top of page

Hasil pencarian

9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sukarno Murka Jika Ada Orang Mengusik Hatta

    HASJIM Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia”, menyaksikan bagaimana banyak “serigala” di sekitar Presiden Sukarno ketika si bung berkuasa. Demi mencari muka dan tempat di hati presiden, para “serigala” itu saling memangsa kendati di permukaan terlihat selalu mesra. “Tradisi yang menjadi anggapan umum itu juga menjadi pedoman kerja para petugas intel dari berbagai instansi keamanan dan juga bagi instansi yang mengeluarkan izin, izin apa saja. Terutama oleh kalangan entrepreneur yang tidak mempunyai dukungan kekuatan politik, kondisi itu akan sama dengan penempatannya sebaga ‘mangsa’ yang setiap saat akan diserbu oleh para serigala yang kelaparan, yang sudah lama mengintai waktunya untuk melahap,” kata Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Sikap menjilat itulah yang membuat orang-orang non-politik yang bersabahat dengan Sukarno seperti Hasjim kerap jadi korban. Meski persahabatannya dengan presiden murni secara personal, Hasjim tak aman dari “terkaman” para serigala lantaran sebagai keponakan Bung Hatta, yang sering dianggap lawan politik pemerintah. Hasjim kerap ketiban sial oleh intrik atau insinuasi orang-orang yang tak suka pada dirinya ataupun Bung Hatta. “Suatu hari aku ‘terkena larangan’ menemui Bung Karno. Yang melarangku masuk dan menemui Bung Karno ke Istana adalah Kolonel Sabur, ajudan presiden sendiri,” sambung Hasjim. “Saudara tidak dibenarkan lagi masuk Istana, karena Suadara keponakan Hatta, lawan presiden,” kata Sabur sebagaimana dikutip Hasjim. Akibat larangan itu, enam bulan Hasjim tak pernah lagi ke Istana dan bertemu Sukarno. Keduanya baru kembali bertemu setelah menghadiri makan siang bersama antara presiden dan IPKI, partai politik yang ikut disokong Hasjim pada awal 1950-an. Sukarno kaget ketika di antara penyambutnya terdapat Hasjim. Saat berjabat tangan, Sukarno langsung menanyakan kenapa Hasjim tak pernah lagi ke Istana. Pertanyaan itu dijawab Hasjim dengan pemberitahuan bahwa dirinya dilarang Kol. Sabur. Jawaban Hasjim jelas membuat Sukarno kaget. Dia langsung marah pada Sabur yang berada di dekatnya. “Siapa yang kasih perintah sama kamu?” kata Sukarno bertanya kepada ajudannya. Sabur yang ketakutan pun menjawab sambil gelagapan bahwa larangan yang dikeluarkan terhadap Hasjim diambil atas inisiatifnya karena Hasjim merupakan keponakan Bung Hatta yang saat itu merupakan lawan politik Sukarno. Jawaban Sabur membuat presiden makin naik pitam. “Jangan kamu campur adukkan masalahku dengan Bung Hatta. Betul aku tidak suka pada sikap politiknya, tapi dia adalah sahabat baikku, tahu?” Sabur langsung mengambil sikap sempurna dan menyatakan kesiapannya begitu mendengar perkataan Sukarno. “Aku tidak suka kamu larang-larang Hasjim datang ke Istana. Kapan dia suka, dia boleh datang!” Begitulah Sukarno yang diketahui Hasjim. Ia hampir selalu “berkelahi” dengan Bung Hatta dalam soal politik, namun tak pernah terima bila kehidupan pribadi Hatta diusik orang. Saking pahamnya terhadap Sukarno, Hasjim langsung menemui sang presiden begitu mendengar di masyarakat terlontar isu Bung Hatta akan ditangkap tak lama setelah Bung Hatta mengkritik penguasa lewat tulisannya, “Demokrasi Kita”. “’Demokrasi Kita’ ditulis Bung Hatta pada tahun 1960 dan dimuat dalam Pandji Masjarakat, dengan Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya, meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikitpun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct,” tulis Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal dalam Satu Abad Bung Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan . Tulisan itu membuat Sukarno marah. Hasjim melihatnya sendiri ketika bertemu di Istana. “Hai, Hasjim, Hatta itu mau apa sebenarnya menulis begitu?” kata Sukarno, dikutip Hasjim. Namun karena Hasjim tak tahu dan menyuruh Sukarno bertanya langsung pada pamannya, kemarahan Sukarno pun reda dan keduanya kembali bercanda. Yang pasti, tulisan itu dijadikan lawan-lawan politik Hatta untuk mencari simpati politik presiden. “Semua media massa yang memuat tulisan Bung Hatta itu diberangus oleh pemerintah. Sesungguhnya aku tidak percaya Bung Karno sampai mau memerintahkan pemberangusan itu. Meski tahu beberapa di antara media massa itu sangat tidak disukainya, aku percaya bahwa ada kekuatan politik tertentu yang meniup-niupkan api agar pemberangusan terjadi sehingga ketika yang berwenang melakukan pemberangusan itu, Bung Karno membiarkannya saja,” kata Hasjim. Maka begitu bertemu Sukarno di Istana, Hasjim langsung menanyakan benar-tidaknya isu penangkapan Bung Hatta. “Bapak, aku tahu bahwa Bapak tidak pernah bertindak keliru dalam hal-hal yang prinsipil,” kata Hasjim membuka pembicaraan. “Jadi, sekarang jij percaya bahwa aku telah melakukan kekeliruan?” jawab Sukarno untuk mendapatkan kejelasan maksud pertanyaan Hasjim. “Ya, kalau Bapak menangkap Bung Hatta,” kata Hasjim. Jawaban itu membuat Sukarno terperanjat. “Gila kamu bisa berpikir begitu. Tidak ada orang yang bisa berani-berani menangkapnya,” kata Sukarno setengah berteriak.

  • Kisah Penculikan Sjahrir

    PASCA 1945, Republik Indonesia belum menemukan arah politik yang jelas. Sekalipun partai-partai politik seperti Masyumi, Partai Sosialis, Partai Nasional Indonesia, dan sebagainya telah dibentuk, pendirian serta pandangan yang diambil sangat berbeda satu sama lain. Akibatnya, setiap wilayah memiliki sikap tersendiri dalam menjaga tempat bernaungnya. Bangsa ini tidak bisa sedikitpun disebut ajeg. M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since C.1200 menggambarkan situasi Indonesia pertengahan tahun 1946. Situasinya cukup tidak menentu. Terutama setelah Belanda kembali mencoba peruntungannya menguasai Indonesia. Sejumlah daerah dibuat bergolak karenanya. Sementara itu di ranah politik terjadi beberpa peristiwa penting, di antaranya pembentukan Kabinet Sjahrir II, penangkapan Tan Malaka, dan peristiwa Tiga Daerah di Pekalongan. Mengetahui keadaan semakin genting, Perdana Menteri Sutan Sjahrir terus mengusahakan perundingan dengan pihak Belanda. Dia bersikeras agar Belanda mengakui kekuasaan Indonesia secara de facto  dan menghentikan pendaratan bala tentaranya ke tanah air. Memang sejak dari perundingan di Hooge Veluwe tidak ada usulan baru yang diajukan Sjahrir, tetap pada persoalan hubungan baik antar dua negara berdaulat. Menurut Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik  usul perundingan antara Sjahrir dengan pihak Belanda diberitakan secara seenaknya oleh pers Belanda di Jakarta sehingga terjadi salah persepsi di antara para pembaca. Pemerintah Sjahrir pun dituduh oleh rakyatnya sendiri telah menjual negara kepada Belanda. “Karena Sjahrir berdiam diri, maka kecurigaan terhadap pemerintah makin meningkat,” tulisnya. Rupanya sikap Sjahrir tersebut dinilai oleh sejumlah pihak sebagai sikap yang lemah. Dia dianggap tidak tegas dalam mendukung upaya kemerdekaan. Mohammad Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku , menyatakan dirinya pernah mencoba untuk mengendalikan suasana dengan memberi penjelasan tentang isi usul balasan Indonesia pada sebuah rapat raksasa di Yogyakarta. Namun, tokoh-tokoh seperti Mr. Soebardjo, Chaerul Saleh, Iwa Kusumasumantri, dan Dr. Buntaran tetap menilai Sjahrir perlu “diamankan” agar proses melepaskan diri dari Belanda dapat berjalan lancar. Kelompok yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan ini dikenal sebagai oposisi pada era Kabinet Sjahrir. Mereka menginginkan Indonesia bebas sepenuhnya, tanpa intervensi Belanda sedikitpun. Dan penangkapan Sjahrir diyakini dapat mengubah politik diplomasi terhadap Belanda. Sebetulnya ada alasan lain mengapa Sjahrir ditangkap. Rosihan menyebut para oposisi menginginkan Tan Malaka yang tengah ditahan di Madiun dibebaskan dan kembali ke gelanggang politik. Mereka lebih memilih Tan Malaka ketimbang Sjahrir karena dianggap terlalu lemah dalam membangun Indonesia yang baru merdeka. Berbekal surat penangkapan dari Mayjen TNI Sudarsono, Mayor Abdul Kadir Yusuf berangkat ke Solo, ditemani sejumlah lakon oposisi lainnya. “Mereka mengetahui hari itu PM Sjahrir berada di Solo dalam perjalanan inspeksi kembali dari Jawa Timur.” Pada 27 Juni 1946 rencana berhasil dijalankan. Pemerintah dilanda kepanikan. Keadaan darurat pun langsung dikeluarkan presiden. Proses Penangkapan Dikisahkan salah seorang kepercayaan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, penangkapan terjadi di Javasche Bank, Solo. Saat itu dirinya sedang bersama dengan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr Sudarsono, Soemitro Djojohadikusumo, Mayjen Sudibjo, dan Darmawan Mangunkusumo. Sjahrir yang baru pulang dari Jawa Tengah, menginap di Javasche Bank. Sementara Soebadio sendiri telah lebih dahulu berada di Solo. Sekira pukul 11.16 malam, kata Soebadio, Mayor AK Yusuf bersama empat orang masuk ke dalam gedung Javasche Bank. Sambil menodongkan senjata, mereka memaksa Sjahrir untuk ikut ke dalam mobil yang telah mereka siapkan. Sang perdana menteri sempat protes dan berdebat dengan nada keras. Namun ancaman senjata membuat Sjahrir tak berdaya. Akhirnya rombongan itu menuruti apa kemauan AK Yusuf. Namun ternyata tidak semua orang berhasil diamankan. Soebadio dan Sudarsono yang melihat gelagat aneh sesaat setelah perdebatan dimulai segera pergi melepaskan diri. “Saya yang melihat gelagat itu meloloskan diri dengan menggunakan bambu melompat dan mencebur ke dalam kali yang mengalir di sekitar Hotel Merdeka. Dengan menyamar sebagai rakyat biasa, kami naik kereta api di stasiun Gowok menuju Yogyakarta. Setibanya di Yogya saya lapor pada kabinet,” terang Soebadio saat diwawancarai Rosihan Anwar pada 8 Oktober 1994. Dalam biografinya itu, Soebadio menyebut Sjahrir dibawa oleh rombongan AK Yusuf ke Desa Paras, sebuah daerah yang dahulu digunakan Pakubuwono X sebagai tempat meditasi. Di sana dia dititipkan kepada Mayor Soekarto. Menurut keterangan Sutrisno, salah seorang perwira yang bertugas di Paras, ketika penangkapan terjadi, para penjaga di sana tidak mengetahui kalau yang dibawa oleh rombongan AK Yusuf adalah Perdana Menteri Sjahrir. “Dikiranya seorang pembesar yang mau istirahat, makanya Sjahrir diterima dengan baik dan ditempatkan di sebuah pesanggrahan kepunyaan Susuhunan. Kini gedung itu sudah digusur,” ucap Sutrisno sewaktu diwawancarai Rosihan Anwar pada 10 Oktober 1994. Upaya Pembebasan Menurut Sejarawan Ricklefs setelah mendengar kabar penculikan Sjahrir, Sukarno berusaha secepatnya membuat siaran radio. Baginya kejadian itu merupakan peristiwa yang dapat membahayakan persatuan bangsa. Untuk itu, demi menjaga pemerintahan tetap berjalan baik, Sukarno langsung melakukan pengambilalihan kekuasaan. Pada 28 Juni pemerintahan RI di Yogya belum mengetahui dengan jelas lokasi penahanan Sjahrir. Sukarno lalu melakukan siaran radio pada malam 29 Juni. Dia sangat mengecam aksi orang-orang yang melakukan penculikan tersebut. Sukarno juga menuntut pembebasan secepatnya. Si Bung ingin Sjahrir ada di Solo dalam keadaan baik. “Saya tidak ingin menjadi diktator! Saya ingin adanya satu pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat. Saya oleh karena itu hanya untuk sementara waktu saja mengambil segala kekuasaan negara di tangan saya sendiri. Kepada segenap rakyat berpikiran sehat, saya minta ikut berusaha untuk mengembalikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Kemakmuran Ir. Darmawan Mangunkusumo, Mayor Jenderal Sudibjo dan lain-lain yang turut kena culik dengan selamat kepada kami. Ini adalah kewajiban tiap-tiap warga negara Republik Indonesia yang cinta pada Republiknya," demikian isi sebagian pidato Presiden Soekarno tersebut. Setelah mendengar siaran radio Sukarno, orang-orang di Paras mulai menyadari bahwa tamu di tempat mereka adalah Perdana Menteri Sjahrir. Di saat yang bersamaan, AK Yusuf datang untuk membawa kembali Sjahrir. Namun permintaan itu segera ditolak oleh para penjaga di Paras. Mereka yang telah mengetahui identitas Sjahrir ingin mengembalikannya sendiri. Pengawalan Sjahrir dilakukan hingga rombongan tiba di Istana Negara di Yogyakarta pada 30 Juni dini hari. “Bung Karno dibangunkan dan waktu melihat Sjahrir dia langsung merangkul Sjahrir. Ibu Fatmawati juga bangun dan segera membuatkan kopi untuk pasukan yang mengawal rombongan Sjahrir,” tulis Rosihan.*

  • Pengkhianatan Sang Besan

    Kertanegara bimbang. Di hadapannya ada mantan patih, Ragananta dan patih penggantinya, Mahisa Anengah. Ragananta berusaha mengingatkan sang raja tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi dari dalam negeri sementara ia sibuk memikirkan politik luar negerinya. Sang patih tua berpikir adanya kemungkinan balas dendam dari salah satu raja bawahan, Jayakatwang terhadap Singhasari. “Sudah agak lama Jayakatwang tak berseba di Singhasari,” ucap sang bekas patih dalam Kidung Harsawijaya . Namun, Patih Mahisa Anengah punya pendapat berbeda. Semestinya, kata dia, Jayakatwang berutang budi pada Kertanegara. Tadinya dia cuma juru pengalasan di pura Singhasari. Tapi Kertanegara mengangkatnya menjadi raja Kadiri di bawah kuasa Singhasari. “Atas semua itu, beliau tak akan memberontak pemerintahan Yang Mulia,” kata Patih Mahisa Anengah. Apalagi mengingat hubungan mereka. Prasasti Mulamalurung mencatat Turukbali, istri Jayakatwang, adalah saudara Kertanegara. Saudara ipar Kertanegara ini juga rupanya masih sepupunya. Ditambah lagi, menurut Prasasti Kudadu, Jayakatwang kemudian berbesan dengan Kertanegara. Ardharaja diambil mantu oleh Kertanegara. Melihat itu, rasanya tak mungkin Jayakatwang memberontak. Kertanegara pun merasa kemungkinan itu tak masuk akal. Ia menjadi tenang kembali. Ia pun menolak pendapat bekas Patih Ragananta. Ia segera melanjutkan rencananya mengirim utusan ke negeri Malayu untuk mengantar hadiah Arca Amoghapasa. Kerajaan pun kosong. Kekosongan itu dimanfaatkan oleh Arya Wiraraja, penguasa di Madura. Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan menjelaskan, pada masa Kertangera, Wiraraja menjabat sebagai demung atau demang. Tapi kemudian ia dilorot dari kedudukannya dan ditempatkan sebagai Bupati Sumenep. Karenanya Wiraraja tak senang kepada Kertanegara. “Ia merasa diserikkan hatinya. Ia dilorot dari demung dan dipindahkan ke Sumenep sebagai adipati. Ketika datang kesempatan membalas dendam, segera ia gunakan,” jelas Muljana. Wiraraja lalu bermaksud menggunakan Jayakatwang untuk melancarkan kesumatnya itu. Putranya ia utus untuk menyampaikan surat. Baik Kidung Harsawijaya maupun Kidung Panji Wijayakrama , memaparkan isi surat Wiraraja kepada Jayakatwang yang senada. Isinya adalah isyarat tentang kondisi istana Kertanegara. Bahwa Kertanegara telah memecat menteri-menterinya dan menggantinya dengan yang baru. Rakyat dianggap tak puas dengan sikap Kertanegara. “Jika Tuanku hendak berburu ke tegal lama sekaranglah saatnya…,” tulis Wiraraja dalam suratnya. Jayakatwang juga terpa n tik perkataan patihnya kalau moyangnya, Dandang Gendhis atau Kertajaya, binasa karena pemberontakan buyut Kertanegara, Ken Angrok. Kadiri dan bala tentaranya pun musnah akibat dijajah Singhasari. “Padukalah yang mempunyai kewajiban membangun Kerajaan Kadiri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya,” kata sang patih.   Setelah membaca surat Wiraraja dan pendapat patihnya, Jayakatwang segera memerintahkan Patih Kebo Mundarang untuk membagi dua tentara Kadiri. Sebagian pasukan di bawah Sinapati Jaran Guyangditugaskan menyerang Singhasari dari utara. Sisa pasukannya di bawah Patih Mundarang menyerang dari selatan. “Segenap pulau tunduk kepada kuasa Raja Kertanegara, tetapi raja Kadiri, Jayakatwang, membuta dan mendurhaka,” tulis Prapanca dalam Nagarakrtagama. “Raja bawahan bernama Jayakatwang, berwatak terlalu jahat, berkhianat karena ingin berkuasa di wilayah Kadiri.” Dendam Lama Bersemi Kembali Selama ini selalu dikatakan bahwa runtuhnya Kerajaan Singhasari akibat serangan raja Jayakatwang dari Kadiri. Pemantiknya adalah dendam Jayakatwangatas kematian buyutnya, Kertajaya yang ditumpas oleh buyut Kertanegara, Ken Angrok. Menurut Nagarakrtagama, sejak Kertajaya ditumbangkan Sang Rajasa, sudah ada tiga raja yang menggantikannya. Atas perintah Rajasa, raja Jayabasa naik menjadi raja di Kadiri. Ia memerintah selama 36 tahun. Lalu digantikan Raja Sastrajaya yang memerintah 13 tahun. Setelahnya Jayakatwang memerintah di Kadiri. Soal siapa sebenarnya Jayakatwang, dikisahkan berbeda-beda oleh banyak sumber. Nagarakrtagama mengisahkannya sebagai Raja Kadiri, Pararaton mencatatnya sebagai Raja di Daha. Begitu juga Kidung Panji Wijayakrama yang menceritakannya dengan nama Jayakatong sebagai raja di Daha. Sementara Kidung Harsawihaya menyebutnya dengan jelas sebagai raja di Daha, keturunan Dandang Gendhis. Ada juga dalam Prasasti Kudadu yang diterbitkan masa pemerintahan Wijaya sebagai peringatan penetapan sima sekaligus balas jasanya kepada Desa Kudadu. Prasasti ini mengisahkan Sri Jayakatyeng dari Gelang Gelang yang menyerang Sri Kertanegara. “Ia bertindak sebagai musuh, melakukan perbuatan hina, mengkhianati sahabat, mengingkari perjanjian, ingin membinasakan Kertanegara di negara Tumapel,” catat prasasti itu. Mirip dengan pernyataan prasasti, berita Catatan Dinasti Yuan menyebut Jayakatwang sebagai raja dari Kalang. Namanya disebut dengan Haji Katang. Namun setelah ia berhasil membunuh raja Jawa, Haji Gedanajiala (Kertanegara), ia bertakhta di Daha. Di Daha pulalah terjadi pertempuran akhir antara pasukan Mongol di bawah Shibi, Ike Mese, dan Gao Xing yang dibantu pasukan Wijaya melawan pasukan Jayakatwang. Melihat itu, kata ahli epigrafiBoechari, dalam Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti, wajar kalau beberapa sumber, termasuk Kidung Harsawijaya, mencatat alasan pemberontakan Jayakatwang kepada besannya karena dendam. Namun rupanya ada alasan lain yang membuat hubungan keluarga tak lagi berarti. Petunjuknya ada dalam Prasasti Mulamalurung (1255). Prasasti itu antara lain mencatat anak-anak Raja Wisnuwardhana, ayah Kertanegara, yang ditetapkan sebagai penguasa wilayah. Salah satunya disebutkan wilayah Gelang Gelang yang dikuasai Turukbali, putri Wisnuwardhana,istri Jayakatyang yang juga kemenakan Wisnuwardhana. Sementara Nararya Murdhaja, putra Wisnuwardhana yang bergelar Kertanegara dinobatkan di Daha. Ia menguasai wilayah Kadiri. “Jadi, Jayakatwang adalah pangeran dari Gelang Gelang, menyerang dari Gelang Gelang dan setelah berhasil menggulingkan Kertanegara ia menguasai Daha,” jelas Boechari. Sekali lagi, Jayakatwang adalah cucu buyut Kertajaya, raja Kadiri yang dikalahkan Ken Angrok. Ia bisa saja merasa tak senang wilayah kekuasaan moyangnya, yaitu Kadiri, justru diambil raja untuk diberikan kepada putra mahkota. Sementara ia hanya diambil mantu dan mendampingi istrinya sebagai penguasa Gelang Gelang. “Mungkin ini adalah sebab yang lain mengapa ia memberontak terhadap Kertanegara,” kata Boechari. Artinya, kendati sudah diikat hubungan perkawinan sedemikian rupa, Jayakatwang masih menyimpan sakit hati terhadap Kertanegara sejak lama. Namun, sejak menerima surat Wiraraja hingga akhirnya menyerang, ia membutuhkan waktu 38 tahun. Menurut Boechari mungkin Jayakatwang tengah menanti saat yang tepat. Pun ia mungkin juga dilema karena terikat perjanjian damai dengan penguasa Singhasari. “Ia ipar sekaligus besan Kertenegara,” kata Boechari. Karenanya tak berlebihan jika Prasasti Kudadu mengatakan kalau Jayakatwang telah mengkhianati sahabat dan mengingkari janji waktu ia menyerang Kertanegara. Pada akhirnya menyatukan keluarga lewat perkawinan politik juga tak cukup memperoleh koalisi permanen.

  • Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon

    LETNAN KOLONEL Soegih Arto bersekongkol dengan dengan orang-orang kepercayaannya:  Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB setara Kodim), Kapten Kavaleri Cuk Soewondo, dan Letnan Satu Suharto. Mereka punya misi menangkap Panglima Kodam Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon. “Selama bertugas di Medan, peristiwa demi peristiwa terjadi, ada yang agak serius, ada pula yang menjurus ke makar, pemberontakan terhadap pemerintah pusat,” tutur Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Pada 22 Desember 1956, Simbolon memproklamasikan berdirinya Dewan Gajah di depan corong RRI. Dalam deklarasinya, Simbolon menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah untuk sementara waktu. Simbolon juga menyatakan tidak mengakui Kabinet Ali II (Ali-Roem-Idham). Untuk melegitimasi kedudukan, Simbolon mengambil alih pemerintahan di teritorium Sumatra Utara. Soegih Arto menangkap gelagat bahwa Simbolon akan melancarkan pemberontakan. Sebagai perwira paling senior di kalangan pendatang, Soegih Arto didapuk menjadi pemimpin gerakan penangkapan Simbolon. Soegih Arto sempat perang batin karena ketakutan meringkus atasan sendiri. Tapi anak buahnya merongrong karena sudah ada perintah dari Panglima Tertinggi (Presiden Sukarno). “ Overste memimpin gerakan ini, atau Overste tidak akan meninggalkan ruangan ini hidup-hidup. Memimpin gerakan atau mati. Bulat sudah telad kami,” kata Letnan Satu Suharto kepada Soegih Arto dalam sebuah rapat di asrama kavaleri.      Setelah urun rembug, rencana esksekusi Simbolon akhirnya ditentukan: 26 Desember. Pada hari itu, Simbolon mengundang semua perwira teras ke rumahnya dalam sebuah jamuan makan malam perayaan Natal. Soegih Arto datang dengan hati kalut. Sementara itu, dia telah mengerahkan pasukan anti Simbolon sekira satu batalyon banyaknya mengepung Kota Medan, termasuk ke Jalan Walikota No. 2, alamat kediaman Simbolon. Dalam acara jamuan makan itu, suasana sukacita begitu diperlihatkan oleh tuan rumah. Aneka penganan lezat dan hidangan khas Batak berjejal di meja makan.  Pesta Natal merupakan hari raya bagi Simbolon sekeluarga. Simbolon sesekali meninggalkan ruangan makan karena harus menerima laporan anak buahnya via telepon. Kendati demikian,  Soegih Arto mengenang tawa selalui menghiasi wajah Simbolon pada malam itu. Namun bagi Soegih Arto, situasi sungguh genting dan tidak menentu. Makanan enak terasa hambar di lidahnya. Dia takut kalau gerakan bocor. Bisa-bisa, Soegih Arto jadi tawanan di tengah jamuan makan malam. “Begitu kacau pikiran saya, sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena di situ disajikan sayur anjing!” kenang Soegih Arto. Rupanya Simbolon keburu mengendus gerakan pasukan yang menentangnya sedang berjalan menuju Medan. Tapi Simbolon tidak menyadari komplotan Soegih Arto yang hendak meringkus dan menghadapkannya ke petinggi di Jakarta. Jamuan makan di rumah Simbolon akhirnya ditutup lebih awal. Semua perwira diperintahkan kembali siaga ke posnya masing-masing. Soegih Arto menyusut siasat mengepung Simbolon sampai menyerah. Namun dia terlambat, Pagi-pagi buta, Simbolon sekeluarga mengungsi ke arah Tapanuli Utara. Simbolon keluar dari Kota Medan dengan kawalan 400 orang tentara dari Kapten Sinta Pohan yang memihak Simbolon. Dengan lolosnya Simbolon, maka gagallah upaya kelompok Soegih Arto, setelah komandannya sempat hampir kecele memakan daging anjing.

  • Midway, Adu Kekuatan Dua Armada

    SUDAH 77 tahun ia terkubur di dasar Samudera Pasifik tanpa ada yang mengusik. Namun pada 20 Oktober 2019 lalu, posisi bangkainya ditemukan oleh sekelompok arkeolog maritim. Ialah Akagi, kapal induk kebanggaan Angkatan Laut (Jepang) yang jadi kapal komando ( flagship ) dalam Pertempuran Midway, 4-7 Juni 1942. Mengutip CBS News , 21 Oktober 2019, bangkai kapal induk berbobot 42 ribu ton itu ditemukan di 2.100 kilometer barat laut Pearl Harbor, Hawaii. Meski bekas gempuran memenuhi segala sisi badannya, Akagi ditemukan terkubur dalam posisi tegak di kedalaman 5.490 meter. Adalah tim ekspedisi Vulcan Inc. dan Komando Sejarah dan Warisan AL Amerika yang menemukan Akagi menggunakan kapal riset Petrel. Dua hari sebelum Akagi ditemukan, Petrel juga menemukan bangkai Kaga , kapal induk AL Jepang lain yang turut karam di pertempuran yang sama. “Saya yakin dengan apa yang saya lihat di sini. Dimensi yang kami dapatkan dari gambar ini sudah menyimpulkan. Kami juga membaca tentang pertempurannya dan tahu apa yang terjadi. Tapi bisa melihat sendiri di dasar lautan, Anda mendapatkan perasaan tentang semahal apa harga peperangan itu,” tutur Direktur Operasi Bawah Laut Vulcan Inc. Rob Kraft. “Penemuan ini tentang edukasi dan menghidupkan kembali sejarah bagi generasi penerus,” imbuhnya. Diangkat ke Layar Lebar Sebagai satu kisah pertempuran paling menentukan jalannya Perang Dunia II di front Pasifik, Pertempuran Midway pernah difilmkan pada 1976 dengan tajuk Midway . Film yang diproduksi The Mirisch Corporation dengan menggandeng Universal Pictures itu diracik sineas Jack Smight dengan “rombongan” aktor-aktor beken di masanya: Charles Heston, Henry Fonda, James Coburn, Glenn Ford, hingga Toshiro Mifune. Tahun ini film yang mengangkat pertempuran dahsyat itu kembali dilahirkan dengan tajuk serupa, Midway, besutan Roland Emmerich. Sutradara Jerman ini sudah malang-melintang menelurkan karya-karya box offic e macam Universal Soldier (1992), Independence Day (1996), The Patriot (2000), dan White House Down (2013). Emmerich mengumpulkan sejumlah aktor ternama untuk meramaikan filmnya, mulai dari Ed Skrein, Dennis Quaid, Woody Harrelson, Mandy Moore, Aaron Eckhart, Patrick Wilson, hingga Luke Evans. Rencananya, Midway akan tayang di Amerika mulai 8 November 2019, di pekan yang sama dengan perayaan Hari Veteran (11 November). Bagi Emmerich, bisa menggarap Midway adalah mimpi terpendam yang akhirnya terwujud. Dalam wawancaranya dengan James Barber yang dimuat military.com , 4 Juni 2019, ia sudah mencetuskan ide ingin menggarap kisah Pertempuran Midway sejak dua dekade lampau. “Saat itu saya masih terikat kerjasama dengan Sony, tapi karena studionya yang punya orang Jepang, jadi mereka tidak terlalu berminat karena filmnya akan dirasa membuat mereka (orang Jepang) sebagai pecundang. Saya selalu bilang bahwa saya tak ingin menonjolkan Jepang sebagai pecundang. Adalah pembuat kebijakan yang memulai perang. Bukan Angkatan Laut mereka,” tutur Emmerich. Kapal Induk Akagi saat masih gagah berlayar (kanan) & saat ditemukan di dasar laut (Foto: US Navy National Museum of Naval Aviation/Facebook RV Petrel) Butuh 20 tahun bagi Emmerich untuk bisa merealisasikannya, setelah bernaung di bawah raksasa film Lionsgate. Menengok trailer- nya yang sudah bertebaran di YouTube sejak 12 September 2019, Midway sudah terasa geregetnya. Emmerich menghadirkan babak demi babak yang menyebabkan Pertempuran Midway terjadi. Sebagaimana rangkaian kisah aslinya, Emmerich juga menonjolkan kekuatan udara dalam pertempuran di laut. Sebagaimana diketahui, Pertempuran Midway merupakan pertempuran laut pertama di dunia yang seluruhnya mengandalkan kapal induk dengan ratusan pesawat-pesawatnya tanpa diikuti baku gempur klasik antar-kapal tempur dengan meriam-meriamnya. “Sebelumnya ada Michael Bay dan Jerry Bruckheimer yang membuat Pearl Harbor (2001). Saya selalu ingin memulai film saya dengan (pembokongan) Pearl Harbor karena Anda hanya akan paham tentang Midway ketika Anda memperlihatkan Pearl Harbor,” sambungnya. Namun, Emmerich tak bisa menggarapnya dengan kelengkapan properti asli. Kapal-kapal perang di era itu yang kini masih bisa beroperasi sudah tak lagi ditemukan. Emmerich terpaksa harus membuat tiruannya dan mengombinasikannya dengan bluescreen. Pun dengan pesawat-pesawatnya. Untuk menghindari tersandung soal akurasi sejarah, Emmerich mengajak pakar riset film sejarah Kirk Petruccelli. Sebelumnya, Petruccelli juga diajak Emmerich kerjasama mengerjakan The Patriot. Meski jadwal resminya belum keluar, Midway patut dinanti lantaran sudah masuk dalam daftar Coming Soon . Semoga tak dikangkangi film-film genre horor hingga drama percintaan yang tengah marak. Pukulan Telak di Tengah Samudera Pasifik Bagi yang menantikan filmnya, akan lebih seru jika mengorek informasi tentang apa yang terjadi di tengah Samudera Pasifik 77 tahun lewat itu. Bagaimana sebuah atol bisa begitu penting arti strategisnya buat armada AL Jepang maupun Amerika? Mendiang jurnalis senior P.K. Ojong dalam Perang Pasifik menggambarkan atol Midway yang diameternya hanya enam mil dan kadang tergenang air laut, letaknya di antara Tokyo dan San Francisco. Oleh karenanya, Amerika menamainya Midway alias setengah jalan. Pasca-Pearl Harbor dibombardir Jepang pada 7 Desember 1941, Amerika melengkapi atol itu dengan landasan-landasan pesawat. “Kekuatan Jepang berada di puncaknya Maret 1942 ketika tujuan utama penguasaan sumber-sumber minyak di Indonesia tercapai. Tapi setelah kemenangan gilang-gemilang ini menjadi kenyataan, Tokyo tidak punya program konkret selanjutnya,” ungkap Ojong. Laksamana Chester Nimitz (kiri) & Isoroku Yamamoto, dua panglima tertinggi di Pertempuran Midway (Foto: Naval History & Heritage Command) Jepang sempat bingung apakah akan mengalihkan perhatian ke Burma dan India menghadapi Inggris atau Australia. Jepang merasa Amerika belum bakal bangkit setelah terpuruk di Pearl Harbor. Jepang yang terlena baru insyaf kala Tokyo dibombardir pesawat-pesawat Amerika lewat Serangan Doolitle, 18 April 1942. Ternyata Amerika masih mampu memberi perlawanan. Serangan perhitungan Amerika atas pembokongan Pearl Harbor itu dicanangkan Letkol James Harold Doolittle, perwira cadangan dalam Korps Udara Angkatan Darat Amerika. Tidak hanya mengarsiteki serangan dari Kapal Induk USSHornet , Doolitle memimpin langsung penyerangan itu hingga serangan itu diabadikan dengan namanya, Doolittle Raid. Meski militer Jepang syok ibukotanya bisa diserang, hikmahnya mereka punya fokus baru: menghancurkan armada Amerika di Pasifik tanpa niat maju terus sampai pantai barat Amerika. Namun, Amerika menyangka Jepang bakal melaju sampai daratannya. Laksamana Isoroku Yamamoto, panglima kaigun (angkatan laut Jepang), lantas merujuk target berikutnya, yakni Midway, untuk merebut Pearl Harbor, pusat AL Amerika di Pasifik. Yamamoto ingin armada Amerika, utamanya kapal-kapal induknya, segera dihancurkan sebelum industri AL Amerika bangkit lagi. Namun Yamamoto dan para petinggi kaigun tak mengetahui bahwa Amerika sudah tahu “isi perut” Jepang. Kendati jumlah kekuatan armada Jepang jauh lebih unggul, Amerika punya keuntungan berupa keberhasilan tim intelijen AL Amerika memecahkan kode AL Jepang tanpa disadari Jepang. Amerika pun sudah belajar dari kegagalan intelijennya di Pearl Harbor. “Sejak 1942 Amerika punya unit khusus memecahkan kode militer Jepang yang berbasis di Stasiun Radio HYPO di Hawaii. Kode yang dipecahkan HYPO mampu menentukan tanggal serangan, bahkan memberi informasi perintah pertempuran AL Jepang lengkap kepada (Panglima Armada Amerika di Pasifik, Laksamana Chester) Nimitz,” sebut sejarawan Michael Smith dalam The Emperor’s Codes: Bletchley Park and the Breaking of Japan’s Secret Ciphers. Dengan bekal kode itu, Nimitz tinggal menyesuaikan strategi meski armadanya kalah jumlah. Ia pun jadi tahu rencana Yamamoto yang mengirim manuver “pancingan” ke Kepulauan Aleut. Yamamoto pun tak insyaf Nimitz tidak termakan manuver pengalihan perhatian itu. Nimitz memusatkan kekuatan Armada Pasifiknya tetap di Midway. “Sementara Yamamoto memecah kekuatannya dengan berharap Nimitz terpancing dan mengirim armadanya ke sana,” imbuh Ojong. Dalam memancing Nimitz ke jurusan Aleut, Yamamoto mengerahkan 10 kapal perangnya, termasuk dua kapal induk. Jika Yamamoto tak memecah kekuatannya untuk memancing Nimitz dan memusatkannya di Midway, mungkin cerita Pertempuran Midway bakal beda. Jepang bisa mengerahkan enam kapal induk, bukan empat. Sedangkan Amerika hanya punya tiga di Midway. Aleut memang kemudian sukses direbut Jepang pada 3-4 Juni, namun Aleut tak punya arti strategis. Sejarawan militer Inggris Mayjen J.F.C. Fuller dalam The Decisive Battles of Western World jilid III menyingkap, armada gabungan Jepang totalnya 131 kapal, belum termasuk ratusan pesawat. AL Jepang membawa serta empat dari enam kapal induk “veteran” Pearl Harbor: Hiryu , Soryu , Kaga dan Akagi yang menjadi flagship alias kapal komando di bawah pimpinan Laksamana Madya Chuichi Nagumo. Sementara, dari 50 kapal perangnya, Amerika hanya diperkuat tiga kapal induk: USS Yorktown , USS Enterprise dan USS Hornet . Namun, jumlah pesawat Amerika lebih banyak lantaran tidak hanya yang berdiam di “perut” ketiga kapal induknya, namun juga ada ratusan lain yang berbasis di Atol Midway. Atol Midwal diperebutkan Amerika dan Jepang (kiri) & Kapal Induk Hiryu jelang karam usai dihantam pesawat-pesawat Amerika (Foto: Naval History & Heritage Command) Adu kuat dua armada pun terjadi mulai 4 Juni 1942 di perairan Midway. Gegara blunder strategi oleh Nagumo, Jepang kehilangan keempat kapal induknya, termasuk Akagi, yang memaksa Nagumo diungsikan ke salah satu kapal penjelahnya. Yang fatal, Nagumo salah taktik. Dia mempersenjatai ratusan pesawatnya dengan bom untuk membombardir atol. Padahal, dalam pertempuran laut modern menggunakan pesawat, lebih efektif menyerang kapal musuh dengan torpedo ketimbang bom biasa. Maka begitu pesawat-pesawat Amerika dari tiga kapal induk dan atol lebih dulu mendatangi mereka, Jepang ketinggalan start . Butuh satu jam untuk mengganti persenjataan ratusan pesawat dan itu memainkan peran vital. “Mulanya muatannya torpedo (karena Nagumo tak melihat kedatangan armada Amerika), kemudian ditukar dengan bom, kini diganti lagi dengan torpedo. Nah lalu ini seperti pertandingan cepat tukar baju saja,” sebut Ojong lagi. Pertempuran yang bergulir hingga 7 Juni itu menendatangkan malapetaka besar AL Jepang yang pertama sejak 350 tahun, yakni ketika armada Jepang dipukul telak pada 14-15 Agustus 1592 oleh armada Korea yang dipimpin Laksamana Yi Sun Shing di Pertempuran Kepulauan Hansan. Kabar kekalahan ini ditutup-tutupi petinggi militer Jepang agar tak kehilangan muka di hadapan Jepang publik Jepang maupun negeri-negeri jajahannya. Sejak itu, armada Jepang selalu dalam posisi defensif. “Kalau ini diketahui kita yang berada di Indonesia, alangkah berbedanya pandangan kita terhadap kekuatan Jepang,” tandas Ojong.

  • Celana Dalam Al-Baghdadi dan Kahar Muzakkar

    SAAT disergap pasukan Amerika Serikat pada 27 Oktober 2019, Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin ISIS, melarikan diri ke terowongan. Dia meledakkan dirinya yang juga menewaskan tiga anaknya. Tes DNA pada sisa tubuhnya memastikan kematian Al-Baghdadi. Setelah disalatkan, sisa tubuhnya dilarung ke laut seperti pemimpin Al-Qaeda, Osama bin Laden, pada 2011. Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengecilkan peran pasukan Kurdi, Kekuatan Demokratik Suriah (SDF), dalam operasi itu. Trump menyebut Kurdi memberikan informasi yang membantu, namun sama sekali tidak melakukan peran militer. Polat Can, komandan senior SDF, pun bersuara lewat akun twitternya. Dia mengungkapkan bahwa SDF bekerja sama dengan CIA untuk melacak Al-Baghdadi sejak 15 Mei 2019, dan menemukan persembunyiannya di Provinsi Idlib. Al-Baghdadi akan pindah ke tempat baru di Jarablus namun keburu diserbu. “Semua intelijen dan akses ke Al-Baghdadi di samping identifikasi tempatnya adalah hasil pekerjaan kami. Sumber intelijen kami terlibat dalam pengiriman koordinat, mengarahkan penurunan satuan dari udara, terlibat bagi keberhasilan operasi sampai saat-saat terakhir,” kata Polat Can dikutip bbc.com . Bahkan, Can mengungkapkan, mata-matanya berhasil mencuri celana dalam Al-Baghdadi yang digunakan untuk tes DNA. “Sumber kami sendiri, yang telah dapat menjangkau Al-Baghdadi, membawa celana dalam Al-Baghdadi untuk dites DNA dan dipastikan (100%) bahwa orang yang dimaksud adalah Al-Baghdadi sendiri,” cuitnya pada 28 Oktober 2019. Dalam sejarah Indonesia, tentara Indonesia juga pernah mengidentifikasi pemimpin pemberontakan, Kahar Muzakkar, dengan celana dalam. Pada 3 Februari 1965 pukul 4:00, pasukan Peleton I/Kompi D dalam Operasi Kilat mengepung tempat persembunyian Kahar Muzakkar, pemimpin DI/TII, di sekitar Sungai Lasolo, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara. Pertempuran hanya berlangsung lima menit. Mayat-mayat yang ada dikumpulkan untuk diidentifikasi. Salah satunya diyakini mayat Kahar, orang yang ditakuti sejak tahun 1950 dan mengangkat dirinya sebagai khalifah RPII (Republik Persatuan Islam Indonesia). Kahar meninggal tepat di Hari Raya Idulfitri. Mayat Kahar dibawa ke pos TNI terdekat. Dari pos tersebut barulah informasi kematian Kahar disampaikan melalui radiogram ke pos komando di Pakue. Brigjen TNI M. Jusuf, Panglima Operasi Kilat, dan Brigjen TNI Rukman kebetulan berada di sana sedang merayakan Lebaran bersama pasukannya. Jusuf lalu meneruskan berita kematian Kahar kepada Menteri/Pangad Letjen TNI Achmad Yani yang saat itu juga langsung melaporkannya kepada Presiden Sukarno. Dari pos komando Pakue, Jusuf membawa jenazah Kahar dengan helikopter Mi-4 ke bandar udara Hasanuddin di Makassar. Achmad Yani mengutus Deputi I/Pangad Mayjen TNI Moersjid untuk memastikan yang mati benar-benar Kahar. Setelah melihat jenazah itu di bandara, Moersjid dibekali sejumlah foto segera terbang ke Jakarta untuk melaporkannya kepada Achmad Yani. Jenazah Kahar lalu dibawa ke rumah sakit tentara di Makassar. Jusuf memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat jenazah itu dan memastikan sendiri bahwa yang mati benar-benar Kahar. “Sejak di Pakue saya telah memastikan bahwa yang meninggal adalah Kahar. Ciri utama dari Kahar adalah tahi lalat, gigi emas, dan yang paling penting adalah celana dalam dengan bordiran huruf KM (Kahar Muzakkar). Beliau tidak mau memakai sembarang celana dalam, kecuali yang dibordir khusus oleh istrinya yang keempat,” kata Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit  karya Atmadji Sumarkidjo. Menurut Atmadji salah satu orang yang mendapat kesempatan langka memotret jenazah Kahar adalah wartawan Boet Ph M. Rompas. “Dia juga memotret celana dalam Kahar dengan inisial dua huruf KM yang jelas terlihat,” tulis Atmadji. Jusuf kemudian memerintahkan jenazah Kahar dikuburkan. Jusuf dan Kolonel Solichin GP, Kepala Staf Operasi Kilat, tidak pernah menceritakan di mana Kahar dimakamkan dan siapa yang diperintahkan memakamkannya. “Jusuf sendiri tetap konsisten dengan sikapnya, dan tidak pernah mau menceritakan di mana dia memerintahkan Kahar Muzakkar dimakamkan sampai dia meninggal pada September 2004,” tulis Atmadji.*

  • Ragam Cerita dari Tes DNA

    Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) di Museum Nasional 15 Oktober–10 November 2019. Pameran ini menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia serta sejarah manusia ditinjau dari segi arkeologis dan antropologis.  Pameran ASOI juga memaparkan sejarah DNA (Asam Deoksiribonukleat) dan bagaimana tes DNA bisa melacak asal-usul moyang seseorang. Untuk itu, Historia mengadakan serangkaian tes DNA terhadap sejumlah tokoh publik dari beragam panggung, dari politik sampai seni. Antara lain Ariel Noah, Grace Natalie, Najwa Shihab, Mira Lesmana, Riri Riza, Budiman Sudjatmiko, Ayu Utami, dan Hasto Kristiyanto. Hasil tes DNA tokoh publik tersebut ditampilkan secara gamblang dalam pameran ini. Juga tanggapan mereka tentang tes DNA dan hasilnya. Berikut ini sepenggal tanggapan mereka. Grace Natalie & Ayu Utami Grace mengatakan dirinya berasal dari Bangka, Timur Sumatra. Tapi dia tak tahu pasti kampung halaman leluhurnya. Dari cerita ibu dan pengalaman bertemu dengan saudara, Grace mengetahui kakek buyut dari pihak ibu berasal dari Tiongkok lalu menetap lama di Bangka. Leluhurnya kemudian menikah silang dengan orang tempatan. Hasil tes DNA memperkaya pengetahuan Grace tentang asal-usul leluhurnya. Dia punya DNA Timur Tengah, yaitu suku Afghanistani. “Gak Nyangka. Yang penampakannya kayak saya begini ternyata dulu-dulunya banget ada leluhur Afghanistan,” kata Grace. Novelis Ayu Utami (kiri) dan Grace Natalie (kanan) sama-sama terkejut dengan hasil DNA mereka. (Fernando Randy/Historia). Novelis Ayu Utami pun terkejut punya gen Timur Tengah dan India. “Mayoritas gen saya karena saya dari Jawa, memang pasti dari Asia. Tapi yang tidak saya duga, yaitu dari gen Timur Tengah, spesifiknya Kurdi. Suatu data yang menarik dan kebetulan juga berasal dari daerah-daerah yang punya sejarah agama dan pemikiran yang asyik,” ujar Ayu. Najwa Shihab Mudah menebak Najwa berasal dari mana jika melihat tampangnya. Dia punya tampang kearab-araban. Tapi hasil tes DNA menyatakan lain. Persentase DNA Arab yang dia miliki hanya 3.4%. Selain itu, ada pula DNA Puerto Rico. Meski dia tidak tahu mengapa bisa leluhurnya berada di sana, Najwa merasa senang karena beragam gen mengalir di dalam dirinya.  Ekspresi Najwa saat mengetahui hasil tes DNA miliknya. (Fernando Randy/Historia). “Selalu menyenangkan untuk tahu lebih banyak tentang diri sendiri terutama asal-usul kita,” kata Najwa. Dia menyadari keberagaman suku di Indonesia merupakan sebuah nilai yang sangat besar. Menurutnya sangat menarik bisa menggambarkan kekayaan Bhineka Tunggal Ika lewat tes DNA. Najwa tampak tersenyum saat mengetahui hasil tes DNA miliknya. (Fernando Randy/Historia). Hasto Kristiyanto Sebagian besar DNA moyang Hasto berasal dari Asia Timur. Yang menarik, dia juga memiliki jejak moyang dari Timur Tengah, yaitu Semitik yang kemungkinan besar dari orang-orang Samaria (kini di Palestina). Hasto Kristiyanto usai pengambilan sampel untuk tes DNA di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). “Saya tidak kaget. Sejak awal saya meyakini bahwa Nusantara adalah titik temu dari berbagai ras, etnis, dan peradaban dunia. Sehingga kita tidak bisa mengatakan diri kita asli. Inilah kita semua, perpaduan dari berbagai etnis dunia,” kata Hasto. Riri Riza Sutrada Riri Riza mempunyai banyak suku India dalam tubuhnya. (Fernando Randy/Historia). Riri mengaku senang mengetahui hasil DNA-nya. Dia memiliki DNA dominan dari Asia Selatan. “Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang besar,” kata Riri. Hasil tes juga membawanya ke pemahaman baru mengapa dia begitu nyaman dengan aroma, rasa, atau lingkungan yang banyak orang Indianya. “Saya Muhammad Rifai Riza dan saya merasa sangat nyaman,” tambahnya. Mira Lesmana dan Riri Riza tampak serius membaca hasil tes DNA milik mereka. (Fernando Randy/Historia). Mira Lesmana Mira Lesmana cukup kaget dengan hasil tes DNA miliknya. (Fernando Randy/Historia). Bagi Mira, informasi terkait leluhur sangat penting. Karena dapat membuktikan bahwa setiap manusia terkait satu sama lain. Proyek DNA juga bagi Mira memberikan gambaran bahwa tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior. “Kita harus menyadari bahwa siapa kita itu tergantung dari diri kita sendiri dan kita tidak boleh merendahkan yang lain,” tutup Mira. Ariel Noah Nazril Irham atau yang populer disapa Ariel Noah mengaku kerap menerima celetukan “rasis” dari teman-temannya. “Ah pelit lu, Padang!” Begitulah celetukan yang jamak diterima oleh musikus kelahiran 16 September 1981 itu. Namun alih-alih menanggapi, Ariel tak ambil pusing dengannya. Ia menganggapnya semata selorohan saja. “ Nggak sampai  bully , hanya ejekan ringan,” kata Ariel sambil terkekeh. Ekspresi Ariel saat mengetahui terdapat gen Yunani dan Siprus di dirinya. (Fernando Randy/Historia). “Kita satu negara bisa banyak sekali keberagamannya. Dan itu menarik. Berbekal dari pengetahuan masa lalu, bagus untuk masa depan. Terutama menghindari  bully  yang tak perlu tentang kesukuan,” kata Ariel. Ariel tampak serius menyimak hasil tes DNA miliknya. (Fernando Randy/Historia). Budiman Sudjatmiko Politisi Budiman Sudjatmiko tersenyum usai mengetahui hasil tes DNA dirinya. (Fernando Randy/Historia). Budiman Sudjatmiko merasa terkejut memiliki DNA dari Samaritan serupa seperti rekannya, Hasto Kristiyanto. “Saya terkejut, kok, satu partai (PDI Perjuangan) sama-sama turunan, kalau dalam Alkitab, Yesus menyebut The good Samaritan , yaitu orang Samaria yang baik. Orang Samaria yang menolong sesamanya tanpa melihat asal-usul dan agamanya, dan kelihatannya cocok dengan ideologi kita, Bung Hasto,…Marhaenisme,” kata Budiman sambil tertawa. Budiman Sudjatmiko saat ditemui di kawasan Senayan Jakarta. (Fernando Randy/Historia ).

  • Kudeta Paman Sam di Vietnam

    HARI ini, 2 November, 56 tahun lalu. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya Ngo Dinh Nhu tewas dibunuh sekelompok Tentara Republik Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN). Pembunuhan itu merupakan kelanjutan dari kudeta yang dilakukan sehari sebelumnya di bawah pimpinan Jenderal Duong Van Minh yang populer disapa Big Minh, penasehat militer Presiden Ngo Dinh Diem. Kudeta di Vietnam Selatan semasa Perang Vietnam tengah berkecamuk itu membuka rangkaian kudeta militer yang kemudian datang silih berganti. Kudeta November itu sendiri dilatari kekecewaan banyak pihak, temasuk Amerika Serikat (AS) yang awalnya merupakan penyokong utama Diem. Sejumlah jenderal teras di ARVN, termasuk Minh, sudah lama kecewa terhadap diktator Diem yang sarat KKN dan diskriminatif terhadap mayoritas umat Budha. Dua upaya penggulingan Diem pun dilakukan militer pada 1960 dan 1962. Namun semua upaya itu gagal dan berujung pada penghukuman terhadap otak pemberontakan-pemberontakan itu. Minh yang sudah kecewa terhadap Diem, membiarkan kedua upaya penggulingan itu meski dia tak terlibat di dalamnya. Akibatnya, dia dicopot dari jabatannya sebagai panglima komando ARVN dan didudukkan Diem sebagai jenderal tanpa komando dengan menjadi penasehat militer presiden. Kekecewaan militer menemukan “jalan” ke arah gerakan setelah memburuknya ketidakpuasan di kalangan mayoritas umat Budha akibat diksriminasi oleh Diem. Sudah bukan rahasia bila Diem menganakemaskan penganut Katolik. Kenaikan pangkat sipil maupun militer dilakukan berdasarkan preferensi agama, di mana Katolik lebih diutamakan dari Buddha. Pemerintah juga memprioritaskan kontrak-kontrak bisnis dengan pemerintahan, bantuan bisnis, keringangan pajak kepada para pemeluk Katolik. Yang paling kentara, prioritas itu membuat gereja Katolik selaku pemilik tanah terbesar di Vietnam Selatan bisa terbesas dari reforma agraria. Pada awal Mei 1963, pemerintah kota Hue, ibukota Vietnam semasa kerajaan, mengizinkan pengibaran bendera agama di gereja-gereja Katolik dalam perayaan ulangtahun Uskup Agung Ngo Dinh Thuc yang juga kakak dari Presiden Diem. Sebaliknya, pemerintah melarang pengibaran bendera tradisional Budha di Pagoda Tu-Dam saat perayaan kelahiran Budha, 8 Mei. Para pemuka Budha setempat pun protes. “Pada 8 Mei, perselisihan yang berlangsung lama meletus menjadi demonstrasi jalanan di Hue ketika umat Buddha menuntut untuk mengibarkan bendera agama mereka. Pemerintah merespons dengan pentungan, gas air mata, dan tembakan, yang menewaskan beberapa demonstran dan penonton, termasuk anak-anak. Beberapa kematian disebabkan oleh tembakan pemerintah; yang lain dari bom, granat yang dilemparkan ke kerumunan, dan kepanikan umum setelah tentara menembak ke kerumunan,” tulis Robert D. Schulzinger dalam A Time for War: United States and Vietnam, 1941-1975 . Kerusuhan dengan sembilan korban jiwa di Hue itu segera menjalar ke Saigon (kini Ho Chi Minh City). “Puncaknya terjadi pada 11 Juni, ketika seorang biksu Buddha berusia 73 tahun, Thich Quang Due, mengubah pemberontakan Budha setempat menjadi krisis internasional dengan menyiramkan bensin ke dirinya sendiri dan membakar dirinya hingga mati di tengah persimpangan Saigon yang sibuk. Dia telah mengingatkan awak pers internasional sebelum mengambil nyawanya agar foto-foto bunuh dirinya direkam dalam film dan disiarkan ke seluruh dunia,” sambung Schulzinger. Saat Minh dan Kepala Staf ARVN Mayjen Tran Van Don menghadiri latihan militer SEATO di Thailand, keduanya diinformasikan tentang besarnya keresehan di tingkat regional terhadap perlakuan diskriminatif Diem kepada umat Buddha. Kabar kerusuhan itupun akhirnya sampai ke Washington. Roger Hilsman, asisten Sekretaris Negara, sampai marah. “Di sini Anda punya negeri berpenduduk 95 persen penganut Budha, dipimpin seorang Vietnam berbahasa Prancis yang menyerang pagoda, membunuh para biarawati, dan membunuh para pemimpin Budha,” ujarnya, dikutip Van Nguyen Duong, mantan perwira AU Vietnam Selatan yang melarikan diri ke AS, dalam The Tragedy of the Vietnam War: A South Vietnamese Officer’s Analysis. Pemerintahan Kennedy yang berada dalam posisi zig-zwang pun mulai mempertimbangkan penggulingan Diem. Sudah sejak September Kennedy memang mulai meninjau ulang dukungannya terhadap diem. Namun, upaya itu belum sampai pada pikiran penggulingan. Retaknya hubungan pemerintahan Kennedy dan Diem itu bermula dari penyerangan pers Saigon terhadap Sekretaris Negara Dean Rusk dan kebijakan AS di Vietnam. Dengan adanya kerusuhan berdarah sejak akhir Oktober, Kennedy mengambil kebijakan lain. “Kerusuhan Buddha atas dugaan penganiayaan agama dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama musim panas 1963 memberi AS motif ‘perlu dan cukup’ untuk melenyapkan Diem dan Nhu. Nhu, terutama, dituduh menggerakkan kepolisian rahasia dan mengarahkan ARVN untuk membunuhi demonstran Budha dan menangkap biksu, biksuni, dan mahasiswa Budha, setelah percikan pertama oposisi Budha yang diadakan di Hue,” sambung Nguyen. Kebijakan baru itu diwujudkan salah satunya dengan menempatkan Henry Cabot Lodge sebagai Duta besar AS untuk Vietnam Selatan, menggantikan Frederic Nolting yang amat dekat dengan Diem. Dengan wewenang amat besar yang diberikan padanya, Lodge terus mengupayakan kebijakan Washington dengan bantuan Letkol Lucien Conein, veteran AD Prancis yang malang-melintang di Vietnam dan pernah bekerja pada Ho Chi Minh. Lewat Lucien, kebijakan baru AS itu bertemu dengan kepentingan para petinggi militer Vietnam Selatan penentang Diem seperti “Big” Minh dan Kepala Staf ARVN Jenderal Tran Van Don. Di bawah arahan Lodge, rapat-rapat rahasia diadakan dengan para jenderal pengomplot. Kesepakatan akhirnya: Diem harus digulingkan. Lodge menujuk “Big” Minh memimpin kudeta itu. Pada 1 November, Istana Gia Long, Saigon dikepung prajurit-prajurit yang setia pada para jenderal pengomplot. Begitu mereka memasuki istana, Diem dan saudaranya tidak ada di sana lantaran sudah melarikan diri ke Cholon. Melalui hubungan telepon, Minh akhirnya membujuk Diem agar kembali ke Saigon dengan imbalan Lodge memberinya penerbangan keluar negeri untuk menyingkir. Pada akhirnya, bujukan Minh itu berwujud lain, yakni perintah terhadap ajudannya untuk menghabisi Diem. “Di jam-jam awal pagi 2 November 1963, presiden Vietnam Selatan Nho Dinh Diem dan saudara lelakinya Ngo Dinh Nhu dibunuh sebagai bagian dari kudeta yang diatur pada hari sebelumnya oleh sejumlah jenderal ARVN. Tiga minggu kemudian, 23 November, Presiden AS John F Kennedy dibunuh di Dallas,” tulis Nguyen.

  • PSM Makassar dalam Anging Sejarah

    IBARAT kapal phinisi yang mengarungi lautan, PSM Makassar ikut terombang-ambing kala kondisi persepakbolaan bangsa sejak era kolonial hingga milenial bergolak. Namun, tempaan gelombang dalam lintasan sejarah panjangnya membuat tim berjuluk “Juku Eja” itu “dewasa” hingga bertahan di jajaran tim-tim elit di tanah air. CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin alias Appi tahu betul seperti apa eksistensi PSM bagi masyarakat di Kota Makassar maupun seantero Sulawesi Selatan. Sejak kecil dan bertumbuh di Makassar, menantu bos Bosowa Corp Aksa Mahmud itu sudah gandrung dengan PSM. “Seperti anak-anak Makassar di usia saya, akan sangat bangga mengenal PSM. Enggak ada kebanggaan lain yang kita bawa di kota ini selain PSM,” cetus Appi yang berbincang dengan Historia di ruang VIP Stadion Andi Mattalatta usai menyaksikan timnya menggilas Arema FC, 6-2, dalam laga tunda pekan ke-23 Liga 1, Rabu 16 Oktober 2019 malam. Sejak menakhodai PSM pada 2016, Appi menggulirkan sejumlah gebrakan. Salah satunya, mengganti logo klub. Sejak 1959 atau delapan tahun pasca-pergantian nama dari Makassarsche Voetbalbond (MVB) menjadi Persatuan Sepakbola Makassar (PSM), logo tim itu serupa dengan logo Pemkot Makassar: kapal Phinisi di tengah perisai yang dihiasi motif benteng. Munafri Arifuddin, CEO PSM Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Pada 15 April 2017, PSM menggunakan logo baru berupa perisai merah warna kebanggaan klub dan kota Makassar dan kapal phinisi dengan background bola sepak. Logo itu penyempurnaan dari 10 karya terbaik sayembara yang dipilih jajaran PT Persaudaraan Sepakbola Makassar (PT PSM), manajemen yang menaungi PSM. “Di tahun kedua saya pegang manajemen, saya beranikan diri mengganti logo. Saya mencoba keluar dari pakem bahwa PSM adalah klub perserikatan,” lanjutnya. Di bagian bawah perisai logo itu dicantumkan tahun berdirinya klub: 1915. Dalam sejarah klub yang dimuat situs resmi PSM, dicantumkan tahun kelahiran PSM adalah 1915. Namun, sejatinya tahun lahirnya PSM masih jadi perdebatan, yakni apakah 1915 atau 1916. Lahir 1915 atau 1916? MVB bukanlah klub tertua di “Kota Anging Mamiri”. Koran Soerabaijasch Handelsblad edisi 17 Juni 1939 memberitakan, tim tertua di Makassar adalah Prosit. Perkumpulan amatir milik orang Belanda itu berdiri sejak 1909. “Kemudian Excelsior usianya 25 tahun dan Vios pada 23 Juni nanti akan merayakan hari jadinya yang ke-23. Bekas klub ‘Jong Ambon’ sudah beruban nama jadi Zwaluwen pada 1932. Tetapi hanya Excelsior dan Vios yang punya lapangan sendiri. Lainnya kemudian menumpang di lapangan Makassarschen Voetbalbond,” demikian berita koran tersebut. Orang-orang Belanda punya banyak klub amatir, seperti Osvia dan PSV. Total ada 15 tim di bawah naungan MVB yang diberitakan koran itu. Namun, tidak hanya orang-orang Indo, Belanda, dan Ambon yang punya klub di sana. Sepakbola di sana juga menyebar di komunitas Arab, Tionghoa, dan bumiputera. Komunitas Arab punya klub Annasar, masyarakat Tionghoa punya Excelsior dan Nam Hwa, dan bumiputera punya Mangoeni, MOS (Maen Oentoek Sport), Celebes Voetbalbond, dan Bintang Prijaji. Versi lain dari suratkabar Makassarsche Courant , 1 Maret 1916 menyebut, MVB lahir tahun 1916, bukan 1915 sebagaimana yang dirujuk klub PSM . “Memang disebutkan klub tertua di Liga Indonesia. Tapi kan masih didebatkan sebenarnya apakah benar 1915?” tutur Sulaeman, media officer PSM. Skuad PSM Makassar tengah berlatih di Stadion Andi Mattalatta/Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Dalam berita suratkabar itu, MVB berdiri pada 27 Februari 1916. Kisahnya berawal dari digelarnya kompetisi lokal berisi belasan klub amatir di atas dari 2 November 1915 sampai Februari 1916. Selepas kompetisi, 12 klub yang berlaga itu duduk bersama dalam sebuah forum yang dipimpin seorang kontrolir, M.L. Hartwig. Mereka sepakat membentuk satu tim besar, MVB, untuk menaungi bond-bond amatir itu, 27 Februari 1916. “Secara aklamasi terpilih M.L. Hartwig (ketua), E. Bouvy (wakil ketua), F. van Bommel (sekretaris/bendahara), J.W.G. Boukers, W.R. Groskamp, O. Thiele, Sagi dan Mangkalan (direksi). Anggota wajib membayar iuran f 2,50 (2,50 gulden) per bulan,” sebut koran itu. Di jajaran petinggi MVB, menariknya terdapat dua nama dari golongan bumiputera: Sagi dan Mangkalan. Sementara Mangkalan sampai kini masih misterius, Sagi tercatat sebagai kapten Bintang Prijaji, tim bumiputera yang turut mendirikan MVB. Situs data RSSSF mencantumkan keterangan serupa. Selepas lempar jangkar, MVB berlayar dengan arah sedikit berbeda dari klub-klub di Pulau Jawa. Di Jawa, lazim terjadi persaingan berbau politik antara klub-klub Belanda, bumiputera, dan Tionghoa. Sementra, MVB justru jadi wadah bagi orang Indo, Belanda, dan bumiputra di Makassar. Meski pada 1929 menginduk ke NIVB sebagai federasi sepakbola bentukan Belanda dan bukan ke PSSI, MVB tetap menggulirkan kompetisi sendiri tanpa gesekan kelas masyarakat. MVB sendiri lebih sering berlaga dalam tur yang lazimnya ke Jawa atau acapkali menjamu klub-klub mancanegara dari Hong Kong hingga Australia. Timnas AFA (Australia) bahkan pernah menjajal MVB kala melawat ke Hindia Belanda pada 2 Juli 1928. Kala itu tim “Negeri Kanguru” itu tengah mencari sparing partner untuk persiapan Olimpiade 1928. MVB kalah 1-2. Andi Ramang (kiri) dan Maulwi Saelan (berkaos putih) dua legenda PSM Makassar (Foto: FIFA/De Preangerbode, 22 Juli 1957) Sebagai klub bentukan Belanda, MVB terpaksa vakum di masa pendudukan Jepang hingga Indonesia merdeka (1942-1945). Pada 1949, MVB muncul lagi di kompetisi Voorwedstrijden di bawah VUVSI/ISNIS, induk sepakbola Belanda yang mulanya NIVB. MVB finis di urutan empat dari lima peserta. Ketika sepakbola Indonesia direorganisasi pada awal 1950, VUVSI/ISNIS bubar. Klub-klub bentukan Belanda otomatis bubar dan sebagian meleburkan diri ke klub bumiputera. Tapi MVB sebagai entitas yang majemuk sejak awal, tetap bertahan. Hanya namanya saja yang berubah pada 1951 menjadi Persatoean Sepakbola Makassar (PSM) demi bisa ikut kompetisi Perserikatan yang operasionalnya bergantung dari APBD. Atribut PSM dari Masa ke Masa Warna merah tak pernah berganti sebagai warna klub sejak dari MVB hingga menjadi PSM. Perubahan signifikan hanya terjadi pada logo klub. Kala baru lahir, MVB berlaga tanpa logo di kostum. Logo bertuliskan MVB baru dibubuhi pada 1926 dan pada 1959 logo dibuat selaras dengan logo Kota Makassar, sebagaimana klub-klub Perserikatan lain. Lalu, di mana homebase MVB? Di masa kolonial, hanya sedikit lapangan sepakbola di Makassar. Lapangan Koningsplein (kini Lapangan Karebosi) dimiliki Excelsior. “Sebelum stadion (Andi Mattalatta) dibangun 1957, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” terang Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani menunjuk arah sebuah lahan di timur komplek olahraga Gelora Andi Mattalatta-Mattoanging. Ketua YOSS Andi Karim Beso Manggabarani (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Andi Karim juga mengaku tahu di mana lapangan pertama MVB. Ia mendapati kisahnya dari kakek, paman, dan ayahnya yang berkecimpung dalam sepakbola di Makassar sebelum Jepang datang hingga 1945. “Kalau mau bicara PSM, lapangan pertamanya itu di Masjid Raya (Makassar). Itu yang belum pernah orang tahu. Kenapa di sana? Karena di sana ada stasiun keretaapi. Di tempat itu ada lapangan yang berdekatan dengan stasiun yang (keretaapinya) menghubungkan Gowa-Pasar Butung-pelabuhan,” sambungnya. Masjid Raya Makassar berada di Jalan Bulusaurung. Masjid yang baru diresmikan pada 1949 itu rupanya bekas lapangan sepakbola. Kondisinya mirip seperti salah satu stadion di Jakarta. “Seperti Gambir (di Jakarta) saja di masa Belanda. Ada stasiun, di sebelahnya ada lapangan. Tapi orang main bola di situ dibuat juga ajang judi (taruhan). Makanya kemudian setelah merdeka, lapangan itu diubah jadi masjid,” tambahnya. PSM tumbuh jadi klub yang dibanggakan kota Makassar di pentas perdana Perserikatan pascamerdeka itu juga, musim 1951. PSM jadi runner-up di bawah Persibaja Soerabaja (Persebaya) di klasemen akhir. Enam tahun kemudian barulah masyarakat “Kota Daeng” merebut gelar Juara Perserikatan, yang diulangi pada 1959. Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging, homebase PSM Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Di musim 1964-1965 dan 1965-1967, PSM kembali berjaya. Meski tetap jadi salah satu favorit juara di tiap musimnya, PSM butuh waktu lama untuk bisa juara lagi. Gelar ketiga baru mereka gondol di musim 1991-1992 dan gelar keempat, saat sudah berubah format kompetisi menjadi Liga Indonesia di musim 1999-2000 . Lagi-lagi, PSM butuh hampir dua dekade sebelum akhirnya bisa merebut trofi bergengsi trofi bergengsi lagi, yakni Piala Indonesia yang dipetik pada 6 Agustus 2019. Seiring perjalanan panjang itu pula tumbuh basis-basis suporter yang terorganisir mulai 1990. Setelah kelompok Suporter Mappanyukki, menyusul Ikatan Suporter Makassar (ISM) pada 1995 dan yang terbesar adalah kelompok suporter kreatif The Macz Man yang lahir pada 2000. “Inilah tim PSM Makassar. Inilah tim tertua dengan segudang prestasi dan begitu banyak perjalanan yang menorehkan sejarah persepakbolaan Indonesia,” tandas Appi.

  • Pidato Kebudayaan Karlina Supelli: Menuturkan Kisah Korban 1965-66 Lewat Sastra

    DERU truk dan jip memecah kebisuan malam. Kilatan lampu menyelinap ke rumah-rumah yang tanpa penerangan. Kala itu listrik dipadamkan pemerintah sejak pukul enam petang dan baru menyala lagi pukul enam pagi seiring pemberlakuan jam malam. Lepas pukul 6 petang, tak ada lagi anak kecil bermain di halaman. “Seperti kebanyakan anak-anak yang mengalami tahun 1965-66, saya tumbuh dengan bertanya-tanya. Mulai suatu malam, orang tua saya hanya berani berbicara dengan berbisik,” kata Karlina Supelli, dosen STF Driyarkara dan astronom perempuan pertama, dalam pidato kebudayaannya di acara 80 Tahun Putu Oka Sukanta, Rabu (30/10/2019). Karlina menceritakan masa kecilnya yang tumbuh ketika terjadi masa peralihan pasca-Peristiwa 1965. Di masa itu, ia tidak diperbolehkan main di luar setelah jam malam tiba. Sebagai anak kecil, ia jelas tak memahami arti jam malam. “Apakah jam yang hanya berdentang ketika malam?” katanya. Ingatan Karlina pun terbatas pada orang di sekelilingnya. Ia mengingat salah seorang tetangganya yang biasa membeli beras tak pernah tampak lagi. Ingatan-ingatan Karlina semacam ini terpantik ketika membaca karya-karya Putu Oka Sukanta. Putu Oka Sukanta merupakan eks-tahanan politik yang ditangkap tanpa pernah diadili. Pria kelahiran Singaraja, Bali pada 29 Juli 1939 itu ditangkap pada Oktober 1966. Lewat karya sastra ia menuangkan pikiran serta pengalamannya selama 10 tahun ditahan. Setelah bebas, ia mendirikan Lembaga Kreativitas Kemanusiaan (LKK) dan bergabung dengan Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK). Karya-karya Putu Oka yang telah diterbitkan ialah Tahun yang Tak Pernah Berakhir (2004) , Memecah Pembisuan (2011) , Sulawesi Bersaksi (2013) , Cahaya Mata Sang Pewaris (2016) , Debur Zaman (2019), dan Taksu Puisi (2019) yang diluncurkan dalam acara tersebut. Dalam Merajut Harkat, ingatan tentang penyiksaan dalam penjara dihadirkannya. Kisah semacam ini, menurut Karlina, mengajak orang untuk menolak dalih kekerasan sebagai efek samping situasi sosial-politik. Lewat karya sastra kesejarahan pula, menurut Karlina, kisah-kisah korban tragedi 1965-66 bisa dituturkan dengan bebas tanpa perlu mengklaim kebenarannya. Ketika sejarah mengalami perumusan terus-menerus hingga mencapai proyeksi yang paling dekat dengan masa lalu, sastra hadir sebagai jalan tengah yang menjalin ingatan dan imajinasi. Sejarawan Bonnie Triyana yang juga menjadi pembicara dalam diskusi buku Debur Zaman pun menyampaikan hal senada dengan Karlina.“Penulisan sastra jadi cara alternatif yang efektif untuk menyampailan informasi sejarah tentang 65,” kata Bonnie. Karlina Supelli. (Fernando Randy/Historia). Sebagai saksi kejahatan negara di masa lalu, pengalaman Putu Oka yang dikisahkan dalam karyanya, bisa dijadikan bahan belajar untuk menerapkan nilai-nilai baru dalam hidup bersama. Dengan menempatkan ingatan ke ruang publik, sastra menjadi langkah pencarian keadilan. Pengalaman pribadi Putu Oka menjadi pengalaman bersama dan menjadi bagian dari sejarah. Penerimaan masayarakat akan ingatan korban sebagai pengalaman bersama, menurut Karlina, berpengaruh pada pemahaman HAM bangsa. Sebelum penerimaan itu terjadi, korban belum diakui sebagai korban. Pemerintah pun sampai hari ini belum mengajukan pengakuan tentang pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965-66. “Siapapun yang berhasil mengontrol ingatan, dia yang memutuskan siapa yang layak untuk diingat. Ketika ingatan masuk ke ruang publik, ia menjadi sejarah,” kata Karlina. Politik ingatan inilah yang memungkinkan sejarah menjadi memoria passionis (ingatan dan penderitaan). Kekejaman masa lalu direfleksikan menjadi jalan bagi kemanusiaan. Dengan begitu, sejarah mewariskan pemahaman pada generasi mendatang bahwa kehidupan bangsa memerlukan keberanian warganya untuk mengungkap sejarah yang menyembunyikan cacat. Dari situlah mereka belajar mencegah peristiwa serupa berulang. Hal semacam ini pernah dilakukan walikota dan pemimpin perguruan tinggi di Amerika Serikat. Mereka menyingkirkan patung tokoh-tokoh nasional yang sebelumnya dianggap pahlawan namun kepahlawanannya didapat dari mengepalai perang dan melanggengkan perbudakan. Contohnya, penyingkiran patung Confederate General Robert E Lee di Universitas Texas karena dianggap melambangkan supremasi kulit putih dan neo-Nazi. “Sejarah yang tidak pernah diajarkan kepada kita adalah sejarah yang jujur. Kita pernah perang saudara, berkonflik dengan sesamanya, namun itu sering kali dikaburkan,” kata Bonnie.

bottom of page