Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh
DI depan Istana Merdeka, 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno memperkenalkan konsep baru untuk sistem perekonomian Indonesia. “Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara,” demikian ujarnya. Di tengah situasi politik yang memanas sehubungan konfrontasi Ganyang Malaysia, Sukarno tak luput menyoroti lesunya kondisi perekonomian. Dengan tegas, Sukarno menolak modal asing dan ekonomi berbasis kapital karena hanya akan memperkaya tuan tanah, lintah darat, dan tukang ijon, alih-alih memakmurkan rakyat banyak. Oleh karenanya, dia mendambakan perekonomian Indonesia yang mandiri. Upaya perhitungan juga dialamatkan kepada Amerika Serikat (AS) yang memberikan bantuan ekonomi kepada federasi Malaysia. “Aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tetapi kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran rakyat! Hanya dengan mengatasi kemacetan inilah kita bisa menterapkan asas Berdikari dalam ekonomi,” kata Sukarno dalam pidato berjudul “Capailah Bintang-bintang di Langit.” “Pada awal tahun ini,” lanjut Sukarno, “rakyat Indonesia –yang membela hak-haknya dari serangan-serangan Amerika Serikat yang memberikan active aid kepada neokolonialisme Malaysia– mengambil alih modal Amerika Serikat. Ini merupakan langkah penting bagi RI, yang dengan asas berdikari sedang menegakkan perekonomian nasionalnya sendiri.” Sukarno membuktikan ucapannya. Seminggu kemudian, 23 Agustus 1965, dia menandatangani UU No. 16 tahun 1965 tentang Pencabutan UU No. 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Sebelumnya pada Maret 1965, pemerintah telah mengumumkan pengambilalihan National Cash Register Company, salah satu investor tertua Amerika di Indonesia. Sejurus kemudian, dekrit yang memerintahkan pengambilalihan manajemen semua perusahaan asing di Indonesia dikeluarkan. Untuk menyokong revolusi dan ekonomi terpimpin, bank-bank terintegrasi ke dalam satu komando bank tunggal bernama Bank Berdjoang-Bank Tunggal. “Penanaman/operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi Rakyat Indonesia,” demikian penjelasan UU Nomor 16 mengutip Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 78 . Pemerintah AS merespons. Diplomat kawakan, Ellsworth Bunker –yang pernah memediasi sengketa Irian Barat– diutus menemui Sukarno. Bunker mengemban misi ganda: meredakan ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia sekaligus menjaga kepentingan AS di Indonesia. Hasil laporan Bunker ke Gedung Putih menyatakan bahwa hubungan AS-Indonesia kemungkinan besar tidak membaik dalam waktu dekat. Berdasarkan penelusuran arsip NSF (National Security Files), kepada Presiden Lyndon Johnson, Bunker berpendapat, AS seharusnya bermain jangka panjang dan mempertahankan kontak dengan elemen-elemen yang memiliki kekuatan, seperti militer. “Bunker berpihak pada posisi CIA (Dinas Intelijen AS) yang lebih menghendaki kudeta militer di Indonesia sebagai cara terbaik mewujudkan kepentingan AS,” tulis sejarawan Univeritas Maryland, Bradley Simpsons dalam Economist with Guns. Pada 1 Oktober 1965, suhu politik dalam negeri mendidih. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia merosot drastis. Dalam bulan-bulan berikutnya, harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai tukar rupiah merosot. Menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah melalui Penpres No. 27, 13 Desember 1965, menerbitkan kebijakan moneter baru. Mata uang Rp1000 lama menjadi Rp1 mata uang baru. Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia yang ditulis tim riset Bank Indonesia, pada praktiknya, tujuan dari kebijakan ini tak tercapai. Penggantian mata uang 1000 lama menjadi 1 mata uang baru, justru mendorong meningkatnya inflasi sampai mencapai 635 persen yang diikuti oleh semakin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan carut ekonomi kemudian mendorong gelombang demonstrasi masyarakat menentang kepemimpinan Sukarno. “Uang Rp1000 nilainya jatuh jadi seperak. Dalam hitungan lima minggu, Sukarno dijatuhkan,” ujar pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dalam “Ekspose Inventaris Arsip Bank Indonesia (1956-1957) 1960-1964, di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 31 November 2016. Ketika pemerintahan berganti, menurut Ichsanuddin, inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan. Pemerintahan Soeharto dengan lobi-lobi tim ahli ekonominya yang dijuluki Mafia Barkeley, lantas membuka diri terhadap investasi modal asing di Indonesia. Ekonomi Indonesia cenderung berkiblat ke Barat yang berbasis kapitalis. Pada paruh kedua tahun 1967, 250 pebisnis AS, Jepang, Australia, dan Eropa Barat bertemu dengan para pebisnis Indonesia dan sejumlah pejabat Indonesia di Jakarta. Agenda rezim Soeharto menarik modal asing dirancang dalam pertemuan itu. Untuk pertama kalinya, komunitas bisnis Amerika dan komunitas bisnis Indonesia bertemu dengan para petinggi pemerintah. Setahun berselang, UU penanaman modal asing di Indonesia diresmikan. Dengan gelontoran modal luar negeri, stabilitas ekonomi dan pembangunan berjalan beriringan dengan pemerintahan otoriter Orde Baru. Geliat rezim “ekonom bersenjata” ini terjaga selama tiga dekade. “Seperti di negara-negara lain, kepentingan ekonomi dan strategis Washington melampaui segala retorika tentang praktik demokratis,” tulis Simpsons. “Karena CIA menolak mendeklasifikasi dokumen-dokumen operasionalnya untuk Indonesia, kita hanya bisa berspekulasi tentang luasnya operasi rahasia pada tahun 1964 dan 1965.”*
- Cara Keluarga Kerajaan Belanda Perlakukan Karya Raden Saleh
DALAM kunjungan terakhirnya ke Indonesia November lalu, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte menyerahkan sebilah keris kepada Presiden Joko Widodo. Ini adalah salah satu dari 1500 barang warisan budaya Indonesia yang dikembalikan oleh Belanda. Walau demikian ada satu karya seni penting yang tidak akan dikembalikan, karena karya seni itu sekarang sudah menjadi milik Singapura.
- Penelitian Menyeluruh Kekerasan Serdadu Belanda di Indonesia
AKHIRNYA keputusan itu keluar juga. Jumat, 2 Desember 2016, dalam jumpa pers mingguan, Perdana Menteri Mark Rutte mengumumkan bahwa pemerintah Belanda akan membiayai penelitian menyeluruh dan mandiri terhadap kekerasan tentara Belanda selama perang kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Keputusan yang tidak terlalu mengejutkan, walaupun empat tahun lalu pemerintah masih menolak seruan mengadakan penelitian macam itu. Apa pasal? Kenapa sekarang Den Haag berubah pendirian? Mark Rutte menegaskan penyebab kabinetnya mengambil keputusan ini adalah disertasi doktor sejarawan Remy Limpach yang September lalu terbit sebagai buku berjudul De brandende kampongs van generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang terbakar). Dalam penelitiannya Limpach berhasil menunjukkan bahwa kekerasan ekstrem yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia bersifat struktural, menyebar, dan tertancap dalam struktur militer waktu itu. Selama ini pemerintah Belanda berpendapat bahwa kekerasan itu hanya ekses belaka, ulah beberapa oknnum dan bukan beleid resmi Den Haag. Pada 2012 seruan penelitian menyeluruh ini pertama kali dikeluarkan oleh tiga lembaga yang aktif dalam penelitian sejarah Belanda: KITLV (Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia), NIMH (Institut Sejarah Militer Belanda, tempat R my Limpach menginduk) dan NIOD (Institut Kajian Perang, Holocaust dan Genosida). Ketiganya berseru supaya dilakukan penelitian menyeluruh gara-gara pengadilan Den Haag tahun sebelumnya memvonis pemerintah Belanda bersalah atas banjir darah di Rawagede (dan wajib membayar santunan ganti rugi). Waktu itu pemerintah masih berpendirian bahwa ketiga lembaga bebas melakukan penelitian atas anggaran yang mereka terima dari pemerintah. Peran pemerintah sebagai pemesan penelitian tidaklah perlu eksplisit. Tetapi penelitian Limpach ternyata telah membuat pemerintah Belanda mengubah pendiriannya. Agustus tahun lalu, beberapa hari menjelang peringatan 70 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, pers sudah memberitakan hasil penemuan R my Limpach yang waktu itu menyerahkan disertasinya pada Universitas Bern, Swiss. Harian sore NRC Handelsblad pada edisi Jumat, 14 Agustus 2015, menurunkan berita utama dengan alinea pertama sebagai berikut: “Tentara Belanda telah secara struktural dan dalam skala besar-besaran menerapkan kekerasan ekstrem terhadap orang Indonesia pada periode 1945-1950 setelah proklamasi kemerdekaan, 70 tahun silam Senin mendatang. Sesudah itu para pelakunya bebas berlenggang kangkung, karena pihak otoritas menutup-nutupi pelanggaran hukum itu.” Berita itu bisa dikatakan baru icip-icip pendahuluan bagi isi penelitian Limpach yang baru terungkap September lalu. Sejak itu khalayak ramai Belanda seperti memanaskan diri untuk menyambut berita yang lebih menyeramkan lagi. Penanggungjawab Kekerasan Akhir September itu, setelah setahun penantian, akhirnya disertasi Limpach terbit. Dalam bukunya Limpach lebih lanjut menelanjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil yang dalam semua jajaran bertanggung jawab melakukannya. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda bersama-sama bertanggung jawab terhadap kekerasan ekstrem itu. Mereka adalah Panglima Tentara Jenderal Simon Spoor, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Huib van Mook dan Jaksa Agung Henk Felderhof. R my Limpach menyebut ketiganya melakukan “judi militer, dengan taruhan nyawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”. Bagaimana jalannya judi militer oleh para pembesar tadi belum pernah diungkap sampai sekarang. Kesimpulan ini berlawanan dengen pendirian pemerintah Den Haag. Nota Ekses tahun 1969, menyebut kekerasan itu cuma pelanggaran insidentil yang dilakukan oleh oknum-oknum militer tententu. R my Limpach mendasarkan penelitiannya pada arsip jaksa penuntut umum, sekretariat negara ( algemene secretarie ), pengacara-pengacara Van Rij dan Stam serta amtenar, tetapi juga pada 885 pucuk surat para veteran yang ada dalam arsip acara televisi Achter het Nieuws (Di balik berita) milik organisasi penyiaran VARA. Acara ini menerima banyak surat sebagai reaksi terhadap wawancara dengan Joop Hueting. Pada tahun 1969, Hueting yang pernah dikirim ke Indonesia dalam acara itu pertama kali mengungkap telah berlangsungnya kekerasan ekstrem. Dari penelitian itu terbukti bahwa Jenderal Spoor yang membawahi 200 ribu pasukan telah menerapkan tujuan militer yang tidak mungkin bisa tercapai. Begitu kekerasan militer itu terjadi, Spoor menerimanya saja, demikian kata Limpach. Tanggung jawab penguasaan sebuah wilayah “digeser ke atas atau ke bawah, seperti kentang panas”. Selain itu, “troika kolonial” ini juga beranggotakan kekuasaan sipil tertinggi, Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, yang menurut R my Limpach, “dalam menjalankan kebijakan selalu melangkahi mayat”, dan Jaksa Agung Henk Felderhof. Tokoh terakhir ini ikut menentukan perlindungan yuridis militer terhadap pasukan Belanda. Tanggung jawab akhir berada di Den Haag dan bukan Jakarta yang bagi Belanda waktu itu masih bernama Batavia. Limpach, “Pemerintah Den Haag bertugas mengawasi para pemimpin tertinggi di Batavia, dan mereka tidak hanya lalai lantaran jarak yang begitu jauh, tetapi juga jelas-jelas tidak mau bertindak”. Adalah Menteri Luar Negeri Bert Koenders yang langsung bereaksi terhadap penemuan R my Limpach ini. Pemerintah berniat melakukan pertimbangan teliti, demikian Koenders yang September lalu sudah tidak menutup kemungkinan dilakukannya penelitian baru. Yang dimaksudnya dengan pertimbangan teliti itu adalah keterlibatan banyak kalangan, termasuk para veteran yang selalu dituding sebagai pelaku kekerasan. Ini tidak boleh merupakan halangan untuk meneliti lembaran-lembaran hitam dalam sejarah Belanda, demikian Menlu yang berasal dari partai buruh PvdA ini. Menyusul keputusan melakukan penelitian menyeluruh, Koenders berujar, “Penting bagi bangsa kita untuk berani melihat kaca sejarah, apalagi kalau kita akan berbicara dengan negara lain.” Kekerasan oleh Pihak Indonesia Dalam pernyataannya pada Jumat, 2 Desember, Perdana Menteri Mark Rutte menyadari bahwa penelitian baru ini bisa “menyebabkan sakit hati di kalangan para veteran Hindia.”. Walau begitu tetap penting untuk memperhatikan “keadaan sulit yang membatasi operasi para veteran, kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia, kemungkinan tidak dilakukannya kekerasan, serta tanggung jawab para pemimpin pemerintahan, politik maupun militer”. Ini berarti bahwa penelitian yang dikehendaki pemerintah Belanda tidak akan hanya berpusat pada sisi militer, melainkan juga latar belakang politik serta kebijakan pemerintah pada umumnya. Selain itu juga akan diteliti kekerasan yang dilancarkan kalangan Indonesia. Di sini Mark Rutte menyuarakan keinginan partainya, partai konservatif VVD. Dalam apa yang disebut “Periode Bersiap” ini, setelah Jepang bertekuk lutut, berlangsung kekerasan terhadap kalangan Belanda, kalangan Indo yang berdarah campuran serta kalangan Tionghoa atau kelompok lain yang oleh para pemuda revolusioner Indonesia dicurigai bekerjasama dengan Belanda. Penelitian terhadap ulah pihak revolusioner Indonesia inilah yang merupakan syarat partai konservatif VVD, salah satu mitra pemerintah koalisi Belanda, sebelum mereka setuju dengan usul mengadakan penelitian menyeluruh. Selain itu, VVD juga hanya akan setuju jika kalangan veteran Belanda dilibatkan dalam penelitian. Sekarang diperkirakan masih ada sekitar 18 ribu veteran Belanda yang masih hidup dan dulu pernah dikirim ke Indonesia. Hein Scheffer, ketua het Veteranen Platform , salah satu organisasi veteran Belanda, menyambut baik penelitian ini. Kepada harian Trouw, dia menyatakan ingin organisasi dan anggotanya diwawancarai tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Selain itu para veteran juga dapat menyediakan dokumen atau foto-foto,” demikian Scheffer. Baginya yang penting penelitian ini harus berangkat dari sudut pandang dan norma-norma yang berlaku pada zaman itu. Tidak semua veteran Belanda menyambut baik niat pemerintah ini. Kepada harian Trouw, Leen Noordzij, ketua Vomi (singkatan Belanda untuk persatuan veteran Hindia) menyatakan tidak menanti-nati penelitian macam ini. Tapi dia maklum bahwa penelitian seperti itu tak bisa dibendung lagi. Terhadap keputusan pemerintah dia cuma bisa berharap penelitian ini berlangsung obyektif, dalam arti pelanggaran yang dilakukan pihak Indonesia juga diteliti. Konon kabarnya dalam upaya meneliti ulah pihak Indonesia ini, Mark Rutte sudah berbincang dengan Presiden Joko Widodo. Dalam kunjungan ke Jakarta pada November lalu, ada sentilan bahwa Jokowi tidak keberatan dengan penelitian semacam ini. Tapi itu tidak berarti bahwa Indonesia setuju membuka arsipnya bagi para peneliti yang akan berdatangan dari negeri kincir angin. Walau begitu Gert Oostindie, direktur KITLV, merasa ini bukan hambatan. Kepada harian Trouw, dia menyatakan tahun-tahun belakangan sudah banyak arsip Indonesia yang dibuka. “Selain itu kami juga akan mewawancarai orang-orang yang mengalami sendiri perang kemerdekaan Indonesia,” demikian Oostindie. Ditambahkannya, di kalangan sejarawan Indonesia sendiri sudah terjadi pergeseran pendapat, mereka bersikap lebih obyektif dalam meneliti periode perang kemerdekaan. Dalam bukunya, R my Limpach menegaskan bahwa sebagian besar dari 160 ribu prajurit Belanda yang selama perang kemerdekaan dikirim ke Indonesia tidak terlibat dalam kekerasan. Perang kemerdekaan itu telah menewaskan sekitar seratus ribu orang Indonesia dan hampir 5000 prajurit Belanda. Penelitian menyeluruh yang dikehendaki pemerintah Belanda ini akan berlangsung selama empat sampai enam tahun, dan menelan biaya berjuta-juta euro.
- Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Di lantai 10 gedung Temple Court building, Collins Street, Melbourne, Australia, para petinggi pemerintahan Hindia Belanda acap kali berkumpul. Mereka adalah pejabat kolonial pimpinan Hubertus van Mook yang melarikan diri dengan dua pesawat Dakota dari Bandung menuju negara sekutunya, Australia. Di sana, dibentuk jawatan penerangan untuk terus memantau kondisi Hindia Belanda: NIGIS (Netherlands Indies Goverenment Information Service). “Kegiatan ini merupakan kegiatan dinas rahasia sipil dan organisasi propaganda pemerintah Hindia Belanda di pengasingan yang berbasis di Australia, selepas jatuhnya Hindia Belanda ke tangan balatentara Jepang,” tutur sejarawan Rushdy Hoesein dalam ekspose “Arsip Foto Netherlands Indies Government Information Service (NIGIS) di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta Selatan, 28 November 2016. NIGIS mulai beroperasi pada April 1942, setelah berdiri pemerintahan pelarian Hindia Belanda ( government in exile ) di Australia. Tugas utama biro adalah mengumpulkan informasi mengenai situasi Hindia Belanda: politik, militer, ekonomi, sosial, dan budaya. NIGIS berafiliasi dengan NEFIS (Dinas Intelijen Militer Hindia Belanda) dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Kegiatan NIGIS berada di bawah pengawasan Charles van der Plas, kepala pemerintahan pengasingan Hindia Belanda di Australia. Juru bicara Angkatan Laut Belanda, Huibert Quispel, yang juga ahli informasi dan propaganda, ditunjuk menjadi kepala NIGIS. Seorang Indonesia, Kolonel Abdul Kadir Widjojoatmodjo –kelak dikenal sebagai tokoh NICA di bawah Van Mook– juga berperan dalam NIGIS. Selama beroperasi, NIGIS kerap menggaungkan “pesan harapan” bagi penduduk di koloni Hindia Belanda yang hidup di bawah pemerintahan Jepang. Pesan tersebut disampaikan lewat siaran radio berbahasa Inggris yang bisa didengar dengan jelas. Selain itu, diterbitkan pula koran berbahasa Indonesia, Penjoeloeh yang dikerjakan para Digulis. Unit fotografi dan film tak luput sebagai media publikasi NIGIS. Salah satunya Bevrijding van Nederland Indie , film tentang pembebasan Hindia Belanda bagian timur dari Jepang yang dilakukan Sekutu. Film ini diproduksi dengan menggandeng perusahaan film Australia, Souther Seas Production. Beberapa suratkabar Australia menggunakan layanan NIGIS untuk memuat berita sekaligus pesan propaganda. Koresponden Wolfe Preger dan The Cairn Post , misalnya, banyak menulis kisah keberanian tentara Belanda dalam Perang Pasifik dan upaya membersihkan pengaruh Jepang di Hindia Belanda. “Besar kemungkinan berita tentang kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II terdengar di Eropa melalui Australia. Yang menyiarkannya adalah NIGIS,” ujar Roesdy. Seusai Perang Dunia II, informasi yang dihimpun dan disebarkan NIGIS berubah. Tak lagi menyerukan gerakan antifasis Jepang. Yang didengungkan kemudian adalah penegakan kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda yang telah memproklamasikan kemerdekaannya sebagai Republik Indonesia. Menurut Rushdy, arsip NIGIS memuat serangkaian sejarah penting di masa awal revolusi Indonesia. Dalam catatannya, publikasi NIGIS merekam demonstrasi buruh-buruh Australia yang menentang pengiriman serdadu-serdadu Belanda dari Australia ke Indonesia sebagaimana diuraikan jurnalis Australia Rupert Lockwood dalam Armada Hitam ; kehidupan sosial tawanan Digulis di Australia terkait dengan pernikahan campuran bersama pasangan Eropa; kampanye militer Belanda dalam rencana “menduduki” kembali Indonesia. Dalam arsip NIGIS juga ditemukan beberapa foto yang menunjukkan kegiatan Sultan Ternate yang mengungsi ke Australia demi menghindari penjajahan Jepang dan Pangeran Notokoesoemo dari Surakarta yang merupakan kapten KNIL. Dokumen-dokumen NIGIS dibawa serta ke Batavia ketika pemerintah Belanda melalui NICA kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1945 dan awal 1946. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, pihak Belanda menyerahkannya kepada kantor penerangan Republik Indonesia Serikat. Pada 1981, Departemen Penerangan menyerahkan arsip-arsip tersebut kepada ANRI. ANRI melansir 3.212 lembar arsip foto dari total 6.417 lembar dokumen arsip NIGIS dari tahun 1930-1946. Arsip NIGIS ini dapat diakses pada awal tahun 2017.
- Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno
SEBUAH rekaman film pendek memperlihatkan Sukarno di tengah kerumunan banyak orang. Dengan seragam putih, tanpa kawalan, presiden pertama Republik Indonesia itu berbaris rapi dalam jejeran antrean. Sembari mengurai senyum sumringah dia menanti giliran menuju bilik suara. Peristiwa itu merekam hari-hari pemilihan umum pertama tahun 1955. Selama masa kepemimpinannya, Sukarno meninggalkan 573 bundel arsip kertas, 627 bundel arsip foto, dan 151 nomor arsip film. Berbagai peristiwa penting pada periode 1945-1967 terekam di dalamnya yang meliputi berbagai bidang. Mulai dari politik, pertahanan dan keamanan, ekonomi, pendidikan, agama, sosial, budaya, hingga olahraga. Arsip-arsip tersebut terinventarisasi di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) dan dapat diakses publik. “Dengan adanya arsip ini, diharapkan pemahaman terhadap sejarah Indonesia menjadi lebih benar dan utuh,” ujar Guruh Sukarnoputra, Ketua Umum Yayasan Bung Karno dalam sambutan “Ekspose Guide Arsip Presiden Republik Indonesia: Sukarno 1945-1967” di Gedung ANRI, Jakarta Selatan, 29 November 2016. Sebab, lanjut putra bungsu Sukarno itu, “Sepanjang era Orde Baru sejarah negeri ini diputarbalikan; banyak bukti-bukti sejarah yang dimusnahkan. Banyak yang dilakukan rezim Orde Baru itu menyesatkan bahkan sampai dengan hari ini.” Pengadaan arsip Sukarno merupakan rangkaian awal dari program ANRI untuk melengkapi khazanah Arsip Kepresiden Indonesia. Kendati demikian, beberapa daftar arsip masih dalam pencarian. Ada yang tak diketahui keberadaannya ataupun masih belum diserahkan oleh pihak tertentu. Arsip dan dokumen tersebut terutama berkaitan dengan menjelang berakhirnya masa kekuasaan Sukarno. Salah satunya, ungkap Guruh, adalah dokumen asli Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang menandai peralihan kepemimpinan dari Sukarno kepada Jenderal Soeharto. Selain itu, saat Sukarno wafat, terdapat tim Angkatan Darat yang merekamnya. Namun, hingga kini rekaman itu tak kunjung ditemukan atau diserahkan. “Keberadaan arsip rekaman tersebut pasti ada dan tersimpan sampai sekarang oleh mereka (Angkatan Darat),” kata Guruh. Sementara itu, Asvi Warman Adam menyatakan arsip Sukarno adalah sumber sezaman yang berharga dalam sejarah Indonesia. Arsip tersebut akan memberikan gambaran yang menyeluruh tentang masa-masa kepemimpinan Sukarno: kejayaan dan kejatuhan sang presiden. Senada dengan Guruh, Asvi juga mengungkap beberapa arsip yang belum terhimpun dari sekian banyak arsip Sukarno koleksi ANRI. Dalam catatan Asvi, setidaknya ada dua yang terpenting. Pertama, arsip pidato Bung Karno tanggal 6 Oktober 1965. “Dalam pidato itulah pertama kali Bung Karno membicarakan tentang Gerakan 30 September,” ujar sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tersebut. Kemudian, lanjut Asvi, ada catatan perawat Sukarno selama masa penahanan di Wisma Yaso. Dalam catatan itu termuat laporan kesehatan Bung Karno: tekanan darah, obat-obatan yang diberikan, gangguan pada fungsi tubuh, hingga kondisi psikis. Juga terdapat hasil cek laboratorium urine Bung Karno yang diperiksa di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB). Arsip perawat itu cukup penting karena memperlihatkan bagaimana perawatan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada Sukarno oleh rezim Orde Baru. Asvi mengakui, keberadaan arsip berjumlah sembilan bundel tersebut disimpan oleh salah satu anak Sukarno, Rachmawati Sukarnoputri. Menurutnya, arsip itu bukan arsip keluarga melainkan telah menjadi arsip negara. “Oleh karena itu, sebagai lembaga yang punya otoritas dan menjamin keamanannya ada baiknya pihak ANRI meminta arsip itu kepada ibu Rachmawati,” ujar Asvi. Pengumpulan arsip Sukarno tak sampai di situ. Kepala ANRI, Mustari Irawan menyatakan pada 2018 arsip-arsip Sukarno tentang pemikiran nasionalisme dan internasionalisme akan diajukan ke UNESCO sebagai memori dunia ( memory of world ). “Agar masyarakat Indonesia tahu pemimpin bangsanya. Juga supaya dunia internasional tahu bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar, yang punya pemikir dengan gagasan besar,” pungkasnya.*
- Menumbuhkan Budaya Bahari di Indonesia
Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X bertema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah” telah usai digelar selama tiga hari (7-9 November 2016) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta. Seratus makalah telah dibahas dan menghasilkan tujuh rekomendasi. Amurwani Dwi Lestariningsih, Kasubdit Sejarah Nasional Kemendikbud, membacakan rekomendasi tersebut, bahwa diperlukan: pembangunan budaya bahari sebagai landasan negara maritim yang menyatakan laut sebagai pemersatu bangsa; paradigma baru dalam merumuskan visi kelautan Indonesia; pembentukan tradisi historiografi Indonesia yang melihat laut sebagai dimensi baru dalam dinamika pembangunan; penguatan pendidikan karakter bangsa melalui perubahan pembelajaran sejarah dengan menampilkan drama, film dokumenter, dan bentuk lain; melakukan revolusi mental bangsa melalui penataan kembali sistem pendidikan dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan yang menempatkan pendidikan sejarah secara proporsional; strategi kebudayan untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara poros maritim; dan menghidupkan kembali kegiatan nyata untuk menumbuhkan semangat dan cinta laut seperti arung sejarah bahari dengan peserta generasi muda dari seluruh Indonesia. Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud membagi hasil KNS menjadi tiga. Pertama, hasil KNS nantinya akan dikembangkan menjadi agenda studi dan penelitian. Lainnya, rekomendasi yang dibuat juga ada yang langsung memiliki relevansi dengan peraturan. “Seperti tadi kita dengar, poros maritim selama ini fokus lebih kepada infrastruktur fisik, pelabuhan, kapal, dan seterusnya. Nah, konferensi ini memperlihatkan bahwa budaya bahari bisa tumbuh bukan semata-mata karena ada segi-segi material, tapi juga nonmaterial,” ujarnya. Segi nonmaterial itu, menurut Hilmar Farid, penting untuk pengembangan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Misalnya, soal konektivitas bukan semata-mata hubungan yang dibentuk karena ada pelabuhan dan kapal, tapi adanya di pikiran dalam tingkat kesadaran. “Ketiga, kita selama ini berpikir bagaimana caranya menghidupkan budaya bahari di Indonesia. Ada banyak. Umumnya bersifat lebih memberikan pengetahuan melalui ceramah, buku,” ujarnya. Namun, dia melanjutkan, jika melihat isi makalah yang dihimpun dari KNS justru ada cara yang sifatnya lebih praktis, terutama dalam pendidikan yang bisa langsung dikembangkan. “Langsung konkret saja, anak-anak dilibatkan berlayar, bersentuhan dengan laut, kalau berhenti di tingkat pembicaraan saja cuma akan menjadi sebuah pengetahuan,” katanya. Namun, dalam kurikulum sejauh ini belum sampai harus ke tingkat revisi. Justru lebih penting bagaimana membuat bahan ajar menjadi lebih relevan dengan kehidupan siswa. “Kurikulum sifatnya sangat terbuka. Ada ruang cukup luas untuk mengembangkan pelajaran dengan tema bahari ini,” lanjutnya. Terlepas dari itu, Hilmar Farid menyadari hasil konferensi masih harus diperdalam dengan melanjutkan konferensi di tingkat regional. Dengan demikian, penentuan kawasan historis dapat dilakukan secara lebih cermat. “Ini ibaratnya baru puncak gunung es. Di bawahnya masih banyak. Unsur sejarah lokal harus kuat,” katanya.
- Kesalahan Memahami Sejarah Maritim
Ada kesalahan dalam memaknai sejarah maritim Indonesia. Saat ini, banyak pembicaraan yang bertolak dari kejayaan bangsa Indonesia di masa lalu sebagai bangsa bahari untuk menyemangati eksplorasi kekayaan laut demi kesejahteraan rakyat. Hal itu ditegaskan Sri Margana, sejarawan Universitas Gajah Mada, dalam Konferensi Nasional Sejarah (KSN) X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (8/11). Dia tak setuju jika pengertian membangun maritim, lebih dititikberatkan pada eksploitasi hasil laut. “Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga menyebut orang asing datang ke Nusantara bukan nyari ikan di laut tapi mencari komoditas dari daratannya,” ujar Margana. Hal ini pun, menurut Margana, mestinya diperhatikan dalam membangun visi kemaritiman bangsa yang kini tengah digulirkan. Apa yang disebut periode maritim dalam sejarah Nusantara adalah periode perdagangan internasional dan regional. Dalam prosesnya, itu bukan hanya menyangkut ekonomi, tetapi juga agama, filsafat, dan kebudayaan lainnya. Margana berpendapat, membangun dunia maritim di Indonesia yang bertitik tolak dari sejarah maritim artinya membangun keterhubungan antarpulau untuk keperluan ekonomi, sosial, budaya, agama, dan pendidikan. “Jadi sejarah maritim adalah sejarah peradaban secara umum,” tegas dia. Sementara itu, perspektif pembangunan saat ini yang condong kepada eksploitasi kekayaan laut tak akan berlangsung lama. Apa yang ada di laut nantinya akan habis. “Kalau sudah itu apa lagi?” tanyanya. Margana mengimbau, yang terpenting dilakukan saat ini adalah integrasi. Itu bisa dilakukan dengan membuka katup-katup transportasi antarpulau. “Jika ini dilakukan ketimpangan akan cepat diselesaikan. Seperti Jawa juga milik Papua, Papua juga milik Jawa. Kalau eksploitasi saya tidak setuju,” cetusnya. Hal itu, Margana menegaskan, bukan berarti membuat tradisi agraris dan maritim seakan terpisah. Padahal, dengan pengertian eksploitasi hasil laut, maritim dan agraris seakan dipisahkan. Dalam perspektif nasionalistik, laut justru dianggap sebagai penghubung. “Sejarah maritim harusnya ditulis, kalau menurut perspektif itu, tidak boleh terpisah-pisah,” kata dia. Ichwan Azhari, sejarawan dari Universitas Negeri Medan melengkapi pernyataan itu dengan menunjukkan bukti arkeologis di daerah pesisir Sumatera. Di berbagai situs penting di pesisir wilayah Sumatera, ditemukan bukti sisa komoditas dari daratan. “Kota pesisir itu mati kalau hubungan dengan darat tidak ada. Damar, kemenyan, kapur barus, ceceran dari komoditas itu ditemukan dan yang terbanyak emas. Itu kan komoditas darat,” jelasnya. Dia pun menyimpulkan, kota maritim adalah tempat yang mengalirkan barang dari darat. Kota maritim hanya bisa berkembang karena ada daratan. “Kota maritim besar muncul ketika ada daratan yang kuat. Pelabuhan Barus muncul karena ada pohon kapur barus di pedalaman, tidak bisa hidup di pesisir,” tegas Ichwan.
- Nusantara dalam Catatan Penjelajah Dunia
Pada akhir abad 13, Marco Polo menginjakan kakinya di tanah Sumatra. Di sana, pelaut asal Venezia, Italia itu terperanjat menyaksikan seekor binatang aneh tapi nyata. Dalam catatan perjalanannya, Il Milione , dia menyebutkan terdapat unicorn –kuda bertanduk satu dalam mitologi Eropa– di negeri yang disebutnya Java Minor (Jawa Kecil). Belakangan diketahui, binatang yang dilihat Marco Polo bukanlah unicorn melainkan badak bercula satu. Sebelum Marco Polo, pertengahan abad 13, sejarawan dan penjelajah Persia Zakaria al-Qazweiny dalam Atsarul Bilad wa Akhbarul Ibad telah mengidentifikasi wilayah Nusantara. Menurutnya, “Jawah” (Jawa) adalah sebuah bilad (negara) yang terletak antara India dan Tiongkok. “Perjalanan pedagang dari India yang menuju Tiongkok harus melalui negara ini. Para pedagang biasanya membeli barang dagangan dari negara ini berupa kayu gaharu, kamper, dan beras,” tutur Muhammad Lutfi, dosen Sastra Arab UI dalam Konferensi Nasional Sejarah X yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan kebudayaan di Hotel Grand Sahid Jakarta Pusat, 8-9 November 2016. Lebih jauh ke belakang, Nurni Wulandari menguraikan, antara Jawa dan Tiongkok telah terjalin relasi tributari (upeti) sejak abad ke-2 Masehi. Dokumen tertua yang menerakan Jawa sebagai pembuka hubungan Nusantara dengan Tiongkok tercatat dalam naskah klasik Dinasti Han, Hou Han Shu ( Kitab Sejarah Dinasti Han Akhir ). Deskripsi tentang Jawa termuat dalam bab 116 berjudul “Xinanyi Zhuan” (“Catatan Negara Barbar Barat Daya”) yang menyatakan: “Pada masa pemerintahan tahun ke-6 (131 Masehi) Kaisar Yongjian, disebutkan bahwa Raja Yediau ( Yavadvipa atau Jawa) bernama Bian mengirim utusan untuk memberi sesembahan ke Cina. Sebagai balasan Kaisar menghadiahinya stempel emas kekaisaran dengan pita berwarna ungu,” sebagaimana dituturkan Nurni, sinolog Universitas Indonesia. Ahli sejarah kolonial yang juga arsiparis, Mona Lohanda mengemukakan beberapa nama penjelajah Eropa yang tak banyak tercatat dalam sejarah. Ludovico di Varthema, penjelajah Italia asal Bologna, disebut-sebut sebagai orang pertama yang mencuatkan istilah spice islands (kepulauan rempah-rempah). Dalam memoarnya Itinerario de Ludovico di Varthema yang terbit tahun 1510, memberi fakta bahwa dia adalah orang Eropa pertama yang mereportase pelayaran dari Selatan Jawa sampai Selatan Australia dan Tasmania. Ludovico juga ditengarai sebagai penjelajah pertama yang memperkenalkan nama Sumatra dan Borneo (Kalimantan) setelah mengunjungi wilayah itu pada 1505. Antonio Pigafetta, seorang dari 18 anggota tim Ferdinand Magellan yang selamat kembali ke Spanyol setelah ekspedisi mereka mendapat serangan penduduk Filipina tahun 1522. Pada 1521, dia menyinggahi Kalimantan dan merekam keadaan setempat dalam catatan perjalanan Relazione del primo viaggio attorno al mondo . Dia menyebut bahwa pulau itu sangat besar dan perlu waktu tiga bulan berlayar mengelilinginya. “Orang Melayu menyebut pulau itu 'Kalamantan' yang artinya sejenis buah mangga liar. Kalamantan berarti Pulau Mangga, meski penamaan itu berbau mistik,” tulis Pigafetta sebagaimana dikutip Mona. Sementara itu, ada pula penjelajah Prancis yang tercatat mengarungi Nusantara. Adalah Piere Poivre yang ditugaskan kongsi dagang Prancis pada tahun 1754 untuk memperoleh rempah-rempah. Setelah mengunjungi Maluku, usahanya berhasil karena budidaya pala dan cengkeh berkembang pesat di koloni Prancis, Ile de France (Mauritius). Meski tetap menjadi penghasil rempah, namun menurut Mona, Maluku sejak akhir abad 18 tak lagi memegang monopoli dalam perdagangan dunia. Menurut sejarawan Restu Gunawan, Indonesia layak berbangga karena di masa lalu merupakan wilayah pertemuan yang sangat penting. Nusantara menjadi peraduan pengembara berbagai belahan dunia dengan bermacam tujuan. Mulai dari para pencari Tuhan yang menyebarkan agama, pengelana terpelajar yang mencari pengetahuan dari dunia baru, hingga pemburu rempah-rempah. “Kepulauan Nusantara adalah rendezvous dari peradaban dunia baik Timur dan Barat,” ujar Restu. Senada dengan itu, menurut Mona Lohanda, pelayaran dan niaga semestinya menjadi salah satu primadona kajian sejarah Nusantara. Namun dia juga menekankan, berita asing tentang Nusantara hendaknya diimbangi dengan dokumen-pencatatan karya tradisional yang terserak-serak di setiap wilayah adat dan etnis. “Kita harus menggalakkan sumber sejarah yang ada pada kita. Dan ada baiknya jika sejarawan mau mempelajari bahasa-bahasa lokal. Dengan begitu, dapat diharapkan historiografi Nusantara semakin meningkat dalam jumlah dan mutu dari waktu ke waktu,” kata Mona.
- Penjajahan Memudarkan Visi Kelautan
Indonesia harus kembali membangun visi kelautan. Sejarah membuktikan, bangsa Indonesia adalah penjelajah samudera yang mampu membawa pengaruh budayanya hingga ke Madagaskar. Hal itu diutarakan diplomat senior sekaligus ahli hukum laut internasional, Hasjim Djalal dalam pidatonya berjudul “Visi Kelautan Indonesia dari Segi Sejarah” sebagai pembicara kunci dalam Seminar Nasional Indonesia (SNI) X di Jakarta, Selasa (8/11). “Kalau dilihat dari segi sejarah tidak ada keraguan,” ujar penasihat khusus menteri kelautan dan perikanan itu. Hasjim menuturkan, dahulu bangsa Indonesia mampu mengembangkan teknologi pelayaran, mengembarai Samudera Hindia sampai Madagaskar. Tak cuma ke sana, orang Indonesia bagian timur pun sudah menjelajahi Samudera Pasifik hingga Kepulauan Paskah. “Kita pernah membuktikan pada tahun 1986 kapal Pinisi dalam satu bulan mampu berlayar mengarungi Samudera Pasifik hingga ke Vancouver (Kanada) untuk membuktikan bahwa Indonesia memang pernah mengarungi Samudera Pasifik,” ujar Hasjim. Bangsa Indonesia, menurut Hasjim, juga seharusnya tak lupa dengan ekspedisi ke utara. Keterkaitan Indonesia bukan hanya dari utara ke selatan, tapi juga dari selatan ke utara. “Kamboja jelas sekali keturunan Warman yang keterkaitannya erat sekali dengan Sriwijaya,” jelasnya. Dari pengalaman sejarah itu, Hasjim menekankan bahwa visi kelautan Indonesia sebenarnya sudah ada. Sayangnya, visi ini memudar sejak zaman penjajahan. “Samudera dikuasai orang luar. Samudera Hindia oleh Portugis, Samudera Pasifik oleh Spanyol,” ucapnya. Sejak itu, peranan bangsa Indonesia pun hilang. Kini, program pemerintah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia sangat penting sebagai momen mengembalikan peran negara ke dunia maritim, khususnya di Laut Cina Selatan, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. “Sekarang pernahkah Indonesia melakukan ekspedisi sampai Antartika?” tanyanya. Sementara itu, negara-negara Eropa sudah banyak yang mengklaim teritorial di benua kutub selatan itu. Negara seperti Australia, Cili, Selandia Baru juga kini sudah memiliki teritorial di Antartika. “Makanya, visi saya dari sejarah yang luar biasa itu, Indonesia juga harus tahu bagaimana menghadapi Antartika,” kata dia. Di Samudera Pasifik, Indonesia telah memiliki peran salah satunya dalam menetapkan areal konservasi yang melarang penangkapan ikan ilegal. “Sampai ke Hawai, daerah timur Pasifik. Jadi kita ada hak dan kewajiban mencegah ilegal fishing di Samudera Pasifik, bukan hanya di laut perairan kita saja. Kita mencoba memainkan peranan itu,” ujar Hasjim. Namun, hingga kini eksplorasi kelautan yang belum digapai Indonesia adalah kekayaan di dasar samudera. Padahal, di dasar samudera tersimpan kekayaan mineral. Sejauh ini negara maju selalu mengatakan, yang berhak mengambil kekayan dasar laut di samudera lepas adalah mereka yang mampu mengambilnya. “Prinsip freedom of the sea . Boleh diambil kalau punya kemampuan, punya teknologi,” lanjut Hasjim. Karena itu, akhirnya ada aturan setiap negara yang akan melakukan eksplorasi mineral di dasar samudera harus tetap membagi areal eksplorasinya yang sama nilai untuk negara berkembang. Maka, kini sudah saatnya visi kelautan Indonesia bukan hanya terkungkung pada perairannya sendiri. “Ada hak dasar samudera,” tegasnya. Visi kelautan Indonesia bukan hanya mendatar, tetapi juga ke bawah. Bahkan, kata Hasjim, untuk melanjutkan sejarah maritim Indonesia yang panjang itu, Indonesia harus perjuangkan lima kesatuan nasional dalam hukum lautnya. “Daratnya, lautnya, dasar lautnya, udara dan seluruh kekayaannya, lima unsur itu visi kelautan kita,” papar dia. Sayangnya, hingga kini belum ada keikutsertaan Indonesia untuk ikut mengklaim kekayaan mineral di dasar samudera. Di Samudera Pasifik, negara Jepang, Korea, Cina, Rusia, Inggris, Prancis, Italia, dan Jerman sudah lebih dulu mengklaim jatah areal eksplorasi. Singapura pun kini telah mendapatkan haknya. “Hak kewenangan kita sudah ada. Harus kita perjuangankan!” serunya.
- Menjadi Bangsa Samudera
Presiden Sukarno dalam pembukaan Musyawarah Nasional Maritim pertama tahun 1963 menyerukan “kembalilah menjadi bangsa samudera!” Sebab, Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki potensi sumber daya laut yang kaya. Budaya bahari Indonesia unggul di masa lalu seperti tercatat dalam sejarah kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani menyoroti seruan Presiden Sukarno itu demi mewujudkan kembali etos budaya maritim bangsa. “Seruan itu penting untuk dilaksanakan demi mewujudkan etos budaya maritim dalam mendukung program pemerintah untuk mendukung Indonesia sebagai poros maritim dunia,” tegas Puan saat membuka Konferensi Nasional Sejarah (KNS) X tahun 2016 bertema “Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah” di Jakarta, Senin (7/11). Puan menyatakan, konferensi sejarah yang diselenggarakan pada 7-10 November di Hotel Grand Sahid Jakarta itu, merupakan upaya bersama menempatkan peran sejarah dalam pembangunan karakter masyarakat Indonesia. Sejarah seharusnya tak hanya menjadi buah bibir semata, tapi juga tercermin dalam perilaku berbangsa dan bernegara. “Ini bukan tempat diskusi saja. Jadi, bagaimana hasil dari konferensi ini bisa diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya. KNS yang terlaksana sejak 1957 merupakan acara rutin lima tahunan. Selama ini, lanjut Puan, telah banyak hal monumental yang dihasilkan. “Harapannya hasil konferensi kali ini bisa menjadi momentum perbaikan khususnya di dunia maritim,” katanya. Dalam memajukan kembali dunia maritim Indonesia, Puan melihat pentingnya sinergi, bukan hanya kementerian, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia. “Semangatnya itu yang harus kita kembalikan,” cetusnya. Pengembangan kesadaran sejarah dan kekayaan maritim harus didorong demi tercapainya masyarakat bahari yang adil, makmur dan sejahtera. Sementara itu, Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, tema budaya bahari diambil dalam konferensi kali ini untuk kembali mengingatkan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan dan laut sebagai penghubungnya. Sebagai negara maritim, dia menilai pentingnya memberikan pengetahuan mengenai budaya bahari, baik secara formal maupun nonformal. “Apakah kita hanya ingin mengenang romantisme masa lalu saja?” tanya Muhadjir. “Modal sejarah bisa digunakan sebagai titik tolak membangun kembali sebagai bangsa yang jaya di laut.”
- Mendikbud: Pengajaran Sejarah Harus Diubah
Pengajaran sejarah di sekolah harus diubah dalam rangka mengembangkan pendidikan berbasis karakter, khususnya di tingkat sekolah dasar dan menengah. Perubahan format pengajaran diharapkan memberikan peranan lebih aktif kepada siswa. Demikian penyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sambutan Konferensi Nasional Sejarah X di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Senin (7/11). Muhadjir menilai, pelajaran sejarah akan mudah dihayati terutama oleh anak-anak jika dilakukan dengan cara bermain peran. Anak-anak bisa memainkan adegan sejarah dalam sebuah pementasan kecil dengan bimbingan guru. Sang guru lebih jauh menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam episode sejarah yang dipentaskan itu. “Penghayatan makna sejarah itu bagus terutama dalam pendidikan karakter. Role playing ini hanya salah satu metodenya saja,” terangnya. Saat ini, kata Muhadjir, metode bermain peran dalam pelajaran sejarah sudah mulai dicoba diberlakukan di beberapa sekolah. Dia berharap keterlibatan langsung siswa dalam belajar akan semakin membangkitkan daya kritis, kreativitas, dan keberanian mengambil keputusan. “Diharapkan dengan ini sejarah bisa mendapatkan tempat terhormat dalam pendidikan,” kata Muhadjir. Dengan demikian, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, berharap belajar sejarah tak lagi monoton. Anak-anak diharapkan bisa tahu bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai dalam sejarah ke kehidupan sehari-hari. “Yang pasti anak-anak tidak terbebani. Untuk bisa mengingatkan kita kalau kita ini Indonesia,” kata Puan dalam sambutannya. Lebih jauh, Puan menyoroti saat ini jiwa nasionalisme anak muda makin terkikis. Ini disebabkan para generasi muda mulai melupakan sejarah. “Pesan Bung Karno jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sekarang yang penting bagaimana agar sejarah bisa diingat oleh masyarakat Indonesia khususnya anak muda Indonesia yang nantinya akan meneruskan bangsa ini ke depan dengan cara yang lebih baik,” paparnya. Puan menambahkan, anak muda, meski harus mengikuti era globalisasi, namun jangan lupa asal usulnya. Mereka harus ingat keindonesiaannya, namun tetap mampu berkompetisi dan berdaya saing dengan anak-anak di luar Indonesia. “Ini penting untuk menghargai sejarah namun bukan hanya terlena dengan romantisme yang ada,” tuturnya.
- Tamparan Berujung Pembunuhan
Kejadian itu berlangsung dengan cepat menjelang malam, pada Sabtu, 1 Agustus 1925. Ketika sebuah dokar dengan empat penumpang dan seorang kusir, bergerak dari Kampung Jongaya menuju Makassar. Kendaraan itu diadang delapan orang yang dipimpin Daeng Toto, adik Karaeng Lengkese. Mereka membunuh empat orang, sedangkan kusir berhasil melarikan diri. Sasaran utamanya terbunuh dengan 17 luka tusukan. Nyampa Daeng Sisila, bangsawan Kerajaan Gowa, atau lebih dikenal sebagai Haji Bau. Koran Pemberita Makassar , 4 Agustus 1925, menuliskannya sebagai kejadian yang sangat menggemparkan warga kota. Judul artikelnya “Karena Satoe Tempeleng Menghilangkan 4 Djiwa Manoesia.” Penjelasan artikelnya menyebutkan jika Nyampa Daeng Sisila, mencoba menggoda anak Karaeng Lengkese dan hendak menikahinya, tapi ditolak. Haji Bau merasa terhina dan tak terima dengan penolakan itu. Dalam sebuah perjumpaan, dia menampar Karaeng Lengkese. Karaeng Langkese menceritakan kejadian yang menimpanya kepada keluarga. Saudaranya, Karaeng Toto merencanakan pembalasan dendam karena persoalan tersebut dianggap penghinaan. Malu besar. Karaeng Toto bersama keluarga lainnya menumpang sebuah trem menuju jalur yang selalu dilalui Haji Bau. Di Jongaya –saat ini antara Sungguminasa Gowa dan Makassar– mereka menunggu di tepian. Mereka serang Haji Bau sampai tewas. Sang kusir yang mendapat satu tusukan dengan susah payah berlari menuju Gowa dan melaporkan kejadiannya pada kontrolir di Sungguminasa. Dari laporan itulah, kemudian aparat keamanan berhasil menangkap Karaeng Toto dan pengikutnya. Masing-masing dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara. Sejarawan Universitas Hasanuddin, Amrullah Amir mengatakan, sehari setelah pembunuhan Haji Bau terjadi, sekitar sebulan penuh beberapa lokasi di wilayah Makassar dan Gowa, dipenuhi penjagaan keamanan aparat. Tak ada warga yang berani keluar rumah hingga menjelang sore, atau bahkan berjalan sendiri. Penduduk, utamanya di Makassar merasa ketakutan akan timbulnya kericuhan dari keluarga Haji Bau. “Sepi sekali. Jadi cerita-cerita orang dan kabar angin bergerak cepat. Satu bulan itu, saya kira Makassar bagai kota yang mencekam,” katanya. “Bayangkan, pembukaan pasar malam pada 5 Agustus itu (1925), yang dihadiri gubernur jenderal Hindia Belanda Celebes dan pejabat lainnya, menjadi sepi pengunjung,” lanjut Amrullah Amir. Siapa Haji Bau sebenarnya? Dia adalah anak dari Raja Gowa ke-32, I Kumala Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir Muhammad Aidid (1815-1893) dari perkawinannya dengan Daeng Meneq. Haji Bau juga merupakan paman Raja Gowa ke-33, Karaeng Lembangparang yang gugur dalam pertempuran penaklukan Gowa pada 1906. Sedangkan Karaeng Lengkese dengan nama lengkap Cincing (Tjintjing) Daeng Makkilo adalah putra bangsawan, I Mallombasang Daeng Mattawang dan ibunya I Patimasang Karaeng Sanggirangang, putri dari Gutto Datu Lulu Karaeng Sanrobone. Antara Haji Bau dan Karaeng Lengkese memiliki kekerabatan. Rumah mereka berdekatan dan bermain bersama semasa kecil. Ketidaksenangan Karaeng Lengkese pada Haji Bau karena perangainya yang keras dan selalu bertindak di luar kendali kebiasaan. “Tapi jauh dari pada itu, saya kira ini dampak yang ditimbulkan Belanda ketika 1906, benar-benar telah menguasai hampir Sulawesi Selatan –penaklukan Gowa. Bisa pula sebagai konflik dan persaingan antarbangsawan,” kata Amrullah Amir. Haji Bau meninggal dunia di usia 50-an tahun. Memiliki tubuh tambun dan besar tinggi. Menggunakan kacamata bergagang emas dan memiliki kebun yang luas di wilayah Pakatta. Sebagai bangsawan tinggi, tak mengherankan dia memiliki akses terhadap pengusaan dan melaksanakan ibadah haji. Namun, kata Amrullah Amir mengutip laporan Friedericy, kontrolir Belanda di Sungguminasa (1925-1928), menyatakan, jika Haji Bau berhubungan dengan sedikitnya 70 kasus pembunuhan yang terjadi di wilayah Makassar dan sekitarnya. “Dalam versi Friedericy, Haji Bau adalah seorang pelindung dari beberapa kelompok-kelompok perampok yang menyusahkan sistem pemerintahaan Belanda di Sulawesi Selatan,” katanya. Kini, Haji Bau diabadikan menjadi nama jalan dalam kawasan penting di Makassar. Jalan Haji Bau berada di dekat Pantai Losari Makassar dan di sana berumah Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jalan itu, tak begitu panjang, hanya beberapa ratus meter, dan hanya ada beberapa rumah saja, selebihnya adalah hotel. Ketika menemui beberapa orang di kawasan itu, pada Senin 17 Oktober 2016, dan bertanya mengenai Haji Bau, tak ada yang bisa menjawab. Bahkan seorang juru parkir beranggapan jika Haji Bau, adalah keturunan dari Haji Kalla, orang tua Jusuf Kalla.




















