top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Masyarakat Tionghoa di Majapahit

Inilah bukti keberadaan orang-orang Tionghoa di Majapahit.

25 Jan 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Arca-arca terakota dari Majapahit. Paling kiri menampakan laki=laki mengenakan penutup kepala maozi. Paling Kanan menampakkan lelaki berjubah. Kedua berciri mirip orang Tionghoa. Arca yang di tengah ditafsirkan sebagai penggambaran lelaki bersorban dari India. (Blog Inspirasi Majapahit).

Masyarakat Tionghoa telah menjadi bagian dari penduduk Majapahit. Keberadaan mereka dibuktikan oleh arca terakota, prasasti, dan catatan Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho.


Pada 1412, Ma Huan menerima tugas pertama dari Dinasti Ming untuk menemani Cheng Ho berlayar ke banyak negeri. Ia mencatat petualangannya itu dalam Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416.


Dalam catatannya, Ma Huan menyebutkan bahwa penduduk di pantai utara, yaitu di kota-kota pelabuhan, seperti Gresik, Tuban, Surabaya, dan Canggu kebanyakan menjadi pedagang. Kawasan itu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Di sana banyak orang Tiongkok dan Arab menetap dan berdagang.


Ketika sampai di kota Majapahit, kata Ma Huan, sudah ada sekira 200-300 keluarga yang menetap. Ia lalu membagi penduduk Jawa kala itu ke dalam tiga golongan.



Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan.


Kedua, orang Tangren atau Tenglang, merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus.


“Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Nurni menyebut kontak Nusantara, dalam hal ini Jawa, dengan Tiongkok sudah sejak tahun 131 M.


Ketiga, masyarakat pribumi. Ma Huan menyebut masyarakat dalam golongan ini sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan.



Sebelum Ma Huan datang, prasasti paling awal dari masa Majapahit juga telah menyinggung keberadaan orang Tiongkok.


Hery Priswanto, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta dalam tulisannya “Orang-orang Asing di Majapahit” termuat di Majapahit Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota menjelaskan, dalam Prasasti Balawi dari 1305 yang ditemukan di Trowulan, disebutkan adanya orang Keling Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Tiongkok, Champa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mambaŋ.


Pun dalam Desawarnana atau lebih dikenal dengan Nagarakrtagama (1365), disebutkan orang dari luar negeri datang berduyun-duyun ke Majapahit. Salah satunya dari Tiongkok.

Kakawin itu menggambarkan kegiatan perniagaan yang melibatkan para pedagang asing. Pun suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan transaksi dagang.


“Dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana (Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Gauri), dan Syangka (Siam) mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta, semua merasa puas, menetap dengan senang,” catat Mpu Prapanca.  


Penggambaran orang-orang Tiongkok juga muncul dalam arca-arca dari Majapahit. Di antaranya yang kini menjadi koleksi Museum Trowulan, Mojokerto. Arca ini menggambarkan seorang laki-laki dengan posisi duduk bersila. Ia mengenakan tutup kepala setengah lingkaran dengan tonjolan kecil di bagian atasnya (maozi).


Maozi adalah sebuah penutup kepala yang sering digunakan oleh orang-­orang Tionghoa,” kata Hery.


Selain topi, mata tokoh juga digambarkan sipit, yaitu sudut mata bagian luar lebih tinggi dari sudut mata dalam. Pelupuk matanya tebal, hidung kecil, mulut tersenyum, bibir tipis, pipi montok, dan dagu panjang berlipat­-lipat.


Tokoh berperut buncit itu tak mengenakan baju bagian atasnya. Baju bagian bawahnya berupa sarung yang dipakai dengan cara digulung pinggangnya.



Hery menyebut arca lainnya yang menggambarkan laki-laki sedang memegang kotak uang. Arcanya hanya tinggal bagian atas badannya. Rambutnya belah tengah. Ada hiasan bunga di atas telinga kanan. Alis matanya berupa dua garis lengkung bertemu di pangkal hidung. Matanya sipit dengan sudut mata bagian luar ditarik ke atas. Hidungnya mancung, mulut terkatup, dan bibir tebal.


Tokoh laki-­laki ini digambarkan mengenakan pakaian seperti baju kurung berlengan panjang. “Namanya qi pao. Lengan baju itu digulung pada bagian pergelangan tangan. Qi pao lazim digunakan sebagai pakaian sehari­-hari orang­-orang Tionghoa,” kata Hery.


Arca laki-laki berjubah yang wajahnnya mirip orang Tionghoa. (inspirasimajapahit.wordpress.com).
Arca laki-laki berjubah yang wajahnnya mirip orang Tionghoa. (inspirasimajapahit.wordpress.com).

Arca berikutnya menggambarkan seorang lelaki berjubah. Arca terakota ini juga menjadi koleksi Museum Trowulan di Mojokerto. Jubah yang dipakai seperti baju kurung berlengan panjang. Bagian dadanya dibiarkan terbuka. Leher baju dibuat tinggi sampai menyentuh dagu.

“Pakaian arca terakota ini juga berciri Tiongkok, yaitu pakaian dengan bagian leher baju tertutup yang disebut dengan cheongsam atau changshan,” jelas Hery.


Rambutnya disisir ke arah belakang kepala lalu dikucir. Bagian dahinya tampak lebar. “Tata rambut demikian lazim dijumpai dan merupakan tradisi orang Tionghoa,” jelas Hery.


Sementara matanya sipit, pelupuk mata tebal, dan sudut mata luar meninggi. Hidung besar dan lebar. Kumis tebalnya ditata membentuk pilinan di kanan kiri mulut. Bentuk mulut mungil dan bibir tebal.



Ada lagi arca kepala anak laki-laki koleksi kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Rambut si anak dipotong gundul. Tapi masih menyisakan kucir pada ubun-ubunnya.


“Tata rambut seperti itu merupakan cara penataan rambut yang biasa dijumpai dan diterapkan pada anak-­anak kecil di daratan Tiongkok, yang sedang mengikuti pelatihan wushu di shao lin sie,” kata Hery.


Dari segala bukti yang ada, menurut Hery, orang Tiongkok adalah orang asing yang paling sering disebut dalam berbagai sumber tertulis masa Majapahit. Tentu saja karena mereka adalah pedagang asing mayoritas yang sudah lama berhubungan dengan Jawa.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Sekolah Tertua di Depok

Sekolah Tertua di Depok

Depok sudah punya sekolah sejak 1830. Tergolong sekolah tertua di Jawa, bahkan Indonesia. Tuan Laurens guru tertuanya.
Wasit Hindia di Olimpiade

Wasit Hindia di Olimpiade

Hindia Belanda nyaris mengirimkan tim sepakbola di Olimpiade tapi gagal karena penolakan Belanda. Sebagai pelipur lara, wasit Hindia Belanda tampil dalam beberapa pertandingan, termasuk final sepakbola di Olimpiade.
Harrison Ford dan Kepedulian Lingkungan

Harrison Ford dan Kepedulian Lingkungan

Harrison Ford sudah peduli isu lingkungan sejak puncak ketenarannya. Pemeran waralaba “Star Wars” dan “Indiana Jones” itu turut berada di garis depan menentang kerusakan lingkungan.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page