Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sidik Jari untuk Orang yang Dicurigai
PADA abad ke-19, buruh sering berpindah-pindah pekerjaan. Maklum, karena bukan buruh terampil, mereka hanya mendapat kontrak singkat; sebagai besar buruh harian atau bulanan. Ini terjadi pada perusahaan milik pemerintah maupun swasta. Perluasan jaringan rel kereta api sejak 1870 memicu mobilitas buruh. Pengusaha menikmati melimpahnya buruh, namun mereka kesulitan dalam pengawasan. “Mereka khawatir tingginya mobilitas buruh menyulitkan kontrol terhadap buruh. Mengawasi buruh pribumi ‘yang tidak diinginkan’ menjadi perhatian utama perusahaan,” tulis John Ingleson dalam Buruh, Serikat, dan Politik: Indonesia Pada 1920an-1930an. Buruh yang tidak diinginkan tersebut antara lain buruh yang melakukan penggelapan di tempat kerja, memiliki catatan pidana, terdaftar sebagai anggota partai komunis, memiliki keterkaitan dengan serikat buruh, dan pernah memperkenalkan serikat buruh di tempat kerja atau melakukan pemogokan. Untuk mengawasi buruh-buruh diterapkanlah sistem sidik jari. Kartu identitas dengan sidik jari dan foto buruh dibuat untuk mempermudah pendataan. Secara resmi, istilah sidik jari digunakan pertama kali oleh Dr. Nehemiah Grew yang memperkenalkan tentang tanda-tanda penting di ujung-ujung jari manusia pada Royal Collage of Physicians, London, pada 1684. Setahun kemudian, Gouard Bidloo membuat buku pertama pola sidik jari lengkap. Pada 1788, J.C.A. Mayer menyatakan bahwa tak ada dua orang, kembar sekalipun, yang memiliki sidik jari sama persis. Lalu pada 1823 John E. Purkinje dari University of Breslau membuat klasifikasi sidik jari dalam sembilan golongan utama, walau kemudian Francis Galton berpendapat hanya ada tiga golongan utama, selebihnya adalah variasi. Daktiloskopi atau yang lebih dikenal dengan sidik jari, telah digunakan secara resmi di Hindia Belanda berdasarkan Koninklijke Besluit 1911 No. 27 tanggal 16 Januari 1911 (Ind. Stb. 1911 No. 234). Penyelenggaraannya diserahkan kepada Departemen Kehakiman, yang ditandai dengan terbentuknya Centraal Kantoor Voor Dactyloscopie (CKD) tanggal 12 November 1914. Tugas CKD mengumpulkan sidik jari orang-orang Indonesia, baik kriminal atau bukan, dan memberikan keterangan-keterangan yang dibutuhkan oleh instansi pemerintah dan swasta. Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land , yang harus diambil sidik jarinya terutama “orang-orang yang dicurigai melakukan tindakan kriminal dan melanggar aturan… semua orang yang dicurigai di Hindia Belanda.” Buku pedoman daktiloskopi Hindia Belanda pada 1917 menamai sehelai kertas tempat menyimpan sidik-sidik jari itu sebagai Slip van Simin atau Labelnya Simin. Tentu saja, Simin adalah nama khas pribumi. “Pengumpulan dan penyimpanan label di kantor pusat bisa dibandingkan dengan menulis sebuah kamus. Bila orang ingin menemukan sebuah kata, orang sekadar membuka halaman dan kata itu harus ada di situ,” tulis Mrazek. Mrazek menyebut sistem sidik jari adalah saat bersejarah dan suatu kemajuan. Dengan daktiloskopi, sistem tenaga kerja modern dibentuk di Hindia Belanda. “Sebagai ganti poenale sanctie (sistem kerja paksa) datanglah Institute Daktiloskopi. Semua buruh kontrak mulai diregistrasi dengan sidik jari,” tulisnya. Karena itu, lanjut Mrazek, Medan sebagai pusat terbesar perkebunan di Hindia, dan kota-kota di Jawa seperti seperti Semarang, Surakarta dan Yogyakarta, di mana sebagian besar pekerja perkebunan itu berasal, menjadi target awal daktiloskopi. Menurut Ingleson, Jawatan Kereta Api dan Kantor Pos termasuk yang pertama menerapkan teknologi sidik jari sebagai alat kontrol buruh, meski mereka belum melakukannya secara sistematis sampai akhir 1920. Pada 1920, biro sidik jari di Departemen Kehakiman ditata ulang dan melahirkan Biro Pusat Sidik Jari. Biro ini bertanggungjawab menyimpan arsip sidik jari para buruh di setiap departemen dan industri pemerintah. Biro ini juga mengelola berkas sidik jari dalam perkara kriminal. Tercatat hingga 1929, Biro Pusat Sidik Jari mengelola sekitar 30.000 data sidik jari per tahun. Teknologi sidik jari kemudian dipakai perusahaan swasta. Setelah terjadinya gelombang pemogokan di sejumlah pabrik gula, Sindikasi Pengusaha Gula membentuk biro sidik jari di Surabaya. Perusahaan perkapalan Rotterdam Llyod dan Markas Angkatan Laut Surabaya juga menerapkannya. Hingga 1929, biro sidik jari Sindikasi Pengusaha Gula mencatat 160.000 berkas sidik jari buruh. Langkah perusahaan di Surabaya itu lalu diikuti kelompok industri di Batavia dan Bandung. Pada 1933, Biro Pusat Sidik Jari dan biro sidik jari Sindikasi Pengusaha Gula membentuk biro sidik jari pusat. Disusul Sindikasi Pengusaha di Sumatra Barat dan Selatan tiga tahun kemudian, sehingga menjadi biro yang sangat besar. Menurut Ingleson, ketika pindah kerja, setiap buruh dibekali buku kecil yang berisi catatan riwayat kerja. Ketika masuk ke pekerjaan baru, majikannya akan lebih dulu meminta buku kecil itu. “Perusahaan tidak segan menyingkirkan buruh yang pernah terlibat pemogokan atau kerusuhan, yang dipecat oleh majikan sebelumnya karena pekerjaannya buruk, mencuri, atau mengganggu tempat kerja, dan mereka yang tidak melunasi kembali upah yang dibayar di muka,” tulis Ingleson.
- Tere Liye dan Asal Usul Pengingkaran Sejarah Gerakan Kiri di Indonesia
SEBETULNYA, kalau saja pernyataan yang menihilkan peran tokoh-tokoh kiri (plus liberal dan aktivis HAM) itu datang dari seorang pemuda tanggung yang baru membaca satu-dua buku, mungkin masih bisa dimaklumi dan tak perlu dianggap soal besar. Tapi masalahnya pernyataan itu terlontar dari seorang penulis yang sudah menghasilkan puluhan karya yang kata-katanya selalu diamini oleh para penggemarnya. Kalau kita perhatikan, pernyataan Tere Liye yang bercampur sinisme itu sebetulnya hendak menggugat mereka, para aktivis kiri, liberal dan HAM yang hidup di masa kini, sebagai konsekuensi dari menguatnya polarisasi kelompok sekularisme versus religius pada hari-hari terakhir ini. Sehingga pernyataan ahistorisnya itu terlontar hanya semata karena ingin menyebarkan keraguan atas peran kelompok tersebut dari sejarah di Indonesia sekaligus mendelegitimasi peran mereka di hari-hari ini. Kita semua tahu keriuhan yang terjadi hari-hari ini banyak melibatkan kelompok tadi, ambil contoh dalam isu LGBT, heboh monumen laskar Cina di TMII dan pelarangan festival Belok Kiri pada pekan lalu. Pernyataan Tere Liye itu menimbulkan tafsir bahwa dia sedang membagi manusia Indonesia ke dalam dua kelompok besar: yang beragama dan yang tak beragama. Yang beragama (“ulama dan tokoh agama lainnya”) punya banyak jasa namun di luar itu, “silahkan cari,” katanya. Ada nada ejekan sekaligus keraguan di sana. Kalimat “silahkan cari” itu sama dengan ungkapan dari seseorang yang mau meyakinkan pasangannya bahwa dialah yang terbaik, “Akulah yang terbaik dari semua lelaki yang ada di dunia ini, kalau tak percaya, silahkan cari yang lain”. Jadi dia tak sedang sungguh-sungguh menyuruh orang untuk mencari orang-orang di luar “ulama-ulama besar, tokoh agama lainnya. Orang-orang religius, beragama” yang punya jasa besar dalam pendirian negara-bangsa ini. Tapi persoalannya, benarkah itikadnya membandingkan peran itu berangkat dari pengetahuan sejarah yang luas dan mendalam? Ini yang jadi persoalan. Kalau pun dia paham sejarah, tentu takkan sampai hati mengeluarkan komentar yang ahistoris itu. Apalagi dia sadar bahwa apa yang ditulisnya, walaupun tiga alinea, dibaca ribuan orang dengan kemungkinan dipercaya sebagai sebuah kebenaran oleh para penggemarnya yang tingkat pengetahuan sejarahnya jauh lebih rendah lagi di bawahnya. Dengan demikian, apakah mungkin dia tak pernah belajar sejarah? Membaca buku-buku sejarah yang kini kian banyak dan mudah diakses? Atau, komentarnya itu merupakan hasil dari cara pengajaran sejarah di negeri ini yang banyak menghapus peran orang-orang kiri atau orang-orang di luar mereka yang beriman? Atau jangan-jangan ini cerminan dari pola pikir sebagian orang yang menyusun hirarki manusia Indonesia berdasarkan tingkat kesalehan yang bersandar pada norma agama tertentu? Lagipula, pertanyaannya itu pun mengandung kontradiksinya sendiri: bagaimana mungkin mencari peran sejarah aktivis HAM pada masa di mana HAM belum jadi sebuah persoalan yang dibicarakan orang? Ini contoh dari pertanyaan sejarah yang anakronisme, yang memaksa kita untuk membayangkan ada orang memprotes pemerintah kolonial melanggar HAM ketika menangkap HOS Tjokroaminoto. Baiklah, sekarang kita selesai buang waktu dengan urusan Tere Liye. Saya akan mencoba mengurai kenapa pernyataan itu bisa terlontar dan mengapa pula masih begitu banyak orang mengingkari peran sejarah gerakan kiri di Indonesia. Kita sama-sama mahfum, bangsa ini belum lagi dua dasawarsa lepas dari rezim otoriter Soeharto. Corak pengajaran sejarah pada masa itu menghapuskan peran gerakan kiri dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Cara pandang seperti demikian sepenuhnya dibentuk oleh kepentingan untuk menjadikan komunisme sebagai musuh bersama semenjak peristiwa G30S 1965. Untuk mudahnya menyelami pikiran penguasa rezim Soeharto terhadap sejarah gerakan kiri bisa kita baca dalam buku Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya yang disusun dan diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia di masa Moerdiono menjadi menterinya. Pada halaman 7 sampai dengan 14 dijelaskan bagaimana kelahiran dan perkembangan gerakan komunisme di Hindia Belanda. Di sana ditulis tentang bagaimana tabiat gerakan komunis yang tukang berontak. Namun buku ini lupa atau mungkin memang sengaja tidak memberi penjelasan atas konteks situasi yang berkembang saat itu: bahwa yang sedang dilawan adalah pemerintahan kolonial yang bersifat represif terhadap gerakan pembebasan nasional di Hindia Belanda. Maka gambaran gerakan kiri sebagai tukang hasut dan berontak menemukan akar historisnya. Dan para penyusun buku yang diterbitkan pada 1994 itu pun itu leluasa membangun narasi sejarah gerakan kiri yang penuh pertumpahan darah dan kekerasan sebagai basis argumentasi pembenaran terhadap persekusi yang dilakukan kepada seluruh anggota dan simpatisan PKI setelah peristiwa G30S 1965. Narasi sejarah seperti itulah yang diajarkan selama bertahun-tahun kepada generasi muda di Indonesia. Hampir tak pernah ada pembahasan mengenai peran penting tokoh-tokoh kiri dalam pelajaran sejarah di sekolah. Dalam kasus sejarah Sarekat Islam misalnya, pembagian Sarekat Islam ke dalam dua kelompok, SI Merah dan SI putih seringkali diasosiasikan dengan afinitas keimanan anggotanya. Mereka yang tergabung di dalam SI Merah adalah orang-orang komunis yang ateis, jauh dari nilai-nilai agama. Sementara yang putih kebalikannya. Sesimpel itu. Padahal peristiwa yang terjadi pada awal era 1920-an itu pertama kali terjadi bukan karena urusan iman dan takwa, tapi lebih kepada taktik politik untuk “menyelamatkan” Sarekat Islam dari hukuman pemerintah kolonial. Pada 1919 terjadi insiden Afdeling B yang diawali dari penolakan atas pemberlakuan pajak padi oleh Haji Hasan di Cimareme, Garut. Peristiwa itu berakhir dengan kekerasan. Haji Hasan dan keluarganya tewas di tangan polisi kolonial. Pemerintah kolonial menemukan bukti keterlibatan sebuah kelompok rahasia di dalam tubuh Sarekat Islam yang dinamakan “Afdeling B” yang sedang mempersiapkan pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Beberapa anggota Afdeling B itu kemudian kita kenal sebagai tokoh-tokoh komunis seperti Muso dan Alimin. Karena kejadian itu pula HOS Tjokroaminoto dihukum penjara atas tuduhan memberikan keterangan palsu dalam kasus keterlibatan Sosrokardono, tokoh Afdeling B. Peristiwa ini menjadi salah satu faktor perpecahan di dalam tubuh Sarekat Islam. Ketika Haji Agus Salim menggantikan posisi Tjokro yang sedang dipenjara, mulailah ada gerakan pembersihan unsur komunis dari tubuh Sarekat Islam. Lagi-lagi ini adalah muara dari begitu banyak konflik dan perseteruan pendapat tentang bagaimana seharusnya Sarekat Islam berhadapan dengan pemerintah kolonial. Bagi mereka yang ada di Sarekat Islam Semarang, Central Sarekat Islam di bawah kepempinan HOS Tjokro (lantas kemudian di bawah Haji Agus Salim dan Abdul Muis) dinilai kurang berjarak dengan pemerintah kolonial. Dalam kasus Volksraad (Dewan Rakyat) misalnya, Sarekat Islam Semarang memboikot parlemen yang bertujuan untuk memoderasi gerakan politik anti pemerintah kolonial itu. Menurut Semaun, sebagaimana dikutip oleh Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia , menghilangkan unsur kiri dalam tubuh Sarekat Islam sama saja mengembalikan fungsi Sarekat Islam menjadi serikat kecil pedagang muslim. Semaun juga mengatakan sentimen agama tidak cukup untuk menjadi dasar pergerakan massa Indonesia, apalagi melihat kenyataan bahwa tak semua orang Indonesia beragama Islam. Perjuangan Sarekat Islam menurut Semaun harus ditujukan kepada semua kelas yang mengalami penindasan karena membatasinya berdasarkan keagaman justru memudahkan pemerintah kolonial memecah belah dan menguasai massa-rakyat Indonesia. Kehendak Salim untuk membersihkan unsur kiri dalam tubuh Sarekat Islam tak bisa diberhentikan. Dia mengatakan apa yang diajarkan oleh Karl Marx sesungguhnya sudah dikatakan berabad-abad sebelumnya oleh Nabi Muhammad. Kalaupun Sarekat Islam harus kehilangan anggotanya, Salim berpendapat biarlah itu terjadi sebagai upaya pembentukan dasar yang benar. SI di bawah Salim kemudian berjalan sendiri dan dikenal sebagai SI Putih sementara lawannya menjadi SI Merah. Dari peristiwa perpecahan Sarekat Islam ini bisa kita lihat bahwa sebetulnya yang terjadi semata karena pertikaian politik. Sentimen agama digunakan sebagai cara untuk memilah kekuatan yang bakal mendukung kekuasaan dari tokoh-tokoh tertentu dalam Sarekat Islam. Tidakah anomali apabila kita melihat kenyataan sejarah kalau SI Putih jauh lebih lunak dalam menghadapi pemerintah kolonial ketimbang SI Merah? Tidakkah seharusnya agama Islam mengajarkan agar penganutnya menghancurkan musuh-musuhnya yang kafir yang banyak duduk di dalam struktur pemerintahan kolonial? Ini pun tak sesederhana itu. Artinya, memahami peristiwa dan peran tokoh-tokohnya di dalam sejarah tak semudah membagi jagoan dan penjahat di dalam film laga. Ia mengandung kerumitannya tersendiri sehingga membutuhkan kehati-hatian di dalam mengkajinya agar tak terjerumus pada penyimpulan yang keliru atas sebuah peristiwa di dalam sejarah. Penggambaran komunisme di kepala sebagian besar orang Indonesia hampir sepenuhnya dibentuk oleh narasi sejarah bikinan rezim pemerintahan Soeharto. Sehingga setiap saat wacana mengenai komunis mengemuka, persepsi yang muncul adalah tentang sekelompok orang-orang bejat, tak berprikemanusiaan, anti-Tuhan, anti-agama gemar melakukan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Padahal bicara soal pemberontakan, Kartosuwirjo pun pernah melakukannya di dalam DI/TII dan peristiwa itu pun berlumur kekerasan dan darah. Tapi apakah adil bila kita memukul rata tabiat orang Islam seperti halnya tabiat pemberontak DI/TII. Atau katakanlah apakah kelakuan ISIS yang penuh kekerasan itu bisa mewakili citra umat Islam secara keseluruhan? Tentu saja tidak semudah dan sesederhana itu. Yang justru harus diperhatikan di tengah masyarakat kita terkini adalah maraknya aksi komodifikasi agama. Bagaimana agama dijadikan nilai-nilai yang bisa dipertukarkan untuk mendapat keuntungan tertentu. Jikalau agama memiliki nilai guna sebagai seperangkat aturan dan pengetahuan agar manusia menjadi lebih baik, maka agama yang diperlakukan sebagai alat tukar berpotensi menghilangkan kegunaan ajaran agama itu sendiri. Katakan semisal menjelang pemilihan kepala daerah, banyak kandidat yang mendadak menyumbangkan dana untuk pembangunan mesjid dan aktif mengadakan pengajian untuk mengumpulkan warganya. Soal apa yang terjadi di dalam hatinya itu bukan urusan kita, namun pada kenyataannya banyak ajang keagamaan yang digunakan sebagai cara untuk menggalang suara demi kemenangan Pilkada. Pada akhirnya afiliasi keagamaan diperlakukan sebagai “segmentasi pasar” demi meraih kekuasaan. Contoh yang paling terbaik untuk suasana seperti ini adalah persaingan memperebutkan posisi gubernur Jakarta yang kini diduduki oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sudah sejak jauh-jauh hari ada sebagian orang yang mengembus-embuskan sentimen keagamanan (dan sentimen ras) untuk tidak memilih Ahok yang Tionghoa juga non-muslim itu sebagai gubernur Jakarta. Padahal kalau kita mau jujur, kualitas seorang manusia seringkali tidak ada hubungannya dengan agama apa yang dianutnya. Toh ada juga gubernur dari partai Islam yang kena cokok KPK karena perkara korupsi dan itu tak ada hubungan dengan agama yang dianutnya. Kemudian pada era di mana batas-batas negara-masyarakat bisa dilampaui oleh kecanggihan alat komunikasi dan berbagai medium komunikasi lainnya, mulai telepon pintar sampai dengan media sosial, memunculkan sebuah kesadaran tentang apa yang dianggap datang dari luar dan tak sesuai dengan nilai-nilai keaslian yang sudah ada di dalam negeri ini sejak beradab silam. Sehingga tak heran jika terlontar imbauan agar anak muda “jangan terlalu terpesona dengan paham-paham luar, seolah itu keren sekali; sementara sejarah dan kearifan bangsa sendiri dilupakan”. Padahal kalau mau jujur, kurang luar apa para pedagang Gujarat yang membawa masuk ajaran Islam ke Nusantara, sama luarnya dengan para pedagang Eropa yang membawa misi penyebaran agama Kristen. Maka pembatasan yang tegas atas apa yang “luar” dan dan apa yang “dalam” justru berpotensi mengaburkan realita historis itu sendiri. Maksud saya di sini, apabila penjajahan itu hanya diasosiasikan dengan kedatangan orang-orang luar (baca: Belanda) ke sini, maka itu akan menghilangkan kenyataan lain bahwa kolonialisme di negeri ini pada masa yang lalu juga terbentuk sebagai konsekuensi dari adanya kerjasama antara tuan-tuan kolonialis dengan pemuka kaum feodal yang lahir dan tumbuh di dalam negeri ini. Banyaknya salah kaprah memahami sejarah ini bukan lagi sekadar kehendak subyektif dari seseorang di dalam memahami sejarah berdasarkan paradigmanya. Tapi lebih karena politik ingatan yang dibentuk sedemikian rupa oleh sebuah rezim. Misalnya tahun-tahun awal kemerdekaan, ada kebutuhan untuk menulis sejarah nasional yang meletakkan tokoh-tokoh Indonesia yang pada masa kolonial dianggap sebagai non-faktor, menjadi tokoh penentu dalam sejarah pembentukan negara-bangsa Indonesia. Lantas pada masa Soeharto, adalah sebuah kemustahilan untuk menjadikan tokoh gerakan kiri sebagai subyek yang dibahas dalam mata pelajaran sejarah di sekolah. Begitu juga di zaman sekarang, ketika benturan pemikiran sekulerisme versus religius kembali menguat, ada semacam kebutuhan untuk membuat garis pemisah tegas untuk melegitimasi peran orang-orang beragama di dalam sejarah sekaligus mendelegitimasi orang-orang di luar mereka yang beriman itu. Padahal kalau kita merujuk kepada peristiwa sejarah, seringkali agama dan hubungannya dengan ideologi lain di luarnya itu, akan menjadi cair saat bertemu pada kepentingan yang sama. Ambil contoh peristiwa pemberontakan PKI 1926-1927 di Banten dan Silungkang, Sumatera Barat. Itulah sebuah masa ketika ulama juga menjadi seorang komunis pada saat bersamaan, untuk melawan otoritas kolonial. Kalau juga ada yang mengatakan bahwa hanya muslimlah yang paling berperan di dalam memerangi kolonialisme, itu pun mengaburkan kenyataan sejarah tentang adanya umat beragama lain yang juga melawan penjajahan. Karena pada kenyataanya tak semua muslim (bahkan ulama) melawan penjajah, sebagian di antaranya malah berkongsi. Dan itu, lagi-lagi, tak ada urusannya dengan keyakinan agamanya. Sebut semisal Syekh Haji Abdul Ganiu, seorang ulama dari Buton yang hidup pada abad 19. Syekh Ganiu belajar agama dari tokoh-tokoh di Buton dan kemudian pergi ke Mekah untuk berhaji dan belajar agama. Setelah pulang, dia aktif berdakwah untuk memurnikan akidah keislaman berdasarkan Alquran dan hadits. Berdasarkan terjemahan filolog La Niampe atas naskah kuno Buton yang ditulis oleh ulama tersebut, terdapat sebuah fakta menarik yang menjelaskan hubungan Kesultanan Buton dengan Belanda. Ulama itu justru berterima kasih atas kehadiran Belanda karena dengan jalan itulah Buton merdeka dari ancaman penaklukan Ternate dan Gowa. “Tetapi ringkasnya, yang teramat dan terlebih banyak gunanya tetap sepanjang zaman Belandalah yang tiada bandingnya. Sebab sewaktu belum ada Belanda, pada musim timur kita menjaga Ternate, pada musim barat kita menjaga Gowa...Karena kumpeni sehingga merdeka negeri kita ini (Buton – Red ),” demikian tulis Syekh Haji Abdul Ganiu berdasarkan teks Kabanti “Ajonga Yinda Malusa” yang dikutip dari terjemahan La Niampe. Maka dengan demikian tesis tentang “Indonesia merdeka karena jasa tiada tara dari ulama dan tokoh agama” tidak sepenuhnya bisa diterima sebagai sebuah kebenaran. Sebagaimana penggambaran seorang komunis di era Soeharto yang dipukul rata sedemikian rupa sehingga selalu identik dengan hal-hal negatif dan bernada minor. Politik historiografi dari sebuah rezimlah, katakanlah di sini rezim Soeharto, yang berperan mengaburkan realitas sejarah itu demi tujuan kekuasaannya sendiri. Imbasnya memang kemana-mana, salah satu wujudnya ya komentar Tere Liye yang tak jelas “asbabun nuzulnya” itu. Wassalam...
- Sukarno Sahabat Warga Leningrad
CUACA dingin tak menghalangi ribuan penduduk Leningrad untuk menyambut tamu agung. Akhir Agustus 1956 itu, penduduk tumpah ruah di mana-mana, di museum, jalan-jalan, hingga stasiun kereta api. Museum Antropologi dan Ethnografi Akademi Ilmu Pengetahuan Uni Soviet di kota itu mendapat pengunjung jauh lebih banyak dari hari-hari biasanya. Sejak beberapa hari sebelumnya, pihak museum memamerkan 1000-an barang berkaitan dengan Indonesia, mulai kekayaan alam dan budaya Indonesia hingga bukti-bukti perjuangan rakyatnya. Pers tak mau kalah. Artikel maupun feature tentang Indonesia, plus pemberitaan kunjungan Presiden Sukarno ke Moscow, mengisi halaman-halaman surat kabar setempat sejak beberapa hari. Sukarno, tamu agung yang ditunggu-tunggu itu, berangkat dari Moscow ke Leningrad pada 30 Agustus malam menggunakan kereta api. Bersamanya ikut antara lain Dubes Indonesia di Uni Soviet L.N. Palar, perwakilan parlemen Arudji Kartawinata dan Zainul Arifin, dan Direktur Kabinet A.K. Pringgodigdo. “Itu merupakan kunjungan resmi pertamanya,” tulis buku berjudul Testimony of George Karlin: Hearings, Ninety-first Congress, first session, Parts 1-3 . Kedatangan mereka telah ditunggu penduduk Leningrad sejak pagi tanggal 31 Agustus. Bukan hanya peron, jalan-jalan di sekitar stasiun penuh sesak oleh orang-orang yang ingin menyambut. Banyak penduduk membawa gambar Sukarno. Wakil serikat pekerja (Soviet) setempat dan kota-kota di sekitarnya berkumpul. Mereka mengibarkan bendera merah putih dan membentangkan spanduk bertuliskan: Selamat datang tamu-tamu tercinta dari Indonesia. Sorak-sorai dan tepuk tangan langsung ramai begitu kereta api yang membawa rombongan Presiden Sukarno tiba. N.I. Smirnov, ketua eksekutif Soviet Leningrad, langsung memberi pidato penyambutan. “Kunjungan Presiden Sukarno ini akan memperkokoh ikatan-ikatan persahabatan, hubungan-hubungan ekonomi serta kebudayaan antara kedua negara,” ujarnya, sebagaimana ditulis buku Perjalanan Bung Karno! terbitan Yayasan Multatuli. “Saya mengucapkan terimakasih atas sambutan hangat yang diberikan pada saya di kota tuan yang bersejarah ini. Ini adalah tempat dimulainya revolusi Rusia yang besar yang telah menggoncangkan dunia. Kami bangsa Indonesia masih tetap dalam tingkatan berevolusi, membebaskan diri dari segala bentuk imperialisme dan kolonialisme. Saya membawa salam untuk rakyat Soviet dari seluruh rakyat Indonesia, dan saya membawa salam untuk saudara-saudara yang tinggal di kotanya Lenin,” balas Sukarno dalam pidato singkatnya. Rombongan Sukarno lalu berkeliling kota dan mengunjungi berbagai tempat. Di Gedung Smolny, tempat Lenin bekerja dalam merancang Revolusi Oktober, Sukarno amat antusias memasuki kamar-kamar yang ada dan melihat satu per satu koleksi yang ada. Meja kecil tempat Lenin menuliskan sebagian besar karyanya menjadi salah satu yang paling menarik perhatian Sukarno. Sambutan tak kalah meriah dari sambutan di stasiun terjadi di pabrik-pabrik mesin yang dikunjungi rombongan Sukarno. Bukan hanya buruh veteran, buruh-buruh yang telah habis jam kerja sengaja tak pulang untuk menyambut kedatangan “sahabat” mereka. Ribuan buruh pabrik hidro-elektrik Kuibysjev berkumpul dan membuatkan mimbar darurat untuk Sukarno. Di pabrik pertama yang dikunjunginya bersama rombongan, Sukarno bersemangat melihat turbin-turbin yang diproduksi, antara lain turbin uap berkekuatan 100.000 kW yang dibuat untuk pembangkit listrik di Donbas. Rombongan antusias mendengarkan penjelasan mengenai segala proses pembuatan turbin uap dari Tjernysjov, kepala pabrik. Di pabrik itu, Sukarno memberi selamat kepada Sung Tjeng-Tjuang, seorang buruh asal Tiongkok yang datang sengaja untuk belajar. Sambutan jauh lebih meriah datang ketika rombongan tiba di pabrik hidro-elektrik Kuibysjev. Tichomirov, ketua serikat buruh pabrik tersebut, memberi pidato singkat sekaligus penanda dimulainya rapat umum dadakan. Dia antara lain memperkenalkan Dmitriev, tukang gambar yang cakap dan pekerja terampil untuk mengerjakan banyak penemuan baru. Tepuk tangan bergemuruh ketika Sukarno, yang meminta para buruh cukup memanggilnya Bung Karno, bukan Paduka Tuan, naik mimbar. “Saudara-saudara sekarang dapat mengerti mengapa saya merasa begitu bahagia berada di Leningrad, mengapa saya menjadi cinta pada rakyat saudara, untuk mencintai saudara-saudara seluruh penduduk Leningrad? Tidak saja karena persesuaian jiwa kita, akan tetapi juga karena saya adalah sorang insinyur, oleh karenanya saya menginsyafi arti besar dari teknik untuk membangunkan masyarakat yang baru, yang damai dan makmur,” kata Sukarno dalam pembukaan pidatonya. Revolusi rakyat di berbagai belahan dunia dalam mengenyahkan pengisapan dan ketidakadilan oleh kapitalisme dan kolonialisme menjadi tema pidato Sukarno. Menurutnya, sama dengan mereka para buruh, rakyat Indonesia saat itu juga masih terus berjuang mewujudkan mimpi hidup aman, damai, sejahtera tanpa pengisapan. Selain simpati dari bangsa-bangsa Asia-Afrika, yang baru saja menyelesaikan konferensi di Bandung, hal yang membuat rakyat Indonesia optimis berjuang adalah simpati rakyat Soviet. “Antara saudara-saudara dan rakyat Indonesia teradapat jarak ribuan mil. Lebih dari salam, saya juga membawa cinta untuk saudara-saudara dari rakyat Indonesia dan saya ingin dari sini membawa cinta saudara pada rakyat Indonesia,” katanya. Setelah menerima tanda mata miniatur turbin Kuibysjev dari Tichomirov, Sukarno menuliskan kesannya di buku tamu dan memberi pidato perpisahan. Hadirin, yang telah diajarkan sebelumnya, langsung menyambut dengan teriakan “Merdeka!” “Saya merasa terharu karena antusiasme kaum buruh pabrik ini. Perjuangan di seluruh dunia hanya dapat dicapai dengan perjuangan dan keringat. Hidup persahabatan antara semua bangsa yang menginginkan dunia yang merdeka! Sukarno,” demikian bunyi tulisan Sukarno di buku tamu.*
- Festival Belok Kiri Jalan Terus
PULUHAN orang yang mengaku dari sebuah organisasi kemasyarakatan, berkumpul di pelataran Taman Ismail Marzuki, Cikini-Jakarta Pusat. Bersama mereka, tampak pula belasan anggota dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Jakarta. Para anggota ormas dan anggota HMI itu menyatakan satu suara: bubarkan kegiatan BelokKiri.Fest. Sedianya hari ini, 27 Februari 2016, sekelompok seniman dan aktivis akan membuka sebuah acara bertajuk BelokKiri.Fest. Kegiatan tersebut sebenarnya hendak menciptakan ruang diskusi dan ruang ekspresi seni yang berkaitan dengan istilah Kiri. Festival ini, tulis siaran pers yang disebarkan panita BelokKiri.Fest (25/02), hendak membuka mata masyarakat akan betapa salahnya propaganda anti sejarah dari Orde Baru yang menempatkan gerakan kiri, komunisme, dan sosialisme dalam arti tertentu sebagai momok yang menakutkan. Namun sore tadi, (27/02), pihak pengelola Taman Ismail Marzuki dan aparat kepolisian melarang acara tersebut untuk diselenggarakan di Galeri Cipta II, dengan alasan perizinan dan tema yang diusung. “Kegiatan BelokKiri.fest sudah dihentikan oleh dua pihak yaitu pihak TIM dan pihak kepolisian,” ujar Dolorosa Sinaga, salahsatu penggagas BelokKiri.Fest, dalam keterangan persnya. Soal perizinan, panitia sudah melakukan sesuai apa yang dikehendaki pihak pengelola TIM. Pada 18 Februari 2016, panitia melayangkan surat kepada Pusat Kesenian Jakarta, sebagai pengelola TIM. Hari berikutnya, PKJ mengeluarkan surat balasan kepada panitia, bahwa panitia harus mengurus sendiri perijinan kepada pihak kepolisian. “Biasanya PKJ yang membuat izin kepada kepolisian. Tanggal 20 Februari, PKJ memberikan contoh surat izin ke kepolisian. Tanggal 22 Februari, panitia mengirimkan surat izin kepada Polsek dan mendapatkan cap. Kemudian surat izin yang sudah dicap itu diserahkan kembali kepada pihak PKJ,” ujar Agnes, salahsatu panitia, yang membacakan kronologi pelarangan acara. Ternyata perizinan itu, bagi PKJ, masih kurang. PKJ menginginkan harus ada surat balasan dari Polsek di mana surat izin itu dibuat. Tangal 23 Februari, lanjut Agnes, baliho acara diturunkan pihak PKJ. Kemudian pada 25 Februari 2016, panitia BelokKiri.Fest mengajukan surat izin ke Polres Metro Jakarta Pusat, namun pihak Polres meminta panitia untuk membuat surat izin langsung ke Polda Metro Jaya. “Perizinan ini ditolak dengan alasan tidak memenuhi alasan administratif yang diatur oleh juklak kepolisian sebagai turunan dari undang-undang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Harus adapula izin terkait dari Bakesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik- red ), bahwa ideologi kiri tidak diperbolehkan dan harus ada paparan yang lengkap tentang isi acara dan harus diperiksa terlbih dahulu. Kemudian Polda juga menerima surat permohonan pengawalan dari ormas yang akan mengerahkan 500 orang untuk membubarkan acara,” lanjut Agnes. Pada kesempatan itu, panitia mempertanyakan ketidakjelasan dari PKJ mengenai proses perizinan, dan sikap aparat kepolisian yang sudah membela kepentingan kelompok tertentu. Bukan hanya itu, panitia juga menyayangkan sikap beberapa ormas seperti Gerakan Pemuda Cinta Bangsa, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pusat Brigade Pelajar Islam Indonesia, Front Aktivis Jakarta dan Himpunan Mahasiswa Lombok yang telah membuat penolakan dan diberitakan dibeberapa media daring. “Kawan-kawan, kami akan melawan, namun bukan dalam bentuk kekerasan. Kami akan melawan dalam bentuk tetap menyelenggarakan diskusi-diskusi yang sudah diagendakan. Acara tetap kami jalankan, dan berpindah di gedung LBH Jakarta,” terang Dhyta Caturani, mewakili panitia BelokKiri.Fest.
- Kisah Keluarga Mesman di Makassar
SETELAH menghabiskan tiga hari perjalanan dari Lombok, Alfred Russel Wallace mencapai Makassar pada 2 Agustus 1856. Sehari kemudian bertemu gubernur Hindia Belanda untuk wilayah Makassar. Atau pula mengunjungi raja Gowa guna meminta izin memasuki wilayah hutan. Di Makassar, Wallace menghabiskan waktu selama tiga bulan (September-Desember 1856) menempati sebuah rumah panggung di daerah Mamajang (dituliskannya sebagai Mamajam). Lalu ke Gowa menempati rumah penduduk yang dikosongkan atas perintah raja. Pada Desember 1856, Wallace berlayar ke Kepulauan Aru, dan kembali lagi ke Makassar pada Juli 1857. Kedatangan kedua ini, menjadikan Maros sebagai titik tujuan. Di tempat ini, Wallace tinggal di sebuah tempat yang dituliskannya sebagai Amasanga dan bermukim antara Juli hingga November 1857. Bagaimana Wallace melakukan perjalanan ke tempat-tempat asing dengan mudah? Dalam catatannya, The Malay Archiplego (Kepulauan Nusantara), saat pertama kali mencapai Makassar, dia membawa surat perkenalan diri pada seorang Belanda bernama Mr. Mesman dan seorang penjaga toko berkewarganegaraan Denmark (tak disebutkan namanya). Dari dua orang kenalan ini, akses bertemu para penguasa wilayah dengan mudah didapatkan. Dalam catatan perjalanan itu, Wallace menulis dua Mesman: Mr. Mesman yang tinggal di Makassar dan Mesman yang tinggal di Maros. Mesman yang berada di Makassar adalah Willem Leendert Mesman. Dan yang berada di Maros adalah Jacob David Mathijs Mesman. Dua Mesman ini bersaudara. Orangtua mereka adalah pasangan Johannes David Mesman dan J. Helena Peters. Johannes David Mesman adalah seorang pegawai sipil pemerintah Beanda di Makassar hingga masa peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris. Menjadi pemimpin landraad (pengadilan) dan sekretaris tambahan untuk urusan kewarganegaraan. Dia juga ikut berjuang melawan orang-orang Bugis. Guru Besar Sejarah Universitas Hasanuddin Makassar, Rasyid Asba, dalam makalah untuk seminar nasional; Tjollie Pujie sebagai Pahlawan Nasional di Bone pada 12 Juli 2004 menuliskan, pada 1826 ketika dilakukan penyerangan ke Tanete untuk menumpaskan perlawanan La Patau, Belanda menggandeng kerajaan Sidenreng, Maros, dan Pangkejene. Dan ikut serta perwakilan sipil yakni Mayor Mesman sebagai komisaris pemerintah Belanda. Johannes David Mesman diberikan penghargaan dari pemerintah berupa perkebunan di Marana dan Atapang, yang disebutkan sebagai pengambilalihan dari tangan musuh (Bugis). Dia menjadi kepala kampung sendiri, memberlakukan pelayanan wajib pajak atas sepertiga hasil bumi. Putra tertua Johannes David Mesman adalah Jacob David Matthijs (1818-1858) yang menamatkan sekolah penerjamah pada Ilustrasi untuk Bahasa Jawa di Surakarta. Dikisahkan dalam Being Dutch in the Indies A History of Creolisation and Empire, 1500-1920, saat kembali ke Makassar, Jacob dikenal dengan sapaan Tuan Solo. Tuan Solo tak menetap di Makassar, dia memilih Maros sebagai tempatnya bermukim. Memiliki ratusan hektar perkebunan dan puluhan ekor sapi. Saat Wallace mengunjunginya pada 1857, Mesman digambar sebagai seorang petualang. Menikmati kehidupannya bersama alam, bergantung pada senapan dan anjing pemburu untuk memenuhi kebutuhan pangan. Babi hutan yang gemuk dan sesekali waktu menembak rusa. Menanam padi dan kopinya sendiri, serta memelihara banyak bebek dan unggas. Dan sapi yang menghasilkan persediaan susu melimpah. Namun, setahun setelah kunjungan Wallace, pada 1858 Jacob Mesman meninggal dunia. Putra lainnya adalah Willem Leendert Mesman, mengambil kursus bahasa Bugis dan Makassar. Kursus ini menjadikannya dapat bercakap-cakap dengan penduduk pribumi dan dapat mengamankan kepentingan bisnisnya. Terbukti, kepiawaian ini diperlihatkan saat menemani Wallace bertemu raja Gowa. Wallace, menuliskannya seperti pertemuan dua orang sahabat. Sejak usia 35 tahun, Willem Mesman telah sukses membangun usaha bisnisnya. Dia tinggal di wilayah pinggiran kota dan menjadi seorang tuan tanah, memiliki ternak, gudang, pegawai dan beberapa pelayan. Dalam Being Dutch in the Indies A History of Creolisation and Empire, 1500-1920 , Mesman selalu mengawali harinya dengan sarapan, lalu mengganti pakaiannya dengan balutan jas lenin putih bersih dan berangkat ke kantornya menggunakan kereta kuda (bendi) di kota, di mana tertulis W.L Mesman, negotie-en commisiehandel en reders (W.L Mesman, Pedagang, Agen Bisnis, dan Pemilik Kapal). Menurut Wallace, Willem Mesman adalah seorang pedagang kopi dan opium. Memiliki perkebunan kopi di Bontyne (sekarang Bantaeng) dan sebuah perahu untuk berdagang mutiara dan tempurung penyu dari New Guinea. Di areal tanahnya juga, terdapat selusin kuda, dua puluh ekor sapi, dan sebuah kampung kecil yang dihuni para budak dari Timor dan pelayan dari Makassar. Meskipun pada 1854, perdagangan budak dinyatakan ilegal, yang kemudian ikut pula mengakhiri posisi Makassar sebagai pusat perdagangan budak. Keluarga Mesman adalah keluarga penting di Makassar. Saya mencoba mencari yang tersisa dari keluarga ini. Tak ada kuburan. Di Makassar, pekuburan orang-orang penting Belanda di tempatkan di jalan bagian ujung Hoge Pad –sekarang Jalan Ahmad Yani. Kuburan-kuburan para pembesar Belanda di tempat ini, sekarang menjadi kawasan bisnis di sekitar Makassar Trade Centre (MTC) di depan lapangan Karebosi. Saya juga menemukan salah satu jalan penghubung yang menggunakan nama Mesman Laan. Jalan ini, tak begitu panjang, hanya sekitar 300 meter dan menghubungkannya dengan jalan Ranggong daeng Romo. Sekarang Mesman Laan pun berubah menjadi Jalan Andi Makkassau.
- Hari ini Portugis Menyerah kepada VOC
Setelah bercokol selama kurang lebih seabad, pada 25 Februari 1605, Portugis dipaksa hengkang dari Maluku. Masa kuasa Portugis di kepulauan rempah-rempah itu berakhir setelah ditikung oleh kompeni dagang Belanda (VOC). Salah satu syarat waktu garnisun Portugis menyerah ialah bahwa ada jaminan kebebasan beragama. “Setelah beberapa bulan, perjanjian itu hanyalah huruf mati bagi orang Belanda,” tulis Antonio Pinto da Franca dalam Pengaruh Portugis di Indonesia . Kedatangan bangsa Portugis ke Maluku telah dimulai sejak 1512. Usai menaklukkan bandar perdagangan Malaka pada 1511, Alfonso de Albaquerque mengirimkan satu tim ekspedisi menuju pusat produksi rempah-rempah. Tibanya armada Portugis yang dipimpin Francisco Serrao di Ambon sekembalinya membeli pala di Hitu, menarik perhatian Sultan Ternate, Abu Lais. Abu Lais menawarkan Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate. Sebagai imbalannya, cengkeh yang dihasilkan Ternate akan dijual hanya kepada Portugis. Portugis bersedia dan menyepakati pembelian cengkeh dengan harga tinggi. "Bagi sang sultan, selain menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, aliansi dengan Portugis akan memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya, terutama Tidore dan Jailolo," tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia . Semasa menduduki Maluku, Portugis menikmati aktivitasnya di bidang ekonomi. Pasokan rempah-rempah yang berhasil dimonopoli selalu memenuhi lumbung kapal Portugis untuk di jual ke pasar dunia. Selain keuntungan dari hasil perdagangan, misi penginjilan Portugis berkembang dengan pesat. “Sampai 1560, sebanyak 10.000 warga Ternate, Ambon, dan sekitarnya telah beralih ke agama Kristen (Katolik). Sementara di Moro, Misi Jesuit mengklaim sebanyak 47 komunitas Katolik disana. Tiap komunitas terdiri antara 700-800 orang,” tulis M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah . Namun kehadiran Portugis kerap memicu pertentangan kepentingan dengan Ternate maupun kerajaan tetangga. Ketegangan terhadap Portugis ditambah dengan meluasnya populasi Katolik Maluku. “Campur tangan Portugis dalam soal-soal intern kerajaan membawa mereka terlibat dalam pertikaian politik antarkerajaan, pada umumnya lebih merugikan daripada menguntungkan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium . Menurut Francois Valentijn, misionaris zaman VOC dalam Oud en Nieuw Oost Indien sebagaimana dikutip Kamal, para sultan di Kepulauan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo bermufakat untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku. Segi-segi politik kesepakatan ini ditangani Sultan Hairun dari Ternate. Sementara upaya militer diserahkan kepada Katarabumi, perdana menteri Jailolo. Perseteruan Portugis dengan kerajaan-kerajaan lokal di Maluku memuncak dengan terbunuhnya Sultan Hairun pada 1570. Gubernur Portugis, Diego Lopez de Mesquita menyuruh seorang prajurit yang juga keponakannya bernama Antonio Pimental untuk menikam Hairun dengan sebilah keris. Jenazah Hairun saat pembunuhan terjadi, ditenggelam ke laut. Peristiwa itu menjadi tonggak petaka bagi Portugis. Sultan Baabulah, penerus takhta Ternate, bersumpah menuntut balas atas kematian ayahnya. Semua raja di Maluku bersatu dan berikrar akan membantu Baabulah. Kerajaan-kerajaan lokal yang dipimpin Ternate mengepung akses laut Portugis menuju Malaka dan Goa (India). Benteng Portugis di Gamlamo (Gamalama) dikepung sehingga orang-orang Portugis hidup terisolasi. Sebaliknya, Ternate mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Baabulah. Ternate dibuka menjadi pelabuhan bebas yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa pedagang. Pada tahun 1580, Portugis yang berunifikasi dengan Spanyol membentuk basis militer di Tidore. Sejak itu, pasukan gabungan Portugis berkali-kali mengirimkan ekspedisi militer untuk merebut kembali Gamlamo maupun kerajaan di sekitarnya. Musuh lokal Portugis di Maluku semakin bertambah ketika pada 1601, armada laut Portugis berkekuatan 30 kapal yang dipimpin Andre Hurtado de Mendoca menyerang kapal-kapal Belanda di pantai Ambon. Mereka bertekad, setelah menghancurkan Belanda kepulauan itu akan diperbolehkan berdagang dengan Portugis saja. Karena tidak berhasil, “orang-orang Portugis menuju ke Hiton, ibukota Ambon, lalu membantai semua penduduk kota itu, menebang semua pohon cengkeh dan memperkuat benteng pertahanan mereka di sana,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: dari Abad XVI sampai dengan Abad XX. Di tahun yang sama, terbentuk persekutuan anti-Portugis antara VOC dan penduduk Hitu di Ambon. “Dari persekutuan tersebut, VOC mendapat imbalan berupa hak tunggal untuk membeli rempah-rempah dari Hitu,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Pada bulan 23 Februari 1605, kapal-kapal VOC menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon. Benteng pertahanan Portugis diserang bertubi-tubi dan berhasil dijebol. Dua hari kemudian, Portugis yang diwakili capitan benteng, Gaspar de Mello menyerahkan benteng Portugis tanpa perlawanan kepada VOC. Penyerahan bersyarat itu menetapkan pasukan Portugis yang bersenjata harus keluar dari wilayah Maluku dan bagi mereka yang ingin tetap tinggal harus bersumpah setia kepada Belanda. Seorang gubernur berbangsa Belanda diangkat untuk memerintah di sana atas nama Staten Generaal (parlemen Belanda). Menurut Bernard Dorleans, penggunaan kapal-kapal besar jenis caraque menjadi penyebab kekalahan Portugis. Caraque buatan portugis yang berbobot mati 1500-2000 ton merupakan kapal model Eropa yang terbesar pada zaman itu. Mengingat bobotnya yang besar, caraque sangat cocok dalam kegiatan perniagaan tetapi tidak sesuai untuk peperangan laut. Dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara:Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia karya Paramita Rahayu Abdurachman, sebanyak 32 keluarga Portugis yang tersisa di Ambon mengungsi ke pegunungan wilayah Soya. Mereka diberi suaka sebidang tanah oleh Raja Soya dan berbaur dengan penduduk setempat. Era kompeni mulai menggantikan pengaruh Portugis di Maluku. Setelah beberapa generasi, orang Portugis yang tersisa memeluk agama Protestan yang dibawa misionaris Belanda.
- Kisah Perburuan Kapten Westerling
Gagal menguasai Bandung pada 23 Januari 1950, para prajurit APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) mundur ke arah Cianjur. Di sana lagi-lagi ratusan pengikut Kapten Westerling tersebut harus menghadapi batu sandungan dari Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo. “Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber, “ tulis Kolonel (purn) Mochamad Rivai dalam Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sadar gerakannya patah di tengah jalan, Westerling memutuskan untuk melarikan diri ke Jakarta. Pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot menyertai pelarian Westerling. Sang kapten melarikan diri menggunakan tiga mobil yang ia tumpangi secara bergantian di tiap titik tertentu. “Intelijen kami mengidentifikasi mobil-mobil itu masing-masing berplat nomor wilayah Bandung dan Jakarta: D 1067, D 1373, B 16107,” ujar Rivai. Menurut sejarawan Salim Said, sesampai di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah rumah milik seorang Belanda di bilangan Kebon Sirih. Bahkan di tengah pelariannya itu, ia pun dikabarkan sempat bertemu beberapa kali dengan Sultan Hamid II, salah seorang simpatisan gerakan APRA. “Mereka bertemu di suatu tempat yang letaknya sekarang ada di sekitar Jalan Veteran, Jakarta Pusat,” ujar mantan jurnalis yang pernah mewawancarai Westerling secara langsung di Belanda pada 1970-an. Awal Februari 1950, salah satu pendukung kuat Westerling dari kalangan mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Jakarta. Tewasnya Rappard menjadikan Westerling gundah dan memutuskan untuk lebih cepat melarikan diri ke luar Indonesia. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan beberapa pejabat tinggi militer dan sipil Belanda. Konspirasi melarikan Westerling ke luar negeri, ternyata tercium jua oleh intelijen APRIS. Maka dibentuklah secara kilat tim pemburu Westerling oleh pihak militer Indonesia Serikat dipimpin oleh Mayor Brenthel Soesilo. Menurut salah satu anggota tim pemburu, Letnan J.C.Princen, Kamis, 23 Februari 1950, tim-nya menerima informasi dari agen intelijen di lapangan bahwa Westerling dengan dikawal beberapa orang bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Priok. “Kami lalu mengutus Letnan Supardi dan Letnan Kesuma untuk mengejar Westerling,” ujar mantan serdadu Belanda yang membelot ke pihak Republik Indonesia tersebut. Dengan menggunakan jip Willys, menjelang pukul 19.00, bergeraklah kedua prajurit APRIS tersebut ke Tanjung Priok. Di mulut Pelabuhan II, mereka berpapasan dengan kendaraan yang ditumpangi Westerling. Alih-alih menghindar, Westerling yang saat itu menggunakan seragam KNIL berpangkat sersan, malah turun dari mobil dan mendekati Letnan Supardi dan Letnan Kesuma. “Orang gila itu malah mengajak kedua letnan tersebut singgah di satu bar dan minum bir,” kenang Princen. Ajakan itu ditampik. Letnan Kesuma justru mengajak Westerling untuk singgah sebentar ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan. Westerling setuju. Ia lantas menaiki mobilnya dan mengikuti jip yang ditumpangi Letnan Kesuma dan Letnan Supardi. Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat jip yang dikendarai kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. Setelah menembak, mobil yang ditumpangi Westerling kemudian berbalik kembali ke arah pelabuhan dan berjalan dengan kecepatan tinggi. Mengetahui anak buahnya tertembak, Mayor Brenthel Soesilo ganti yang mengejar Westerling. Bersama Letnan Princen, mereka bahkan sempat adu tembak dengan pengawal-pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling meluputkan diri ke Singapura dengan bantuan sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Karena alasan masuk tanpa surat izin, sesampai di Singapura, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris. Begitu mendapat kabar tersebut, Pemerintah RIS langsung meminta kepada otoritas Inggris di Singapura untuk mengekstradisi Westerling Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pimpinan Pengadilan Tinggi Singapura, Hakim Evans, menolak permintaan tersebut. Pada Agustus 1950, Westerling “diusir” dari Singapura. Ditemani Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, ia bergerak menuju Eropa. Seizin Van der Gaag pula ia lantas turun di Brussel, Belgia, sebelum beberapa waktu kemudian dialihkan ke Belanda secara diam-diam.
- Pangeran Samber Nyawa Menyerah Kepada Pakubuwana III
PADA 24 Februari 1757 Raden Mas Said menyerah kepada Sunan Pakubuwana III, raja Surakarta. Dia dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa yang gigih menentang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Perlawanan itu mungkin karena ayahnya, Mangkunegara, diasingkan oleh VOC ke Srilanka. Mas Said bersekutu dengan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) melawan Pakubuwono III, raja Surakarta, yang didukung VOC. Namun, VOC berhasil mendamaikan Mangkubumi dan Pakubuwono III lewat Perjanjian Giyanti, yang membagi bekas wilayah Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Mas Said yang tak dilibatkan dalam perjanjian itu kemudian melawan tiga kekuatan sekaligus: Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Dia melawan mertuanya sendiri karena dia menikahi putri sulung Mangkubumi, Ratu Bendara. Pada Oktober 1755, dia berhasil mengalahkan satu pasukan VOC. Dia juga nyaris membakar istana baru di Yogyakarta pada Februari 1756. Menurut sejarawan MC Ricklefs, pasukan-pasukan Surakarta, Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi jelas pula dia tidak mampu menaklukkan Jawa karena menghadapi gabungan kekuatan itu. Maka, dia mulai mengadakan perundingan-perundingan pada 1756. “Bulan Februari 1757 dia menyerah kepada Pakubuwana III dan bulan Maret di Salatiga, dia resmi mengucapkan sumpah setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Dalam Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 tersebut juga dibahas kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Dia diangkat sebagai Pangeran Miji yang kedudukannya di bawah Sunan Pakubuwana III. Dia memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I (memerintah 1757-1795). Dia mendapat tanah 4.000 cacah dari Pakubuwana III, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari Hamengkubuwono I. Daerah kekuasaannya terletak di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu berada di sekitar Surakarta tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta. “Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk mempersatukan kembali kerajaan, maka Sultan Hamengkubuwono I, Pangeran Mangkunegara I, dan Susuhunan Pakubuwana III kini lebih banyak terlibat permainan diplomasi perkawinan yang rumit,” tulis Ricklefs. Putra tertua Mangkunegara I menikahi putri sulung Pakubuwana III. Namun, Mangkunegara I membeci Hamengkubuwana I sampai akhir hayat karena yakin mertuanya itu memaksa putrinya untuk bercerai. Mangkunegara I meninggal pada 12 Desember 1795 di usia 70 tahun. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1988 karena dianggap berjasa melawan VOC.
- Yang Muda Yang Berkuasa
Kapal dari Singapura berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dua penumpangnya turun. Mereka berusaha keluar pelabuhan secara ilegal. Dua orang itu Aidit dan Lukman. “Beberapa hari yang lalu Aidit dan Lukman, dua anggota dari agitprop (agitasi dan propaganda) PKI, telah tiba di Jakarta dari Vietnam,” tulis Sinpo , 25 Juli 1950. Sinpo mengabarkan Aidit dan Lukman pernah menjadi gerilyawan di Vietnam. Jacques Leclerc, seorang pakar sejarah kiri Indonesia, berpandangan kemunculan Aidit dan Lukman penuh perhitungan dan skenario. Mereka muncul saat pemerintah mengurangi tekanan terhadap PKI dengan sebuah cerita heroik rekaan. Dari perjuangan di Tiongkok dan Vietnam sampai upaya mereka masuk ke Indonesia secara ilegal sehingga menarik perhatian suratkabar. “Mereka mau memberikan prestise diri mereka sebagai pimpinan yang sebelumnya berkedudukan di Yogya kembali ke Jakarta justru pada saat perjuangan dan konfrontasi di dalam tubuh partai antara berbagai garis strategi telah memasuki tahap menentukan,” tulis Jacques Lecrerc dalam “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, termuat di Prisma , 7 Juli 1982. Di Jakarta, Aidit dan Lukman mulai bergerak. Sebagai anggota CC PKI, mereka melihat kelompok komunis tua bakal membawa jalannya partai melenceng dari prinsip Jalan Baru Musso. Mereka mengajak Njoto dan Peris Pardede menerbitkan kembali Bintang Merah (BM), terbitan berkala, untuk menegaskan garis perjuangan partai dan menghimpun pendukung. Mereka juga menerjemahkan karya-karya klasik mengenai teori Marxis. Memperoleh kepercayaan kader muda partai melalui penerbitan BM, kelompok Aidit mengalihkan perhatian ke struktur partai. Mereka menjalin kontak dengan Seksi Comite (SC) pendukung Jalan Baru untuk merombak struktur partai dari dalam. Menyingkirkan Kelompok Tua Pada 7 Januari 1951, CC PKI menggelar Sidang Pleno. Dalam sidang kelompok Aidit mendebat gagasan Tan Ling Djie mengenai Irian Barat dan Partai Sosialis sebagai partai penampung. Tan kalah dukungan. Sidang memutuskan mencabut keterangan tertulis Tan mengenai Irian Barat dan membubarkan Partai Sosialis. Sidang juga menetapkan Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, dan Alimin sebagai anggota Politbiro. Sementara Tan Ling Djie turun pangkat, tapi masih masuk dalam keanggotaan CC. Salah satu pertimbangannya, Tan menerima keputusan CC dan berjanji memperbaiki diri. Tan mulai terisolasi. Terlebih sebelumnya pendukung setianya, Ngadiman Hardjosubroto dicabut kedudukannya sebagai wakil PKI di parlemen sementara karena mengeluarkan siaran tentang Irian. Namun ini baru langkah awal. Pada Agustus 1952, CC membentuk Komisi Kontrol untuk menyelidiki aktivitas Tan yang bertentangan dengan kebijakan partai. Berdasarkan laporan Komisi Kontrol itulah, dalam Sidang Pleno CC PKI pada Oktober 1953, kelompok Aidit menyingkirkan Tan Ling Djie dari keanggotaan CC. Sementara Alimin, atas permintaan sendiri dengan alasan kesehatan, digantikan Sakirman sebagai anggota Politbiro. Untuk membenarkan tindakannya, Aidit menulis artikel panjang berjudul “Tentang Tan Ling Djie-isme” di Bintang Merah , Februari-Maret 1954. Kepemimpinan partai dalam genggaman. Kongres V PKI pada 16-20 Maret 1954 mengabsahkannya. Dalam Kongres ini pula Alimin dan Wikana tersingkir sebagai anggota CC; gagal terpilih kendati dicalonkan. Kendati tak menempati posisi strategis, Alimin tetap jadi duri dalam daging. Ketika Aidit berada di Moskow untuk menghadiri Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet, Alimin menyerang kepemimpinan Aidit dan politik front persatuan. Tidak secara langsung tapi melalui sebuah tulisan yang dibagikan ke kawan-kawan dekatnya. Sadar keutuhan partai terancam, Sekretariat CC PKI mengajak Alimin berdiskusi. Alimin bersedia mencabut tulisannya. Ternyata persoalan belum selesai. Beberapa kutipan dari tulisan Alimin tersiar di media. CC PKI segera membuat keterangan pers. Selain menegaskan sikapnya mengenai front persatuan nasional, CC menelanjangi cara kerja Alimin di dalam partai. “Sikap pimpinan PKI sekarang banyak tergantung pada sikap Kawan Alimin sendiri mengenai kesalahannya,” tulis keterangan Sekretariat CC PKI, 3 Juli 1956. Alimin terdesak. Pada 8 Agustus 1956, dia menyatakan keluar dari PKI dengan alasan kesehatan. Kelompok komunis tua sudah disingkirkan. Namun, secara bertahap mereka “direhabilitasi”. Tan Ling Djie dan Wikana diplih sebagai wakil ketua II dan sekretaris grup partai di Konstituante. Ngadiman, pada 1959, jadi ketua Komisi Pemilihan Pusat PKI. Pada Kongres tahun 1959, Wikana kembali masuk sebagai anggota CC, Tan dan Ngadiman dipilih sebagai anggota Komisi Verifikasi, dan Alimin diberi kehormatan untuk duduk di presidium kongres. “Aidit cukup yakin kontrolnya terhadap partai untuk memanfaatkan kemampuan Wikana, Tan Ling Djie, dan Ngadiman dalam posisi fungsional tapi, dalam hal kekuasaan, tidak penting,” tulis Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 . Menjadi Partai Raksasa Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan partai, PKI berkembang pesat. Salah satu langkah signifikan adalah penerapan strategi front persatuan nasional yang merupakan modifikasi dari konsep Jalan Baru Musso. Kerjasama terutama dijalin dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan strategi ini, tulis Hindley, PKI mendapat toleransi dari pemerintah untuk mengembangkan partai dan organisasi massanya serta mengisolasi kekuatan politik antikomunis. Pembangunan partai menemukan bentuknya sejak 1956 melalui Plan 3 Tahun Mengenai Organisasi dan Pendidikan. Sekolah-sekolah dan kursus partai digelar. Perluasan anggota dan organisasi digalakkan. Setelah mencapai kemajuan pesat dan dapat mengkonsolidasi diri, pada 1963 PKI menerapkan Plan 4 Tahun Mengenai Kebudayaan, Ideologi, dan Organisasi. Hasilnya, jumlah anggota PKI naik pesat, kader-kadernya disiplin dan militan, berhasil menaungi berbagai elemen massa, meraup suara signifikan dalam pemilu, dan mampu mempengaruhi arah perpolitikan nasional. PKI menjadi raksasa dalam waktu singkat. Hingga datanglah prahara 1965 itu menjatuhkan raksasa ini tanpa ampun.
- Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok
DALAM sejarah Singhasari dan Majapahit, raja yang mangkat biasanya didarmakan dalam bentuk arca dewa. Mereka akan terus dikenang dengan dibuatkan sebuah candi pemujaan. Berdasarkan Nagarakretagama , jumlah candi yang difungsikan sebagai pendarmaan arwah raja mencapai 27 pada tahun 1365. Dari jumlah itu tidak semua masih berdiri utuh. Di antaranya candi di Kagenengan yang disebut sebagai pendarmaan Rangga Rajasa, gelar Ken Angrok. Pada pupuh 40 naskah Nagarakretagama tertulis, seorang pendeta Budha di Bureng diminta berkisah oleh penulis naskah. Sang penulis, Mpu Prapanca, ketika itu bersama rombongan Hayam Wuruk hanya singgah dalam perjalanan menuju Singhasari. Pendeta Budha itu menceritakan bahwa pada tahun 1104 saka terdapat seorang raja Perwira Yuda Putera Girinata. Dia lahir tanpa ibu dan dihormati seluruh orang. Raja itu bernama Rangga Rajasa. Bagian itu juga menceritakan bagaimana Rangga Rajasa akhirnya mengalahkan Raja Kediri, Kertajaya. Dia diakui sebagai cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Jawa. “Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha,” kutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama . Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan, sumber yang menyebut keberadaan candi di Kagenengan tak hanya Nagarakretagama . Sekitar tahun 1999-2000, tiga lempeng Prasasti Mula-Malurung ditemukan di Desa Jamsaren, Kediri. Delapan lempeng prasasti ini lebih dulu ditemukan di Kediri pada 1975 lalu diserahkan ke Museum Nasional Jakarta. “Tentang pendarmaan Angrok, info awal Kagenengan dari Nagarakretagama . Dikira hanya di situ, sumber lain tidak ada. Ternyata, yang justru menarik disebut juga dalam Mula-Malurung, yang kami temukan juga menyebutkan Kagenengan,” ungkap Dwi kepada Historia . Setelah bukti diperkuat, menurut Dwi masih ada polemik yang belum terpecahkan, yaitu di mana Kagenengan berada. Namun, sejauh ini dia berani memastikan, lokasi Kagenengan berada di wilayah Malang Raya. Hal ini dikaitkan dengan rincian catatan perjalanan Hayam Wuruk dalam Nagarakretagama . Dalam rincian itu, kunjungan Sang Raja Majapahit ke Kagenengan masih dalam periode yang sama dengan perjalanannya menziarahi candi-candi leluhurnya yang lain. Dwi menyoroti, rombongan Hayam Wuruk saat itu mengkhususkan hari untuk berkunjung ke Kagenengan. Dia tidak mengunjunginya langsung, tetapi setelah mendatangi Candi Kidal dan Candi Jajago. Dalam Negarakretagama , khususnya pupuh 37, menyebut kunjungan ke kedua candi itu dilakukan dalam satu hari. Pagi hari ke Candi Kidal, dan sore hari ke Candi Jajago. “Kalau Kidal dan Jajago realitas geografisnya ada di Kecamatan Tumpang, Malang Timur. Artinya, pasti Kagenengan tidak ada di Malang Timur, berarti ada jalur berbeda,” jelas Dwi. Dwi mencoret kemungkinan Kagenengan berada di Malang Timur, juga tidak mungkin di Malang bagian utara. “Karena Hayam Wuruk malah menginap di Puri Singhasari yang ada di kawasan utara Malang baru melanjutkan perjalanan,” lanjut Dwi. Artinya, Kagenengan akan masuk akal jika dicari di wilayah Malang bagian selatan, di mana terdapat beberapa tempat yang memiliki kemiripan nama dengan Kagenengan. Menurut Dwi, berdasarkan teori yang dinyatakan arkeolog Inggris Nigel Bullough, Kagenengan merujuk pada Dusun Genengan, Desa Parangargi, Kecamatan Wagir. Selain itu, ada juga Desa Genengan di Kecamatan Pakisaji; dan Dusun Genengan di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso. Dwi telah memeriksa lokasi itu satu persatu. Di Desa Genengan, Pakisaji misalnya, terdapat yoni tanpa lingga di salah satu punden desa. Pada punden lainnya di desa yang sama, terdapat arca Durga. “Tapi kalau melihat ukuran yoni dan Durga terbayang candinya tidak begitu besar. Sejauh ini di lokasi temuan tidak didapati temuan lain yang signifikan, seperti temuan runtuhan yang menggunung,” jelasnya. Kemungkinan candi di Kagenengan ada di Pakisaji jadi diragukan. Pasalnya, berdasarkan Nagarakretagama , candi di Kagenengan dideskripsikan sebagai candi megah dan indah. Pintu masuk candi lebar dan tinggi. Di dalamnya, terdapat halaman dengan rumah berderet di tepinya. Di tengahnya terdapat bangunan serupa menara yang tinggi dan indah seperti Gunung Meru. Ken Angrok yang dipuja sebagai Siwa membuat candi itu memiliki arca Siwa di dalamnya. Adapun Dusun Genengan di Wagir, menurut Dwi, terdapat runtuhan bangunan yang terbuat dari bata. Dusun ini terletak di lereng Gunung Katu. Namun, lagi-lagi menurutnya benda arkeologis yang ditemukan di sana tidak signifikan. Bahkan arca yang menunjukkan sekte Siwa pun tidak ditemukan. “Begitu juga temuan arkelogis di Karangploso, Desa Girimoyo, Dusun Genengan,” lanjut dia. Gunung Katu Alternatif lainnya, kata Dwi, Kagenengan bisa jadi mengarah pada topografi. Berdasarkan arti “geneng”, nama ini merujuk pada tanah yang tinggi, seperti gunung atau bukit. Dengan pengertian itu, dia mengemukakan teori Kagenengan yang dimaksud dalam sumber-sumber sejarah berada di puncak Gunung Katu. “Penyebutan di Pararton itu ada namanya Rabut Katu, dulu di sana banyak orang menangkap burung. Sampai sekarang juga masih banyak yang menangkap burung. Di namakan Katu itu karena ada pohon katu yang besar sekali tempat rumah burung,” ungkapnya. Kemungkinan pohon katu yang tumbuh di puncak Gunung Katu adalah tanaman endemik. Bisa jadi dulunya banyak pohon katu tumbuh di sana hingga penamaan Gunung Katu masih terus dipakai. “Sayangnya pohon itu malah ditebang,” ujarnya kesal. Lebih lanjut, Dwi menerangkan, di masa lalu gunung ini dianggap suci. Gunung Katu merupakan anak Gunung Kawi yang dianggap sebagai pecahan Gunung Meru. Untuk tingginya, Gunung Katu sebenarnya lebih pantas disebut bukit. Namun, penampakannya begitu menjulang di wilayah itu. Adanya penemuan arkeologis di permukaan puncak gunung itu juga memperkuat teorinya. Pada puncak gunung terdapat arca Nandi yang berbentuk lembu sebagai kendaraan (wahana) Siwa dalam mitologi Hindu. “Disebutnya reco banteng ,” ucap Dwi. Tidak hanya itu, di sana pun terdapat pedistal arca yang berukuran besar. Namun, arca yang seharusnya ada di atasnya tidak ditemukan. “Arcanya sudah hilang, apakah itu terguling ke bawah atau dicuri tidak tahu, karena arca Nandi-nya juga ditemukan agak ke arah lembah,” kata Dwi. Dwi juga mengidentifikasi adanya fragmen arca. Sayangnya, dia pun tidak bisa mendeskripsikan siapa tokohnya. Apa yang tersisa dari arca itu adalah bagian kakinya saja. Keistimewaan puncak Gunung Katu juga ditunjukkan dengan adanya temuan di beberapa titik di lerengnya. Dwi memaparkan ada dua titik dengan temuan yang cukup signifikan sejauh ini, selain di puncak. Menariknya, orientasi arah hadap temuan-temuan itu selalu mengarah ke puncak. “Dugaan candi di Kagenengan ini dari material bata. Bata banyak ditemukan, dan memang tidak memungkinkan untuk batu, jadi persoalan sendiri untuk bawa batu dari bawah. Medannya sangat terjal,” terangnya. Runtuhan bata yang dia lihat di Gunung Katu itu bisa ditemukan hingga bagian lereng gunung. Menyadari ini, dia memperkirakan, situs di lokasi itu bisa jadi berupa kompleks bangunan candi. Namun, kondisi geografisnya membuat peninggalan ini menjadi tidak utuh kembali. Berbeda dengan candi Jajago dan Candi Kidal yang meski runtuh saat ditemukan, keduanya berhasil dipugar. Candi-candi itu diuntungkan karena berada di lokasi yang rata. “[Situs di Gunung Katu] ini agak beda, pas di puncak, Malang itu rawan gempa juga, ketika gempa sepertinya membuatnya betul-betul roboh, terguling ke tebing. Lereng timur itu terjal, kalau terguling ke sini habis masuk lembah,” katanya. Dwi berteori, di masa lalu Gunung Katu pun termasuk dalam wilayah Kagenengan. Ini berdasarkan kesamaan nama “Genengan” di tiga tempat yang berbeda kecamatan. Padahal sebenarnya radius di antara ketiga tempat itu tidak jauh. Pun ketiganya berada di sekitar lereng Gunung Katu. “Dulunya mungkin wilayah Kagenengan ini mencakup wilayah-wilayah di sekitar Gunung Katu dan Gunung Katunya, jadi lebih luas lagi, setelah sekian lama akhirnya berkembang dan muncul banyak desa,” jelasnya. Ditambah lagi, menurut Dwi, pendiri Dinasti Rajasa itu memiliki kedekatan memori dengan wilayah selatan Malang. Sebelum Singhasari menjadi pusat pemerintahan, Ken Angrok sempat berpetualang ke wilayah selatan. Dia belajar kepada seorang rohaniawan Janggan di Mandala Sagenggeng. Nama Sangenggeng ini sekarang menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Pakisaji. “Jadi secara memori, dia punya kenangan dengan Sagenggeng dan sekitarnya,” tegas Dwi. Dengan asumsi itu, Dwi merasa yakin menunjuk puncak Gunung Katu sebagai lokasi tempat berdirinya candi pendarmaan Ken Angrok. Maka, dia pun berharap ada penelitian yang khusus membedah Gunung Katu. Dia meyesalkan di lokasi yang begitu potensial itu hingga kini belum pernah dilakukan penggalian. “Kagenengan ini istimewa. Dalam Nagarakretagama saja disebutkan panjang lebar. Ini wajar karena titik pangkal munculnya kerajaan Singhasari dan Majapahit,” pungkas Dwi.*
- Westerling Melarikan Diri ke Malaya
Westerling gagal menjalankan aksinya mengudeta pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin Sukarno-Hatta. Ia meninggalkan Bandung dalam keadaan kacau akibat aksi bersenjata Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Menurut sejarawan Frederik Willems sebagaimana dikutip dari tulisannya di harian De Volkskrant , 6 Agustus 2012, memastikan pemerintah Belanda di Den Haag mengetahui aksi pelarian Westerling itu. Pada 22 Februari 1950, marinir Belanda menyelamatkan Westerling dari kejaran tentara Indonesia dengan menggunakan pesawat albatros Catalina dan langsung diterbangkan ke Malaya (kini Singapura). Sebelum kabur, Westerling sempat menjalankan aksinya di Bandung pada Senin pagi, 23 Januari 1950. Bersama 523 serdadu APRA yang dibentuknya, Westerling melucuti polisi yang sedang berjaga di Pos polisi Cimindi, Cibereum dan Pabrik Mecaf, pabrik barang alumunium yang didirikan pada 1946. Setelah itu pasukan yang sebagian besar terdiri dari mantan serdadu komando Belanda itu (KL, Koninklijke Leger ) konvoi memasuki kota Bandung. Menurut laporan kantor berita Antara , 25 Januari 1950, sejumlah truk tentara beriringan masuk ke Bandung. Pada awalnya warga Bandung tak begitu bereaksi terhadap kedatangan mereka sampai kemudian pasukan Westerling melepaskan tembakan membabibuta begitu memasuki jalan Braga. Serdadu APRA melanjutkan aksinya, membunuh setiap anggota TNI yang kebetulan melintas di depan mereka. Serangan tersebut mengakibatkan 79 anggota TNI tewas. Mayat-mayat bergelimpangan di beberapa sudut kota Bandung. Selesai dengan aksinya di Bandung, Westerling bergegas ke Jakarta untuk menemui Sultan Hamid Alkadrie II. Rencananya, Westerling akan menyerang pemimpin RIS yang sedang bersidang untuk kemudian mengambil kekuasaan. Namun rencana itu keburu ketahuan oleh Bung Hatta dan digagalkan oleh TNI. Kegagalan tersebut menimbulkan kepanikan, bukan hanya bagi Westerling namun juga bagi perwakilan pemerintah Belanda yang berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar Desember 1949 menjadi pihak yang sama-sama harus menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia. Menurut sejarawan Frederik Willems, Belanda tak ingin Westerling jatuh ke tangan tentara Indonesia dan mengganggu hubungan kedua negara. Maka jalan satu-satunya adalah melarikan Westerling keluar Indonesia secepatnya tanpa diketahui pihak TNI. Setelah sempat ditahan selama beberapa waktu di Malaya, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London. Namun di London, petugas menutup akses masuk kepadanya. Tak kehabisan akal, dia terbang menuju Brussels, Belgia. Setibanya di Belgia pada 23 Agustus 1950, sebagaimana dikutip dari harian Montreal Gazette terbitan Kanada, 25 Agustus 1950, otoritas Belgia langsung menangkapnya. Setelah sempat dibebaskan oleh pihak otoritas Belgia, Westerling tak langsung pulang ke Belanda untuk menghindari kontroversi. Di Brussels, dia menyewa sebuah Guest House di Rue de la Concorde No. 59. Di tempat itulah dia menulis memoarnya, Mijn Memoires yang terbit pada 1952, yang sebagian besar berisi tentang pembelaan dirinya. Raymond Piere Westerling lahir di Istanbul, Turki 31 Agustus 1919 dari pasangan Sophia Moutzou dan Paul Westerling. Bergabung dengan pasukan khusus Belanda, Koninklijke Speciaale Troepen (KST) menjelang akhir Perang Dunia Kedua. Mendapat penugasan pertama penerjunan di Medan bersama tentara sekutu Inggris pada Oktober 1945. Setahun kemudian dia bertugas di Sulawesi Selatan, di mana dia menjalankan aksi teror brutalnya terhadap para gerilyawan republiken dan juga warga biasa. Setelah perundingan Indonesia-Belanda dalam Konferensi Meja Bundar disepakati dan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Westerling tetap bebas tanpa pernah melalui pengadilan atas apa yang pernah dilakukannya. Sampai kemudian dia beraksi di Bandung dan Jakarta pada Januari 1950.
- Spanyol 1936
PADA sebuah barak Lenin di Barcelona, sehari sebelum bergabung dengan milisi antifasis, George Orwell terpukau pada penampilan seorang laskar muda asal Italia. Pria itu, kata Orwell, berusia sekitar 25 atau 26 tahun, berdiri tepat di hadapannya dengan sorot mata tajam, memperhatikan sebuah peta terhampar di atas meja dengan kening berkerut kebingungan. “Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku tersentuh. Itulah wajah seorang lelaki yang rela berjibaku membunuh dan tak memedulikan hidupnya demi seorang kawan,” tulis Orwell dalam memoarnya yang masyhur Homage to Catalonia . Setelah saling bertegur sapa sejenak, mereka berjabat tangan erat dan bergegas meninggalkan ruangan. “Aneh, seperti ada perasan akrab yang Anda rasakan kepada seseorang yang baru dikenal,” kenang Orwell melukiskan suasana solidaritas persahabatan sesama kaum kiri saat itu. Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir kalinya bagi Orwell, namun seragam lusuh dan wajah garang laskar Italia itu tak pernah lekang dari ingatannya. Semua bayangannya melekat erat pada kenangan tentang perang sipil di Spanyol: kibaran bendera merah di Barcelona, kereta reyot yang dijejali laskar lusuh yang merayap menuju garis pertempuran terdepan dan parit-parit pertahanan di gunung yang dingin berlumpur. Semua terjadi pada akhir Desember 1936. Saat kaum anarkis masih menguasai Catalonia. Sementara itu tembok-tembok di kota Barcelona dipenuhi grafiti palu-arit dan semua gedung dikuasai oleh kelas pekerja. Setiap toko dan cafe dinyatakan milik bersama; dikelola secara kolektif. Para pelayan dan penjaga toko tak lagi merunduk di depan pembeli, mereka melayani semua tanpa ada beda: sama rasa sama rata. Memoar tentang perang sipil Spanyolkarya George Orwell dicetak kembali tahun ini. Mungkin ini memoar yang paling memikat untuk dibaca: pengalaman seorang wartawan-cum-sosialis juga sastrawan terkemuka, di tengah pusaran perang sipil di Spanyol pada 1936-1939. Perang sipil yang dipicu kudeta Jenderal Franco itu mengundang solidaritas gerakan kiri sedunia. Mereka berlomba-lomba datang ke Spanyol, bergabung dengan gerakan kiri di sana untuk melawan rezim fasis itu. Dari Amerika Serikat datang sekelompok anak muda yang tergabung dalam Abraham Lincoln Brigade, tak terhitung banyaknya laskar dari daratan Eropa yang juga bergabung. Seorang Indonesia-Tionghoa, bernama Tio Oen Bik juga ambil bagian sebagai milisi anti serangan udara. Kelak usai perang dunia kedua, Tio pulang ke Indonesia, mengabdikan dirinya sebagai dokter yang tak pernah memungut bayaran dari pasien miskinnya. Tak kurang Pam Sneevliet, anak kedua Henk Sneevliet, pun terpikat untuk bergerak menuju Barcelona. Namun rencana untuk jadi bagian dari kisah heroisme itu pupus ketika ayahnya melarang dia pergi. Pam pun bunuh diri, tak kuasa menanggung rasa kecewa. Henk sendiri menyatakan dukungannya kepada Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM, Partai Buruh Marxis Bersatu) sekaligus menyatakan sokongannya kepada Milícies Antifeixistes de Catalunya (Milisi Antifasis Catalonia) untuk memerangi fasisme. Perang sipil di Spanyol menyisakan banyak cerita tentang aksi kepahlawanan kaum kiri dari berbagai mazhabnya. Mereka melawan musuh yang sama: fasisme. Namun tak lama berselang, perbedaan di kalangan mereka bersimaharajalela. Tak semua iklas taklid kepada Stalin yang bernafsu mengendalikan Spanyol dari Moskow. Cengkeraman Stalin di sisi kiri terlalu banyak mendatangkan ketakutan, sementara ancaman Franco di sisi kanan pula sama mencemaskannya. Dan drama epik perjuangan kaum kiri Spanyol pun tuntas hanya dalam empat tahun masa pertempuran dengan kemenangan Franco di akhir episode. Kendati semangat tak pernah tumpas, realita politik berbicara lain. Perang itu menghasilkan banyak bentuk kekecewaan: Orwell menjadi seorang yang meragukan semua hal. Usai memerangi fasisme, dia mengkritik totalitarianisme ala Stalin dalam novelnya Animal Farm . Mungkin Orwell benar: dia tak lagi percaya bahwa kehidupan politik bisa jadi acuan. Setelah perang usai, dia juga tak pernah lagi berusaha untuk menempatkan hatinya di sebelah kanan atau kiri. Dan semenjak itu pula, Orwell hanya tertarik mengatakan kebenaran tanpa berpura-pura mewakili apapun kecuali sebagai manusia.*





















