Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jurus-Jurus Penghabisan Ip Man
BERTARUNG, bertarung, dan bertarung. Ke manapun Ip Man (diperankan Donnie Yen) melangkah, ia acap terpaksa adu ilmu. Betapapun upaya menghindar dari konflik selalu dilakukan sang sifu Wing Chun itu, ujung-ujungnya ia pasang kuda-kuda juga. Kisah Ip Man, klasik lantaran ke manapun ia bertualang pada akhirnya bakal dihadapkan pada situasi pertarungan untuk menegakkan keadilan. Kisah klasik itu kembali dihadirkan sutradara Wilson Yip dalam Ip Man 4: The Finale . Itu menjadi biopik action keempat dan terakhir seri Ip Man yang digarap Yip. Premis Ip Man 4 pun mirip dengan tiga film sebelumnya. Pembeda yang signifikan hanya sekadar latar belakang dan lokasi. Ip Man 4 mengisahkan sang guru berkelana ke San Francisco, Amerika Serikat pada musim gugur 1967. Ip Man bersikeras mencarikan sekolah buat putra bungsunya, Ip Ching (Jim Liu), kendati sang anak lebih memilih menggali ilmu beladiri ketimbang “makan” bangku sekolah. Ip Man juga dihadapkan pada menurunnya kesehatan lantaran mulai mengidap kanker tenggorokan stadium awal gegara perokok berat. Pun begitu ia tetap terbang dari Hong Kong ke tanah Paman Sam berbekal tiket dari salah satu muridnya yang membuka kelas Wing Chun di San Fransisco, Bruce Lee (Danny Chan). Adegan Ip Man (kiri) yang harus bertarung dengan sesama master kungfu (Foto: wellgousa.com ) Sayangnya mendaftarkan Ip Ching tidak mudah. Untuk menjadi imigran guna bersekolah di Amerika membutuhkan surat rekomendasi Chinese Consolidated Benevolent Association (CBA). Surat itu tak mudah didapat lantaran Ketua CBA Wan Zong-hua (Wu Yue), seorang master Tai Chi, punya perkara yang belum selesai dengan Bruce Lee. Master Wan hanya mau memberi surat rekomendasi itu bila Ip Man mau “menjewer” Bruce Lee agar menghentikan kelas kungfu untuk non-China-nya. Padahal dalam petualangannya di tanah seberang, Ip Man juga memberi pelajaran pada seorang instruktur karate yang bikin onar di sebuah festival di Pecinan San Francisco. Gawatnya, instruktur yang dihajar itu merupakan guru di markas Marinir Amerika. Tak terima instrukturnya babak belur, Sersan Barton Geddes (Scott Adkins) menuntut balas. Bagaimana kelanjutannya? Pasti jauh lebih seru jika Anda tonton sendiri Ip Man 4 yang sudah tayang di bioskop-bioskop Indonesia sejak 1 Januari 2020. Sarat Dramatisasi Ip Man 4 pas untuk mengisi liburan Tahun Baru Imlek 2020. Penonton tak hanya bakal bernostalgia dengan theme song Ip Man yang melekat di ingatan sejak seri pertama tahun 2008. Ip Man 4 juga sarat adegan-adegan action ciamik Wing Chun yang dikenal efisien dan mematikan. Setiap pertarungannya juga diiringi music scoring yang mampu memperkuat setiap gerakan Wing Chun yang dipertontonkan Donnie Yen. Music scoring mengagumkan itu digarap Kenji Kawai. Aneka kelebihan itu mampu menutupi sedikit rasa jemu dari alur cerita yang nyaris sama dengan film-film sebelumnya. Utamanya soal Wing Chun yang dianggap remeh oleh para master kungfu beraliran lain dan lagi-lagi, soal kungfu itu sendiri yang dianggap inferior dan dilecehkan oleh orang kulit putih. Pelecehan itulah yang membuat Ip Man mau tetap pasang jurus-jurus terakhir meski fisiknya sudah mulai digerogoti usia. Apa lagi kalau bukan demi kehormatan kungfu China. Untuk kesekian kalinya, perjalanan Ip Man diracik dramatisasi sedemikian rupa sebagaimana Ip Man (2008), Ip Man 2 (2010), dan Ip Man 3 (2015). Dramatisasi itu mengakibatkan banyak scene tak sesuai fakta dan kisah asli sang guru Wing Chun itu. “Memang banyak enggak bener sama kisah aslinya. Banyak dramatisasinya. Jadi yang kisahnya benar, hanya digambarkan bahwa benar ada yang namanya Ip Man, guru Wing Chun,” sebut Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia, kepada Historia. Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia yang belajar langsung dari Ip Ching (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Salah satu penyimpangan fakta adalah soal penggambaran keluarga Ip Man. Di Ip Man 4 , sang sutradara hanya menonjolkan sosok si bungsu Ip Ching. Anak-anak Ip Man yang lain tak dihadirkan. “Seperti waktu di Ip Man yang pertama (2008), anaknya yang ditonjolkan hanya satu orang, Ip Chun. Di Ip Man 2 (2010), istrinya melahirkan anak kedua, Ip Ching, di Hong Kong. Padahal enggak betul. Ip Ching aslinya lahir di Foshan, bukan Hong Kong. Ip Man juga aslinya anaknya ada empat. Dua lagi perempuan, enggak diceritakan. Mungkin karena memang enggak belajar beladiri,” lanjutnya. Ip Man dan Bruce Lee si Murid “Durhaka” Ip Man 4 sudah diputuskan menjadi yang terakhir dimainkan Donnie Yen. Sang sutradara menegaskannya dalam satu adegan terakhir ketika Bruce Lee menghadiri pemakaman Ip Man yang wafat pada 18 Juni 1972. Film bertema Ip Man memang tak hanya yang dimainkan Donnie Yen. Sejak booming pada 2008, banyak film bertema serupa dengan aktor lain memainkan karakter Ip Man yang bermunculan. Selain The Legend is Born: Ip Man (2010) yang diperankan Dennis To, ada The Grandmaster (2013) dengan Tony Leung pemeran utamanya, dan Ip Man: The Final Fight (2013) yang diperankan Anthony Wong. “Tapi memang sepertinya yang paling cocok ya Donnie Yen. Dia sampai menguruskan badan untuk bisa pas memerankan Ip Man. Setelah Ip Man 4 ini, mungkin saja diteruskan dengan kisah Bruce Lee,” lanjut Martin. Sifu Martin Kusuma kala memeragakan salah satu pose khas Wing Chun (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Prediksi Martin sangat mungkin benar lantaran di beberapa adegan Ip Man 4 , sang sutradara seolah memberi kode yang mengarah ke Bruce Lee. Antara lain, saat Ip Man bangga melihat demonstasi Jeet Kun Do, yang dikembangkan dari Wing Chun, Bruce Lee di sebuah eksebisi turnamen karate. Adegan lain, saat Ip Man dalam pertarungan terakhirnya menggunakan beberapa teknik adaptif untuk menumbangkan musuhnya yang berbadan besar. Ia antara lain menggunakan tendangan ke selangkangan yang bikin nyeri “kantong menyan” lawan. Teknik itu tak pernah dipergunakan Ip Man di tiga film sebelumnya, di mana sang guru selalu berkelahi tanpa teknik “culas” semacam itu. Kode terakhir adalah, adegan Bruce Lee datang ke pemakaman Ip Man. Padahal faktanya, Bruce Lee baru bisa datang ke Hong Kong melayat ke keluarga mendiang Ip Man tujuh hari setelah sang guru berpulang. Bruce Lee yang tengah sibuk merintis karier jadi aktor laga di Amerika, tahu kabar itu tiga hari setelah Ip Man berpulang lewat sejumlah suratkabar berbahasa Inggris memberitakannya sebagai murid durhaka gegara tak hadir di pemakaman gurunya. “Padahal orang-orang yang mengecam tahu bahwa Bruce tak datang ke pemakaman karena ia tidak tahu Ip Man wafat. Di Hong Kong kala itu Ip Man masih sekadar guru kungfu yang kurang dikenal. Berita kematiannya hanya diberitakan di koran-koran berbahasa China yang jarang dibaca Bruce,” ungkap Matthew Polly dalam biografi Bruce Lee: A Life . Satu adegan Bruce Lee yang bertarung dengan teknik-teknik Jeet Kune Do di film Ip Man 4 (Foto: IMDB) Namun yang berkembang justru pemberitaan miring terhadap Bruce Lee. Berita-berita itu mengutip sejumlah mantan rekan seperguruan Bruce Lee maupun salah satu mantan guru Wing Chun-nya selain Ip Man, Wong Shun-leung. “Rasa cemburu mereka keterlaluan. Saya baru mengetahui kematiannya (Ip Man) tiga hari kemudian. Sialan. Saya merasa kecewa,” ketus Bruce Lee dikutip Polly. Ip Chun, putra sulung Ip Man, diungkap Polly, sejatinya sudah ingin angkat telefon untuk mengabarkan kematian ayahnya pada Bruce Lee. “Tetapi kemudian seseorang mencegah saya untuk menelefonnya, dan pada akhirnya saya tak pernah menghubunginya,” kenang Ip Chun tanpa mau menyebut siapa orangnya.
- Masyarakat Tionghoa di Majapahit
Masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari penduduk Majapahit. Keberadaan mereka dibuktikan oleh arca terakota, prasasti, dan catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho. Pada 1412, Ma Huan menerima tugas pertama dari Dinasti Ming untuk menemani Cheng Ho berlayar ke banyak negeri. Ia mencatat petualangannya itu dalam Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416. Dalam catatannya, Ma Huan menyebutkan bahwa penduduk di pantai utara, yaitu di kota-kota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kawasan itu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Di sana banyak orang Tiongkok dan Arab menetap dan berdagang. Ketika sampai di kota Majapahit, kata Ma Huan, sudah ada sekira 200-300 keluarga yang menetap. Ia lalu membagi penduduk Jawa kala itu ke dalam tiga golongan. Baca juga: Majapahit dalam Catatan Ma Huan dan Sejarah Dinasti Ming Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan. Kedua, orang Tangren atau Tenglang, merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus. “Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Nurni menyebut kontak Nusantara, dalam hal ini Jawa, dengan Tiongkok sudah sejak tahun 131 M. Ketiga, masyarakat pribumi. Ma Huan menyebut masyarakat dalam golongan ini sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Baca juga: Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit Sebelum Ma Huan datang, prasasti paling awal dari masa Majapahit juga telah menyinggung keberadaan orang Tiongkok. Hery Priswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta dalam tulisannya “Orang-orang Asing di Majapahit” termuat di Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota menjelaskan, dalam Prasasti Balawi dari 1305 yang ditemukan di Trowulan, disebutkan adanya orang Keling Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Tiongkok, Champa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mambaŋ. Pun dalam Desawarnana atau lebih dikenal dengan Nagarakrtagama (1365), disebutkan orang dari luar negeri datang berduyun-duyun ke Majapahit. Salah satunya dari Tiongkok. Kakawin itu menggambarkan kegiatan perniagaan yang melibatkan para pedagang asing. Pun suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan transaksi dagang. “Dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana (Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Gauri), dan Syangka (Siam) mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang,” catat Mpu Prapanca. Penggambaran orang-orang Tiongkok juga muncul dalam arca-arca dari Majapahit. Di antaranya yang kini menjadi koleksi Museum Trowulan, Mojokerto. Arca ini menggambarkan seorang laki-laki dengan posisi duduk bersila. Ia mengenakan tutup kepala setengah lingkaran dengan tonjolan kecil di bagian atasnya ( maozi ). “ Maozi adalah sebuah penutup kepala yang sering digunakan oleh orang-orang Tionghoa,” kata Hery. Selain topi, mata tokoh juga digambarkan sipit, yaitu sudut mata bagian luar lebih tinggi dari sudut mata dalam. Pelupuk matanya tebal, hidung kecil, mulut tersenyum, bibir tipis, pipi montok, dan dagu panjang berlipat-lipat. Tokoh berperut buncit itu tak mengenakan baju bagian atasnya. Baju bagian bawahnya berupa sarung yang dipakai dengan cara digulung pinggangnya. Baca juga: Hubungan Bilateral Jawa dan Tiongkok Hery menyebut arca lainnya yang menggambarkan laki-laki sedang memegang kotak uang. Arcanya hanya tinggal bagian atas badannya. Rambutnya belah tengah. Ada hiasan bunga di atas telinga kanan. Alis matanya berupa dua garis lengkung bertemu di pangkal hidung. Matanya sipit dengan sudut mata bagian luar ditarik ke atas. Hidungnya mancung, mulut terkatup, dan bibir tebal. Tokoh laki-laki ini digambarkan mengenakan pakaian seperti baju kurung berlengan panjang. “Namanya qi pao . Lengan baju itu digulung pada bagian pergelangan tangan. Qi pao lazim digunakan sebagai pakaian sehari-hari orang-orang Tionghoa,” kata Hery. Arca laki-laki berjubah yang wajahnnya mirip orang Tionghoa. ( inspirasimajapahit.wordpress.com ). Arca berikutnya menggambarkan seorang lelaki berjubah. Arca terakota ini juga menjadi koleksi Museum Trowulan di Mojokerto. Jubah yang dipakai seperti baju kurung berlengan panjang. Bagian dadanya dibiarkan terbuka. Leher baju dibuat tinggi sampai menyentuh dagu. “Pakaian arca terakota ini juga berciri Tiongkok, yaitu pakaian dengan bagian leher baju tertutup yang disebut dengan cheongsam atau changshan ,” jelas Hery. Rambutnya disisir ke arah belakang kepala lalu dikucir. Bagian dahinya tampak lebar. “Tata rambut demikian lazim dijumpai dan merupakan tradisi orang Tionghoa,” jelas Hery. Sementara matanya sipit, pelupuk mata tebal, dan sudut mata luar meninggi. Hidung besar dan lebar. Kumis tebalnya ditata membentuk pilinan di kanan kiri mulut. Bentuk mulut mungil dan bibir tebal. Baca juga: Catatan Pertama Kedatangan Orang Tionghoa ke Nusantara Ada lagi arca kepala anak laki-laki koleksi kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Rambut si anak dipotong gundul. Tapi masih menyisakan kucir pada ubun-ubunnya. “Tata rambut seperti itu merupakan cara penataan rambut yang biasa dijumpai dan diterapkan pada anak-anak kecil di daratan Tiongkok, yang sedang mengikuti pelatihan wushu di shao lin sie ,” kata Hery. Dari segala bukti yang ada, menurut Hery, orang Tiongkok adalah orang asing yang paling sering disebut dalam berbagai sumber tertulis masa Majapahit. Tentu saja karena mereka adalah pedagang asing mayoritas yang sudah lama berhubungan dengan Jawa.
- Pardo’s Push, Upaya Gila Pilot Amerika di Angkasa
HAMPIR berbarengan dengan dimulainya penugasan Kapten Udara John Robert “Bob” Pardo di Skuadron Tempur Taktis ke-433 di Pangkalan Udara Ubon, Thailand pada Februari 1967, Washington melancarkan kampanye bombardir udara terhadap industri-industri utama Vietnam Utara. Pabrik-pabrik baja di Thuy Nguyen, Hai Pong menjadi pilihan pertama. Kampanye tersebut dilakukan untuk mematahkan tulang punggung kekuatan Vietnam yang tak kunjung lemah. Kampanye juga menandai dimulainya kembali bombardir udara yang sebelumnya dihentikan Presiden Amerika Serikat (AS) Lyndon Johnson dan Menhan Robert McNamara. Keputusan penghentian itu diambil Johnson guna menggiring lawan agar mau ke meja perundingan. Namun dengan dilancarkannya kembali operasi bombardir udara, jajaran AU AS di Asia Tenggara menganggap keputusan tersebut sebagai “langkah bunuh diri”. Pasalnya, selama penghentian bombardir udara, Vietnam Utara jelas punya waktu memperkuat kekuatannya. “Dengan tiap penghentian bombardir baru, Tentara Vietnam Utara membangun lebih banyak tempat peluncuran SAM (Surface to Air Missile), lebih banyak pos radar, tempat-tempat senapan anti-pesawat, dan itu memberi mereka waktu untuk melatih lebih banyak teknisi. Penghentian bombardir ini adalah surga –untuk musuh, dan Paman Ho mungkin menertawakannya setiap kali diumumkan Washington,” tulis pensiunan pilot tempur AU AS Howard C. Johnson dan Ian O’Connor dalam Scrappy: Memoir of a US Fighter Pilot in Korea and Vietnam . Para petinggi AU AS di Asia Tenggara juga menganggap keputusan untuk memfokuskan bombardir pada Thuy Nguyen juga tak tepat. “Jika para komandan di Angkatan Udara ke-7 memiliki otoritas, mereka akan dengan mudah memecah target penting lain, yang pertahanannya sekarang telah dikuras untuk pembangunan di Thuy Nguyen,” sambung Johnson dan O’Connor. Namun, keputusan Washington sudah bulat. Para petinggi AU di Asia Tenggara hanya punya pilihan untuk melaksanakan perintah. Lain tidak. Pun para perwira di bawahnya dan para prajurit, termasuk Kapten Pardo. Pada 10 Maret 1967, jet tempur F-4 Phantom yang dipiloti Pardo dan Kopilot Letnan Stephen A. Wayne bergabung dalam misi bombardir Thuy Nguyen. Di belakang pesawat Pardo, ada F-4 yang dipiloti Kapten Earl Aman dan Kopilot Letnan Bob Houghton. Belum lagi formasi pesawat itu mencapai sasaran, peluru-peluru dari senapan-senapan penangkis serangan udara pasukan Vietnam Utara sudah menyambut mereka. Pesawat Aman-Houghton langsung terkena tembakan kendati tetap bisa berada di formasi. Namun, pesawat itu kembali terkena tembakan ketika berada di atas target. “Rentetan tembakan anti-pesawat telah memangsa tangki bahan bakarnya, menguras 5.000 pon bahan bakar dalam waktu kurang dari satu menit,” tulis pensiunan Sersan Steve Smith dalam “Pardo’s Push: A Battle Damaged F-4 and Its Crew were in Danger of Bailing out Over North Vietnam”, dimuat www.af.mil . Pesawat Pardo-Wayne tertembak tak lama kemudian. Tangki bahan bakar pesawat mereka bocor. “Pardo mungkin bisa mencapai ke pesawat tanker, tapi Aman akan kehabisan bahan bakar sebelum bisa sampai ke Laos (tempat pesawat tanker berada, red .),” tulis Air Force Magazine Vol. 89, No.1. Tembakan pasukan Vietnam mereda begitu mereka menambah ketinggian pesawat. Namun, pesawat Aman dalam sekejap terus turun lantaran kehilangan tenaga. “Aman membuang semua yang memungkinkan dengan harapan pesawatnya bisa bertahan lebih lama,” tulis Johnson dan O’Connor. Dalam keadaan genting itu, ditambah dari kejaran dari pesawat-pesawat MiG Vietnam, Pardo terus memikirkan cara untuk menyelamatkan diri dan pesawat Aman. Pardo tak ingin meninggalkan Aman-Houghton sendirian dalam kesulitan. Pardo juga tak ingin Aman dan Houghton menyelamatkan diri dengan kursi lontar karena mereka berisiko jadi tawanan lantaran masih berada di wilayah Vietnam Utara. Pardo akhirnya mendapat akal. Dia akan dorong pesawat Aman dengan pesawatnya. Dia meminta Aman membuang kompartemen dragchute (parasut pengereman)-nya agar ada lubang cukup besar dari ujung ekor pesawat Aman. Lubang itulah yang akan dijadikan tempat mendorong dengan hidung pesawatnya. Setelah mendekatkan pesawatnya ke ekor pesawat Aman, Pardo akhirnya insyaf upayanya tak mungkin dilakukan lantaran terlalu banyak benda beterbangan dari stabilizer dan sayap pesawat Aman. Pardo akhirnya meminta Aman menurunkan pengait ekor pesawatnya ( tailhook) . Dengan menempelkan pangkal hidung pesawatnya ke pengait pesawat Aman, Pardo berhasil mendorong pesawat Aman sehingga tetap terbang. “Tingkat penurunan pesawat Aman berkurang menjadi 1.500 kaki per menit,” tulis John F. Frisbee dalam “Valor: Pardo’s Push”, dimuat airforce-magazine.com . Kendati pengait itu terus tergelincir dari pesawatnya setiap 15-30 detik akibat turbulensi, Pardo tekun menempelkan kembali pesawatnya ke pengait sehingga pesawat Aman bisa terus terbang. “Aku tak ingat berapa kali tailhook terlepas dari kaca depan, dan aku harus berjuang untuk mendapatkan kembali,” kata Pardo, dikutip Steve Smith. Masalah tetap menghinggapi mereka. Mesin kiri pesawat Pardo terbakar. Dia buru-buru mematikannya. Begitu mesin itu dihidupkan kembali, api kembali muncul. Pesawat Pardo akhirnya terbang hanya menggunakan satu mesin. Sementara, bahan bakarnya akan habis dalam 10 menit. Kondisi itu tak memungkinkan mereka mencapai tujuan yang diinginkan di Laos. Dalam detik-detik menentukan itu, Pardo sempat melakukan panggilan radio untuk minta bantuan dukungan pesawat tanker. Namun, kondisi pesawat meyakinkan Pardo bahwa pesawat tanker tak mungkin mereka capai. Beruntung, kedua F-4 abnormal itu berhasil menyeberangi Sungai Hitam. Itu berarti mereka telah memasuki wilayah Laos. Di ketinggian 6000 kaki, Aman-Houghton dan Pardo-Wayne akhirnya melontarkan diri dan berhasil mendarat menggunakan parasut di hutan perbatasan Laos-Vietnam. Kendati nyaris termakan maut akibat ditembaki lawan yang mengejar, mereka berhasil menghindarinya. Helikopter penyelamat yang –dikawal pesawat serang A-1 Skyriders– disiagakan sejak panggilan radio terakhir Pardo, akhirnya berhasil mengevakuasi mereka kembali ke Lanud Ubon. Setelah lama dipersalahkan karena dianggap membuang percuma pesawat berharga mahal, Pardo dan Wayne akhirnya merasakan manisnya buah perjuangan setelah pengakuannya berhasil diperjuangkan Senator asal Texas John Tower. “Pada 30 Juni 1989, Jenderal Horner menyematkan Silver Star pada Letkol John R ‘Bob’ Pardo (pensiunan AU AS) dan Kolonel Stephen A. Wayne untuk tindakan berani mereka menyelamatkan jiwa di langit Vietnam Utara,” tulis Wayne Thompson dalam To Hanoi and Back: The United States Air Force and North Vietnam, 1966-1973 .
- Mengenal Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia
EMPAT perusahaan asuransi Indonesia terbelit masalah pada Januari 2020. Jiwasraya, Asabri, Taspen, dan AJB Bumiputera 1912. Tiga milik negara, satu lainnya kepemilikan bersama (mutual) di antara para pemegang polis. Masalah ketiganya berbeda. Dugaan kasus korupsi pada Jiwasraya dan Asabri, kejanggalan di Taspen, dan pembengkakan klaim dalam AJB Bumiputera 1912. Masalah-masalah termaksud mencederai kepercayaan khalayak pada asuransi. Juga melenceng dari apa yang dicita-citakan oleh Dwidjosewojo, Bapak Asuransi Indonesia.
- Orang Indonesia Jadi Agen OSS
PADA 8 Juni 1944, kapal selam Inggris, HMS Tradewind berangkat dari Trincomalee, Ceylon (Sri Lanka), untuk melaksanakan operasi OSS (Office of Strategic Services), pendahulu CIA. Salah satu tujuan operasi bersandi Ripley I itu untuk mendaratkan agen OSS asal Indonesia. Agen itu bersandi Humpy dan Johnny.
- Mengintip Belakang Layar Nyanyian Akar Rumput
KEUNIKAN. Itulah “kekayaan” Wiji Thukul yang menarik perhatian Yuda Kurniawan, sineas penggarap Nyanyian Akar Rumput, untuk mengenal lebih jauh. Selain rangkaian kata dalam puisi-puisinya berbeda dari pada umumnya, Yuda tertarik dengan nama Wiji Thukul. “Itu sejak saya kelas 3 SMP ya. Saya pikir itu dulu bukan puisi. Wiji Thukul nulisnya enggak seperti puisi pada umumnya. Kayak cerpen. Ia bercerita. Enggak berima, enggak indah seperti puisi-puisi Chairil Anwar atau WS Rendra. Di situ juga mulai kenal namanya itu. Namanya unik, kan. Thukul,” ujar Yuda kepada Historia , Rabu (22/1/2020). Puisi-puisi Thukul biasa terselip di buku-buku yang acap dibawa pamannya kala pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur dari perantauannya di Yogyakarta. Di kota itu, sang paman kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Begitulah penuturan Yuda tentang awal perkenalannya dengan penyair berjuluk “sang peluru” dan karya-karyanya. Yuda baru mengetahui fakta hilangnya Thukul pasca-Tragedi Mei 1998 kala duduk di bangku SMA. “Saya SMA, 1999, baru tahu kemudian, oh ternyata pengarang puisi yang sering saya baca sejak SMP itu orangnya hilang, diculik,” lanjut sineas kelahiran 8 Oktober 1982 itu. Pencariannya soal siapa Thukul terus bergulir hingga dia kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2001. “Pas kuliah di Yogya lebih penasaran lagi untuk mencari tahu. Sempat kemudian kepikiran bikin karya. Cuma karena referensi pembuatan film masih minim, kamera juga susah, kalaupun sewa harganya mahal, ide itu mengendap saja,” ujarnya. Yuda Kurniawan, sutradara "Nyanyian Akar Rumput" pemenang Piala Citra 2018 kategori dokumenter panjang terbaik (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Lama tertimbun, hasrat Yuda muncul lagi tahun 2012. Sebuah artikel tentang band indie asal Solo, Merah Bercerita, yang –digawangi salah satunya oleh Fajar Merah, anak bungsu Thukul– dibacanya membuat Yuda kagum. Kekagumannya kian bertambah ketika menyaksikan video unggahan kawannya, Lexy Rambadeta, di Youtube . Video itu menampilkan Merah Bercerita memainkan musikalisasi puisi “Bunga dan Tembok” karya Thukul. “Saya terkesima. Dari situ saya makin cinta sama Fajar. Main gitarnya rapi, bagus banget. Saya pikir, oke banget ini. Walau belum nemu momentumnya, tapi niatku dulu membuat dokumenter Wiji Thukul seperti menemukan jalannya. Bahwa si Fajar ini ingin melestarikan puisi bapaknya melalui lagu. Sebuah spirit yang bagus,” sambung Yuda. Yuda lantas mendekati Lexy, sineas yang sudah menghasilkan sejumlah karya dokumenter macam Mass Grave (2001) dan Student Revolt (2001), dan Batas Panggung (2004). Lexy acap menenteng kamera untuk mendokumentasikan sejumlah forum terkait kasus pelanggaran HAM 1997-1998 serta kasus penghilangan paksa yang digulirkan KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Lexy dikenal cukup dekat dengan keluarga Wiji Thukul. “Tapi memang dia belum pernah sempat mendokumentasikan secara khusus menjadi karya tentang Wiji Thukul,” kata Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul. Yuda pun mendiskusikan idenya dengan Lexy. Gayung pun bersambut. Selain punya banyak koleksi terkait keluarga Wiji Thukul, Lexy pula yang jadi perantara Yuda bisa mengontak Fajar dan ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon. Setelah mendapat lampu hijau, segera Yuda bertolak ke Solo pada Juni 2014. “Jadi saya ke sana memposisikan diri sebagai fans -lah. Ibarat kalau saya ke Potlot, ingin ketemu Kaka (Slank), kurang lebih begitu. Saya jelaskan bahwa saya ingin memfilmkan Fajar sebagai sosok anak Wiji Thukul yang punya band. Alhamdulillah mereka welcome ,” sambung Yuda. Band Merah Bercerita yang salah satunya digawangi anak bungsu Wiji Thukul, Fajar Merah (kedua dari kiri) (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Saat itu juga Yuda memulai proses produksi dokumenternya. Mulai dari mengambil gambar kegiatan band Merah Bercerita sampai memfilmkan keseharian serta wawancara Sipon, Fitri Nganthi Wani (putri sulung Wiji Thukul), dan Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul) yang sudah tinggal di Depok. Yang belum ada hanya keterangan dari Nasri Nugroho, adik Wiji Thukul. “Kalau Mas Wahyu kan baru 2015 bisa ke sana, ketika ikut Fajar saat ke Jakarta. Kalau Mas Nasri Nugroho lagi sibuk, banyak kegiatan. Mbak Sipon sudah sempat minta Fajar nganterin saya ke Mas Nugroho. Enggak tahu kenapa, gagal terus. Dalam arti, pas mau ke sana beliaunya lagi ke luar kota. Tapi ya buat saya sudah terwakili sama Mas Wahyu-lah. Secara konektivitas Fajar kan juga sangat dekat dengan Mas Wahyu, seperti pengganti bapaknya,” ujarnya. Narasi Sejarah Nyanyian Akar Rumput berpusar pada kehidupan dan pergulatan batin Fajar Merah sebagai anak bungsu Wiji Thukul. Dua pokok alur cerita yang bertautan dengan benang sejarahnya tak lain adalah musik-musik yang dimainkan Merah Bercerita. Fajar dkk. mengreasikan sendiri musiknya dengan memanfaatkan lirik-lirik dari sejumlah puisi karya Wiji Thukul seperti “Apa Guna”, “Sajak Suara”, “Kebenaran Akan Terus Hidup”, “Bunga dan Tembok”, “Derita Sudah Naik ke Leher”, atau “Yang Aku Tahu”. Dalam wawancara di dokumenter itu, Wahyu merasa Fajar telah memberi nyawa baru dalam karya-karya kakaknya. Sementara, Sipon melihat Fajar dengan musiknya justru memberi wajah baru puisi-puisi suaminya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Narasi lainnya adalah tentang bagaimana Thukul tak hanya membela wong cilik dengan kata-kata namun juga kerap ikut turun ke jalan yang cuplikannya turut dihadirkan Yuda. Seperti saat terjadi kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo pada 1989, misalnya, di mana ribuan keluarga harus terusir dan tak mendapat ganti rugi yang sepadan dari pemerintah. Wahyu Susilo, adik bungsu Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha) Pun dengan kasus protes karyawan PT Sritex di Sukoharjo pada 1995. Imbasnya, Wiji dan keluarga mulai diteror sejumlah pihak tak dikenal. “Memang sejak lama kami mengalami represi, sedari awal 1990-an. Ketika ada kasus Kedung Ombo, rumah disatroni,” kenang Wahyu. Puncaknya adalah peristiwa Kudatuli atau Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli 1996, tak lama setelah Megawati Soekarnoputri didongkel dari kursi ketua umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Thukul dan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) dituduh jadi dalang kerusuhannya. Akibatnya, ia turut diburu aparat sampai akhirnya hilang bak ditelan bumi usai Tragedi Mei 1998. Yuda menghadirkan narasi-narasi itu dengan kombinasi ekspositori dan observatori, di mana selain menyajikannya lewat wawancara, juga via foto maupun footage lawas dari beberapa pihak, serta footage aktivitas sehari-hari para subyek film. Footage kerusuhan Mei 1998, misalnya, didapat Yuda dari sineas senior Tino Saroengallo. “Jadi Om Tino dulu pernah bikin film Student Movement in Indonesia: They Forced Them to be Violent (2002). Film yang juga menang Piala Citra 2004 kategori dokumenter panjang. Film yang asalnya dari gambar yang banyak beliau dan temannya ambil tentang zaman 1998. Saya hubungi Om Tino, bahwa saya sedang butuh footage tentang 1998,” tutur Yuda. Tino Saroengallo (kiri) sosok yang memberi Yuda Kurniawan (kanan) beberapa footage penting untuk meramu "Nyanyian Akar Rumput" (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Yuda mulanya hanya minta izin untuk memakai beberapa scene dari film itu. Namun Yuda justru diberi master -nya secara cuma-cuma, yang kemudian diedit Yuda untuk dipakai beberapa bagiannya. “Kebetulan Om Tino waktu itu juga sudah sakit, bolak-balik dirawat di Singapura. Pas saya bikin screening di Cikini, beliau menyempatkan hadir. Beliau bilang, ‘Ini (hasilnya) oke. Footage -nya masangnya pas. Wes , semoga filmnya sukses ya.’ Itu terakhir ketemu beliau sebelum meninggal (pada 27 Juli 2018). Menurutku gila. Ini orang baik banget. Pas beliau meninggal saya sempatkan datang. Dengan dikasih master -nya, saya seperti dikasih warisan,” tambahnya. Sementara, footage keluarga mewakili Wiji Thukul menerima Yap Thiam Hien Award pada 2002 dan cuplikan-cuplikan Sipon di Aksi Kamisan, didapat Yuda dari Lexy. Juga secara cuma-cuma. Footage-footage itu digunakan Yuda untuk melengkapi beberapa video lain yang didapat dari keluarga Wiji Thukul. “Dia ngasih free . Katanya, pakai aja. Tentu dengan senang hati karena saya butuh banyak video itu. Dia punya koleksi banyak banget yang dia susun rapi dari tahun 2000, ketika saya main ke rumahnya. Kalau footage Fajar yang di acara Mata Najwa, aku pakai rekamanku sendiri waktu nge- shoot plasma tv di studionya. Alhamdulillah dibolehkan sama produsernya,” lanjut Yuda. Kiri ke kanan: Yuda Kurniawan, Fajar Merah, Lexy Rambadeta (Foto: Dok. Yuda Kurniawan/Rekam Docs) Setelah rampung, Yuda mendaftarkan filmnya ke Busan International Film Festival dan ternyata lolos untuk world premier dan kompetisi di kategori dokumenter panjang pada 5 Oktober 2018. Lantas Yuda mendaftarkannya ke beberapa festival lainnya dari 2018 sampai 2019. Empat dari 16 festival yang diikutinya membuahkan penghargaan. Salah satunya, Piala Citra di FFI 2018. Capaian itu mendorongnya untuk membawa Nyanyian Akar Rumput ke bioskop-bioskop komersil pada 2019. Nyanyian Akar Rumput menjadi film kedua yang menampilkan sosok Wiji Thukul dan kisah yang tercecer di baliknya, setelah Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen. “Bagi saya, Yuda ini juga figur anak muda yg sampai sekarang melakukan pencarian juga ya, siapa sih sosok Wiji Thukul. Secara fisik enggak pernah ketemu. Seperti juga Yosep Anggi Noen. Kan ketika aktivitas Wiji Thukul memuncak, mereka masih anak-anak, belum mengerti. Makanya saya appreciate sekali ya dua film ini,” tandas Wahyu.
- Aksi Para Sailor untuk Emperor
MINGGU, 15 Mei 1932 di Kuil Yasukuni, Tokyo. Setelah turun dari dua taksi yang membawa ke depan pintu masuk samping kuil, sembilan perwira muda Angkatan Laut (AL) Kekaisaran Jepang langsung membungkuk ke arah Dewa Matahari. Usai melakukan ritual, mereka membeli sebuah jimat kepada seorang pendeta Shinto dan kembali ke dua taksi tadi. Mereka menuju kediaman resmi Perdana Menteri (PM) Tsuyoshi Inukai, politisi senior berpandangan moderat dari partai Rikken Seiyukai. Tak lama kemudian, mereka tiba di tujuan. “Di sini mereka memaksa melewati seorang sersan polisi dan masuk ke kamar Perdana Menteri Tsuyoshi Inukai, lelaki kecil berjenggot berumur 75 tahun,” tulis John Toland dalam The Rising Sun: The Decline and Fall of the Japanese Empire, 1936-1945 . Sejurus kemudian, peristiwa penting dalam sejarah Jepang yang ikut membentuk sejarah dunia pun diciptakan para perwira AL itu. Kedatangan para perwira AL ke rumah PM Inukai itu merupakan buah dari akumulasi masalah ekonomi, politik, diplomasi, dan ideologis masyarakat Jepang era 1920-an. Sebagaimana banyak perwira muda Angkatan Darat (AD) jebolan Akademi Militer kurun 1907-1916 , para perwira muda AL itu juga amat membenci demokrasi liberal dengan para politisi korup di dalamnya. Mereka berambisi mewujudkan idealisme dengan menggulirkan Restorasi Showa guna membentuk Jepang baru. Restorasi Showa, yang dipromosikan oleh penulis sosialis-mistikus ultrakanan Kita Ikki, bertujuan menggulingkan demokrasi liberal dan merestorasi kekuasaan kaisar. “Visi mereka tentang Restorasi Showa dipengaruhi oleh ajaran Kita Ikki, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan ekonomi harus ‘dikembalikan’ kepada Kaisar dan rakyat. Ini akan dilakukan dengan menghapuskan ‘kelas istimewa’, mendistribusikan kembali kekayaan, dan mengembalikan negara daripada kalangan bisnis besar dalam mengendalikan ekonomi,” tulis Ben-Ami Shillony dalam Revolt in Japan: The Young Officers and the February 26, 1935 Incident . Para perwira muda dan kaum ultra-kanan yakin demokrasi liberal dengan perdana menteri sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan biang permasalahan yang membelit Jepang. Bukan hanya mengerdilkan posisi politik kaisar, demokrasi liberal juga dianggap melemahkan perekonomian dan diplomasi Jepang. Akibat sistem itu, perekonomian Jepang jadi amat bergantung pada hubungan internasionalnya, terutama pada Amerika dan Inggris, dan kekayaan hanya dinikmati segelintir elit dan konglomerat. Selain itu, kehormatan Jepang juga tercoreng lantaran diplomasinya tak seindependen di era sebelum demokrasi. Bagi para perwira muda AL, kebencian mereka makin bertambah dengan ditandatanganinya Treaty for the Limitation and Reduction of Naval Armament (London Naval Treaty) pada 22 April 1930 sebagai kelanjutan dari Washington Naval Treaty tahun 1922. Kesepakatan yang ditandatangani Inggris, Amerika, Prancis, Italia, dan Jepang itu mengerdilkan AL Jepang. “Meningkatnya ketegangan antara militer dan otoritas sipil ini mengemuka dalam kontroversi London Naval Treaty tahun 1930. Perjanjian itu, yang memberlakukan rasio kepemilikan kapal laut tidak menguntungkan bagi Jepang terhadap Amerika Serikat dan Inggris, ditentang Staf Umum Angkatan Laut karena merusak keamanan Jepang. Tetapi PM Hamaguchi, yang menyatakan masalah ini lebih bersifat politik daripada urusan militer, menolak keberatan staf Angkatan Laut dan meminta Kaisar menandatangani perjanjian itu. Tindakan ini dipuji kaum liberal sebagai penegasan berani kontrol sipil atas militer. Tetapi banyak perwira, serta konservatif sipil, melihatnya sebagai pengabaian terang-terangan kepentingan nasional oleh politisi partai dan sebagai manipulasi memalukan ‘pengkhianat di sekitar takhta’ terhadap Kaisar,” tulis Donald A. Jordan dalam China’s Trial by Fire: The Shanghai War of 1932. Para perwira muda AL yakin cara terbaik untuk mengatasi permasalahan negeri, yang diperparah oleh Great Depression 1929, adalah dengan menghilangkan sumber permasalahan: para polititsi liberalis. Penggunaan kekerasan bukan pantangan dalam keyakinan mereka. “Ideologi perwira muda mengacu pada tradisi shishi dan konsep revolusioner Barat. Seperti shishi , yang telah melakukan Restorasi Meiji sekitar 70 tahun sebelumnya, Perwira Muda itu menyatakan kesetiaan langsung kepada Kaisar dan bermaksud menggulingkan pemerintah, yang diduga merampas kekuasaannya. Seperti kaum radikal kiri, Perwira Muda menganggap negara kapitalis sebagai alat yang digunakan oleh beberapa orang kaya untuk mengeksploitasi ‘massa’,” sambung Shillony. Adanya kesamaan visi dan misi dengan Sakurakai (Cherry Blossom Society), organisasi ultranasionalis rahasia yang didirikan para perwira muda AD, membuat para perwira muda AL semakin percaya diri. Keyakinan mereka untuk mengambil tindakan terhadap para politisi sipil kian kuat setelah bekerjasama dengan kelompok League of Blood yang didirikan tokoh ultranasionalis Inoue Nissho. Komplotan itu lalu membuat rencana untuk menghabisi para pejabat sipil dan pengusaha kaya. PM Inukai, yang menjabat PM sejak 13 Desember 1931, masuk dalam daftar yang mesti dihabisi. Selain liberalis sejati, Inukai dengan kebijakan menghentikan aneksasi Mancuria oleh AD Jepang di Kwantung dan tak mengakui Manchukuo, negara boneka buatan AD Jepang di Mancuria, dianggap para ultranasionalis sebagai pengkhianat. Komplotan menembak mantan PM Hamaguchi Osachi, si pendukung London Naval Treaty, pada 14 November 1930. Akibat luka-lukanya, ia tewas pada 26 Agustus 1931. Komplotan lalu menembak mati Menteri Keuangan Junnosuke Inoue, si penentang meningkatnya peran militer, 9 Februari 1932. Pada 5 Maret, giliran Takuma Dan, direktur jenderal perusahaan Mitsui, yang ditembak mati. Dua bulan kemudian, para perwira muda AL mendatangi PM Inukai di kamarnya tanpa menunjukkan sikap hormat. Dengan tenang sang perdana menteri lalu mengajak mereka ke ruang pertemuan. Mereka tak menggubris permintaan Inukai untuk memberi penjelasan dan berdialog. “Pada saat itu seorang rekan mereka yang telah kepanasan akibat melewati koridor masuk, dengan belati di tangan, berteriak, ‘Tak ada gunanya bicara! Tembak!’,” tulis Toland. Semua perwira muda di ruangan pun langsung menembak Inukai yang langsung tewas di tempat. Rencana mereka membunuh artis Charlie Chaplin, yang sedang berkunjung ke Jepang dan menjadi tamu kehormatan Inukai, gagal karena saat kejadian Chaplin sedang menonton sumo bersama seorang putra Inukai. Chaplin dijadikan target karena mereka anggap sebagai simbol Inggris, tempat ditandatanganinya Naval Treaty yang mengerdilkan AL Jepang. Komplotan lalu menyerang kantor polisi dekat kediaman Inukai. Tak ada perlawanan karena hari itu Minggu, libur. Komplotan lalu bergeser ke Bank of Japan dan menggranat kantor itu. Sementara di tempat lain, konspirator lain melemparkan bom yang menghancurkan jendela-jendela sebuah gedung setelah menyebarkan selebaran. Para anggota komplotan akhirnya menyerahkan diri. Namun alih-alih diganjar hukuman berat, simpati publik justru mengalir ke mereka. Mereka dianggap pahlawan karena telah melawan sumber permasalahan bangsa. Para perwira AL pengomplot pun mendapat hukuman amat ringan, banyak yang hanya dipindah tempat tugas. Ketidaktegasan tersebut membuat posisi politik militer melonjak kuat dan militerisasi meluas. Kekerasan oleh militer makin sering terjadi. Dominasi militer itu pada akhirnya membawa Jepang memukul gong Perang Pasifik. “Pembunuhan Inukai, khususnya, efektif menandai berakhirnya pemerintahan republik di Jepang, sama seperti Insiden Mukden tahun sebelumnya menandai, dalam retrospeksi, membeloknya Jepang menuju jalur agresi dan penghancuran diri. Dari saat kematian Inukai sampai setelah Perang Dunia II, sistem pemerintahan dan pihak sipil berhenti berfungsi. Sebaliknya, suksesi perdana menteri muncul terutama dari jajaran AD dan AL. Pada saat yang sama, tuntutan militer semakin sulit ditolak,” tulis Mark Borthwick dalam Pacific Century: The Emergency of Modern Pacific Asia.
- Dari Gereja Kandang Ayam ke Namlea
"Ini Santo Paulus di Atas Bukit Karang, kudirikan gerejaku," kata Romo Alexander Dirdjosusanto bangga. Sebuah gereja Katolik yang layak bagi para tahanan politik (tapol) akhirnya berhasil didirikan di Unit III kamp pembuangan Pulau Buru pada 1976. Pendirian gereja itu bermula dari ide Lukas Tumiso, tapol asal Surabaya yang hendak membangun gereja di Unit III. Namun karena keterbatasan bahan bangunan, ia menggunakan sebuah bangunan bekas kandang ayam. Setelah dibersihkan dari gurem dan sedikit perbaikan, gereja sederhana itu bisa mengadakan kegiatan-kegiatan agama Katolik. Kegiatan Tumiso sempat diejek oleh beberapa kawannya, salah satunya adalah Oey Hay Djoen, mantan anggota Konstituante dari PKI. Oey menyebut ketika di Surabaya, Tumiso bukan penganut Katolik yang taat. "Tumiso jadi apa itu? Arek itu di Surabaya tidak seperti itu. Sekarang kok ke gereja. Tahi kucing macam apa coba?" ujar Oey Hay Djoen. Tumiso pun hanya tertawa dan menganggap Oey hanya bercanda. Pasalnya, Tumiso dan Oey memang sudah akrab sejak di Surabaya. Lain halnya dengan Oey, Tjoo Tik Tjoen, seorang pemikir di PKI justru mendukung Tumiso. "Kamu jangan dengarkan omongannya Oomu (Oey Hay Djoen) itu. Sudah, keinginanmu seperti apa, lanjutkan saja," kata Tjoo Tik Tjoen. Kegiatan di gereja bekas kandang ayam itu mendapat perhatian Romo Alexander Dirdjosusanto dari Namlea. Romo Alex pun membangun gereja yang lebih layak bagi para tapol yang beragama Katolik. Gereja baru itu diberi nama Santo Paulus di Atas Bukit Karang. Untuk memperkaya bacaan tentang agama Katolik, Romo Alex menawarkan kepada Tumiso untuk berkunjung ke Namlea setiap hari Minggu. Namun, Tumiso menolaknya. "Romo, kalau ke Namlea kita setuju, ndak keberatan. Tapi kalau tiap Minggu, ndak bisa Romo," kata Tumiso. "Lho, kenapa ndak bisa?" tanya Romo Alex. "Tugas pokok seorang tapol itu di sektor pertanian, bukan di gereja," jawab Tumiso. "Ah, nanti itu bisa kita bicarakan," balas Romo Alex. Jawaban Tumiso atas tawaran Romo Alex itu membuat Tumiso diolok-olok oleh teman-temannya. Ia dianggap bodoh karena tidak mau menerima tawaran ke Namlea. Tumiso beralasan, jika ia menerima tawaran itu, barangkali ia bisa kena hukuman. Namun, Romo Alex tetap mendesaknya untuk ke Namlea agar bisa memperdalam agama Katolik. Akhirnya, Tumiso bersedia dengan syarat ada satu orang lagi yang menemani. Alasannya untuk membantu membawa sayuran ke Namlea, 15 kilogram untuk pastoran dan 15 kilogram untuk susteran. Usulannya disetujui. Tumiso dan satu tapol lainnya akhirnya ke Namlea setiap Minggu. Namun, setelah empat kali ke Namlea, Tumiso berhenti. "Ini ndak bisa berlanjut, sebab Namlea itu impian. Ibarat punya uang ratusan ribu satu kamar, kita tetap tidak bisa ke Namlea. Ke peradaban," ujarnya. Tumiso mengatakan bahwa tidak adil jika hanya orang Katolik yang diberi kesempatan mengunjungi Namlea. "Toh yang lain cemburu. Itu seumur hidup orang belum tentu bisa tahu Namlea," ungkapnya. Tumiso kemudian mengusulkan agar selain dua orang Katolik untuk keperluan belajar agama, diberikan kesempatan pula kepada dua orang lainnya untuk bersama-sama mengunjungi Namlea. Ternyata usulan itu disetujui. Para tapol akhirnya bisa mengunjungi Namlea secara bergiliran setiap hari Minggu. Kunjungan ke Namlea juga ternyata bisa membuka akses para tapol terhadap informasi di luar kamp. Selain itu, mereka juga bisa mendapat berbagai barang yang dibutuhkan di kamp. "Kalau turun ke Namlea, pasti ada majalah Tempo , pasti ada kacamata, pasti ada pakaian bekas," sebutnya. Tumiso pun akhirnya bisa berkelakar kepada Oei Hay Djoen. Yang dulu mengejeknya ketika merintis gereja, saat itu ikut senang karena sering diberi bacaan dari Namlea.
- Amuk Ratu Adil di Oude Hospitaalweg
Kabut pagi masih tertinggal di Bandung, ketika sekelompok serdadu bersenjata lengkap memenuhi jalanan utama. Mereka yang datang dari arah Cimahi itu lantas menyebar dalam formasi tempur. Sebagian terlihat berlindung di balik pohon-pohon besar di pinggir jalan. Sebagian yang lain mengokang senjatanya di sela tembok-tembok gedung. Satya Graha masih ingat dia baru saja keluar dari rumah saat seorang prajurit TNI berpangkat kopral ditembak mati di depan Hotel Preanger. Kendati di sekitarnya ada beberapa polisi, namun mereka sama sekali tak bertindak. “Malah saya lihat mereka tertawa-tawa bersama serdadu-serdadu pembunuh itu,”kenang Satya, eks wartawan Soeloeh Indonesia . Sementara itu di Oude Hospitaalweg (sekarang Jalan Lembong), para serdadu yang belakangan diketahui berasal dari Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) itu melakukan gerakan mengepung Markas Besar Divisi Siliwangi. Jarum jam menunjukan angka 9, kala mereka memulai tembakan pembuka dari arah parit-parit seberang jalan yang langsung berhadapan dengan markas Siliwangi. “Kami jadi gugup dan berlarian ke sana ke mari di ruangan tamu,” ujar Letnan Kolonel R.Soetoko, Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi dalam buku Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 (otobigrafi Kolonel Purnawirawan Mohamad Rivai). Namun hadirnya para perwira yang sudah makan asam garam pertempuran (seperti Letnan Kolonel Abimanyu dan Mayor Mashudi) di ruangan itu menjadikan situasi cepat terkendali. Dengan cara berpindah-pindah tempat, mereka bisa melakukan perlawanan melalui jendela-jendela yang ada di gedung tersebut. “Para pengawal berhasil opstelling (membangun kubu) sekitar markas sambil melepaskan tembakan-tembakan gencar ke arah gerombolan APRA,”kenang Soetoko. Dengan sepucuk Sten di tangan, Soetoko sendiri menembak terus menerus secara mengitar. Hamburan peluru dari senjatanya membuat para penyerbu lintang pukang dan tak berani mengangkat kepala mereka di dalam parit itu. Kendati sempat diimbangi, amuk para Ratu Adil itu akhirnya tak terbendung. Sebagai perwira yang jabatannya paling tinggi, Soetoko lantas memerintahkan para prajurit dan perwira yang sudah kehabisan peluru untuk meloloskan diri dengan cara melompati tembok belakang markas. Kehabisan peluru, Soetoko lantas menggunakan sepucuk pistol untuk melakukan perlawanan. Dalam posisi ditembaki, tetiba dilihatnya Mayor Mashudi masuk ke ruangan dengan membawa hower Sten penuh berisi peluru. Tanpa banyak basa-basi, dia meminta hower tersebut dan memasangnya di Sten yang masih tergeletak di dekatnya. Perlawanan pun berlangsung kembali. Sadar jumlah mereka yang hanya berlimabelas tidak seimbang dengan ratusan para penyerbu, Soetoko memutuskan untuk meninggalkan markas. Dalam pertempuran itu, telah gugur seorang prajurit Siliwangi sedangkan 14 lain-nya berhasil lolos. Begitu tak terdengar lagi tembakan dari kubu Siliwangi, pasukan APRA yang terdiri dari unit Korps Pasukan Khusus (KST), Polisi Belanda, KNIL dan Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) langsung merangsek. Secara brutal, anak buah Kapten R.P.P. Westerling itu menembaki setiap ruangan. “Mereka juga merampas uang yang ada, yakni gaji para prajurit TNI dari Divisi Siliwangi yang pertama kali akan dibayarkan,” tulis A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid II: Kenangan Masa Gerilya. Malang bagi Kepala Pendidikan Angkatan Darat Letnan Kolonel A.G. Lembong dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Mereka yang tidak mengetahui sama sekali Markas Besar Divisi Siliwangi sudah dikuasai musuh tanpa curiga memasuki halaman gedung tersebut. Namun sebelum memasuki halaman markas, para prajurit APRA langsung memberondong mobil yang ditumpangi keduanya dengan ratusan peluru. Keduanya langsung tewas seketika dalam kondisi luka sangat parah. Bahkan tidak puas hanya dengan menghantam Lembong dan Kailola dengan siraman peluru, para prajurit APRA secara keji merusak wajah keduanya dengan klewang dan bayonet.
- Aksi Sadis Westerling di Medan
Ratusan parasut tampak mengembang di langit kota Medan. Sekira satu kompi pasukan yang diterjunkan dari Malaka mendarat di lapangan terbang Polonia. Bersama mereka didrop pula 180 pucuk senjata revolver. “Pendropan itu kebetulan saya lihat langsung bersama teman-teman saya yang dahulu menjadi Gyugun lapangan terbang Polonia, Medan,” tutur Letkol (Purn) Burhanuddin kepada Edisaputra dalam Sumatera Dalam Perang Kemerdekaan . “Sayangnya kami tidak tahu siapa yang mendarat itu, tapi pendropan senjata secara jelas kami ketahui karena petinya pecah sewaktu jatuh ke bumi.” Sebagaimana tercatat dalam Medan Area Mengisi Proklamsi yang disusun tim Biro Sejarah Prima, pendaratan pasukan penerjun yang dikerahkan Sekutu itu berlangsung pada 14 September 1945. Komandan pasukan tersebut ialah Letnan Raymond Westerling. Kedatangan Westerling telah dinanti oleh Letnan Brondgeest, seorang perwira Angkatan Laut Belanda yang memimpin Unit IV pasukan Anglo Dutch Country Section (ADCS). Mereka berkolaborasi menegakan kekuasaan Belanda di wilayah Sumatra Timur yang kaya akan hasil perkebunan. Brondgeest bertugas mengurusi organisasi pemerintahan sedangkan Westerling menyusun pasukan. Dalam waktu singkat, Westerling dapat membentuk sepasukan polisi berkekuatan 200 orang. Mereka terdiri dari orang Belanda, Indo-Belanda, dan orang pribumi dari Ambon dan Manado jebolan tentara KNIL. Di Medan, Westerling menjadi kepala dinas intelijen Belanda. Dari markasnya yang terletak di Hotel de Boer (kini Hotel Dharma Deli), Westerling memegang jaringan intelijen untuk setengah pulau Sumatra. Dalam menjalankan tugasnya, Westerling kerap kali bertindak bengis. Seorang opsir Inggris pernah menulis tentang kekejaman Westerling yang di luar nalar. Ketika sedang asyik minum kopi di pemondokannya, Westerling memperlihatkan kepala seorang Indonesia dari dalam keranjang sampah. Dengan santai Westerling menceritakan kepala itu milik seorang "ekstrimis" Indonesia yang berhasil dibuntutinya. Westerling memburunya dengan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan mengenakan topeng, dia menyusup ke rumah orang Indonesia yang dianggapnya sebagai pengacau tersebut. Di sudut kamar, Westerling bersembunyi dan menunggui buronannya tadi pulang. Setibanya masuk ke kamar, si pemilik rumah membeku ketakutan. Westerling meringkusnya dan menyampaikan bahwa malam itu adalah hari terakhirnya di dunia. Sebelum dieksekusi, Westerling sempat memberi makan dan mengurungnya di kamar mandi. “Jam empat pagi aku masuk ke kamar mandi dan menyuruh pengacau itu berpusing. Sekali penggal dengan pedangku aku memisahkan kepala dari badannya,” kata Westerling kepada si opsir Inggris yang menuliskannya dalam surat kabar Singapura. Berita tersebut dikutip K’tut Tantri dalam Revolusi di Nusa Damai . Aksi berangasan Westerling lainnya dituturkan oleh Herman (nama belakang disamarkan), mantan anak buah Westerling dalam depot pasukan khusus (DST). Kepada Maarten Hidskes, editor televisi Belanda, Herman mengatakan Westerling lebih cenderung bekerja untuk Inggris ketimbang dinas intelijen Belanda. menurut Herman, Medan bukanlah tempat yang cocok bagi Westerling. “Tentang orang ini (Westerling) saya mendengar bahwa dialah yang telah memenggal kepala seseorang dan menaruh kepala ini di trotoar masjid Sultan Deli,” tutur Herman kepada Maarten Hidskes dalam Thuis gelooft niemand mij: Zuid-Celebes 1946---1947 (dialihbahasakan berjudul Di Belanda tak seorang pun mempercayai saya: Korban metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946--1947 ). Anak buah Westerling juga tidak kurang brutalnya. Pada suatu hari dibawalah masuk seorang Cina yang dituduh memetakan pertahanan kamp tentara Inggris. Selama tiga hari orang Cina itu berkali-kali dibuat stres dan dihajar dengan keras, antara lain dengan tendangan di bawah lambungnya. Dokter mendiagnosis si cina malang itu dengan sejumlah luka parah. “Letnan Westerling bertanggung jawab atas pelaksanaan interogasi laki-laki cina itu dan menugaskan pelaksanaan itu ke orang-orang Inggris bawahannya,” ujar Herman. Orang-orang Inggris yang melakukan interogasi itu akhirnya dikenakan tahanan rumah. Sementara itu, Westerling dilarang memakai seragam tentara Inggris. Pada 23 Juli 1946, Westerling dipindahkan dari seksi intelijen ke satuan pasukan komando. Pemindahan itu sekaligus mengakhiri masa penugasannya di Medan. Sitor Situmorang yang memulai karir jurnalis di harian Waspada Medan dalam otobiografinya Sitor Situmorang: Seorang Sastrawan 45 Penyair Danau Toba mengenang Westerling sebagai sosok algojo yang melakukan teror pembunuhan di sekitar Medan.
- Hanyut dalam Nyanyian Akar Rumput
FAJAR Merah nyaris tak punya ingatan apapun tentang ayahnya. Ia dan kakaknya, Fitri Nganthi Wani, sudah ditinggal Wiji Thukul sejak masih “ingusan”. Ibunya, Siti Dyah Sujirah alias Sipon, harus jadi tiang kokoh sebagai pegangan Fajar dan Fitri sejak 21 tahun silam. Semua berawal dari hilangnya Wiji Thukul, sang kepala keluarga, yang jadi korban pergolakan negeri di pengujung pemerintahan Orde Baru. Hilangnya Wiji Thukul bukan sesuatu yang tak disangka. Sejak ia mulai mesra dengan politik dan karya-karyanya menikam hati rezim, Sipon yang sejak 1988 diperistri Wiji Thukul, sudah diwanti-wanti ayahnya. “Kamu siap ya, Ti,” cetus Sipon menirukan peringatan ayahnya. Peringatan itu akhirnya menjadi kenyataan ketika prahara Mei 1998 pecah. Wiji Thukul dan 12 aktivis lain hilang tak berbekas bak ditelan bumi. Lebih dari dua dekade mereka, para anggota keluarga, sanak, dan kawan, menunggu kepastian akan kejelasan nasib sang aktivis HAM itu, apakah masih hidup atau sudah tinggal nama. Begitulah babak awal film dokumenter racikan Yuda Kurniawan, Nyanyian Akar Rumput . Sang sineas mengombinasikan beberapa footage berisi penuturan Fitri, Sipon, Wahyu Susilo (adik Wiji Thukul), dan Fajar si putra bungsu Wiji Thukul yang usianya baru sekira lima tahun kala ayahnya jadi korban penghilangan paksa. Foto pernikahan Wiji Thukul dan Sipon (Foto: Rekam Docs) Tahun demi tahun berganti. Rasa lelah mulai memudarkan harapan. Keberadaan Wiji Thukul tetaplah gelap. Fajar yang sosoknya jadi sorotan sentral di dokumenter berdurasi 112 menit ini, hanya bisa menumpahkan segala macam kerinduan pada sosok ayah lewat musik. Bersamatiga rekannya, pada 2012 Fajar membentuk band beraliran poem rock , Merah Bercerita. Lagu-lagunya dikreasikan dari musikalisasi puisi-puisi karya ayahnya. “Dengan musiknya, Fajar membawakan karya-karya puisi itu tidak sama dengan ayahnya. Ada nuansa romantis. Enggak versi ayahnya (membacakan puisi, red. ) yang penuh kemarahan. Fajar ingin menciptakan senyum,” kata Sipon. Band Merah Bercerita yang didirikan Fajar Merah dan tiga kawannya sejak 2012 (Foto: Rekam Docs) Dengan tenggelam dalam musik, Fajar seolah bertemu dengan ayahnya dalam versi imajinasi. Apalagi selama ini ia hanya bisa menerka-nerkaseperti apa sosok sang ayah, melalui karya-karyanya. Setiap kali album band-nya diluncurkan, acapkali dibarengi dengan memperingati hari lahir ayahnya yang jatuh pada 26 Agustus. “Sejauh apa aku mengenal bapakku?” ujar Fajar yang lantas terdiam lantaran kesulitan mencari arsip kenangan tentang ayahnya di ingatannya. “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” tandasnya. Merawat Perjuangan Wiji Thukul Dokumenter pemenangPiala Citra kategori dokumenter panjang di Festival Film Indonesia (FFI) 2018 itupatut dijadikan tontonan generasi muda kekinian. Selain sarat pengetahuan akan kehidupan politik bangsa di masa lalu, film itu juga menjadi wahana pas untuk mengingatkan presiden akan janjinya dua dekade silam. Dalam suatu adegan, Sipon bertuturbahwa Joko Widodo (Jokowi) ketika masih menjabat walikota Solopernah berjanji untuk membantu mencarikeberadaan Wiji Thukul. Meski zaman sudah berganti dan k ursi presiden sudah silih berganti diduduki orang-orang berbeda , kasus penghilangan paksa Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain tak kunjung tuntas. “Di masa walikota mungkin dia punya kedekatan tapi kan dia enggak punya power (kewenangan, red . ). Tapi ketika dia menjadi presiden , kan dia punya power untuk melakukan lebih, walau kita juga pahami bukan hal yang ringan bagi Presiden Jokowi untuk menuntaskan agenda-agenda pelanggaran HAM masa lalu. Ternyata juga di masa kabinet sekarang orang yang dianggap bertanggungjawab malah jadi bagian,” tutur Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, kepada Historia. Jadi buronan pasca-Kudatuli, Wiji Thukul dinyatakan hilang pasca-Tragedi Mei 1998 sebagai korban penghilangan paksa (Foto: Rekam Docs) Kerusuhan Mei 1998 yang berimbas pada kejatuhan Soeharto memang jadi satu tonggak sejarah modern Indonesia yang rumit. Namun Yuda Kurniawan mengisahkannya dalam dokumenter sedemikian rupa hingga penonton usia +17 pun takkan merasa jemu. Alur ceritanya mengalir dengan apik dan menghanyutkan. Pun dengan selipan-selipan footage lawas sebagai penguat visual atas narasi sejarah yangada sehingga mudah dipahami. Lewat puisi-puisi Wiji Thukul yang dimusikalisasi Fajar Merah dkk., semisal “Bunga dan Tembok”, “Sajak Suara”, dan “Apa Guna”, penonton “dimanjakan” dalam mengenal siapa Wiji Thukul. Menurut Yuda, mulanya dokumenternya diberi judul Mencari Wiji Thukul , lantaran terinspirasi film dokumenter Searching for Sugar Man garapan Malik Bendjelloul dan Simon Chinn yang menang Piala Oscar untuk kategori dokumenter terbaik 2012. “Itu kan bercerita tentang musisi juga yang memperjuangkan suara orang-orang bawah. Awalnya saya perlu judul itu untuk woro-woro di sosial media. Tapi kemudian berubah pikiran karena merasa kurang sreg. Akhirnya pakai judul itu ( Nyanyian Akar Rumput ), selain juga untuk melestarikan puisi Wiji Thukul,” ujar Yuda. Yuda mengaku tak punya target muluk untuk Nyanyian Akar Rumput. Sebab, genre dokumenter dengan isu politik dan HAM masih kurang diminati masyarakat walaupundihadirkan se-obyektif mungkin. “Saya enggak terlalu mikir target. Yang penting bagaimana film ini bisa dibawa ke ruang yang lebih luas. Di luar penonton festival atau bioskop-bioskop alternatif. Yang penting juga , bagaimana kita bisa menyuarakan kebenaran dalam film ini,” sambungnya. Fajar Merah (kanan) yang mengekspresikan kerinduan pada ayahnya lewat musik (Foto: Rekam Docs) Sementara, Wahyu punya harapan Nyanyian Akar Rumput tidak hanya sekadar suguhan di balik layar musikalisasi puisi Wiji Thukul yang dibawakan Fajar Merah dan bandMerah Bercerita. Dalam Nyanyian Akar Rumput, kata Wahyu, sarat nutrisi akan pengetahuan.Ratusan juta rakyat Indonesia bisa menikmati kebebasan dengan harga yang tidak murah. “Generasi muda akan melihat dan bercermin. Dia akan bisa mengkontraskan situasi. Bahwa sekarang baca buku bebas, maki-maki pejabat di sosial media sudah bebas, tapi kemudian dia akan tahu fakta-fakta masa lalu yang kontras. Harapannya dia akan punya daya juang. Paling tidak, untuk mempertahankan kebebasan yang sekarang ini yang harganya mahal dan perlu martir,” sambung Wahyu. “Penting untuk anak-anak muda mengenal Wiji Thukul. Kenapa? Karena dia yang membuat kalian bisa buka Youtube , Instagram , bebas kritik, tidak ada pembatasan buku-buku. Kebebasan yang asasi dan dengan melihat dokumenter ini, penting untuk merawat kebebasan itu,” tuturnya menutup obrolan.
- Dua Sikap Kaum Republik
PANGLIMA Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor R. Didi Kartasasmita terhenyak saat seorang anak buahnya membantah pendapatnya secara keras. Letnan Kolonel Eddie Soekardi, Komandan Resimen ke-3 TKR Jawa Barat, menyatakan bahwa perintah agar para anakbuahnya bekerjasama dengan tentara Inggris untuk menangani misi-misi internasional adalah sebuah ketidakmungkinan. “Saya bersama Moefreni (Komandan Resimen Cikampek) dan Omon (Komandan Resimen Bandung), merasa itu sebagai lelucon yang tidak lucu…” kenang Eddie Soekardi. Dibantah secara keras demikian, otomatis Didi menjadi emosi. Kendati ia sendiri tak menyetujui perintah tersebut, namun soal itu adalah kemutlakan bagi dirinya sebagai seorang tentara. “Ini kan urusan politik! Jadilah kamu komandan resimen yang matang!” ujarnya seperti dilukiskan dalam buku Pertempuran Konvoi Sukabumi-Cianjur 1945-1946 karya Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi dan Jajang Suryani. Eddie sendiri mengaku kaget dengan sikap atasannya tersebut. Pada akhirnya, ia sadar bahwa dirinya hanyalah seorang prajurit yang harus melaksanakan apa yang dikatakan pimpinan. “Saya lalu minta maaf dan berjanji kepada Pak Didi untuk coba memahami perintah itu,” ujarnya. Kebijakan Sjahrir Pada 15 November 1945, kabinet presidentil RI berubah menjadi kabinet parlementer di bawah Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri-nya. Naiknya Sjahrir menjadikan pihak Belanda dan Inggris “bernafas agak lega”. Setidaknya, Sjahrir dianggap lebih bebas dari pengaruh Jepang, moderat dan merupakan bagian dari kekuatan sosialisme demokrat dunia, ideologi yang banyak dianut oleh para tokoh dari negara-negara pemenang perang seperti Inggris. “Bahkan diperkirakan oleh Belanda dan Inggris, Sjahrir itu akan mudah diatur,” ujar Eddie Soekardi. Menurut Rudolf Mrazek, secara khusus, Belanda memang lebih “merasa nyaman” dengan Sjahrir dibanding dengan Sukarno-Hatta. Itu terbukti, saat Inggris mendesak Belanda untuk membuka dialog dengan kedua proklamator tersebut, mereka menolak karena merasa tidak ada kompromi dengan “para pemberontak”. “…kabinet Sjahrir adalah kabinet Indonesia demokratis terakhir yang dapat dipikirkan…” ungkap van der Plas seperti dikutip oleh Mrazek dalam bukunya Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia . Lantas bagaimana sikap Sjahrir sendiri? Sjahrir, kata Mrazek, sangat percaya Inggris adalah faktor dominan yang bisa mempengaruhi sikap politik Belanda. Sejak Inggris menguasai Indonesia pada awal abad ke-19 (lalu kemudian diserahkan kembali), sesungguhnya keberadaan Belanda di Indonesia bukan atas dasar kekuatan mereka sendiri. “Akan tetapi atas kebaikan Inggris dengan politik luar negerinya yang sama sekali menjadi andalan Belanda,” ungkap Sjahrir dalam Perdjoeangan Kita . Kesalingpahaman antara Sjahrir, Inggris dan Belanda membawa ketiga pihak ke meja perundingan pada 17 November 1945. Hasil nyata dari perundingan segitiga tersebut adalah Inggris akan membantu penyelesaian sengketa antara Belanda-Indonesia dan sebagai bentuk perwujudan niat baik, pemerintah RI akan membantu semua tujuan-tujuan misi internasional Sekutu di Indonesia. Duabelas hari kemudian, perundingan antara Inggris (diwakili oleh Brigadir Lauder) dan pemerintah Indonesia (diwakili oleh H.Agus Salim) diadakan kembali.Dalam perundingan itu ditetapkan bahwa Surabaya, Semarang, Jakarta, Bogor dan Bandung menjadi wilayah-wilayah kekuasaan militer Inggris. Dalam rangka itu, PM. Sjahrir pun menyetujui Jakarta dijadikan kota diplomasi yang harus bebas dari kaum bersenjata. Otomatis keputusan tersebut menjadikan Resimen Jakarta pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min harus digeser ke Cikampek. Kebijakan PM. Sjahrir disambut secara berbeda-beda oleh berbagai kalangan di tubuh kaum republik. Jika seluruh kekuatan lasykar dan pemuda radikal menolak mentah-mentah, maka di internal TKR sendiri muncul dua sikap terkait masalah itu. Pertama, kalangan TKR yang menerima sepenuhnya keputusan Sjahrir. Kedua, kalangan TKR yang menerima keputusan Sjahrir dengan catatan: sekali pihak Sekutu tidak melakukan koordinasi dengan TKR maka tak ada cara lain selain harus menghantam kekuatan mereka. Insiden Dawuan Stasiun Cikampek, 21 November 1945. Dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung. Belum jauh dari stasiun, di wilayah Dawuan tiba-tiba kereta api berjalan semakin pelan. Bersamaan dengan itu, beberapa anggota TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moefreni Moe’min, meloncat ke atas lokomotif. Dalam bahasa Inggris yang fasih mereka memerintahkan kereta api yang memuat kiriman logistik dan amunisi untuk tentara Sekutu di Bandung itu berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?!” teriak salah satu dari prajurit TKR itu. “ Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengtetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Kami hanya menyisakan 4 tawanan dan langsung merampas seluruh isi gerbong-gerbong tersebut,” ujar Letnan Kolonel Moefreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi: Dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati. Penghadangan itu sempat membuat Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin marah besar. Begitu mendengar insiden tersebut dari pihak Sekutu, ia langsung menelepon Moefreni dan memerintahkan pasukan Resimen V Cikampek untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas dan membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya pihak Sekutu melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.





















