top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kala Kapal Perang Amerika USS Stark Dimangsa Rudal Irak

    DI tengah tugas patroli di Teluk Persia, pada 15 Mei 1987 Kapten Eric Brindel, komandan frigat Amerika Serikat (AS) USS Stark, rekreasi dengan berlayar bersama Laksamana Harold Bernsen, panglima Middle East Force (MEF) AS. Brindel lalu diberitahu bahwa telah terjadi sebuah insiden di mana militer Irak menyerang sebuah kapal di areal itu, sekira 60 mil dari posisi USS   Stark . Ancaman bahaya terhadap kepentingan AS di tengah Perang Iran-Irak (1980-1988) itulah yang membuat Brindel lalu diperintahkan Bernsen untuk menghadap asisten perwira intelijen MEF keesokan harinya. Sebelum mendapat pengarahan, Brindel diinformasikan tentang kondisi terbaru langkah-langkah yang ditempuh Irak di kawasan tersebut. Salah satunya, pergerakan pasukan Irak yang dikirim beberapa hari sebelumnya dan berpotensi menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Pengerahan pasukan militer Irak ke Teluk Persia meningkat saat itu. Presiden Irak Saddam Husein melakukannya untuk memburu kapal-kapal tanker minyak Iran yang mengangkut minyak ekspornya. Saddam paham betul tanker-tanker minyak Iran merupakan satu-satunya jalur ekspor minyak Iran.  Sementara di sisi lain, militer Iran menyerang kapal-kapal sipil negeri lain, terutama Kuwait, untuk mengamankan ekspor minyaknya dan memegang dominasi di perairan tersebut. Kuwait dijadikan sasaran Iran lantaran dukungannya terhadap Irak. “Dukungan Kuwait pada Irak termasuk memberikan pinjaman besar, mengizinkan penggunaan pelabuhannya untuk membongkar sebagian besar persenjataan Soviet yang ditujukan untuk Irak, dan bahkan mungkin termasuk mengizinkan pesawat Irak melewati wilayah udaranya dalam perjalanan untuk menyerang target-target di Teluk,” tulis Lee Allen Zatarain dalam America’s First Clash with Iran: The Tanker War, 1987-1988. Penyerangan kapal-kapal Kuwait dilakukan Iran untuk memaksa Kuwait menghentikan dukungannya terhadap Irak. Penyerangan itu meningkat pesat setelah Iran menguasai Semenanjung Faw tepat di seberang Pulau Bubiyan, Kuwait, pada Februari 1986. Pada tahun itu juga, tiga kapal tanker berbendera Kuwait dan 10 kapal berbendera lain diserang. “Frustrasi atas dukungan Kuwait terhadap Irak, dan menuntut agar Emir ‘bertaubat’ dengan mengakhirinya (dukungan), Iran berganti-ganti antara mengeluarkan ancaman dan isyarat perdamaian,” sambung Zatarain. Serangan Iran membuat Kuwait merasa tak cukup aman dengan berlindung di balik Irak. “Di bawah tekanan berat, Kuwait yang semakin putus asa beralih ke negara-negara besar untuk (mendapatkan) bantuan. Pada akhir 1986, Kuwait mendekati Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan pokok menandai kembali setengah dari 22 kapal tanker milik perusahaan minyak negara Kuwait. Yang lebih penting dari sekadar perlindungan kapal adalah gagasan bahwa komitmen untuk menandai kembali akan menarik satu, dan kemungkinan keduanya, negara adikuasa lebih dalam ke Teluk. Tujuan utamanya adalah menggunakan keterlibatan mereka untuk mengakhiri perang.” Itulah sebabnya banyak kapal perang AS hadir di Teluk, lantaran AS secara resmi “mengabulkan” permintaan Kuwait pada Maret 1987. Di sisi lain, “koalisi” dengan Kuwait memungkinkan AS untuk mengkampanyekan “Kemerdekaan Navigasi” di perairan tersebut. Semenjak Perang Iran-Irak pecah, banyak kapal sipil tak aman memasuki perairan tersebut. Untuk misi itulah, MEF mengeluarkan sejumlah aturan untuk pertahanan diri kapal-kapal perang AS yang dinamakan Rules of Engagement. Antara lain, AS menganggap pesawat-pesawat dua negara yang berperang, Iran maupun Irak, sebagai berpotensi menjadi musuh. Lalu, ketika terjadi kontak dengan pesawat kedua negara yang mendekati posisi kapal AS dalam jarak yang telah ditentukan, pihak AS mesti mengidentifikasi, memperingatkan, dan terakhir mengambil tindakan yang diperlukan jika membahayakan. Tanpa boleh memulai tembakan, kapal-kapal AS diizinkan menembak pesawat-pesawat yang sudah diberi peringatan namun tak mengindahkan. Pada 17 Mei 1987, USS Stark  masih berpatroli di perairan tersebut. Pukul 20.00, Kapten Bridel diberitahu adanya persawat tempur Mirage F-1 Irak yang mendekati kapalnya di jarak 200 mil. Di Combat Information Center (CIC), pukul 20.15 Letnan Basil E. Moncrief, perwira Tactical Action Officer, memberitahu Brindel tentang pesawat tersebut. Lantaran kehadiran Mirage F-1 itu tak tampak di radar, para petugas CIC lalu mengubah mode pencarian radar SPS-49 Stark ke mode 80 mil. Pesawat itu ternyata telah berada di posisi 70 mil dari Stark . Upaya pemberitahuan yang dikirim petugas Stark  tak didengar pilot Irak. Pukul 21.03, operator radar SPS-49 meminta izin Moncrief mengeluarkan peringatan kepada pilot Irak. “Tidak. Tunggu!” kata Moncrief, dikutip Michael Vlahos dalam “The Stark Report”, dimuat news.usni.org . Dua menit kemudian, Mirage F-1 itu memutar arah menuju Stark  di jarak 32 mil. Letnan Moncrief menganggapnya sebagai bahaya dan berupaya meminta komando dari Bridel. Namun, Bridel tak dapat ditemukannya. Ketika pesawat itu mencapai jarak 22,5 mil dari Stark  pukul 21.07, sebuah rudal Exocet dilepaskannya ke arah Stark . Para petugas Weapons Control Officer Stark  langsung meminta identitas pilot. Alih-alih menjawab permintaan itu, pilot Irak malah menjawabnya dengan meluncurkan Exocet kedua, di jarak 15 mil. Langkah-langkah pertahanan pun dilakukan para awak Stark . Selain menyiapkan peluncur sekam ( flare ), mereka menyiapkan senapan anti-serangan udara Phalanx (Close in Weapons System) ke mode siaga. Namun, semua upaya para awak Stark  itu terlambat. Exocet pertama Irak menghantam sisi kiri Stark . Meski gagal meledak, bahan bakar rudal itu menyebabkan kebakaran hebat. “Kebakaran yang dihasilkan merembet ke atas ke pusat informasi tempur kapal itu, menonaktifkan sistem elektrik,” kata Richard S. Gough dalam The Weapon Director . Tak lama kemudian, Exocet kedua menghantam sisi sama Stark  dan meledak hebat. “Rudal kedua meninggalkan lubang di bangunan utama frigat dan kebakaran hebat melintasi seluruh kapal,” sambungnya. Hantaman Exocet kedua itu memadamkan sistem pertahanan misil Stark  sehingga kapal nahas itu tak bisa melakukan pembalasan. Selain membuat Stark  miring dan nyaris tenggelam, serangan oleh pilot AU Irak itu menewaskan 37 awak Stark  dan melukai puluhan lainnya. Lebih jauh, serangan itu mengagetkan para pengamat militer dan awak Stark  yang selamat akan dahsyatnya daya hancur rudal buatan Prancis itu –rudal ini pula yang digunakan AU Argentina ketika menenggelamkan destroyer Inggris HMS Sheffield  yang berukuran lebih besar lima tahun sebelumnya di Perang Malvinas. Kongres langsung melakukan investigasi, yang diikuti Staf Gabungan. Hasilnya yang diumumkan akhir tahun itu juga, menetapkan Bridel dan Moncrief salah karena lalai dalam merespon peringatan dari petugas radar. Akibat kelalaian itu membuat USS   Stark  telat mengambil langkah pengamanan diri. Sementara, penyerangan Stark  membuat rakyat AS marah. Pemerintahan Reagan, yang sedang direpotkan oleh Skandal Iran-Contra, langsung mengirim tim Kementerian Pertahanan yang dipimpin Laksda David N. Rogers ke Baghdad untuk melakukan penyelidikan dan meminta tanggung jawab Irak. Perdebatan serius pun terjadi di antara pemerintah AS dan Irak. Irak akhirnya mengklaim pilotnya melakukan kesalahan teknis dengan radar pesawatnya sehingga mengira USS Stark  sebagai kapal tanker Iran yang berada di wilayah Zona Ekslusifnya. Meski melalui perdebatan alot, kompromi antara pemerintah AS dan Irak akhirnya dicapai. “Irak setuju membayar $ 27,3 juta sebagai kompensasi kepada keluarga para korban Stark, ” tulis Zatarain. “Serangan Stark memberi AL AS pengalaman pertama tentang dampak dari serangan rudal yang sebenarnya di kapal modernnya.”*

  • Pertemuan Ilmuwan Amerika dengan Komodo

    PADA 1926, ilmuwan Amerika Serikat, William Douglas Burden, mendarat di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang terletak di antara Sumbawa dan Flores itu menjadi rumah bagi reptil purba yang masih hidup di dunia, yakni komodo ( Varanus komodoensis ). Burden pun memulai perjalanan menemukan keajaiban dunia tersebut.

  • Direktur CIA Terburuk

    PRESIDEN Soeharto menerima Direktur CIA, John Mark Deutch, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis pagi, 24 Oktober 1996. Dalam pertemuan tersebut, Soeharto didampingi oleh Letjen TNI Moetojib, kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang BIN).

  • Melahirkan di Masa Perang

    Meskipun kondisi Jakarta belum aman pada Maret 1947, Herawati Diah rajin ke Rumah Sakit Budi Kemulyaan untuk memeriksanakan kehamilannya. Ia hamil anak ketiga. Anak pertamanya lahir pada 1944 dan anak kedua pada 1945. Ketika usia kehamilannya sudah semakin tua dan waktu melahirkannya sudah dekat, ia diinapkan di paviliun RS Budi Kemulyaan. Paviliun yang ia tempati cukup menampung empat orang: ayah, suami, dan seorang kerabat. Pada sore 30 Maret, ia merasakan mulas yang mencapai puncak hingga berubah menjadi rasa sakit yang datang dan pergi secara berkala. Sejurus kemudian petugas kesehatan dipanggil untuk membantu persalinan Herawati. Datanglah bidan Ainoen dan juru rawat Moehani. Sambil menyiapkan air panas dan haduk bersih, si bidan menemani Herawati dengan sabar. Persalinan, yang ditemani ayah Herawati, pun berhasil dilakukan dengan lancar pada pukul 18.15. BM Diah, suami Herawati, menunggu di luar karena tak berani menyaksikan persalinan. Begitu suara tangis bayi pecah dan dikabarkan bahwa bayinya lelaki, BM Diah langsung masuk ke dalam dan menyambut bayi lelaki pertamanya, Aditya Tedja Nurman. “Air muka suami sudah tidak perlu dilukiskan. Gembiranya nyaris tak tertahankan,” kata Herawati dalam memoarnya, Kembara Tiada Berakhir. Herawati salah satu perempuan yang memilih melahirkan di rumahsakit bersalin ketika persalinan dengan bantuan dukun beranak masih jamak ditemui. Pada persalinan anak kedua, Herawati mengaku tak melahirkan di rumahsakit lantaran sudah telanjur mulas ketika berada di rumah sendirian. Beruntung bantuan segera didatangkan, maka iapun melahirkan anak keduanya di rumah. Namun dalam memoarnya, Herawati tak menyebutkan ibantuan itu dari bidan atau dukun beranak. Melahirkan dengan bantuan dukun beranak juga pernah dialami ibunda BJ Habibie (presiden ke-3). Hal itu dikisahkan Junus Effendi Habibie dalam memoarnya Dari Pare-Pare sampai ke Court of St. James. Dalam Dukun dan Bidan dalam Perspektif Sosiologi,  Muzakir menyebut mayoritas persalinan periode 1945-1950 dilakukan oleh dukun beranak. Pertolongan bidan masih amat minim dan hanya tersedia di kota besar. Lantaran minimnya jumlah bidan, Rumah Sakit Budi Kemulyaan mengurangi enam biro konsultasi kehamilannya. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier , pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit tersebut agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, dari akhir 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, perbaikan kesehatan dilakukan. Data Kementerian Penerangan dalam  Republik Indonesia: Kotapradja Djakarta Raja  menginformasikan, pada awal 1950, Dinas Kesehatan Kota Jakarta memiliki tiga layanan persalinan dengan kapasistas 98 tempat tidur. Jumlah persalinan yang dilayani pun meningkat seiring perbaikan fasilitas. Selama 1950, layanan bersalin di seluruh Jakarta sudah menolong 3246 persalianan, pada 1951 sebanyak 3727, dan pada 1952 sebanyak 1787 persalinan. Jumlah biro konsultasi kehamilan pun diperbanyak menjadi sepuluh tempat di berbagai rumah sakit di Jakarta. Antara Januari hingga November 1952, biro konsultasi tersebut telah dikunjungi 29.936 ibu hamil. Pemeriksaan di biro konsultasi itu gratis untuk orang miskin dan pegawai negeri yang bergaji di bawah 100 rupiah. Sementara untuk umum dikenakan biaya satu rupiah. Kesehatan bayi pun diperhatikan dengan membentuk balai pemeriksaan bayi di 11 tempat milik pemerintah kota, satu milik pemerintah pusat, dan 13 swadaya. Namun, jumlah balai pemeriksaan bayi dan biro konsultasi kehamilan tetap masih kurang untuk melayani dua juta penduduk Jakarta. Masih menurut Kementerian Penerangan, untuk cakupan wilayah Jakarta era 1950-an, idealnya dibutuhkan 40 biro dan balai pemeriksaan. Berdasarkan data statistik 1950-an, jumlah angka kematian ibu mencapai 55.000 sementara angka kematian bayi mencapai 600.000 karena kurang perawatan. Maka kehadiran bidan dan biro konsultasi menjadi penting untuk mengedukasi mengenai kehamilan dan perawatan post-natal.

  • Hitler Seniman Medioker

    DENGAN ekspresi pilu, Adolf Hitler terduduk di tumpukan tulang-belulang. Di belakangnya, gejolak perang tampak mulai tak berhenti memakan korban rakyat. Begitulah penggambaran sebuah lukisan yang mendeskripsikan Hitler sebagai Kain dalam kisah ternama di Alkitab Perjanjian Lama. Lukisan itu seolah ingin menegaskan Hitler sebagai Kain yang membunuh Habel sebagai representasi rakyatnya sendiri. Kain dan Habel adalah dua anak pertama Adam dan Hawa yang saling bunuh. Kain yang membunuh Habel, dihukum menjadi pengembara sepanjang hayat. Dalam hal ini, Hitler diibaratkan seperti Kain yang bertualang sebagai penjahat perang. Salah satu mahakarya yang dibuat pada 1944 itu dipamerkan secara permanen di Deutsches Historisches Museum, Berlin per Selasa (4/2/2020). Lukisan itu didapatkan dari keluarga sang seniman yang 75 tahun menyimpannya. Grosz merupakan seniman eksil asal Jerman yang mencari suaka ke Amerika Serikat pada 1930 dan acap menciptakan karya bertema politis. “Bagi saya, penting untuk generasi muda saat ini punya akses terhadap lukisan dan pandangan kritis yang dimiliki sang seniman terhadap Naziisme,” ujar Sekjen Yayasan Kebudayaan Federal Jerman, Markus Hilgert, dikutip AP News , 4 Februari 2020. Grosz tentu hanya satu dari sekian seniman yang pernah menggambarkan sosok Hitler. Terlepas dari itu, Hitler sendiri mulanya juga perupa di atas kanvas. Sejak kecil ia punya ambisi akan seni. Lukisan "Hitler in Hell" karya George Grosz yang mulai dipamerkan di Museum Sejarah Jerman secara permanen (Foto: Twitter @DHMBerlin) Seniman Medioker “Seni akan selalu menjadi ekpresi dan cerminan dari ekspektasi dan kenyataan dari sebuah era,” kata Hitler dalam pidatonya di depan Reichstag (gedung parlemen) pada 23 Maret 1933, dikutip Mary M. Lane dalam Hitler’s Last Hostages: Looted Art and the Soul of the Third Reich . Ungkapan itu menggambarkan bagaimana ia akan mengubah wajah Jerman . Salah satunya lewat seni, h al paling didamba Hitler sejak kecil . Di masa kecil, Hitler merupakan bocah periang, penuh percaya diri, ramah, dan bertanggungjawab. Namun, semua kebaikan itu sirna selepas adik yang disayanginya, Edmund, meninggal karena campak pada 1900. Hitler berubah menjadi bocah pemalu,pemalas, dan sering sakit-sakitan. Ia susah diatur, baik oleh gurunya di Realschule (setara SMP) di Linz, Austria maupun oleh ayahnya, Alois Hitler.Kemalasannya makin parah selepas ayahnya berpulang tiga tahun berselang. “Hitler tak pernah berprestasi dalalm pelajarannya di sekolah. Satu-satunya kepandaiannya hanya menggambar. Sedangkan kesenangannya adalah membaca,” ungkap Agustinus Pambudi dalam Kematian Adolf Hitler. Kolase transformasi Adolf Hitler sejak bayi hingga masa muda yang terlibat Perang Dunia I (Foto: Bundesarchiv) Dari membaca –terutama buku-buku tentang perang dan mitos-mitos Jerman–itupula Hitler makin menikmati hobiseni rupa-nya. Hitler sering tenggelam dalam imajinasinya sendiri kala membaca buku tentang arsitektur-arsitektur bersejarah. Itupula yang mempengaruhi gayanya dalam berkarya di atas kanvas ketika merantau ke Wina kurun 1907-1913. Dengan kuas, cat, dan kanvasnya Hitler senantiasa dipengaruhi karya bergaya romantisme akhir-nya Arnöld Bocklin, gaya monumental neobaroque-nya Hans Makart, lanskap arsitektural-nya Afold Loos, neoklasik-nya Karl Friedrich Schinkel dan Gottgried Semper, dan genre art -nya Eduard von Grützner. “Saat masih muda di Wina saya pernah lihat (karya) Grützner di jendela galeri seni. Saking girangnya saya sampai-sampai tak bisa berhenti melihatnya. Saya masuk dan menanyakan harganya. Oh Tuhan, harganya di luar jangkauan saya. Saya membayangkan ketika sukses akan mampu membeli setidaknya satu (karya) Grützner,” kataHeinrich Hoffmann, fotografer Kekaisaran Jerman yang kemudian jadi fotografer pribadi Hitler, pada sebuah percakapannya dengan Hitler yang ia tuliskan di otobiografinya, Hitler Was My Friend. “Lukisan yang dimaksud adalah lukisan Grutzner bergambar seorang biarawan tua (berjudul Mönch auf dem Weg zur Britzeit , red. ). Dua puluh lima tahun kemudian, Hitler memiliki koleksi sekitar 30 mahakarya Grützner,” lanjutnya. Pelukis Theodor Ritter von Grützner idola Adolf Hitler dalam seni rupa (Foto: Die Gartenlaube) Pada 1907, Hitler muda dengan percaya diri berupaya masuk Akademie der bildenden Künste Wien (AKW) atau Akademi Seni Wina. Dalam manifesto otobiografinya, Mein Kampf , ia yakin bahwa ujian masuknya hanya sekadar formalitas baginya. Nyatanya, Hitler kemudian bak tersambar petir kala namanya tak masuk dalam daftar pengumuman kelulusan ujian masuk itu. “Ketika saya tanya rektor, alasan saya tak lulus masuk sekolah seni rupa di akademi itu, saya diberitahu bahwa hasil karya saya dalam ujian itu bukanlah sebuah hasil karya seni rupa dan bahwa bakat saya mungkin lebih pas untuk sekolah arsitektur,” tulisnya. Hitler mencoba tegar.Setahun kemudian, dia kembali mengikuti ujian masuk akademi itu. Lagi-lagi ia gagaldengan alasan serupa. Lantaran lukisan-lukisannya kering pembeli,ia harus hidup pas-pasan di Wina. Uang warisan ayah-ibunya mulai menipis gegara sering dihabiskannya untuk menonton opera dan orkestra Wagner.Hitler hidup terlunta-lunta dan bergantung pada makanan seadanya yang disediakan di sebuah rumah singgah tunawisma Meidling. Empat dari ratusan karya Adolf Hitler di atas kanvas semasa muda Di tempat itulah ia bertemu Reinhold Hanisch.“Dia (Hanisch) menyarankan melukis di media kartu pos yang nantinya akan dijajakan Hanisch di bar-bar. Hanisch menjanjikan pembagian adil, 50-50, dari hasil penjualan. Modal 50 kronen Hitler pinjam dari bibinya, Hanni, untuk beli peralatan lukis lagi setelah yang lama ia jual,” ungkap Volker Ullrich dalam Hitler: Ascent 1889-1939. K emitraan Hitler-Hanisch itu berjalan mulus . Banyak yang menyukai gambar-gambar lanskap dan arsitektur karya Hitler dalam kartu pos . Terlebih, kartu pos lazimnya laris di musim dingin. Baru sebulan berjalan, mereka sudah bisa menyewa apartemen sederhana di Meldemannstrasse 27. Namun Hitler kemudian ditipu hingga melaporkan Hanisch ke Kantor Polisi Brigittenau. Hanisch lantas dipenjara, sementara Hitler mulai menjual karya-karyanya dalam bentuk kartu pos sendiri, selain tetap menjajakan lukisannya. Salah satunya ke toko frame milik seorang Yahudi, Samuel Morgernstern. Hitler menitipkan lukisannya untuk dijualkan di toko dan hasilnya dibagi dua. Hingga pindah ke Munich pada 1913, Hitler menggantungkan penghasilan dari penjualan lukisandi toko Morgernstern. Ironisnya, ketikaHitler berkuasa, Morgernstern dan istrinya dijebloskan Gestapo ke kamp konsentrasi Auschwitz hingga tutup usia. Adolf Hitler (pertama dari kanan pada baris kedua) saat bertugas di Perang Dunia I sebagai tentara Bavaria (Foto: Bundesarchiv) Di Munich, Hitler tetap berkarya sebagai seniman mediokerhingga Perang Dunia I pecah tak lama kemudian. Hitler enggan kembali dan masuk wajib militer di negeri asalnya, Austria-Hungaria.Ia memilih masuk militer Bavaria dan ditempatkan di Kompi ke-1 dari Resimen Cadangan Bavaria ke-16. K ecintaannya pada seni t e tap terjaga . Buku gambar dan kuas cat tetap dibawanya ke manapun Hitler ditugaskan. S aat teman-temannya ngobrol tentang wanita dan seks , Hitler memilih “bercengkerama” dengan kertas gambar dan kuas catnya. Karya-karyanya kebanyakan tentang apa yang dia lihat sepanjang perjalanan maupun lingkungan dekat tempat dia ditugaskan, seperti tentang rumah-rumah peternakan dan pertanian. Beberapakali ia juga menggambar ilustrasi dan kartun untuk koran-koran militer kekaisaran. Sialnya buku gambar –sebagai portofolio Hitler semasa perang– yang ia simpan di tas kulitnya, dicuri bersamaan dengan hilangnya anjing kesayangannya, Fuchsl. Kala itupasukan tempatnya bertugas, Resimen List, tengah bergerak ke Alsace, Agustus 1917. Kesal, sedih, sakit hati, Kopral Muda Hitler lalu mengambil cuti 18 hari dan ke Berlin. Kala sudah jadi penguasa Eropa, Hitler gemar mengoleksi karya-karya berharga curian dari negeri-negeri yang ia jajah (Foto: The Wiener Holocaust Library) Setelah berkuasa pada 1933 danmenginvasi Polandia enam tahun berselang, Hitler mendapat protes dariDuta besar Inggris untuk Jerman Sir Nevile Henderson. Alih-alih menanggapi dengan pernyataan politis, Hitler justru menjawabnya dengan santai. “Saya ini seorang seniman dan bukan politisi. Setelah masalah Polandia selesai, saya berniat menghabiskan hidup saya sebagai seniman,” ujar Hitler yang dikenang Henderson dalam The British War Blue Book, 1939, yang merupakan himpunan dokumen dan catatan diplomat Inggris di Jerman. Dalih itu tak d itepati Hitler . Bukannya menjadi seniman seperti yang ia katakan, Hitler justru jadi penguasa paling dibenci di Barat . Bukan hanya karena soal holocaust (genosida Yahudi), namun juga gegera pencurian karya-karya berharga dari negeri-negeri Eropa yang ia jajah. Pencurian itu dilakukannya untuk mengumpulkan koleksi karya itu di kompleks kebudayaan bikinannya, Führermuseum.

  • Menjaga Natuna

    Dari 154 pulau di Natuna, hanya 27 pulau yang dihuni. Sudah lama Kepulauan Natuna seakan sendirian di laut lepas. Letaknya pun lebih dekat dengan wilayah Malaysia. “Mereka cerita, sebelum 1995 kalau mencari kebutuhan pokok mereka harus keluar pulau, mereka pakai kapal kayu pinisi atau kapal besi perintis, ditempuh selama tiga hari,” kata Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema “Ada Apa dengan Natuna” di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, belum lama ini.  Padahal, Natuna bukannya terpencil. Ia berada di tengah perlintasan perekonomian internasional sejak dulu. Karenanya, sampai sekarang Laut Cina Selatan terutama Laut Natuna menjadi sasaran klaim dari beberapa negara yang berbatasan dengan wilayah itu. “Natuna justru bagian depan. Bukan pulau terluar. Ia yang terdepan dibanding Jakarta. Karena orientasi kita orientasi Jakarta. Justru ini jadi beranda depan,” ujar Sonny.  Hingga kini masih terjadi klaim terhadap Natuna yang dilontarkan negara-negara di Laut Cina Selatan. Kendati pada 2002 negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia, telah melakukan perundingan dengan Tiongkok dan telah menandatangani deklarasi pemanfaatan Laut Cina Selatan secara damai. Natuna Dikuasai Johor Kedudukan politik Kepulauan Natuna memang punya cerita panjang. Sejarawan yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono menemukan arsip penyerahan hampir 300 pulau dari Sultan Johor ke Sultan Riau Lingga. Salah satunya Natuna. Dari sejarahnya kedua kesultanan itu masih berkerabat. Status Kerajaan Riau Lingga merupakan wilayah Raja Muda atau perdana menteri dari Kerajaan Johor. Dalam sebuah catatan utusan Belanda di Riau, William Valentyn, pada 1687 disebutkan beberapa wilayah di bawah naungan Johor. Antara lain Trenganu, Pahang, Sedili, Dungun, Rembau, Muar, Bengkalis, Siak, Pulau Pinang, Tioman, Pulau Auer, Pulau Temaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Sarasan, Subi, Tambelan, Sundala, dan Lingga. “Berdasarkan sumber tertulis itu, pada 1687, Bunguran (sekarang termasuk Kepulauan Natuna,  red .) sudah masuk dalam salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Johor,” kata Djoko.  Namun kemudian ada perjanjian antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Residen Riau pada 1 Desember 1857. Di dalamnya disebutkan soal daerah yang masuk ke dalam daerah Kerajaan Melayu Lingga Riau. Di antaranya Pulau Natuna sebelah utara diperintah Orang Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah Orang Kaya Subi, Pulau Serasan di bawah Orang Kaya Serasan, Pulau Tambelan di bawah Petinggi Tambelan. Perjanjian diperkuat lagi antara Sultan Abdurrahman Muazam Syah dan Residen Riau Willem Albert De Kanter pada 18 Mei 1905. Intinya, pulau-pulau Natuna termasuk ke daerah taklukkan Kerajaan Melayu Lingga Riau. “Suatu hal yang biasa bila raja menghadiahkan sebuah pulau dari pulau-pulau yang dimilikinya yang jumlahnya lebih dari 300 pulau itu kepada kerabatnya,” jelas Djoko. Kendati begitu, menurut Djoko, penyerahan hampir sebanyak 300 pulau dari Raja Johor kepada Raja Riau Lingga merupakan bagian dari diplomasi pemerintah Kolonial Belanda dalam melakukan negosiasi dengan Inggris. Ini yang akhirnya dituangkan dalam Traktat Sumatra yang ditandatangai pada 1871. Traktat itu menyerahkan wilayah Inggris yang berada di Bengkulu kepada Belanda. Penyerahan itu tak cukup imbang jika dibandingkan dengan penyerahan Malaka yang berada di bawah kekuasaan Belanda kepada Inggris. “Patut diduga dan perlu diteliti lebih lanjut bahwa penyerahan 300 pulau kepada pemerintah Belanda merupakan bagian dari persiapan dilaksanakan Traktat Sumatra,” jelasnya. Saat dikuasai Belanda, Kesultanan Riau Lingga tak begitu saja menerima keberadaannya. Strateginya, kesultanan tak melarang penduduk melakukan perompakan. Padahal pemerintah kolonial sudah membentuk pengawas agar perompak tak masuk ke pulau-pulau itu. “Ini terkait kepercayaan mereka, Belanda dianggap kafir, karenanya ditentang. Upaya penumpasan perompakan di Riau tak pernah beres. Sultan sendiri yang melindunginya,” kata Djoko. “Ini juga salah satu perjuangan bumiputra melawan kolonialis.” Merawat Pulau Natuna Kenyataannya, arsip-arsip bersejarah mengenainya sudah banyak yang hilang. Kepulauan Natuna menjadi kian rawan dimiliki negara lain.  “Arsip Pulau Tujuh sudah tak ada lagi, harus cari di Belanda. Natuna bagian dari Pulau Tujuh kalau zaman Kolonial Belanda,” jelas Djoko.“Kelemahan kita tidak ada tradisi tulis. Kita kehilangan arah.”  Karenanya, menurut Djoko, perlu untuk merawat pulau-pulau, terutama yang terletak di perbatasan. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya. Pulau-pulau ini akhirnya jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional. Malaysia dianggap mampu mengembangkan pulau dengan baik. Sementara sebelumnya Pulau Sipadan hanyalah pulau kosong yang tak dimanfaatkan Indonesia. “Pulau-pulau ini (Kepulauan Natuna,  red .) kalau tak dikelola berpotensi hilang. Ligitan karena Malaysia sudah kelola pulau itu. Jadi kata kuncinya jangan membiarkan pulau-pulau itu terlantar,” ujar Djoko. Sementara menurut Sonny, salah satu upaya memanfaatkan Kepulauan Natuna adalah lewat pendekatan kebudayaan. Penelitian arkeologi salah satunya. Ia bersama Puslit Arkenas telah memulai penelitian arkeologi pada 2010. Penelitian itu mengungkap penghunian awal di Natuna dan perannya sebagai persimpangan perdagangan internasional sejak dulu. “Sekarang di Natuna sedang ada pembangunan museum. Kami sengaja mempertontonkan penemuan ini di kabupaten. Menggunakan data arkeologi untuk meng- counter nine dash line ,” jelas Sonny. Nine dash line (sembilan garis putus-putus) adalah wilayah-wilayah yang diklaim Tiongkok di Laut Cina Selatan.

  • Mengaku Sosok Istimewa untuk Memikat Para Petani

    BEBERAPA orang mengklaim dirinya sebagai titisan tokoh atau pemimpin pada awal 2020. Toto Santosa di Purworejo, Jawa Tengah, yakin dirinya adalah Raja Keraton Sejagat. Rangga Sasana di Bandung, bilang dirinya adalah Gubernur Jenderal Nusantara Teritory. Sebagian kecil orang mengikuti mereka. Mayoritas orang justru terbelalak kaget.

  • Berpacu Melawan Waktu dalam 1917

    PAGI 6 April 1917. Kopral Tom Blake (diperankan Dean-Charles Chapman) dan sahabatnya, Kopral Will Schofield (George MacKay), dari Batalyon ke-8 pasukan Inggris tetiba dibangunkan dari istirahat singkatnya oleh Jenderal Erinmore (Colin Firth). Keduanya diberi misi berbahaya: menyampaikan pesan berisi perintah langsung. Blake dan Schofield diperintahkan menerobos garis kubu Jerman guna mengantarkan pesan untuk Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbatch). Opsi itu diambil Erinmore lantaran jaringan telegram sudah diputus oleh Jerman. Sebelumnya Mackenzie, komandan batalyon ke-2 Resimen Devonshire, berencana mengejar sisa-sisa pasukan Jerman yang mundur. Namun laporan pengintaian udara menginformasikan, ternyata Jerman mundur secara teratur dan teroganisir membentuk kekuatan baru di Hindenburg Line. Jadi 1.600 pasukan Mackenzie, termasuk Letnan Joseph Blake, kakak Kopral Tom Blake, akan masuk ke perangkap Jerman. Demikianlah premis lima menit awal film 1917  karya sutradara Sam Mendes. Karya itu terinspirasi dari kisah kakeknya, Alfred Mendes, yang juga pernah bertugas di Perang Dunia I (PD I) sebagai kurir di pasukan Inggris. Jenderal Erinmore yang diperankan aktor watak Colin Firth (Foto: universalpictures.com ) Sebagaimana subjudul yang dicantumkan Mendes dalam 1917, “Time is the Enemy”, Mendes menggulirkan alur cerita dengan sangat cepat. Tak payah ia harus membangun emosi karakter-karakter pemerannya seperti film-film bertema perang lain semisal Saving Private Ryan (1998). Penonton akan diajak hanyut dalam petualangan Schofield dan Blake yang hanya punya waktu satu hari untuk melintasi beragam medan bermil-mil panjangnya dari markas mereka ke Hutan Croisille, tempat kubu terdepan pasukan Resimen Devonshire. Walau tak menghadirkan adegan perang secara kolosal, bisa jadi secara tak sadar semangat Anda akan ikut terpacu oleh aksi mereka dan itu jadi bagian menariknya. Hal menarik lainnya yakni beberapa scene menegangkan. Mulai dari scene keluar dari parit terdepan pertahanan Inggris hingga aksi sprint Schofield di tengah ledakan dalam pertempuran gelombang pertama Resimen Devons, demi menemui Kolonel Mackenzie. Berhasilkah ia? Saksikan sendiri lengkapnya di layar bioskop yang sudah tayang di Indonesia sejak Januari 2020. Akurasi Sejarah Beberapa kritikus film angkat jempol. Terutama karena Mendes menggarapnya dengan teknik continuous shot / one-shot alias kameramen mengambil gambar close-up maupun zoom-out dengan mengikuti si karakter utama. Memang tidak full 119 menit kameramen non-stop mengikuti pemerannya. Tapi setidaknya, 1917 hanya menerapkan sekali break dan kemudian “dijahit” dengan pengambilan gambar one-shot berikutnya, yakni scene Schofield terjatuh dari tangga dan pingsan usai mengenyahkan seorang sniper Jerman. Menjadikannya film perang pertama yang menggunakan teknik one-shot. “Saya ingin mengisahkan jalan ceritanya dalam waktu yang sebenarnya dalam dua jam. Jadi saya merasa kisahnya akan menjadi natural, di mana penonton akan hanyut dalam pengalaman yang dialami pemerannya,” cetus Mendes dalam wawancaranya dengan Alissa Wilkinson yang dimuat Vox , 10 Januari 2020. Music scoring garapan Thomas Newman kendati minimalis namun terasa pas mengiringi adegan-adegan menegangkan dalam 1917 . Hal menarik lainnya, Mendes menyelipkan dua puisi sebagai pengganti ekspresi di dua adegan berbeda. Pertama , ketika Blake dan Schofield hendak berangkat menjalankan misi. Blake bertanya, apakah hanya mereka berdua yang mengemban tugas genting itu? “ Down to Gehenna or up the Throne. He travels the fastest who travels alone, ” jawab Jenderal Erinmore. Mendes mengutip dua kalimat terakhir bait pertama puisi “The Winners” dari buku The Story of the Gadsbys karya Rudyard Kipling. Adegan Kopral Schofield melantunkan sajak "The Jumblies" untuk menenangkan bayi yang terlantar akibat perang (Foto: Universal Pictures) Puisi kedua diselipkan Mendes di saat Schofield bertemu seorang gadis dan bayi terlantar di rumah yang hancur di kota Écoust. Schofield yang teringat putrinya di kampung halaman, menyenandungkan syair: “ They went to the sea in a Sieve, they did. In a Sieve they went to the sea.In spite of all their friends could say. On a winter’s morn, on a stormy day. In a Sieve they went to sea ...,” yang merupakan potongan puisi bertajuk “The Jumblies” karya Edward Lear. Agar tak bikin “sakit mata” penonton yang paham sejarah, Mendes cukup berhati-hati pada wardrobe, properti film, dan sikap-sikap militer di era tersebut. Ia menggandeng sejarawan Andy Robertshaw dan konsultan sejarah militer Paul Biddiss. Kolase adegan menegangkan Kopral Schofield berkejaran dengan waktu mengemban misi berbahaya (Foto: Universal Pictures) Alhasil semua detail artistik dalam 1917 nyaris sempurna. Contohnya, penggunaan senapan Lee Enfield Mk. III yang memang digunakan Inggris saat itu, senapan Gewehr 98 untuk serdadu Jerman, dan pistol Webley Mk. IV yang acap jadi pegangan perwira Inggris. Mendes juga tak lupa menggambarkan latar beberapa horor dan kengerian korban-korban perang, mulai dari bangkai kuda hingga mayat-mayat yang membusuk terpendam baik di dalam tanah maupun kubangan air. Pun dengan detail lain untuk latar filmya, karena ia harus membuat kondisinya seperti asli lantaran menggunakan teknik one-shot tanpa CGI (Computer-Generated Imagery) atau ilusi buatan komputer. Seperti kondisi parit kubu Inggris yang berlumpur dan berantakan dan parit kubu Jerman yang rapi. Mendes juga menghadirkan tank asli seperti Tank Mk. II yang dipinjam dari The Tank Museum di Dorset, Inggris. Namun, namanya film pasti disarati dramatisasi sehingga membuat beberapa fakta sejarahnya kurang detail dan bahkan melenceng. Toh memang Mendes menggarapnya berdasarkan kisah kakeknya, Alfred Mendes, bukan kisah nyata. Oleh karenanya semua nama karakternya pun fiktif. Tank Mk. II yang turut dihadirkan untuk melengkapi akurasi sejarah di film "1917" (Foto: Universal Pictures) Hindenburg Line dan Pasukan Koloni Inggris Yang melenceng adalah pengambilan latar waktu. Mendes memulainya dengan keterangan waktu 6 April 1917, ketika pasukan Jerman mulai mundur dari front utara Prancis. Latar itu merujuk pada Unternehmen Alberich (Operasi Alberich) yang terjadi sudah sejak 9 Februari 1917. Mengutip Haig’s Enemy: Crown Prince Rupprecht and Germany’s War on the Western Front karya sejarawan Universitas Birmingham Jonathan Boff, Operasi Alberich digulirkan setelah perdebatan antara Jenderal Erich Ludendorff, putra mahkota Pangeran Rupprecht, dan Jenderal Fritz von Below. Hasilnya yakni perintah mundur taktis setelah pasukannya mengalami kerugian besar di Pertempuran Somme (1 Juli-18 November 1916). Pun dengan detail tentang respons pasukan Inggris saat mengetahui Jerman mengundurkan diri dari posisinya. “Ketika Jerman bermanuver mundur taktis, pihak Entente (Sekutu) tak segera menyadarinya. Saat mereka mulai insyaf, mereka maju dengan sikap hati-hati karena banyak jebakan dan perangkap di parit-parit Jerman yang ditinggalkan,” ungkap Boff. Fakta itu kontradiktif dengan sikap Kolonel Mackenzie dalam film yang ingin buru-buru mengejar pasukan Jerman yang mundur. Kolase adegan Kopral Schofield dan Blake yang menemukan parit-parit Jerman yang ditinggalkan usai mundur dari posisinya (Foto: Universal Pictures) Dalam faktanya, Jerman mundur ke Hindenburg Line (Jerman: Siegfriedstellung ) untuk mempersempit garis pertahanan mereka pasca-Pertempuran Verdun dan Pertempuran Somme. Jerman mundur dan membentuk garis pertahanan baru yang membentang dari Arras ke Laffaux sepanjang 140 kilometer. Di sinilah epilog Perang Dunia I. Hingga Jerman sudah menyiapkan diri di garis pertahanan baru itu, Inggris/Sekutu akhirnya tetap menyusul hingga meletuskan sejumlah bentrokan, mulai dari Pertempuran Arras (9 April-16 Mei 1917) hingga Pertempuran Meuse-Argonne (26 September-11 November 1918) yang sudah mulai mengikutsertakan Amerika Serikat, yang berlangsung sampai berakhirnya Perang Dunia I. Terlepas dari beberapa kekurangan itu, menariknya Mendes menghadirkan “warna” lain dalam pasukan Inggris. Satu di antaranya, karakter prajurit Jondalar (Nabhaan Rizwan), seorang tentara Sikh dari unit British India. Tentara yang khas mengenakan turban dan berkumis itu dijumpai Schofield kala diberi tumpangan Kapten Smith (Mark Strong) untuk ikut truk militer pasukannya ke kota Écoust, hingga harus terhenti gegara sebuah jembatan dihancurkan Jerman. Juga dihadirkannya serdadu Inggris berkulit hitam, Prajurit Grey (Elliot Edusah), yang tengah mengangkat tandu, sebelum adegan pertemuan Schofield dengan Letnan Joseph Blake (Richard Madden), kakak sahabatnya yang tewas di tengah jalan. Dua detail ini jarang ditampilkan berbagai film perang sebelumnya macam Dunkirk (2017). Unit kavaleri dari tentara British India di front barat Perang Dunia I (Foto: nam.ac.uk ) Padahal, menukil The Indian Army 1914-1947 karya Ian Sumner, pasukan “sukarela” dari India dan negara koloni Inggris lain seperti Nepal (Gurkha), Jamaika, Barbados, Tobago, Trinidad (kakek sang sutradara berasal dari Trinidad), Grenada, British Guiana, punya andil besar dalam pasukan Inggris di Perang Dunia I. Mulanya, Inggris punya jumlah personil terkecil ketimbang negara lain, yakni 250 ribu personil. Sekira 450 ribu lainnya didatangkan dari negara-negara koloni untuk menggenapi jumlah 700 ribu serdadu. Dari India jumlahnya sekira 130-140 ribu personil, terbagi masing-masing ke dua unit infantri dan kavaleri. Mereka sudah dikirim ke front sejak 1914, sebagai hasil dari rekrutmen sukarela Menhan Herbert Kitchener. Para serdadu India itu lebih dulu terlibat di Pertempuran Somme sampai Pertempuran Cambrai (20 November-7 Desember 1917) dalam rangka Inggris menembus Hindenburg Line. Mereka dipindahkan ke front Afrika Utara pada Maret 1918. Dari arsip laporan Commonwealth War Graves Commission on India 2007-2008, dari sekira 140 ribu tentara India yang terlibat di front Barat, nyaris sembilan ribu di antaranya tewas.

  • Digulis Jadi Artis

    Untuk menyingkirkan para pemberontak, Belanda menyiapkan Boven Digul. Lokasinya yang kelilingi hutan di tengah-tengah Pulau Papua dan sungai-sungai penuh buaya membuat para tahanan hampir mustahil untuk kabur. Selain itu malaria dan isolasi dari peradaban manapun diharapkan membuat para pembangkang kapok. Banyak dari orang-orang buangan tetap pada pendiriannya. Banyak pula yang menyerah atau pura-pura jinak agar dipulangkan ke kampung halaman. Mereka yang berhasil bebas dari Digul ada yang tetap melawan kolonialisme, ada pula yang pensiun karena kapok dibui. Salah satunya adalah Mustajab Budrasa, digulis yang jadi artis. Mustajab Budrasa lahir di Tegal pada 13 April 1901. Menginjak remaja, ia masuk ke Sekolah Guru Normal dan kemudian lulus pada 1918. Ia lalu menjadi guru sekolah dasar di Pekalongan hingga 1925. Surat kabar Merdeka , menyebut karena bercita-cita kuat untuk mencapai kemerdekaan, Mustajab lalu terjun dalam gerakan Sarekat Rakyat, pecahan Sarekat Islam yang mendukung Semaoen. Ia dipilih sebagai ketua di daerah Tegal. "Berhubung dengan itu ia lalu meninggalkan kalangan perguruan dan dengan adanya pemberontakan pada tahun 1926, oleh pemerintah jajahan, Sdr. Moestajab diasingkan ke Boven Digul,” tulis Merdeka , 12 Februari 1947. Pada 1931, Mustajab dibebaskan dari Digul. Setelah bebas dari Boven Digul, ia bergabung dengan sandiwara Dardanella. Bersama Dardanella, ia ikut dalam berbagai pementasan ke Malaya, Muangthai, hingga India pada 1934. Pada 1936, Mustajab membentuk sandiwara Bolero bersama rekannya Bachtiar Effendy. Ketika pecah Perang Dunia II, ia sedang berada di Singapura bersama sandiwara Bolero. Ia baru bisa kembali ke tanah air setelah perang mereda pada akhir 1945. Potret Mustajab Budrasa pada 1975. (Arsip Sinematek). Setelah kembali dari Singapura, Mustajab bergabung dengan sandiwara Dewi Mada. Tak lama, ia keluar dan bergabung dengan sandiwara Bintang Surabaya dan Irama Masa. Dalam dua kelompok sandiwara itu, ia didapuk menjadi pimpinan. Karier sandiwara Mustajab cukup pajang. Setelah berkali-kali pindah kelompok sandiwara, akhirnya ia bergabung dengan sandiwara Pantjawarna dan Bintang Timur pimpinan Djamaludin Malik. Oleh Djamaludin Malik, ia diberi kepercayaan untuk memimpin Pantjawarna. Pada 1949, Mustajab mulai masuk ke dunia film. Film pertama yang ia bintangi berjudul Terang Bulan,  rilis pada 1950. "Barangkali telah jemu dengan sandiwara, yang memang pada waktu itu kurang mendapat perhatian yang layak dari masyarakat, Pak Mustajab coba-coba main di film. Memang waktu itu, film di Indonesia telah mulai dikenal masyarakat," tulis Minggu Pagi , 25 Januari 1959. Semasa aktif di dunia film, Mustajab mendorong para pekerja film untuk turut menjadi alat propaganda revolusi Indonesia dan perebutan Irian Barat. Ia belajar dari pengalaman bahwa pada masa pendudukan Jepang, seniman-seniman dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik. "Saran yang demikian itu dikatakan oleh Pak Mustajab, karena tampak adanya tendensi bahwa pemerintah yang berwenang belum menaruh perhatian ke sana (ranah kebudayaan)," sebut Minggu Pagi . Berdasarkan arsip Sinematek, dekade 1950-an menjadi tahun paling produktif bagi Mustajab. Ia muncul dalam film Djembatan Merah (1950), Ajah Kikir 1951), Si Mintje (1952), Lagu Kenangan (1953), Kasih Sajang (1954), hingga Kasih dan Tjinta (1956). Setidaknya, 32 film telah ia bintangi pada dekade ini. Mustajab tetap aktif pada 1960-an dengan membintangi D jakarta By Pass (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), dan empat film lainnya. Sedangkan pada 1970-an ia juga mendapat peran dalam film Ratu Amplop (1974). Salah satu anak Mustajab, yakni Endang Kusdiningsih, mengikuti jejak ayahnya sebagai artis. Sebelumnya, Endang juga pemain drama dan sandiwara seperti ayahnya. Endang membintangi film Tarmina (1954) dan terpilih sebagai aktris pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia yang pertama pada 1955. Endang kemudian berperan dalam film Hadiah 10.000 (1955) dan Kasih dan Tjinta (1956). Namun, karier Endang tak sepanjang ayahnya yang masih aktif hingga 1977. Endang pensiun dari dunia perfilman selepas bermain di film Malam Tak Berembun (1961). Film Manager Hotel (1977) menjadi film terakhir Mustajab sebelum meninggal dunia pada tahun yang sama. Tepatnya pada 12 September 1977, Mustajab Budrasa meninggal dunia di rumahnya di Jakarta. Tak banyak yang mengetahui berita duka ini dari kalangan pekerja film. Hanya dua orang artis film, yakni aktor Darussalam dan istrinya, Netty Herawaty, yang hadir pada hari pemakamannya.

  • Rezim Kopi Menak Guntur

    Ketika tiba di tanah Jawa pada  5 Januari1808, Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808—1811) mengemban tugas berat dari Lodewijk Napoleon, adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte yang menjadi Raja Belanda. Itu terjadi karena pada 1806 Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Prancis. “Semasa pemerintahan Daendels, Pulau Jawa dan seluruh bekas wilayah VOC merupakan representasi kekuasaan Prancis di wilayah Asia,” ungkap Prawoto Indarto dalam The Road to Java Coffee . Selain harus memperbaiki sistem administrasi di Pulau Jawa yang kacau balau, penganut ide-ide Revolusi Prancis yang fanatik itu wajib pula mendongkrak eknomi di tanah Jawa demi pemasukan kas Kerajaan Belanda. Salah satu yang harus dibenahi oleh Daendels adalah bisnis kopi. Menurut Prawoto, sang gubernur jenderal memberi perhatian khusus terhadap pengelolaan kopi di Jawa karena barang itu merupakan komoditas dunia yang tengah meroket harganya saat itu. Di masa sebelumnya, kopi juga telah memberi begitu banyak masukan bagi kas Belanda. Lantas langkah apa yang dilakukan oleh Daendels? Hal yang paling awal dilakukan Daendels adalah membentuk Inspektur Jenderal Tanaman Kopi pada 9 Juni 1808. Institusi yang dipimpin oleh C. van Winkelman itu bertugas mengatur semua yang berhubungan dengan bisnis kopi di Jawa: mulai dari pembukaan lahan perkebunan kopi hingga penyetoran biji kopi ke seluruh gudang pemerintah di Jawa. Dalam tesisnya yang berjudul Bupati Priangan, Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19 , sejarawan U. Sobana Hardjasaputra menyebutkan bahwa setiap tahun Winkelman wajib melaporkan daftar tanaman kopi di seluruh Jawa kepada Daendels. Dia juga yang bertanggungjawab terhadap peraturan yang mewajibkan setiap keluarga di Jawa untuk menanam 500 pohon kopi. “Padahal pada waktu sebelumnya hanya diwajibkan menanam 200 pohon kopi,” tulis Hardjasaputra. Pewajiban itu diikuti dengan pengangkatan tenaga pengawas perkebunan yang diberi pangkat militer sederajat dengan kapten. Seorang Kapten Kopi diharuskan menyetor 300 pikul kopi (perpikul=126 pon) kepada pemerintah Hindia Belanda. Andaikan dia tidak bisa memenuhi target tersebut, maka penurunan pangkat menjadi Letnan Pertama akan menantinya. Begitu seterusnya hingga dia berhasil kembali memenuhi kuota 300 pikul. Masalah harga kopi juga diurusi oleh Daendels. Pada 4 April 1809, dia menetapkan harga kopi perpikul seberat 225 pon adalah 4 ringgit uang perak bagi orang biasa. Sedangkan khusus untuk kopi yang berasal dari tangan para bupati, perpikulnya (seberat 126-128 pon) dihargai dengan uang seringgit. Guna memudahkan identifikasi, pada 1808-1809 Daendels pun membagi wilayah Priangan menjadi dua: wilayah penghasil kopi dan wilayah bukan penghasil kopi. Produsen tradisional kopi seperti Cianjur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang tentu saja dimasukan dalam kelompok pertama. Sedangkan wilayah-wilayah lainnya seperti Limbangan, Sukapura dan Galuh dimasukan dalam kelompok kedua. Daendels pun berupaya mengeliminasi peran para pelaku tradisional yang utama dalam bisnis kopi. Para menak Sunda yang terdiri dari bupati dan santana dijadikan Daendels hanya sebagai bawahannya dan secara resmi merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda. “Untuk menghilangkan hak-hak istimewa penguasa tradisonal, Daendels menerapkan sistem gaji buat mereka,” ujar sejarawan Bondan Kanumoyoso. Menurut Bondan, efesiensi birokrasi itu semata-mata bukan karena soal ekonomi. Sebagai penganut garis keras ide-ide Revolusi Prancis, Daendels sangat membenci sistem feodal yang sudah mendarahdaging di kalangan para menak Sunda. Karena itu, dia berupaya memberantasnya. Pemberlakuan peraturan itu dilaksanakan secara tegas oleh Daendels. Dia tak segan memecat para bupati yang membangkang terhadap perintahnya. Itu terjadi kepada Bupati Parakanmuncang Tumenggung Aria Wira Tanureja yang menolak untuk menanam 300.000 pohon kopi di wilayahnya. Begitu galaknya Daendels, hingga masyarakat Priangan menjulukinya sebagai Menak Guntur. Itu mengacu kepada, suara sang gubernur yang jika dalam keadaan marah bisa mengeluarkan suara yang keras laiknya guntur. Namun rezim kopi di bawah Sang Menak Guntur juga mengupayakan pembangunan infrastruktur di Jawa seperti jalan raya pos ( groote postweg ). Selain untuk memudahkan surat menyurat antar pejabat Hindia Belanda dan melancarkan jalur logistik jika terjadi penyerangan Inggris ke Jawa, upaya itu juga ditujukan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi (termasuk kopi) dari pelosok ke pelabuhan-pelabuhan besar. Kendati Daendels sudah mengupayakan berbagai langkah radikal untuk memajukan bisnis kopi, namun di masa dia berkuasa bisnis kopi justru terjun bebas. Sebagai perbandingan saat awal Daendels berkuasa pada 1808, ekspor kopi dari Jawa berjumlah 7.289 ton. Jumlah itu menurun tajam ketika akhir kekuasaannya: hanya 1.224 ton. Bisa jadi penurunan produksi kopi Jawa asal Priangan terjadi karena soal politik. Hubungan buruk antara para menak Sunda dengan Daendels menjadikan dukungan pengembangan bisnis kopi tersendat. “Citra Daendels memang buruk di kalangan para penguasa tradisional karena kebijakan-kebijakannya dinilai tidak populis,” ungkap Bondan Kanumoyoso. Kesalahan itu kemudian diperbaiki pada era Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830—1833). Malah di masa sang pencipta Cultuur stelsel  (sistem kultivasi) itu, keluar surat edaran dari pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada para bupati, lengkap dengan sanksi yang mengikutinya jika tidak dijalankan. Kebijakan itu terbukti efektif. Sejak 1834, kopi Jawa secara perlahan mulai menuju kejayaannya kembali. Sembilan tahun kemudian, seiring dengan melonjaknya permintaan dunia, kopi Jawa berhasil memasok 56.940 ton ke pasaran dunia. Itu setara dengan 27 persen jumlah kopi yang dibutuhkan dunia saat itu.

  • Mereka yang Diincar APRA

    Sersan Mayor Soedarja masih ingat rumor yang beredar pada awal Januari 1950. Tersebutlah orang-orang Belanda yang tak puas dengan kesepakatan Konfrensi Meja Bundar (KMB). Mereka bermaksud membentuk gerakan tersendiri guna memanjangkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. “Kelompok itu bernama APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh eks komandan Korps Pasukan Khusus (KST), Kapten R.P.P. Westerling,”ujar eks anggota intelijen Divisi Siliwangi itu. APRA akan memulai gerakan dari Bandung. Selain sebagian anggota Baret Hijau dan Baret Merah yang tergabung dalam KST, kelompok ini juga diperkuat oleh mantan prajurit-prajurit KNIL dan anggota polisi federal yang dipimpin oleh Van der Meulen. Mereka kemudian akan merangsek ke Jakarta dan merencanakan menguasai gedung parlemen RIS. Namun sebelum rencana itu diwujudkan, Westerling telah membuat rencana penyingkiran sejumlah tokoh militer dan sipil di Bandung. Menurut Soedarja, APRA berkepentingan menghilangkan orang-orang itu  karena dianggap akan menghalangi gerakan mereka di Bandung. Soal rencana APRA itu, dibenarkan oleh Kolonel (Purn) Mohamad Rivai. Dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia menyebut sejatinya Westerling mengicar 7 tokoh Jawa Barat. Mereka adalah Kolonel Sadikin (Panglima Divisi Siliwangi), Mayor Mohamad Rivai (Kepala Penerangan Militer Gubernur Militer IV Jawa Barat), Letnan Kolonel Soetoko (Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel dr.Errie Sudewo (Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata, Mayor CPM Roehan Roesli dan Sudjono (anggota Parlemen Negara Pasunda yang pro RI). Aksi itu rencananya akan diwujudkan pada 5 Januari 1950. Caranya dengan memberikan racun kepada mereka. Demikian menurut pengakuan Abdul Karim bin Djamin, seorang eks anggota Laskar Rakyat Djawa Barat (LRDR) yang kemudian bergabung dengan gerakan bawah tanah-nya Kapten Westerling. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisaris Polisi Kelas II M. Saud Wirtasendjaja (sebagai Kepala Bagian Pidana di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat) pada 8 Maret 1950 terbuhullah pengakuan dari Abdul Karim. Dia menyebutkan bahwa pada 5 Januari 1950, dirinya dan seorang overste (letnan kolonel) berkebangsaan Belanda bernama Cassa mendatangi salah seorang tangan kanan Westerling di Bandung, Sersan Mayor KNIL Herman Louis. “Di sana Cassa menyerahkan masing-masing 1 botol racun kepada saya dan Lois untuk membunuh ketujuh orang itu,” ungkap Abdul Karim seperti dikutip Mohamad Rivai dalam bukunya. Adapun cara menggunakan racun tersebut adalah dengan mencampurkan cairan maut itu dengan minuman yang pahit atau makanan yang panas. Namun rencanan jahanam itu tak bisa terwujud karena ketujuh orang itu keburu mengetahuinya. Itu disebabkan oleh kegagalan Cassa saat akan meracun Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Hotel Savoy Homan. Selanjutnya APRA merubah cara pembunuhan dengan rencana penembakan langsung. Pada malam 22 Januari 1950, Westerling sudah mengatur pembunuhan terhadap Mayor Rivai dalam suatu rapat antara TNI, KNIL dan Batalyon Pengawal Pasundan (VB). “Rencana itu gagal karena dihalangi oleh Kapten S. Manopo, perwira KNIL yang setia kepada kesepakatan KMB,” ujar Rivai. Begitu juga rencana pembunuhan terhadap Letnan Kolonel Soetoko dan lain-lainnya gagal pula. Jika Soetoko berhasil meloloskan diri dari penyerbuan APRA pada 23 Januari 1950 di Markas Besar Divisi Siliwangi, maka Mayor CPM Roehan Roesli dan Letnan Kolonel dr. Errie Sudewo masing-masing sedang ada Yogayakarta dan Subang pada saat tim pembunuh itu datang. Begitu pula dengan ketiga sasaran yang lain: sedang tidak ada di tempat masing-masing. Justru yang ketiban nasib sial adalah Letnan Kolonel A.G. Lembong (Kepala Pendidikan Angkatan Darat) dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Tanpa merasa curiga, pada saat penyerbuan APRA ke Markas Besar Divisi Siliwangi itu, mereka menghentikan mobilnya di depan markas. Begitu turun, alih-alih disambut pasukan penghormatan, mereka malah langsung diberondong ratusan peluru hingga tewas di tempat.

bottom of page