top of page

Hasil pencarian

9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Bule Bela Indonesia Merdeka

    Selama ini, sejarah Indonesia hanya mengenal nama Ktut Tantri alias Muriel Stuart Walker yang menjadi propagandis bagi kemerdekaan Indonesia. Muriel yang dikenal dengan cuap-cuap pedasnya terhadap Inggris dan Belanda dalam perang di Surabaya (November 1945), merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan Skotlandia. Dia mengawali kiprahnya sebagai seorang propagandis pro-Republik di Radio Pemberontakan Surabaya. “Dia tandem yang cocok bagi Bung Tomo,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Namun, tak banyak orang mengetahui bahwa Muriel bukan satu-satunya. Ada beberapa bule yang pernah terlibat sebagai juru propaganda Indonesia dalam era revolusi. Di antaranya adalah John Edward, Piet van Staveren, dan Elisabeth van Voorthangsen. John adalah perwira Sekutu berkebangsaan Inggris dari Batalion 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia membelot ke pihak Republik pada 1946 dan bergabung dengan Batalion B pimpinan Kapten Nip Xarim. Dia lantas dibawa ke Aceh dan menjadi penyiar bahasa Inggris Radio Rimba Raya. Kadang-kadang dia menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Beberapa waktu kemudian, pangkatnya dinaikan menjadi kapten. Di kalangan gerilyawan Indonesia kawasan Sumatera, John Edward lebih dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris. “Setelah memperistri perempuan Pematang Siantar, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah Siregar. John Edward meninggal di Pematang Siantar pada tahun 1956 sebagai orang sipil biasa dan hidup sangat sederhana,” ujar Muhammad TWH, jurnalis sepuh Medan yang pernah mendalami kehidupan Edward. Bule kedua bernama Piet van Staveren. Dia merupakan prajurit Belanda dari Divisi 7 Desember. Menjelang agresi pertama Belanda pada Juli 1947, dia melarikan diri dari kesatuannya di Sumedang lalu ditangkap pasukan TNI. Piet lantas diserahkan ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Atas permintaan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, dia lalu diserahkan ke kesatuan Lasykar Pesindo di Madiun dan menjadi tenaga propagandis untuk Radio Gelora . Sebagai propagandis, Piet sangat kritis terhadap Belanda. Pernah karena pidato-pidatonya di Radio Gelora , pemerintah Belanda yang tengah berunding dengan pemerintah Indonesia di Kaliurang, Yogyakarta, memprotes dan meminta pihak Indonesia membungkamnya demi kelancaran perundingan. Menjelang penyerahan kedaulatan pada akhir 1949, Piet ditangkap Polisi Militer Belanda di Solo. “Dia diserahkan begitu saja oleh dua perwira TNI dan ditukarkan dengan dua ekor kambing,” ungkap HJC Princen, pembelot Belanda lainnya. Piet kemudian dibawa ke Belanda pada 1950. Selama proses pemeriksaan, dia mengalami penyiksaan hebat hingga masyarakat Belanda memprotes penangkapannya. Dia kemudian dilepas pada 1954 dan menjalani hidupnya hingga kini di Belanda dalam usia 91 tahun. Bule berikutnya bernama Elisabeth van Voorthangsen (Betty). Menurut Rushdy, Betty semula adalah buronan Inggris dan Belanda karena sempat bekerja untuk bala tentara Jepang pada 1944-1945. Dalam pelarian bersama dua putrinya di Bandung pada 1945, dia kemudian bertemu dengan Letna Kolonel Abdullah Saleh Hasibuan, Komandan Batalion Beruang Merah Tasikmalaya. Saleh kemudian memperistri Betty dan memboyong perempuan berkebangsaan Jerman itu ke Tasikmalaya. “Sejak itulah Betty aktif sebagai propagandis Indonesia di Radio Tasikmalaya hingga berhenti pada 1947,” ujar Rushdy.

  • Raffles dan Dua Abad The History of Java

    Thomas Stamford Raffles adalah pengingat yang jempolan. Dia tekun mendengarkan cerita-cerita dari beberapa kolega seperti Bupati Yogyakarta, Tan Jin Sing, dan Bupati Semarang Surohadimenggolo, tentang tempat-tempat eksotis di Jawa. Bukan itu saja, dia pun rajin mengumpulkan tulisan-tulisan terdahulu mengenai segala hal yang berhubungan dengan Jawa, terutama dari sisi budayanya. Dari situ, dia pun doyan jalan-jalan. Maka tak heran, setahun setelah purnatugas di Hindia Belanda, dia menerbitkan karya besarnya, The History of Java pada 1817. Buku itu dibaca banyak orang Eropa dan mengundang hasrat beberapa pelancong untuk berkunjung ke Jawa. Beberapa lokasi eksotis yang pernah dicatat dalam The History of Java , hari ini pun menjadi destinasi pariwisata yang ramai. “Menurut saya, Raffles sebagai orang yang mengeksploitasi daerah-daerah yang kini menjadi tujuan pariwisata. Dalam pandangan pariwisata sekarang, Raffles disebut perintis. Dia memperkenalkan daerah-daerah yang menarik untuk dikunjungi. The History of Java menjadi rujukan penjelajah yang datang ke Hindia Belanda seperti Ida Laura Reyer Pfeiffer dari Austria. Raffles lebih menyukai daerah-daerah, jika memakai kacamata pariwisata hari ini, adalah wisata budaya. Dia menulis banyak mengenai candi-candi,” terang Ahmad Sunjayadi, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam diskusi “Raffles dan Kita: 200th The History of Java” di Balai Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Jalan Veteran, Jakarta Pusat, 6 Maret 2017. Masa bakti Raffles sebagai Letnan Gubernur di Hindia Belana singkat (1811-1816). Purnatugas di Jawa, dia membawa semua hasil kerja risetnya dalam 200 peti seberat 30 ton ke Inggris, dan merampungkan penulisan The History of Java yang kemudian diterbitkan kali pertama pada 1817 dalam dua jilid dengan ilustrasi gambar. Rupanya, kecepatan penulisan ini didukung oleh berlimpahnya sumbangan bahan tulisan dari orang-orang di sekitar Raffles seperti Collin Mackenzie yang ahli militer, John Crawfurd, Surohadimenggolo, Notokusumo yang menjadi Pakualam, hingga Sultan Sumenep. “Raffles menerima banyak bahan tulisan dari mereka semua. Namun dalam History of Java , nama para penyumbang itu pun tidak disebutnya. Tidak ada dedikasi untuk mereka. Tidak ada terima kasih,” kritik Peter Carey. Achmad Sunjayadi, pengajar FIB UI dalam diskusi Raffles dan Kita: 200th The History of Java di gedung BPPI, Jakarta Pusat, 6 Maret 2017. (Aryono/Historia.id). Sosok yang membuat Raffles tergila-gila dengan Jawa salah satunya adalah John Casper Layden (1775-1811) dari Skotlandia yang ahli bahasa Persia, Sanskerta dan Melayu. Pada Oktober 1805, dia memutuskan pindah ke Penang dari India untuk berobat. Di situlah dia bertemu Raffles dan istri pertamanya, Olivia Mariamne. Dalam pandangan Peter Carey, Layden dan Olivia terlibat hubungan cinta Platonik dan itu diamini oleh Raffles. “Raffles memiliki kisah hidup yang menarik. Dia agak limbung saat ditinggal mati John Layden. Selang berapa tahun, dia kehilangan Olivia, yang lebih tua 10 tahun dan berhasil momong dia hingga ke puncak kariernya. Raffles ini berangkat dari nol, dia bukan kalangan atas di Inggris. Dia merintis dari bawah. Dan Olivia, adalah perempuan di balik kesuksesannya,” ungkap Peter Carey. Selain TheHistory of Java , Raffles juga mewariskan sistem birokrasi dan administrasi. Dia mengganti sistem tata kelola tanah, dari tanam paksa ( cultuur stelsel ) menjadi sistem penyewaan tanah ( landrente ) yang lebih menguntungkan pihak penggarap dan penyewa. “Dua tahun Raffles membentuk tim untuk menyelidiki kondisi tanah dan petani. Baru pada 1813, atas rekomendasi timnya, dia menciptakan struktur lengkap kepemilikan tanah dan sistem perpajakan,” ujar Tri Wahyuning M. Irsyam dari Universitas Indonesia yang memaparkan kebijakan landrente Raffles. Namun, Raffles juga dikenang karena kekejamannya seperti memerintahkan menghabisi prajurit Belanda di Jatinegara dan dikuburkan di Rawabangke. Dia juga melakukan penaklukan dan penjarahan Keraton Yogyakarta. “Raffles memang fenomenal. Dia seperti komet. Pada usia 35 tahun, sudah menjadi Letnan Gubernur di Jawa. Menurut saya, dia adalah figur menarik dalam sejarah Inggris,” ujar Peter Carey.

  • Nehru: Republik Indonesia Harus Diakui

    PANDIT Jawaharlal Nehru, Ketua Partai Kongres India, menulis tulisan berjudul “Republik Indonesia Harus Diakui” di New York Times . Antara lain dikatakan bahwa pemerintah Indonesia mendapat sokongan bulat dari rakyat, dan sanggup menjaga keamanan, sehingga kemerdekaan Indonesia dan pemerintahnya harus diakui. Demikian disebut dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil. Buku ini mengutip Documenta Historica karya Osman Raliby. Osman mencatat bahwa “sejarah Indonesia di masa beberapa bulan ini sangat mengagumkan. Rol (peran) Inggris (Sekutu) yang dimainkan di sana adalah di luar dugaan sama sekali. Telah terbukti pemerintah Indonesia sanggup mengurus soal-soal tanah airnya sendiri karena pemerintah itu mendapat sokongan yang bulat dari rakyat. Mereka sanggup menjaga keamanan dan karena itu haruslah diakui kemerdekaan Indonesia dan juga pemerintahnya harus diakui.” Menurut Pram dkk, kantor berita Belanda di Bombay mengabarkan bahwa Nehru telah menyatakan simpatinya terhadap sahabat-sahabatnya di Indonesia yang berjuang untuk memelihara kemerdekaan dan mempertahankan Republiknya. Presiden Sukarno menyampaikan ucapan selamat kepada Nehru ketika menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Pemerintah India Sementara pada September 1946. Nehru menjadi Perdana Menteri pertama India pada 1947-1964. Dalam surat balasan kepada Sukarno, Nehru menyatakan “India dan Indonesia di tahun terakhir ini makin dekat-mendekati. Di India banyak simpati atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Nehru juga menyatakan bahwa “India sangat terharu oleh kiriman beras dari Indonesia, yaitu waktu Indonesia sendiri menghadapi kesusahan.” Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengirim beras 500.000 ton ke India yang sedang dilanda kelaparan. Sebaliknya, pemerintah India mengirimkan 200 peti pakaian. “Dengan diplomasi internasional ini Perdana Menteri Sjahrir hendak mematahkan propaganda Belanda di dunia Internasional yang selalu menggambarkan Republik kacau-balau. Juga dengan ekspor beras itu hendak dipatahkan blokade laut Belanda sekitar Jawa dan Sumatra, selanjutnya untuk mencari pengakuan atas dirinya dari negara-negara lain,” tulis Pram, dkk.*

  • Tak Mau Berkompromi

    Christine Hakim, srikandi film Indonesia, kagum terhadap Tjoet Nyak Dhien, perempuan pejuang dari Aceh. Bukan hanya karena dia memilih jalan perjuangan, tapi juga tetap konsisten melawan Belanda. Tjoet Nyak Dhien (1848-1908), putri Teuku Nanta Seutia, seorang bangsawan Kesultanan Aceh yang memilih angkat senjata melawan Belanda. Dua kali dia menjanda. Kedua suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, gugur di medan perang. Alih-alih menyerah, dia terus mengobarkan perlawanan hingga tertangkap dan dibuang ke Sumedang. Christine Hakim mengenal betul sosok Tjoet Nyak Dhien karena pernah membawakan peran ini dengan baik dalam film Tjoet Nja’ Dhien (1986) karya sutradara Eros Djarot. Berkat aktingnya, dia meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Di tengah kesibukannya menyiapkan film Tjokroaminoto di bilangan Jakarta Selatan, Christine Hakim menuturkan pandangannya tentang sosok Tjoet Nyak Dhien. Berikut adalah percakapannya. Apa yang menarik dari sosok Tjoet Nyak Dhien? Dia berangkat dari latar belakang darah biru di Aceh, bangsawan Aceh, namun memilih jalan perang untuk mempertahankan hak merdeka rakyat Aceh yang terenggut akibat polah Belanda. Itu pula alasan yang membuat Anda berani mengambil peran Tjoet Nyak Dhien dalam film tahun 1988? Awalnya Mas Eros (Eros Djarot) hanya meminta saya membantunya. Namun, dalam perjalanan, peran tokoh utama ditawarkan kepada saya. Kala itu saya berpikir belum ada film sejarah yang mengangkat perempuan Indonesia. Apalagi ini tokoh dari Aceh. Ini, pikir saya, akan memberi warna bagi perfilman Indonesia. Ditambah lagi, memerankan Tjoet Nyak Dhien seperti menjadi turning point , menapak tilas kembali leluhur. Sebab, ada darah Aceh mengalir dalam tubuh saya. Bagaimana cara Anda mendalami karakternya? Hanya dari literatur semacam buku-buku sejarah Indonesia saja saya bisa menangkap sosoknya. Misalnya, dalam buku De Atjeh-Oorlog , yang khusus bicara tentang Perang Aceh, ada laporan dan opini tentara Belanda tentang pribadi Tjoet Nyak Dhien. Dia dikenal tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda. Dia berbeda dari suami keduanya, Teuku Umar, yang pernah bersedia bekerjasama dengan Belanda selama tiga tahun untuk mencuri siasat Belanda. Apa karakter kuat Tjoet Nyak Dhien? Dari yang saya baca dalam De Atjeh-Oorlog , sikap keras kepala adalah kelemahan sekaligus kelebihannya. Dia tak mau bertemu muka dengan Belanda, misal untuk berunding. Tak heran jika tak ada satu pun foto tentang dirinya, kecuali satu foto ketika dia tertangkap. Saat itu dia sudah tua, sakit punggung, dan sudah hampir buta. Ketika Pang Laot, salah satu panglima perang Tjoet Nyak Dhien, menyarankannya untuk menyerah, dia menolak tegas. Dia keras kepala. Tapi dia konsisten pada jalan perjuangan yang dia pilih. Apa inspirasi yang bisa Anda petik? Saya kira sikap keras kepala yang dimiliki Tjoet Nyak Dhien juga ada pada diri saya. Sikap seperti ini, saya ambil sisi positifnya saja, menumbuhkan sikap konsisten. Dengan sikap keras kepala ini, tak ada orang yang dapat menyetir saya. Jika Tjoet Nyak Dhien keras kepala di jalur perjuangan mengembalikan hak rakyat Aceh, sampai hari ini saya keras kepala di jalur film yang memiliki nilai kemanusiaan.

  • Diplomasi Persahabatan ala Sukarno

    PADA 2015, Sigit Aris Prasetyo, diplomat muda Kementerian Luar Negeri, ditugaskan melakukan riset di Uzbekistan. Dia mengunjungi makam Imam Bukhori dan tergugah manakala mengetahui ada jejak Sukarno dalam pembangunan makam perawi hadis terkemuka itu. Sukarno meminta pemerintah Uni Soviet memperbaiki makam Imam Bukhori pada 1959. Uni Soviet memenuhi permintaan Sukarno itu. “Ketika saya berdialog dengan salah satu pemuka Islam di sana, beliau juga menekankan jasa-jasa Sukarno dalam pembangunan makam itu saat berkunjung ke Uni Soviet. Menurut saya inilah salah satu contoh sejarah yang perlu kita teladani,” ujar Sigit dalam acara bedah bukunya, Dunia dalam Genggaman Bung Karno di Ruang Nusantara Kementerian Luar Negeri, Jakarta, (2/3). Sejak itu, Sigit mulai mengumpulkan referensi mengenai strategi diplomasi Sukarno dan kedekatannya dengan pemimpin-pemimpin dunia. Perlu waktu satu setengah tahun untuknya menulis buku itu. Hasilnya adalah sebuah buku yang merekam diplomasi Sukarno yang menawarkan ide-ide baru dalam mewujudkan tata hubungan internasional yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Tidak hanya itu, Sigit juga menyigi persahabatan Sukarno dengan 25 tokoh dunia. “Sukarno adalah tokoh besar, pemimpin yang berprinsip, negosiator, orator, dan konseptor ulung. Dia juga seorang praktisi diplomasi Indonesia yang paling cerdas dalam sejarah Indonesia,” terang Sigit. Sejarawan Asvi Warman Adam yang membahas buku itu menguraikan bagaimana persahabatan menjadi strategi ampuh Sukarno dalam berdiplomasi. “Bung Karno mungkin adalah presiden yang paling banyak melawat ke luar negeri. Sudah 2/3 negara dunia dikunjunginya. Dan yang menarik adalah bahwa beliau berteman dengan pemimpin dari berbagai ideologi, budaya, agama, dan apapun tipe negaranya. Hal itu tergambar dalam buku ini,” tuturnya. Sukarno sangat mengagungkan persahabatan. Hasrat menjalin persahabatan inilah yang menjadi strateginya membina hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting dunia pada masanya. Selain itu, tujuan Sukarno gemar melawat ke luar negeri adalah untuk memperkenalkan Indonesia ke panggung dunia. “Buku ini juga menunjukkan pemikiran Sukarno tentang kolonialisme. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang monumental seperti saat pembukaan Konferensi Asia Afrika dan pidatonya di PBB,” ujar Asvi. Keberanian Sukarno dalam menentang kolonialisme itu bisa menjadi cerminan kepercayaan diri bangsa Indonesia. Di akhir diskusi, Sigit menekankan pentingnya sejarah bagi diplomat-diplomat Indonesia. Dia berharap diplomasi persahabatan ala Sukarno bisa menjadi inspirasi bagi diplomat-diplomat muda Indonesia. “Kita telah banyak mempelajari tokoh-tokoh internasional, tetapi jangan lupakan bahwa Indonesia juga punya tokoh juga yaitu Sukarno. Buku ini saya harap bisa mengingatkan bahwa kita punya diplomat luar biasa. Dan sebagai diplomat juga kita bisa belajar dari Sukarno,” pungkasnya.*

  • Multatuli

    DIA hanya menetap selama kurang dari tiga bulan di Rangkasbitung, Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama. Pulang membawa luka dan kecewa. Menuliskan semua itu di sebuah kamar kecil yang sempit di Brusel, Belgia. Dia meradang, menggugat ketidakadilan yang ditemuinya selama bertugas di Lebak. Membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Tak lama sebelum karyanya terbit, dia mengirim secarik surat untuk Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” kata Multatuli dalam suratnya. Raja tak bergeming. Karya yang berjudul Max Havelaar of De koffieveillingen der Nederlandse Handelsmaatshappij (Max Havelaar atau persekutuan lelang dagang kopi Belanda) akhirnya terbit pertama kali pada 1860. Maka perkara busuk itu pun meluap kemana-mana. Multatuli digadang-gadang sebagai pembuka rahasia penjajahan Belanda atas Hindia kepada dunia. Karyanya diterjemahkan ke dalam 40 bahasa. Karyanya dibaca banyak tokoh pembebasan, mulai Jose Rizal dari Filipina sampai Sukarno di Indonesia. Ia semacam inspirasi bagi mereka yang tak suka ketidakadilan terjadi di depan mata. Tapi Multatuli tak hanya dipuja. Dia juga dicerca. Rob Nieuwenhuys berpendapat bahwa Multatuli adalah pejabat yang gagal memahami struktur masyarakat tradisional di Jawa. Sehingga protesnya terhadap pemerintah kolonial atas korupnya bupati Lebak dinilai salah kaprah. Banyak juga yang menganggap Multatuli sebagai seorang yang frustrasi, yang menulis Max Havelaar bukan semata karena membela ketidakadilan namun untuk membalas rasa sakit hati akibat pemecatannya. Sulit memang menduga apa yang berkecamuk dalam hati Multatuli. Satu yang pasti, Max Havelaar , buah tangannya itu dikutip oleh banyak tokoh. Menjadi semacam landasan argumentasi untuk menunjukkan betapa buruknya wajah kolonialisme di Hindia Belanda. Wajar jika satrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa Multatuli adalah orang pertama yang berupaya membunuh kolonialisme. Di Belanda, negeri di mana Multatuli lahir, punya banyak cara untuk mengenang tokoh yang dibenum sebagai peletak tonggak pertama kesusasteraan Belanda modern itu. Pada Maret dan November setiap tahunnya, selalu ada pertemuan yang diselenggarakan Multatuli Genootschap, perkumpulan Multatuli. Perkumpulan ini juga mengelola sebuah museum di Amsterdam, rumah di mana Multatuli dilahirkan pada 2 Maret 1820. Di Indonesia, Multatuli tak banyak dikenal. Berbeda dengan anak sekolah di negeri-negeri Eropa yang membaca Max Havelaar , karya Multatuli yang membela rakyat bumiputera dari penindasan kolonial itu justru bukan bacaan wajib di sini. Film Max Havelaar yang pernah dibuat pada 1976 sempat dilarang di Indonesia karena dianggap mempermalukan keluarga bupati, penguasa pribumi musuh Multatuli. Lebih-lebih, dianggap tak nasionalis karena menempatkan Multatuli yang orang Belanda sebagai pahlawan ketimbang musuh sebagaimana yang diajarkan di dalam pelajaran sejarah. Tapi pendulum ingatan kini mulai bergeser. Winnie Sorgdrager, ketua Perkumpulan Multatuli mengatakan bahwa dia dan kawan-kawannya bekerja keras agar rumah kelahiran Multatuli di Amsterdam tetap bisa berfungsi sebagai museum. Pemerintah Belanda mencabut subsidi atas banyak hal di bidang sejarah dan kebudayaan, termasuk mengurangi jatah membiayai museum. Itu berlangsung semenjak partai kanan macam Partai voor Vrijheid, partainya Geerts Wilder turut berkuasa di Belanda sejak 2012 lalu. Sementara itu di Lebak, Banten, pemerintah setempat telah membangun sebuah museum yang menggunakan nama Multatuli. Perlahan cara pandang terhadap sejarah mulai beranjak lebih baik. Pemahaman atas masa lalu bangsa ini, terutama di masa kolonial, memang harus beranjak dari cara berpikir yang hitam dan putih, apalagi bila merujuk kepada warna kulit: tak selamanya penindas berkulit putih dan mereka yang ditindas adalah berkulit sawo matang. Usaha untuk membebaskan diri dari segala macam bentuk penindasan menjadi kewajiban bagi mereka yang terpanggil menjalankan tugasnya sebagai manusia. Persis seperti kata Multatuli, “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia”. Maka mengingat Multatuli adalah mengenang kelam penindasan manusia atas manusia lainnya sekaligus juga mengusung cita-cita pembebasan.*

  • Cara Pria Asia Tenggara Kuno Memuaskan Pasangan

    Anthony Reid, sejarawan ahli Asia Tenggara dari Australian National University, menunjukkan kebiasaan tak lazim masyarakat Asia Tenggara dalam berhubungan seksual. Para pria biasanya menggunakan aksesoris pada penis untuk memuaskan pasangannya. Mereka melakukannya, sekalipun proses pembuatannya menyakitkan, demi sensasi seksual tiada tara. Di Siam (kini, Thailand), pria yang menginjak usia 20 tahun mengiris penis dengan pisau halus lalu memasukan bola-bola atau lonceng kecil pada kulit lepas di sisi sekitar kepala penis. "Bola-bola penis" sebesar anggur itu dipakai juga di Malaka hingga Makassar dan sebagian Jawa. Selain untuk fungsi seksual, ia menjadi penanda status sosial, berdasarkan material logam yang digunakan pada bola. Di Filipina bagian tengah dan selatan, penis lelaki yang besar maupun kecil ditusuk menembus kepalanya dengan mur timah atau emas sebesar bulu angsa. Di kedua ujungnya dilekatkan sesuatu berupa taji. Demikianlah perempuan-perempuan Filipina menginginkan pria mereka agar menggapai kenikmatan bersanggama. Tradisi yang sama juga terjadi pada Suku Iban dan Kayan di Kalimantan. “Tradisi lisan menyatakan bahwa hubungan seksual tanpa alat demikian masih kalah nikmat dari masturbasi ,” tulis Anthony Reid dalam  Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1650 . Praktik tersebut mulai hilang ketika pengaruh agama Islam dan Kristen masuk.

  • Kitab Mujarab Bagi Pelupa

    BUKU ini dilarang edar di Indonesia pada masa Orde Baru. Sepertinya pejabat Kejaksaan Agung era Orba tak perlu lama-lama memutuskan pelarangan buku ini. Halaman pertama pada buku ini saja sudah mempertanyakan peran Soeharto di dalam kudeta 1 Oktober 1965. Bahkan dalam lembar halaman selanjutnya, Julie Southwood dan Patrick Flanagan, penulis buku ini, memposisikan Soeharto sebagai pelaku aktif kudeta yang berakhir pada penyingkiran Sukarno.

  • Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden

    Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941, menyebabkan pecahnya Perang Pasifik. Kedua negara mengerahkan sebagian besar kekuatan militernya untuk saling mengalahkan. Sebelum masuk ke perang darat, pertempuran laut dan udara mendominasi hingga akhir perang. Berbagai jenis kapal perang dan pesawat dikerahkan kedua belah pihak, mulai yang usang hingga keluaran terbaru. Pun para kombatan. Amerika Serikat tak hanya mengerahkan pasukan reguler tapi juga wajib militer. Ada yang sebagai marinir, ada juga yang pelaut. Di antara ribuan pelaut itu, enam di antaranya kemudian menjadi presiden. Siapa saja keenam pelaut itu? John F. Kennedy Lantaran tulang belakangnya bermasalah, Kennedy gagal masuk sekolah Angkatan Darat pada 1940. Namun, upaya pemulihan berhasil membuatnya masuk Angkatan Laut dan bergabung dalam US Naval Reserve. Tak lama setelah masuk Naval Reserve Officer Training School, dia mendapat tugas pertamanya di Panama. Tugas selanjutnya sebagai komandan beberapa kapal patroli torpedo selama Perang Pasifik. Kapal patroli PT-109 yang dipimpinnya mengalami kerusakan ketika patroli malam di perairan Kepulauan Solomon. “Awak PT-109 tak bisa meyakinkan diri apakah sebentuk gelap di depan mata adalah kapal musuh, tipuan cahaya, atau kapal PT lain,” tulis Catherine Corley Anderson dalam John F. Kennedy . Destroyer Jepang, Amagiri, tiba-tiba berada di kanan PT-109 dan menabrak kapal cilik itu. PT-109 terbelah dan terbakar, dua orang meregang nyawa. Kennedy terlempar dan punggungnya hampir patah. Dia dan sepuluh personel yang selamat berkerumun di haluan yang masih mengambang, lalu berenang ke pulau terdekat. Dia memotong tali pelampung yang dipakai McMahon yang terluka bakar parah, dan menggigitnya kuat-kuat. Dengan McMahon di punggungnya, dia berenang menuju pulau terdekat. “Mengabaikan rasa sakit di punggungnya, Jack (Kennedy) akhirnya mencapai pantai berkarang,” lanjut Catherine. Sesampainya di pula terdekat, ternyata tak ada tanaman dan air. Dalam keadaan lapar dan haus, mereka berenang menuju Plum Pudding Island dan Ferguson Passage, juga tak ada apa-apa. Mereka mendapatkan pohon kelapa di Pulau Olasana, tapi tetap tak ada makanan. Kennedy dan Barney Ross berenang ke Pulau Naru dan mendapat air hujan, sekotak besar permen, dan kano yang ditinggalkan pengintai lokal. Setelah semua kru berkumpul di Pulau Naru, dia membuat tulisan pada buah kelapa. Tanpa diketahuinya, para personel juga melakukan hal sama. Pesan buah kelapa itu sampai kepada Letnan Reginald Evans, penjaga pantai asal Australia. Evans mengirim anak buahnya menggunakan kano dengan membawa barang-barang kebutuhan dan pesan untuk Kennedy. Para kru PT-109 pun selamat. Selesai mendapat perawatan dan pulih dari cedera punggung, Kennedy kembali ke medan tempur pada awal September 1943. Sebulan kemudian, pangkatnya naik menjadi letnan dan ditugaskan sebagai komandan kapal PT-59. Sempat menyelamatkan 87 Marinir yang terdampar di dua kapal yang ditahan Jepang, dia diperintahkan pulang lantaran cedera. Dia menjalani perawatan selama tahun 1944. Setelah pulih, dia dibebastugaskan pada akhir 1944. Pada 12 Juni 1944, Kennedy dianugerahi Navy and Marine Corps Medal atas tindakan heroiknya pada 1-2 Agustus 1943 dan Purple Heart Medal atas cedera parah yang dideritanya. Usai perang, dia sempat menjadi koresponden khusus Hearst Newspapers . sebelum terjun ke dunia politik untuk memenuhi keinginan ayahnya. Kennedy memulai kariernya sebagai anggota House of Representatives. Keberanian dan gagasan-gagasan cerdas membuat karier politikya melejit. Namun, kesehatannya sempat menghambat kariernya. Dalam masa penyembuhan tahun 1956, dia menerbitkan biografi Profiles in Courage yang memenangkan Pulitzer Prize kategori biografi. Dia kembali menapaki dunia politik setelah kesehatannya berangsur pulih. Dia berhasil mencapai puncak karier sebagai presiden meski singkat. Lyndon B. Johnson Meski telah diangkat menjadi Lieutenant Commander (setingkat mayor) dalam US Naval Reserve pada 21 Juni 1940, Johnson masih sebagai tetap politisi di Kongres. Kesehariannya dihabiskan dengan urusan politik. Namun, pemboman Pearl Harbor membuat pria kelahiran 27 Agustus 1908 itu, terjun ke dalam urusan teknis militer. Tugasnya memberi laporan kepada Markas Besar Operasi Angkatan Laut di Washington DC mengenai instruksi-instruksi yang perlu diambil dan pelatihan. Pada 1942, Presiden Franklin D. Roosevelt menunjuk Johnson sebagai satu dari tiga orang dalam tim survey South West Pacific Area (SWPA). Tim ini bertugas mengamati langsung keadaan Pasifik barat daya dan melaporkannya kepada presiden. Setelah melapor kepada Jenderal Douglas MacArthur selaku Panglima SWPA, Johnson dan dua perwira Angkatan Darat, dibawa menuju markas 22nd Bomb Group yang bertugas membom pangkalan udara Jepang di Lae, New Guinea. Sebagai observer, dia berbekal kamera mengamati keadaan markas 22nd Bomb Group. Dia melaporkan hasil pengamatannya kepada presiden, panglima Angkatan Laut, dan Kongres, bahwa kondisi di lapangan amat menyedihkan: moril pasukan rendah, peralatan yang ada memprihatinkan, dan kualitas pesawat amat rendah dibanding pesawat Jepang. Oleh karena itu, Johnson menyarankan agar SWPA mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. SWPA butuh tambahan sekira lima batalion. Dia merangkum semua sarannya dalam “Twelve-Point Program” yang menekankan pada peningkatan kerjasama dan koordinasi antarberbagai komandan lapangan dan palagan satu dengan palagan lainnya. Namun, tak mudah bagi Johnson untuk sampai pada tahapan itu. Risiko salalu mengiringi langkahnya. Pada 9 Juni 1942, Johnson ikut dalam misi serangan udara sebelas pembom B-26 ke New Guinea. Pesawat yang dipiloti teman sekamarnya dari Angkatan Darat, ditembak jatuh. Pesawat yang ditumpanginya juga tertembak oleh pesawat Zero hingga satu mesinnya mati. Namun, sang pilot berhasil membawa kembali pesawat itu ke pangkalan. Keberanian Johnson menarik perhatian MacArthur. Atas rekomendasinya, Angkatan Darat menganugerahinya Silver Star. Saran Johnson juga mendapat respons positif dari Kongres yang menunjuknya untuk mengepalai Sub Komite Tinggi di Naval Affairs Committee. Tugasnya menginvestigasi problem-problem dan ketidakefisienan di Angkatan Laut. Setelah bebas tugas dari militer pada 17 Juli 1942, Johnson kembali menjadi politisi. Kariernya terus merangkak hingga berhasil menjadi presiden. Richard Nixon Nixon melamar ke Angkatan Laut karena tak puas dengan pekerjaan menjawab pertanyaan korespondensi yang masuk ke kantornya. Pada 15 Juni 1942, dia memperoleh pangkat letnan muda di US Naval Reserve. Setelah menyelesaikan pelatihan indoktrinasi di NAS Quonset Point, Rhode Island, dia bertugas sebagai ajudan komandan Naval Reserve Aviation Base di Ottumwa, Iowa, Amerika Serikat. Tugas itu hingga Mei 1943. Nixon tetap tak menikmati pekerjaannya meski pangkatnya telah naik menjadi letnan. Dia meminta penugasan laut dan mendapatkan posisi sebagai perwira pengontrol penumpang laut di South Pacific Combat Air Transport Command yang bermarkas di Guadalcanal. Saban hari Nixon dan kesatuannya menyiapkan manifes dan rencana penerbangan pesawat C-47 dan mengawasi lalu lintas kargo pesawat tersebut selama peperangan. Meski tak ikut memanggul senjata, peran Nixon dan kesatuannya amat strategis. Unit ini memastikan kelancaran suplai pertempuran pasukan Amerika Serikat. Nixon menjalankan perannya dengan baik hingga akhir, Juni 1944. Efisiensinya dalam pekerjaan membuatnya mendapat penghargaan Navy Letter of Commendation. Setelah bertugas di Fleet Air Wing dan Bureau of Aeronautics, Nixon bebas tugas pada 10 Maret 1946. Kiprahnya di Angkatan Laut masih berlanjut dengan menjadi perwira staf di beberapa tempat, termasuk pengacara untuk korpsnya. Sambil berjalan, dia terjun ke dunia politik. Kemenangannya atas Jerry Voorhis dalam pemilihan anggota Kongres di California membuka jalan lebar bagi karier politiknya. Jalannya terus menanjak hingga menjadi wakil presiden dalam pemerintahan Presiden Dwight Eisenhower, veteran Pertempuran Normandy. Beberapa tahun kemudian, dia terpilih sebagai presiden. Namun, skandal Watergate memaksanya mengundurkan diri dan menutup karier politiknya. Gerald Rudolph Ford Ford mendengar berita penyerangan Pearl Harbor tak lama setelah membuka kantor hukum bersama temannya, Philip W. Buchen. Tak terima dengan serangan Jepang itu, dia pun mendaftar ke Angkatan Laut. Setelah diterima di US Naval Reserve pada 13 April 1942, Ford bertugas sebagai instruktur V-5 di Annapolis, Maryland. Bersama 82 instruktur lain, dia mendapat pelatihan kemampuan dasar navigasi, pertolongan pertama, menembak, dan pelatihan militer lain. Berbekal kemampuan itu, dia mendaftarkan diri untuk tugas di laut. Penugasan pertama Ford di galangan kapal New York Shipbuilding Corp. yang tengah membangun kapal induk USS Monterey (CVL-26). Dia ikut mengawasi pembuatan kapal itu sebelum diterjunkan ke Pasifik. Ketika USS Monterey telah beroperasi sebagai bagian dari Armada ke-3 dan Armada ke-5, Ford menjadi asisten navigator dan perwira battery antiaircraft kapal itu. Dia yang hobi olahraga juga menjadi pelatih atletik di kapal itu. Sebelum memasuki overhaul pada September-November 1944, USS Monterey terlibat banyak pertempuran laut di Pasifik. Kapal induk berbobot 11.000 ton itu ikut membebaskan Pulau Makin di Kepulauan Gilberts, melancarkan serangan udara terhadap Kavieng, mendukung pendaratan di Kwajalein, hingga terlibat Pertempuran Laut Filipina. Hari-hari Ford dihabiskan di geladak kapal dengan risiko sewaktu-waktu terkena serangan Jepang atau keganasan alam. Pada 17-18 Desember 1944, USS Monterey dihantam topan laut Cobra. Pesawat-pesawat di lambung kapal saling berbenturan dan terbakar. USS Monterey mengalami kebakaran hebat. Ford hampir menjadi korban. Kena hantaman badai, kapal miring 25 derajat. Dia tergelincir ke tepi deck . Beruntung baja setebal 2 inci ada yang terseret sehingga memperlambat laju Ford. Dia langsung berguling ke catwalk di bawah deck , lalu menceplungkan diri ke laut. Armada ke-3 kehilangan tiga destroyer dan lebih dari 700 personel akibat badai itu. USS Monterey dipanggil pulang untuk overhaul karena tak layak operasi. Dalam persinggahannya di Ulithi sebelum mencapai tempat perbaikan di Washington, Ford mendapat penugasan baru sebagai pengajar di Athletic Department Pre-Flight School di Saint Mary’s College. Sempat menjadi instruktur di Naval Reserve Training Command di Naval Air Station, Illinois, dia lalu bebas tugas dari militer pada 23 Februari 1946. Ford yang lahir pada 14 Juli 1913 mendapat beberapa penghargaan seperti Asiatic-Pacific Campaign Medal, The Philippine Liberation Medal, dan World War II Victory Medal. Dia terjun ke dunia politik sebagai anggota US House of Representatives. Pada 29 November 1963, Presiden Johnson menunjuknya menjadi anggota Komisi Warren yang menginvestigasi kematian Presiden John F. Kennedy. Dia juga dipercaya menjadi House Minority Leader sebelum akhirnya menjadi wakil presiden dalam pemerintahan Presiden Nixon. Skandal Watergate yang menimpa Nixon mengantarkan Ford menjadi presiden. Jimmy Carter Sejak kecil, pria bernama asli James Earl Carter Jr. bermimpi menjadi taruna Akademi Angkatan Laut di Annapolis. Latar belakang keluarganya dari kelas pekerja dan kehidupannya yang sulit pasca-Depresi 1930 kian membuatnya semangat untuk mewujudkan mimpi itu. Mahasiswa teknik di Georgia Istitute of Technology itu pun berhasil mewujudkannya pada 1943. Carter kehilangan kesempatan bertempur di Perang Pasifik. Tugasnya setelah perang usai dimulai di kapal selam USS Pomfret. Dia beruntung menjadi satu dari sedikit perwira muda yang dipilih Laksamana Hyman G. Rickover yang dikenang sebagai Bapak Nuklir Angkatan Laut dalam program Fledgling Nuclear Power pada 1952. Meski singkat, penugasan itu amat berkesan bagi Carter. Ketika bertugas di Komisi Energi Atom di Washington DC, dia ditugaskan memimpin tim kecil untuk memadamkan reaktor Chalk River Laboratories milik Atomic Energy of Canada yang bermasalah pada 12 Desember 1952. Pengalaman itu amat membekas dan menentukan pandangannya mengenai nuklir di kemudian hari. Setelah kematian ayahnya, Carter mengundurkan diri dari Angkatan Laut dan melanjutkan bisnis keluarga. “Aku meninggalkan Angkatan Laut pada bulan Oktober dengan perasaan bercampur antara rasa syukur dan bersalah,” kenang Carter dalam memoarnya, A Full Life: Reflections at Ninety . Keputusan amat berat yang diambil Carter itu juga membuat istrinya tak lagi sehangat saat dia masih jadi perwira Angkatan Laut. Toh, nasi sudah menjadi bubur. “Salah satu peristiwa teraneh dan paling tak terduga dalam hidupku adalah kontemplasi lamban tapi tak terhindarkan dariku untuk mengundurkan diri dari Angkatan Laut dan pulang ke Plains untuk melanjutkan beberapa tanggung jawab ayah dan meniru aktivitasnya,” lanjutnya. Dalam masa bertani itu, Carter melihat praktik rasialisme yang amat dibencinya kian parah. Mau tak mau, dia perlahan mulai berpolitik meski secara resmi terjun ke dunia politik baru pada 1962. Setelah menang pemilihan umum dan menjadi gubernur Georgia, dia melangkah ke tingkat nasional dan berhasil mengalahkan petahana Gerald Ford dalam pemilihan presiden tahun 1976. George Herbert Walker Bush Pria kelahiran 12 Juni 1924 ini masih berusia 17 tahun ketika Pearl Harbor diserang Jepang. Sebagai bukti ketidaksukaannya pada Jepang, dia lalu mendaftar masuk Angkatan Laut. Begitu lulus dari Phillips Academy pada 1942, dia diterima menjadi penerbang Angkatan Laut. Setelah mendapatkan pendidikan selama sepuluh bulan, dia ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Laut Corpus Christi. Kala itu, dia menjadi penerbang termuda. Sebagai salah satu pilot di Air Group 51 yang berpangkalan di kapal induk USS San Jacinto, Bush merasakan dahsyatnya Battle of the Philippine Sea. Dia merasakan kegembiraan ketika negerinya menang besar dalam pertempuran itu. Pengalaman pahit datang ketika Bush dan kesatuannya mengikuti penugasan berikut yaitu menyerang Kepulauan Bonin. Empat pesawat Grumman TBM Avenger, salah satunya dipiloti Bush, mendapat tugas menghancurkan instalasi militer Chichijima. Saat memulai operasi pada 2 September 1944, pesawat Bush tertembak senapan antipesawat, salah satu mesinnya terbakar. Bush bersikeras menyelesaikan misi itu. Beberapa target penting behasil dilumpuhkan oleh bom yang dijatuhkan pesawatnya. Setelah beberapa mil, dia dan para awak lain memutuskan terjun payung. Salah seorang awak nahas, parasutnya tak mengembang. Bush dan awak lainnya diselamatkan tim penyelamat dari kapal selam USS Finback. Bush terlibat lebih dari 50 misi. Misinya di Chichijima mendapat poin penting. Atas keberaniannya, dia mendapat Distinguished Flying Cross. Usai perang, Bush menggeluti bisnis minyak. Dia kemudian terjun ke dunia politik sebagai anggota Kongres asal Partai Republik. Dia mewakili Houston di US House of Representatives pada 1966. Berturut-turut, Bush gonta-ganti jabatan mulai dari duta besar Amerika Serikat di PBB, ketua Komite Nasional Partai Republik, direktur CIA, dan wakil presiden dalam pemerintahan Ronald Reagan. Bush menduduki kursi presiden setelah menang dalam pemilihan tahun 1988.

  • Kantor Polisi di Cicendo Diserang

    Sebuah bom panci berdaya ledak rendah diledakkan di Taman Pandawa di Jalan Pandawa Kecamatan Cicendo Kota Bandung, pada 27 Februari 2017. Seorang pelaku melarikan diri dengan membawa motor, sedangkan satu pelaku lagi lari ke kantor Kelurahan Arjuna. Pelaku itu tewas oleh tembakan dari aparat keamanan. Teror di Cicendo itu mengingatkan kita pada Peristiwa Cicendo pada 11 Maret 1981 pukul 00.30 WIB. Sekitar 14 anggota Jamaah Imran dari Komando Jihad menyerbu kantor Polisi Kosekta 8606 Pasir Kaliki, Cicendo, Bandung. Mereka dipimpin oleh Salman Hafidz, datang dengan menggunakan sebuah truk. Kala itu, hanya ada empat anggota polisi yang berjaga: Sertu Suhendrik, Bharatu Zul Iskandar, Bharada Andi, dan komandan jaga Serka Suryana. Tiga orang penyerbu turun dari truk lantas berpura-pura menanyakan salah seorang anggota jamaah yang ditahan. Tanpa disangka, mereka menodongkan senjata api Garrand. Menghadapi sergapan tak terduga itu, keempat polisi itu tak berdaya dan dimasukkan ke dalam tahanan yang terletak di belakang kantor. Mereka kemudian membebaskan empat tahanan anggota Jamaah Imran. “Atas perintah Salman Hafidz, Maman Kusmayadi lantas memberondong keempat polisi itu. Tiga orang seketika tewas, dan seorang luka berat,” tulis Tempo , 27 September 1986. Mereka kemudian mengobrak-abrik pos polisi itu dan membakar arsip yang mereka temukan. Mereka lantas melarikan diri dengan membawa dua pistol kaliber 38. Setelah para pelaku tertangkap, diketahui bahwa otak penyerbuan adalah Imran bin Muhammad Zein, pimpinan Komando Jihad di Jawa Barat. Imran menyuruh Salman, untuk mencari senjata dalam waktu dua minggu. Imran kemudian mendalangi pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla di bandara Don Muang, Bangkok, Thailand, pada 28 Maret 1981. Pembajak menuntut kepada pemerintah agar membebaskan 80 tahanan, terdiri dari tahanan yang menyerang kantor Polisi Kosekta 8606, tahanan “Teror Warman”, dan tahanan dalam teror Komando Jihad pada 1977-1978. Para pembajak juga menuntut agar para tahanan tersebut diterbangkan ke luar negeri dengan tujuan negara tertentu yang akan disebutkan kemudian. Selain itu, mereka meminta tebusan US$1,5 juta tunai. Apabila tuntutan tidak dipenuhi hingga 30 Maret 1981, mereka akan meledakkan pesawat beserta sandera. Wakil Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Laksamana TNI Sudomo memerintahkan Asisten Intelijen Hankam/Kepala Pusat Intelijen Strategis/Asisten Intelijen Kopkamtib, Letjen TNI Benny Moerdani sebagai penanggungjawab operasi pembebasan sandera. Dalam operasi penyelamatan yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan ini, lima orang tewas: tiga pembajak tewas seketika, yaitu pimpinan pembajak Mahrizal, Zulfikar T. Djohan Mirza, Abu Sofian alias Sofyan Effendy; dua orang terluka kopilot Herman Rante dan Letnan Satu Achmad Kirang, keduanya kemudian meninggal. Dua pembajak, Abdullah Muljono dan Wendy Mohammad Zein dieksekusi mati di suatu tempat yang rahasia setelah dikuras seluruh informasinya. Siapakah Imran bin Muhammad Zein? Manurut Busyro Muqqodas dalam Hegemoni Rezim Intelijen , Imran memimpin Komando Jihad di Jawa Barat dan menamakan dirinya Dewan Revolusi Islam Indonesia yang menentang Pancasila dan UUD 1945. “Dalam jangka panjang kelompok ini berkeinginan membentuk Negara Islam Indonesia, sementara tujuan jangka pendekanya adalah menghancurkan komunisme,” tulis Busyro. Selain penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla, sebelumnya Jamaah Imran terlibat perampokan toko emas Sinar Jaya di Tasikmalaya pada 9 April 1979, perampokan koperasi simpan pinjam di Kecamatan Sikijang, perampokan gaji pegawai Dinas P&K di Kecamatan Banjarsari Ciamis, perampokan toko emas di Subang pada 9 Juli 1980, dan peledakan mesjid dan gereja. Menurut Busyro penyulut Peristiwa Cicendo adalah Najamuddin yang disusupkan Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Indonesia) ke dalam Jamaah Imran pada 1981. Untuk memprovokasi, Najamuddin menyerahkan setumpuk dokumen yang berisi rencana menindas Islam pasca Pemilu 1982. Berkat pembusukan dan pematangan situasi dan kondisi yang dilakukan oleh Najamuddin, rekayasa tersebut berhasil memicu aksi radikal dalam bentuk kekerasan bersenjata. Dengan modal senjata dari Najamuddin, mereka menyerang kantor Polisi Kosekta 8606. Sementara Tempo menyebut “senjata api Garrand hasil curian dari Pusat Pendidikan Perhubungan Angkatan Darat di Cimahi, Bandung.” Aksi spionase Najamuddin tercium. Jamaah Imran mengeksekusinya dan menemukan surat penangkapan terhadap Imran. Imran sendiri tidak ikut dalam penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606 dan pembajakan Garuda DC-9 Woyla. Imran ditangkap pada 7 April 1981 dan dieksekusi mati pada akhir 1983. Pada awal Februari 1985, Salman Hafidz, pemimpin penyerangan kantor Polisi Kosekta 8606, dieksekusi mati. Salman menyebut bahwa Maman Kusmayadi yang membunuh tiga polisi di kantor Polisi Kosekta 8606. Maman selalu membantah tuduhan itu. Namun, hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Maman. Dia dieksekusi mati di suatu tempat di kaki Gunung Tangkuban Perahu pada 12 September 1986.

  • Kemal Idris, Jenderal Gusar Pengirim Pasukan Liar

    Pagi-pagi tanggal 17 Oktober 1952, dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja, dan ribuan orang menyerbu dan memasuki pintu gerbang Istana Merdeka, kediaman Presiden Sukarno. Satu batalion artileri dengan empat buah meriam menderu di halaman istana. Kerumunan massa menggelar spanduk-spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen!”. “Meriam-meriam 25-pon bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku,” ujar Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan dari zaman itu. Tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku di dalam istana.” Di balik aksi pengerahan meriam itu tersebutlah nama Mayor Kemal Idris, Komandan Resimen Tujuh Divisi Siliwangi. Dengan memegang sepasukan kavaleri dan infanteri, Kemal diperbantukan memantau situasi kota Jakarta. Dalam biografinya, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, dia mengaku mendapat perintah dari inisiator gerakan sekaligus pimpinan Angkatan Darat, Kolonel AH Nasution untuk menempatkan meriam di depan Istana Merdeka. Menurut Kemal, tujuan penempatan senjata tersebut untuk melaksanakan tindakan pengamanan, mengantisipasi aksi massa. Nasution di kemudian hari justru mengakui bahwa peristiwa itu sebagai “percobaan setengah kudeta.” Sebagai tindak lanjut penyelesaian peristiwa itu, pada akhir November atau awal Desember, pimpinan Angkatan Darat hingga tingkat komandan resimen dipanggil ke Istana. Di sana, Kemal bertemu dan berbicara dengan Achmad Yani, Sutoyo, Suprapto, dan Haryono. Sementara mereka tengah bercengkrama, Sukarno datang menghampiri. Satu persatu disalami. Tiba giliran Kemal, Sukarno seakan enggan melihatnya sehingga tak mengulurkan tangan untuk berjabatan. “Saya dilewatinya begitu saja. Dia seolah-olah tidak kenal saya, karena dia sangat marah,” kenang Kemal. Begitu pula ketika para undangan sedang berbaris di belakang Istana. Sebagaimana biasa, Sukarno menyambut dan mendatangi tetamu dengan ramah. Sembari berjabat tangan, dia menanyakan nama dan kesatuan. Tatkala berhadapan dengan Kemal, terjadilah pembicaraan singkat. “Kamu siapa,” Bung Karno bertanya dengan suara dingin. “Kemal Idris, Pak,” jawab Kemal salah tingkah. “Pangkatmu?” “Mayor, Pak” “Jawaban-jawaban saya hanya di jawab dengan ‘oh’ oleh Bung Karno. Saya merasa terhina” ujar Kemal. Padahal menurut Kemal, saat berdinas di Cirebon, Bung Karno telah mengenal persis dirinya. Ketika itu, Sukarno berkunjung ke Cirebon, datang naik kereta api dari Jakarta ke Cirebon. Kemal menjemputnya dengan mobil, lengkap dengan pengawalan. Sukarno memanggilnya, “Mal, sini, Mal.” “Kalau arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil dan berhati pengecut” ketus Kemal. Insiden meriam ternyata berbuntut panjang. Karier militer Kemal mandek semasa Sukarno berkuasa. Selama delapan tahun dia tidak diberi jabatan dan meja. Dalam jenjang waktu itu, Kemal seyogianya mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal. Merasa terkucil, Kemal mempertanyakan nasibnya kepada Nasution. “Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?” “Orang nomor satu harus tahu kemana kamu harus ditempatkan. Kalau dia bilang tidak setuju, berarti tidak jadi,” jawab Nasution. Di senjakala pemerintahannya, Kemal Idris memukul balik Sukarno. Pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, rapat kabinet 100 menteri yang dipimpin Sukarno di Istana Merdeka, disatroni oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Kendati tak ditujukan langsung pada dirinya, Sukarno merasa terancam dan ketakutan sehingga harus diamankan ke Istana Bogor. Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal yang saat itu sebagai Kepala Staf Kostrad dengan pangkat Brigadir Jenderal, mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Soebandrio, orang kepercayaan Sukarno yang menjabat wakil perdana menteri satu, oleh pihak Angkatan Darat dianggap mengetahui Gerakan 30 September 1965. Setelah Mayor Jenderal TNI Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Kemal berada di atas angin. Dia makin rapat dengan Soeharto. Dari Soeharto, dia mendapat kabar bahwa Bung Karno tidak setuju menaikan pangkatnya kecuali dia ditugaskan ke luar negeri. “Saya memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikan pangkat saya menjadi Mayor Jenderal,” ujar Kemal. Menurut pengamat politik militer Salim Said, Soeharto telah mengetahui rekam jejak Kemal. Dengan itu, Soeharto dapat menggunakan Kemal yang berwatak pemberang dan tidak kenal kompromi untuk menyingkirkan Sukarno. “Kalau pada 17 Oktober 1952, Kemal gagal memaksa Sukarno membubarkan Parlemen, pada 11 Maret 1966, Kemal berhasil memaksa Sukarno menyerahkan kekuasan kepada Soeharto,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian. Di era Orde Baru, Kemal dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai bersama Panglima Siliwangi HR Dharsono dan Panglima RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Mereka berperan membantu Soeharto naik tampuk kekuasaan.

  • Penistaan Agama Pada Masa Lalu

    DUGAAN penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendorong ratusan ribu umat muslim di Indonesia turun ke jalan. Mereka menuntut hukuman penjara bagi gubernur DKI Jakarta yang juga sedang mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode 2017-2022 itu. Bola panas kasus penistaan agama semakin bergulir kencang seturut dengan Pilkada putaran kedua yang bakal diselenggarakan April mendatang. Kendati istilah “penistaan agama” belum dikenal, peristiwa serupa juga pernah terjadi di masa yang lalu.

bottom of page