Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional
Usulan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Masjkur mendapat persetujuan berdasarkan hasil pertemuan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 6 November 2019. Selain Masjkur, ditetapkan pula lima tokoh lainnya sebagai Pahlawan Nasional, yakni Rohana Kudus , Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, M. Sardjito, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan A.A. Marimis. Kabar ini mendapat sambutan baik dari Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, Masjkur menjadi tokoh NU kesembilan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Usulannya pun telah diajukan sejak 2009. “Seingat saya sejak tahun 2009 yang efektif. Sudah lama kemudian menguap. Baru belakangan tahun 2014 diusulkan namun gagal,” kata Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekjen PBNU kepada Historia . Selama ini NU telah mengusulkan beberapa nama calon Pahlawan Nasional, mulai dari Saifuddin Zuhri , Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Ahmad Shidiq hingga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Masjkur paling "senior". “Di medan laga, beliau komandan Hizbullah. Kemudian perang gerilya melawan agresi Belanda. Perang bersama Pak Soedirman, keliling Jawa bergerilya. Itu perjuangan yang memang riil. Ia berjuang di meja perundingan, lapangan, dan Konstituante. Sehingga beliau pantas diangkat sebagai pahlawan, bahkan terlambat sebenarnya,” kata Abdul Mun’im. Dari Pesantren ke Medan Laga Masjkur lahir di Singosari, Malang, pada 30 Desember 1902 dari pasangan Maksum dan Maemunah. Ia mengenyam pendidikan di tujuh pesantren berbeda di berbagai daerah. Dari Pesantren Bungkuk Singosari di kampung halamannya hingga Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asyari. Ia juga pernah menjadi murid KH Kholil Bangkalan di Madura dan terakhir belajar di Pesantren Jamsaren, Solo. Soebagijo I.N. dalam K.H. Masjkur, Sebuah Biografi menyebut, pada 1923 Masjkur mendirikan pondok pesantren Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) di kampung halamannya di Singosari, Malang. Ia juga aktif sebagai ketua NU cabang Malang pada 1926. Kemudian pada 1938, ia diangkat sebagai anggota PBNU yang bermarkas di Surabaya. Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Ia juga aktif dalam laskar Hizbullah, kesatuan sukarela khusus Islam di bawah Masyumi. Ia mendapat pelatihan kemiliteran dan pelatihan khusus ulama dari Jepang. Masjkur kemudian menjadi anggota Syuu Sangi-kai, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, anggotanya tidak mempunyai hak bertanya atau wewenang membuat undang-undang. Tugasnya hanya memberi nasihat. Meski demikian, dalam banyak kesempatan, Masjkur seringkali mengeluarkan pendapat yang membela nasib rakyat. KH Masjkur (kiri) bersama Jenderal Daryanto saat pelantikan anggota MPR/DPR, 9 Mei 1978. (Perpusnas RI). Tak lama kemudian Masjkur menjadi anggota pengurus Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang bertugas menghimpun dana untuk keperluan prajurit dan keluarga yang ditinggalkan. Di akhir masa pendudukan Jepang, Masjkur menjadi anggota Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Meski sempat terjadi perdebatan soal Islam sebagai dasar negara, Masjkur dan tokoh-tokoh Islam lain akhirnya menerima konsep Pancasila usulan Sukarno. “Dengan sadar kelompok Islam pada waktu itu menerima konsep Bung Karno tentang Pancasila, dengan dasar pemikiran bahwa yang terpenting pada saat itu ialah utuhnya Negara Kesatuan RI yang akan lahir itu,” sebut Soebagijo. Pada 19 September 1945, terjadi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Tergugah oleh peristiwa itu, Masjkur menghimpun para pemuda Islam dalam laskar Hizbullah, kelanjutan dari zaman Jepang. Laskar ini turut bertempur di Surabaya melawan pasukan Inggris yang geram pasca tewasnya Mayor Jenderal Mallaby . Pada masa revolusi fisik ini, Masjkur menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara. Tugasnya membuat peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain yang tersebut dalam undang-undang keadaan bahaya. Lima Kali Jadi Menteri Agama Menurut Ahmad Syafi’i dalam "K.H. Masjkur: Kementerian Gerilya dan Waliyul Amri" yang termuat dalam buku Menteri-Menteri Agama RI , suatu hari di bulan November 1947, Masjkur dipanggil Sukarno ke Yogyakarta. Rupanya, ia hendak diangkat menjadi menteri agama dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Namun, pada 23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin harus mundur dari jabatan Perdana Menteri karena Perjanjian Renville. Amir digantikan Mohammad Hatta. Dalam Kabinet Hatta I ini, Masjkur meneruskan tugasnya sebagai menteri agama. Pada masa ini, Masjkur ditugaskan ke Jawa Barat untuk menemui S.M. Kartosoewiryo, imam DI/TII yang mendirikan Negara Islam Indonesia. Meski tak berhasil menemui Kartosoewiryo, menurut Abdul Mun’im, Masjkur cukup berhasil meredam gerakan DI/TII. “Beliau menteri agama yang punya pengalaman lapangan. Cukup baik meredam gerakan DI/TII,” kata Mun’im yang menyusun buku Fragmen Sejarah NU . Sebagai menteri agama, Masjkur juga berperan dalam penyelidikan dan pencatatan jumlah korban Peristiwa Madiun 1948. Timnya berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pengarahan dan memperkuat ketahanan mental masyarakat. Ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Masjkur termasuk menteri yang lolos dari sergapan. Sejak itu, ia gerilya dari Solo ke Ponorogo kemudian Trenggalek. Ia juga sempat bergabung dengan pasukan Panglima Jenderal Soedirman. Setelah Yogyakarta kembali ke tangan Republik, Masjkur menjadi menteri agama dalam Kabinet Hatta II dan berlanjut pada era acting Perdana Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Pada 19 April 1953, Ketua Umum PBNU Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Masjkur yang menjabat Ketua I menggantikannya sebagai ketua umum. Pada 30 Juli 1953, ia ditunjuk lagi menjadi menteri agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kritis terhadap Orde Baru Pasca Pemilu 1955, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Masjkur terpilih sebagai salah satu anggota Konstituante. Setelah Konstituante dibubarkan, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong. Ia kemudian menjadi anggota staf biro politik Komando Tertinggi Retooling Aparatur ( Kotrar ). Masjkur tetap aktif di dunia politik hingga rezim berganti. Pada masa Orde Baru, ia menjadi anggota DPR dan pernah menjabat ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Di masa represif itu, ia termasuk tokoh yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang keliru. “Bersama yang lain, waktu itu mengkritisi undang-undang kepartaian karena partai dikebiri sedemikian rupa. PPP bersuara sangat keras. Tapi akhirnya PPP dibersihkan dari unsur NU,” ujar Abdul Mun’im. Masjkur juga menentang UU Perkawinan yang dianggap sekuler. Ia juga keras menentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa bikinan rezim Soeharto. “Beliau juga menentang P4 karena negara dianggap memonopoli penafsiran tentang Pancasila. Bukan beliau anti-Pancasila tapi monopoli penafsiran Pancasila yang ditentang,” jelas Abdul Mun’im. Di akhir penjalanan hidupnya, Masjkur tetap aktif di NU. Ia menjabat ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) hingga meninggal dunia pada 18 Desember 1992.
- Dua Ras Nusantara dan Karakternya
Secara fisik orang Papua dan sebagian Indonesia bagian timur berbeda dengan orang Indonesia di barat. Kendati begitu mereka tak benar-benar terpisah secara evolusi. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi sekarang fisiknya lain, tapi semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” kata Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta. Sebelum penelitian tentang fosil dan genetika dilakukan, Alfred Russel Wallace telah menyimpulkan bahwa ada dua ras berbeda yang mendiami Nusantara, yaitu ras Melayu di Indonesia barat dan ras Papua di timur. “Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sementara ras Papua mendiami wilayah New Guinea,” catatnya dalam Kepualauan Nusantara. Wallace, naturalis asal Inggris, berkelana di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun (1854-1862). Dari perjalanan itu, ia membagi batas-batas fauna secara geografis yang disebut Garis Wallace. Selain itu, Wallace juga memiliki pandangan terkait ras-ras di Nusantara. Dalam catatannya yang berjudul asli The Malay Archipilago itu, ia menjabarkan perbedaan antara kedua ras berdasarkan fisik dan mental, sekaligus kemiripan dengan suku-suku di sekitarnya. Orang Melayu Wallace mencatat, warna kulit ras Melayu yang telah berkembang menjadi suku bangsa yang beraneka ragam adalah coklat kemerah-merahan dengan sedikit banyak kuning kecoklatan. Rambutnyahitam, lurus, dan agak kasar. “Warna rambut yang agak terang, yang berambut ikal, dan keriting merupakan akibat percampuran dengan ras lain,” jelas Wallace. Mereka tak berjanggut. Dada dan badan tak banyak bulu. Perawakannyasama dan lebih kecil dibanding orang Eropa. Badannyakuat dengan dada bidang. Kakinya kecil dan pendek. Tangannya kecil dan agak halus. Mukanyasedikit lebar dan cenderung datar. Dahinya agak bulat, alis tipis, dan hitam. Sorot matanyaramah. Hidungnyakecil, tak mancung namun lurus. Puncak hidungnya agak bulat dengan lubang hidung lebar. Tulang rahang agak menonjol. Mulutnya lebar, bibir tebal, tatapi tak monyong. Dagunya bundar. “Pada dasarnya orang Melayu tidak tampan. Tapi ketika masih remaja mereka sangat menawan,” kata Wallace . “Anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12 atau 15 tahun sangat rupawan.” Wallace pun menyimpulkan bahwa kecantikan dan ketampanan mereka hilang karena kebiasaan buruk. Hidup mereka tak teratur. Dalam usia yang masih sangat muda, mereka terus-menerus memakan sirih. Mereka juga menghisap tembakau. Pun menderita kekurangan gizi. “Mereka sangat menderita karena terbakar matahari saat mencari ikan dalam perjalanan jauh,” lanjut Wallace. Orang-orang Melayu muda ini juga seringkali hidup antara kelaparan dan kelimpahan makanan. Antara kemalasan dan kerja berat. “Hidup semacam ini mempercepat penuaan dan menambah kesuraman wajah,”kata Wallace. Dari sisi emosi, orang Melayu termasuk yang datar. Mereka pendiam, kurang percaya diri, dan pemalu. “Para pengamat berpendapat bahwa sifat-sifat kejam dan haus darah yang dituduhkan kepada ras Melayu mungkin telah dibesar-besarkan,” kata Wallace. Pasalnya, orang Melayu sangat tertutup. Perasaan mereka tak pernah dikatakan secara terbuka. Mereka berbicara dengan sangat hati-hati, bahkan berbelit-belit. Orang Papua Berbeda dengan ras Melayu, orang Papua punya warna kulit coklat gelap. “Adakalanya kulit mereka berwarna coklat kehitam-hitaman,” kata Wallace. Rambut orang Papua sangat khas: keriting kecil-kecil, kasar, dan kering. Rambut itu tumbuh dalam rumpun-rumpun kecil. Saat muda, rambut mereka begitu pendek dan rapat. Kalau dipanjangkan, rambut itu akan mengembang. Bagi orang Papua, rambut adalah kebanggaan. “Rambut bagi orang Papua adalah lambang keagungan,” kata Wallace. Tak kalah dengan rambutnya, janggut orang Papua juga keriting. Di kaki, lengan , dan dada pun berambut. Dibanding orang Melayu, perawakan orang Papua lebih besar. Kaki mereka panjang dan kurus. Tangan dan kakinyajuga lebih besar. Soal wajah, muka orang Papua lonjong. Dahi mereka datar. Alisnya runcing. Hidungnya besar, agak bengkok, dan mancung. Pangkal hidungnya tebal dengan lubang yang lebar. Celah antarhidung dengan mulut tak terlihat, karena ujung hidungnya memanjang. Sementara mulutnya lebar, bibirnya tebal, dan menonjol. “Pada dasarnya wajah ras ini lebih mirip wajah orang Eropa daripada orang Melayu, karena memiliki hidung besar, alis runcing, dan bentuk kepala yang khas,” lanjut Wallace. Sifat orang Papua juga jauh berbeda dibandingkan orang Melayu. Wallace mengamati, orang Papua cenderung lebih ekspresif, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Mereka riang dan penuh tawa. Pembauran Berdasakan pembagian secara etnologis, Wallace mencermati orang-orang berperawakan khas Melayu banyak meninggali wilayah barat Nusantara. Sementara mereka yang berciri Papua menghuni bagian timur, termasuk seluruh bagian Pulau Papua, Aru, Mysol, Kepulauan Kei, Waigeo, dan Salawati. “Ras Papua persebarannya juga meluas ke timur dan melampaui New Guinea Timur sampai ke Kepulauan Fiji,” jelas Wallace. Secara keseluruhan, kata Wallace, ras Melayu mirip dengan penduduk Asia Timur, dari Siam sampai wilayah Manchuria di Cina Daratan. Ia sempat terkesan melihat kebiasaan pedagang Cina yang mengikuti kebiasaan penduduk Bali sehingga sulit dibedakan. “Pada saat yang lain, saya melihat penduduk asli Jawa dengan raut wajah menyerupai orang Cina,” catatnya. Lebih jauh lagi, Wallace membandingkan kekhasan ras Melayu yang menghuni Benua Asia dan pulau-pulaunya sama dengan kekhasan mamalia besar yang juga menghuni wilayah itu. Ini, kata Wallace, menunjukkan kalau semua daerah ini pernah tersambung menjadi satu. Akhirnya, Wallacepun menarik sebuah garis dari Kepulauan Filipina, kemudian menyusuri Pantai Barat Gilolo, melalui Pulau Bouru, dan melengkung mengelilingi ujung barat Flores, kemudian membelok kembali di dekat Pulau Cendana terus ke Rote. Dari situ, ia membagi Nusantara menjadi dua bagian dengan dua ras yang berbeda. “Garis ini akan memisahkan ras Melayu dan semua ras Asia dari ras Papua serta semua penduduk Pasifik,” jelasnya. “Meskipun di sepanjang garis penghubung telah terjadi perpindahan dan percampuran antara ras.” Pada masa kini, terbukti alih-alih pemisahan lebih tepat jika disebut dengan pembauran. Itu dibuktikan oleh studi genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Penelitinya, Herawati Supolo-Sudoyo, menjelaskan lembaga itu telah melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 6.000 individu dari 70 populasi etnik di 12 pulau menggunakan penanda DNA. Hasilnya, populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Data genomik menunjukkan adanya migrasi leluhur penutur Austronesia dari Taiwan yang bercampur dengan leluhur penutur Austroasiatik dari Cina Daratan yang kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen moyang Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika moyang Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika moyang Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika leluhur penutur Austronesia. Hal itu kemudian dibuktikan pula dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur bahasa Austronesia. “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati. Ihwal adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya, kata Hera, itu dipengaruhi kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam pengembaraan para leluhur hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang silih berganti. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Secara Paleontologi, orang-orang Papua mewakili apa yang disebut sebagai ras Australomelanesid. Merekalah leluhur orang Papua masa kini. Sementara penutur Austroasiatik dan Austronesia mewakili ras Mongoloid. Semuanya adalah keturunan manusia modern ( Homo sapiens ) yang diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua Afrika sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dalam migrasinya, leluhur orang Papua lebih dulu menghuni Nusantara. Itu terjadi sebelum migrasi Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Seiring kedatangan mereka, Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. Belakangan, sebagian populasi mendapat campuran gen lagi dari India, Cina, Arab, dan Eropa. Inilah yang kemudian membentuk keragaman genetika orang Indonesia.
- Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional
ROHANA Kudus, wartawan perempuan pertama Indonesia, ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (8/11/ 2019). Keputusan ini didapat dari hasil pertemuan antara Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/11/2019). Rapat tersebut membahas tentang usulan calon Pahlawan Nasional 2019 yang terdapat dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor: 23/MS/A/09/2019 tanggal 9 September 2019. Penetapan ini menjadi kabar baik untuk Pemerintah Sumatera Barat yang sudah mengusulkan nama Rohana Kudus sebagai pahlawan nasional sejak 2018. Rohana Kudus atau Sitti Rohana merupakan perempuan pejuang asal Sumatera Barat. Ia lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan seorang Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan ibunya bernama Kiam. Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar membaca. Sejak kecil ia punya kesempatan untuk mengakses bacaan lewat buku, majalah, dan suratkabar yang dibeli ayahnya. Kegemaran membaca ayahnya ditularkan pada Rohana. Meski tak mengenyam bangku sekolah formal, atas didikan ayahnya, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu. Ketika Rohana berusia enam tahun, ayahnya pindah tugas ke Alahan Panjang sebagai juru tulis. Di sana ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan. Lantaran tak punya anak, pasangan Sutan dan Adiesa menganggap Rohana sebagai anak sendiri. Adiesa sering memanggil Rohana untuk main di rumahnya. Di sana, Rohana tak semata main tapi juga diajari baca-tulis-hitung. Setelah dua tahun diajari Adiesa, Rohana bisa menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Ia juga sudah bisa berbahasa Belanda di usia 8 tahun. Untuk memperdalam kemampuan Rohana, ayahnya berlangganan buku dongeng anak terbitan Medan, Berita Ketjil. Terkadang sang ayah juga membelikan buku cerita terbitan Singapura atau mendapat oleh-oleh buku anak dari rekannya yang pegawai Belanda. Buku-buku itulah yang dilahap Rohana kecil. Menulis untuk Membela Nasib Perempuan Rohana amat peduli dengan nasib perempuan. Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi putri mendorong Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah kaum putri yang mengajarkan keterampilan. Rohana tak berhenti berjuang hanya dengan mendirikan sekolah. Lewat diskusi dengan suaminya, Abdul Kudus, Rohana menceritakan keinginannya untuk memperluas perjuangan. “Kalaupun hanya mengajar, yang bertambah pintar hanya murid-murid saya saja. Saya ingin sekali berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi,” kata Rohana pada suaminya, seperti ditulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia. Setelah diskusi itu, Rohana mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe , di Padang. Rohana menyampaikan keinginannya agar perempuan diberi kesempatan mendapat pendidikan sama seperti lelaki. Ia juga mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan. Maharadja merupakan wartawan senior yang bijaksana dan kebapakan. Ia amat tersentuh membaca surat Rohana. Lantaran itu pula ia rela ke Koto Gadang untuk menemui perempuan cerdas yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal itu. Dalam pertemuan itu, Rohana menyampaikan bahwa idenya tidak sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe , melainkan juga menerbitkan surat kabar yang dikhususkan untuk perempuan. Namun, Rohana tidak bisa mengurus itu seorang diri karena tidak bisa meninggalkan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah Kerajinan Amai Setia yang didirikan Rohana Kudus. (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia). Maharadja lantas mengusulkan agar anaknya, Ratna Juwita Zubaidah, yang akan mengurus keperluan di Padang. Usulan pembagian tugas ini disetujui karena dianggap cukup adil. Rohana dan Ratna Juwita akan sama-sama menulis. Sementara Ratna Juwita mengurus keperluan redaksi di Padang, Rohana mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam suratkabar mereka. Maka, terbitlah Soenting Melajoe . Kata “Sunting” dipilih karena berarti perempuan dan “Melayu” mewakili nama wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini diperuntukan bagi perempuan di seluruh tanah Melayu. Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912. Surat kabar ini terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman. Biaya langganannya mencapai f 1.80 per tahun atau f 0.45 per triwulan. Persebaran Soenting Melajoe tak hanya di hampir seluruh Minangkabau dan Sumatera, namun juga menjaungkau Malaka dan Singapura karena disirkulasikan bersama Oetoesan Melajoe. Oleh karena itu, ada pula biaya langganan untuk wilayah di luar Hindia Belanda, yakni f 2.60 per tahun. Tulisan yang dimuat Soenting Melajoe beragam. Selain berita terjemahan dari bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan para kontributor, hingga puisi. Adanya wadah untuk menampung pikiran perempuan itu membuat Rohana semangat mengajak kawan-kawan dan muridnya untuk menulis di Soenting Melajoe. Di antara yang mengirim tulisannya, ada istri Wiria Atmadja dengan tulisan tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober 1912. Lain waktu, pada Kamis 30 Januari 1913, Soenting Melajoe memuat puisi salah satu murid Rohana. Rohana dan Ratna Juwita sudah barang tentu menulis di setiap edisi. Pada Sabtu, 7 Agustus 1912, lewat artikel berjudul “Perhiasan Pakaian”, Rohana membahas keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan untuk pakaian. Ia menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal, menurut Rohana, jika keahlian itu diturukan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perempuan. Intinya, Rohana mengajak para perempuan untuk berbisnis dengan modal keterampilan menghias baju. Rohana bersama murid-muridnya (kiri). Rohana di usia senja (kanan). (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia ). “Sayang sekali kepandaian kita itu tidak dimajukan terus dan tidak dihikmatkan supaya kian lama bertambah halus dan bersih perbuatannya sampai boleh menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain,” tulis Rohana dalam artikel itu. Adanya Soenting Melajoe membuat Rohana menjadi lebih sibuk. Disiplin mengatur waktu pun ia terapkan agar semua kegiatannya bisa berjalan lancar. Seperti ditulis Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, dalam sehari Rohana akan mengajar selama dua jam di sekolahnya, dua jam pula ia sempatkan untuk mengurus perkumpulan perempuan, dan malamnya ia fokuskan untuk menulis artikel di Soenting Melajoe. Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe . Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang. Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi. “Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan,” kata Rohana.
- Membangkitkan Kembali Ratu Ilmu Hitam
Hanif (Ario Bayu) mengajak istri (Hannah Al Rasyid) dan anak-anak mereka berkunjung ke panti asuhan tempat Hanif ditampung ketika kecil. Selain Hanif, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan) yang juga mantan anak panti turut datang. Mereka hendak menjenguk orang tua panti mereka, Pak Bandi (Yayu Unru) yang sedang sakit. Setelah sekilas bernostalgia dengan rumah panti yang nampaknya terpencil dan jauh dari kota itu, mereka mulai mengalami serangkaian teror. Berbagai kejadian tragis dalam waktu semalam itu kemudian mengingatkan mereka pada sejarah kelam yang terjadi di panti sekitar 20 tahun yang lalu. Bagaimana kelanjutannya? Sila tonton sendiri karena film Ratu Ilmu Hitam , hasil kolaborasi Joko Anwar bersama Kimo Stamboel telah resmi rilis di bioskop-bioskop Indonesia, 7 November 2019. Kali ini Joko Anwar sebagai penulis skenario sedangkan Kimo berperan sebagai sutradara. Dalam gala premier film ini, 4 November 2019, hadir mantan aktor Clift Sangra. Ia mengatakan bahwa film ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus mengenang mendiang Suzzanna, pemeran Ratu Ilmu Hitam (1981). Ratu Ilmu Hitam (2019) resmi tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 November 2019. (Fernando Randy/Historia). Ratu Ilmu Hitam memang pertama kali dibuat pada 1981. Film ini mendapuk Suzzanna sebagai Sang Ratu Ilmu Hitam. Beberapa pemeran lainnya yakni Alan Nuari, Sofia WD , Teddy Purba, hingga WD Mochtar juga turut membuat film ini sempat populer pada era itu. Film ini disutradarai oleh Lilik Sudjio , ide cerita oleh Subagio Samtani, dan skenarionya ditulis oleh Imam Tantowi. Murni (Suzzanna) dituduh menggunakan ilmu hitam oleh Kohar (Alan Nuary) untuk mengacaukan pernikahan Kohar. Calon istri Kohar kesurupan, reog yang ditanggap mengamuk, pesta pernikahan itu pun berakhir kacau. Bahkan, dukun yang hendak membantu pun tewas mengenaskan. Kohar menghasut warga desa. Murni ditangkap, rumahnya dibakar, dan ia akhirnya dibuang ke jurang. Murni sendiri dulu sebenarnya adalah kekasih Kohar. Namun setelah ditiduri Kohar, Kohar justru menikahi perempuan lain. Seorang dukun teluh bernama Gendon akhirnya menyelamatkan Murni. Gendon memprovokasi Murni agar balas dendam kepada Kohar dan warga desa yang menyakitinya. Gendon melatih Murni ilmu hitam hingga menjadi Ratu Ilmu Hitam. Serangkaian pembunuhan oleh Murni pun terjadi di desa. Satu per satu warga yang dulu turut menganiaya Murni kena teluh dan tewas mengenaskan. Suatu ketika, seorang pemuda bernama Permana datang ke desa mencari keluarganya. Permana ternyata adalah kakak Murni. Namun, Murni justru jatuh cinta pada Permana. Semenjak balas dendamnya kepada Kohar terpenuhi, Murni sudah berniat ingin menghentikan terornya di desa. Namun Gendo menahannya. Akhirnya, Murni malah berniat membunuh Permana karena salah paham. Permana yang juga mempunyai kekuatan spiritual bisa menyadarkan Murni. Akhirnya, Murni menyerang Gendon hingga tewas. Namun, Murni sendiri juga tewas. Film ini dibuat pada masa film horor booming pada 1980-an dengan produksi mencapai sekira 69 judul film. Apalagi Suzzanna kala itu telah menjadi ikon film horor Indonesia. Sejumlah film horor yang dibintanginya, seperti Sundelbolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Jumat Kliwon (1986) laris di pasaran. Setidaknya Suzzanna telah membintangi 18 film horor. Pada saat yang sama, latar tempat yakni desa terpencil dengan segala konstruksi mistisnya memang masih kental. Maka tak heran, banyak film horor saat itu berlatar belakang desa dengan makhluk mistis, ilmu gaib, maupun hantu-hantu ciptaan masyarakatnya. Dengan resep itu, film-film horor kala itu barangkali dengan mudah meneror para penontonnya. Mengutip filmindonesia.or.id , pada Festival Film Indonesia 1982, film Ratu Ilmu Hitam menyabet lima penghargaan sekaligus. Atas perannya sebagai Murni, Suzzana meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik sedangkan WD Mochtar meraih penghargaan pemeran pembantu pria terbaik. Tiga penghargaan lain yakni editing terbaik, fotografi terbaik, dan artistik terbaik.
- Kebingungan Rombongan Perwira Angkatan Udara Sepulang dari China
SAAT menerbangkan pulang helikopter Mi-6 dari Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Husein Sastranegara, Bandung ke PAU Atang Senjaya, Bogor pada 2 Oktober 1965, Letda Udara (kini kolonel udara purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal janggal. “Di atas, ramai (informasi radio, red .). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan darat,” ujar Pram menirukan suara radio di cockpit helinya, kepada Historia . Ternyata, larangan di radio yang didengar Pram merupakan aturan yang dikeluarkan komandan-komandan PAU kepada pesawat-pesawat AURI yang sedang mengudara menyusul terjadinya G30S. Larangan itu muncul mengikuti keadaan yang cepat berubah lantaran keadaan darurat. Kondisi seperti yang dialami Pram juga dirasakan Kolonel Udara Santoso saat ditugaskan memiloti pesawat Hercules AURI untuk menjemput rombongan Seskau AU yang study tour ke RRC. Dari Canton (kini Guangzhou) sampai memasuki wilayah udara Indonesia, tanggal 6 Oktober, penerbangan Santoso berjalan dengan baik dan tenang. Perubahan baru terjadi ketika pesawat mendekati ibukota. “Setelah pesawat mendekati Jakarta, mendapat tiga instruksi. Pertama, agar Hercules mendarat di PAU Halim, instruksi kedua, agar mendarat di PAU Atang Senjaya Semplak dan yang ketiga, agar mendarat di PAU Husein Sastranegara,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Tiga instruksi itu membuat bingung Santoso dan juga Komodor Sri Bimo Ariotedjo, Danjen Sekolah Staf Komando AU (Seskau), yang berada di cockpit . “Ini perintah siapa?” tanya Bimo. “Kalau instruksi dari PAU Husein pasti datang dari Kolonel Ashadi komandan PAU Husein,” jawab Santoso. Ashadi (KSAU 1977-1982 ) merupakan komandan PAU pertama yang mengeluarkan himbauan kepada pesawat-pesawat AURI yang hendak mendarat ke Halim agar mengalihkan pendaratan ke PAU Husein yang dianggapnya lebih aman. Himbauan itu muncul menyusul didudukinya Halim oleh RPKAD pada 1 Oktober sore karena mengira AURI bakal membom Kostrad. Himbauan pertama Ashadi, dinihari 2 Oktober 1965, ditujukan kepada lima pesawat AURI yang dikirim dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh, Melang ke Halim. Sebuah pesawat B-25 Mitchell yang terlanjur mendarat di Halim sebelum himbauan Ashadi keluar, akhirnya roda-rodanya digembosi para personil RPKAD. Namun karena tidak mengetahui maksud Ashadi dan justru menilai himbauan itu akan dimaksudkan untuk bermacam hal yang tak diinginkan, Bimo memerintahkan agar Santoso tak mendaratkan Hercules ke Bandung. Bimo lalu menanyakan pada Santoso apakah sebelum berangkat ke Canton mendapatkan kejadian aneh. Sang pilot pun menjawab bahwa pada dinihari 2 Oktober ketika Laksda Sri Mulyono Herlambang hendak kembali ke Jakarta dari Medan, di atas Tanjung Priok pesawatnya ditembaki oleh Artileri Serangan Udara milik AD. Mendengar jawaban Santoso, Bimo langsung memerintahkan agar Hercules mendarat di Halim dan sebelum masuk Karawang, pesawat turun ke ketinggian 500 kaki. “ Straight masuk Halim. Nggak usah call-call -an. Long final runway 24, langsung mendarat!” kata Bimo memberi perintah. Hercules akhirnya selamat mendarat di Halim yang saat itu sudah aman setelah pasukan RPKAD keluar usai diberi penjelasan Laksda Herlambang. Namun ketika rombongan siswa Seskau hendak pulang ke rumah masing-masing pada pukul 20.00, datang perintah agar rombongan segera menghadap Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. Kendati bingung, Bimo dan rombongannya yang berisi 70 perwira AU pun berangkat menghadap Soeharto. Kebingungan Bimo makin bertambah ketika di Kostrad dia bertemu kawan lamanya di AMN Yogyakarta, Letkol Oerip Widodo, yang sama sekali beda dari biasanya. Sampai di situ, Bimo dan rombongan masih belum tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih, di ruangan tempat mereka diterima terdengar suara dua orang bercakap dengan keras di belakang ruangan. “Ada yang sedang berkelahi. Mayjen TNI Soeharto dan Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro,” kata seorang ajudan berpangkat letnan yang menemani rombongan Bimo. Setelah sekira sejam menunggu, rombongan Bimo akhirnya ditemui Soeharto. Setelah menanyakan siapa pimpinan rombongan, Soeharto langsung mengambil sebuah catatan. “Begini ya, saya perlu brief semua,” kata Soeharto, dikutip Aristides dkk. Pangkostrad lalu membacakan kronologi peristiwa G30S. “Seolah-olah, pimpinanmu ada di pihak sana,” kata Soeharto menutup briefing . Pernyataan Soeharto itu makin menambah kebingungan para anggota rombongan Bimo. Terlebih setelah Soeharto mempertunjukkan foto beberapa jenazah jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya. Puncak kebingungan Bimo dan rombongannya terjadi ketika Soeharto menutup pertemuan dengan sebuah pertanyaan. “Jadi, Saudara pilih pimpinanmu atau pilih kami?” kata Soeharto. Alih-alih memberi pilihan, Bimo yang sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan tanah air beberapa hari belakangan menjawab diplomatis. “Begini, Pak, saya berangkat atas perintah Men/Pangau. Saya pulang mau laporan dulu,” ujarnya. Jawaban itu membuat Soeharto kecewa. Dia langsung bangun dari duduknya dan keluar ruangan tanpa mengeluarkan sepatah kata.
- Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar
TABUHAN drum bertalu-talu mengiringi nyanyian dan gerak koreografis suporter saat laga PSM Makassar kontra Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Kehangatan di Stadion Andi Mattalatta itu kian terasa dengan bersahabatnya kelompok suporter kedua tim yang berlaga. Kendati malam itu hampir segenap sudut stadion didominasi pendukung Juku Eja, julukan PSM, suporter tim tuan rumah itu tak sedikitpun menggunakan kedigdayaan untuk mengintimidasi Aremania, sebutan pendukung Arema FC, yang terselip di sektor tribun barat. Persahabatan itu membuat ratusan Aremania leluasa menyanyikan lagu-lagu penyemangat untuk timnya tanpa gangguan sehingga suaranya terdengar sampai ke tribun VIP Selatan yang Historia tempati. “Sudah sejak lama kami bersahabat dengan Aremania. Makanya ini mereka sekitar 300-an datang ke sini, tentu kita jamu. Sebagai bentuk balas budi karena ketika kami bertamu ke Malang pun kami dijamu dengan baik,” tutur Mustafa Amri, sekjen Macz Man, kepada Historia. Suasana bersahabat seperti itu memang selalu dikedepankan oleh Macz Man, kelompok suporter PSM terbesar dan pelopor gerakan suporter kreatif. Entah terinspirasi Andi Mattalatta ketika hendak menyalurkan pemuda ke hal-hal positif atau bukan, Macz Man ingin mengajak para suporter menjauh dari anarkis sehingga mengikis perilaku barbar para suporter yang hingga kini masih acap muncul di laga-laga sepakbola tanah air. Perintis Inisiatif Suporter Kreatif dan Atraktif Macz Man yang baru eksis pada 2001 jelas bukanlah kelompok suporter PSM tertua. Sebelumnya, PSM sudah dikawal Mappanyukki dan Suporter Hasanuddin di awal 1990-an, dan Ikatan Suporter Makassar (ISM) sejak 1995. Namun sebelum memasuki tahun 2000-an, suporter PSM termasuk salah satu suporter beringas. Perilakunya barbar. Lemparan benda-benda ke lapangan saat pertandingan, cacian rasis, hingga bentrok dengan suporter lawan menjadi ciri khas. “Perilaku suporter tahun 2000 ke bawah belum ada yang bersentuhan dengan kreativitas di stadion. Masih primitif. Artinya, perilakunya yang barbar. Sebelumnya, suporter PSM musuh dengan Bonek. Tidak ada sejarahnya merah (suporter PSM) bisa masuk stadion Gelora 10 November. Begitupun sebaliknya,” lanjut Mustafa. Penampakan harmonis Macz Man dan Aremania di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hal itu menumbuhkan tekad Ocha Alim Bahri, pewarta foto cum fans PSM, untuk memberantasnya, terutama setelah PSM juara Liga Indonesia 1999-2000. Ocha sebelumnya mendapat “pencerahan” tentang suporter kreatif dari kiper PSM Hendro Kartiko. “Hendro Kartiko jelang laga away ke Malang dan Solo bisik ke bang Ocha. Tentang apakah enggak bisa bikin suporter PSM seperti Aremania atau menjadi suporter modern lain seperti Pasopati (suporter Persis Solo),” imbuh pria asal Palopo itu. Sepulang dari menemani PSM tur ke Jawa, Ocha mendekati sejumlah dedengkot kelompok suporter macam Suporter Hasanuddin dan ISM. Ocha ingin mengajak mereka memutar pemahaman bahwa bukan lagi zamannya jadi suporter beringas dan sudah saatnya berubah jadi suporter yang modern laiknya Aremania dan Pasopati. “Tapi kelompok-kelompok yang eksis saat itu tidak terima. Dibilangnya, bukan tipe (orang) Makassar itu. Kalau suporter Jawa boleh saja karena orangnya kan kalem-kalem. Makassar tidak bisa begitu. Karena tidak ada yang mau, makanya (Ocha) bikin kelompok sendiri,” sambung Mustafa. Ocha lalu mengajak rekannya Amarullah Pase dan Iriantosyah Kasih untuk menggodok konsep wadah baru pendukung tim Ayam Jantan dari Timur itu pada Desember 2000. Ketiganya juga berhasil menggalang massa “perintis” dengan menggaet 14 orang suporter lain yang punya pemahaman sama. “Mulai saat itu ikut bergabung 14 orang yang awalnya mereka anggota ISM kawasan Cilallang. Pak Ocha mulanya yang temui mereka dan kebetulan gayung bersambut dan sepaham dengan idenya Pak Ocha. Padahal kan ini anggota ISM. Jadi secara organisasi lembaga, tidak mau terima ide Macz Man untuk jadi suporter kreatif. Tetapi ada bagian dari kelompoknya yang mau terima dan itulah yang kemudian dibina,” tambahnya. Ketiga inisiator sengaja tak mendeklarasikan kelompok suporternya karena ingin lebih dulu punya “modal” agar ditengok publik. Utamanya via media, mengingat Ocha merupakan salah satu pewarta senior di Makassar. Ocha lalu meminta bantuan Mayor Haristanto, dedengkot Pasopati, untuk melatih bernyanyi dan koreografi. “Mulai latihan di Lapangan Karebosi, lalu berpindah-pindah di stadionnya UNM (Universitas Negeri Makassar). Lalu mulai bertambah anggota di situ sampai sekitar 100 orang. Karena dilatihnya sama Bung Mayor, makanya sampai sekarang yel-yel kita masih banyak pakai lagu pinjaman. Belum ada lagu lokal,” tutur Mustafa. Jajaran pengurus minus Presiden Macz Man Ocha Alim Bahri (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah merasa “cukup” terlatih, Macz Man dideklarasikan pada 1 Februari 2001. Macz Man merupakan akronim Macazzart –pelesetan dari nama kota Makassar– Mania. Mustafa belum turut dalam “rombongan” perintis itu. Ia masih sekadar pendukung PSM tanpa organisasi. Butuh waktu agak lama sampai Macz Man bisa debut di Stadion Andi Mattalatta. Macz Man, kata Mustafa, pertamakali hadir di laga kandang PSM kontra Pelita Solo, 24 Juni 2001. Saat itulah Mustafa terpesona Macz Man dan memutuskan bergabung. “Cikal-bakalnya banyak yang gabung dari situ. Termasuk saya.” Macz Man mulai dikenal publik via “kekuatan” media. “H+1 setelah debut itu, Macz Man muncul di media-media, bahkan media nasional ikut muat, tabloid Bola, karena ada rekan Pak Ocha, Sigit Nugroho,” kenang Mustafa. Kemunculan Macz Man tentu menuai nyinyiran dari kelompok-kelompok yang lebih senior. “Awalnya mereka tidak anggap kita. Dibilang, ‘ah, Macz Man ini baru seumur jagung.’ Tapi karena sering ter- cover media, jumlah kita mulai besar. Baru tahun kedua kita mulai adakan silaturahim ke para senior. Kita sepakat bahwa sekalipun beda payung, beda organisasi, tapi tim yang kita dukung sama. Setelah itu mereka mulai mengerti,” ujarnya. Salam Jabat Hati Sebagai identitas, Macz Man punya logo dan slogan. Logonya, seekor ayam jantan, sesuai julukan PSM, merupakan hasil sayembara yang dimuat di Harian Fajar . Sementara slogannya adalah “Salam Jabat Hati”, dicetuskan Mustafa sendiri. “Kebetulan ini slogan baru ada 2002 setelah kita tur ke Jawa. Ketemu dengan teman-teman Jakmania, Aremania, Bonek, sekaligus kita jalin persahabatan memperbaiki masa lalu. Di Aremania dikenal salam ‘Salam Satu Jiwa’. Bonek punya ‘Salam Satu Nyali, Wani!’. Nah pada saat itu kebetulan kita sepakat akan punya salam yang spesifik punya kita,” terang Mustafa. Ayam Jantan, logo Macz Man (Foto: the-maczman.com ) Ide Mustafa terinspirasi dari kata-kata “Salam Jabat Hati” di sebuah siaran radio lokal di Palopo. “Saya ingat sejak SMA sering dengar radio swasta di Palopo. Sebelum rampung siaran, penyiarnya berslogan ‘Salam jabat hati untuk saudaraku di pulau ini.’ Ah , kayaknya bagus ini. Saya lempar ke teman-teman di forum, mereka oke. Jadi maknanya, sekalipun kita berjauhan tapi tetap nyambung. Makanya salam jabat hati agar lebih akrab, kira-kira begitu,” tambahnya. Faktor slogan yang nyaris sama itu yang turut mengikat persahabatan Macz Man dengan Aremania dan bahkan Bonek, kendati dua suporter besar dari Jawa Timur itu saling bermusuhan. Soal ini, Macz Man tak mau pilih-pilih kawan. “Karena sama-sama disambut ketika kita bertamu ke Surabaya maupun ke Malang. Sama Aremania memang kita paling dekat, selain sama Pasopati. Sudah seperti silsilah keluarga. Pasopati yang mengajari Arema. Lalu Pasopati mengajari Macz Man. Jadi istilahnya, Pasopati itu bapaknya Macz Man dan Arema ini neneknya, hahaha …” Satu tradisi unik yang dimiliki Macz Man adalah tradisi memandikan patung legenda PSM Andi Ramang yang berdiri di Anjungan Losari dan menziarahi makam Ramang tiap merayakan hari jadi Macz Man 1 Februari. “Karena dia satu manusia langka orang bola di Indonesia. Satu-satunya pemain Indonesia yang diperingati saat wafatnya oleh FIFA. Dan memang ya itu (skandal suap) menghancurkan kariernya. Akhirnya dia pensiun, habis itu. Itulah… Padahal dia kan juga tidak akui terlibat skandal itu,” cetus Mustafa. Macz Man diakui publik sebagai pelopor suporter kreatif di Makassar. Eksistensinya menginspirasi kemunculan sejumlah kelompok lain yang juga tak mau kalau atraktif dalam menyemangati PSM, seperti Laskar Ayam Jantan, Red Gank atau PSM Fans. Namun, Macz Man tetap masih yang terbesar. Dari data 2018, jumlah resmi pemegang kartu anggota mencapai 5.000 orang. ini belum termasuk para perantauan asal Makassar yang di luar Sulawesi. Meski tak mendapatkan dispensasi apapun dari klub, Macz Man tetap setia menemani di manapun PSM berlaga. “Enggak ada dispensasi dari manajemen (klub). Orang umum didiskon (tiket) 10 persen, kita pun sama saja. Tur ke luar juga biaya sendiri. Betul-betul mandiri. Tak jarang ada cerita anggota kita gadaikan BPKB kendaraannya untuk ongkos ke luar kota,” sambung Mustafa. Mustafa Amri, Sekjen The Macz Man (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Jelas bukan perkara mudah bagi pengurus untuk membuat Macz Man sesuai dengan angan di awal mengingat jumlah anggotanya begitu besar untuk ukuran di luar Jawa. Meski sudah “dididik” untuk menjadi suporter yang sportif dan kreatif, masih ada saja sisa-sisa perilaku barbar yang muncul. Insiden pelemparan terhadap para pemain Persija jelang final Piala Indonesia pada Agustus silam, contohnya. “Sangat sulit mengatur mereka. Tiap kepala punya pikiran sendiri-sendiri. Tak ada pendekatan meritokratis yang mudah laku karena sebagian suporter sepakbola kita, saya sebut sebagai kumpulan useful idiots , himpunan kaum teroris yang dilegalkan untuk berhimpun di stadion-stadion yang tak pernah dihukum ketika berbuat onar,” ujar Bambang Haryanto, mantan Sekjen Asosiasi Suporter Seluruh Indonesi (ASSI), dikutip Anung Handoko dalam Sepakbola tanpa Batas: City of Tolerance . Namun, para petinggi Macz Man tetap amat memperhatikan para anggotanya soal itu lantaran mewujudkan kelompok suporter kreatif sesuai angan tak secepat membalikkan telapak tangan. “Tidak jarang awal-awal kita bentrok dengan anggota kita karena ada yang mau lempar-lempar ke lapangan. Memang biasanya yang memantik brutalisme suporter adalah wasit. Walau kita sudah arahkan berperilaku kreatif, masih ada yang kambuh kalau terpancing. Memang butuh waktu,” tandas Mustafa.
- Leluhur Orang Papua
Ada dua ras berbeda yang mendiami Kepulauan Nusantara. Ras Mongoloid menempati bagian barat dan utara. Sementara di timur dan selatan ditinggali ras Australomelanesid. Secara fisik, keduanya dengan mudah dapat dibedakan. Orang Papua mewakili ras Australomelanesid. Sementara orang Melayu mewakili ras Mongoloid. Namun, leluhur orang Papua yang tertua tiba di Nusantara. Keberadaannya bisa ditarik mundur sampai masa Homo sapiens atau manusia yang secara anatomis modern, bermigrasi keluar dari Afrika. Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan berdasarkan bukti paleoantropologis, sampai kini benua Afrika masih dipercaya sebagai sumber asal dan tempat evolusi hominid. Homo sapiens diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua itu sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dengan menyusuri garis pantai dari Afrika, mereka berjalan kaki hingga kawasan Asia Tenggara. Secara berkelompok mereka menyusuri garis pantai dari Afrika sampai Nusantara dengan memanfaatkan jembatan darat yang menggabungkan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Mereka lalu bergerak ke Halmahera sampai ke wilayah Papua. Merekalahyang kemudian disebut ras Melanesia. “Ini garis keturunan langsung dan bertahan sampai sekarang. Cirinya rambut merah, keriting. I ni diturunkan sampai sekarang di Papua dan Halmahera,” kata Harry yang ditemui dalam diskusi “Jejak Manusia Nusantara” di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019) . Bukti penjelajahan manusia modern awal itu di Nusantara ditemukan di Lida Ajer, Sumatra Barat berupa gigi dari 73.000-63.000 tahun yang lalu. Kemudian di Indonesia bagian timur berupa alat-alat batu berumur 45.000-20.000 tahun yang lalu. “Manusia modern awal ini yang kemudian menurunkan ras Australomelanesid yang segera menyebar ke seluruh Kepulauan Nusantara sejak 15.000 tahun yang lalu,” kata Harry. Populasi ras Melanesia awalnya menjelajah dari kawasan inti mereka di sekitar Nugini, termasuk di Kepulauan Bismarck di pantai timur laut Nugini, Samudra Pasifik, hingga sampai ke Australia Tenggara. Populasi ini hidup di Australia sampai 30.000 tahun yang lalu. Dari sana barulah beberapa bermigrasi sampai ke Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan pada 15.000-5.000 tahun yang lalu. Mereka inilah ras Australomelanesid. “Cirinya berbadan kekar, kepala lonjong, gigi maju. Mereka menghuni gua lalu hilang pada 5.000 tahun lalu,” jelas dia lagi. Ras Australomelanesid segera menguasai hampir seluruh wilayah Kepulauan Nusantara hingga 5.000 tahun yang lalu. Menrut Harry, mereka kemudian menjadi satu ras yang cukup besar, Mereka hidup di gua-gua Jawa Timur, Jawa Tengah, DIYogyakarta, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Timur. Orang-orang ini juga punya kebiasaan menguburkan kerabatnya yang mati dengan sistem penguburan terlipat. “Seperti janin di dalam perut ibu,” kata Harry. Masyarakat Wamena, Papua, Indonesia. (Sergey Strelkov/123rf). Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia juga menjelaskan Daratan Sunda, Wallacea, dan Daratan Sahul merupakan wilayah yang bisa dikatakan sebagai kawasan Melanesia Lama. Populasi yang dulunya menempati kawasan itu merupakan leluhur orang-orang di Australia dan Melanesia modern. Melanesia mencakup gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia. “Jadi orang Papua itu justru keturunan manusia modern yang 70.000 tahun lalu tiba di Nusantara yang kemudian menghasilkan Australomelanesid,” kata Harry. “Sementara orang Nusa Tenggara adalah keturunan langsung dari Papua. Papua itu sulung. Paling tua (leluhurnya, red. ).” Populasi awal yang mendiami Nusantara kala itu pun terus menerus berevolusi menjadi kelompok yang beragam. Mereka mengalami perubahan tertentu, yaitu semakin mungilnya wajah dan tengkorak. “Saya curiga bahwa perubahan karena tekanan seleksi setempat mungkin juga berperan penting, walaupun proses ini tak terekam dalam perubahan budayanya,” tulis Bellwood. Kendati begitu, kelompok itu secara fenotip tetap Australomelanesid. Beberapa di antaranya bahkan tetap bertahan hingga kini. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang menghuni bagian timur. Sementara pada 5.000 tahun yang lalu sekelompok manusia modern lainnya datang dari utara menuju Kepulauan Nusantara. Merekalah ras Mongoloid, atau yang secara khusus disebut para penutur Austronesia. Mereka berpindah ke selatan dari Taiwan pada 5.000 tahun yang lalu dan tiba di Nusantara dan Filipina pada 4.000 tahun yang lalu. Mereka lalu menduduki daerah-daerah yang sudah pernah ditinggali populasi Australomelanesid. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. “Tentu saja sebaiknya kita senantiasa ingat bahwa semua bukti ini menunjukkan bahwa banyak di antara populasi Mongoloid yang sekarang tinggal di Indonesia dan Malaysia juga mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid,” tulis Bellwood. Bukti lain bahwa Australomelanesid masih bertahan ketika ras Mongoloid datang adalah temuan di Gua Harimau, Sumatra Selatan. Dari 82 rangka manusia yang ditemukan, 77 di antaranya adalah ras Mongoloid dan lima lainnya Australomelanesid. “Di situ hidup bersama, co-habitation namanya, di Gua Harimau pada 3.500 tahun lalu. Ini membuktikan bahwa ras Australomelanesid masih bertahan di Sumatra ketika Mongoloid datang. Tapi mereka tidak berkawin. Karena di situ terpisah ditemukannya, tidak seperti penduduk Nusa Tenggara sekarang,” kata Harry. Pada perkembangannya, Mongoloid, yaitu penutur Austronesia, menghuni kawasan Indonesia barat. Sementara Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Kendati begitu, desakan migrasi penutur Austronesia itu tidak sampai kepedalaman Papua. Karenanya karakter Melanesia yang lebih asli masih dijumpai di pedalaman Papua. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi kalau sekarang fisiknya lain. Tapi kita semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” lanjut Harry.
- Mula Rumah Sakit untuk Pribumi
Seorang dukun mengunyah prum dan sirih. Sejurus kemudian, kunyahannya dia semburkan ke tubuh pasiennya yang luka. Kandungan antiseptik pada daun sirih efektif untuk menyembuhkan luka. Demikianlah gambaran pengobatan di Nusantara pada masa pengobatan medis belum masuk ke kalangan pribumi. Keahlian dukun menyembuhkan penyakit tak diragukan masyarakat. Penghormatan pada mereka pun tinggi. Ketika wabah cacar melanda, para dukun berkeliling rumah untuk membagikan jeruk sebagai usaha menangkal cacar kendati hasilnya tak sesuai harapan. Data dari Almanak Nederlansch Indie pada 1850, di Jawa tercatat ada lebih dari seribu dukun, dua ratus-an sinse (tabib Tionghoa). Sementara, jumlah petugas medis Eropa tidak sampai seratus orang. Alhasil, layanan medis Barat pun terbatas meski p ada tahun-tahun pertama setelah VOC runtuh layanan kesehatan sudah diambilalih pemerintah kolonial. B Sama seperti masa sebelumnya, layanan kesehatan di negeri jajahan mayoritas dikerjakan oleh ahli bedah dan dikhususkan untuk pasien Eropa. Ada tiga jenis layanan yang diberikan, yakni rumah sakit umum, rumah sakit kota yang kebanyakan tinggalan VOC, dan layanan kesehatan di pedalaman desa untuk pribumi. Jenis layanan terakhir muncul setelah kemunculan dokter Djawa di pedalaman. Sebelum itu, pasien pribumi berobat ke dukun lantaran pemerintah kolonial tidak memberikan layanan medis untuk prbumi karena dianggap tidak menguntungkan. Pemerintah bahkan mengatakan tidak bertanggung jawab atas ketersediaan layanan medis untuk pribumi biasa. Perhatian untuk menyediakan layanan kesehatan bagi pribumi baru muncul ketika wabah cacar menyerang Banyumas hingga menewaskan banyak buruh perkebunan. Pemerintah lalu mendirikan Sekolah Dokter Djawa pada Oktober 1847 atas usulan Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen. Sekolah yang bertempat di Weltevreden, Batavia ini memberi masa studi dua tahun. Dalam Healers on the Colonial Market, Liesbeth Hesselink menyebut, sebagian besar guru hampir tidak memiliki pengalaman dengan pasien pribumi. Para lulusan dari sekolah inilah yang ditugaskan menangani pasien pribumi dengan pengawasan dokter Eropa. Setelah lulus, siswa sekolah dokter Djawa dikirim sebagai mantri vaksin dalam epidemi yang menyerang buruh perkebunan. Selain mengatasi cacar, pemerintah juga memberikan layanan kesehatan untuk pekerja seks yang terkena sifilis. Pembentukan layanan kesehatan sifilis ini juga bermula dari alasan ekonomi, yakni Belanda tak ingin rugi karena buruh-buruhnya mati atau berkurang. Di layanan kesehatan semacam inilah pasien pribumi biasanya ikut berobat. Bukan hanya sifilis atau cacar, tapi segala penyakit yang sulit disembuhkan dukun. Lambat laun, kepercayaan masyarakat pada layanan dokter Djawa membaik. Mereka akhirnya membuka ruang konsultasi yang kemudian berubah menjadi klinik yang menangani pribumi. Laporan Direktur Layanan Publik pada 1877 menyebut ada 35 rumah sakit untuk masyarakat sipil umum. Rumah sakit ini menerima layanan untuk pasien pribumi, termasuk merawat pasien sifilis. Karena layanan kesehatan ini makin ramai didatangi pasien pribumi, pemerintah kolonial memperbesar layanan dari yang mulanya hanya melayani satu jenis penyakit itu. Koloniale Verslagen (KV) 1879 menyebut ada pembahasan mengenai status layanan kesehatan untuk pribumi di pedalaman. Para ahli medis dan para kepala Pemerintahan Daerah akhirnya sepakat meningkatkan status layanan kesehatan sifilis yang menerima pasien pribumi dan beberapa klinik yang dibuka oleh dokter menjadi rumah sakit pribumi. Rumah sakit pribumi ini pun menerima subsidi dari pemerintah. Pada 1879, pemerintah Hindia Belanda mendata ada empat rumah sakit untuk warga sekitar Pasuruan, Probolinggo, Wonosobo, dan Gombong. Rumah sakit ini diakui oleh penguasa setempat sehingga petugas kesehatan yang diterjunkan pun ditunjuk oleh pemerintah. Bukti lain tentang keberadaan rumah sakit untuk pribumi tercatat dalam Koloniaal Verslag yang keluar tahun 1902. Laporan tersebut mencatat ada 88 rumah sakit pribumi di Jawa dan luar Jawa. Menurut Sjoerd Zondervan dalam Patients Of The Colonial State, ada sedikit kesimpangsiuran tentang jumlah rumah sakit pribumi dalam catatan. Petugas medis dan pegawai sipil setempat kadang tidak bisa membedakan antara rumah sakit pribumi, rumah sakit penanganan sifilis untuk perempuan ( syphilitische vrouwen ), atau kombinasi keduanya yang juga melayani penjara lokal. Hal ini tentu disebabkan oleh pembentukan rumah sakit pribumi yang tadinya pusat perawatan sifilis. Hingga 1900, ada 59 rumah sakit pribumi di Jawa.
- Sejarah Lajur Khusus Sepeda di Indonesia
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggencarkan pembuatan lajur khusus untuk pesepeda pada November 2019 sepanjang 69 kilometer. Lajur itu menyatu dengan jalan aspal kendaraan bermotor. Hanya dipisahkan oleh garis tak putus berwarna putih. Selain cat putih, terdapat pula cat hijau, kuning, dan merah sebagai penanda lajur itu. Anggaran pembuatan lajur khusus untuk pesepeda sebesar Rp73 miliar. Anggota DPRD mempertanyakan jumlah anggaran itu. Sebaliknya, para penggiat transportasi massal dan alternatif mendukung pembuatan lajur itu. Terlepas dari besaran anggarannya. Mereka menilai pembuatan lajur itu sudah mendesak dan berkaitan dengan keselamatan semua pengguna jalan. Lajur khusus untuk pesepeda sangat jarang ada di kota-kota besar Indonesia. Begitu pula dengan sejarah pembuatannya. Padahal dulu kala pemerintah kolonial telah membagi jalan untuk macam-macam pengguna jalan. Berbagi Lajur Sedikit catatan tentang pembagian lajur itu termaktub dalam Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja karya Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen terbitan 1939. Buku ini mengandung maklumat penggunaan jalan raya. Salahsatunya untuk pesepeda. “Kereta angin sekali-kali tidak boleh lalu di tengah-tengah jalan,” catat Sandbergen. Kereta angin adalah sebutan untuk sepeda pada masa itu. “Kencang, cepat seperti angin,” begitu kesan almarhum Pramodya Ananta Toer, pengarang sekaligus arsiparis yang tekun mengumpulkan kliping berita dari media massa, dalam novel Anak Semua Bangsa. Novel ini mengambil latar waktu awal 1900-an di Hindia Belanda. Sepeda mulai muncul di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. “Sepeda awal digunakan oleh pegawai kolonial dan para bangsawan, selanjutnya juga oleh para misionaris dan saudagar kaya,” ungkap Hermanu dalam Pit Onthel . Sepeda sebermula menjadi lambang gengsi kelompok elite. Harganya mahal. Tetapi nilai sepeda menurun ketika auto atau kendaraan bermotor masuk Hindia Belanda pada 1920-an. Sepeda berubah menjadi milik orang banyak. Jalanan kota-kota besar Hindia Belanda seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan pun ramai oleh pesepeda. Bahkan Yogyakarta berjuluk kota sepeda. Pesepeda melaju di lajur kiri jalan di Bandung pada 1933. ( geheugenvannederland.nl ). Kartu pos lawasan koleksi Olivier Johannes Raap yang dibukukan menjadi Kota di Djawa Tempo Doeloe menunjukkan pembagian lajur pengguna jalan. Lajur paling kiri tersedia untuk pejalan kaki. Gerobak sapi atau kerbau melintas di samping kanan pejalan kaki. Lalu di sebelah kanannya, lajur untuk pesepeda. Kemudian lajur untuk sado atau delman. Lajur paling kanan digunakan pengendara bermotor, roda dua ataupun empat. Tidak ada marka pembatas di jalan. Tapi pembagiannya jelas. Dari paling lambat menuju paling cepat. “Tiap-tiap macam kendaraan mesti berjalan di bagian jalan yang ditentukan bagi masing-masing,” tulis Sandbergen. Dia menambahkan, pembagian itu untuk menjamin keteraturan dan keselamatan semua pengguna jalan. Pengguna jalan dilarang saling menyerobot lajur lainnya. “Dalam hal itu di jalan kereta angin hanya orang yang naik kereta angin saja boleh lalu,” catat Sandbergen. Tetapi seringkali pesepeda melaju di lajur kanan, lajur kendaraan bermotor. Biasanya lantaran aspal di lajur pesepeda berlubang. Bersepeda di lajur untuk kendaraan bermotor adalah pelanggaran lalu-lintas. Tak peduli dalih pesepeda, polisi menyemprit dan menghentikan pesepeda. “Penunggang sepeda tak henti-hentinya diperbal dan didenda,” catat P.K. Ojong dalam Kompas , 7 April 1969. Diperbal merupakan istilah polisi koloial untuk menginterogasi pelaku tindak pidana ataupun pelanggar lalu-lintas. Jika terbukti bersalah, pelanggar lalu-lintas terkena denda. Menurut Ojong, banyaknya pesepeda masuk ke lajur kendaraan bermotor menjadi perhatian serius harian Het Dagblad . Dalam pandangan Het Dagblad , pemerintah kurang memperhatikan kepentingan pesepeda. Het Dagblad meminta pemerintah kolonial agar memperbaiki lajur untuk pesepeda. Tetapi Ojong tidak menyebut tanggal pasti terbitan harian tersebut sehingga mempersulit penelusuran lebih lanjut tentang fenomena itu. Kota Kehilangan Pesepeda Ojong menjelaskan pula tentang terulangnya fenomena masuknya pesepeda ke lajur untuk kendaraan bermotor pada 1969. Ini terjadi di Jakarta pada sekitar Jalan Sudirman. Pesepeda enggan menggunakan lajur mereka tersebab aspalnya berlubang dan bergelombang. Saat itu, kendaraan bermotor mulai merajai jalanan. Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menekankan moda transportasi pada kereta api, bus, taksi, dan bemo. Tetapi rencana pengembangan ini kalah oleh kebijakan pemerintah pusat dengan program pengembangan industri otomotif. Hasilnya jumlah kendaraan bermotor pribadi melesat pesat di Jakarta pada 1970-an. Lajur sepeda menyatu dengan jalan kendaraan bermotor di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Fernando Randy/Historia). Almarhum Firman Lubis, penulis buku Jakarta 1970-an , menyebut dekade 1970-an sebagai era menghilangnya pesepeda. “Sejak ramainya kendaraan bermotor, orang mulai tidak berani naik sepeda di jalan umum karena cukup membahayakan,” terang Firman. Keterangan Firman senada dengan cerita seorang pesepeda dalam Mingguan Midi , 13 Juli 1974. Pesepeda kerapkali kena semprot atau senggol pengendara bermotor. Mereka sudah berjalan agak ke kiri. Tetapi pengendara bermotor hampir menabraknya. “Lu mau ke mana?” teriak pengemudi sedan kepada pesepeda. “Apakah bapak bisa menolong? Sebaiknya saya lewat jalur mana? Jalur ini khusus untuk bus kota, bemo, helicak. Tidak disebutkan sepeda. Apa lewat jalur cepat. Saya berpikir ke sana, tetapi bapak menebak saya lewat jalur bus kota. Kita selesaikan dengan pak polisi. Bisa kita tanyakan,” kata pesepeda tak mau kalah. Pengemudi sedan enggan berurusan panjang. Dia tancap gas. Kisah tadi menggambarkan tidak ada lagi pembagian lajur untuk pesepeda. Semua lajur dikuasai oleh kendaraan bermotor. “Jakarta adalah kota untuk orang yang punya mobil. Orang yang naik sepeda atau berjalan kaki hampir-hampir tidak diakui kehadirannya di jalan-jalan raya kota ini,” kata Mochtar Lubis dalam “Jakarta Kota Penuh Kontras,” termuat dalam Prisma No 5, Mei 1977. Keadaan pesepeda di kota besar lainnya pun serupa Jakarta. Medan, salahsatu kota dengan pesepeda terbanyak di Indonesia, mulai kehilangan pesepeda hari demi hari. Pesepeda terakhir kali menguasai jalanan pada 1960-an. “Jalur-jalur itu masih dipelihara sampai sekitar tahun 1960-an. Yaitu di beberapa jalan utama Kota Medan, seperti Jalan Kesawan, Jalan Pemuda, Hakka, Sutomo, Kapten Palang Merah, dan semua jalan penghubung inti-kota,” catat Ahmad Arif (editor) dalam Melihat Indonesia dari Sepeda . Tapi pertumbuhan kendaraan bermotor mengubah komposisi pemakai jalan di Medan. Pesepeda pun tersingkir. Merancang Ulang Gairah bersepeda muncul kembali pada akhir dekade 1980-an. Mirip dengan era awal kehadiran sepeda di Hindia Belanda, dekade ini ditandai dengan kepemilikan sepeda pada orang-orang kelas atas. Kelompok ini membeli sepeda-sepeda mahal. Harganya setara atau bahkan di atas kendaraan bermotor. Rangkanya berlapis emas. Penggunaannya pun bukan untuk harian, melainkan sebatas simbol prestise atau kegiatan melobi kolega bisnis. Sehingga tak ada tuntutan dari mereka kepada pemerintah untuk menghadirkan lajur khusus untuk pesepeda. Memasuki era 2000-an, komunitas pesepeda bermunculan. Antara lain bike to work dan bike to campoes di Jakarta dan Depok Mereka menggunakan sepeda sebagai kebutuhan transportasi harian. Karena itu mereka meminta pemerintah menyediakan fasilitas pendukung untuk pesepeda seperti parkir dan lajur khusus. Jalur khusus untuk pesepeda. Terpisah dari jalan kendaraan bermotor di kawasan Gelora Bung Karno, Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Beberapa perkantoran di wilayah segitiga emas (Gatot Subroto-Rasuna Said-Sudirman dan Thamrin) mulai membuat parkir khusus sepeda. Sementara kampus Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia mulai menyediakan lajur dan parkir khusus sepeda sejak 2007. Arkian lajur khusus untuk pesepeda muncul di kota Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Jakarta, Palembang, Bogor, Balikpapan, dan Bandung. Desainnya berlainan. Ada yang menyatu dan ada pula yang terpisah dengan lajur kendaraan bermotor. Tetapi lajur-lajur itu kurang dibuat secara konseptual dan terkesan ala kadarnya. Belakangan ini, sejumlah pemerintah kota mulai menggagas ulang konsep pembuatan lajur sepeda. Pembuatannya dirancang lebih terintegrasi dengan moda transportasi lain. Juga dengan penerapan aturan perlindungan untuk para pesepeda seperti denda bagi pengendara bermotor jika menerabas lajur pesepeda.
- Perang Pidato Aidit-Sukarno
AWAL 1965. Wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi antirevolusi. “Kadar anti revolusinya sampai di mana, Pak?” tanya Zuhri seperti dikisahkannya dalam Berangkat dari Pesantren . “Yah, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno. Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit. “Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,” ujar Zuhri. Sukarno terdiam. “Ooohhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya,” katanya kemudian. Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.” Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya. “Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966 . Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegaranya sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI. Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno , kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi & Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi, dan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium. Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata: “Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.” Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya: “Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya, setuju?!” Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya. “Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!” Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu. Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah. “CGMI pun apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno. Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.*
- Sontani, Pelopor Pelarian dari Kamp Boven Digul
“Son! Tok! tok! tok! Sontani…!” “Hai, siapakah itu?" “Sssst! Lupakah kau? Aku Saleh.” “O, ya…! Silahkan masuk! Tunggulah sebentar!” “Mengapa, tadi tidak bersedia lebih dulu?” “Mana boleh, tidak bersedia lebih dulu. Lihatlah ini, sudah mulai tadi aku berpakaian, waktu tidur masih juga bersepatu.” Semua perlengkapan telah disiapkan. Parang panjang dan botol minum di pinggang. Bekal telah terbungkus karung. Topi dikenakan dan kapak besar dipanggul. “Mari!” kata Sontani kepada Saleh. Mereka pun bergegas menuju ke belakang rumah dan masuk ke dalam hutan rimba. Maka dimulailah perjalanan Sontani dan Saleh, kabur dari Boven Digul! Kisah pelarian Sontani dan Saleh, dua Digulis itu terdapat dalam Minggat dari Digul yang termuat dalam buku Cerita dari Digul yang disunting oleh Pramoedya Ananta Toer. Selain Minggat dari Digul , Pram juga memuat empat cerita lainnya yakni Rustam Digulist oleh D.E. Manu Turoe, Darah dan Air-Mata di Boven Digul oleh Oen Bo Tik, Pandu Anak Buangan oleh Abdoe'l Xarim M.S.,dan Antara Hidup dan Mati atau Buron dari Boven Digul oleh Wiranta. Namun, Minggat dari Digul merupakan satu-satunya yang tidak disertakan nama penulisnya, hanya tertera ‘Tanpa Nama’. Pram menambahkan bahwa cerita itu diterbitkan oleh PERSBUREAU ‘AWAS’, Solo, tanpa tahun. Sosok Sontani Pada 23 Mei 1965, surat kabar Harian Rakjat menerbitkan artikel tentang Sontani, tokoh dalam Minggat dari Digul yang juga sekaligus dijelaskan sebagai penulis kisah tersebut. Diceritakan, Sontani merupakan cucu dari Ronggopermadi, pejuang yang turut dalam barisan Diponegoro yang gugur di Gentingan. Ia lahir di Desa Modinan, Sleman, kemungkinan pada tahun 1895. Sontani tamat sekolah desa 3 tahun di Desa Modinan. Pernah bekerja sebagai buruh kereta api, kernet, tukang besi, hingga buruh pabrik gula. “Pengalaman-pengalaman revolusionernya dimulai sejak ia memasuki organisasi buruh gula, Sarekat Islam, VSTP. Sebagai buruh ia mengalami berbagai perlakuan-perlakuan yang kasar sampai pemecatan tanpa alasan dari majikannya,” tulis Harian Rakjat , 23 Mei 1965. Pada suatu ketika, terjadi sabotase di sekitar onderneming tebu di Beran, Yogyakarta. Pembakaran kebun-kebun tebu berhasil memusnahkan berhektar-hektar areal tebu. Sontani nampaknya turut dalam serangkaian aksi tersebut dan tertangkap pemerintah kolonial ketika hendak meledakkan gudang mesiu di Kotabaru, Yogyakarta. Tidak diketahui kapan ia bebas. Namun, ketika pemberontakan PKI meletus pada 1926, Sontani kembali ditangkap di Modinan saat sedang tidur. “48 orang polisi mengepungnya dan sebelum ia sadar dan sempat menggunakan pistolnya, tangannya telah diborgol lebih dahulu. Ia dibawa ke tahanan, disimpan di WO, lalu kemudian dipindahkan ke sel Wirogunan,” tulis Harian Rakjat. Di penjara Wirogunan, ia bertemu dengan Sadiun, seorang pejuang yang dihukum 40 tahun penjara. Sontani berhasil membuat duplikat kunci sel sehingga ia dapat keluar sel tiap malam dengan sembunyi-sembunyi menjumpai Sadiun. Namun tak lama, kesempatan Sontani keluar masuk sel untuk menemui kawan barunya itu berakhir. Pada 21 Juni 1927, Sontani diangkut ke pengasingan di Tanah Merah, Digul. Pelarian Pertama dan Terlama Kamp Tanah Merah letaknya jauh di pedalaman hutan Papua, di kawasan atas aliran Sungai Digul. Kala itu, kota terdekat yaitu Merauke yang jaraknya kira-kira 160 km. Jika naik sampan melewati sungai yang penuh buaya itu, bisa menghabiskan empat malam perjalanan. Meski demikian, nampaknya pengalaman Sontani sebelum dibuang ke Digul menjadi bekal yang berharga. Bersama Saleh, ia berbulat tekad untuk melarikan diri dari kamp pengasingan itu. Dalam masa pelariannya, Sontani dan Saleh kemudian bertemu beberapa pelarian lain yang kemungkinan menyusul kabur setelah mereka. Di pedalaman hutan, seorang kawannya yang bernama Abas tewas ketika melawan serangan suku Kaya-kaya. Sementara itu, kawan lainnya yang bernama Partatjeleng justru dirawat suku Kaya-kaya yang lain karena sakit. Bahkan setelah ia sembuh, ia juga kawin dengan gadis suku tersebut dan tinggal bersama suku. Namun, suatu ketika ia ditangkap dan dibawa kembali ke pengasingan. Istrinya dan anaknya kemudian menyusul Partatjeleng ke Tanah Tinggi. Harian Rakyat menyebut Sontani adalah tahanan yang memelopori pelarian pertama sekaligus yang terlama dari pelarian-pelarian yang pernah dilakukan di Digul. Sontani dan kawan-kawan berhasil kabur 11 bulan lamanya sampai kemudian mereka ditangkap di Kota Bowen, Australia. Mereka pun harus kembali merasakan pengasingan di Boven Digul. Menurut Molly Bondan dalam Spanning a Revolution , Kisah Mohamad Bondan, Eks Digulis dan Pergerakan Nasional Indonesia, aksi kabur Sontani dan kawan-kawan terjadi pada Maret 1929. Namun, cerita versi Molly yang didapat dari eks Digulis bernama Dulrachman sedikit berbeda dari cerita Sontani. Menurut Sontani sendiri, tulisannya memang perlu diperbarui karena ada beberapa bagian tidak sesuai kenyataan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sensor pemerintah kolonial saat itu. Sontani menulis kisah itu ketika masih di Digul. “Kisah itu ditulisnya selama satu setengah bulan dalam 3 buah buku tulis yang tebalnya 32 halaman dengan tulisan tangan kecil-kecil, setiap baris buku dijadikan dua, dengan begitu berarti menjadi 6 buku tulis X 32 halaman,” tulis Harian Rakjat . Dari Digul, tulisan Sontani dibawa ke Jawa oleh Siswomintardjo, tahanan dari Surakarta. Tulisan itu kemudian dapat diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul Minggat dari Digul . Buku inilah yang membuat Utuy Tatang, sastrawan kelahiran Cianjur, menyematkan nama Sontani di belakang namanya menjadi Utuy Tatang Sontani. Dalam bukunya, Di Bawah Langit Tak Berbintang , Utuy mengaku mendapat buku Pelarian dari Digul (judul versi lain) dari seorang eks Digulis bernama Wiranta yang menulis Boeron dari Digoel . Tokoh Sontani membuatnya terkesan dan ia pertama kali menggunakan nama Sontani ketika mengirim cerita pendek ke surat kabar Sinar Pasundan . Menurut Harian Rakjat , selain Minggat dari Digul Sontani juga pernah menulis buku Perintis Djalan Menudju Marxisme , Twaalfstellingen , dan Political Economy . Dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan: Seri Perjuangan Ex Digul , hingga tahun 1977, Sontani masih hidup dan bertempat tinggal di Yogyakarta.






















