top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kontroversi Schumi

    BALAPAN Formula One (F1) musim 2020 memang masih dua bulan lagi, 15 Maret 2020. Namun, Lewis Hamilton sudah tak sabar. Juara bertahan asal Inggris dari tim Mercedes itu bakal menyongsong rekor untuk mensejajarkan diri dengan legenda hidup Michael “Schumi” Schumacher. Schumi punya koleksi tujuh gelar dunia. Hamilton yang kini dalam puncak kariernya dan tengah mendominasi F1 ibarat Schumi di masa lampau, sudah punya enam gelar itu. “2019 adalah tahun yang takkan saya lupakan. Saya tak bisa menggambarkan perasaan memenangi gelar keenam. Sekarang mari kita rayakan akhir 2019 dan kembali berjuang untuk 2020,” ujar Hamilton di akun Instagram -nya, @lewishamilton, 1 Januari 2020. Hamilton sendiri satu dari sekian pembalap F1 yang mengagumi Schumi. Sebaliknya, Schumi pernah meramalkan bahwa Hamilton bakal melampaui rekornya. Schumi mengungkapkannya dalam sebuah program BBC , 27 Oktober 2008, tak lama setelah Hamilton memenangi gelar pertamanya di musim 2008. Kala itu Schumi sudah pensiun (sementara) dan menjadi penasihat pengembangan di tim Scuderia Ferrari, lima tahun sebelum Schumi mengalami kecelakaan saat berski di Pengunungan Alpen. “Saya bisa bilang, tentu saya iya (Hamilton bisa memenangi tujuh gelar, red. ). Dulu tiada yang menyangka, bahkan saya sendiri, bisa mengalahkan rekor (Juan Manuel) Fangio. Lalu saya melewatinya. Rekor memang tercipta untuk dipecahkan,” sebutnya. Catatan Rekor di Atas Kecurangan Namun seperti halnya Hamilton, kegemilangan kiprah Schumi tak jarang diwarnai kontroversi. Tak sedikit insiden dengan kesengajaan dan kecurangan yang dilakoni di lintasan atas nama kemenangan dari sejumlah rival sengitnya. Insiden yang terjadi pada 1991, contohnya, kala Schumi belum masuk F1. Insiden itu terjadi 18 Agustus 1991, saat kualifikasi 430km of Nürburgring yang merupakan seri kelima di World Sportscar Championship. Menyitat Autosport , 16 November 2005, Schumi di balik kemudi mobil tim Sauber-Mercedes yang hendak melaju cepat untuk mencetak waktu terbaik, merasa dihalang-halangi pembalap tim Jaguar Derek Warwick. Saat itu Warwick sudah mencetak waktu terbaiknya dan menjalani sisa sesi kualifikasi dengan ‘santuy’. Alhasil, Schumi kesal dan kehilangan waktu di sesi itu. Michael Schumacher kala balapan di tim Sauber-Mercedes di ajang World Sportcars Championship (Foto: Daimler AG) Sebagai balasan, Schumi memepetkan mobilnya ke samping mobil Warwick, lantas banting setir hingga menghantam “hidung” dan ban depan mobil Warwick. Schumi yang kemudian kabur ke pit stop , dikejar Warwick. Sesampainya di garasi Sauber, Warwick melabrak Schumi. Nyaris terjadi baku pukul jika tak segera dilerai senior Schumi di Sauber, Jochen Mass. Insiden lainnya yang lebih culas terjadi 13 November 1994 di GP Australia yang jadi seri terakhir di musim itu. Schumi tinggal selangkah lagi menggamit gelar dunia pertamanya di tim Benetton-Ford. Namun posisinya di klasemen hanya berjarak satu poin dari rival sengitnya, Damon Hill asal Inggris di mobil tim Williams-Renault. Hill dalam otobiografinya, Watching the Wheels, berkisah bahwa pada lap ke-35 ia mengklaim punya kesempatan emas menyalip Schumi yang sejak awal memimpin balapan. Mobil Schumi tergelincir dan menabrak dinding pembatas sehingga beberapa bagian depannya rusak. Namun, Schumi ngotot melanjutkan balapan lantaran gelar juara dunia taruhannya. Saat di tikungan Hill hendak meng- overtake Schumi dengan kecepatan mobil yang menurun drastis akibat kecelakaan, Schumi sengaja menutup celah dan akhirnya kedua mobil bertabrakan. Schumi maupun Hill pun gagal finis. Alhasil, Schumi berhasil meraih gelar juara dunia pertamanya. Detik-detik Michael Schumacher (kanan) menabrakkan mobilnya ke arah Damon Hill di F1 GP Australia 1994 (Foto: Youtube Formula One) Dari hasil investigasi pengawas balapan, kejadian itu hanya dianggap insiden balapan biasa. Schumi bisa berbangga dengan gelar juara perdananya, namun sejumlah media Inggris mengecamnya meski Hill pribadi enggan berbicara miring lantaran masih terpengaruh tragedi kematian rekannya, Ayrton Senna, di GP San Marino beberapa bulan sebelumnya. “Saya terpaksa menerima hasilnya. Namun bagian terbesar dari diri saya juga merasa bahwa sejak kami kehilangan Ayrton, musim ini sudah berantakan. Gelar itu jadi yang pertama dari tujuh gelar Formula One-nya, di mana di saat itu jadi target di luar bayangan siapapun. Mungkin juga Senna takkan membayangkannya,” ungkap Hill. Hal serupa terjadi di seri terakhir GP Eropa musim 1997, di Sirkuit Jerez, 26 Oktober 1997. Schumi yang di musim itu sudah bersama tim Scuderia Ferrari, tengah bersaing ketat untuk gelar juara dengan pembalap tim Williams, Jacques Villeneuve. Schumi memimpin klasemen dengan 78 poin, hanya unggul satu poin dari Villeneuve. Menukil Chicago Tribune 12 November 1997, keculasan Schumi seperti yang ia lakukan pada Hill diulanginya terhadap Villeneuve. Kala balapan memasuki lap ke-48, Villeneuve yang senantiasa membuntuti Schumi berupaya menyalip di tikungan Dry Sac dari sisi dalam. Saat Villeneuve sudah mulai menyusul, Schumi menabrakkan hidung mobilnya ke sisi kiri body mobil Villeneuve. Mobil Schumi pun rusak parah dan ia gagal menyelesaikan balapan. Sementara meski body samping mobilnya rusak, Villeneuve tetap mampu melanjutkan dan bahkan finis urutan ketiga. Kali ini keculasan Schumi gagal berbuah. Villeneuve tetap juara. Michael Schumacher (merah) di kokpit Ferrari saat menyeruduk mobil Jacques Villenueve di F1 GP Eropa 1997 (Foto: formula1.com ) Kelakuan Schumi itu tak dibiarkan FIA selaku otoritas balapan. “Motor Sports Council FIA melucuti hasil urutan kedua klasemen Schumacher dan memerintahkannya terlibat dalam kampanye safe-driving tahun depan,” tulis Chicago Tribune. Schumi mengaku salah. Sejumlah media kembali mengutuknya. Bahkan media-media Jerman mengecam tindakannya. Meski tak disanksi, Schumi harus rela posisinya sebagai runner-up musim 1997 didiskualifikasi. Kontroversi lain terjadi di GP Austria 2002. Team order atau perintah manajer tim yang ditaati Schumi justru memancing kemarahan banyak fans Ferrari. Perintah itu mengharuskan Rubens Barrichello, rekan setimnya, memperlambat mobilnya agar Schumi lebih dulu menyentuh garis finis. Meski tak melanggar regulasi F1 maupun FIA, hal itu dianggap banyak pihak, utamanya fans Ferrari, sebagai tindakan tak sportif. Toh, musim 2002 masih panjang. Pada saat penerimaan trofi di podium, Schumi memaksa Barrichello untuk berdiri di puncak podium, sementara Schumi geser ke podium kedua. Kejadian itu membuat Ferrari didenda USD1 juta. “Saya berterimakasih pada Rubens untuk poin yang saya dapat, namun saya tidak terlalu senang dengan hal itu,” aku Schumi, dikutip BBC , 12 Mei 2002. Di Sirkuit Indiana Motor Speedway dalam GP Amerika Serikat 2002, kala Schumi sudah mengunci gelar dengan raihan poinnya, ia balas memberi jalan buat Barrichello untuk finis lebih dulu. Barrichello pun menang. Kelakuan Schumi (kanan) kala menjepit Rubens Barrichello ke pagar pembatas sirkuit di GP Hungaria 2010 (Foto: formula1.com ) Ending serupa tak terjadi di GP Hungaria 2010.  Ketika balapan memasuki lap ke-42, di salah satu trek lurus, Barrichello yang sudah bersama tim Williams berupaya menyalip dari sisi dalam. Schumi yang saat itu sudah bersama tim Mercedes, enggan memberi jalan. Mobil Barrichello dengan kecepatan 180 mil per jam pun terjepit antara mobil Schumi dan dinding pembatas. Meski tak terjadi kecelakaan, pengawas balapan menghukum Schumi dengan start dari posisi ke-10 di race berikutnya, GP Belgia. Schumi akhirnya minta maaf. “Setelah melihat insiden itu lagi, keputusan sanksi steward sudah tepat. Manuver saya terhadap dia (Barrichello) terlalu berbahaya. Memang saya ingin menunjukkan bahwa dia takkan bisa melewati saya, namun setelah dilihat secara rasional, saya membahayakan dia. Saya minta maaf dan bukan maksud saya membahayakan nyawanya,” tandas Schumi dikutip ESPN , 2 Agustus 2010.

  • Sejarah Bisnis Asuransi di Indonesia

    KASUS dugaan korupsi melanda Jiwasraya dan Asabri, dua perusahaan asuransi milik negara. Keduanya asuransi berbeda jenis. Jiwasraya bergerak di asuransi jiwa, sedangkan Asabri mengelola dana pensiun. Tapi pangkal kasus keduanya sama: kesalahan berinvestasi. Kesalahan itu merugikan negara lebih dari Rp20 triliun dan mengancam kepercayaan publik terhadap asuransi.

  • Menilik Sejarah Purworejo yang Diklaim sebagai Pusat Keraton Agung Sejagat

    MENGAKU sebagai Sinuhun, Totok Santosa Hadiningrat mendirikan dan memimpin Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo, Jawa Tengah. Keraton yang belum selesai pembangunannya itu berpusat di Desa Pogung Jurutengah, Bayan, Purworejo. Totok mengaku sebagai juru damai dan punya kekuasaan atas seluruh negara di dunia. Totok juga mengklaim KAS punya alat-alat kelengkapan di Eropa, dan Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai parlemen dunia yang menyokong mereka. Selain itu, Pentagon juga diklaim sebagai dewan keamanan KAS, bukan milik Amerika. Pendirian KAS menjadi bahan lelucon masyarakat karena otak-atik gathuk yang tak masuk akal. Masyarakat Purworejo dan lebih khusus Kecamatan Bayan sendiri tak ada yang percaya dengan omongan Totok. Jumeri, warga Bayan yang rumahnya bertetangga dengan Keraton jadi-jadian itu, mengatakan, sebagaimana diberitakan rmol Jateng, bahwa hanya dua orang tetangganya yang bergabung dengan Totok, lainnya tidak. Kelucuan pada penyelewengan sejarah ini kemudian berakhir setelah Totok dan delapan anggota KAS, termasuk Fanni Aminadia yang menjadi Kanjeng Ratu, ditangkap polisi pada Selasa (14 Januari 2020) petang. Bila menilik sejarah, Purworejo dulunya termasuk Negaragung Bagelen. Nama Purworejo dipakai sebagai pengganti nama Brengkelan, pusat kota Bagelen. Wilayah ini bertetangga dengan Banyumas di sebelah barat dan dengan Keraton Mataram di sebelah timur. Bagelen bersama Banyumas, Kedu, Mataram, Pajang, Sukowati, dan Gunung Kidul masuk dalam kekuasaan Mataram abad ke-17 yang diperoleh berkat perjanjian dan pernikahan. Sementara daerah timur Mataram lebih banyak diperoleh melalui penaklukan. Kondisi Bagelen pada awal abad ke-19 dikisahkan Kapten Godfrey Baker dari Batalion ke-7 Infanteri Ringan Benggala dalam laporannya kepada Raffles.  Dalam perjalanannya ke timur pada 1815, Baker melalui aliran Suangai Cingcingguling menuju Bagelen sebagai tanah-jabatan Negaragung Mataram. Selama berkuda sejauh enam puluh mil ke kota penyeberangan Brosot di Kali Progo, Baker terperangah menyaksikan daerah paling makmur dan berpenduduk padat. Dilaluinya Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan (Jalan Daendels) yang membentang sepanjang pinggir pantai selatan. Menurut catatan Baker, hampir seluruh wilayah itu tampak ditanami padi dan kedelai.  Rawa-rawa menjadi penghasil ikan yang diolah menjadi gereh (ikan asin) dan diperdagangkan sepanjang pantai selatan hingga ke muara Sungai Serayu. Sebagian ikan asin itu juga dijual ke kecamatan di pedalaman seperti Ledok (sekarang Wonosobo). Wilayah ini amat kaya. Hampir sama seperti Kedu, Bagelen merupakan gudang padi dan bahan pangan di timur Jawa Tengah. Tak hanya hasil padi, wilayah ini juga memproduksi kain tenun dan kedelai dalam jumlah besar. Di desa-desa, pertenunan kapas menjadi tulang punggung industri kerajinan kain rami (linen), selempang batik katun, baju perempuan, dan kain sarung. Sebelum Perang Jawa (1825-1830), beberapa sentranya terletak di Desa Jono (kini di Kecamatan Bayan, Purworejo), Tangkilan, dan Wedi.  Ketiga wilayah ini, seperti diceritakan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan, dihuni banyak penduduk Tionghoa. Pasca-Perang Jawa, sentra kain rami terletak di Tanggung, dekat jatung Kota Purworejo kini. Namun demikian, wilayah Bagelen juga tumpang tindih antara Keraton Mataram dan Kasunanan Surakarta. Batas wilayah kedua kerajaan itu tak jelas. Peter Carey mengisahkan, pada sekira 1820-an ada seorang Mantri Desa Karang Bolong di pantai selatan Jawa (kini Kebumen), yang dulu masuk dalam wilayah Bagelen, dilaporkan oleh rakyatnya. Penduduk Karang Bolong menyalahkan Demang Juni karena enggan menaruh banyak sesajen pada Ratu Kidul sebagai penyebab kegagalan panen. Penduduk mengajukan protes kepada patih Surakarta, bukan Mataram, yang menandakan Karang Bolong sebagai wilayah kekuasaan Surakarta. Musafirul Huda dalam skripsinya “Perlawanan Raden Adipati Cokronegoro Terhadap Pasukan Pangeran Diponegoro Di Bagelen”, menyebut batas kekuasaan Mataram dan Surakarta yang tidak begitu jelas sering membawa pertikaian di kalangan penguasa lokal. Herdi Sahrasad dalam “Bagelen: Historia Para Intelektual dan Jenderal Yang Dilupakan”, menyebut pada masa kolonial, kawasan agraris di pedalaman Jawa ini mengalami kemiskinan akibat penjajahan. Maka tak jarang, protes-protes dari masyarakat pun terjadi. Dari kondisi semacam ini, lahirlah intelektual dan jenderal pro-kemerdekaan. Beberapa tokoh ternama kelahiran Bagelen, seperti Kasman Singodimedjo (PPKI), Boentaran Martoatmodjo (BPUPKI), Oerip Sumohardjo, dan filsuf  Nicolaus Driyarkara. Namun kedudukan Bagelen berubah pada 1 Agustus 1901. Nama Bagelen hanya digunakan untuk menyebut salah satu kecamatan di Purworejo. Wilayahnya pun dimasukkan ke dalam Karesidenan Kedu dan tidak punya silsilah dengan Keraton Agung Sejagat.

  • Kala M. Jusuf Nyaris Direnggut Maut

    TANPA pemberitahuan sebelumnya, Pangdam Hasanuddin Kolonel M. Jusuf disertai Komandan PM Kodam Hasanuddin Letkol CPM Sugiri, As-Ops Koandait (Komando Antar Daerah Indonesia Timur) Letkol Suraksono, dan Kepala Kepolisian Sulawesi Selatan/Tenggara Kombes Pol. Mardjaman mendatangi pos komando Yon 330 Siliwangi –yang ditugaskan memberi bantuan kodam setempat dalam mematahkan pemberontakan Kahar Muzakkar– di Enrekang, 2 April 1964. Kedatangan mereka mengagetkan para pimpinan Yon 330 yang saat itu sedang rapat. Setelah makan siang bersama, Jusuf mengatakan dirinya minta disediakan satu kompi pasukan untuk mengawalnya esok. “Besok aku akan mengadakan pertemuan dengan Andi Selle agar ia kembali ke jalan yang benar. Sebagai putera Sulawesi saya ingin mengajaknya baik-baik untuk bersama-sama membangun Sulawesi ini. Pertemuan ini dipersiapkan oleh Letkol Eddy Sabar, komandan Brigif 011, namun saya tidak tahu pasti bagaimana kelanjutan dari pertemuan ini. Karena itu siapkan satu kompi 330 untuk pengamanan, dan tugaskan seorang perwiramu yang baek untuk mendampingi saya!” kata Jusuf, dikutip Atmadji Sumarkidjo dalam Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit . Andi Selle merupakan Dan Yon Bau Massepe di Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar. Selle dan Kahar kemudian berpisah jalan. “Dalam minggu-minggu sebelum hari yang telah ditetapkan untuk integrasi resmi Korps Cadangan Nasional, pertentangan intern yang pertama di kalangan pengikut-pengikut Kahar Muzakkar terjadi ketika Andi Selle memihak Pemerintah dalam persoalan apakah integrasi Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan akan dilakukan batalyon demi batalyon atau tidak,” tulis Cornelis van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan . “Penggabungan Batalyon Bau Masseppe Andi Selle ke dalam Tentara sebagai Batalyon 719 pada 7 Agustus 1951 hanyalah memperbesar pertentangan antara Kahar dan Tentara, selanjutnya.” Dalam perjalanan waktu, besarnya kebebasan yang dimiliki para komandan batalyon, termasuk Selle, membuat mereka menyalahgunakan posisi militer yang ada untuk mencari keuntungan pribadi. Seperti Andi Sose, Andi Selle juga tumbuh menjadi warlord yang merugikan masyarakat dan negara. Dalam Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation, Profesor Roxana Waterson dari National University of Singapore menggambarkan keduanya sebagai oportunis, serakah, menggunakan posisi militer untuk terlibat dalam perdagangan barter yang amat menguntungkan, berusaha mengendalikan ekspor regional dengan mengorbankan pemerintah pusat, mematok harga lokal, dan menarik pajak barang dalam perjalanan ke kota-kota dataran rendah. “Laporan Staf Angkatan Darat tahun 1961, yang saat itu jelas-jelas dianggap sebagai liabilitas, menggambarkannya sebagai seorang oportunis dan petualang ambisius, siap memperkaya dirinya dengan cara apa pun yang mungkin dan selalu mencari peluang untuk mendapat untung dari kedua belah pihak, apakah pemerintah atau gerilyawan,” lanjut Roxana. Oleh karena itulah Dan Yon 330 Siliwangi Mayor Himawan Soetanto menaruh curiga besar saat Jusuf menerangkan rencana perundingannya dengan Selle. “Bakalan rame nih!” kata Himawan kepada wakilnya, Yogie S. Memet, mengomentari keterangan Jusuf. Namun, Himawan tetap mematuhi perintah Jusuf dengan mempersiapkan pasukan yang diminta. Dua kompi dipersiapkannya untuk perundingan itu, yakni Kompi E/330 di bawah Lettu Mukardanu sebagai kompi pengawal dan Kompi D/330 di bawah Lettu Anwar Rasyim sebagai kompi cadangan. Sepuluh prajurit terbaik diplot menjadi pengawal pribadi Jusuf. Sementara untuk pendamping Jusuf, Himawan menugaskan Kapten Jayadi. Pada pukul 07 pagi keesokan harinya, Jusuf berangkat ke Pinrang, tempat perundingan, dikawal satu peleton dari Kompi E/330. Para pengawal pribadi Jusuf yang dipimpin Peltu Daud Supriyanto menggunakan jip Gaz dan jip yang digunakan Jayadi. Anggota kompi yang lain naik truk. Jusuf sendiri menggunakan sedan Dodge milik gubernur Sulawesi Selatan yang dipinjamnya untuk keperluan resmi. Sedan itu berada di belakang jip Jayadi dan di depan truk kompi. Di sedan itu juga ikut Letkol Sugiri dan Kombes Mardjaman, keduanya duduk di baris supir. Begitu konvoi mendekati lokasi perundingan, Desa Lappangeng, para prajurit Siliwangi mulai curiga karena ratusan pengawal Selle dengan beragam senjata sudah bersiap di sepanjang jalan. “Pasukan Siliwangi yang cuma satu kompi itu ditambah sejumlah kecil pasukan dari Raiders Hasanuddin akhirnya berbaur dengan pasukan Andi Selle di tepi-tepi jalan. Semua bersenjata lengkap dan berdiri dengan raut muka tegang,” tulis Atmadji. Kecurigaan prajurit Siliwangi makin bertambah ketika melihat mobil Jusuf dibuntuti sebuah power wagon berisi tujuh pengawal Selle bersenjata bren, yang kemudian menjaga pintu bangunan tempat perundingan. “Andi Selle datang dengan memakai baju merah dengan disertai oleh salah seorang kepercayaannya Sersan Mayor Mansyur,” tulis Badan Pembina Corps Siliwangi Jakarta Raya dalam Album Kenangan Perjuangan Siliwangi . Kecurigaan itu akhirnya tak berbuah apa-apa. Tak lama kemudian, Jusuf dan Selle beriringan keluar dari tempat perundingan sambil tersenyum dan berbincang. Keduanya lalu menaiki mobil Jusuf, yang di dalamnya ada Sugiri, Mardjaman, dan supir. Mobil itu akan membawa mereka ke rumah Bupati Pinrang H. Andi Makkulau, sekitar delapan kilometer dari tempat perundingan, untuk makan siang atas permintaan Selle. Jusuf duduk di kursi belakang kiri dan Selle di belakang kanan. Di sebuah pertigaan dalam perjalanan, mobil Jusuf bukannya berbelok ke kanan malah lurus. Mobil seolah-olah menuju Pare-Pare lalu ke Makassar. Para pengawal Selle pun mengkhawatirkan pemimpinnya akan dibawa lari ke Makassar untuk ditangkap. Sebuah jip pengawal Selle lalu mendahului mobil Jusuf. Jip itu mendadak berhenti. Beruntung supir masih sempat menghentikan mobil Jusuf sehingga tak menabrak mobil di depannya. Sejurus kemudian, tulis Atmadji, “Jusuf melompat turun dan memerintahkan pengawal untuk menangkap Selle, dan Selle juga turun dari sisi yang lain dan memberikan perintah.” Tembak-menembak jarak dekat antara pengawal Jusuf dan pengawal Selle pun tak terhindarkan. “Tiga penumpang di mobil Dodge terkena peluru semua karena tidak sempat ke luar mobil. Kolonel Sugiri tewas, Kombes Pol. Mardjaman mengalami luka-luka di tangan, sementara supir Langa, luka di kepala hingga topinya robek. Mobil Dodge penuh dengan lubang-lubang peluru. Dan pihak pengawal pribadi juga gugur Praka Adang B dan sejumlah prajurit Kujang lainnya mengalami luka-luka ringan,” sambung Atmadji. Hampir bersamaan dengan perintah Jusuf kepada Daud agar menangkap Selle, Selle pun memerintahkan prajuritnya untuk menembak Jusuf. “Hampir bersamaan dengan bunyi senjata otomatis yang ditujukan ke sedan, salah seorang pengawal Jusuf yaitu Praka Syamsudin melempar granat ke arah jip yang memotong konvoi yang kemudian disusul dengan tembakan Thompson Sersan Kopong Poyong, juga pengawal Jusuf yang lain.” Tembak-menembak makin sengit setelah pasukan pengawal Jusuf yang tertinggal jauh di belakang tiba. Sementara tangan kanannya memegang senapan, Peltu Daud langsung melompat dan merangkul Jusuf untuk memberi perlindungan sambil menarik panglima ke arah mobil Gaz. Dalam upaya perlindungan itulah Daud roboh setelah dadanya diterjang peluru pengawal Selle. Jusuf terpaksa meneruskan perjalannya ke jip Gaz tanpa perlindungan. “Menurut Jusuf, sewaktu ia berjalan menuju jip Gaz, Andi Selle malah meneriakkan komando kedua: ‘Ikuti dia dan tembak!’ Para pengawal kemudian terus mengalihkan tembakan ke arah Jusuf. Tetapi ia sendiri merasa ada sesuatu yang panas di belakang lehernya dan punya insting bahwa ada sesuatu yang melindungi nyawanya,” tulis Atmadji. Begitu Jusuf masuk ke dalam jip, supir langsung menancap gas sekuat mungkin menerobos apa saja yang ada di depan tanpa menghiraukan hujan peluru di sekitarnya. Jusuf dan penumpang lain dalam jip pun selamat. Sementara, para prajurit Siliwangi dan pengawal Selle masih baku tembak meski hanya beberapa menit. Namun karena pasukan Siliwangi lebih menguasai cara menembak dan menguasai posisi, korban lebih banyak jatuh dari pihak Selle. Tak lama kemudian, Selle dan para pengawalnya yang tersisa melarikan diri ke hutan. “Tetapi dalam tembak-menembak yang terjadi Andi Selle, yang berhasil melarikan diri, tertembak bahunya,” tulis Van Dijk.

  • Banjir di Kerajaan Tarumanegara

    Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga digali oleh maharaja yang mulia dan memiliki lengan kencang serta kuat, yaitu Purnnawarmman. Alirannya ditujukan ke laut. Itu setelah saluran sungainya sampai di istana kerajaan yang termasyhur. Pada tahun ke-22 bertakhtanya Yang Mulia Raja Purnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja, ia menitahkan pula menggali kali yang permai dan berair jernih. Gomati namanya. Itu setelah alirannya melintas di tengah-tengah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda Sang Purnnawarmman.  Pekerjaan ini dimulai pada hari baik tanggal 8 paro-gelap bulan Phalguna. Lalu disudahi pada tanggal ke-13 paro-terang bulan Caitra. Jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya. Saluran galian itu panjangnya 6.122 tumbak. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1.000 ekor sapi yang dihadiahkan. Begitulah yang dicatat Prasasti Tugu, peninggalan Raja Purnawarman. Prasasti itu diperkirakan ditulis pada abad ke-5, yaitu pada tahun ke-22 pemerintahan Raja Purnawarman. “Pokok isi Prasasti Tugu adalah penggalian dua sungai, yaitu Sungai Candrabhaga dan Sungai Gomati,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah dan arkeolog Universitas Negeri Malang. Kali Gomati digali atas perintah dari Purnawarman. Bahkan, sang raja mungkin terjun langsung dalam penggalian itu. Pasalnya, teks dalam prasasti mengibaratkan sang raja memiliki lengan kencang serta kuat. “Waktu penggalian dilakukan pada tahun ke-22 masa pemerintahannya, ketika Purnawarman telah berusia separoh baya,” ujar Dwi. Banyak yang menafsirkan bahwa saluran-saluran itu dibuat untuk mengatasi banjir. Salma Fitri Kusumastuti dalam “Banjir dalam Beberapa Berita Prasasti” termuat di Menggores Aksara, Mengurai Kata, Menafsir Makna, menjelaskan bahwa prasasti itu mengindikasikan Kali Chandrabhaga digali Raja Purnawarman karena alirannya sampai ke istana. Untuk kedua kalinya Raja Purnawarman kembali memerintahkan penggalian kali yang lain, Gomati. “Air yang masuk ke lingkungan kerajaan dapat diartikan sebagai banjir,” tulis Salma. Karena mungkin masih mengganggu kehidupan di istana, Purnawarman pun mengambil langkah dengan menggali saluran lainnya. Prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Sanskerta itu menyebutkan penggalian kedua selesai selama 21 hari. Dimulai sejak tanggal 8 paro-gelap ( krsnapaksa ) bulan Phalguna hingga 13 paro terang ( sukapaksa ) bulan Caitra . Menurut Dwi kalau dikonversikan ke masa sekarang kegiatan ini berlangsung sejak pertengahan Februari-Maret hingga pertengahan Maret-April. “ Bisa jadi untuk memperlebar dan memperdalam aliran air sungai kecil yang telah ada sebelumnya, sepanjang 6 . 122 tumbak,” kata Dwi . Prasasti Tugu memakai satuan pengukuran tumbak sebagai satuan ukuran tanah. Pada lingkungan budaya Sunda, 1 tumbak sama dengan 14 m². Sebutan lainnya di Jawa untuk tumbak adalah ubin atau bata. Apabila ruas sungai Gomati yang digali adalah 6.122  tumbak, artinya ruas yang digali adalah 6.122 x 14 m² sama dengan 85.708 m². “Galian seluas itu dikerjakan selama 21 hari. Suatu luas gali yang besar untuk ukuran zamannya, yang untuk itu butuh pengerahan orang dalam jumlah besar,” kata Dwi. Letak Bencana Empat belas abad kemudian, Prasasti Tugu ditemukan kembali di Jakarta Utara. Dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap 1879 disebutkan bahwa Prasasti Tugu ditemuan di Kampung Tugu. Saat ini unsur nama “Tugu” ditemukan pada nama dua kelurahan di Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Kelurahan Tugu Utara, dan Kelurahan Tugu Selatan. Di Kecamatan Koja, terdapat kelurahan lain bernama Koja, Lagoa, Rawa Badak Selatan, dan Rawa Badak Utara. Melihat ini, kata Dwi, sangat mungkin kalau wilayah Tugu Utara dulunya sempat berupa areal perairan sub-marine .Sementara kelurahan Tugu Selatan berbatasan dengan jalan Plumpang-Semper, Kelurahan Tugu Utara, Kali Bendungan Melayu, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kali Cakung Lama di Kelurahan Semper Barat, dan Kali Bendungan Batik di Kelurahan Pegangsaan Dua. Karenanya, menurut Dwi , lokasi awal berdirinya Prasasti Tugu pasti di Kelurahan Tugu Selatan. Tepatnya di suatu kampung bernama “Batu Tumbuh”, yang ada di sekitar Simpang Lima Semper, tak jauh dari tepi Kali Cakung Lama.  “Boleh jadi, toponimi ‘Tugu’ yang kini menjadi nama dari dua kelurahan itu berasal dari adanya batu prasasti, yang bentuknya silindirs, yang menyerupai tugu batu,” kata Dwi. “Ketika diketemukan pada 1879, seolah ada batu yang tumbuh dari dalam tanah, sehingga muncul sebutan Batu Tumbuh.” Kini nama kampung Batu Tumbuh jarang dikenal publik. Untungnya, masih ada lorong pendek di dalam kampung yang mempunyai nama Jalan Batu Tumbuh, dengan akses timur ke barat, melintasi Sungai Cakung Lama yang mengalir dari selatan ke utara.  Konon, kata Dwi, beberapa meter sebelah utara dari ujung barat lorong itu dulunya ada semacam punden desa. Punden desa biasanya sebutan untuk awal mula desa itu berkembang. Oleh warga setempat lokasi itu dinamai Kramat Batu Tumbuh. “Sayangnya, kini sudah tak ada lantaran kena gusur untuk pelebaran Jalan Pegangsaan Dua,” kata Dwi.  Sungai Itu Kini Filolog, R.M.NG. Poerbatjaraka dalam Riwayat Indonesia I menulis kalau Sungai Candrabhaga yang disebut dalam Prasasti Tugu kini berubah sebutan menjadi Kali Bekasi. Namanya mengalami perubahan dari Candra , yang berarti bulan dan Bhaga ,menjadi Bhaga dan Candra , kemudian Bhaga dan Sasi . Sama seperti candra, sasi berarti bulan. Kali Candrabhaga atau yang kini menjadi Kali Bekasi, menurut prasasti mengalir melintasi istana Kerajaan Tarumanagara yang masyhur. Artinya, kemungkinan lokasi Tarumanagara berada di Daerah Aliran Sungai Kali Bekasi sekarang. Adapun nama Gomati, kata Dwi, dipinjam dari nama sungai di India. Ia adalah anak dari Sungai Gangga, sebagai sungai suci. “Baik Sungai Gomati atau Candrabhaga merupakan nama dua sungai yang terkenal di Punjab,” kata Dwi. Sungai Gomati kini berubah sebutan menjadi Kali Cakung Lama. Unsur sebutan “lama” memberikan gambaran bahwa sungai kecil ini adalah kali purba. Sungai Cakung kini menjadi buangan banjir dari Kota Bekasi maupun Jakarta Timur dan Utara. Nama-nama di kawasan itu mempunyai unsur “rawa”, seperti Rawa Badak, Rawamangun, Rawasari, Rawa Lumbu, Rawa Bebek, Rawa Terate, Rawa Bunga, dan seterusnya. Adapula tempat-tempat yang mempunyai unsur nama “pulo”, yaitu daratan yang menyembul di perairan rawa. Seperti Pulo Gadung dan Pulo Gebang. Ada pula unsur nama “muara”, misalnya Kamal Muara, Kapuk Muara, dan Cipinang Muara. Terdapat juga unsur nama “teluk”, seperti Teluk Pucung, serta habitat “buaya”, seperti Lubang Buaya.   Karenanya Kali Candrabhaga maupun Kali Gomati sengaja digali untuk menangani banjir tahunan pada sekitar pusat pemerintahan Tarumanagara di daerah Bekasi dan Jakarta Timur sekarang. Ikhtiar ini didasari oleh kesadarannya bahwa areal tempat ia tinggal berawa-rawa, yang rentan banjir di musim penghujan. “Kesadaran adaptif-ekologis telah dimiliki oleh raja Purnawarman beserta rakyat Tarumanegara kala itu. Suatu teladan bijak dari masa lampau,” kata Dwi.  Candrabhaga dan Gomati, kata Dwi, merupakan sungai-sungai yang penting di wilayah kekuasaan Tarumanegara, selain sungai induk Citarum, yang unsur “tarum”-nya dijadikan sebagai unsur nama dari kerajaan Tarum(anagara).  “Ketiganya adalah sungai-sungai yang rentan menimbulkan bencana air bah pada wilayah yang menjadi DAS-nya,” ujarnya.   Kini, Kali Cakung yang dulu adalah buah karya Maharaja Purnawarman sebagai solusi banjir justru menjadi salah satu biang banjir di kala penghujan. “Tragis memang,” kata Dwi.

  • Ranjau Siliwangi Usai Renville

    Berita yang dilansir oleh De Locomotief  pada 22 Februari 1949 sempat membuat heboh. Harian berbahasa Belanda yang terbit di Batavia itu menyebutkan bahwa pada 1 Januari 1949, sejatinya kaum republiken akan melakukan teror di seluruh Jawa Barat. Namun karena dokumen-dokumen rencana tersebut kadung jatuh ke tangan militer Belanda lewat suatu operasi penyergapan di Gunung Dora Desa Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya) pada 25-26 Oktober 1948, aksi serangan umum itu berhasil digagalkan. Panglima KNIL Jenderal S.H.Spoor sendiri diberitakan naik pitam. Dalam buku karya sejarawan militer J.A. de Moor, Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , sang panglima menyatakan bahwa upaya-upaya teror yang dilakukan para pengikut Republik di wilayah Belanda adalah bukti bahwa TNI tidak pernah berusaha loyal terhadap suatu perjanjian damai. Atas penemuan itu, intelijen militer Belanda menuduh Brigade Tjitaroem  sebagai otak di balik rencana-rencana teror di Jawa Barat. Siapakah mereka? Pasca diberlakukannya Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, Divisi Siliwangi harus meninggalkan basisnya di Jawa Barat dan menempati basis baru mereka di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Keputusan itu diterima setengah hati oleh pihak tentara. Menurut buku Siliwangi dari Masa ke Masa  (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi), kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan salah seorang perwira intel dari Divisi Siliwangi (Letnan Kolonel Soetoko) untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan. Lewat Soetoko-lah kemudian pada 18 Januari 1948, berdiri Brigade Tjitaroem. Brigade ini kemudian membawahi unit-unit dari beberapa batalyon Divisi Siliwangi yang tidak ikut hijrah. Di antaranya: Batalyon Soegih Arto (Djaja Pangrerot) di wilayah Cililin, sebagian anggota Batalyon Soedarman di Tasikmalaya, Batalyon Hadi di Sumedang, sebagian Batalyon Kemal Idris di Sukabumi-Cianjur, Satuan Pemberontak 88 pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri di Purwakarta-Karawang dan Lasjkar Wanita Indonesia (LASWI). Dalam perkembangan berikutnya, banyak kesatuan lasykar yang ikut bergabung dengan Brigade Tjitaroem. Mereka terdiri dari Laskar Rakyat di Bandung Timur dan Lembang, sebagian anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) Ujungberung, sebagian anggota Hizbullah pimpinan Zainal Abidin di Limbangan dan pimpinan Aceng Kurnia di Cicalengka, Sabilillah pimpinan Enoch di Wanaraja dan Markas Besar Gerilya Galunggung (MBGG) di Garut-Tasiklmalaya. Khusus untuk batalyon-batalyon yang berasal dari Divisi Siliwangi, peleburan ke Brigade Tjitaroem bersifat perintah resmi. Sebagai contoh Letnan M. Adnan misalnya. Anggota Brigade Tjitaroem dari unsur Batalyon Kemal Idris itu masih ingat bagaimana saat dirinya sedang bersiap-siap ikut hijrah, tetiba dipanggil oleh Komandan Brigade Infanteri 2 (Brigif 2) Soerjakantjana Letnan Kolonel A.E.Kawilarang ke Sukabumi.  “Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tetap tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949. Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan. Instruksi itu dilaksanakan secara baik oleh para prajurit yang ditinggalkan di Jawa Barat. Menurut BM. Permana (95), eks anggota Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi, saat melakukan operasi militer di “daerah Belanda” mereka berlaku laiknya sebuah pasukan liar. “Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi sebagai Kesatuan Patriot Bangsa. Kalau Belanda sih  menyebut kami sebagai “rampoker,” kata BM. Permana. Tak ayal, adanya “kelompok-kelompok liar” itu ibarat ranjau yang ditinggalkan oleh Divisi Siliwangi untuk Belanda. Usai Perjanjian Renville diterapkan, alih-alih bisa beristirahat, tentara mereka justru semakin bekerja keras mengamankan wilayahnya masing-masing. Praktis Jawa Barat menjadi zone gerilya tak terbatas bagi para pejuang Republik yang sengaja ditinggalkan. Selain penghadangan dan penyerangan pos-pos militer Belanda, aksi penculikan  dan pembunuhan terhadap orang-orang sipil yang dianggap pro Belanda pun berlangsung dalam intensitas tinggi. Itu terutama terjadi di Karawang, Purwakarta dan Garut.

  • Empat Kerajaan Buatan tanpa Pengakuan

    DI tengah kisruh beragam skandal, mulai Jiwasraya, Asabri, hingga kegagalan KPK menggeledah DPP PDIP, publik tanah air digegerkan oleh kemunculan Kerajaan Agung Sejagat (KAS). Totok Santoso Hadiningrat dan istrinya, Dyan Gitarja, yang mendirikan kerajaan di Bayan, Purworejo, Jawa Tengah itu mengklaim kerajaan mereka sebagai penerus Kerajaan Majapahit dan dengan kekuasaan meliputi seluruh dunia. KAS memiliki misi untuk menciptakan kedamaian di kolong langit. Kemunculan KAS menambah panjang daftar micronations (negara mikro) atau negara fiksi/khayalan yang berdiri di dalam sebuah negara berdaulat. Sejak abad ke-19, klaim semacam KAS sudah bertebaran di segenap pojok bumi baik yang klaim sungguhan maupun sekadar propaganda iklan. Bentuk mereka beragam, mulai dari republik hingga monarki. Dari ratusan negara khayalan itu, sedikitnya eksis lima negara berbentuk kerajaan dan mengklaim punya dasar historis atas berdirinya kerajaan mereka. Empat di antaranya, mirip KAS yang mengaku memegang warisan janji 500 tahun pasca-runtuhnya Majapahit. Berikut empat kerajaan itu: Principato di Seborga Kerajaan atau lebih tepatnya Kepangeranan Seborga merupakan negara yang didirikan bekas seorang petani bunga hias Giorgio Carbone pada 1963. Monarki itu mengklaim lahan seluas 14 kilometer persegi di Liguria, kawasan di barat laut Provinsi Imperia, Italia. Carbone yang menasbihkan diri sebagai Pangeran Giorgio I, sebagai pemimpin hingga wafatnya pada 2009. The Telegraph dalam obituari sang pangeran menyebut bahwa Carbone punya klaim historis dari dokumen di arsip Gereja Vatikan. Arsip itu menyebutkan bahwa desa yang kemudian menjadi kota Seborga berdiri di atas lahan milik para biarawan Ordo Santo Benediktus sejak diberikan Count Guidone dari Ventimiglia pada tahun 954. Meski dianggap sudah berdaulat pada tahun 954, Seborga disebut baru memiliki bentuk pemerintahan principality (kepangeranan) sejak tahun 1079. Carbone mengklaim Principato di Seborga bukan bagian dari Italia berdasarkan Risorgimento atau perjanjian penyatuan sejumlah kerajaan maupun republik di Italia untuk melebur ke Kerajaan Italia pada 1861, lantaran Seborga tak disebutkan dalam perjanjian itu. Pemerintah Italia tak pernah menanggapi gerakan Carbone meski kepangeranan itu punya bendera –biru dengan garis silang putih seperti panji Santo Bernardus– plus moto negara “ Sub Umbra Sede” (Berdiam di bawah keteduhan). Pemerintah justru melihatnya sebagai daya tarik turisme. Setelah Pangeran Giorgio I mangkat, pemimpinnya dipilih lewat pemilu 25 April 2010. Marcello Menegatto menang dan memperoleh gelar Pangeran Marcello I hingga Nina Menegatto menggantikannya setelah memenangkan pemilu berikutnya, November 2019. Hingga 2018, tercatat 297 orang menjadi warga kepangeranan dengan mata uang Seborga Iuigino itu. Untuk pertahanan, kepangeranan punya pasukan sukarela Corpo delle Guardie. Principality of Sealand Sejak 1960-an Kepangeranan Sealand disebut banyak pihak sebagai negara mikro terkecil, teraneh, dan paling dikenal luas. Kepangeranannya dideklarasikan Paddy Roy Bates, penyiar stasiun radio ilegal Radio Essex . Negaranya berdiri di atas sebuah platform bekas benteng militer Inggris, 11 kilometer lepas pantai Suffolk. Mengutip John Ryan dkk dalam Micronations: Lonely Planet , mulanya platform itu sekadar salah satu bagian menara dari HM Fort Roughs. Benteng itu dibuat pada 1943 di masa Perang Dunia II sebagai benteng pertahanan yang ditempatkan sejumlah meriam antiudara untuk menangkal invasi udara Jerman Nazi. Pada 1956, benteng itu dinonaktifkan dengan ditenggelamkan. Namun menara dan platform tak tenggelam sepenuhnya. Lama tak berpenghuni, platform itu didatangi Bates dan keluarganya pada 2 September 1967. Di sanalah keduanya mendeklarasikan kemerdekaan Roughs Tower dari Inggris dan mendirikan Kepangeranan Sealand. Delapan tahun berselang, barulah kepangeranan memperkenalkan konsitusi, bendera nasional, lagu kebangsaan, mata uang, dan paspornya. Beberapakali negara itu diancam invasi pihak lain. Operator radio bajakan lain, Ronan O’Rahilly, sempat ingin merebutnya dengan kekerasan beberapa bulan setelah Bates mendirikan negara. Ancaman itu akhirnya dilerai pasukan Marinir Inggris dengan tembakan peringatan. Namun, Inggris tidak menindak mereka lantaran perairan tempat platform itu berada di perairan internasional dan belum masuk wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Inggris. Perlahan, negara itu mulai menerima banyak warga baru yang tentu memunculkan perkara baru. Pada Agustus 1978, warga bernama Alexander Achenbach yang ingin menyulap platform itu menjadi kasino dan hotel mewah, melakukan kudeta saat sang pangeran dan keluarganya tengah ke Suffolk. Sang pangeran mampu merebutnya kembali. Sepeninggal Bates, tampuk pimpinan dilungsurkan ke putranya, Pangeran Michael, sejak 2012 hingga kini. Crown Dependency of Forvik Negara Mahkota ( Crown Dependency ) Forvik didirikan Stuart Hill pada pada 21 Juni 2008 dengan mengklaim Pulau Forewick Holm seluas 1 hektar di Selat Sound of Papa yang tak berpenghuni. Lokasinya sekitar 200 meter di selatan Pulau Papa Stour dan Semenanjung Sandness, Skotlandia. Mengutip Steven Roger Fischer dalam Islands: From Atlantis to Zanzibar , Hill mengklaim berhak mendirikan negara dengan pemerintahan sendiri terlepas dari Inggris Raya, berdasarkan perjanjian historis Raja Denmark dan Norwegia Christian I dengan Raja Skotlandia James III pada 1459. Hill menyebut, dalam perjanjian itu Raja Christian I menggadaikan pulau itu beserta Kepulauan Shetland sebagai mahar pernikahan putrinya, Margaret, dengan James III. Lantaran penggadaian itu tak pernah ditebus, Hill meyakini status Pulau Forewick Holm masih jadi sengketa dan dia berhak punya pemerintahan sendiri laiknya Isle of Man atau Kepulauan Channel. Sampai 2015, Hill yang mendapuk diri sebagai perdana menteri, mengklaim sudah punya 218 warga negara. Imperatorskiy Prestol Imperatorskiy Prestol yang berarti Takhta Kekaisaran, didirikan oleh Anton Bakov,  pebisnis dan Ketua Monarkhicheskaya Partiya atau Partai Monarki di Rusia, pada 2011. Mulanya, Bakov memproklamirkan negara monarki konstitusional Romanovska Imperiya atau Kekaisaran Romanov, yang diklaim sebagai penerus Tsarisme Romanov. Kekaisaran itu ditumbangkan Revolusi Bolsheviks pada 1917. Menukil situs resmi negara, romanovempire.com , wilayah kekuasaannya mewarisi kawasan-kawasan yang dijelajahi AL Tsarisme Rusia di masa lalu yang tak menjadi bagian Uni Soviet, di antaranya dataran Antarktika, Inggris Raya, Amerika Utara, dan beberapa pulau di utara Jepang. Warganya tak lain adalah massa Partai Monarki Rusia. Sejak 2014 mereka mengklaim sudah punya 4.000 warga berpaspor Kekaisaran Romanov. Bakov sendiri mendapuk diri sebagai perdana menteri. Pada 31 Maret 2014, Bakov mengangkat Pangeran Nikolai Kirillovich Romanov sebagai Tsar Nikolai III. Nikolai yang punya nama lain Pangeran Karl Emich itu masih cicit buyut Tsar Alexander II. Dengan pengangkatan tsar itu, nama negara Romanovska Imperiya pun diubah menjadi Imperatorskiy Presto dan simbol negara berupa elang berkepala dua. Sementara, benderanya mirip bendera AL Rusia, bendera putih bermotif St. Andrew’s Cross. Berdirinya kekaisaran itu tak pernah ditanggapi pemerintah Rusia. Presiden Vladimir Putin menolak mentah-mentah permintaan lahan di Yekaterinburg oleh Nikolai III untuk dijadikan ibukota dan didirikan istana.

  • Upaya CIA Membunuh Pemimpin China di Bandung

    PEMERINTAH Indonesia dan peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) terkejut mendengar kabar pesawat Kashmir Princess yang ditumpangi delegasi China kecelakaan. Pesawat carteran milik Air India itu meledak dan mendarat di laut Kepulauan Natuna. Korbannya 16 orang tewas dan tiga selamat.

  • Ilmu Eksak Tertua

    Manusia Nusantara sudah mengenal ilmu perbintangan sejak 35.000 tahun lalu. Di salah satu lukisan cadas tertua, Leang-leang di Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, ditemukan penggambaran proses perburuan babi dan rusa, telapak tangan, dan gambar-gambar geometris. Diperkirakan itu melambangkan bintang dan matahari. Sementara itu, peradaban Mesopotamia mencatat pengetahuan astronomi untuk pertama kali pada 4.000 tahun silam. Mesopotamia bahkan telah mengenal planet-planet seperti Dewi Isthar atau Inana, sekarang dikenal dengan nama Venus. “ Mereka juga telah memperkenalkan konsep makrokosmos dan mikrokosmos yang mencapai India pada awal milenium pertama . Kemampuan leluhur mempelajari langit dan angkasa merupakan ilmu eksak paling tua yang ada di muka bumi,” kata Ayu Dipta Kirana, kurator Museum Sonobudoyo, Yogyakarta . Karin menjabarkan sejarah perkembangan pengetahuan astronomi lewat pameran temporer Etnoastronomi bertajuk “Angkasa Raya, Ruang dan Waktu” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Salah satunya soal bagaimana astronomi mempengaruhi religi masyarakat kuno hingga kini. Menurut Karin,dimulai sejak kepercayaan animisme dan dinamisme, praktik penyembahan terhadap matahari sudah dijumpai. Komunitas pendukung kebudayaan itu meyakini kalau matahari memberikan kehidupan terhadap mereka. Aliran kepercayaan ini kemudian berkembang secara konseptual menjadi agama dunia yang lebih kompleks. Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihiasi dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang. (Wikipedia). Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihias dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang. Praktik peribadatannya kemudian turut pula dipengaruhi oleh konsep langit dan arah mata angin, seperti dalam agama Hindu atau Buddha. “Ada pengetahuan kuno mengenai konsep kosmologi yang menjadi dasar spiritual beberapa kepercayaan kuno. Manusia adalah bagian dari sebuah jagad besar (makrokosmos) alam semesta ini, manusia juga representasi dari jagad kecil (mikrokosmos),” kata Karin. Karenanya, manusia percaya kalau nasib dan garis hidupnya sudah ditentukan dan dibaca oleh langit. “ Konsep makrokosmos dan mikrokosmos merupakan konsep tua dari masa Babilonia yang kemudian menyebar ke India, mempengaruhi perkembangan agama Hindu-Buddha juga ,” lanjut Karin . Misalnya dalam pembangunan bangunan suci. Biasanya orang kuno menggunakan konsep mandala . Mandala adalah representasi dari alam semesta yang diwujudkan dalam konstelasi dewa-dewa berdasarkan tingkatannya. Konsep ini merupakan imajinasi visual mengenai alam raya. Sebagaimana yang dijabarkan dalam pameran, Candi Borobudur menjadi contoh bangunan Buddhis yang memperlihatkan konsep mandala dengan jelas. Dikenal arca lima tokoh Tataghata yang mewakili unsur pokok alam semesta: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghasiddhi. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa arca Wairocana menguasai zenith dengan sikap tangan memutar roda dharma . Aksobhya menguasai arah timur dengan sikap tangan kanan seakan menyentuh bumi. Ratnasambhawa menguasai arah selatan, dengan sikap tangan mengajar. Amitabha menguasai arah barat dengan sikap tangan bersemadi. Lalu Amoghasiddhi menguasai arah utara dengan sikap tangan menolak bahaya. Karena menjadi bagian dari jagad besar, gerak konstelasi bintang pun bisa dijadikan pertanda masa depan. Segala peristiwa dan kejadian dapat diprediksi dan berjalan sesuai dengan tatanan kosmik yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Dalam pameran yang masih berjalan hingga 10 Februari 2020 itu dijumpai cawan zodiak atau yang disebut dengan prasen. Ini biasanya menjadi perlengkapan upacara adat masyarakat Tengger, yang mendiami dataran tinggi di sekitar kawasan Pengunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Prasen digunakan sebagai wadah air suci oleh Dukun Pandita. J.G. de Casparis, epigraf asal Belanda, dalam Indonesian Chronology menjelaskan prasen umumnya dibuat pada era Majapahit, abad ke-14 hingga ke-15. Ia berbahan perunggu. Pada permukaannya terdapat simbol-simbol zodiak. Di antaranya Mesa (domba jantan, Aries), Vrsabha (lembu jantan, Taurus), Mithuna (anak kembar, Gemini), Karka (ketam, Cancer), Simha (singa, Leo), Kanya (gadis, Virgo), Tula (timbangan, Libra), Vrscika (kalajengking, Scorpio), Dhanusa (busur panah, Sagitarius), Makara (uadng, Capriconus), Kumbha (guci, Aquarius), Mina (ikan, Pisces). “Kehadiran tanda-tanda zodiak mirip jam matahari berhubungan dengan pengukuran waktu, misalnya penggunaannya dalam upacara keagamaan, mengetahui waktu kapan matahari memasuki setiap tanda zodiak,” jelas Casparis. Angkasa yang menjadi dasar konsep waktu hadir dalam konsep spiritual hingga masa kini. Tanda-tanda pergantian waktu diterjemahkan praktik ibadahnya. Karin mencontohkan dengan waktu-waktu kapan azan, sebagai penanda waktu salat dalam Islam, dikumandangkan. “Dalam Islam, perubahan waktu amat penting sebagai pondasi spiritual, termasuk untuk menentukan waktu perayaan ibadah seperti Ramadan,” kata Karin. Menurutnya, pengamatan bintang dan benda-benda langit di alam raya membantu manusia untuk mewujudkan kepercayaan mereka. Tak heran, sejak dulu mereka yang ahli mengamati pergerakan benda langit mendapat tempat penting di masyarakat. Di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga . Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Beberapa prasasti menyebut profesi itu. Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti , jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan, di antaranya wariga . “Kita saat ini sudah memegang pengetahuan luar biasa itu dalam alat bantu berupa kompas atau GPS, misalnya. Smartphone kita memuat semua pengetahuan itu terasa sangat sederhana, tapi dulu, tak semua orang bisa memahami pengetahuan langit,” kata Karin. Pembaca bintang dan benda langit pada masa lalu tak cuma penting dalam spiritual, tapi dalam keseharian bahkan politik. Langit menentukan waktu tanam, waktu perjalanan, navigasi, menerjemahkan konsep pagi, siang, malam, untuk beradaptasi terhadap lingkungan, hingga meramal nasib kerajaan.

  • Cerita Malari Versi Judilherry

    Raut riang Judilherry seketika berubah tegang. Percakapan kami tetiba membangunkan kembali ingatannya tentang malapetaka 15 Januari 46 tahun lalu itu. Masih segar dalam ingatannya, malam itu ia bersama kawan-kawan sesama mahasiswa bergerak menentang kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Kejadian itu memang sudah sangat lama, tapi masih melekat begitu dalam di ingatan Judilherry. “Saya bersama kawan-kawan mahasiswa bergerak demi menyampaikan hati nurani rakyat, menentang ketidakadilan. Tidak ada maksud lain di balik semua itu,” tegas Judilherry saat ditemui di Gedung Ganeca, Kalibata, Jakarta Selatan (14/1/2020). Judilherry Justam (Fernando Randy/Historia) Judilherry Justam (72 tahun) menjadi salah satu tokoh utama peristiwa 15 Januari 1974, yang dalam narasi sejarah bangsa ini dikenal sebagai Tragedi Malapetaka 15 Januari. Bersama dengan Hariman Siregar, Judilherry berada di pusat aksi mahasiswa kala itu. Hariman bertindak sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), sementara Judilherry dipercaya mendampinginya sebagai Sekertaris Jenderal DMUI. Upaya Mencegah Sejak permulaan peridoe 1970-an segala bentuk proyek pemerintah mulai disoroti. Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda , menyebut jika selama periode tersebut kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Potensi lahirnya pertentangan-pertentangan besar pun tidak bisa dihindari. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disoroti mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing,” tulis Umar dan Yohanes. Menurut Judilherry kecaman-kecaman terhadap kebijakan pemerintah sebetulnya tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa saja. Di berbagai lapisan masyarakat sering diadakan diskusi-diskusi terkait isu pembangunan dan modal asing yang semakin marak di Indonesia ini. Mahasiswa hanya berusaha meramu isu-isu tersebut menjadi sebuah pemikiran yang konkret. Semua orang sama-sama cemas akan keberlangsungan negeri ini. Kekhawatiran yang berkembang kala itu adalah potensi korupsi besar-besaran dalam tubuh pemerintah. Melambungnya harga minyak, ditambah masuknya sejumlah besar modal asing ke Indonesia ditakutkan menjadi pembuka jalan bagi tindak kejahatan. Maka harus ada yang bergerak untuk mecegahnya. Pada 24 Oktober 1973, DMUI mengundang sejumlah tokoh dalam sebuah acara diskusi. Turut hadir mantan Walikota Jakarta, Sudiro; Menteri Luar Negeri Adam Malik; tokoh pers BM Diah; dan tokoh Angkatan 66 Cosmas Batubara. Dalam acara diskusi tersebut dibahas berbagai hal tentang kinerja pemerintah dalam upaya pembangunan di Indonesia. Di akhir diskusi disepakati sebuah petisi, dikenal sebagai Petisi 24 Oktober, yang menyatakan perlunya penyusunan strategi pembangunan baru yang lebih seimbang, baik di sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Pada 28 Oktober, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, DMUI mengeluarkan petisi itu. Dalam situasi yang tidak menentu, DMUI melalui Hariman terus menggiatkan aksi protesnya. Pada 31 Desember 1973, ia berorasi di halaman depan Fakultan Kedokteran UI, di hadapan massa dari berbagai kalangan. Dalam biografi Judilherry, Anak Tentara Melawan Orba , Hariman mengajak semua komponen masyarakat untuk menolak modal asing yang masuk ke Indonesia, dan bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat. Modal asing yang dibahas kali ini sudah lebih mengarah pada perusahaan-perusahaan Jepang yang masuk ke Indonesia. “Karena kebetulan Jepang yang datang ke Indonesia, ya Jepang jadi sasaran. Kalau Amerika yang datang mungkin sasarannya Amerika. Aksi ini dilakukan untuk menolak adanya modal asing di Indonesia, tidak peduli siapapun mereka,” ucap Judilherry. Jurnalis Jopie Lasut, dalam Malari: Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orba , menyebut jika dominasi perusahaan Jepang tahun 1970-an telah tumbuh semakin besar di Indonesia. Tidak hanya produk otomotif, restoran Jepang juga mulai tumbuh berkembang di pusat-pusat keramaian ibukota. Bahkan lambang Toyota sampai bertengger gagah di puncak menara Wisma Nusantara, gedung tertinggi di Indonesia kala itu. Salah satu perusahaan yang disalahkan atas masuknya produk-produk Jepang ke Indonesia ketika itu adalah Astra. Perusahaan tersebut membawa sejumlah produk otomotif Jepang, seperti Toyoya, Mistubishi, dan Honda. “Waktu itu citra Astra kurang begitu bagus. Astra disebut royal bagi-bagi uang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kegiatan peragaan busana hingga event rally mobil mereka danai. Tapi mereka nampak kurang peduli dengan orang-orang miskin di sekitar pabrik mereka. Padalah suasana anti Jepang sudah berkecamuk di benak sebagian besar masyarakat,” kata Jopie. Puncak Aksi Memasuki Januari 1974, penolakan terhadap modal asing semakin memanas di kubu mahasiswa. Demi meredam suasana, Kepala Staf Kopkamtib Soedomo lalu memediasi pertemuan antara mahasiswa dengan Presiden. Pada 11 Januari 1974 Presiden Soeharto bersedia menemui perwakilan mahasiswa di Bina Graha. Dari DMUI hadir Hariman Siregar, Judilherry, dan Slamet Rahardjo (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI). Dalam pertemuan itu, para perwakilan mahasiswa membacakan ikrar mahasiswa Indonesia dari Dewan-dewan Mahasiswa se-Indonesia. Menurut Judilherry ketika itu ia yang membacakan ikrar tersebut. Isinya kurang lebih: “Pertama kita menuntut bahwa pola pembangunan yang berorientasi kepada keadilan sosial dan kemakmuran bagi rakyat banyak. Kedua, terwujud iklim politik yang berasaskan demokrasi sehingga pemerintah benar-benar milik rakyat untuk kepentingan rakyat. Ketiga, pembangunan hukum yang terkait tertib hukum dan mekanisme peradilan yang tidak memihak, di mana setiap warga memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Keempat, pembatalan segala bentuk kemewahan dan mengadakan pemberantasan korupsi.” Namun ternyata pertemuan dengan presiden itu tidak memberi dampak signifikan terhadap keputusan pemerintah. Ikrar mahasiswa tersebut tidak mampu mencegah gelombang asing masuk. Terlebih pada 14 Januari 1974 pemerintah akan menerima kunjungan dari Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Mengetahui hal itu, malam 14 Januari mahasiswa berkumpul di lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Mereka mengepung pangkalan udara itu sebagai bentuk penolakan Tanaka di Indonesia. Tetapi kumpulan mahasiswa di sana tidak mampu menahan rombongan PM Jepang itu. Ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke Indonesia. “Kita hanya ingin menghambat dia (PM Tanaka) keluar. Ini simbol bahwa kita tidak ingin PM Jepang datang ke Indonesia,” kata Judilherry Pagi 15 Januari 1974, sekira pukul 08.00 WIB, gabungan mahasiswa dari seluruh universitas di Jakarta berkumpul di UI. Hasil rapat pada malam sebelumnya disepakati bahwa mereka akan melakukan aksi longmarch dari UI ke Universitas Trisakti. Pukul 08.30, di bawah pimpinan Judilherry, sebanyak 500 mahasiswa mulai bergerak menuju Trisakti. Di sepanjang jalan, massa aksi longmarch ini semakin banyak. Mahasiswa dari berbagai universitas mulai turut bergabung hingga membentuk barisan yang cukup panjang. Diperkirakan mencapai 5.000 orang jumlahnya. “Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan PM Tanaka, dan aksi protes mereka adalah anti-asing, terutama Jepang; anti-birokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan anti-militer, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjalanan bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson, dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising . Namun Judilherry menyebut jika massa dari kubu mahasiswa tidak benar-benar mengambil alih jalan yang mengakibatkan perusakan. Ia dan kawan-kawannya hanya melakukan aksi longmarch sambil menggaungkan berbagai protes terhadap pemerintah tanpa usil merusak apapun. Mereka lalu tiba di Trisakti sekira pukul 10. Setelah beristirahat dan sedikit orasi, Judilherry mengarahkan para mahasiswa untuk kembali ke Salemba. Massa mahasiswa ini kembali ke UI menumpang truk-truk kosong yang lewat. Mereka sengaja mengambil rute ketika pergi longmarch, melewati jalan-jalan yang telah dilalui. Sampai di Tanah Abang 2, massa diarahkan oleh tentara ke arah Harmoni. Dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat banyak mobil yang sudah terbakar, bahkan sampai ada yang diceburkan ke kali. Namun kondisi sekitar saat itu sudah tenang, tidak terlihat ada kerusuhan. Setelah sampai di UI, para mahasiswa mendengar kabar bahwa terjadi kerusuhan dan pembakaran di sekitar Senen. Sejumlah mobil dan bangunan dirusak oleh orang-orang tak dikenal. Judilherry memastikan bahwa perusakan itu bukan disebabkan oleh tangan-tangan mahasiswa yang ia pimpin. Menurutnya ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mengkambinghitamkan mahasiswa. Suasana kerusuhan 15 Januari 1974 (Wikimedia Commons) Sore hari hingga malam, di sekitar kampus UI Salemba, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Diponegoro berkeliaran kelompok-kelompok yang melakukan perusakan. Mereka semakin ganas mengincar mobil-mobil Jepang yang masih baik bentuknya. Gedung perusahaan Jepang juga banyak yang hangus dibakar. Belakangan diketahui, setelah Judilherry berada di tahanan, bahwa banyak organisasi dan kelompok yang terlibat dalam persitiwa ini. “Ada Kesatuan Aksi Pengebudi Becak, Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam, eks DI/TII, orang-orang PNI lama, di samping para intelektual seperti Mochtar Lubis, Adnan Buyung. Di sini kita mencoba mengorek informasi bahwa mereka inilah yang dikerahkan. Bahkan saya juga dapat informasi bahwa anak-anak STM ikut andil dalam kerjadian ini,” ucapnya. Kerumunan massa kerusuhan 15 Januari 1974 (Wikimedia Commons) Informasi tentang pengerahan massa pelajar itu juga dikemukakan oleh Kees van Dijk dalam “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia” termuat Orde Zonder Order: Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998 . Menurutnya demonstran di dekat Monumen Nasional Jakarta Pusat sebagian besar berasal dari pelajar sekolah menengah. “Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” kata Kees. Proses Mengadili Sehari setelah malapetaka 15 Januari, keadaan berangsur membaik. Sudah tidak terlihat kumpulan massa di jalan-jalan utama. Di kampus UI, sejumlah mahasiswa masih berdiskusi di bawah pimpinan Hariman. Pada saat itu, Ali Sadikin datang. Ia bermaksud meminta DMUI mengeluarkan pernyataan terkait kerusuhan semalam di TVRI demi mengendalikan keadaan yang mungkin masih dapat memanas di tengah masyarakat. Ali Sadikin membawa sebuah konsep yang harus dibacakan DMUI. Isinya antara lain: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran oleh massa serta tetap mendukung Soeharto sebagai presiden. Dan meminta agar masyarakat tenang dan tidak terporvokasi. Perwakilan DMUI menerima konsep tersebut. Namun sedikit diubah: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran dari pihak manapun juga . Mereka juga menolak memberikan dukungannya kepada Soeharto sehingga kalimat dukungan terhadap presiden juga ikut dihapus. Malam harinya, Hariman ditemani Judilherry menyampaikan pernyataan itu di TVRI. Dari TVRI, beberapa mahasiswa dibawa ke Markas Kopkamtib. Di sana mereka bertemu dengan Wapangkopkamtib, Soedomo, dan sejumlah jenderal lainnya. Melihat Hariman dkk Soedomo naik pitam. Baginya, mahasiswa harus bertanggung jawab atas peristiwa 15 Januari itu. Akhirnya saat itu juga Hariman dan Gurmilang ditahan. Sementara Judilherry dan mahasiswa lainnya disuruh kembali ke kampus. Pada 17 Januari tersiar kabar bahwa beberapa orang pejabat DMUI, MPM UI, dan Senat Mahasiwa UI juga ikut ditahan, termasuk Theo Sambuaga, Salim Hutadjulu, dan Eko Sudjatmiko. Judilherry sendiri sebagai Sekjen DMUI tidak ditahan. “Saya tidak tahu kenapa tidak ditahan. Saya lalu mengambil alih DMUI sebagai caretaker ketua umum, menggantikan sementara Hariman Siregar.” Malapetaka Januari 1974 (Wikimedia Commons) Penangkapan Judilherry baru terjadi pada malam 13 April 1974. Ia “diambil” dari rumahnya di Jalan Siliwangi Raya oleh sejumlah orang menggunakan mobil Jeep. Ia selanjutnya dimasukkan ke dalam tahanan Kopkamtib. Tempat di mana kawannya, Hariman juga ditahan. Judilherry sendiri masih tidak tahu alasannya ditangkap. Jika memang terkait peristiwa Malari mengapa ia tidak ditahan bersama Hariman dan kawannya yang lain. Namun ia menduga penahanan itu terjadi ketika ia menolak berbagai intervensi dari Opsus Ali Murtopo yang ingin masuk ke tubuh DMUI dan pemakzulan Hariman. “Secara pribadi terus terang saya merasa berat berada di tahanan, terutama ketika tiga bulan pertama. Karena saya hanya diberi ruangan yang sangat sempit, serta aktifitas saya pun dibatasi dan diawasi. Bahkan buang air pun harus di dalam sel, dengan hanya diberi sebuah kaleng yang setiap pagi akan saya cuci,” kenang Judilherry. Pada perkembangan selanjutnya, akibat dari peristiwa Malari aktivitas mahasiswa mulai diawasi oleh pemerintah. Mahasiswa dilarang berkumpul dan bergerombol di dalam kampus tanpa maksud yang jelas. Hingga akhirnya pada 1978, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Bahkan tahun selanjutnya ditandatangani SK tentang pembubaran organisasi kampus.

bottom of page