Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir
MASYARAKAT Yogyakarta mendapat kehormatan besar. Dua dari tokohnya tahun ini ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai pahlawan nasional lewat Keppres 120/TK/Tahun 2019, 8 November 2019. Dr. M. Sardjito dan Prof. KH. Abdul Kahar Mudzakkir, kedua tokoh yang dijadikan pahlawan itu, masing-masing diusulkan oleh Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Indonesia (UII) bersama Muhammadiyah. KH Mudzakkir jadi satu dari tiga anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang ditetapkan sebagai pahlawan tahun ini. Selain Mudzakkir, ada AA Maramis dari Sulawesi Utara dan KH. Masjkur dari Jawa Timur. Mengutip situs UII , nama Mudzakkir, salah satu penggagas Piagam Jakarta, sudah empat kali diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 2014. Namun, selalu kandas. Cendekiawan Muhammadiyah itu lebih banyak berkiprah membangun pendidikan di Yogyakarta selepas proklamasi. Kiprahnya selain menjadi rektor pertama UII (1948-1960), ialah mendirikan Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta (kini Fakultas Agama Islam UMY) dan mendirikan Universitas Aisyiyah, sebagai perwujudan dari gagasan kaum perempuan berpendidikan tinggi. Gerilya Mudzakkir di Kairo Lahir di Gunungkidul, Yogyakarta, 16 April 1907, Mudzakkir kecil tumbuh di Kotagede. Menukil Prof. K.H. Abdul Kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan karya Tashadi, Mudzakkir lahir dari keluarga terpandang. Ayahnya, H. Moezakkir (EYD: Mudzakkir), seorang pedagang keturunan Kiai Hasan Bashori. “(Kiai Bashori) guru agama dan pemimpin Tarikat Shattariyah. Salah satu komandan gerilya kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro,” sebut Tashadi. Sementara dari silsilah ibunya, Chotijah binti H. Mukmin, yang juga seorang saudagar kaya, mengalir garis keturunan KH. Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah. Latarbelakang itu membuat Mudzakkir mengenyam pendidikan di lingkungan Muhammadiyah sejak kecil, sejak sekolah dasar hingga tingkat lanjutan di Madrasah Mambaul Ulum, Solo. Silsilah keluarga KH Abdul Kahar Mudzakkir dari garis ibu. (Repro Bulan Sabit Muncul dari Pohon Beringin ). Sebagaimana para pendahulunya di Muhammadiyah, Mudzakkir juga melanglang buana sampai ke Arab Saudi dan Mesir untuk mengejar pendidikan agamanya. Ia disponsori KH. Ahmad Dahlan. Sebagai mahasiswa Universitas al-Azhar, Kairo, sejak 1925 Mudzakkir turut dalam organisasi pergerakan Jamaah Pelajar Indonesia. Kemudian bersama H.M. Rasjidi (menteri agama di Kabinet Sjahrir I), Mudzakkir mendirikan Jamiah Choiriyah yang lantas berubah nama jadi Perhimpunan Pemuda Indonesia Malaya (Perpindom), organisasi yang diakui pemerintah Mesir. “Mulai 1930 aktif memperkenalkan kepada dunia Timur Tengah tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia turut mewakili atas nama umat Islam Indonesia dalam Kongres Islam se-Dunia di Baitul Maqdis (Palestina). Diangkat jadi Sekretaris Kongres di bawah ketua kongres Mufti Besar Palestina Sayid Amin al-Husaini. Dalam kongres itu A. Kahar Mudzakkir sebagai anggota termuda,” kata Tashadi. Mudzakkir juga “bergerilya” mengkampanyekan Indonesia lewat jurnalistik. Selain via Suara Azhar dan Pilihan Timur, dua majalah yang diraciknya bersama rekan-rekan di Perpindom, Mudzakkir menyuarakannya di suratkabar Palestina Al-Tsaurah. Bersama beberapa rekannyadi Perhimpunan Indonesia Raya, Mudzakkir lalu mendirikan kantor berita Indonesia Raya sebagai corong pergerakan. “Periode 1930-an di Kairo dan Timur Tengah, orang-orang mengenal dan bersimpati kepada Indonesia karena aktivitas Abdul Kahar, sehingga ia merupakan personifikasi Indonesia di Timur Tengah. Sebelum ada orang yang menjadi duta, Abdul Kahar sudah menjalankan tugas duta yang sebaik-baiknya,” kenang H.M. Rasjidi terkait sosok Mudzakkir, dikutip Tashadi. Gebrak Meja Rapat Pendiri Bangsa Setelah lulus dari Al-Azhar, pada 1938 Mudzakkir pulang ke tanah air. Implementasi idealismenya dilaksanakannya dengan ikut menggerakkan roda Muhammadiyah, organisasi Islam yang disegani hingga masa pendudukan Jepang yang dimulai tahun 1942. Sejarawan Mitsuo Nakamura menuliskan dalam Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin , berturut-turut Mudzakkir aktif di Kooti Zimu Kyoku Yogyra (Jawatan Ekonomi Pemerintah Militer Jepang di Yogya), Jawatan Radio Militer, hinggaa menjadi wakil kepala Kantor Urusan Agama di Jakarta. Namun, jabatan-jabatan itu bukanlah tujuan dari perjuangan Mudzakkir. “Jabatan-jabatan itu jadi puncak keterlibatannya dalam lingkar tertinggi politik nasional selama pendudukan Jepang dan fase-fase awal dalam politik pascaperang. Bisa saja dia bertahan dalam lingkaran politik, namun tidak dia lakukan. Dia mendarmabaktikan dirinya kepada organisasi (Muhammadiyah) dan perkembangan pendidikan Islam,” sebut Nakamura. Sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah, Mudzakkir terlibat dalam memformulasikan bentuk negara lewat BPUPKI. Bersama tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahid Hasyim, ia lantang menyuarakan Islam sebagai dasar negara lewat Piagam Jakarta. Abdul Kahar Mudzakkir bersama Mufti Besar Palestina. ( uii.ac.id ). Sepanjang rapat BPUPKI 10-17 Juli 1945, Mudzakkir bersama golongan Islam terlibat debat sengit dengan kaum nasionalis. Rapat akhirnya memutuskan membentuk tim kecil, Panitia Sembilan. Bersama H. Agus Salim, KH Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso, Mudzakkir termasuk di dalam tim itu sebagai perwakilan Islam. Sementara golongan nasionalisnya berisi Sukarno, Moh. Hatta, AA Maramis, Achmad Subardjo, dan Muhammad Yamin. Panitia itu melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945 yang dianggap sebagai kompromi antara golongan nasionalis dan Islam. “Setuju 200%,” ujar Maramis merespon persetujuan yang dicapai, yang juga dilantangkan Mudzakkir dkk. sebagaimana dikutip Herry Mohammad dalam Tokoh-Tokoh Islam yang Beprengaruh Abad 20. Kendati sudah disepakati, gagasan-gagasan Islam dalam Piagam Jakarta perlahan luntur kala BPUPKI digantikan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Pembukaan UUD 1945 disunat, Piagam Jakarta juga dihapuskan. Penyunatan preambul itu bermula dari didatanginya Hatta oleh seorang perwira Kaigun (angkatan laut Jepang). Perwira itu membawa amanat dari beberapa pemimpin kaum Nasrani di Indonesia Timur dan menyatakan bahwa mereka menolak ikut dalam RI jika Piagam Jakarta ditetapkan secara konstitusi. Mengingat pentingnya masalah itu, Hatta lalu mencarikan solusinya bersama Ki Bagoes Hadikoesoemo, Wahid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan sesaat sebelum Sidang PPKI 18 Agustus. “Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke-Tuhanan Yang Maha Esa’,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku , Jilid 3. Golongan Islam, termasuk Mudzakkir, akhirnya legowo menerima perubahan itu. “Perubahan yang disetujui lima orang tadi, sebelum rapat resmi, disetujui oleh sidang lengkap Panitia Persiapan Kemerdekaan dengan suara bulat,” sambung Hatta. Emosi Mudzakkir sempat memuncak kala pembahasan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Ia menganggap gagasan-gagasan Islam lebih baik tak dimasukkan ke dalam UUD lantaran Piagam Jakarta sudah “digugurkan”. “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar, yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu!” seru Mudzakkir sambil menggebrak meja dalam rapat,” dikutip Jan S. Aritonang dalam SejarahPerjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia . Presiden RI Joko Widodo menyerahkan gelar pahlawan nasional kepada ahli waris (tengah) KH Abdul Kahar Mudzakkir. (Antara). Tak lama setelah itu, situasi berganti dengan kembalinya Belanda merongrong kemerdekaan RI. Mudzakkir turut angkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan. “Di masa ini ia pernah jadi pemimpin perang sabil dan mengadakan gerilya. Medan gerilya Abdul Kahar Mudzakkir pada masa Agresi II itu antara lain di daerah Brosot, Jejeran, Bantul Selatan,” sambung Tashadi. Mudzakkir dan pasukannya baru masuk kota Yogya lagi seiring momen “Yogya Kembali”, 29 Juni 1949. Setelah pengakuan kedaulatan, Mudzakkir melanjutkan perjuangannya lewat dunia pendidikan. Pengabdian itu dijalaninya hingga tutup usia karena serangan jantung di umur 66 tahun, 2 Desember 1973. Mudzakkir dimakamkan di Pemakaman Boharen Purbayan, Kotagede.
- Nasib Dokter Dulu dan Kini
VIDEO berisi kritikan anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning tentang pelaksanaan BPJS Kesehatan viral beberapa waktu lalu. Dalam video itu, Ribka menyampaikan, layanan BPJS Kesehatan belum ideal bagi rakyat dan adanya perilaku diskriminatif dari para petugas medis ke pasien mereka. Ribka juga menyampaikan bagaimana celah dokter mencari untung dari orang-orang yang berobat. Menurut Ribka, dokter tak seharusnya menjadikan profesinya sebagai ajang bisnis karena layanan kesehatan seharusnya berorientasi sosial, bukan komersil. “Saya pernah disomasi oleh IDI karena mereka sakit hati dengan pernyataan saya. Saya bilang dokter lebih jahat dari polisi. Polisi menilang orang sehat, tapi dokter menilang orang sakit,” kata Ribka. Kritik Ribka itu berbanding terbalik dengan kondisi petugas layanan kesehatan di era kolonial. Nasib dokter Jawa di era kolonial amat kontras dengan dokter sekarang. Dulu, pendapatan mereka amat minim dan sering mengalami kesewenang-wenangan. WK Tehupeiory, seperti dicatat Hans Pols dalam Nurturing Indonesia, menjadi ahli kesehatan pribumi pertama yang mengemukakan pendapat tentang nasib dokter Jawa. Para ahli medis pribumi mengalami beragam perlakukan tak adil. Seorang dokter Jawa pernah mengeluh pada Tehupeiory bahwa ia tidak diberi akses pada obat-obatan lantaran kunci lemarinya dipegang dokter Eropa setempat. Selain mendapat diskriminasi, para dokter Jawa juga tidak menerima upah layak. Setelah lulus, dokter Jawa diwajibkan bekerja pada layanan medis kolonial selama 10 tahun. Masa kerja wajib yang lama ini tidak dibarengi dengan gaji yang mencukupi. Pendapatan para dokter Jawa bahkan lebih rendah dari pegawai yang kurang berpendidikan. Para dokter Jawa juga diperlakukan sewenang-wenang oleh pasien kelas atas mereka. Watak feodal ini membuat orang dengan posisi lebih rendah (dokter Jawa) tidak bisa meminta bayaran pada orang yang posisinya lebih tinggi. Padahal secara umum, pasien pribumi kebanyakan datang dari kelas atas, lantaran pribumi kelas bawah kebanyakan berobat ke dukun. Menurut Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market , dukun punya bayaran yang cukup baik. Mereka dibayar dalam bentuk uang, barang, atau jasa. Dalam catatan pegawai sipil pemerintah kolonial E. Francis, di Lampung seorang dukun pria menerima 6-12 'oewang' (koin sepuluh sen) dari menyunat seorang anak laki-laki. Sementara, untuk pasien anak perempuan, dukun perempuan menerima 3 oewang atau seikat benang bernilai sama. Nasib beberapa dokter Jawa lebih apes. Pada 1904 seorang residen melaporkan bahwa di wilayahnya, dokter Jawa hampir tak pernah menerima bayaran atas jasa yang mereka berikan pada pegawai pribumi. Sementara, pasien Eropa jarang sekali menggunakan jasanya karena lebih memilih berobat ke dokter Eropa. Dokter Jawa akhirnya sering tak menarik biaya atas jasanya. Mereka khawatir niatnya disalahpahami. Maksud hati ingin meminta bayaran sebagai bagian dari profesionalitas, salah-salah malah kena semprot oleh pasien aristokratnya. Dalam ceramahnya di Pertemuan Umum Para Dokter, di Batavia, Tehupeiory menggambarkan ketiadaan dukungan dari kantor residen pada dokter Jawa yang sering tidak dibayar itu. Rupanya orang Eropa sangat marah bila seorang dokter pribumi berani mengirimi faktur. Pasien Eropa tersebut lantas mengeluh kepada sekretaris di kantor residen untuk memberi hukuman pada si dokter Jawa. Namun, si dokter Jawa tidak terintimidasi dan menjawab, pegawai Eropa tersebut tak punya hak untuk dirawat secara cuma-cuma. Ia pun menyebarkan cerita itu kepada rekan-rekannya, termasuk Tehupeiory. Kerisauan tentang perilaku pasien kelas atas dan Eropa yang tak mau membayar itu akhirnya sampai ke “telinga” pemerintah. Sebagai tindak lanjut, Sekretaris-Jenderal Pertama Paulus mengeluarkan surat edaran kepada kepala pejabat Departemen Administrasi Sipil Umum dan Kepala Pemerintahan Daerah. Isinya, pemerintah mengutuk perilaku pegawainya yang memanfaatkan pangkat untuk menghindari biaya layanan medis. “Pemerintah menganggap tidak pantas jika pejabat mengambil keuntungan dari kesalahpahaman atau prasangka yang ada, agar dilayani secara gratis padahal mereka tidak memiliki hak untuk mendapat layanan kesehatan gratis,” tulis Paulus dalam surat edaran, dikutip Liesbeth Heeselink. Namun, imbauan tersebut tidak menghapus kebiasaan para pejabat pribumi dan pegawai Eropa yang suka berobat gratisan. Dokter Jawa yang tidak dibayar tetap masih ada.
- Menyibak Memori 60 Tahun Hubungan Vietnam-Indonesia
SUASANA berbeda terlihat di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jalan Gajah Mada No 111 Kota Jakarta Pusat. Bendera Vietnam dan Indonesia terkembang di pintu masuk gedung bekas Lands Archief te Batavia ini. Jumat (08/11/2019) telah dilangsungkan acara pembukaan pameran foto "60th Anniversary of President Ho Chi Minh's Visit to Indonesia and President Soekarno's Visit to Viet Nam". Acara tersebut terselenggara atas kerjasama Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Kedutaan Besar Vietnam di Indonesia, dan ANRI. Pameran yang dibuka oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Wakil Menlu Vietnam Bui Thanh Son akan digelar selama dua minggu ke depan (8-22 November 2019). ANRI akan memamerkan koleksi foto-foto kunjungan perwakilan pemerintah Vietnam ke Indonesia, maupun sebaliknya. Termasuk kunjungan kenegaraan presiden pertama Vietnam Ho Chi Minh dan potret kedekatannya dengan presiden pertama RI Sukarno. Pengunjung berfoto bersama patung Sukarno (Fernando Randy/Historia) “Persahabatan tak bisa dibangun dalam satu malam,” kata Retno. “Dalam konteks ini, persahabatan pendiri negara kita Bung Karno dan Presiden Vietnam Bapak Ho Chi Minh punya arti strategis.” Peringatan 60 tahun pada tema pameran foto ANRI ini ditentukan berdasarkan hubungan kedua negara yang terjalin sejak 1959, yakni saat lawatan Ho Chi Minh ke Indonesia pada 27 Februari - 3 Maret 1959, dan kunjungan Sukarno ke Vietnam pada 24 Juni - 9 Juli 1959. Ketika berada di Indonesia ini, berdasarkan usul Sukarno dan persetujuan Muhammad Yamin, Paman Ho (sapaan akrab Ho Chi Minh) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum dan Ilmu Sejarah dari Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 1 Maret 1959. Kedatangannya ke Bandung itu juga bersamaan dengan peresmian nama Institut Teknologi Bandung (ITB), yang semula bernama Universitas Indonesia Bandung. SK Rektor untuk pemberian gelar Honoris Causa kepada Ho Chi Minh (Fernando Randy/Historia) Kunjungan Paman Ho ke Indonesia pun menjadi bukti dekatnya kekerabatan Republik Indonesia dengan Republik Demokratis Vietnam yang komunis. Para ahli juga meyakini keberadaan Ho Chi Minh itulah yang membuat komunis tumbuh subur di republik ini pada periode 1960-an. Menurut Ahli Politik Daniel Saul Lev, dalam The Tranistion to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959 , Ho Chi Minh pernah menyarankan kepada Sukarno agar Partai Komunis Indonesia (PKI) diberi peran dalam pemerintahan, terutama untuk mengisi jabatan-jabatan strategis di parlemen. Keberadaan Ho Chi Minh di Indonesia, saat negaranya dilanda perang melawan pengaruh Barat, merupakan bagian dari usaha pemimpin Vietnam itu untuk menjaga keamanan di negerinya. Dia berusaha meminta bantuan negara-negara sahabatnya, terutama Indonesia, dalam penyelesaian perang di Vietnam. Potret Ho Chi Minh (Fernando Randy/Historia) Sementara itu, Wamenlu Bui Thanh Son memberikan apresiasi yang tinggi atas kehangatan sikap Indonesia terhadap Vietnam. Bahkan sejak Vietnam masih memperjuangkan kemerdekaan di negerinya. “Bung Karno memainkan peran penting dalam mempromosikan kemerdekaan di negara Asia dan Afrika, termasuk Vietnam. Melalui semangat Konferensi Asia-Afrika tahun 1955,” ucapnya. Dalam lawatan singkatnya di Indonesia dahulu, Ho Chi Minh mendapat sambutan yang baik dari pemerintah, maupun rakyat Indonesia. Dalam pameran foto ini ditampilkan banyak potret kedekatan Paman Ho dengan rakyat Indonesia. Dia terlihat banyak melempar senyum. Ho Chi Minh pun terkenal mudah berkomunikasi karena dia seorang poliglot, yang menguasai bahasa Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, Jepang, dan China. Dan umumnya Paman Ho menggunakan bahasa Inggris saat berbincang. Pengunjung di antara foto-foto kunjungan Ho Chi Minh di Indonesia (Fernando Randy/Historia) Menurut Ketua Asosiasi Persahabatan Indonesia-Vietnam Nguyen Xuan Phuc, kunjungan Ho Chi Minh ke Indonesia mengandung arti penting bagi kedua negara. Maka momentum hubungan 60 tahun ini merupakan kabar baik bagi hubungan Indonesa-Vietnam ke depannya. Kerja sama kedua negara akan terbuka lebih lebar guna memberikan kesempatan baik untuk semuanya.
- Wajah Lain Gajah Mada
Suatu hari Muhammad Yamin mengunjungi Trowulan untuk melihat jejak-jejak Kerajaan Majapahit. Saat itulah ia menemukan pecahan terakota berupa kepala pria berwajah gempal dan berambut ikal. “Arca ini digali dekat puri Gajah Mada di Terawulan, Majapahit,” katanya. Yamin kemudian mengidentifikasi wajah itu sebagai arca Gajah Mada. Menurutnya dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara , air muka arca itu penuh dengan kegiatan yang mahatangkas. Wajahnya menyinarkan keberanian seorang ahli politikus yang berpandangan jauh. Wajah Gajah Mada versi Muh. Yamin Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar berpendapat lain soal wajah Gajah Mada. Dalam Gajah Mada Biografi Politik, ia menjelaskan arca Brajanata dan Bima sebagai dua perkembangan dari penggambaran Gajah Mada. Kendati telah wafat pada 1364, Gajah Mada atau Mpu Mada masih dikenang oleh masyarakat Majapahit. Ia dianggap oleh masyarakat Majapahit akhir sebagai tokoh besar yang diperdewa. “Ia dipandang sebagai dewata yang dapat dimintai pertolongan masyarakat yang sengsara akibat peperangan,” ujar Agus. Selepas Hayam Wuruk, perang terus terjadi di Majapahit. Pada masa itu pula arca-arca perwujudan Gajah Mada terus diciptakan. Nampaknya masyarakat ingin mendatangkan kembali masa gemilang pemerintahan raja dan patihnya itu. Gajah Mada Berwujud Brajanata Kisah Panji, menurut Agus, menyimpan metafora kehidupan Hayam Wuruk. Penggambaran kisah Panji pertama kali ada di Candi Miri Gambar. Candi ini didirikan setelah Hayam Wuruk mati, ketika menantunya Wikramawarddhana berkuasa. Kisah ini dihiasi dengan tokoh Panji dan Brajanata, dua tokoh paling dominan dalam beberapa kisah panji paling awal. Tokoh-tokoh utama dalam kisah Panji bisa disejajarkan dengan tokoh sejarah masa Majapahit. Misalnya Raden Panji adalah Hayam Wuruk. Ayahanda Panji, raja Keling atau Jenggala atau Koripan adalah Kertawarddhana alias Raden Cakradhara. Ibunda Panji, permaisuri raja Keling adalah Tribhuwana Wijayottunggadewi. Ibu Hayam Wuruk ini bergelar Bhre Kahuripan. Sementara raja Daha adalah paman Panji. Kenyataannya, raja Daha juga paman Hayam Wuruk. Permasuri raja Daha, bibi Hayam Wuruk bergelar Bhre Daha. Dewi Sekar Taji, putri raja Daha adalah permaisuri Raden Panji. Dalam sejarah Majapahit, permasuri Hayam Wuruk adalah sepupunya sendiri, yaitu putri Bhre Daha. Dalam Pararaton ia dijuluki Paduka Sori. Lalu kekasih Panji, Dewi Angreni bisa dipadankan putri Sunda yang tewas: Dyah Pitaloka. Dengan banyaknya kesamaan penokohan itu, rasanya tak berlebihan jika menyamakan Raden Brajanata sebagai Gajah Mada. Ia adalah kakak Raden Panji yang berbeda ibu. Namanya disebut dalam Hikayat Panji Kuda Semirang dan Hikayat Panji Angreni dari Palembang. Peranan Brajanata mirip dengan Gajah Mada. Brajanata juga selalu mengawal Raden Panji, sebagaimana Gajah Mada dengan Hayam Wuruk. Brajanata dalam kisahnya disuruh ayah ibu Raden Panji untuk menghabisi Dewi Angreni. “(Brajanata, red. ) digambarkan tinggi besar, badan tegap, berkumis tebal, berambut ikal, mungkin merupakan ikon dari Gajah Mada,” kata Agus. Itu sesuai dengan pendapat Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji dalam Perbandingan mengenai relief Panji Gambyok di Kediri. Tokoh berambut ikal dan berbadan tegap itu adalah Brajanata. Arca Brajanata Dengan demikian, menurut Agus, arca koleksi Museum Nasional bernomor inventaris 310d dari Gunung Penanggungan yang dinamai Kertala lebih tepat jika diidentifikasi sebagai Brajanata. “Arca itu sangat mirip dengan figur pria tegap berambut keriting yang digambarkan di kanan kiri pipi tangga Candi Miri,” katanya. Apalagi tokoh Kertala dalam Cerita Panji hanya berperan sedikit dibandingkan dengan pengiring Panji lainnya, seperti Brajanata, Carang Waspa, atau Prasanta. “Tokoh yang diarcakan tentunya tokoh yang mengesankan, tak cukup hanya dalam relief, melainkan perlu sosok arcanya,” kata Agus. Maka, jika Brajanata adalah ikon Gajah Mada, arca itu dapat ditafsirkan sebagai penggambaran Gajah Mada. Arca itu menampilkan sosok berbadan tegap, kumis melintang, rambut ikal berombak, di bagian puncak kepala terdapat ikatan rambut dengan pita membentuk topi tekes . Ia mengenakan busana, gelang dan kelat lengan atas berupa ular. Lingga atau bagian kemaluannya diukir menonjol. Namun seiring waktu pandangan masyarakat berubah. Gajah Mada kemudian lebih banyak digambarkan sebagai Bima. Pada masa akhir Majapahit, pertengahan abad ke-15, banyak dibuat arca Bima yang cirinya mirip dengan arca tokoh Brajanata. “Itu bukanlah kebetulan belaka,” kata Agus. Gajah Mada sebagai Bima Arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Triwurjani menjelaskan dalam “Bima sebagai Tokoh yang Dikultuskan” termuat di Proceedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, bahwakurang lebih pada awal abad ke-15 muncul kultus terhadap tokoh Bima yang dikenal dari kisah Mahabharata. Arca Bima beberapa kali ditemukan pada bangunan suci di beberapa daerah di Jawa Timur. Misalnya , arca Bima dari Trenggalek, Jawa Timur. Di bagian belakang arca itu terdapat inskripsi. Model tulisannya sejaman dengan prasasti yang dikeluarkan oleh Gajah Mada pada 1357. “…Pada waktu itu… pendeta Mpu Wirata… memberikan pratistha kepada telapak…,” catat inkskripsi itu. Menurut Triwurjani, dengan adanya kata pratistha , berarti arca itu adalah arca perwujudan. Ini disepakati oleh Agus Aris Munandar. Arca itu sesuai dengan ciri arca perwujudan masa Majapahit. Sikap arca tak memperlihatkan gerak tubuh. Kedua tangan terjulur di samping tubuh. Mata digambarkan setengah terpejam seperti sikap meditasi. Agus mengaitkan tokoh itu sebagai perwujudan Gajah Mada. Secara fisik, arca Bima berkumis, berbadan tegap, kemaluannya menonjol dari balik kain. Ini mirip dengan arca Brajanata. Bedanya hanya tata rambut. Brajanata rambutnya menyerupai tutup kepala tekes . Bima rambutnya berbentuk supit urang . Bima juga digambarkan dengan kuku yang panjang ( pancanaka ). Menurut Agus gejala itu menunjukkan ada pergeseran penggambaran Gajah Mada sebagai Brajanata kepenggambarannya sebagai tokoh Bima. “Para pemuja dan pengagum Gajah Mada mulai pertengahan abad ke-15 hingga keruntuhannya lebih menyukai mengarcakan Gajah Mada sebagai Bima daripada sebagai Brajanata,” jelasnya. Alasannya, tokoh Bima lebih terkenal dibanding Brajanata. Tokoh Brajanata baru dikenal dalam karya sastra muda, yaitu kisah Panji. Kisah ini baru berkembang pada era Majapahit akhir. Sementara tokoh Bima sudah dikenal sejak masuknya pengaruh India dan Hindu ke Jawa. Pun tokoh Bima terkesan lebih sakral dibanding Brajanata. Bila Brajanata adalah manusia. Tokoh Bima adalah aspek Siwa yang berwujud manusia. “Karenanya pengagum Gajah Mada lebih senang menyetarakannya dengan Bima,” jelas Agus. Menurut Agus, Bima punya kesamaan dengan Gajah Mada. Berdasarkan namanya, Gajah Mada, bisa dibayangkan orangnya tinggi besar dan bertenaga besar seperti gajah. Bima kebetulan mempunyai kemiripan perawakan dengan Gajah Mada. Sebenarnya banyak juga tokoh berciri seperti itu dalam epos Mahabharata. Namun, Bima lebih punya banyak peran. Pun dia ditempatkan sebagai tokoh protagonis dalam cerita. Dalam konsep agama, Bima juga disetarakan dengan Gajah Mada. Kitab Jawa Kuno, Brahmanda Purana, menyebut Bima sebagai aspek Siwa. Sedangkan raja-raja Majapahit seringkali disetarakan sebagai Siwa. Maka, patih amangkubhumi -nya sebagai aspek dari Sang Dewa. Selama ini arca Bima banyak ditemukan dari masa Majapahit. Pertanyaannya siapakah yang hendak diwujudkan oleh arca itu. Dan, Agus yakin , tokoh itu adalah Sang Mahapatih Gajah Mada.
- Hatta Tak Suka Dijadikan "Dewa"
BEGITU kapal kecil yang membawanya bersandar di dermaga, 3 Juni 1947, Wakil Presiden Moh. Hatta segera turun ke darat. Kunjungan ke Panjang, Lampung, itu menandai kunjungan pertamanya ke Sumatra setelah Indonesia merdeka. Kunjungan Hatta itu merupakan safari politik untuk memperkuat semangat juang rakyat. “Aku berangkat ke Sumatera atas undangan anggota-anggota KNIP dari Sumatera, yang baru dipilih dalam sidang pleno pada waktu itu. Yang ikut dalam rombongan antara lain Suryo, ketua Dewan Pertimbangan Agung; Ir. H. Laoh, menteri Perhubungan; Mr. A. Karim (waktu itu salah seorang direktur Bank Negara Indonesia); Suria Atmadja (Kementerian Perekonomian); Rusli Rahim (kepala Bagian Koperasi pada Kementerian Perekonomian); Abubakar Lubis, Supardjo, pemimpin pemuda; Wangsa Widjaja (sekretaris wakil presiden); WI. Hutabarat dan Ruslan Batangtaris (ajudan wakil presiden),” kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku , Jilid 3. Sekira tanggal 15, rombongan memasuki Sungai Dareh, Sumatera Barat melalui jalan darat dari Muara Tebo, Jambi. Dari situ, rombongan melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang sebelum mencapai tujuan akhir Bukittinggi. Antara Sungai Dareh dan Padang Panjang, rombongan beberapakali berhenti. Untuk sesaat, Bung Hatta menyempatkan diri menyapa rakyat yang menyambutnya meriah, lalu memberi sedikit wejangan. Pidato panjang diberikannya ketika di Padang Panjang. “Sesudah itu kami dibawa ke sebuah rumah yang dihiasi dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Kaum ibu di sana berhari-hari menyiapkan makan untuk kami. Meja makan penuh dengan ayam goreng, rendang, ikan air tawar, dan satu piring selada, yang sangat enak rasanya,” kenang Hatta. Dari Padang Panjang, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi, kampung halaman Hatta. Mereka mendapat sambutan begitu meriah dari rakyat. Di sana, rombongan bakal tinggal selama enam hari, namun batal karena pada hari kelima Hatta dijemput Biju Patnaik, pengusaha penerbangan India yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia, untuk memenuhi permintaan Presiden Sukarno agar Hatta bertemu dengan PM India Jawaharlal Nehru. Namun sebelum terbang ke India, Hatta sempat memberikan pidato di depan rakyat. Sebelum memberi pidato itulah Hatta mendapat sambutan luar biasa. Alih-alih senang, Hatta yang dikenal sederhana justru kecewa terhadap sambutan yang berlebihan itu. Bahkan, ia sampai menegur gubernur karena sambutan berlebihan itu. Jauh setelah peristiwa itu terjadi, Hatta menceritakan kekecewaan itu kepada Hasjim Ning, keponakannya yang menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia”. Hasjim mengisahkan kekesalan pamannya itu dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . “Orang di sana lupa bahwa aku wakil presiden, bukan raja dari suatu kerajaan,” kata Hatta. “Mengapa, Oom?” tanya Hasjim yang belum tahu duduk perkaranya. “Mereka menyambutku dengan nyanyian hymne.” “Itu maksudnya mau menghormati, Oom,” kata Hasjim memberi komentar. “Hymne itu lagu pujaan kepada dewa, tahu?” “Teks lagunya bagaimana, Oom?” “Ya berisi pemujaan atas pribadiku.” “Ah, kalau begitu secara agama mereka sudah sesat, secara bernegara mereka sudah feodal,” Hasjim memberi penilaian. “Ya itulah yang aneh. Orang Minangkabau yang selama ini terkenal demokrat, setelah merdeka mereka menjadi feodal,” kata Hatta.
- Bertahan Hidup dengan Batu
BUKTI linguistik menunjukkan telah terjadi ekspansi secara lambat oleh kelompok penutur Austronesia dari Formosa ke Kepulauan Nusantara sekira 4.000 tahun yang lalu. Mereka telah bercocok tanam. Gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan pun secara berangsur terkikis. Secara umum, kebiasaan lama itu tak pernah hilang sama sekali pada era berikutnya. Para petani juga masih berburu dan mengumpulkan makanan. Karenanya, dalam beberapa milenium terakhir, teknologi dan tata ekonomi yang berbeda dapat berlangsung bersamaan di situs yang berdekatan bagaikan mosaik. Kata Peter Bellwood, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, buktinya adalah Peralatan batu yang diserpih tetap digunakan di beberapa daerah oleh kelompok pemburu dan pengumpul makanan maupun mereka yang bercocok tanam hingga masa yang baru lalu. “Tinggalan arkeologi yang berbeda harus dilihat secara sinkronis sebagai ciri budaya kawasan tertentu, tak harus ditafsirkan sebagai pencerminan tahap perkembangan teknologi dan ekonomi yang berurutan di seluruh wilayah kepulauan,” jelas dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu. Penggunaan alat batu yang terkesan masif dan sederhana sering dilekatkan dengan budaya Paleolitik. Di Indonesia salah satunya ditandai oleh temuan di Sungai Baksoka, Pacitan. Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, menulis “Perkakas Paleolitik dari Das Ogan: Bukti Awal Kebudayaan di Wilayah Oku” dalam Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku. Katanya, alat-alat Paleolitik umumnya diperoleh melalui metode penyerpihan untuk membentuk tajaman pada kerakal sungai. Ada juga yang dengan melepaskan serpih berukuran besar dari sebuah batu inti. "Di Kali Baksoka, yang kondang dengan sebutan alat Pacitanian misalnya, hampir seluruhnya (alat batu paleolitik - red ) berada di hamparan sungai, bercampur dengan sisa fauna dari Stegodon sp, Elehas namadicus, gigi-gigi SImia, Echimosorex, Sumphalangus dan Hylobates," tulis Harry Widianto dalam Nafas Sangiran . Pada 1983, Arkeolog R.P Soejono menyebutkan lewat “Temuan Baru Alat-Alat Paleolitik di Indonesia” dalam Pertemuan Arkeologi ke-III, bahwa pada masa Paleolitik di Nusantara ditandai dengan temuan yang dinamakan kapak perimbas. Ini menurutnya merupakan tipe dominan di kawasan ini. Ada pula alat jenis serpih bilah, serpih besar,dan kapak penetak. Pemakaian alat serpih kemudian menjadi lebih dominan pada masa berburu tingkat lanjut. “Klasifikasi alat batu yang dilakukan hanya berdasarkan teknis, tidak menyangkut masalah fungsi. Untuk menentukan fungsi alat batu dari masa yang sangat lama adalah spekulatif,” katanya. Lebih jauh, Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia berpendapat pemakaian istilah kapak perimbas, kapak genggam, serut, dan semacamnya justru mengacaukan bentuk dan fungsi alat. Kata dia, penamaan ini seolah membuat aktivitas manusia pada masa itu begitu spesifik. “Dalam banyak kasus asumsi ini mungkin benar, tetapi masalahnya adalah umumnya tak mungkin membuktikan apakah asumsi itu benar atau salah,” kata Bellwood. Ditambah lagi penamaan itu akan sangat membingungkan. Seorang peneliti akan menyebut suatu alat batu sebagai kapak penetak. Sementara menurut peneliti lainnya itu disebut serut. Menurutnya penamaan berdasarkan teknik pun agak intuitif. Seiring berjalannya waktu definisi berdasarkan teknis terbukti tak tegas dan sering menimbulkan keraguan. “Penelitian saya sendiri menunjukkan dengan jelas kepada saya bahwa yang disebut oleh salah seorang peneliti sebagai kapak penetak dari Kala Plestosen Tengah mungkin hanyalah limbah batu yang dibuang kurang dari 10.000 tahun lalu,” lanjut Bellwood. Sejalan dengan itu, Ruly juga bilang ada percampuran antara tipe alat dari Paleolitik Bawah, atau masa yang lebih tua, dengan masa yang lebih lanjut (Paleolitik Tengah). Di Eropa dan Afrika, kedua fase tradisi budaya Paleolitik itu mudah dibedakan. Tapi tidak di Indonesia. “Artefak dari kedua tradisi itu terkadang muncul dalam satu konteks, seperti yang ditemukan di Ngebung (Sangiran) dan Baksoko (Pacitan),” jelas dia. Si Pembuat Alat Alat-alat batu dari Ngebung, Ngandong, dan Pacitan kemudian menjadi penanda budaya tertua di Jawa. Industri peralatan itu dianggap mungkin milik Homo erectus. Kendati kalau menurut Bellwood, alat-alat batu itu tak pernah ditemukan bersama dengan fosil manusia. Adapun soal Homo erectus, kata Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku , fosil tertuanya di Nusantara ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, dari 1,5 juta-0,9 juta tahun yang lalu. Lalu yang cirinya lebih evolutif dari 0,9-0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe Homo erectus yang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur). Namun, kata Bellwood lagi, dengan mengakui erectus Jawa adalah pembuat alat, tak berarti kemampuan itu menyelamatkan mereka dari kepunahan. Alasannya, hominid lain yang lebih berkembang, seperti Neandertal yang juga mampu membuat alat batu, ternyata dianggap punah juga oleh banyak pakar modern. “Situs yang mengandung alat batu amat sedikit, sementara kesenjangan dalam kronologi masih panjang. Masih banyak yang harus kita pelajari,” catatnya. Industri peralatan batu dengan tipe yang lebih khusus bertarikh kurang dari 40.000 tahun yang lalu dianggap sebagai hasil karya manusia yang secara anatomis lebih modern. “Saya menyebut semua industri itu sebagai industri alat batu kerakal dan alat serpih,” kata Bellwood. Kendati ada bentuk khas setempat, alat batu kerakal dan alat serpih di Asia Tenggara dan yang terus bertahan hingga Kala Holosen punya kesamaan. Alat batunya cukup berat dan dibuat dengan menyerpih kerakal sungai, serpihan besar, atau bongkah batu inti yang ditambang. “Semua jenis ini biasanya disebut alat-alat batu kerakal,” kata dia. Lalu ada alat-alat berukuran lebih kecil yang dibuat dari serpihan yang dipangkas dari suatu batuan inti atau dari pecahan batu yang berkuran relatif kecil. Meski begitu alat dari kerakal batu yang hanya diasah tajamannya juga ada di beberapa situs. Ini seperti di Niah, Sarawak dan Kota Tampan di Malaysia. Beranjak dari Batu Selanjutnya budaya Preneolitik atau Mesolitik di Indonesia terpantau muncul di situs-situs daerah Jawa Timur dan Sulawesi. Budaya ini, kata Ruly, kemungkinan mulai muncul sejak awal Holosen hingga kedatangan budaya Neolitik sekira 4.000 tahun yang lalu. Indikasinya adalah penggunaan alat tulang. “Sejumlah (alat, red ) serpih pakai juga muncul, tetapi butuh studi khusus untuk mengonfirmasinya,” lanjut dia. Industri alat batu kerakal dan alat serpih digantikan oleh himpunan tembikar menandai masuknya budaya Neolitik. Ini ditemukan di seberang Laut Sulawesi, di Gua Agop Atas, di Borneo utara. Pun di Ceruk Leang Tuwo Mane’e di Kepulauan Talaud ditemukan pecahan tembikar polos dan berpoles merah dari bejana bundar berdinding tipis dengan tepian melipat keluar. Mungkin temuan itu berasal dari 2.500 SM. Selain keberadaan gerabah, Budaya Neolitik juga umumnya ditandai dengan kemunculan beliung persegi, sebagaimana yang terjadi di Gua Harimau, Sumatera Selatan. Di situs itu ditemukan pula gerabah dan calon beliung. Kedua temuan terakhir ini berasosiasi dengan kubur telentang. “Dalam perspektif biologis, tradisi Neolitik selalu dikaitkan dengan diaspora penutur Austronesia 4.000 tahun lalu dan keberadaan ras Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara,” jelas Ruly. Agak tumpang tindih dengan masa sejarah, teknologi logam awal dimulai dengan pengenalan artefak dari tembaga, perunggu, dan besi. Teknologi pembuatan ketiganya nampak terjadi bersamaan. Artinya, seperti kata Bellwood, tak ada masa perunggu secara terpisah. Menurut dia, zaman Logam Awal terjadi bersamaan dengan pengenalan teknologi baru dan barang dagangan ke Kepualau Indo-Malaysia dari sumber-sumbernya di Vietnam, India, dan Tiongkok. “Hampir pasti semua unsur budaya baru itu diperoleh langsung dari sumber-sumbernya di daratan Asia Tenggara selama beberapa abad terakhir sebelum Masehi,” jelas Bellwood. “Saya akan mengambil 500 SM sebagai titik mula. Penelitian masa datang mungkin akan mendorong Tarikh ini lebih dekat ke 200 SM.” Yang terkenal adalah budaya Dong Son dari Vietnam Utara. Bersama Muang Thai tengah dan timur laut, kawasan ini memiliki bukti paling awal tentang pembuatan perunggu di Asia Tenggara. Contoh artefaknya adalah kapak corong. Corongnya adalah pangkal yang berongga untuk memasukkan pegangan. Ada pula Nekara. Nekara yang penting dari Indonesia antara lain nekara Makalamau dari Pulau Sangeang dekat Sumbawa dan nekara dari Kai. “Himpunan tinggalan arkeologis Dong Son sangat penting karena benda logam paling awal di Kepulauan Nusantara umumnya bercorak Dong Son,” jelas dia. Kalau dilihat dari hiasannya, nekara-nekara itu mungkin tak dibuat di Indonesia. Orang pada masa itu telah mengimpor barang, dalam hal ini nekara dari produsennya di Vietnam. Akhirnya, seperti kata Bellwood, kedatangan penutur Austronesia membuka perubahan budaya yang besar di kawasan Nusantara. Mungkin memang ada variasi di kawasan tertentu dalam teknik pembuatan alat batu. Tapi itu merupakan kewajaran mengingat kurun waktu yang panjang dan kemampuan manusia modern untuk berkomunikasi dan berinovasi. “Masa-masa yang mantab selama ribuan tahun sebelum adanya pertanian, mendekati akhirnya yang dramatis ketika terjadi ekspansi Austronesia,” jelas dia.
- Pemain Persebaya Gugur di Pertempuran 10 November
PAGI ini, 10 November, 74 tahun lampau. Kota Surabaya diguncang hebatoleh bombardir Inggris dari udara, laut, dan darat. Ketenangan kota metropolitan di timur Pulau Jawa itu berubah jadi “neraka”. Alih-alih menyerah, arek - arek Suroboyo pilih melawan. Spirit mereka dibangkitkan salah satunya oleh pidato Soetomo alias Bung Tomo. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap merdeka atau mati,” kata Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api. Pidato itu menyentuh sanubari setiap warga kota yang majemuk itu. Tukang becak, pejabat pemerintah, seniman sampai pemain sepakbola ikut ambil bagian mempertahankan kota mereka. Dhion Prasetya, penulis buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo, mendapati ada seorang pemain Persebaya yang turut angkat senjata. Soegiarto nama pesepakbola asal tim “Bajul Ijo” era 1930-an yang menjadi pejuang itu. “Soegiarto kelahiran Surabaya. Dia arek Ngaglik. Begitu yang saya dapat dari keterangan para sesepuh di Kapasan, Ngaglik, Tambaksari, sampai Taman Makam Pahlawan Kusumabangsa sewaktu blusukan,” tutur Dhion kepada Historia. Patriotisme Soegiarto dituturkan pula oleh Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah . “Pemuda yang terkemuka dari kalangan olahraga pun banyak yang ikut mengangkat senjata. Di antaranya, saudara Soegiarto ( back Persebaya yang terkenal) telah mengganti sepatu sepakbolanya dengan senapan hingga dia gugur di medan pertempuran.” Tim Persebaya saat masih bernama SIVB (Soerabaiasch Indische Voetbalbond) di tahun 1936 (Foto: Soerabaijasch Handeslblad 22 Mei 1936) Sepak-terjang Soegiarto di Persibaja (kini Persebaya) tercatat bahwa sejak 1938 dia jadi salah satu andalan di lini belakang. Kala itu Persebaya tengah masuk masa keemasan. Sebagaimana diberitakan Sin Tit Po , 25 Agustus 1938, namanya tertera di antara 12 nama skuad utama tim. Di tahun itu, Soegiarto turut membawa Persebaya juara babak daerah Jawa Timur. Sayang, di putaran final empat besar Perserikatan, 3-6 Juni 1938, Persebaya harus puas jadi runner-up . “Soegiarto ikut juga saat Persibaja dua kali runner-up (lagi) di Perserikatan 1941 dan 1942,” lanjut Dhion. Kiprah Soegiarto tetap berlanjut saat Jepang berkuasa. Soegiarto bahkan ikut bersama kala Persibaja tampil di dua kompetisi sekaligus. “Yang pertama di ajang Pekan Olahraga yang digelar Ikatan Sports Indonesia (ISI), September 1942 di Jakarta. Yang kedua Persibaja jadi juara kedua lagi di bawah Persis Solo di Perserikatan, di mana pada masa Jepang kompetisinya di bawah organisasi olahraga Tai Iku Kai,” kata Dhion. Setahun sebelum aktivitas sepakbola vakum pada 1944, kompetisi masih digulirkan. Namun, para peserta tak lagi mengusung nama klub, melainkan membawa nama kota tempat klub berbasis. Gugur sebagai Bunga Bangsa Setelah Indonesia merdeka, kembalinya Belanda yang datang membonceng Inggris membuat situasi seantero negeri memanas. Surabaya jadi “titik panas” terdahsyat konflik bersenjata antara Inggris dan kaum republik yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), laskar, dan rakyat jelata. Nama Soegiarto turut tercantum dalam laga sparring melawan SVB di tahun 1940 (Foto: Soerabaijasch Handelsblad 24 Agustus 1940) Soegiarto ikut meleburkan diri ke dalam perjuangan dengan memasuki Pasukan Pertahanan Pemuda Kantor Kota. Pasukan ini turut memperkuat kubu pertahanan dari Kapasan hingga Van Sandict-Straat (kini Jalan Residen Sudirman). “Saat itu, 15 November 1945, Inggris yang sudah menguasai Alun-Alun Contong merangsek ke sisi selatan kota. Salah satunya daerah Kapasan. Pasukan republik yang kalah senjata mundur sampai ke Kapasari dan Tambaksari,” tambah Dhion. Beberapa jam pasukan republik menahan gerak laju serdadu Inggris di Van Sandict-Straat (daerah Tambaksari), namun akhirnya pertahanan mereka jebol juga. Soegiarto menjadi satu dari sekian banyak bunga bangsa yang gugur dalam pertempuran sengit itu. “Jasadnya lantas dimakamkan di kuburan massal di seberang Lapangan Canalaan (kini taman Remaja Surabaya), yang kini menjadi Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa,” tandas Dhion.
- Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton
Warga Buton, Sulawesi Tenggara, boleh berbangga. Himayatuddin Muhammad Saidi kini telah resmi menjadi Pahlawan Nasional setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019. Himayatuddin adalah Sultan ke-20 dalam sejarah Kesultanan Buton. Dia berkuasa selama dua periode: 1751—1752 dan 1760—1763. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, mengatakan ikhtiar pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional dimulai 14 tahun lalu. “Pada 2005, suatu tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Baubau (sebuah kota di Pulau Buton) memulai pekerjaannya untuk melakukan riset dan penulisan,” kata Susanto, yang mendalami sejarah Kesultanan Buton sebagai tema disertasinya, kepada Historia. Anggota tim silih berganti. Susanto menjadi ketua tim pengusulnya pada 2011. Tugasnya menyusun perbaikan naskah akademis karya tim sebelumnya. Tim Susanto merampungkan naskah itu pada 2012 dan mengajukannya ke Kementerian Sosial. Naskah itu lolos seleksi. Penetapan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional pun tinggal menunggu giliran. Naskah karya Susanto mengungkap hayat dan pengabdian Sultan Himayatuddin. Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18. Tak ada keterangan pasti tentang waktunya. Tapi silsilah dan hayatnya semasa kecil terjabarkan secara terang. Dia anak La Umati Sultan Liauddin Ismail, Sultan ke-13 Buton. Berjuluk La Karambau Semua Sultan Buton masih satu garis keturunan dengan generasi awal Kerajaan Buton. Nama Buton telah tercatat dalam Kakawin Negarakertagama . “Sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit pada 1365,” catat Susanto Zuhdi dan Muslimin A.R Effendy dalam Perang Buton vs Kompeni - Belanda 1752-1776 : mengenang kepahlawanan LaKarambau . Raja pertamanya bernama Wa Khaa-Khaa. Kedatangan Islam di Buton pada abad ke-15 menandai tonggak sejarah baru Buton. Raja keenam Buton memeluk Islam dan bernama La Kilaponto Muhammad Kaimuddin I. Dia meletakkan Islam sebagai jiwa Kesultanan Buton. “Islam sebagai dasar falsafah negara. Sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar yang bernama Martabat Tujuh serta undang-undang pelaksanaannya yang dinamakan Istiadatul Azali ,” ungkap Susanto dan Muslimin. Selain lini politik dan pemerintahan, Islam juga merasuk ke lingkup sosial dan budaya. “Islam mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan watak dan akhlak bagi masyarakat Buton,” terang Susanto Zuhdi, G.A. Ohorella, dan M. Said D. dalam Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton . Setiap anak pembesar Kesultanan pun memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, anak-anak pembesar Kesultanan menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri. Himayatuddin juga menerima pola pendidikan semacam itu. Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau. Memutus Perjanjian Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya. Orang Buton dan VOC telah berinteraksi sejak awal abad ke-17. Bahkan hubungan dagang dan politik Kesultanan Buton dan VOC terikat secara resmi oleh perjanjian pada 5 Januari 1613 ( Pajanji Awwalina ). Perjanjian ini membolehkan VOC menggunakan pelabuhan Baubau, mengendalikan penanaman serta perdagangan rempah, dan memperoleh budak. Atas penerimaan terhadap VOC, Kesultanan Buton berhak atas bantuan keamanan dari VOC jika sewaktu-waktu Kesultanan Gowa dan Ternate menyerang Buton. Dua Kesultanan ini memiliki ambisi politik dan ekonomi terhadap wilayah perdagangan rempah di perairan timur Hindia. Ambisi Gowa dan Ternate berhadapan dengan keinginan Kesultanan Buton memperluas wilayahnya. Selain itu, La Elangi, Sultan Buton 1578—1615, berkeinginan menjaga kekuasaan tetap berada pada lingkaran keturunannya. Tiap kekuatan dagang dan politik di kepulauan timur Hindia berupaya menjalin aliansi strategis dengan pihak lain untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Hubungan mereka tidak selamanya kawan seiring. Pernah pula hubungannya menegang. Berubah sesuai dengan keadaan politik, pertahanan, dan ekonomi masing-masing pihak. Ada kalanya Kesultanan Buton berkeberatan terhadap perjanjian baru dengan VOC. Ini terjadi setelah VOC berhasil melepaskan Buton dari ancaman Gowa pada 1655. Sementara Kesultanan Ternate mengurungkan niatnya memperluas pengaruh politik dan ekonominya ke Buton. Ternate justru tetap mengakui kedaulatan Buton dan turut dengan perjanjian baru VOC dengan Buton. VOC merasa berjasa terhadap Buton. Karena itu, mereka meminta lebih banyak dari Buton. Dalam perjanjian baru pada 25 Juni 1667, VOC menuntut Kesultanan Buton untuk memusnahkan suplai berlebih atas cengkeh dan pala, dua komoditas rempah paling laku. Tujuannya agar harga rempah tetap tinggi. Suplai berlebih akan menyebabkan harga rempah turun dan merugikan VOC. Kesultanan Buton juga harus mengirim upeti bahan makanan kepada VOC. Kedaulatan mereka pun terancam. Sebab hubungan ekonomi dan politik dengan pihak luar harus seizin VOC dan Kesultanan Ternate. Melihat kekuatan militer dan ekonomi VOC, Kesultanan Buton terpaksa menerima perjanjian ini. Penerimaan perjanjian ini juga berpunca pada pikiran untuk menjaga stabilitas kehidupan politik, ekonomi, dan keamanan negeri Buton. Tetapi perjanjian Buton dan VOC mulai goyah pada masa Himayatuddin berkuasa. Sultan ini menerima banyak laporan dari rakyat Buton tentang perilaku congkak orang-orang VOC dalam berdagang. Sikap ini lahir dari porsi istimewa dan besar pedagang VOC di perairan timur. Himayatuddin menimbang ulang perjanjian Buton dengan VOC. Dia berkesimpulan bahwa perjanjian ini membelenggu Buton dan lebih banyak menguntungkan VOC. “Himayatuddin telah menyadari betapa peranan dan campur tangan Kompeni Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan, sehingga Kerajaan Buton seperti kehilangan kedaulatannya,” terang Husein A. Chalik dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara . Bergerilya di Gunung Himayatuddin berada dalam dilema. Melawan VOC berarti harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. Kekuatan militer VOC cukup besar. Menyerang secara langsung kedudukan mereka akan berakibat buruk. Tetapi tunduk pada perjanjian VOC juga akan menenggelamkan martabat Buton lebih dalam. Akhirnya Himayatuddin memilih jalan perlawanan. Bentuk perlawanannya berupa pembiaran terhadap kasus perompakan kapal VOC pada 17 September 1750. Yang menarik, kepala perompak adalah seorang bangsa Eropa. Tersebab itu dia berpendapat perompakan adalah urusan internal VOC. Dia menolak tuntutan ganti rugi dari VOC. Karuan pejabat VOC naik darah. VOC menyebut Himayatuddin tidak taat lagi pada perjanjian sebelumnya dan mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton. Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin VOC menerima baik suksesi ini. Sultan baru berjanji memberi VOC kompensasi atas kasus perompakan kapalnya. Tetapi Sultan baru pun enggan memenuhi semua permintaan kompensasi dari VOC. Akibatnya VOC pun menyerang Buton. Perang pecah. Orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton. Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760—1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu. Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama. Himayatuddin wafat pada 1776 di Gunung Siontapina. Atas ikhtiarnya menentang VOC dan melindungi rakyatnya, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
- Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir
KAMIS, 8 November 1945. Surat kedua dari Komandan Divisi ke-5 India Jenderal Mayor E.C. Mansergh itu datang begitu tiba-tiba dan langsung dibaca oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.T.A. Soerjo. Isinya: Mansergh menuduh pihak Indonesia telah menunda-nunda evakuasi kaum interniran dan pengembalian pasukan Inggris yang tertawan atau terluka dalam pertempuran 28–30 Oktober 1945. Tak lupa dia mengumbar lagi ancaman bahwa kota Surabaya yang telah dikuasai oleh para perampok ( looters ) secepatnya akan diduduki oleh militer Inggris. “Pada akhir surat, sang jenderal meminta Gubernur Soerjo datang ke kantornya pada 9 November 1945,” ungkap sejarawan Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya . Alih-alih menuruti, besok harinya, Gubernur Soerjo hanya membalas surat Mansergh. Secara tegas dia menolak anggapan bahwa pihak Indonesia bermaksud menunda evakuasi kaum interniran dan para prajurit Inggris yang terkepung di dalam kota. “Kami telah mengembalikan mayat-mayat tentara Inggris dan korban luka kepada induk pasukannya,” ujar Soerjo. Soerjo juga mengingatkan Panglima Inggris untuk Jawa Timur itu kepada kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan koleganya, Jenderal Mayor D.C. Hawthorn pada akhir Oktober 1945. Menurut kesepakatan itu, terdapat dua lokasi di Surabaya yang akan dijaga oleh tentara Inggris yakni daerah sekitar Darmo dan Tanjung Perak. Penjagaan berlangsung selama proses pemindahan interniran dari sekitar daerah itu hingga Tanjung Perak. Jika proses pemindahan para tawanan telah selesai, pasukan Inggris dipersilakan mundur ke Tanjung Perak. Mansergh tidak mengindahkan surat balasan Gubernur Soerjo yang diantarkan oleh Roeslan Abdulgani, Residen Soedirman dan T.B. Kundan. Ia malah mengirim dua pucuk surat lagi; yang pertama ditujukan kepada R. M. T. A. Soerjo (tanpa embel-embel jabatan gubernur), dan satu pucuk yang lain lagi dialamatkan kepada seluruh orang Indonesia di Surabaya. Kedua surat itu berisi pesan yang sama. Singkatnya, Mansergh menuntut pimpinan pemerintah RI di Surabaya, pemuda, dan badan-badan perjuangan agar melaporkan diri untuk menyerah kepada Inggris atau Sekutu. Gubernur Soerjo tetap bersikap tenang menghadapi sikap sombong pihak Inggris. Dia tetap menekankan kepada para stafnya untuk mengikuti pesan Presiden Sukarno agar menghindari pertumpahan darah. Maka diutuslah lagi Residen Soedirman dan Jenderal Major Mohammad Mangoendiprodjo untuk menawarkan perundingan dan meminta Inggris mencabut ultimatumnya. Namun Inggris menolaknya. Begitu pula utusan Gubernur Soerjo berikutnya—Roeslan Abdulgani dan Dokter Soegiri—ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris. “Sepanjang sejarah, British belum pernah membatalkan sebuah ultimatum militer. Kini terserah sepenuhnya kepada tuan-tuan, bersedia memenuhinya atau menolaknya. . .,” jawab seorang opsir Inggris, seperti dikutip Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945 . Selepas tengah hari, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah pesawat Inggris yang melayang-melayang di atas kota. Pesawat menyebarkan ribuan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh selaku Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur. Isi pamflet persis sama dengan ultimatum yang telah diterima Gubernur Soerjo. Disebutkan bahwa semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada tentara Sekutu dan menyerahkan segala jenis senjata yang dimiliki. Tak pelak, ultimatum Inggris itu membuat rakyat Surabaya sangat marah. Begitu “hujan pamflet” reda, nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Dalam otobiografinya Memori Hario Kecik , Suhario Padmowirio (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakjat), saat itu di sekitarnya telah berkumpul ratusan pemuda. Semua menenteng senjata dan pistol otomatis. “Minimal mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat,” ujar Suhario. Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sinilah muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang Surabaya sebagai berikut. Tetap Merdeka! Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka! Surabaya, 9 November 1945, jam 18.46. Gubernur Soerjo menerima laporan mengenai keputusan para pemuda Surabaya. Sementara, Doel Arnowo menghubungi Jakarta dan berbicara langsung dengan Presiden Sukarno. Menurut sejarawan Frank Falmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku , Sukarno telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk meminta Jenderal Sir Philip Christison (wakil Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara) membatalkan ultimatum. Namun yang bersangkutan menolaknya. Menurut Soebardjo, keputusan akhir sepenuhnya di tangan Gubernur Soerjo secara keseluruhan. Pernyataan Jakarta itu sontakmenggusarkan Surabaya. “Jawaban macam apa itu! Tidak bilang bertempurlah sampai darah penghabisan atau sekalian bilang menyerah saja. Tapi mereka malah bilang “terserah Surabaya.” Pasti akan kami jawab: kami akan berjuang!” kenang Roeslan Abdulgani seperti dikutip Palmos. Pada akhirnya Gubernur Soerjo memang harus mengambil keputusan. Didampingi Doel Arnowo, tepat jam 21.00, Gubernur berbicara di depan corong Radio Surabaya: Saudara-saudara sekalian! Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding, senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan. Selamat Berjuang! Menurut Palmos, Soerjo menyampaikan pidatonya dalam nada serius, mirip gaya pidato Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat Perang Dunia II, sangat berbeda dengan pidato Bung Tomo sebelumnya yang berapi-api dan berdarah-darah. Pidato Soerjo terdengar sangat terhormat dan berwibawa. “Namun dia berpidato tanpa bertele-tele dan memahami keinginan rakyat Surabaya untuk melawan tentara Inggris,” kenang Hario Kecik. Usai pidato itu, Surabaya dicekam semangat perlawanan yang sangat kuat. Para pemuda di berbagai kampung bergotong royong membangun basis pertahanan berupa barikade tumpukan perabotan rumah, rongsokan kendaraan dan barang bekas lainnya. Meraka coba menahan laju tank dan infanteri Inggris sehingga membuka celah para pejuang melakukan penyergapan. Surabaya sedang bersiap menghadapi badai besar. Tepat jam 06.00 pada 10 November 1945, tentara Inggris membombardir Surabaya yang berlangsung hingga tengah malam, diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas seketika, mayoritas rakyat sipil. ”Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Moekajat, salah seorang pelaku pertempuran di Surabaya. Dari hari ke hari, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Jasad manusia, kuda, anjing, kucing, kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan dan jalan-jalan utama. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu. Di bawah “guyuran” agitasi Bung Tomo dari Radio Pemberontak, pertempuran antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pemuda lainnya melakukan perlawanan sengit. Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Menurut sejarawan David Wehl dalam The Birth of Indonesia , perlawanan pejuang Indonesia di Surabaya berlangsung dalam dua cara; pertama dengan mengorbankan diri secara fanatik, orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau belati dan dinamit di badan secara nekat menyerang tank-tank Sherman. Cara kedua, menggunakan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pada hari pertama pertempuran, Gubernur Soerjo untuk kesekian kali berpidato melalui corong radio: Saya berterimakasih, bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan jawaban terhadap ultimatum Inggris kepada kami di Jawa Timur. Keputusan kami telah mengakibatkan meletusnya pertempuran seru di Surabaya. Namun itulah keputusan kami yang terbaik. Kami bertempur untuk merebut kembali hak-hak serta kedaulatan kami dari tangan musuh. Saat ini kami semua berada dalam suatu akhir masa. Suatu masa lama yang segera akan berakhir. Peristiwa di Surabaya tidak dapat dihindari, tidak dapat diubah. Ini adalah kemauan Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini merupakan tanda-tanda, bahwa zaman keemasan segera akan datang kepada tanah air kita Indonesia. Seluruh rakyat Jawa Timur tanpa kecuali, semua buruh tinggi maupun rendah, percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi akan melimpahkan tegaknya kebenaran kepada seluruh bumi dan alam Indonesia, yang sudah berabad-abad lamanya hilang. Kami tidak pernah ingin menyerang. Tetapi kami akan mempertahankan hak-hak kami. Sebagai suatu bangsa yang mencintai kebebasan, kami berada di pihak yang benar.Kami hanya menghendaki kebenaran. Terpujilah selalu, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tentara Inggris sempat terkejut menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Di hari kedua, tiga pesawat Mosquito ditembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigadier Robert Guy Loder Symonds, Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris, terkena tembakan PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran Heiho yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai. Hingga pertempuran berakhir pada hari ke-21, korban tewas diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam pertempuran itu sekitar 16.000 jiwa. Di pihak Inggris, sejak mendarat di Surabaya, telah kehilangan sekitar 1.500 prajuritnya, termasuk dua perwira setingkat jenderal junior dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka.
- Mereka Saling Menjaga: Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
KENDATI kerap berselisih paham, Sukarno dan Hatta tetap menjaga hubungan pribadi dengan baik. Bagi keduanya politik hanya jalan untuk mewujudkan idealisme, tidak untuk memecah persahabatan. Meskipun banyak yang menilai Sukarno dan Hatta bermusuhan, tetapi orang-orang di sekitar mereka menyaksikan sendiri keduanya memang memiliki kedekatan emosional yang khusus. Menitipkan Sukarno Kisahnya terjadi saat Sukarno diasingkan ke Bengkulu pada 1938. Ketika itu Pengusaha Hasjim Ning –keponakan Hatta yang kelak menjadi sahabat Sukarno– tengah mengerjakan proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim diberitahu ayahnya kalau ia telah dikirimi surat oleh Hatta yang sedang diasingkan di Banda Neira. Dalam surat tersebut Hatta berpesan agar ayah Hasjim bersedia membantu segala keperluan Sukarno selama menjadi tahanan di Bengkulu. Mendapat tugas menemui tahanan politik pada masa itu bukanlah persoalan yang mudah. Terlebih Hasjim belum pernah bertemu langsung dengan Sukarno. Ia lalu teringat kepada Raden Mas Rasjid, kepala proyek rehabilitasi yang telah kenal Bung Karno sejak masih di Bandung. Rasjid bersedia mempertemukan Hasjim dengan kawannya itu. Di rumah Bung Karno, Hasjim disambut dengan baik. Ia lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon ucapan Hasjim, Sukarno malah menanyakan hal lain. “Wah Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” ucap Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoranya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Keduanya terlibat obrolan yang panjang, terutama terkait hubungan kekerabatan Hasjim dan Hatta. Upaya bantuan Hasjim pun baru direspon Bung Karno setelahnya. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan coklat,” pinta Si Bung. Kebaikan itu tidak pernah dilupakan Sukarno. Saat ia akhirnya bertemu Hatta pada masa pendudukan Jepang, Sukarno menceritakan semuanya. Hatta hanya merespon singkat dan datar. Seolah itu hanya kejadian biasa buat dirinya. “Ya, kebetulan sekali ada seseorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Hatta. Melamar Buat Hatta Banyak hal yang diingat dari sosok seorang Hatta. Satu yang sangat terkenal adalah janji Hatta bahwa dia tidak akan menikah sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sukarno sebenarnya sudah sering mengingatkan tentang mencari pasangan, tetapi begitulah Hatta, teguh pada pendiriannya. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida, putri ketiga Hatta, kepada Historia . Setelah Indonesia merdeka, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ungkap Sukarno kepada R. Soeharto, dikutip Saksi Sejarah . “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rachmi, putri keluarga Rachim.” Keluarga Rachim tidaklah asing baik bagi Sukarno maupun Hatta. Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta , Hatta sempat menaklukan hati seorang gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalih bahasa pemerintah Aceh. Keduanya diceritakan pernah bertunangan. Namun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan. Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi. Rachmi inilah yang memikat hati Hatta. Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachmi. Ia menjelaskan makasud kedatangannya, yakni melamar Rachmi untuk sahabatnya, Hatta. Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rachmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Hatta mempersembahkan sebuah buku yang ditulisnya saat dibuang ke Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani . “Apakah Hatta melihat sifat Rachmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.” Namun ucapan itu dibantah Halida. Menurutnya, Mavis salah kaprah karena Anni bertemu kali pertama dengan Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rachmi untuk Hatta. Sehingga peristiwa hampir menikahnya Hatta dan Anni, kata Halida, tidak benar. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida. Bak Saudara Kandung Meski telah berjuang bersama-sama mewujudkan kemerdekaan di negeri ini, pada akhirnya sang dwi tunggal mesti berpisah. Adalah perbedaan pandangan politik yang menjadi sebab. Hatta yang tidak setuju dengan konsep demokrasi terpimpin vers Sukarno, memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Namun bagi mereka, politik hanyalah politik. Persahabatan keduanya tidak terpengaruh sama sekali. Hubungan pribadi Sukarno dan Hatta tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo menjadi saksi kedekatan dua proklamator itu. Dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku Ali pernah bertanya kepada kedua sahabatnya itu apakah keretakan hubungan mereka terjadi karena sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri, kata Bung Karno, yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya. Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” ungkap Ali. Asisten pribadi Hatta, Iding Wangsa Widjaja, juga menjadi saksi hubungan baik Sukarno-Hatta. Di dalam buku Mengenang Bung Hatta , Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. “Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau,” ucapnya. Meski telah mengundurkan diri, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkan Hatta. AKBP Mangli Martowidjojo, salah satu komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 menyebut mendapat perintah dari Sukarno agar Hatta tetap dikawal seperti biasa. “Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden RI dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta,” ucap Sukarno seperti dikutip Mangil. Namun fasilitas yang diberikan kepada Hatta itu hanya sampai tahun 1959. Menteri Keamanan Nasional AH Nasution memerintahkan penarikan pasukan penjagaan Bung Hatta. Dalam sebuah acara pamitan pada 27 November 1959, Hatta berpesan agar Mangil dapat menjaga Sukarno dengan baik. Menurutnya, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. “Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno,” kata Hatta. Menjaga dari Jauh Pasca naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden pada Maret 1967, Sukarno segera ditetapkan sebagai tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta (sekarang Museum Satria Mandala). Ia menjalani akhir hidup yang memilukan. Menurut sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa , Bung Karno dikucilkan dari rakyatnya di Wisma Yaso sejak pengujung Desember 1967. “Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.” Hal itulah yang membuat Hatta sangat kesulitan menemui sahabatnya itu. Bung Hatta bukan tidak mengusahakan pertemuannya dengan Sukarno, namun ia sangat mengerti apa yang akan terjadi kepada Bung Karno jika ia melakukan hal tersebut. Menurut Meutia Hatta, putri pertama Bung Hatta, ayahnya selalu bersabar menunggu kesempatan dapat bertemu Bung Karno. Karena memang pada waktu itu suasana tidak mendukung pertemuan keduanya. Rezim Soeharto menjaga ketat keberadaan Sukarno. “Pada prisipnya Bung Hatta itu tidak ingin memberatkan Bung Karno. Ayah saya tidak ingin kedatangannya malah membuat Bung Karno atau keluarganya lebih ditekan dan mereka lebih sewenang-wenang terhadap Bung Karno. Hatta menjaga kawannya dari jauh” kata Meutia kepada Historia . Wali Nikah Menyaksikan secara langsung prosesi pernikahan anak merupakan dambaan setiap orang tua. Namun kebahagiaan seperti itu tidak dapat dirasakan Sukarno. Sewaktu putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra, hendak menikah pada Februari 1970, Bung Karno tidak dapat hadir. Selain karena memang kondisi kesehatannya yang buruk, larangan pemerintah Orde Baru pun menjadi alasan terberat Sukarno tidak bisa hadir bersama keluarganya. Kondisi itu membuat Guntur harus memilih seseorang menggantikan peran ayahnya sebagai wali nikah. Tidak mudah memang, tetapi ia akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Hatta. Keputusan itu diambil setelah Guntur mendapat saran dari ayahnya sewaktu ia datang meminta restu. Ditemani ibunya, Farmawati, Guntur datang nemenui Hatta. Mereka lalu menjelaskan kondisi sulit yang sedang terjadi pada Sukarno dan meminta kesediaan Hatta untuk menggantikannya sebagai. “Ya, saya bersedia,” ucap Hatta menjawab permintaan putra sahabatnnya itu, sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku . Jawaban cepat itu cukup membuat Guntur terkejut, mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta. Pernikahan Guntur berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. Pernikahannya sederhana. Tidak banyak kawan-kawan Bung Karno yang hadir. Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, dimuat Malam Bencana 1965 , Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Bung Hatta benar-benar menyadari kepedihan hati Bung Karno yang tidak bisa menyaksikan putranya menikah. Pertemuan Terakhir Pada Jumat Pagi, 19 Juni 1970, Bung Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah seorang kawan Sukarno. Dia diberitahu kalau Bung Karno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Si Bung harus dirawat intensif setelah kesehatannya kian menurun. Mendengar kabar tersebut, Hatta segera mengusahakan izin membesuk Sukarno. Setelah menghubungi kesana kemari, Hatta akhirnya mendapat izin dari Presiden Soeharto. Kepada Historia Meutia Hatta menggambarkan suasana di ruangan tempat Sukarno dirawat, yang baginya sangat mengharukan.Hattaberdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan adiknya Gemala Hatta berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja, sekertaris pribadi Hatta, berdiri di sisi lain tempat tidur. “Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja. Sukarno yang sebelumnya tidak sadarkan diri, tetiba terbangun saat Hatta dan rombongannya berada di dalam ruangan. Dia kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno. Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara. “Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. “Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.” Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya. Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Saat menerima kabar duka itu, Hatta lama terdiam. Nampak sekali dia merasa kehilangan.






















