Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Galuh, Kekuatan di Timur Tatar Sunda
Pada abad ke-7, Kerajaan Tarumanegara (abad ke-4 sampai abad ke-7), salah satu kerajaan Hindu-Budha tertua di Nusantara, resmi kehilangan kuasa atas Tatar Sunda. Tarumanegara masa pemerintahan Raja Tarusbawa (669-670 M) tidak lagi dapat meredam konflik di dalam kerajaannya yang semakin meluas. Rakyat pun dilanda kecemasan. Namun keadaan tersebut tidak benar-benar buruk. Bagi kerajaan-kerajaan vasal (taklukan) Tarumanegara, konflik itu merupakan kesempatan untuk memerdekakan wilayahnya. Seperti yang dilakukan penguasa Kendan, Wretikendayun, pada abad ke-7. Upaya pemisahan diri itu berhasil ia lakukan tanpa menimbulkan konflik dengan penguasa Tarumanegara. Begitu Tarumanegara hancur sepenuhnya, Wretikendayun menolak ikut ambil bagian dalam pembangunan kerajaan baru pengganti Tarumanegara. Bersama para pengikutnya, Wretikendayun mendirikan kerajaan baru. Karena daerah Kendan tidak memadai untuk pendirian pusat pemerintahan, ia pun memindahkan pemerintahannya ke daerah Karangkamulyan, (Ciamis sekarang). Pada 669, berdirilah kerajaan Galuh sebagai lanjutan dari pemerintahan Kendan, dengan raja pertamanya Wretikendayun. Sementara itu, menurut Mumuh Muhsin Z dalam Ciamis atau Galuh , di bekas wilayah kerajaan Tarumanegara juga didirikan pemerintahan baru bernama Kerajaan Sunda. Di bawah kuasa Tarusbawa, Sunda berperan penting melanjutkan politik Tarumanegara, dengan menjalankan pemerintahan di bekas daerah yang ditinggalkan. Baik Sunda maupun Galuh sama-sama memegang pengaruh besar di Tatar Sunda. “Jadi Galuh dan Sunda lahir secara bersamaan,” kata Sejarawan Budiansyah kepada Historia . Demi menjaga keamanan di kedua kerajaan tersebut, Wretikendayun dan Tarusbawa sepakat melakukan perundingan untuk menentukan batas kekuasaan masing-masing. Mereka, kata Budiansyah, sampai pada kesepakatan bahwa Sungai Citarum menjadi batas pemisah antara kedua kerajaan yang terlahir dari kehancuran Tarumanegara itu. “Citarum ke arah timur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, lalu dari Citarum ke arah barat menjadi milik Kerajaan Sunda,” katanya. Kekuasaan di Galuh Salah satu sumber yang banyak memberikan informasi terkait Galuh adalah sebuah naskah yang dibuat pada akhir abad ke-16, yakni Carita Parahiyangan. Dalam Tjarita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda Abad ka-16 Masehi , disebutkan bahwa seorang raja bernama Sena pernah berkuasa di Galuh. Kekuasaannya itu lalu digantikan oleh kemenakannya, Sanjaya. Proses naiknya Sanjaya ke takhta tertinggi Galuh ini pernuh dengan konflik. Ia diketahui berselisih dengan pamannya (saudara seibu Sena), Rahyang Purbasora, yang berusaha menguasai Galuh dari tangan Sena. Setelah berhasil bertakhta, Purbasora mengasingkan Sena bersama keluarganya ke Gunung Merapi. Menurut Nugroho Notosusanto, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II , Gunung Merapi yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan bukan gunung yang terletak di Jawa Tengah sekarang, tetapi sebuah bukit bernama Merapi yang terletak di daerah Kuningan, Jawa Barat. Hal itu didasarkan pada penamaan tempat di Carita Parahiyangan yang umumnya menggunakan nama tempat di wilayah Sunda bagian timur. “Oleh karena itu, berangkali dapat diajukan keberatan atas usaha yang pernah dilakukan untuk ‘memindahkan’ panggung peristiwa masa itu ke daerah Jawa Tengah seluruhnya,” tulis Notosusanto. Sanjaya sendiri ikut dalam pengasingan bersama Sena. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya yang berdiam di Denuh. Carita Parahiyangan kemudian mengisahkan kemenangan Sanjaya dalam merebut kekuasaan dari Rahyang Purbasora. Ia lalu mengangkat dirinya menjadi raja di Galuh. Bertahta pada pertengahan abad ke-8. Keberadaan Galuh sempat lama hilang. Hal itu terjadi karena sedikitnya sumber yang membahas tentang kerajaan ini. Barulah pada abad ke-11, melalui Prasasti Sanghyang Tapak, berangka tahun 1030 M, nama Galuh kembali muncul. Prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi ini menyebut nama Maharaja Sri Jayabhupati yang berkuasa di daerah bernama Prahajyan Sunda. Berdasar penelitian sejarawan Nugorho Notosusanto, dkk, diketahui bahwa tokoh Sri Jayabhupati ini sama dengan Rakeyan Darmasiksa (1033-1183) yang diceritakan dalam Naskah Carita Parahiyangan sebagai Raja Galuh. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa ini pusat pemerintahan Galuh berada di wilayah bernama Prahajyan. “Tentang apa sebabnya Rakeyan Darmasiksa dapat cukup lama memerintah, yaitu karena ia memperoleh berkah dari para pendeta yang berpegang teguh kepada milik asli Sunda, yaitu Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa,” ungkap Notosusanto. Galuh-Sunda Bersatu Rupanya antara Galuh dengan Sunda tidak selalu terlibat dalam konflik. Menurut Budimansyah, antara Sunda dan Galuh pernah bersatu menjadi kerajaan tunggal. Bukan hanya sekali tetapi dua kali, yakni pada masa pemerintahan Maharaja Sanjaya (723-732 M), dan masa Prabu Jayadewata dengan gelar Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Kedua kerajaan besar di Tatar Sunda ini dipersatukan melalui jalan pernikahan. “Galuh dan Sunda adakalanya dipersatukan melalui jalan pernikahan putra dan putri mahkota. Untuk nama kerajaan yang dipilih adalah Sunda,” ucap Budimansyah. Terbentuknya kerajaan Sunda-Galuh pada masa Sanjaya terjadi ketika sang raja memperistri putri Raja Sunda Tarusbawa. Sanjaya lalu mendapat gelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda. Bergabungnya Sunda ke Galuh memberi keuntungan yang besar bagi keduanya. Mereka sama-sama melebarkan pengaruh sehingga kekuasaannya dapat mencakup wilayah Tatar Sunda yang begitu luas. Sementara pada proses penggabungan yang kedua, Galuh sudah memerintah dari wilayah Kawali, Ciamis. Pusat Pemerintahan Terakhir Berdasar keterangan dalam Carita Parahiyangan , daerah Kawali, Ciamis menjadi pemberhentian terakhir para penguasa Galuh. Menurut Notosusanto, keterangan mengenai pada zaman pemerintahan siapa pusat pemerintahan Galuh dipindah ke Kawali, tidak dapat dipastikan dengan jelas. Namun menurut prasasti-prasasti yang ditemukan di sekitar kawasan Kawali diketahui bahwa pada masa pemerintahan Prabu Raja Wastu (Niskala Wastu Kancana) pusat kuasa Galuh telah berada di Kawali. Ia membangun sebuah kraton yang dikenal sebagai Kraton Surawisesa. “Ia mengharapkan agar orang-orang yang datang kemudian berbuat kebajikan sehingga dengan demikian dapat hidup lama dan berbahagia di dunia. Pengharapan seperti itu ternyata juga dapat ditemukan dalam naskah Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis tahun 1518 Masehi,” tulis Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat . Prabu Raja Wastu pada prasasti Kawali ini adalah tokoh yang sama dengan nama Rahyang Niskala Wastu Kancana pada prasasti Batutulis dan Kebantenan. Ia dikenal sebagai kakek dari penguasa Sunda, Sri Baduga Maharaja. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa Niskala Wastu Kancana menjalankan pemerintahannya di Kawali. Sebelum akhirnya digantikan oleh putranya, Rahyang Ningrat Kancana (Rahyang Dewa Niskala). Dalam Carita Parahiyangan , Rahyang Ningrat Kancana disebut sebagai “Tohaan di Galuh” (Yang Dipertuan di Galuh). “Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampai pada masa pemerintahannya, pusat Kerajaan Sunda masih terletak di Gauh, tepatnya di sekitar kota Kawali sekarang,” tulis Notosusanto. Ketika masa pemerintahan Prabu Jawadewata, Kerajaan Sunda dan Galuh telah bersatu. Kerajaannya menjadi satu dari sedikit pemerintahan Hindu-Budha yang masih bertahan di tengah kepungan pengaruh Islam. Demi menjaga ajaran Hindu-Budha tetap lesatri, Prabu Jayadewata kemudian memindahkan pusat pemerintahan dari Kawali ke Pakuan Pajajaran (di wilayah Bogor sekarang). Kerajaan itu dikenal sebagai Kerajaan Pakuan Pajajaran. Kekuasaannya berjalan hingga 1579, sebelum akhirnya hancur oleh serangan pasukan Islam.
- Ketika Soebandrio Diancam John F. Kennedy
Suasana “panas” meliputi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington, Amerika Serikat. Perang urat syaraf berlaku antara Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio dengan Duta Besar Belanda untuk PBB Herman van Rooijen. Keduanya merupakan ketua delegasi negara masing-masing dalam merundingkan sengketa Irian Barat (kini Papua). Pertemuan tersebut adalah lanjutan dari perundingan yang telah dihelat beberapa hari sebelumnya di kota Middleburg. “Tanggal 25 Juli 1962, van Rooijen datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Washington, guna melaksanakan perundingan kedua,” kenang Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Irian Barat. “Syukur bahwa van Rooijen bersedia datang ke Kedutaan Besar Indonesia.” Saat itu Soebandrio berhalangan datang ke tempat perundingan netral yang sedianya dilangsungkan di Middleburg. Soalnya, Soebandrio sedang dalam pemulihan pasca operasi infeksi kaki sehingga megalami kesulitan saat berjalan. Tensi perundingan meninggi ketika Soebandrio melontarkan sejumlah tuntutan. Menurutnya akan mengkhawatirkan apabila Belanda semakin lama berkuasa di Irian Barat. Sementara di front militer, pasukan Indonesia yang diterjunkan ke Irian Barat telah siap tempur. Perkembangan terbaru menyebutkan serangkaian operasi infiltrasi telah mencapai daratan Irian Barat. Soebandrio memperingatkan, jika Belanda tetap bertahan maka Indonesia terpaksa menggunakan senjata yang dibeli dari Uni Soviet untuk berperang. Tanpa ragu lagi Soebandrio meminta agar penyerahan Irian Barat kepada Indonesia dipercepat. Setelah mendengar uraian Soebandrio, van Rooijen memberikan jawaban tegas: tidak bersedia memenuhi tuntutan percepatan penyerahan kedaulatan. Penolakan van Rooiijen cukup beralasan. Pemulangan warga dan aparatur Belanda di Irian Barat diperkirakan paling lama selesai pada akhir Oktober 1962. Adapun waktu yang tersisa bagi pemerintahan peralihan PBB sampai 1 Januari 1963 hanya dua bulan. Dapat dipastikan tidak ada yang bisa diperbuat dalam jangka waktu sesingkat itu. Karena tidak mendapat titik temu, perundingan itu pun ditangguhkan. Keesokan harinya, perundingan dilanjutkan. Kali ini diplomat senior Amerika, Ellsworth Bunker ikut serta sebagai mediator. Soebandrio mengemukakan hal yang sama kepada Bunker seperti terhadap van Rooijen sebelumnya. Soebandrio meminta agar pada 1 Januari 1963, pemerintahan di Irian Barat sudah berada di bawah kedaulatan Indonesia. Keinginan itu juga bertemali dengan amanat Presiden Sukarno supaya bendera Merah Putih berkibar di Irian Barat sebelum tahun 1962 berakhir. Mengenai pelaksanaaan penentuan nasib sendiri rakyat Irian Barat, sebagaimana usulan Bunker, Soebandrio menganggapnya sebagai penghinaan dan harus ditolak. Dengan demikian, Soebandrio memberikan opsi terbatas bagi van Rooijen: bersedia mempercepat menyerahkan Papua atau konfrontasi militer. Tuntutan Soebandrio ditanggapi secara dingin oleh van Rooijen. Dia justru mencela tuntutan delegasi Indonesia seperti hendak menyimpang dari formula Bunker. Saling silang ini sempat menyebabkan Soebandrio dan van Rooijen bersitegang. Soebandrio tersinggung dengan ucapan van Rooijen dan menyatakan bahwa Belanda-lah yang selalu curang dalam setiap perundingan mulai dari zaman Perjanjian Linggadjati. “Saya kira, tidak perlu meneruskan perundingan. Besok saya dan Adam Malik akan pergi ke New York, tanggal 28 Juli langsung ke Jakarta,” ujar Soebandrio seperti termuat dalam memoarnya. Melihat perundingan akan gagal, Ellsworth Bunker berinisatif untuk mempertemukan Soebandrio dengan Presiden John F. Kennedy. Pada malam hari tanggal 26 Juli, Kennedy menerima Soebandrio di Gedung Putih. Alih-alih tuntutannya diindahkan, Kennedy malah menumpahkan amarah pada Soebandrio. Bagi Kennedy tuntutan Soebandrio terasa tidak wajar dan tidak masuk akal. “Aneh rasanya bahwa Indonesia mau menembaki sesuatu yang sudah ada di tangan,” kata Kennedy tersua dalam arsip departemen luar negeri Amerika yang yang dikutip sejarawan Baskara Tulus Wardaya untuk disertasinya Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963 (dialihbahasakan menjadi Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1959 ) Menurut Kennedy seandainya secara prinsip tuntutan Indonesia dapat diterima maka tidak mungkin dilaksanakan secara teknis administratif. Lagi pula, kata Kennedy, Indonesia tampaknya mendapatkan hampir semua konsesi yang diinginkannya untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat. Sebaliknya, bila Indonesia tetap memilih menggunakan jalan kekerasan maka AS akan mengirimkan Pasukan Armada ke-7 untuk mengungsikan warga Amerika Serikat dari Indonesia. Mendengar hardikan Kennedy, Soebandrio terdiam sambil berusaha tenang. Tidak cukup nyalinya untuk mendebat Presiden AS itu. Sebagaimana dicatat Baskara, Kennedy mendesak Soebandrio untuk mencari solusi yang bermartabat dan memuaskan untuk permasalahan yang ada. Selama kariernya menjadi menteri luar negeri, ini adalah ancaman serius kedua yang diterima Soebandrio, setelah pemimpin Republik Rakyat Tiongkok Mat Tse Tung mengancamnya pada 1959. “Saya sadar ancaman Kennedy ini dan saya harus menelannya. Pertemuan selesai, dan saya tidak dapat kesempatan untuk memberikan jawaban apapun,” Soebandrio pun menunda kepulangannya dan mengirim Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja ke Jakarta untuk memberi laporan kepada Presiden Sukarno. Perundingan dengan pihak Belanda kembali dilanjutkan di Middleburg pada 29 Juli. Dari sinilah kemudian dirumuskan penyelesaian sengketa Irian Barat yang berujung pada Perjanjian New York, 15 Agustus 1962
- Bukti Sejarah Kerajaan Galuh
Budayawan Betawi Ridwan Saidi kembali membuat geger. Setelah sebelumnya menyebut Sriwijaya fiktif, kali ini giliran kerajaan di Jawa Barat yang disasar. Dalam video unggahan kanal YouTube “Macan Idealis”, Babe, panggilan akrab Ridwan Saidi, menyebut jika di Ciamis tidak ada kerajaan. Menurutnya daerah Ciamis tidak memiliki indikator eksistensi adanya kerajaan, yakni indikator ekonomi. Babe mempertanyakan sumber penghasilan Ciamis untuk pembiayaan kerajaannya, mengingat daerah itu tidak memiliki pelabuhan dagang. Ia juga meragukan sumber-sumber tentang Ciamis yang sudah ditemukan, seperti bekas bangunan dan punden berundak. Hal tersebut, kata Babe, perlu diteliti karena bisa jadi itu bekas bangunan biasa atau hanya Kabuyutan (tempat berkumpul) saja. “Sunda-Galuh saya kira agak keliru penamaan itu, karena Galuh artinya ‘brutal’,” ucapnya. Ucapan Babe itu mendapat tanggapan yang beragam. Kalangan masyarakat Sunda, khususnya warga Ciamis, merasa pernyataan itu keliru. Ridwan Saidi dianggap telah menyebarkan informasi yang salah tentang sejarah. Mereka meminta Babe menarik ucapannya dan segera meminta maaf kepada masyarakat Ciamis. Namun pada unggahan lain (14 Februari 2020), Ridwan Saidi mencoba mengklarifikasi ucapannya tentang sejarah Ciamis dan kerajaan Galuh. Ia membuka percakapan di dalam video tersebut dengan permintaan maaf atas kegaduhan yang dibuatnya. “Saya tidak bermaksud membuat sensasi sejarah, tapi rekonstruksi sejarah. Kalau ini membuat heboh sementara pihak ya saya minta maaf, karena memang begitulah perjuangan untuk merekonstruksi sejarah dalam rangka persatuan Indonesia dan dalam rangka memotivasi generasi baru untuk maju ke depan menghadapi tantangan zaman,” ucapnya. “Tetapi terus terang, kutipan dari (kamus) Armenian-English itu ga bisa saya ubah,” lanjut Ridwan Saidi. “Mengenai arti Galuh itu.” Lantas apakah ucapan Ridwan Saidi tentang Galuh itu benar adanya? Membuktikan Keberadaan Galuh Pada 1970-an, para sejarawan yang tergabung dalam Tim Peneliti Sejarah Galuh berhasil mengumpulkan informasi terkait kedudukan Galuh dalam narasi sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Dalam laporan tahun 1972, Galuh Ciamis dan Tinjauan Sejarah , tim peneliti tersebut berhasil mengumpulkan nama-nama kerajaan yang masih berkaitan dengan Galuh. Menurut Mumuh Muhsin Z, dalam Ciamis atau Galuh, kata “ galuh” secara bahasa mengandung tiga makna. Pertama, kata galuh berasal dari bahasa Sansekerta galu , yang berarti “permata yang paling baik”. Kedua, kata galuh berasal dari kata aga , berarti “gunung” dan lwah, berarti “bengawan, sungai, laut”. Ketiga, kata galuh bisa dimaknai juga galeuh (bahasa Sunda) yang berarti “bagian di dalam pohon yang paling keras”. "Arti-arti kata tersebut jelas sangat simbolis dan sarat muatan makna yang sangat dalam,” ucap sejarawan dari Universitas Padjadjaran itu. Ada lebih dari 10 nama kerajaan yang terkait dengan Galuh. Lokasinya pun tidak hanya di Jawa Barat sebagai daerah yang diyakini sebagai wilayah kekuasaan kerajaan Galuh. Berikut beberapa di antaranya: Kerajaan Galuh Sindula, berlokasi di Lakbok, ibukota Medang Gili; Kerajaan Galuh Rahyang, berlokasi di Brebes, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon, berlokasi di Roban, ibukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean, berlokasi di Cilacap, ibukota Medang Kamulan; Galuh Pakuan, ibukota di Kawali; Galuh Kalingga, Galuh Tanduran, dan sebagainya. Berdasar informasi tersebut para peneliti meyakini jika Galuh adalah sebuah kerajaan dengan ibukota yang berpindah-pindah. Mereka tidak menetap di satu wilayah saja. Sejalan dengan itu, Nugroho Notosusanto dan para peneliti sejarah, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II , juga menyebut Galuh sebagai pusat kerajaan yang berpindah. “… maka nama Galuh, Pakuan Pajajaran, atau Pajajaran kemungkinan besar adalah nama pusat kerajaan yang telah mengalami perpindahan beberapa kali,” tulis Notosusanto. Hasil penelusuran Notosusanto juga mendapati bahwa secara umum kerajaan di Jawa bagian barat, selepas runtuhnya kekuasaan Tarumanegara, hanya ada satu sebutan, yakni Sunda. Namun nama tersebut tidak terikat oleh satu kerajaan semata. Informasi itu didapat dari berbagai sumber, mulai dari prasasti, naskah, catatan perjalanan, dan keterangan bangsa asing yang pernah mengunjungi Tatar Sunda. Prasasti tertua yang mengungkap hal tersebut adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat, berangka tahun 932 Masehi, ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor. Prasasti lainnya ada Sang Hyang Tapak dan Sang Hyang Tapak II, berangka tahun 1030 Masehi. Sedangkan Carita Parahiyangan (akhir abad ke-16) menyebut Sunda sebagai nama kawasan. Berita Cina, dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa , pada zaman dinasti Ming juga menyebut adanya penguasa bernama Sun-la . “Dari bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah Jawa Barat sebenarnya umum dikenal dengan nama Sunda. Sedang nama-nama lain yang berhubungan juga dengan daerah ini adalah nama pusat kerajaan atau ibukota. Misalnya Galuh yang berkali-kali disebutkan dalan Carita Parahiyangan,” ungkap Notosusanto. Sementara sejarawan Sunda Nina H. Lubis dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat , mengungkapkan jika penyebutan nama kerajaan di dalam sumber sejarah bisa saja berubah-ubah. Terutama karena adanya kebiasaan dari negara-negara di Asia Tenggara untuk menyebut nama kerajaan dengan nama ibukotanya. “Jadi kalau sebuah sumber menyebut nama kerajaan Galuh, itu bisa berarti kerajaan Sunda yang beribukota di Galuh,” ucapnya. Berdirinya Kerajaan Galuh Untuk membuktikan secara historis kapan kerajaan Galuh berdiri, keberadaan prasasti dan berita-berita sezaman amat penting. Ada beberapa prasasti yang memuat informasi mengenai Galuh, meski sebagian ditemukan tanpa penjelasan tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, seorang raja bernama Balitung disebut sebagai “Rakai Galuh”. Dalam prasasti Siman, berangka tahun 943, terdapat nama Galuh yang berkuasa atas sebuah wilayah. Sementara pada naskah Carita Parahiyangan, dalam Carita Parahiyangan: Naskah Tititlar Karuhun Urang Sunda abad ka-16 , kisah tentang kerajaan Galuh dimulai ketika era politik kerajaan Tarumanegara di Tatar Sunda berakhir. Ketika para penguasa bekas Tarumanegara mendirikan Sunda, beberapa orang menolak bergabung. Di bawah pimpinan Wretikendayun, mereka pun akhirnya mendirikan kerajaan yang kemudian berpusat di Galuh (Ciamis) pada abad ke-7. Menurut sejarawan Sunda Budimansyah, Wretikendayun dan penerus kerajaan Tarumanegara, Trarusbawa, sepakat membagi wilayah Tatar Sunda menjadi dua bagian dengan batas kekuasaan di Sungai Citarum. Hal itu dilakukan untuk menghindarkan kedua kerajaan itu dari pertikaian dan kepentingan politik lainnya. “Citarum ke arah timur, sampai Ciserayu di selatan dan Cipamali di utara, menjadi wilayah kerajaan Galuh. Lalu dari Citarum ke arah barat menjadi wilayah kerajaan Sunda. Jadi Galuh dan Sunda (Pakuan Pajajaran) lahir secara bersamaan,” ucap Budiansyah kepada Historia . Di dalam naskah Carita Parahiyangan juga diceritakan tentang raja-raja yang pernah berkuasa di Galuh. Termasuk intrik yang terjadi antara para penguasa Galuh. Seperti cerita tentang Raja Sena, penguasa ke-4 Galuh yang dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, saudaranya sendiri. Akibatnya Sena diasingkan ke Gunung Merapi bersama keluarganya. Beberapa tahun kemudian penerus Sena, Sanjaya, berhasil membalaskan dendam pendahulunya. Nama Galuh sebagai pusat kerajaan disebut berkali-kali dalam Carita Parahiyangan. Nama-nama tempat yang disebutkan di naskah ini juga umumnya terletak di Jawa Barat bagian timur, yang merupakan wilayah Galuh sesuai perjanjian dengan penerus Tarumanegara. Jadi, kata Nina, dapat disimpulkan bahwa pada abad ke-8 M pernah ada Raja Sanjaya yang berkuasa di Galuh.
- Witan Sulaeman dan Mula Sepakbola Serbia
EROPA Timur lagi-lagi jadi tujuan pesepakbola Indonesia merintis karier. Setelah Egy Maulana Vikri di Polandia (Lechia Gdańsk), kini ada Witan Sulaeman yang mencoba peruntungannya di Serbia. Sejak 11 Februari 2020, Witan, jebolan PSIM Yogyakarta cum gelandang Timnas Indonesia U-19, dikontrak klub papan tengah Superliga Serbia FK Radnik Surdulica dengan masa percobaan enam bulan. Bila penampilan Witan di klub yang didirikan pengusaha sepatu Gradimir Antić itu bagus, ia berpotensi mendapatkan penambahan durasi kontrak tiga tahun. “Witan akan bergabung di tim utama Radnik. Semoga ini jalan yang terbaik. Dia harus bekerja keras dan mengambil kesempatan ini dengan cara terbaik,” kata Dusan Bogdanovic, agen Witan, sebagaimana dikutip Kumparan , 11 Februari 2020. Namun selain kerja keras dan skill mumpuni, Witan juga mesti punya mental baja untuk bisa sukses. Eropa Timur pada umumnya dan Serbia khususnya, dikenal sebagai negeri yang subur bagi rasisme. Egy sendiri pernah mengalaminya di Polandia pada Maret 2018 dan sukses melaluinya. “Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur, dia mestinya sudah siap mental. Karena di Eropa, khususnya Eropa Timur, masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa,” ujar Timo Scheunemann, mantan pelatih klub Liga Indonesia berdarah Jerman, kepada Historia medio Maret 2018. “(Rasisme) berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik Perang Dunia I, II maupun perang-perang sebelumnya. Apalagi yang notabene Eropa Timur, di mana pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat,” tambah pria yang kini tengah menemani tim Garuda Select di Inggris sebagai penerjemah. Bola Sepak dari Mahasiswa Yahudi Meski usianya nyaris seabad(didirikan tahun 1926), FK Radnik yang berbasis di kota Surdulica bukan perkumpulan sepakbola pertama Serbia. Klub sepakbola pertama yang teroganisir di Serbia bernama Bácska Szabadkai Athletikai Club (kini FK Bačka), berdiri pada 3 Agustus 1901. Bácska berbasis di Subotica, kota perbatasan utara negeri itu dengan Astro-Hungaria. Maka namanya pun berbau Hungaria. Klub itu lalu terdaftar di otoritas olahraga Kekaisaran Austria-Hungaria setelah wilayah Subotica diduduki. Perkumpulan olahraga Soko di Beograd pada 1912, di mana klub ini jadi yang pertama memainkan sepakbola di Serbia sejak 1896 Sepakbola sendiri pertamakali diperkenalkan ke Kerajaan Serbia oleh mahasiswa berdarah Yahudi, Hugo Buli yang dijuluki “Bapak Sepakbola Serbia”. Dipaparkan Dejan N. Zec dalam risetnya “The Origins of Soccer in Serbia: Serbian Studiesvolume 24” yang dimuat di On the Very Edge: Modernism and Modernity in the Arts and Architecture of Interwar Serbia (1918-1941) , Hugo Buli adalah pelajar asal Beograd dari keluarga saudagar dan bankir Yahudi nan kaya dan mengenyam pendidikannya di Berlin. Saat bersekolah di Berlin itulah ia mengenal sepakbola. Ia lantas bermain di klub BFC Germania yang berbasis di Distrik Tempelhof kurun 1892. Sepulangnya dari Jerman, ia memperkenalkan sepakbola ke perkumpulan olahraga Soko pada 1896. “Dia seorang yang antusias terhadap sepakbola dan merasa punya misi mengenalkannya ke publik di Serbia. Setelah kembali dari Jerman, dia menggelar pertandingan persahabatan antara dua tim yang berisi teman-temannya dan para atlet perkumpulan Soko pada 19 Mei 1896 di salah satu taman di Beograd, setelah lebih dulu memberi briefing singkat tentang aturan main sepakbola,” ungkap Zec. Kendati laga itu diliput banyak wartawan, publik Serbia belum banyak yang kepincut permainan 22 pria berebut sebutir bola itu. Para penonton yang belum paham betul permainan si kulit bundar heran mengapa permainan itu hanya boleh dimainkan dengan kaki. “Meski begitu, Buli dan perkumpulan Soko terus mempromosikan olahraga anyar itu dan beberapa tahun kemudian, tim amatir pertama didirikan. Pada 1899, anggota-anggota Soko: Buli, Mihajlo Živadinović, Bernar Robiček, Velizar Mitrović, Marko Milutinović, dan Blaža Barlovac, membentuk Prvo srpsko društvo za igru loptom (perkumpulan Serbia pertama yang bermain sepakbola),” lanjut Zec. Namun kesebelasan itu sekadar perkumpulan di bawah naungan Soko, bukan klub sepakbola yang berdiri sendiri. Maka ia tak bisa dihitung sebagai klub tertua Serbia . Hugo Buli, "Bapak Sepakbola Serbia" yang nahasnya tewas di kamp konsentrasi Nazi di Beograd pada 1941 (Foto: geni.com/yadvashem.org ) Klub yang didirikan Buli cs. itu tak didukung pemerintah kerajaan. Akibatnya, sepakbola berkembang lambat. Tapi sepakbola menarik minat beberapa pihak yang lantas turut mendirikan klub, meski tetap bernaung di bawah perkumpulan olahraga lain laiknya Soko. Selain FK Bačka pada 1901, klub-klub awal di Serbia yang berdiri adalah Concordia (1903), Šumadija (1904), Srpski mač (1905), Dušan Silni (1908), Vihor, dan Deligrad (1909). “Jelang Perang Dunia I, sepakbola baru tumbuh dengan sangat cepat, baik di Beograd maupun kota-kota lain. Pada 1914 saja angka pesepakbola aktif sudah sekitar tiga ribu pemain yang tersebar di kota-kota seperti Čačak, Leskovac, Sokobanja, Smederevska Palanka, Natalinci, Zaječar, serta Niš. Beogradski Sport Klub (BSK) dan Velika Srbija (keduanya berdiri 1911) kemudian jadi dua klub paling sukses dan populer dalam sejarah Serbia pra-komunis,” sambung Zec. Velika Srbija yang di kemudian hari berubah nama menjadi SK Jugoslavija dan bubar pada 1945, jadi klub pertama yang memenangkan kejuaraan resmi antarklub Serbia, sebuah kejuaraan yang digelar Komite Olimpiade Serbia pada musim semi 1914. Ironisnya, tak lama kemudian Kekaisaran Austria-Hungaria mendeklarasikan perang terhadap Serbia, mengakibatkan roda kegiatan sepakbola Serbia terhenti. Zaman Edan Sepakbola Serbia Hingga Perang Dunia I pecah, Serbia belum sempat mendirikan federasi sepakbola. Kesempatan memiliki federasi sepakbola sendiri hilang karena pasca-Perang Dunia I Serbia jadi bagian Yugoslavia bersama Kroasia, Bosnia, Herzegovina, dan Slovenia. Alhasil, Beogradski loptački podsavez atau Sub-asosiasi Sepakbola Beograd yang berdiri pada 12 Maret 1920, bernaung di bawah FSJ (Asosiasi Sepakbola Yugoslavia). Namun sub-asosiasi Beograd turut membentuk timnas Yugoslavia pertama untuk ikut Olimpiade Antwerp 1920. Sejak 1923, sub-asosiasi Beograd juga turut menyertakan tim-tim Serbia dalam Liga Utama Yugoslavia. Kolase Milovan Jakšić, kiper andalan Timnas Yugoslavia di Piala Dunia 1930 yang merupakan jebolan klub Soko (Foto: fifa.com ) Geliat sepakbola di Serbia vakum lagi dengan pecahnya Perang Dunia II. Banyak pemainnya tinggal nama, baik karena ikut angkat senjata bersama barisan Partizan dan Chetnik maupun akibat ditahan di kamp konsentrasi Nazi-Jerman. Buli si “Bapak Sepakbola Yugoslavia” salah satunya. Ia dimasukkan ke kamp konsentrasi Topovske Šupe di Beograd pada 1941 dan jadi korban holocaust . Usai Perang Dunia II, para pemain Serbia menjadi tulang punggung timnas Yugoslavia. Mereka turut menikmati rangkaian prestasi medali perak Olimpiade 1948 dan 1952, serta runner-up Piala Eropa 1960 dan 1968. Namun memanasnya situasi politik yang berbuah konflik pada 1990-an membawa sepakbola Serbia memasuki “zaman edan”. Dalam How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menguraikan, pada 1990-an terdapat dua klub paling sengit rivalitasnya yang lazimnya memuncak pada aksi-aksi anarkisme suporter, yakni Red Star Beograd dan Partizan Beograd. Red Star juga berseteru dengan Kroasia. “Orang Kroasia, polisi, tidak ada bedanya. Akan saya habisi mereka semua,” kata Krle, pentolan Ultras Bad Boys, suporter fanatik Red Star, saat ditanya Foer tentang siapa yang paling mereka benci. Suporter Red Star Beograd (kini FK Crvena Zvezda) yang dikenal sangar di seantero Serbia (Foto: crvenazvezdafk.com ) Kroasia mereka benci lantaran Perang Yugoslavia (1991-1999). Sementara, polisi mereka benci lantaran memonopoli kepemilikan klub sepakbola bersama militer. Lucunya, Red Star sendiri dimiliki Kepolisian Serbia, Sementara musuhnya, Partizan Beograd, dimiliki militer. Dua tim sekota inilah yang paling dahsyat rivalitasnya, acap berimbas pada aksi kekerasan di luar stadion. “Fans Partizan pernah membunuh suporter Red Star berumur 15 tahun. Ia sedang duduk di stadion, mereka tembak dadanya. Monster-monster itu membunuh si bocah. Mereka tak tahu batas,” imbuh Krle menguraikan mula perseteruan mereka dengan suporter Partizan. Kejadian itu sekadar puncak gunung es dari “api dalam sekam” rivalitas kedua klub. Kebencian para suporter Red Star yang merupakan kaum nasionalis, sudah mencapai ranah harga diri dan ideologis sehingga menstimulasi aksi fisik saat Yugoslavia memasuki perpecahan. “Tentara melambangkan musuh dari cita-cita mereka. Ideologi tentara komunis menolak gagasan identitas separatis Serbia. Haram bagi soliditas buruh dan kerukunan etnis. Para pengikut Josip Broz Tito yang namanya dipakai untuk kesebelasan tentara (Partizan Beograd), telah membunuh Chetnik, pasukan nasionalis Serbia yang juga telah memerangi Nazi. Red Star pun jadi wadah bagi nasionalis Serbia yang bercita-cita merebut kembali martabat bangsanya,” sambung Foer. Željko ‘Arkan’ Ražnatović, penjahat perang dalam Konflik Balkan cum pentolan kelompok suporter Delije (Foto: dnevnik.ba/fcobilik.co.rs ) Situasi makin runyam karena pemerintah dan aparat keamanan Serbia mendukung suporter-suporter garis keras macam hooligan Inggris itu. Selain Ultras yang beranggotakan campuran dari beragam kalangan, mulai pekerja kantoran hingga mantan tukang pukul dan anggota geng, kelompok yang paling dihormati adalah Delije. Basis suporter ini dikomando Željko ‘Arkan’ Ražnatović, yang dalam Perang Balkan membentuk milisi SDG (Garda Sukarela Serbia). Lewat SDG itulah kelompok Arkan angkat senjata dalam Perang Balkan. Arkan kemudian ditetapkan sebagai penjahat perang karena membantai banyak sipil Bosnia. Saat ini, ketika Serbia telah menjadi negeri sendiri, rasisme di dalam sepakbola tetap bertahan. Sebagaimana dikatakan Coach Timo, rasisme jadi “jalan” lain aksi kekerasan suporter di sana. Di level timnas pun masih acap terjadi. Pada September 2019 dalam Kualifikasi Euro 2020, contohnya. Kala Serbia menjamu Portugal di Stadion Rajko Mitić itu, fans Serbia melancarkan teror rasisme nyaris sepanjang laga kepada para pemain berkulit hitam Portugal. Akibatnya Federasi Sepakbola Serbia didenda 33.250 euro dan dihukum dengan memainkan dua laga kandang berikutnya tanpa penonton. Semoga Witan punya mental sekuat baja seandainya diteror rasisme baik dari suporter lawan maupun suporter FK Radnik itu sendiri.
- Makanan Kaleng Merentang Zaman
PEMERINTAH Prancis mendeklarasikan sebuah sayembara unik pada 1795. Isinya: dicari orang yang mampu mengawetkan makanan. Hadiah yang ditawarkan tak tanggung-tanggung, yakni uang sejumlah 12.000 franc (setara 167 juta dalam kurs rupiah saat ini). Penggagas hajatan itu adalah Napoleon Bonaparte, jenderal Prancis terkemuka. Saat itu, Napoleon membutuhkan metode pengawetan makanan untuk menyokong logistik konsumsi pasukannya dalam persiapan menginvasi berbagai negara.
- Israel Nyaris Tenggelamkan Kapal Angkatan Laut AS
RABU (8 Juni 1967) pagi yang tenang di geladak kapal riset dan intelijen maritim AL AS USSLiberty seketika berubah mencekam ketika “tamu tak dikenal” mendekatinya. “Sesaat sebelum pukul 09.00 (waktu setempat), dua pesawat jet bermesin tunggal dan bersayap delta, mengorbit dekat Liberty tiga kali pada posisi 31-27Utara, 34-00Timur. Ketinggian pesawat diperkirakan 5.000 kaki, berjarak sekitar dua mil. Liberty memberitahu Komando atasannya, Armada Keenam dan yang lainnya tentang pengintaian ini, dan menyatakan bahwa identifikasi tidak diketahui dan belum ada laporan penguat yang akan diajukan,” tulis William D. Gerhard dalam Attack on the USS Liberty . Laut tempat Liberty berlayar itu, 13 mil lepas pantai Semenanjung Sinai, Mesir, merupakan area pertempuran pihak Israel dan pihak negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari. Saat itu perang tersebut memasuki hari ketiga. Meski AS menyatakan netral dalam perang tersebut, negeri “Paman Sam” tetap berkepentingan terhadap daerah itu sehingga mengirim Liberty untuk melakukan misi pengumpulan sinyal intelijen. “Washington menghabiskan pagi 8 Juni seperti hari-hari sebelumnya, memantau perang dari jarak aman,” tulis Michael B. Oren dalam Six Days of War: June 1967 and the Making of the Modern Middle East . Liberty yang mondar-mandir antara Al-Arish dan Port Said itu berlayar sendirian. Permintaan pengawalan menggunakan kapal perusak (destroyer) yang diminta Komandan Liberty William L McGonagle, ditolak Panglima Armada ke-6, berbasis di Mediterania, Laksamana William Martin. Menurut Martin, semua atribut yang dimiliki cukup untuk menunjukkan Liberty sebagai kapal AS dan jalur pelayaran yang digunakan Liberty merupakan perairan internasional. Dengan dua indikator tersebut, Liberty dianggapnya cukup aman dari penargetan serangan pihak-pihak yang berperang. Alhasil, Liberty mesti berlayar sendiri di jalur lalu lintas niaga internasional yang sebetulnya telah ditutup oleh Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser sejak perang pecah. Pelayaran Liberty akhirnya mencurigakan pihak Israel. Selain karena Liberty tak memberitahukan keberadaannya, perwakilan AS di Israel juga tak pernah memberitahukan keberadaan kapal itu. Padahal saat hari pertama perang, Panglima AU Israel Jenderal Yitzhak Rabin memberitahu atase AL AS di Tel Aviv Ernest Carl Castle agar AS mengevakuasi semua kepentingannya dari wilayah pertempuran atau minimal memberitahukan keberadaan kapal-kapalnya di area itu. Maka setelah beberapa penerbangan pengintaian dilakukan AL Israel sejak pagi 8 Juni, Markas AL Israel di Haifa menandai Liberty dengan titik merah alias kapal tak dikenal. Kecurigaan Israel makin besar lantaran dari semua misi pengintaian yang dibuatnya tak satu pun pilot melaporkan telah melihat bendera Amerika berukuran lima kali delapan kaki berkibar di Liberty . Misi pengintaian Israel itu jelas diketahui para awak Liberty. Pesawat-pesawat Israel itu bahkan bisa diidentifikasi dengan jelas. Namun para awak Liberty tak menaruh curiga karena mengira pesawat-pesawat Israel itu sedang mencari kapal selam Mesir yang belum lama melintas dekat Liberty . Para awak Liberty , termasuk Komandan McGonagle, tak pernah tahu hari itu merupakan jadwal Israel melancarkan operasi pengamanan pantainya. Misi itu hanya diketahui oleh Atase AL Castle, yang diberitahu Rabin beberapa saat sebelum operasi itu dimulai. Dalam pemberitahuan itu, Rabin menyarankan Castle agar AS memindahkan semua kapalnya dari perairan sebelum operasi dimulai, sebab semua kapal tak dikenal yang berlayar lebih dari 20 knot –kecepatan yang saat itu hanya bisa dijangkau oleh kapal perang– akan dimusnahkan. Peberitahuan Rabin itu tidak sampai ke awak Liberty . Ketika sebuah ledakan besar mengguncang pesisir Al-Arish pukul 11.26 waktu setempat, Israel mengganggapnya sebagai serangan pasukan Mesir terhadap pasukannya di darat sebagai pendahuluan bagi pendaratan pasukan amfibi Mesir. Israel meresponnya dengan mengirimkan tiga kapal torpedo dari Skadron 914, yang disandikan Pagoda, ke lokasi pada pukul 12.05. Celakanya, ke tempat itulah Liberty melanjutkan pelayarannya. Pukul 13.41, Aharon Yifrah, perwira informasi tempur di kapal T-204 Skuadron Pagoda, memberitahu Komandan Moshe Oren atasannya bahwa sebuah kapal tak dikenal terlihat di 22 mil timur-laut dari Al Arish. Kecepatan kapal itu, kata Yifrah, 30 knot dan bergerak ke arah Mesir. Informasi itu, tulis Michael B. Oren, “membuat Oren menyimpulkan bahwa ini adalah kapal musuh yang melarikan diri ke pelabuhan asalnya setelah menembaki posisi Israel.” Tiga kapal torpedo AL Israel pun memburu Liberty . Pemburu Liberty bertambah setelah kepala Operasi AL Israel meminta dukungan udara kepada AU Israel, yang menindaklanjutinya dengan mengirim dua pesawat tempur Mirage III. Menjelang pukul 14.00, jet-jet tempur Israel telah mendapati posisi Liberty . Sepanjang komunikasinya dengan kapal-kapal Skuadron Pagoda, para pilot jet tempur Israel terus mengidentifikasi Liberty untuk mendapatkan kepastian ia bukan kapal Soviet atau kapal Amerika. Para petugas di kapal-kapal torpedo Israel menyimpulkan, kapal buruan mereka merupakan kapal logistik Mesir El Quseir . Sementara itu, kata Oren, “(Iftah, red .) Spector (salah satu pilot AU Israel) mendapati kapal (buruannya) dan mengidentifikasinya pada ketinggian 3.000 kaki. Yang dilihatnya ‘sebuah kapal militer, kapal perang abu-abu dengan empat senapan, dengan haluan mengarah ke Port Said ... satu tiang berikut satu cerobong asap.’ Terlepas dari beberapa ‘huruf hitam’ di lambung, kapal itu tidak punya tanda-tanda lain. Deknya tidak dicat dengan salib biru dan putih yang membedakan semua kapal Israel. Pilot menyimpulkan bahwa ini adalah "Z", atau perusak kelas Hunt ( destroyer Mesir buatan Inggris), dan karena pesawatnya hanya dipersenjatai dengan kanon, ia meminta jet tambahan yang sarat dengan bom besi.” Di geladak Liberty , para awak baru saja menyelesaikan latihan penanganan serangan kimia yang rutin digelar sejak bulan sebelumnya. Karena status kesiapan ditetapkan pada Mode 3, di empat senapan mesin kalibaer 50 yang dimiliki Liberty pun diisi kru yang bersiaga. Para kru lain juga bersiaga memasok amunisi untuk senjata-senjata lainnya. Pada saat itulah dua Mirage III Israel menurunkan ketinggian dan mendekati Liberty. Komandan McGonagle terus mengamatinya dari jembatan Liberty menggunakan binokular. “Komandan McGonagle mengamati sebuah pesawat jet bermesin tunggal yang tampak serupa, jika tidak identik, dengan yang terlihat sebelumnya pada hari itu. Dengan sebuah pesawat yang diamati lewat teropongnya, komandan tak menyadari ada pesawat kedua yang melintas dari sisi kiri untuk meluncurkan roket yang diarahkan ke jembatan. Ketika roket itu meledak dua tingkat di bawah jembatannya, McGonagle memerintahkan agar sirene dibunyikan,” tulis Gerhard. Setelah meroket Liberty , Mirage-Mirage Israel itu memberondong kapal nahas itu. Badan Liberty langsung dipenuhi ratusan lubang dan tong bahan bakar di geladaknya meledak akibat berondongan itu. "Adegan di Liberty adalah neraka. Orang-orang dengan luka bakar mengerikan, tubuh mereka terkoyak pecahan peluru, berebut ke ruang tunggu ke ruang kecil yang telah diubah menjadi rumah sakit darurat. Para pelaut berbadan sehat lainnya dengan panik membakar kertas-kertas rahasia dan mengibarkan bendera besar Amerika, untuk menggantikan bendera angkatan laut asli yang telah rusak ditembak. Tak satu pun dari mereka yang tahu siapa penyerang itu. Kebanyakan mengira mereka pesawat-pesawat MiG Mesir," tulis Oren. Sembilan awak Liberty tewas seketika –versi lain menyebut 8– dan 75 lainnya luka-luka, beberapa di antaranya kemudian tewas karena luka terlalu parah. Komandan McGonagle sendiri tertembak lengan dan paha kanannya. Alih-alih menerima perawatan medis di ruang pengobatan, McGonagle memilih untuk melanjutkan tugasnya dengan memerintahkan para kru senjata melakukan tembakan balasan. Dia lalu mengirim kawat ke Armada ke-6 agar segera mengirim bantuan karena kapalnya diserang. Tembakan balasan Liberty membuat kapal-kapal torpedo Israel balik menembak. Tembakan kanonnya langsung menewaskan juru mudi Liberty. Beberapa saat kemudian, lime torpedo dilepaskan kapal-kapal Israel. Satu di antaranya langsung menembus sisi kanan bangunan utama Liberty dan menghancurkan ruang penelitian. Dua puluh lima prajurit, mayoritas dari bagian intelijen, langsung tewas dan puluhan lainnya luka-luka akibat torpedo itu. Para pilot dan pelaut Israel lalu dibuat heran. Selain sejak awal kapal buruannya tak pernah memberi respon, tembakan balasan pun hanya sebentar dan berhenti sejak torpedo dilepaskan. Mereka akhirnya dibuat kaget ketika salah satu sekoci Liberty yang mereka sergap ternyata menampilkan tanda AL AS. Pukul 15.30 semua personil Israel akhirnya sadar melakukan serangan ke target yang salah, yakni kapal AL AS. Berita salah serang itu akhirnya sampai ke markas besar militer Israel. Israel langsung mengirimkan permintaan maaf kepada Amerika melalui Castle, yang meneruskannya ke Armada ke-6 untuk kemudian diteruskan ke Washington –yang diterima Presiden Lyndon Johnson hampir dua jam kemudian. “Saya harus akui perasaan saya campur aduk tentang berita tersebut – penyesalan mendalam karena telah menyerang sahabat-sahabat sendiri dan perasaan amat lega bahwa kapal yang diserang itu bukan kapal Soviet,” kata Rabin. Permintaan maaf itu membuat Laksamana Martin memanggil pulang pesawat-pesawat tempur AS yang diterbangkan dari kapal induk USS America untuk memberi bantuan pada Liberty . Pukul 17.05, Liberty yang hampir tenggelam akhirnya terhuyung-huyung melanjutkan pelayaran menuju Malta dengan 34 awak yang tewas dan 171 terluka di dalamnya. Meski awalnya membuat semua pihak AS marah, Presiden Johnson akhirnya setuju dengan tawaran Israel berupa pembayaran kompensasi. Sebanyak 12 juta dolar uang kompensasi akhirnya dibayarkan Israel kepada keluarga para korban. Jonhson lalu membiarkan penyelesaian insiden itu dengan memfokuskan perhatian ke tempat-tempat lain seperti Vietnam, membuat selubung misteri Insiden USS Liberty masih belum terbuka seluruhnya meski berbagai investigasi, termasuk yang dibuat AL AS dan pemerintah Israel, telah diselesaikan beberapa tahun kemudian. “Tuduhan paling tersebar luas menyatakan bahwa Israel –khusunya Menhan Mose Dayan – menginginkan agar Liberty dimusnahkan untuk menyembunyikan persiapan penyerangan ke Suriah,” tulis Michael B. Oren.
- Artati Marzuki, Menteri PD dan K di Tengah Konflik Departemen
MENYUSUL terjadinya krisis internal di tubuh Departemen Pendidikan, pemerintah menunjuk Artati Marzuki Sudirdjo sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan (PD dan K) pada Agustus 1964. Artati dianggap mampu melanjutkan jalannya roda departemen itu meski tak punya jejak karier dalam dunia pendidikan. Kariernya didominasi sebagai diplomat, sejak 1949. Sebelum menjadi Menteri PD dan K, Artati yang lahir di Salatiga pada 15 Juni 1921 bekerja di Komite Urusan Luar Negeri dan sebagai Panitia Persiapan Penyerahan Kedaulatan Republik Indonesia pada 1949. Sejak 1950 ia menjadi perwakilan tetap Indonesia pada berbagai pertemuan PBB. Dalam Menteri-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Sejak Tahun 1966, Sumardi menyebut keaktifan dan kepintaran Artati membuatnya diberi gelar Minister Counsellor oleh Kedutaan Besar RI di Roma. Penunjukan Artati sebagai menteri PD dan K bertujuan utama untuk menertibkan lingkaran dalam departemen, menciptakan suasana kerja yang baik, dan membuat instansi tersebut terbebas dari polarisasi politik. Sebelum Artati menjabat, Departemen Pendidikan terbagi menjadi dua blok. Blok pertama terdiri atas pejabat dan pegawai beraliran komunis yang bergabung dengan Serikat Sekerja Pendidikan (SSP). Sebagian lain ialah pekerja pendidikan yang juga anggota partai politik (PNI) dan berideologi agama, yang bergabung dengan Serikat Sekerja Pendidikan dan Kebudayaan (SSPK). Artati Marzuki. Benih-benih pertentangan politik mulai bersemi di lingkungan PD dan K sejak awal 1960-an. Sebagai akibatnya, PGRI makin sulit mempertahankan sifat independennya karena baik SSP maupun SSPK saling berusaha menguasai situasi. Mereka saling berlomba untuk menentukan arah kebijakan departemen, khsusunya yang berupa program pendidikan dan kebudayaan nasional. Pertentangan dua kelompok tersebut terjadi bersamaan dengan polarisasi kekuatan politik di lingkungan masyarakat, antara kelompok aliran nasionalis, agamis, dan komunis. Pada 1960, Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (PP dan K) Prof. Prijono mengajukan konsep Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan nasional dan Manipol-Usdek sebagai dasar pendidikan nasional. Panca Wardhana berisi perkembangan Cinta Bangsa dan Tanah Air, Moral, Nasional, Internasional, Keagamaan; Perkembangan Intelegensia; Perkembangan Emosional, Artistik atau Rasa Keharuan dan Keindahan Lahir Batin; Perkembangan Kerajinan Tangan; dan Perkembangan Jasmani. Konsep itu mulanya tak menimbulkan gejolak. Kelompok Maerhaenis dan agama bisa menerimanya. Ditambah lagi, Pancasila dimasukkan sebagai sistem pendidikan nasional sebagai falsafah dalam Panca Wardhana. Gejolak konflik dimulai ketika pada 16-18 Februari 1963 Lembaga Pendidikan Nasional yang berafiliasi dengan PKI menyelenggarakan seminar “Pendidikan Mengabdi Manipol”. Dr. Busono Wiwoho dari UGM menjadi salah satu pembicara dalam seminar tersebut. Dalam kesempatan itu, Busono menyampaikan Panca Cinta: Cinta pada nusa-bangsa, ilmu pengetahuan, kerja dan rakyat bekerja, perdamain dan persahabatan antar bangsa-bangsa, dan orang tua. Menurut Busono, Panca Cinta itu merupakan inti dari Panca Wardhana. Seminar ini menjadi puncak pergolakan kelompok agamis dan marhaenis melawan kelompok komunis dalam Departemen Pendidikan. Kelompok marhaenis dan agamis menuduh Panca Cinta menghilangkan sila pertama Pancasila. Kekisruhan itu memaksa Menteri Prijono menengahi dengan mengatakan bahwa Panca Wardhana dan Panca Cinta tidak saling bertentangan, namun saling mengisi. Namun, para marhaenis dan agamis menganggap seminar itu tetap mengaburkan sila 1 Pancasila. Konflik antara SSPK dan SSP meningkat di dalam tubuh Departemen Pendidikan dengan penyelenggaraan seminar tandingan, “Penegasan Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional”, yang diselenggarakan kelompok marhaen dan agama pada 16-17 Juli 1963. Hasil seminar ini diajukan pada presiden untuk menetapkan keputusan tegas mengenai sistem pendidikan nasional. Buahnya adalah Penpres No. 19 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Namun polarisasi politik dalam tubuh Kementerian P dan K tak dapat dibendung. Posisi Prof. Prijono pun digantikan oleh Artati Marzuki. Sementara, Prof. Prijono naik menjadi menteri koordiantor yang membidangi Kompartemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Dwikora. Suradi HP dalam Sejarah Pemikiran Pendidikan dan Kebudayaan menyebut, boleh dikatakan patokan-patokan penting yang telah digariskan oleh menteri sebelumnya tidak mengalami perubahan. Tugas utama Artati adalah meredakan konflik dalam tubuh Departemen Pendidikan. “Kebudayaan kita harus bersifat anti-imperialisme, anti-feodalisme, dan anti-neokolonialisme. Kebudayaan kita harus bersifat kebudayaan rakyat yang progresif revolusioner,” kata Artati dalam pidatonya sebagai menteri, 28 Mei 1965, seperti dimuat dalam Harian Rakjat.
- Kematian 5 Mahasiswa Indonesia di Belanda
Permulaan abad ke-20, banyak bangsawan di Hindia Belanda yang mulai berminat belajar ke Belanda. Sejak Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak Kartini, menjadi generasi pertama orang Indonesia yang bersekolah di Belanda, para bangsawan berlomba menyekolahkan anaknya di sana. Mereka berharap memperoleh pengetahuan untuk membangun dan menjaga kekuasaannya. Di samping urusan gengsi antar bangsawan. Namun persoalan hidup di Belanda bukanlah perkara mudah bagi orang Indonesia. Keadaan iklim dan kebiasaan makan (termasuk jenis makanan) yang berbeda menjadi sebab banyak dari mereka yang kemudian jatuh sakit. Bahkan hingga menelan korban jiwa dalam kasus tertentu. Dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, sejarawan Harry A. Poeze mencatat jika antara 1913-1920 terdapat 5 orang Indonesia yang meninggal. Baca juga: Orang Indonesia Pertama di Kabinet Belanda Mengingat kecilnya jumlah keseluruhan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di sana, dan dalam umur muda pula, angka kematian itu memang cukup menjadi sorotan. Karena itu beberapa kali para pejabat Belanda dan para ahli mengemukakan kalau menempuh pendidikan di Eropa bukan pilihan yang bagus bagi orang Indonesia, utamanya jika ditinjau dari segi kesehatan. Perlu adanya penyaringan yang ketat untuk hal tersebut. “Meninggalnya orang-orang muda di tempat yang jauh dari tanah-airnya itu merupakan tragedi yang luar biasa,” ungkap Poeze. Berikut 5 mahasiswa Hindia Belanda (Indonesia) yang meninggal dunia saat proses studi di Belanda. Raden Mas Ario Notowirojo Raden Mas Ario Notowirojo tercatat sebagai mahasiswa Indonesia pertama yang wafat ketika sedang menempuh studi di Belanda. Ario Notowirojo meninggal pada April 1913, dalam usia 22 tahun. Ia meninggal akibat penyakit TBC (tuberculosis) yang dideritanya ketika sudah tinggal di Belanda. Ario Notowirojo tiba di Amsterdam pada 1910 untuk mengikuti pendidikan di sekolah dagang. Sebelum meninggal ia sempat mendapat perawatan di Swiss. Namun usaha medis itu tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Kematian Ario Notowirojo itu menjadi pukulan berat bagi Praja Pakualaman. Karena Ario Notowirojo adalah putra Paku Alam VII, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo (1882-1937). Praja Pakualaman berdiri pada 17 Maret 1813 di bawah pimpinan Bendara Pengeran Harya Natakusuma, dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam I. Pemerintahan Pakualaman berada di wilayah Yogyakarta. Namun status kekuasaannya tidak lebih besar dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Baca juga: Kantor Sultan Yogyakarta Diserbu Belanda Kematian Ario Notowirojo begitu membekas di kalangan orang-orang Belanda, utamanya yang mengenal sosok almarhum. Pejabat Hindia Belanda Jacques Henrij Abendanon bahkan sampai menulis artikel peringatan kematian Notowirojo di Voordracten en Mededeelingen van de Indische Vereeniging . Ario Notowirojo, kata Abendanon, datang ke Belanda dengan semangat yang tinggi untuk memperdalam ilmu pengetahuan agar dapat memimpin pemerintahan di negerinya. Ia disebut berkeinginan kuat membawa kemajuan di bidang ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan perdagangan dan industri. Mempelajari perekonomian dunia diyakini Ario Notowirojo sebagai jalan tercepat mewujudkan mimpinya itu. “Ada hal-hal lain yang menyebabkan semua orang yang mengenal Notowirojo akan selalu mengenangnya dan menyesalkan kepergiannya yang terlalu dini itu, yaitu kelembutannya, budi pekertinya yang menyenangkan, kemauannya yang keras, dan semangat yang memancar di matanya. Semangat ini, hasrat jiwanya untuk hidup dan bekerja demi bangsa ini, tidak akan hilang. Ia akan hidup terus di hati ribuan orang,” tulis Abendanon. Raden Basoeki Raden Basoeki (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950) Mahasiswa Indonesia selanjutnya yang juga meninggal dunia akibat penyakit TBC adalah Raden Basoeki. Ia tutup usia pada September 1915, dalam usia 21 tahun. Raden Basoeki tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pertanian Tinggi di Wageningen, Belanda. Ia juga merupakan putra Atmodirono, arsitek pertama di pemerintahan Hindia Belanda yang berasal dari golongan pribumi. Dalam majalah mahasiswa Wageningen ditulis sebuah kenangan tentang detik-detik terakhir hidup Raden Basoeki yang cukup menyayat hati. Seperti dikutip Poeze: “Di dalam matanya saya baca keinginan yang sangat untuk melihat tanah kelahirannya di selatan yang kaya sinar matahari. Ia hanya bisa menyembuhkan diri di bawah naungan pohon palem dan beringin di tanah airnya yang menyenangkan dan selalu hijau. Terasa oleh saya, untuk dia meninggal begitu jauh dari tanah air, dari orangtua, dari handai taulan itu sungguh mengerikan. Basoeki menderita dengan diam dan tabah, seperti biasa pada orang-orang sebangsanya.” Baca juga: Raja Nusantara di Penobatan Ratu Belanda Penghormatan terhadap sosok Raden Basoeki juga datang dari Abendanon. Dalam majalah Koloniaal Weekblad , sang pejabat Hindia Belanda ini memberi laporan perihal pemakaman almarhum. Ahli hukum Belanda Conrad Theodore van Deventer mendapat kesempatan berbicara saat upacara pemakaman. Ia hadir sebagai ketua Tjandistichting (Perhimpunan Yayasan Tjandi) yang melakukan pengawasan terhadap sejumlah mahasiswa Indonesia, termasuk Raden Basoeki. Van Deventer menyebut kematian Raden Basoeki cukup mendadak karena sembilan hari sebelum kematiannya mereka sempat bertemu dan si mahasiswa terlihat baik. Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950) Kematian Raden Mas Ario Soerjo Soebandrio menjadi yang paling mengejutkan. Musibah yang menimpa keluarga Praja Mangkunegaran itu diratapi oleh kaum elit Jawa. Peran Raden Soebandrio begitu diharapkan keluarga Mangkunegaran dalam proses pembangunan Praja Mangkunegaran di wilayah kekuasaannya, Surakarta. Praja Mangkunegaran sendiri berkuasa di Surakarta sejak 1757 sampai 1946. Kerajaan otonom ini merupakan pecahan dari Dinasti Mataram, yang dikenal sebagai Wangsa Mangkunegaran. Namun praja ini tidak memiliki otoritas sebesar Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Para penguasa Mangkunegaran bergelar “Pangeran Adipati Arya” karena mereka tidak berhak menyandang gelar “Sunan” atau “Sultan”. Penguasa pertama praja ini adalah Raden Mas Said, dengan gelar Mangkunegara I. Raden Mas Soebandrio merupakan adik dari Mangkunegara VII, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria. Bastomi S dalam Karya Budaya Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegara I-VIII , menyebut jika putra-putri Mangkunegara V (ayah Raden Mas Soebandrio) berjumlah 28 orang. Mangkunegara VII adalah anak ketujuh, sementara keterangan mengenai urutan ke berapa Raden Mas Soebandrio di dalam persaudaraan yang besar itu tidak dijelaskan. Baca juga: Mengintip Masa Lalu dari Mangkunegaran Kegiatan studi Raden Mas Soebandrio di Belanda tersebut sebenarnya mengikuti jejak kakaknya. Diketahui Mangkunegara VII pernah mengenyam pendidikan di Universitas Leiden, Belanda, selama 3 tahun, sebelum akhirnya kembali ke Mangunegaran untuk menggangikan pamannya, Mangkunegara VI yang mengundurkan diri pada 1916. Selama berada di Negeri Belanda, Raden Mas Soebandrio tinggal bersama Noto Soeroto, yang kemudian hari dikenal sebagai penyair Jawa pertama yang karya-karyanya dikenal dalam ranah kesusastraan Belanda. Si Penyair mengajarkan banyak hal kepada Raden Mas Soebandrio, utamanya pendalaman bahasa-bahasa Barat yang dikuasainya. Athanasius Djajeng-Oetama Nisan Athanasius dan Linus (Repro Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950) Athanasius Djajeng-Oetama adalah salah satu mahasiswa Indonesia yang menempuh pendidikan keagamaan di Belanda. Ia datang bersama 4 mahasiswa lainnya antara tahun 1916-1920. Mereka dikirim oleh kelompok pater Jesuit yang mendirikan beberapa sekolah di Muntilan, Jawa Tengah. Melalui sekolah-sekolah inilah, agama Katholik tersebar. Banyak murid yang diarahkan untuk menjadi pendeta. Sehingga pendidikan Katolik-Roma di Belanda penting untuk diikuti. Athanasius merupakan orang beruntung yang berkesempatan menimba ilmu keagamaan di Belanda. Namun takdir memaksa Athanasius melupakan cita-citanya menjadi pendeta. Ia wafat sebelum dapat menyelesaikan pendidikannya. Mahasiswa ini meninggal dunia pada Maret 1918 setelah berjuang melawan suatu penyakit ganas selama beberapa minggu. Tidak ada informasi tentang jenis penyakit apa yang diderita Athanasius. Meski begitu perjuangannya tergambar jelas di dalam Majalah St. Claverbond tahun 1918. Hari-hari terakhir Athanasius dihabiskan dengan berdoa bersama para pendeta dan suster yang merawatnya di gereja. Ia telah berjuang melawan penyakitnya. Namun kondisinya terus menurun dan tidak ada dokter yang mampu menyembuhkannya. Para pendeta pun sudah melakukan kebaktian terakhir baginya. Baca juga: Langkah Awal Anak Pendeta “Sama sekali tidak dibesar-besarkan, bahwa meninggalnya Athanasius dirasakan sekali oleh semua orang di sekitarnya. Mereka merasakan betapa indah dapat dimakamkan bersama dia,” ditulis majalah St. Claverbond. Athanasius memang dikenal memiliki kepribadian yang baik. Ia pintar dan mudah untuk bergaul. Karenanya banyak orang yang merasa kehilangan sosok pemuda Jawa yang baik hati ini. Pemakaman Athanasius dilangsungkan di taman pemakaman di Noviciaat di Mariendaal. Upacara pelepasan dilakukan langsung oleh Kepala Biara. Keluarganya dari Jawa turut hadir. Kawan-kawan sesama mahasiswa di Belanda pun banyak yang menghadiri pelepasan Athanasius. Linus Sardal Pontja-Soevonda Sama seperti Athanasius, Linus Sardal Pontja-Soevonda juga terdaftar sebagai mahasiswa keagamaan di Belanda. Linus datang bersama rombongan calon pendeta Jawa antara tahun 1916-1920. Nasibnya sama-sama kurang beruntung seperti Athanasius. Ia meninggal dunia pada April 1920 akibat penyakit TBC. Linus telah berkali-kali terhindar dari kematian. Secara medis hidup Linus seharusnya sudah berakhir sejak 1919. Namun ia mampu bertahan. Diketahui para pendeta telah melakukan tiga kali pembacaan doa terakhir untuknya –berarti tiga kali pula Linus terhindar dari kematiannya. Setiap kali Linus terhindar dari kematian, kondisi fisiknya ikut kembali prima. Ia bahkan tidak terlihat seperti orang yang baru saja sakit. Namun pada Maret 1920, kondisi Linus benar-benar kritis. Setiap orang yang melihatnya berharap kematian kembali menghindari Linus. Tetapi tubuhnya sudah tidak dapat menahan penderitaannya. 6 April 1920 semua kerabat telah berkumpul. Hari berikutnya Linus pergi untuk selamanya. Ia lalu dimakamkan di pemakaman Noviciaat Sarikat Jesus. “Kalau Linus sudah di surga, Linus akan mengkristenkan seluruh Jawa,” ucap pendeta yang mempin upacara pemakaman. Kematian Athanasius dan Linus sempat membuat gempar. Banyak calon pendeta dari Jawa yang akhirnya enggan pergi menuntut ilmu ke Belanda. Mereka takut kejadian kedua pendahulunya itu menimpa mereka. Namun tahun-tahun setelahnya, keadaan kembali normal. Banyak calon pendeta yang kembali pergi ke Belanda. Baca juga: D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta
- Sepakbola di Tanah Buangan
Sepakbola memang olahraga sejuta umat. Dengan sebuah bola dan tanah lapang, orang-orang sudah bisa bermain sepakbola. Tak terkecuali para tahanan politik di Tanah Merah Boven Digul, Papua. Sepakbola jadi andalan untuk memecah kesunyian kamp dan mengisi waktu luang. Sepakbola di Tanah Merah bermula ketika kaum buangan membentuk organisasi kesenian dan olahraga bernama Kunst, Sport en Voetbal Vereeniging Digoel (KSVD). KSVD dipimpin oleh buangan asal Bandung, Wiranta yang kemudian digantikan oleh Sabariman. KSDV seringkali mengadakan pertandingan. Selain sebagai olahraga, sepakbola juga sebagai hiburan. Tak butuh waktu lama, sepakbola menjadi olahraga favorit kaum buangan. Setelah KSVD, muncul kesebelasan-kesebelasan lain, seperti Sinar Perdamaian dan SH ( Sport for Health ). “Olahraga sepak bola terhitung yang paling menarik penduduk Digul tua dan muda, laki-laki dan perempuan. Setelah terbuka beberapa kampung, maka kumpulan sepakbola bertambah jumlahnya,” tulis Sunaryo Mangunadikusumo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul. Pertandingan persahabatan juga diadakan untuk menyambut rombongan tahanan baru maupun ketika ada tahanan yang dipulangkan ke kampung halaman. Misalnya ketika rombongan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir tiba pada 1935. “Seminggu setelah kami tiba, sebagai pendatang baru kami menerima penghormatan dari teman-teman penghuni lama dengan mengadakan pertandingan persahabatan sepakbola. Kami dari PNI berjumlah tujuh orang, ditambah teman-teman dari Partindo dan PSII,” kenang Mohammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks Digulis. Kesebelasan rombongan 1935 ini berisi orang-orang pergerakan yang namanya cukup terkenal. Hatta menjadi bek kanan, Sutan Sjahrir menempati posisi gelandang kiri, sedangkan Bondan menjadi pengapit kiri. Gawang dijaga oleh Murwoto, bek kiri Burhanuddin, poros Maskun, gelandang kanan H. Nurdin, penyerang Muhidin Nasution, pengapit kanan Suka, kanan luar H. Jalaludin Thaib, dan kiri luar Datuk Singo Marajo. “Kesebelasan yang tersusun hanya secara kebetulan saja ini terhitung kuat dan dapat mengalahkan beberapa kesebelasan di Tanah Merah. Kekalahan 1-0 hanya oleh SH yaitu kesebelasan yang terkuat waktu itu,” tulis Sunaryo dkk. Kesebelasan SH berisi pemain-pemain yang tangguh. Beberapa dari mereka adalah anak-anak yang dibesarkan di Tanah Merah. Dua yang terkenal adalah Suparno dan Sendang yang kira-kira berumur 15-16 tahun. Suparno dan Sendang seringkali lepas dari penjagaan. Hatta sebagai bek kanan yang tangguh pun seringkali dengan mudah diterobos dengan lari kencang. Hatta tertinggal jauh karena kehabisan napas, sementara bek kiri Burhanuddin juga tidak sempat menghalangi serangan cepat mereka. “Satu kali tendangan keras dari Suparno menuju gawang dan Murwoto tidak dapat menyelamatkan gawangnya. Kemasukan gol itu pada babak kedua dan sampai permainan berakhir kesebelasan 1935 tidak dapat membalas,” tulis Sunaryo dkk. Pertandingan lain yang cukup meriah diadakan ketika Sayuti Melik hendak dipulangkan ke Jawa. Pertandingan persahabatan kali itu mempertemukan kesebelasan Sinar Perdamaian dengan KSDV. Hampir seluruh penduduk kampung menonton sepakbola perpisahan Sayuti Melik itu. Pertandingan sepakbola di Tanah Merah, menurut Bondan, ternyata juga memperlihatkan konflik di antara kaum buangan. Tepatnya, pertentangan antara werkwilliger dan naturalist . Werkwilliger adalah istilah untuk tahanan yang memiliki kesempatan untuk dipulangkan karena loyal terhadap pemerintah. Sementara naturalist adalah mereka yang tidak mau bekerja untuk pemerintah. Kelompok werkwilliger memiliki lapangan sepak bola sendiri di Kampung C. Sedangkan lapangan bola kelompok naturalist berada di Kampung B. “Adanya dua lapangan sepak bola membuktikan bahwa dulunya pernah terjadi konflik mental politik antara kedua golongan itu. Tetapi, kami tidak membedakan dua golongan itu dalam pergaulan, tidak membenci kepada mereka yang menjadi werkwilliger meskipun kami mengambil sikap naturalist, ” kata Bondan. Menurut Bondan, konflik dan istilah-istilah itu sengaja dibuat oleh pemerintah kolonial. Politik adu domba digunakan untuk melemahkan semangat perjuangan orang-orang buangan.
- Eksotiknya Akar Sejarah Karnaval Rio
JUTAAN orang sudah bersiap menyambut pesta jalanan terbesar di dunia, Carnaval do Rio de Janeiro alias Karnaval Rio di Brasil. Ajang itu menghadirkan parade ribuan penari dan peserta karnaval berkostum flamboyan, glamor, eksotis hingga vulgar. Tahun ini karnaval itu “direcoki” kecemasan akan virus corona yang tengah mewabah di 27 negara dan menjangkiti sekira 60 ribu orang di seluruh dunia. Karnaval Rio biasanya digelar tahunan selama sepekan, dimulai setiap hari Jumat jelang ibadah puasa prapaskah (51 hari sebelum Paskah) dalam Katolik, agama yang dianut mayoritas rakyat Brasil. Untuk tahun ini, Karnaval Rio rencananya dihelat sepanjang 21-26 Februari 2020. “Memang wabah virus ( corona ) itu mengkhawatirkan karena akan ada banyak orang bepergian ke sana-sini dan juga banyak turis datang ke sini dari segenap penjuru dunia,” terang pejabat dinas kesehatan kota Rio de Janeiro Patricia Guttman, dikutip Daily Mail , Kamis (13/2/2020). Parade blocos atau kirab usungan raksasa yang ikonik di tiap perhelatan Karnaval Rio (Foto: riocarnaval.org ) Meski hingga saat inibelum ditemukan kasus virus corona di “Negeri Samba”, setidaknya 34 dari 60 ribu orang yang terjangkit di seluruh dunia merupakan warga Brasil di luar negeri. “Namun kami siap untuk (menggelar) karnaval,” tegas Guttman. Sebagai langkah pencegahan, pemerintah kota Rio sudah menyiapkan 120 kamar karantina di berbagai rumahsakit serta melatih tenaga-tenaga medis untuk mendeteksi gejala-gejala virus corona. Tak ketinggalan, para tenaga medis yang bersiaga dalam karnaval bakal dilengkapi masker dan pakaian khusus antivirus siap pakai jika terdeteksi ada kasus virus corona. Secuil Tradisi Romawi hingga Portugis Hingga zaman kiwari, belum ada peneliti yang bisa memastikan detailnya sejak kapan akar Karnaval Rio berhulu. Namun beberapa bukti mengejutkan. Festival semacam itu, kata bukti-bukti tersebut, sudah ada sejak eksisnya permukiman penjelajah Romawi di beberapa wilayah di Brasil sejak tahun 19 SM.Mereka datang jauh sebelum bangsa Portugis yang dipelopori Pedro Álvares Cabral pada tahun 1500. Maka ada kisah perayaan semacam Karnaval Rio berawal dari pesta yang acap digelar para pendatang Romawi di Rio, dalam rangka perayaan penghormatan terhadap Bacchus, dewa anggur. Kisah ini diperkuat oleh penemuan sejumlah artefak dari bangkai kapal era Romawi pada 1976 di Teluk Guanabara oleh beberapa nelayan pemburu lobster. Sejarawan Gary Fretz menyimpulkan dalam esai nya “The First Europeans to Reach the New World” , dikutip Frank Joseph dalam The Lost Colonies of Ancient America , bahwa orang Eropa pertama yang datang ke Brasil tak lain adalah bangsa Romawi, bukan bangsa Portugis di permulaan abad ke-16. Se iring dengan bermukimnya bangsa Romawi , se jumlah tradisi seperti p erayaan pemujaan Dewa Bacchus , turut mereka seb arkan . Semuabermula karena garam,komoditas paling berharga bagi manusia di zaman itu.“Bangsa Romawi punya tempat produksi garam yang besar di Ilha do Sal (pulau garam, kini Pulau Sal) di Kepulauan Cape Verde, 350 mil lepas pantai Afrika Barat. Lokasinya terletak dalam garis lurus arus gelombang panas dan angin kering dari Gurun Sahara yang sangat mudah bisa membawa kapal garam Romawi terdampar ke Teluk Guanabara,” ujar Fretz. Ilustrasi perayaan Entrudo di masa kolonial (Foto: ipanema.com ) Setelah Romawi runtuh, tradisi itu turut terhenti. Perayaan besar semacam pesta serupa dan jadi cikal bakal Karnaval Rioadalah perayaan Entrudo yang dibawa bangsa Portugis. Perayaan itu asalnya merupakan tradisi dari Kepulauan Madeiradan Cape Verde. Beberapa sumber menyebut bahwa Entrudo sudah sering digelar di Brasil sejak abad ke-16, setelah kedatanganCabral. Meski begitu, ungkap John J. Crocitti dan Monique Vallance pada risetnya yang disusun dalam Brazil Today: An Encyclopedia of Life in the Republic , gelaran Entrudo pertama yang tercatat arsip sejarah Portugis terjadi pada 1641. Seperti halnya Karnaval Rio saat ini, Entrudo juga digelar jelang puasa prapaskah. “Perayaannya dihelat di jalan-jalan, di mana orang-orang menggelar perang air yang mereka saling lempar dengan ember, limões de cheiro , semacam bola lilin yang diberi pengharum, dan tak ketinggalan perang telur dan tepung,” jelas Crocitti dan Vallance. Entrudo mulanya sekadar perayaan bagi kelas menengah bangsa Portugis dan para budak. Oleh karenanya Entrudo acap dihelat dengan parade kreasi kostum glamor para budak meniru para tuan mereka. Seiring dihapuskannya perbudakan di Brasil pada 1888, Entrudo tak lagi hanya dinikmati kelas pekerja, warga kulit hitam , dan mulattos (blasteran Afro-Eropa). Kaum elit ikut menikmatinya . Kolase parade cordões yang khas dalam Karnaval Rio (Foto: riodejaneiro.com/riocarnaval.org ) Pasca-kemerdekaan Brasil pada 1822 yang mengakibatkan ditinggalkannya warisan Portugis, mereka membuat perayaan yang lebih teroganisir pengganti Entrudo . Ranchos carnavalescos , misalnya. Di awal abad ke-20,perayaan ranchos carnavalescos masih tertular pengaruh tradisi kaum Afro-Brasil era perbudakan, yakni blocos dan cordões . Pengaruh itu dipertahankan hingga kini sebagai cirikhas Karnaval Rio. Sejarawan Brasil Ana Lucia Araujo dalam Public Memory of Slavery memaparkan, blocos adalah semacam kirab kreasi kontemporer raksasa yang diusung, dan cordões adalah parade penari yang memakai kostum-kostum glamor, flamboyan, dan vulgar. Keduanya dibawakan oleh Escola de Samba atau sekolah Samba, organisasi kontes kostum yang berdiri sejak 1928. “ Escola de Samba mayoritas terdiri dari warga Afro-Brasil, kegiatan mereka dimasukkan secara resmi ke perayaan karnaval oleh pemerintahan (presiden) Getúlio Vargas. Di periode yang sama, Komisi Pariwisata Brasil juga mulai mensponsori Escola de Samba jelang persiapan parade sepanjang tahun,” ungkap Araujo. Sejak saat itu, Karnaval Rio tak hanya sekadar perayaan jelang puasa prapaskah, namun juga ajang kontes kostum dan kirab. M eski m ulanya Karnaval Rio di gra t iskan untuk umum, namun per 1961 ia menjadi tontonan berbayar .
- Tugu Pak Sakerah dan Wali Kota Surabaya dari PKI
Alun-alun contong berada tak jauh dari pertemuan Jalan Pahlawan dan Jalan Kramat Gantung, Surabaya, sekitar 600 meter dari Tugu Pahlawan. Kini, kawasan ini lebih dikenal dengan daerah Baliwerti. Alun-alun contong dibentuk pada abad ke-19, saat bangunan kampung dikorbankan untuk membangun terusan Jalan Gemblongan ke arah utara sebagai tembusan dengan ujung selatan Pasar Besar (kini Jalan Pahlawan). Nama contong diambil dari tugu berbentuk kerucut atau contong yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Namun, ada juga yang menyebut karena denah tanahnya berbentuk kerucut. Menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Djawa Tempo Doeloe, pada 1889, lapangan ini diberi nama Von Bultzingslowenplein, diambil dari nama Gunther von Bultzingslowen (1839-1889), mantan konsul Jerman di Surabaya. Ia berjasa terhadap Palang Merah Belanda dalam Perang Aceh I (1878-1874). "Tugu di tengah alun-alun dibangun untuk memperingati jasanya. Tugu yang berdiri sampai tahun 1960-an ini berbentuk kerucut atau contong. Itulah sebabnya, lokasi ini oleh rakyat disebut alun-alun contong," tulis Olivier.. Menurut Sarkawi B. Husain, dosen ilmu sejarah Universitas Airlangga, Surabaya, dalam Negara di Tengah Kota, Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan: Surabaya, 1930-1960 , proses penghancuran monumen Bultzingslowen tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi, pada saat Moerachman, menjabat walikota Surabaya (1964-1965), monumen ini akan dirobohkan dan diganti dengan tugu petani. Profil Moerachman terdapat dalam Gema Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Peralihan Propinsi Djawa-Timur. Disebutkan bahwa Moerachman lahir pada 25 November 1929 di Bentjuluk, Banyuwangi. Dia mengenyam pendidikan SMA bagian B. Pada masa revolusi kemerdekaan, dia bergabung dengan Polisi Militer (1946),komandan Batalion 400 Tentara Pelajar di Besuki (1946/1947), komandan Operasi di Sektor TRIP daerah Gunung Argopuro dan Komandan Operasi Sektor III/a. Kes. Co. Kawi Selatan pada masa agresi militer Belanda I dan II. Moerachman kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia sempat menjabat ketua senat mahasiswa kemudian sekretaris I dewan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia aktif dalam organisasi CGMNI dan pernah memimpin delegasi Indonesia ke Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika di Bandung. Moerachman dari nonpartai dicalonkan oleh PKI sebagai anggota DPRD Peralihan Provinsi Jawa Timur dan tergabung dalam Fraksi Progresif.Pemilihan umum lokal memilih anggota DPRD yang definitif untuk menggantikan DPRD Peralihan dilakukan pada 26 Juli 1957. PKI keluar sebagai pemenang. Partai lain menuduh PKI curang. Pemilihan ulang diadakan pada 25 Februari 1958 yang tetap dimenangkan oleh PKI. Setelah sususan DPRD Kota Surabaya terbentuk, maka diadakan pemilihan walikota untuk menggantikan Raden Istidjab Tjokrokoesoemo yang memasuki masa pensiun. Kader PKI, dr. Satrio Sastrodiredjo, dokter lulusan NIAS Surabaya (cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga), terpilih sebagai walikota Surabaya periode 1958–1963. Setelah masa jabatannya habis, Satrio diangkat menjadi wakil gubernur Jawa Timur. Dia digantikan oleh Moerachman sebagai wali kota Surabaya. Dia ditunjuk langsung oleh Presiden Sukarno atas usulan dari PKI dan SOBSI Kota Surabaya. Dengan demikian, selama dua periode berturut-turut wali kota Surabaya berasal dari PKI. Tugu Gunther von Bultzingslowen di alun-alun contong. ( ebay.com ). Tugu Pak Sakerah Sewaktu menjabat wali kota Surabaya, Moerachman sempat merencanakan pembongkaran monumen Bultzingslowen dan menggantinya dengan tugu petani sebagai bentuk penghormatan kepada para petani. "Baiklah kalau tugu kolonial yang terletak di alun-alun contong yang hingga kini masih tegak berdiri diganti dengan tugu petani. Bentuk dari petani tersebut akan diwujudkan sebagai Pak Sakerah dengan celana panjang dan sarung dibebankan. Wujud tersebut selain mengingatkan pada Pak Sakerah yang berjuang melawan Belanda, juga wujud dari pakaian itu yang sering kita jumpai pada petani di Madura," kata Moerachman dalam sambutan acara peringatan Hari Wanita Internasional, sebagaimana dikutip Surabaja Post , 11 Maret 1964. Menurut Sarkawi, meskipun bukan anggota PKI (nonpartai) , Moerachman memiliki hubungan dekat dengan partai yang memperolehsuara terbanyak di Kota Surabaya pada Pemilu 1955 itu . Oleh karena itu, tujuan penggantian tugu kolonial menjadi tugu Pak Sakerah merupakan gambaran perjuangan PKI yang membela kaum buruh dan tani . Sayangnya, pembangunan tugu Pak Sakerah tidak sempat terwujud. Penyebabnya, setahun setelah Moerachman menyampaikan gagasannya meletus peristiwa G30S. Peristiwa ini menyebabkan dia diberhentikan sebagai wali kota Surabaya. “Oleh karena itu, kalau kita jalan-jalan ke alun-alun contong yang kita temukan saat ini adalah patung perjuangan, bukan patung Pak Sakerah,” tulis Sarkawi. Moerachman ditahan di penjara Kalisosok, kemudian dibunuh dan dihilangkan. Sampai sekarang tidak diketahui makamnya. Militer kemudian mengambil alih posisi walikota Surabaya.Letnan Kolonel Soekotjo, Komandan Korem Surabaya, menjabat wali kota Surabaya dua periode (1965–1974). Foto dr. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman (dilingkari merah) dipasang bersama wali kota Surabaya sejak tahun 1916 sampai Tri Rismaharini, di Museum Kota Surabaya. (Dok. Purnawan Basundoro). Foto yang Hilang Menurut Purnawan Basundoro, dosen ilmu sejarah Universitas Airlangga, Surabaya, selama masa Orde Baru, apapun yang memiliki hubungan dengan PKI dilarang ditampilkan di ruang-ruang publik. Demikian pula dengan foto Satrio dan Moerachman. Foto keduanya tidak pernah dipasang dalam deretan foto-foto wali kota Surabaya, baik di buku-buku maupun di gedung-gedung pemerintah Kota Surabaya. Hingga kekuasaan Orde Baru runtuh, semua wali kota Surabaya tidak ada yang berani memasang foto dua wali kota itu. Pada 2004, saat audiensi dengan Wali Kota Surabaya Bambang D.H., Departemen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga dimintai pendapat mengenai dua foto wali kota tersebut. "Saya sempat menjelaskan bahwa sebaiknya kedua foto wali kota itu tetap terpasang, karena terlepas dari latar belakang politik mereka, mereka bagian dari sejarah pemerintah Kota Surabaya. Jangan dibiarkan ada pemutusan mata rantai sejarah. Namun pendapat itu tidak serta merta menjadikan foto keduanya terpasang," kata Purnawan. Pada 2012, Purnawan sempat membicarakan dua foto wali kota yang tak pernah terpasang itu dengan Ketua Badan Perpustakaan dan Arsip Kota Surabaya, Arini Pakistyaningsih. Dia sempat agak bingung karena tidak pernah menemukan dua foto wali kota tersebut. "Pada kesempatan itu saya bilang bahwa saya memiliki foto-foto dimaksud, yang saya peroleh ketika melakukan riset untuk disertasi saya. Akhirnya, saya sempat memberi file foto dimaksud," kata Purnawan. Pada Mei 2015, pemerintah Kota Surabaya meresmikan Museum Kota Surabaya di gedung bekas perbelanjaan Siola. Pada saat berkunjung ke museum tersebut, Purnawan terkejut karena dua foto wali kota, Satrio dan Moerachman, terpasang berderat dengan foto-foto wali kota Surabaya lainnya sejak masa kolonial sampai sekarang. Pemasangan foto tersebut kemungkinan besar sudah seizin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. "Melalui deretan lengkap foto-foto wali kota Surabaya sejak masa kolonial sampai saat ini, dengan tanpa meninggalkan dua foto wali kota yang sebelumnya tidak pernah terpasang, tampaknya pemerintah Kota Surabaya dan masyarakat Kota Surabaya mencoba berdamai dengan masa lalunya yang pernah terpenggal dan menjadi borok pada masa Orde Baru," kata Purnawan.






















