Guderian bukan murid dari bangku sekolah dengan Hart sebagai gurunya, melainkan buku-buku yang sebelum perang (dunia II) ditulis oleh Hart. Kata Guderian dalam tahun 1950: ‘Liddell Hart adalah guruku yang pertama mengenai taktik perang tank.’Bahkan Marsekal Erwin Rommel pun dapat disebut murid Liddell Hart,” ungkap P. K. Ojong dalam Perang Eropa, Volume 1 . “Bersama dengan Jenderal Fuller , juga seorang Inggris, Liddell Hart adalah men of vision , orang yang bisa melihat jauh ke depan. Setelah Perang Dunia I berakhir, mereka melahirkan strategi dan taktik tank baru, yaitu konse n trasi tenaga tank sebagai pendobrak pertahanan lawan. Dan ini hanya mungkin jika sengaja dibentuk divisi tank, divisi panser tersendiri,” tambahnya. Mirisnya, sambung Ojong, hingga 1940 pun Inggris belum punya divisi tank. Ketika ide Hart-Fuller dipelajari Guderian danRommel pada 1939 kala menginvasi Polandia, Prancis, dan Benelux (Belgia, Belanda, dan Luksemburg), di Inggris ide Fuller dan Hart tak pernah didengar. Sebaliknya, ketika mulai menginvasi Prancis dan Benelux pada 10 Mei 1940, Jerman sudah punya lebih dari 10 divisi tank. Sedikit-banyak itu adalah jasa Guderian yang sejak 1922 sudah mulai meracik taktik dan metode operasi mobil. Ia merangkumnya dalam buku bertajuk Achtung Panzer! terbitan 1937. “Jika tank-tank berhasil, maka kemenangan tinggal menunggu waktu,” tulisnya di salah satu bab buku itu. Namun, sejatinya konsep besar Blitzkrieg Jerman, utamanya dalam invasi Eropa Barat ( Westfeldzug ) yang sohor, merupakan buah pikiran Marsekal Erich von Manstein, atasan Guderian. “Von Manstein yang merancang strategi penyerbuan ke Prancis dengan memodifikasi Schlieffen-Plan (Rencana Schlieffen). Dalam Westfeldzug , Guderian sendiri sekadar jadi komandan korps (XIX Armeekorps ), sementara Rommel baru mencoba jadi komandan divisi (7 Panzerdivision ),” kataAlif lagi. Rancangan Blitzkrieg dalam invasi ke Prancis yang diracik Generalfeldmarschall Fritz Erich Georg Eduard von Manstein (Foto: Narodowe Archiwum Cyfrowe) Schlieffen-Plan sendiri adalah cetak-biru yang dilahirkan Marsekal Alfred von Schlieffen yang intinya, mobilisasi kekuatan militer pada satu titik serangan menggunakan semua perangkat yang dimiliki, termasuk unit logistik sebagai salah satu kuncinya. Manstein memodifikasinya menjadi Fall Gelb ( Operation Case Yellow ), tentunya dengan pembaruan kekuatan alutsista yang dimiliki Jerman saat itu. Singkatnya, rancangan Manstein berupa strategi pengalihan oleh Grup AD B ke Belanda dan jika Sekutu sudah teralihkan, giliran Grup AD A berpenetrasi ke hutan Ardennes dengan lebih dulu menyeberangi Sungai Meuse. Serangan Blitzkrieg ala Manstein tentuberupa kombinasi antara kekuatan darat dan udara. Di darat, Grup AD A Jerman yang dikomando Jenderal Gerd von Rundstedt menerjunkan 45 divisi infantri untuk mendukung tujuh divisi panser. Sementara di udara, Luftwaffe (AU Jerman) menyokong dengan lebih dari tiga ribu pesawat, termasuk pembom medium dan pembom tukik yang efektif menghancurkan musuh di darat. Kendati serangan kilat ke Eropa Barat itu sukses besar, tak pernah ada penyebutan resmi menggunakan kata “ Blitzkrieg ” dalam arsip-arsip operasi Jerman. Hitler sendiri mengaku benci istilah itu. “Saya tak pernah mau menggunakan kata Blitzkrieg , karena itu adalah istilah yang bodoh,” katanya ketusdalam pidatomedio November 1941, dikutip Karl-Heinz Frieser dalam The Blitzkrieg Legend: The 1940 Campaign in the West. Istilah Blitzkrieg justru dipopulerkan media-media Barat . Salah satunya , The New York Times edisi Agustus 1940 lewat headline bertajuk “Nazis Intensify Air Raids on Britain As 500 Planes Pound at Strongholds: Blitzkrieg On, London Press Warns”.

  • Seblang Menolak Bala

    HAMPIR dua bulan, pandemi Covid-19 atau Corona melanda Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah berupaya mengatasi penyebarannya. Awal Maret 2020, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas melakukan penanganan dini. Ini penting dilakukan mengingat Banyuwangi adalah destinasi wisata yang ramai. Masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi, memiliki ritual khusus untuk menghadapi wabah penyakit ( pageblug ), yakni melalui tarian adat Seblang. Ritual ini ditarikan seorang penari dalam keadaan trance , tak sadarkan diri, sebagai penghubung warga desa dengan leluhur. Dahulu kala, Seblang digelar setiap tahun untuk tolak bala dan bersih desa setelah panen. Tujuannya agar desa memperoleh ketentraman, keselamatan, kesuburan tanah sehingga hasil panen melimpah. Namun, seperti dilaporkan antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi (1927), Seblang bisa dipanggil kapan saja oleh keluarga sebagai pemenuhan nadar (janji) agar beroleh kesembuhan penyakit. Sebab, masyarakat percaya penyakit disebabkan gangguan atau kemarahan dari roh leluhur atau dhanyang (penjaga desa). Pertunjukan Seblang sebagai pelepas nadar kini jarang dilakukan. Kendati demikian, bukan berarti ritual Seblang lantas punah. Masyarakat Bakungan dan Olihsari, dua desa Osing yang berada di wilayah Kecamatan Glagah, masih menjalankan ritual Seblang setiap tahun untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi memberikan dukungan agar khasanah tradisi ini lestari. Salah satu caranya dengan menjadikan Seblang sebagai salah satu agenda Banyuwangi Festival setiap tahun. Menurut Anas, ini merupakan bagian dari menghidupkan dan mengenalkan potensi desa lebih luas. Agenda festival yang sifatnya tradisi ritual tidak harus ditarik ke kota, namun justru harus dilestarikan di desa tersebut. “Seblang menjadi salah satu contoh kegiatan Banyuwangi Festival yang muncul dari masyarakat. Pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penyelenggaraan budaya ini, karena ini adalah adat tradisi. Kita cukup mendukung infrastruktur sekitar dan melakukan promosi hingga akhirnya tradisi ini mendapatkan perhatian khalayak yang lebih luas,” ujar Bupati Anas , empat tahun lalu. Tradisi Tua Seblang merupakan tradisi suku Osing yang cukup tua sehingga sulit diacak asal-usulnya. Ada yang menyebut Seblang merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu. Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung , tari Seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Nyanyian, tatabusana, hingga gerakan dan pose dasar dalam seblang mirip seperti dalam pertunjukan sanyang. Awalnya Seblang dibawakan seorang lelaki dan dalam keadaan trance . “Tari Seblang itu mesti kesurupan, tapi pembawaan-gerakannya dan iramanya menyenangkan serta mantap,” tulis Gunawan Suroto dalam “Dolan Menyang Blambangan”, dimuat majalah Kunthi , Juni 1973. Di masa lalu ritual Seblang digelar pada tanggal 1 Sura, hari pertama dalam perhitungan tahun baru penanggalan Jawa. Sekarang disesuaikan dengan kalender Islam. Perayaan di Olehsari berlangsung seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri, sementara di Bakungan seminggu setelah Hari Raya Idul Adha. Menurut Robert Wessing dalam artikel “A Dance of Life”, termuat di BKI No. 4 tahun 1999, meski ada penyesuaian dengan adanya pengaruh Islam, tujuan utama pertunjukan Seblang tak berubah. Yakni, “untuk memperkuat hubungan antara desa dan dunia roh,” tulis Wessing. Agama juga tak meminggirkan kepercayaan pada leluhur. Bahkan, menurut Wessing, Seblang menggabungkan semuanya; leluhur, dhanyang, Dewi Sri, dan bahkan Tuhan bergabung menjadi satu sumber vitalitas manusia. “Tarian itu kemudian menghidupkan kembali bukan hanya hubungan dengan dunia roh tapi seluruh kehidupan spiritual desa-desa ini.” Pengaruh Islam tampaknya juga mengubah orang yang menarikan Seblang. Penari perempuan mulai menggantikan penari lelaki. Kendati demikian, cerita tutur lokal menyebut perubahan itu terjadi pada 1895 dan dikaitkan dengan sosok bernama Semi, salah seorang putri Mak Midah. Suatu ketika Semi yang masih berusia 10 tahun sakit parah. Mungkin karena hidup pas-pasan, Mak Midah tak berani bernadar dengan mengundang Seblang dari Bakungan. Tapi dia sering melihat dan boleh jadi sering terlibat dalam pertunjukan Seblang. Maka, ketika hampir putus asa, dia pun benadar: “Kalau engkau sembuh, kujadikan engkau penari Seblang.” Semi mendapatkan kembali kesehatannya. Mak Midah pun memenuhi kaul dan mengajar Semi menjadi penari Seblang. Menentukan siapa penari Seblang pertama memang agak repot. Para penari dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari Seblang sebelumnya. Wessing menyebut ketidakjelasan data itu untuk Bakungan. Ada beberapa nama disebut, kendati Wessing berpendapat Mbah Kantok dan Mbah Suwitri adalah keturunan dari penari pertama. Sementara di Olehsari, Mak Milah dianggap penari pertama dan dilanjutkan keturunannya yang perempuan. Ada beberapa pengecualian di mana lima dari penari Olehsari muncul dari garis laki-laki. “Singkatnya, para penari di kedua desa cenderung keturunan dari garis perempuan yang idealnya kembali ke pendiri desa. Penari adalah ujung vitalitas dan kekuatan spiritual pendiri yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran desa,” tulis Wessing. Masyarakat antusias melihat ritual tari Seblang di Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, yang dimulai pada Jumat, 7 Juni 2019. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi).  Menghidupkan Tradisi Tari Seblang masih bertahan dan dipertunjukkan di Bakungan dan Olihsari. Selain waktu pelaksanaannya, ada perbedaan usia penari, alat musik, dan busana di dua desa tersebut. Di Bakungan, tari Seblang dibawakan perempuan berusia 50 tahun ke atas yang telah menopause dan digelar seminggu setelah Hari Raya Idul Adha selama semalam suntuk. Di Olehsari dibawakan perempuan yang belum akil baliq dan dilaksanakan selama tujuh hari berturut-turut setelah hari Raya Idul Fitri. Alat musik yang mengiringi tarian Seblang di Desa Bakungan terdiri dari satu kendang, satu kempul atau gong dan dua sarong. Sedangkan di desa Olehsari ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal. Di Bakungan, seseorang dapat memilih di antara sekitar 50 lagu, yang tidak tunduk pada urutan tertentu seperti dalam tradisi Olehsari. Dari segi busana, omprok atau mahkota penari di Bakungan biasanya dihiasi bunga warna warni, sementara di Olehsari berhias untaian dari daun pisang muda. Tata urutan ritual Seblang di Bakungan dan Olehsari hampir sama. Sebelum pertunjukan dimulai, dilakukan ziarah ke leluhur desa. Keesokan harinya, setelah matahari terbenam, ritual dilanjutkan dengan selametan. Lalu, aliran listrik di desa Bakungan dipadamkan dan diadakan pawai obor keliling desa yang dinamakan ider bumi . Di setiap pojok desa, mereka berhenti sambil melafalkan doa-doa keselamatan dari ayat ayat suci Alquran. Ritual ini dimaksudkan agar tidak ada roh jahat yang akan mengganggu desa. Usai persiapan semua, penari pun bersiap. Wajah dan bagian tubuhnya diolesi atal , sejenis tepung dari batu halus yang berwarna kuning dan dicampur air. Dia memakai omprok . Penari membawa nyiru atau tampah berbentuk bundar dari anyaman bambu dengan tangannya. Jika si penari sudah kesurupan, nyiru akan jatuh dengan sendirinya. Proses pemanggilan roh diiringi lagu Sêblang Lukinto . Dalam keadaan trance , penari akan menari dengan iringan gending dengan gerakan yang sederhana dan monoton. Dia berputar berlawanan arah jarum jam, bergerak melingkar seturut bentuk panggung. Lalu dia melemparkan sampur atau selendang kepada seorang penonton dan turut menari. Puncak tarian Seblang berakhir saat pengiring lagu memainkan gending brang brang. Gending itu dimainkan dengan tempo yang cepat. Sang penari juga berputar dengan cepat, lalu penari jatuh tergeletak dengan posisi menelungkup. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Seblang dari Bakungan maupun Olehsari masuk dalam gelaran Banyuwangi Festival 2020. “Ini adalah salah satu bentuk komitmen Pemkab menjaga keberlangsungan tradisi dan adat warga lokal Banyuwangi. Kami tidak ingin, adat dan tradisi yang telah hidup sejak puluhan tahun silam menghilang seiring perkembangan zaman. Untuk itu, kami pentaskan dan kami gelar secara rutin sebagai upaya menghidupkan tradisi ini di generasi mendatang,” kata Bupati Anas . Seblang Olehsari dijadwalkan pada 28-31 Mei, sedangkan Seblang Bakungan pada 9 Agustus. Namun, di tengah pandemi Corona, apakah Seblang akan tetap digelar? Mengingat, menjaga jarak adalah salah satu prasyarat menghindari penyebaran Corona. Berdoa saja badai segera berlalu sehingga sajian tradisi dan ritual tua dari Banyuwangi tetap berjalan.

  • Hukuman Sultan Agung bagi Panglima yang Gagal

    Panglima pasukan Mataram yang baru, Tumenggung Sura Agul-Agul tiba di Batavia untuk menggantikan Tumenggung Baureksa yang mati bersama dua putranya dalam pertempuran pada 21 Oktober 1628. Tumenggung Sura Agul-Agul didampingi dua bersaudara panglima lapangan, Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Mereka datang dengan harapan besar Batavia telah ditaklukan sehingga tinggal mengumpulkan harta rampasan. Mereka tercengang melihat keadaan yang sebenarnya. "Apa yang akan saya bawa untuk raja saya, raja Mataram," kata Mandurareja. Karena tidak mungkin merebut Batavia dengan penyerangan mendadak, Mandurareja menggunakan cara yang berhasil mengalahkan Surabaya, yaitu membendung sungai. Ribuan prajurit dikerahkan, namun VOC telah mengantisipasinya sehingga cara itu gagal. Pasukan Mataram kemudian melakukan usaha terakhir untuk merebut benteng Hollandia pada malam 28 November 1628. Namun, serangan 100–300 prajurit itu tepergok serdadu VOC. Beberapa prajurit ditembak mati, sisanya melarikan diri. Oleh karena itu, menurut ahli sejarah Jawa, H.J. de Graaf, pada 1 Desember 1628, Tumenggung Sura Agul-Agul memerintahkan mengikat Mandurareja dan Upa Santa berikut anak buahnya. Melalui pengadilan dan atas perintah raja Mataram, ia menjatuhkan hukuman mati karena Mandurareja dan Upa Santa tidak bertempur mati-matian dan Batavia tidak ditaklukan. Beberapa dipenggal kepalanya, kebanyakan ditusuk dengan tombak dan keris. "Mungkin panglima-panglima inilah yang dipenggal kepalanya, sedangkan yang rendahan ditusuk mati dengan tombak dan keris," tulis De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram. Ketika pasukan Mataram meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628, ratusan mayat dibiarkan berserakan di tanah. "VOC menemukan 744 mayat prajurit Jawa yang tidak dikuburkan, beberapa di antaranya tanpa kepala," tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Eksekusi Mandurareja dan Upa Santa menimbulkan keresahan di istana Mataram. Pasalnya, kedua panglima itu adalah keturunan dari patih Adipati Mandaraka yang termasyhur, pembantu utama Panembahan Senapati, pendiri Mataram dan kakek Sultan Agung. Bahkan, keturunannya menjadi juru kunci pemakaman penguasa dan keluarga Mataram di Imogiri. Sultan Agung menolak bertanggung jawab atas eksekusi itu. Ia berkata kapada Tumenggung Sura Agul-Agul bahwa yang dimaksud bukan membunuh Mandurareja dan Upa Santa melainkan pengikutnya. Tumenggung Sura Agul-Agul pun harus menebus kekeliruan yang fatal itu. Ia bersama banyak bangsawan dihukum mati atas kegagalannya merebut Batavia. Lolos dari Hukuman Mati Serangan kedua Mataram ke Batavia pada 1629 kembali gagal. Baik setelah serangan pertama maupun kedua, Sultan Agung memerintahkan untuk menghukum semua orang yang pulang dengan kegagalan. Untuk itu, semua jalan dan pintu gerbang tol dijaga agar tidak seorang pun dapat kembali pada keluarganya. Tumenggung Singaranu, panglima pasukan Mataram pada serangan kedua, telah mengetahui gelagat itu. Ia menahan sisa pasukannya yang menurut perkiraan masih sekitar 10.000–14.000 orang. Sebagian besar dari prajurit-prajurit ini adalah rakyat Mataram sendiri yang dikumpulkan dari berbagai daerah. "Dengan pengikut-pengikutnya," tulis De Graaf, "ia menarik diri di antara tembok-tembok yang luas dan mengambil sikap mengancam karena melihat kekerasan yang terjadi sebelumnya terhadap panglima-panglima yang dianggap gagal." Namun, untuk mendapatkan pengampunan Sultan Agung, Singaranu mengirimkan istri, selir, dan anak-anaknya. Ia juga mengirimkan senjatanya sebagai tanda akan tunduk terhadap keputusan raja. "Raja memperlihatkan kemurahan hatinya, lebih-lebih karena putri Singaranu adalah yang paling cantik dan manis dari istri-istri raja, dan istri ini dapat mengetuk hati raja," tulis De Graaf. Sultan Agung pun menyuruh istri, selir, dan anak-anak Singaranu untuk pulang kembali. Ia mengampuni Singaranu dengan syarat selama tiga tahun tidak diperbolehkan berhadapan muka dengan raja. Kemungkinan Singaranu tidak menempati posisinya lagi, karena sejak tahun 1630 Tumenggung Danupaya disebut sebagai orang yang mewakili kedudukan raja. Teman sejawat Singaranu, Raden Aria Wira Nata Pada juga lolos dari segala hukuman. Namun, tidak ada keterangan mengenai nasib Kiai Adipati Singenep. Apakah sikap lunak Sultan Agung terhadap para panglimanya itu karena sikap berani Singaranu? "Menurut saya," kata De Graaf, "masuk akal bahwa Sultan Agung setelah dua kali gagal mulai insaf bahwa hukuman-hukuman [kejam] semacam itu tidak ada gunanya, bahkan membahayakan."

  • "Tak Perlu Menunggu Ludah itu Kering, Kau Kutembak!"

    Akhir Mei 1948, pemerintah Republik Indonesia (RI) via Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta menugaskan Letnan Kolonel A.E.Kawilarang untuk berangkat ke Sumatera. Bersama Mayor Ibrahim Adjie, Letnan Satu Abu Amar dan Letnan Dua Hutabarat, Alex mendapat misi untuk menuntaskan pertikaian antar tentara Indonesia di Sumatera. Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi itu merasa penasaran, apa yang menyebabkan dia harus pergi ke wilayah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Guna mememenuhi kepenasaran itu, Alex bahkan pernah bertanya langsung kepada Wakil Presiden sekaligus Menteri Pertahanan ad interim Mohammad Hatta. “Di Tapanuli dan Sumataera Timur harus ada komandan yang bukan berasal dari Jawa atau Sumatera. Di sana harus dilakukan pembersihan. Banyak serobotan, lucut melucuti, kurang disiplin dan lagi banyak korupsi,” jawab Bung Hatta. Sebagai catatan, di wilayah Tapanuli memang saat itu sedang terjadi “perebutan wilayah” antara tentara Indonesia sendiri. Mereka yang terlibat berasal dari kesatuan tentara yang dipimpin oleh Mayor Bedjo dan para pejuang yang ada di bawah Mayor L. Malao. “Alhasil saya merasa terpilih sebagai “tukang bersih-bersih”. Jadilah!” ujar Alex seperti dituliskan dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih  (disusun oleh Ramadhan KH). Singkat cerita, berangkatlah Alex dan rombongan ke Sumatera pada Agustus 1948. Selama belum ada penugasan rinci, untuk sementara mereka ditempatkan di Bukittinggi, Sumatera Barat. November 1948, Alex ditunjuk menjadi Komandan Sub Teritorial VII. Sebagai pimpinan wilayah, dia harus mulai membereskan kekacauan-kekacauan yang ada di Tapanuli, Sumatera Timur Selatan. Langkah pertama yang dia lakukan adalah membubarkan brigade-brigade yang ada lalu menggantinya dengan sektor-sektor. Setidaknya ada 4 sektor yang dia bentuk untuk menghadapi kemungkinan agresi militer Belanda yang kedua kalinya. Pembentukan sektor-sektor otomatis diikuti dengan perpindahan wilayah kekuasaan masing-masing kekuatan bersenjata yang ada saat itu. Sebagai contoh Pasukan Sektor I harus meninggalkan Sibolga digantikan oleh Pasukan Sektor IV dan Sektor S. Aturannya Pasukan Sektor IV dan Sektor S dipersilakan masuk Sibolga usai Pasukan Sektor I pergi. Namun karena ada kesalahpahaman beberapa unit Pasukan Sektor S sudah mulai mendekati Sibolga, sementara saat itu Pasukan Sektor I masih ada di kota tersebut. Untuk mencegah keributan karena pertemuan dua pasukan yang tadinya bermusuhan itu, maka Letnan Kolonel Alex  mengutus Letnan Dua David Munthe untuk mengingatkan komandan Pasukan Sektor S untuk tidak masuk dulu ke Sibolga. Alih-alih disanggupi, komandan Sektor S malah mengancam Letnan Dua David dengan todongan pistol. “Besok paginya, saya panggil perwira yang menodong Munthe itu…” kenang Alex. Belum selesai melakukan teguran, Sang Perwira malah menyemprot Alex duluan. Sambil menggebrak meja, dia menolak mentah-mentah perintah atasannya itu untuk jangan dulu memasuki Sibolga. Bak mitraliur, Si Perwira terus nyerocos. Alex yang tadinya akan melakukan teguran juga terkait penodongan Munthe, memilih untuk  menahan diri, menunggu dulu sampai teriakan-teriakan sang perwira selesai. Setelah dia diam, sambil menggebrak meja hingga gelas-gelas di atas meja berjatuhan, Alex langsung balas memaki-maki Komandan Sektor S tersebut. “Sekarang dalam kondisi aman, kau mau aksi-aksian masuk Sibolga! Tahu kau, kalau kau dan pasukanmu  masuk Sibolga sekarang lalu bentrok dengan Pasukan Sektor I, siapa yang menjadi korban? Rakyat dan tentara lagi! Mana tanggungjawabmu?! Mana disiplinmu?! Kau malah mau bermain-main koboy-koboyan dengan pistol. Memuakan! Pengecut memang biasa begitu! Tunggu sampai Aksi II, baru kau boleh mencabut pistolmu kepada lawan!” Sejumlah kalimat lagi masih dilontarkan Alex. Dia betul-betul memarahi Komandan Sektor S. Namun di luar dugaan, tetiba Si Komandan bangkit dan berdiri. Bersikap tegap sambil memberi hormat kepada Alex. “Saya taat perintah!” katanya dalam nada tegas. Sikap membangkang juga pernah dilakukan oleh salah satu pasukan yang akan dipindahkan dari Sibolga. Waktu itu giliran Mayor Ibrahim Adjie yang harus  menghadapi komandannya yang dikenal garang dan tak jarang main tembak begitu saja. Mayor Adjie lantas memanggil sang komandan. Alih-alih menuruti perintah, dia malah menyuruh Adjie untuk datang langsung ke markasnya. Kendati merasa kesal, perwira yang berasal dari Divisi Siliwangi itu berusaha menahan diri. Dia mengalah dan lantas mendatangi markas pasukan yang membandel itu. “Ayah saya bilang, mereka biasanya hanya menguji nyali para komandan saja,” tutur Kiki Adjie, salah seorang putra dari Ibrahim Adjie. Perundingan pun terjadi. Si Komandan bersikeras tidak akan pindah. Dia malah mengusir Adjie dan menyebut tidak mengakui kepemimpinannya. Adjie pun bersikeras dalam sikap tegas. Tetiba di tengah percekcokan itu, sang komandan mengeluarkan pistol, menyimpannya di meja lalu meludahinya. “Kau aku kasih kesempatan untuk pergi dari sini sampai ludah di pistolku itu kering. Jika tidak, kau kutembak!” teriaknya menantang. Di luar dugaan Si Komandan, Adjie malah menyambar pistol berludah itu lalu menodongkannya ke kepala Si Komandan. “Tak perlu menunggu ludah itu kering, sekarang juga kau aku tembak jika tidak ikut perintahku!” ujar Adjie. Dalam sikap ketakutan, Si Komandan akhirnya menyanggupi permintaan Mayor Adjie. Sejak kejadian itulah para komandan di Tapanuli tak pernah lagi membantah perintah-perintah yang datang dari Alex dan Adjie.

  • Stirling Moss, Raja Balap tanpa Mahkota

    CUACA di Sirkuit Monza amat indah suatu hari medio Mei 2015. Sir Stirling Moss yang mengenakan atribut pembalap lengkap era 1950-an, hampir tak bisa berhenti tersenyum di sepanjang trek. Kakinya masih fasih menginjak pedal gas maupun kopling. Tangannya masih solid memegang setir dan persneling. Namun tentu semuanya berbeda. Usianya sudah sepuh. Suasana sirkuit pun tak sesemarak kala ia balapan di trek yang sama pada GP Italia 1955. Meski begitu, Moss tetap bisa merasakan suasana itu kembali hidup. Tak lain lantaran mobil balap yang ia kemudikan sama persis dengan yang digunakannya enam dekade sebelumnya. Legenda balap Inggris itu mengendarai mobil berbodi streamliner Mercedes-Benz 300SLR. Untuk menjajal beberapa lap di Monza, ia ditemani jawara F1 yang senegara dengannya, Lewis Hamilton, di kokpit mobil Mercedes W196 Monoposto atau varian awal mobil Moss di paruh pertama F1 musim 1955, sebelum berganti dengan varian streamliner. Hamilton sesekali menyamakan kecepatan untuk mengambil posisi berdampingan sembari ngobrol kecil. Mungkin sekaligus menjaga agar Moss tak berlebihan menggeber mobilnya, mengingat usianya sudah 85 tahun. Kenangan pada 2015 itu tak terlupakan buat Hamilton, salah satu figur F1 yang terpukul ketika mendengar Moss wafat pada Minggu (12/4/2020). Legenda balap yang sepanjang kariernya jadi raja di lintasan tanpa mahkota itu mengembuskan nafas terakhir di usia 90 tahun karena kesehatannya terus menurun. “Hari ini kita menyampaikan selamat tinggal kepada Sir Stirling Moss, seorang legenda balapan. Tentu saya akan sangat merindukan perbincangan kami. Saya benar-benar bersyukur sempat memiliki momen istimewa bersamanya. Semoga ia beristirahat dengan tenang,” tutur Hamilton berduka via akun Twitter -nya, @LewisHamilton, 12 April 2020. Mengubah Bully jadi Motivasi Laman resmi F1 dalam muatan obituari Moss menjuluki sebagai “Mr. Motor Racing”. Ia legendaris sejati meski dalam rentang tujuh tahun (1955-1961) kariernya di ajang balap paling beken sedunia itu tak pernah sekalipun mencicipi gelar juara. Moss dicap sebagai pembalap paling sportif dengan catatan turun di 66 balapan, 16 kali merebut pole position, dan 16 kali berdiri di puncak podium. Ia rival terberat sejumlah legenda lain macam Juan Manuel Fangio, Alberto Ascari, Jack Brabham, hingga sesama pembalap Inggris Mike Hawthorn dengan empat kali jadi runner-up (1955-1958) dan tiga kali menempati urutan tiga klasemen akhir (1959-1961). Pria bernama lengkap Stirling Craufurd Moss itu lahir di West Kensington, London, Inggris pada 17 September 1929. Sejak kecil ia sudah akrab dengan deru mesin mobil balap. Pasalnya sang ayah, Alfred Moses, berprofesi sebagai dokter gigi sekaligus pembalap medioker. Di era 1920-an, ayahnya sering terjun di ajang-ajang amatir lokal. Sempat pula ia sekali ‘ gas pol ’ di ajang Indianapolis 500 pada 1924 dan finis di urutan ke-16. Ibunya, Aileen Craufurd, semasa muda juga jadi juru balap ajang-ajang amatir balap mobil sejenis Singer Nine. Kelak adiknya yang lantas dipersunting pembalap reli Swedia Erik Carlsson, Pat Moss, juga merambah dunia balap di ajang reli. Mengutip otobiografi yang dituliskan Moss bersama Alan Henry bertajuk All My Races , ia sudah dihadiahi ayahnya mobil Austin 7 pada usia sembilan tahun. Alfred Moss, ayah Stirling Moss juga merupakan pembalap era 1920-an (Foto: mundalis.com ) Walau hidup di keluarga dengan perekonomian yang lebih dari cukup, bocah Moss bukan tak pernah mengalami pergulatan batin. Sejak di usia sekolah dasar, ia acap jadi korbanperundungan. Utamanya perundungan bernada anti-semit karena ia punya darah Yahudi dari garis kakeknya, Abraham Moses Moss. Akibatnya, ia jadi anak yang malas ke sekolah. Beberapakali pula ia harus pindah-pindah sekolah. “Awalnya saya selalu menyembunyikan masalah itu dari orangtua. Butuh waktu lama untuk saya bisa mengubah perundungan itu menjadi motivasi kesuksesan,” kenang Moss. Mille Miglia dan Mahkota Formula Mengidap nefritis atau radang ginjal membuat Moss muda tak diharuskan ikut ke medan Perang Dunia II dan wajib militer dua tahun pasca-perang. Berkahnya, pendidikannya tak terlalu terganggu oleh perang. Ia hanya harus sering ikut lari ke tempat-tempat perlindungan serangan bom tiap kali sirine meraung-raung di masa-masa Battle of Britain , 10 Juli-31 Oktober 1940. Sejak 1948, Moss merintis karier balapnya dengan serius mengikuti beberapa ajang balap “kasta menengah” seperti Cooper 500, RAC Tourist Trophy, Alpine Rally, Goodwood Trophy, dan British Formula Three (F3). Moss menjalani debutnya di F1 pada 27 Mei 1951 bersama tim HWM-Alta di Sirkuit Bremgarten, GP Swiss. Ia hanya mampu finis di urutan ke-14. Bukan karena kalah skill dari Fangio yang di hari itu naik ke puncak podium atau Nino Farina dan Luigi Villoresi di podium kedua dan ketiga, namun karena mobil HWM 51 bermesin Alta F2 yang dikendarai Moss kurang kompetitif. Pada musim 1952, ia pindah ke tim ERA dengan mobil bermesin Bristol BS1 dan kemudian pindah tim Connaught, dan Cooper hingga 1953. Itu dilakoninya karena prinsip, hanya mau mengemudikan mobil bermesin dan ditopang sasis buatan Inggris. “Lebih baik kalah terhormat dengan mobil Inggris daripada menang dengan mobil buatan asing,” cetus Moss, dikutip Paul May dalam Heroes and Saints . Prinsip itu kemungkinan merupakan buah dari pengalaman getirnya kala merasa dikerjai Enzo Ferrari. Pada 1951, ia mulai didekati Enzo Ferrari yang menawarkan untuk mengendarai mobil Ferrari untuk ajang Formula Two (F2) di GP Bari. Tapi ketika sudah melakukan perjalanan jauh dari London ke Puglia, Moss yang ditemani ayahnya, hanya mendapati satu-satunya mobil Ferrari adalah mobil yang dikendarai pembalap Piero Taruffi. Masalahnya tak satupun staf tim Ferrari yang bisa memberi penjelasan memuaskan. Akhirnya Moss dan ayahnya pulang dengan memendam dengki. Maka hingga 1954 ia tak pernah sekalipun mau menyentuh mobil-mobil pabrikan asing. Namun karena catatan awal kariernya (1951-1953) yang sama sekali tak menggembirakan, ditambah nasihat-nasihat para sponsor, Moss akhirnya berkenan masuk ke kokpit mobil asing, yakni Maserati 250F di tim Alfieri Maserati asal Italia. “Moss bisa tampil di musim 1954 dengan mobil (Maserati) 250F, di mana finansialnya disponsori Shell-Mex dan BP. Moss merasakan sendiri betapa bagusnya handling mobil 250F sebagai wahana yang ideal untuk mendemonstrasikan skill -nya,” tulis Stuart Codling dalam Art of the Formula 1 Race Car . Prestasi Moss pun mulai moncer sejak mengendarai Maserati. Di pentas F1 ia memang hanya merasakan sekali naik ke podium ketiga di GP Belgia, 20 Juni 1954. Tetapi di luar F1, tahun itu Moss mendulang beberapa gelar dengan mobil 250F, di antaranya International Gold Cup dan Goodwood Trophy. Semusim berikutnya, ia pindah ke tim Mercedes. Di sinilah nama Moss mulai jadi langganan calon juara F1. Di musim 1955 dengan mobil Mercedes W196, Moss tiga kali naik podium, termasuk kemenangan pertamanya di GP Inggris, 16 Juli 1955 yang dihelat di Sirkuit Aintree, Liverpool. Bahkan di akhir musim, ia sukses menguntit Fangio yang juga rekan setimnya menjadi runner-up , sekaligus mengangkangi dua pembalap Ferrari, Eugenio Castellotti dan Maurice Trintignant, yang hanya mampu bercokol di urutan tiga dan empat klasemen akhir. Stirling Moss bersama co-driver Denis Jenkinson di ajang Mille Miglia 1955 (Foto: formula1.com ) Namun kenangan yang tak pernah dilupakannya di tahun 1955 justru keikutsertaannya di ajang Mille Miglia. Bersama co-driver Denis Jenkinson, Moss memenanginya. Itu menjadi kali pertama Moss memenanginya sejak ikut Mille Miglia pada 1951. Mirip Le Mans 24 Hours, Mille Miglia adalah ajang balap ketahanan mobil dan pembalap. Bedanya, Le Mans dibatasi waktu 24 jam, sementara Mille Miglia waktunya non-stop selama 10 jam dengan jarak tempuh 1.500 kilometer dengan start -nya dimulai dari Brescia dan finis di Roma. “Menang Mille Miglia lebih sulit daripada Le Mans 24 Hours. Tingkat stres di dalam mobil lebih tinggi. Anda juga balapan di jalanan umum dengan intensitas selama 10 jam. Balapan di jalanan umum di mana Anda tak mengenal treknya sangat berbeda dan sangat menuntut teknik. Anda tidak bisa mempelajari karakter trek sepanjang 1.000 mil,” sambung Moss dalam otobiografinya. “Belum lagi penonton yang berdesak-desakan di pinggir treknya membuat Anda tak bisa melihat ujung tepi tikungan. Tapi sepanjang karier kemenangan itulah pencapaian terbaik saya. Anda tak bisa membandingkan misalnya dengan kemenangan saya di GP Monaco 1961. Segalanya bergantung pada kepercayaan diri, baik terhadap mobil maupun kemampuan Anda,” lanjutnya lagi. Pada musim 1958, Moss hanya kalah sebutir poin dari kompatriotnya, Mike Hawthorn, dalam perebutan juara F1. Tak pernah sepanjang kariernya gelar juara begitu dekat dengan genggamannya. Di musim itu, Moss empat kali menang dan mengumpulan 41 poin. Adapun Hawthorn cuma sekali menang tetapi punya perolehan 42 poin. Penyebabnya, Moss lebih sering gagal mendapatkan poin karena gagal finis di lima seri, sementara Hawthorn hanya dua kali. Namun yang paling menjadi perhatian utama adalah sikap sportif Moss terhadap Hawthorn di GP Portugal yang dihelat di Sirkuit Boavista, 24 Agustus 1958. Mengutip majalah Motor Sport edisi Oktober 1958, mobil Hawthorn tergelincir di sebuah tikungan pada lap ke-48. Masalahnya saat itu kondisi tikungannya menanjak, menjadikan Hawthorn sukar menyalakan lagi mesin mobilnya. Satu-satunya cara adalah didorong ke jalanan menurun dan itu artinya Hawthorn harus berbalik arah. Itu kemudian dipermasalahkanpengawas balapan ( steward) . Hawthorn dianggap menjalankan mobilnya berlawanan arah di luar trek dan itu merupakan pelanggaran. Hasilnya, Hawthorn yang finis kedua di belakang Moss, didiskualifikasi. “Tapi pada rapat ofisial balapan di malam hari setelah balapan, Moss memberi kesaksian bahwa Hawthorn mencoba menyalakan lagi mesinnya dengan didorong di sisi dalam bantalan tepi trek, bukan di luar dan oleh karenanya tidak melanggar peraturan. Lalu pada jam 11 malam ofisial balapan memberi keputusan mengembalikan status runner-up Hawthorn,” tulis majalah itu. Stirling Moss (kiri) bersama John Michael 'Mike' Hawthorn, saingan sekaligus teman baik di pentas F1 era 1950-an (Foto: formula1.com ) Andai Moss tak berinisiatif dan bersikap sportif untuk memberi kesaksian pada ofisial balapan GP Portugal, Hawthorn takkan mendapatkan tambahan tujuh poin. Itu berarti di akhir musim sangat mungkin Moss-lah yang keluar sebagai juara dunia, bukan Hawthorn. “Bagi saya, Mike tak semestinya didiskualifikasi. Saya merasa, keputusan steward telah salah mendiskualifikasinya. Dan saya memberi kesaksian bahwa dia masih di dalam trek, tepatnya di escape road (jalur darurat, red. ) yang kemudian diterima ofisial. Nyatanya hal itu membuat saya kehilangan gelar. Walau demikian (sikap sportif) sudah berarti kemenangan buat saya,” tambah Moss. Di pengujung musim, Moss akhirnya gagal juara. Meski pedih, tiada penyesalan dalam hatinya. “Memang sempat ada sedikit rasa kesal karena saya merasa harusnya tahun itu saya juara. Saya merasa punya kemampuan untuk jadi juara tapi nyatanya saya tidak juara. Mike adalah teman baik saya. Tentu saya merasa mampu mengalahkan dia, tetapi harus diterima juga bahwa saya kalah satu poin darinya,” tandas Moss yang pensiun pada 1962 akibat cedera parah usai kecelakaan di ajang Glover Trophy.

bottom of page