top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perlawanan Lewat Bahasa

    SEKEMBALINYA dari Belanda tahun 1931, Maria Ullfah bertekad mematuhi Sumpah Pemuda dengan cara menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, bersama Soegiarti (kemudian jadi istri Sutan Takdir Alisyahbana) sahabat karibnya Maria mencari seseorang yang bisa mengajari bahasa Indonesia. Upaya itu berhasil. Pujangga Amir Hamzah bersedia menjadi guru les mereka. Namun, Amir rupanya tak cocok menjadi guru Maria Ullfah dan Soegiarti. Kosakata yang diajarkan Amir terlalu mendayu-dayu dan sangat sastrawi, sementara kebutuhan Maria dan Soegiarti bukan itu. Maria lalu berterus terang pada Amir. “Maaf, Saudara Amir Hamzah. Bahasa Indonesia yang Saudara ajarkan pada kami adalah bahasa pujangga. Kami memerlukan bahasa Indonesia yang biasa untuk berpidato dan bercakap-cakap, bukan untuk menjadi sastrawan,” kata Maria seperti ditulis Gadis Rasyid dalam biografi Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya. Sejak itu, Amir tak lagi mengajar mereka. Sebagai gantinya, mereka meminta rekan dari Sekolah Muhammadiyah bernama Sutopo untuk mengajari bahasa Indonesia. Kesulitan menggunakan bahasa Indonesia tidak hanya dialami Maria Ullfah dan Soegiarti. Tokoh pendidik perempuan Kajatoen Wasito pun merasakannya. “Bahasa Indonesia belum banyak aku kuasai secaram mendalam, terlebih dalam hal pidato,” kata Kayatoen, yang ikut Jong Java –yang kemudian melebur jadi Indonesia Muda (IM)– kala usianya masih 20-an. Dalam pertemuan-pertemuan IM, dia selalu kagum pada rekan-rekannya yang pandai berpidato dalam bahasa Indonesia. “Waktu itu mayoritas orang pakai bahasa daerah atau bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menjadi hal yang tidak mudah pada waktu itu. Tapi melihat usaha para pemuda juga perempuan untuk menggunakannya, betapa keinginan untuk bersatu sangat kuat dan alatnya adalah bahasa Indonesia,” kata Yerry Wirawan, sejarawan Universitas Sanata Dharma, pada Historia. Kongres Perempuan Indonesia sebagai federasi organisasi perempuan pun turut memenuhi Sumpah Pemuda dengan mewajibkan terbitannya, Isteri, menggunakan bahasa Indonesia. Aturan itu merupakan keputusan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPII) di Surabaya pada 1930. Usaha menggunakan bahasa Indonesia terus dilakukan, bahkan dalam rapat organisasi perempuan. Dalam kumpulan memoar perempuan di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi, Kayatin Sahirntihardjo mengisahkan bagaimana dia dan rekan-rekan Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda berusaha keras berbahasa Indonesia. “Nona Burdah yang Sunda, Nona Moni Tumbel dari Minahasa, dan Rusmali yang Minang kesulitan berbahasa Indonesia. Bila kami tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik, diwajibkan membayar denda satu kwartje atau dua puluh lima sen,” ujar Kayatin. Tak ayal, rapat menjadi penuh tawa ketika ada yang kena denda. Uang denda itu dimasukkan ke dalam kas pengurus. Anekdot dari masa perjuangan menggunakan bahasa Indonesia juga dialami Theo Pangemanan, kakak ipar tokoh perempuan Partindo Dina Pantow. Theo kala itu aktif di kepanduan Indonesie Padvinders Organisatie (INPO). Ketika INPO merayakan tercetusnya Sumpah Pemuda, Theo berpidato penuh semangat menggunakan bahasa Indonesia yang belum dia kuasai benar. Sampai di rumah, dia malah ditertawakan oleh saudara-saudaranya, termasuk Dina. Tapi setelah itu, Leen Pantow, istri Theo, harus bersedih karena mendapat ancaman dikeluarkan dari pekerjaannya di Laboratorium dr. Peverelli jika suaminya tak keluar dari INPO. Dari kesaksian Dina, para mahasiswa Indonesia juga diancam dikeluarkan dari perguruan tinggi bila ketahuan ikut Kongres Pemuda. Para pemuda disuruh memilih, tetap teguh pada perjuangan kemerdekaan tapi dikeluarkan dari sekolah atau tetap bersekolah tapi meninggalkan perjuangan. Menurut Yerry, usaha-usaha para pemuda di tahun 1930-an bahkan sampai 1950-an untuk menggunakan bahasa Indonesia menjadi satu hal yang amat politis di tengah penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa yang dominan. “Bahasa menjadi simbol nasionalisme dan perlawanan pada penjajah. Penggunaannya pada dekade 1930-an amat politis sebagai wujud nasionalisme. Ia dijadikan alat pemersatu yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan suku yang berbeda,” kata Yerry.

  • Mengapa Wallace Kalah Populer Dibandingkan Darwin?

    SETELAH 90 tahun sebelas bulan, naturalis Inggris Alfred Russel Wallace meninggalkan warisan besar selama ekspedisi di Kepulauan Nusantara. Namanya membekas pada Wallacea dan dunia sains. Jejaknya muncul dalam berbagai artikel, buku dan surat, spesimen dan catatan sejarah alam yang besar, dan tentu saja teori evolusi melalui seleksi alam. Meski begitu, kata sejarawan JJ Rizal, Wallace dan karyanya hampir tidak banyak dibicarakan di Indonesia. "Hampir sama seperti sejarah perempuan, sejarah ilmu pengetahuan itu tidak dibicarakan," kata Rizal dalam diskusi buku The Malay Archipelago  karya Wallace di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (12/10) sore. Padahal, ada nama penanda di kota sebagai tempat yang berhubungan dengan kegiatan para ilmuwan pada masa lalu. Misalnya di Jakarta, Rizal menjelaskan, ada satu gang di wilayah Pecinan, Glodok, bernama Gang Torong, cara pengucapan masyarakat setempat terhadap toren . Lokasi itu berhubungan dengan seorang pendeta kelahiran Jerman, Johan Maurits Mohr yang punya perhatian pada bidang astronomi. Di sana dia mendirikan observatorium pertama di Batavia pada 1765. Observatorium itu menjulang tinggi bagaikan menara. Ketika observatorium Mohr masih serupa menara ( toren ), kawasan ini disebut Torenlaan. "Kalau  nggak  salah Eijkman juga jadi nama jalan di Bandung. Banyak, tapi perkembangan waktu jadi hilang. Sekarang Wallace  nggak  ada dalam historiografi Indonesia," kata Rizal. Hal serupa diutarakan Sangkot Marzuki, direktur Lembaga Eijkman (1992-2014). Dia ragu apakah saat ini masih banyak yang mengetahui cerita di balik garis Wallace yang memisahkan geografi hewan Asia dan Australia. Pun soal teori evolusi yang dikemukakan Wallace. "Sekarang kalau ditanya teori evolusi siapa? Darwin di Galapagos. Paling jawaban anak-anak sekarang begini," kata peneliti yang menekuni biogenesis dan kelainan genetik manusia itu. Padahal karya Wallace sangat populer pada masanya. Bukunya, The Malay Archipelago , pertama kali terbit pada 1869. Catatan perjalanannya itu dicetak seribu eksemplar dan langsung ludes. Edisi kedua terbit pada tahun itu juga. Setelahnya edisi Amerika diterbitkan pada tahun yang sama. Tahun berikutnya giliran edisi Jerman, kemudian Belanda. "Berpuluh bahasa sudah dipakai menerjemahkan buku ini. Di Indonesia di mana lokasi yang dipakai jadi bahan buku ini malah baru saja," ujarnya. Sementara itu, pencetus teori evolusi lainnya, Charles Darwin lebih banyak dikenal dibanding Wallace. Namun, tak heran kalau kata John van Wyhe, sejarawan National University of Singapore, buku Darwin, On the Origin of Species , ketika diterbitkan pada 1859 telah mengguncang dunia. Karyanya begitu kontroversial. "Wallace setelah  paper- nya tinggal empat tahun lagi di Indonesia, pulang-pulang Darwin sudah terkenal," kata Sangkot. Seorang jurnalis yang mengagumi Wallace, Aristides Katoppo pun bilang kalau Wallace memang sama sekali tak mencari ketenaran lewat karyanya. Dia hanya mencatat apa yang dia lihat dan dapatkan selama di lapangan. Bahkan hasil laporan pertamanya justru dia kirimkan kepada Darwin. "Menurut kesaksian, Darwin terperanjat dengan laporan Wallace. Jadi Wallace ini polos. Dia laporkan semua pada Darwin. Mungkin merasa bukan saingan. Lalu Darwin terbitkan karyanya lebih cepat," ungkap Aristides. Terlepas dari itu, Sangkot menekankan pentingnya mengingat penemuan-penemuan ilmiah yang pernah dilakukan di Indonesia. Bagaimana caranya mengembalikan ingatan soal sejarah ilmu pengetahuan, khususnya Wallace? Dia mengusulkan melalui pariwisata.  "Kalau kita tahu penemuan Darwin di Pulau Galapagos, kan jadi daya tarik di sana. Lalu di Serawak, lokasi Wallace, pernah juga jadi wisata," ujarnya.

  • Menyingkap Makna Ndas Mangap

    BERMACAM aksi koreo di setiap sudut tribun Gelora Bung Tomo, Surabaya, acap jadi penyedap mata tiap Persebaya tampil di hadapan Bonek, fans Persebaya. Ada kalanya nyanyian-nyanyiannya diiringi tampilan spanduk Bung Tomo, kadang buaya raksasa. Namun yang tak pernah absen, penampakan logo yang oleh para penggila bola Surabaya disebut “Ndas Mangap” atau “Wong Mangap”. Logo berwujud seorang pemuda berambut gondrong dan memakai ikat kepala bertuliskan “Persebaya” sedang berteriak itu senantiasa menghiasi beragam atribut Persebaya, mulai dari kaos hingga stiker. Logo itu ternyata lahir hampir bersamaan dengan mulai dikenalnya penyebutan “Bonek” alias Bondo Nekat sebagai identitas suporter tim berjuluk Green Force itu. “Itu dari (suratkabar) Jawa Pos desainernya. Gambar atau karikaturnya dibuat Pak (Mister) Muchtar. Itu mulai muncul tahun 1987 dan meluas melekat di berbagai atribut pada 1988, waktu Persebaya juara Perserikatan,” cetus dedengkot Bonek Andie ‘Peci’ Kristianto kepada Historia. Mister Muchtar merupakan seniman jebolan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Sejak 1986, dia berkecimpung sebagai ilustrator dan lay outer Suratkabar Jawa Pos . Sketsa pertamanya dibuat pada suatu malam hanya dalam kurun waktu 10 menit. Pembuatan Ndas Mangap tak lepas dari inisiasi Dahlan Iskan. Pada awal Maret 1987, jelang laga final Perserikatan musim 1987 kontra PSIS Stadion Utama Senayan, Jakarta, Dahlan ingin ada tambahan atribut untuk mengiringi pemberangkatan puluhan ribu Bonek ke ibukota –dikenal sebagai fenomena “Tret Tet Tet”. “Malam itu juga dibuatnya (sebelum Bonek berangkat ke Jakarta). Di ruangan ada saya, tukang sablon dan bos (Dahlan Iskan). Karena besok sudah berangkat, saya gambar cepat-cepat di atas film. Mendesain di atas film sangat licin, dibuat di sana supaya langsung disablon,” ujar Mister Muchtar, dikutip Nor Islafatun dalam Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya . Karena dibuat terburu-buru, gambar Ndas Mangap pertama belum seperti sekarang yang dikenal umum. Sosok pemuda berambut gondrong yang mirip karakter Rambo yang diperankan Sylvester Stallone. “Ya, dulu seingat saya, desain awalnya belum gondrong. Tapi sudah pakai ikat kepala saja,” timpal Andie Peci. Terinspirasi Perjuangan 10 November 1945 Laikya “Boeng, Ajo Boeng” karya pelukis Affandi dengan model sesama pelukis, Dullah, karya Ndas Mangap pun memakai model yang tak jauh dari penciptanya. Keterdesakan waktu membuat Dahlan Iskan sendiri yang dijadikan model. Foto Dahlan direproduksi dengan coretan karya Mister Muchtar itu. Pertamakali publikasinya di-launching di Jawa Pos edisi 3 Maret 1987 dan dinyatakan logonya milik umum. “Maskot Persebaya 1927 kini sudah jadi milik umum. Penjual kaos, stiker, dan pemilik kendaraan bisa menggunakan maskot itu secara luas,” tulis Jawa Pos , 11 Maret 1987. Sketsa Pertama Logo Ndas Mangap (Foto: Repro "Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya") Meski mencontoh foto Dahlan, Mister Muchtar mengaku sketsa awal Ndas Mangap juga terinspirasi semangat Bung Tomo dan para pemuda Surabaya pada Pertempuran 10 November 1945. “Saya orang lama. Masih ada simbol-simbol lama terpengaruh gerakan-gerakan Bung Tomo. Bos memperagakan ekspresi seperti berteriak. Jadi logo itu adalah gambaran Pak Dahlan berteriak,” sambung Mister Muchtar. Seiring waktu, logo Ndas Mangap bertransformasi dan pada era 1990-an disempurnakan oleh ilustrator Jawa Pos lain, Boediono. Logo Ndas Mangap yang dikenal sekarang merupakan hasil penyempurnaannya dan tetap tidak meninggalkan pengaruh semangat Surabaya sebagai “Kota Pahlawan”. “Yang sekarang pakai ikat kepala tapi gondrong. Ikat kepala kan laikya identitas Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Identitas nekat, pemberani, simbol kebebasan, perlawanan, kemerdekaan,” tandas Andie Peci.

  • Palestine Walk di Bandung

    Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki dan Walikota Bandung Oded M. Danial, meresmikan Palestine Walk: Road to Freedom, taman sepanjang 100 meter di Jalan Alun-alun Timur, Bandung, Sabtu (13/10/2018). “Palestine Walk menggambarkan dukungan dan komitmen masyarakat Indonesia, khususnya Kota Bandung terhadap perjuangan rakyat Palestina dan sebagai pengingat agar semangat perjuangan tersebut tetap beresonansi di hati kita. Dukungan bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur hingga rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya. Palestina selalu ada dalam napas diplomasi Indonesia,” kata Retno Marsudi dikutip dari kemlu.go.id . Acara selanjutnya talkshow di Museum Asia Afrika yang dihadiri sekitar 400 mahasiswa. Maliki menyampaikan terima kasih atas persaudaraan yang diberikan Indonesia. Dia yakin Indonesia akan menjadi suara bagi Palestina di Dewan Keamanan PBB. Oded M. Danial, Riyad al-Maliki, dan Retno Marsudi dalam peresmian Palestine Walk di Bandung. (Dok. Kemlu RI). Setelah di Bandung, acara Solidarity Week for Palestine (dari Indonesia untuk Palestina) kemudian diadakan di Jakarta berupa walk for peace and humanity bersamaan dengan car free day di Wisma Mandiri Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Esoknya, Maliki akan memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Salemba. Maliki juga dijadwalkan bertemu Presiden Joko Widodo dan DPR RI. Pembuatan Palestine Walk di Bandung tentu terkait peran Indonesia dalam menyuarakan kemerdekaan Palestina dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-24 April 1955. Sebelum KAA, pada 1953 Achmad Subardjo, mantan menteri luar negeri yang menjadi duta besar keliling, menyampaikan sumbangan Indonesia sebesar 60 ribu dolar Amerika untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina). Dalam pidato pembukan KAA, Presiden Sukarno mengatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Palestina, Vietnam, Aljazair, dan seterusnya. Oleh karena itu, Sukarno-Hatta tak menyambut tawaran pembukaan diplomatik dari Israel ketika Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada akhir tahun 1949. Soal kemerdekaan Palestina jadi agenda pembahasan dalam rapat tertutup bidang politik KAA. Sekretaris Jenderal KAA, Roeslan Abdulgani, dalam  The Bandung Connection, Konferensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955, mengungkapkan bahwa pembahasan Palestina menyerempet ke persoalan zionisme yang menimbulkan perselisihan pendapat di antara delegasi. Misalnya, Mohammad Fadhel Jamali, ketua delegasi Irak, menyamakan bahaya zionisme dengan kolonialisme dan komunisme. Meski semua delegasi menyetujui kemerdekaan Palestina, pernyataan Fadhel itu memanaskan suasana rapat. Delegasi Arab, Pakistan, Afghanistan, dan Iran pun mengutuk zionisme internasional. Tanggapan datang dari Burma (Myanmar) dan India yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru keberatan menyamakan zionisme dengan kolonialisme dan imperalisme. Tetapi dia mengakui zionisme memang adalah suatu gerakan agresif. Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mencoba mendinginkan suasana. Dia menyetujui resolusi KAA supaya semua resolusi PBB tentang Palestina dilaksanakan dengan syarat kekuatan luar, seperti Amerika Serikat, tak boleh mencampurinya. Dia mengusulkan penyelesaian Palestina sebagaimana Tiongkok membebaskan Taiwan secara damai setelah menyaratkan kekuatan militer Amerika Serikat mundur. Selain menegaskan sokongannya terhadap pembebasan Palestina, KAA juga menyerukan penyelesaian konflik Palestina-Israel secara damai. Sementara itu, sebagai bentuk dukungan kepada kemerdekaan Palestina, Sukarno melarang timnas Indonesia melawan Israel dalam perebutan tiket ke Piala Dunia 1958. Berikutnya, ketika menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962, Sukarno juga tak memberikan visa kepada kontingen Israel. Sejak zaman Sukarno hingga Joko Widodo, Indonesia tetap pada pendirian mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam pidato pembukaan pertemuan Puncak Bisnis Asia Afrika di Jakarta Convention Center, 23 April 2015, yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan 60 tahun KAA, Jokowi menegaskan: “Kita dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari penderitan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka.”

  • Bonek dan Stigma Kekerasan Suporter Fanatik

    SETIAP kali dua dari empat klub saling berhadapan dalam liga sepakbola nasional, kegemparan selalu muncul. Setelah duel Persib vs Persija beberapa waktu lalu menghebohkan lantaran diwarnai pengeroyokan terhadap seorang suporter Persija hingga tewas, belum lama ini muncul kekhawatiran serupa saat Arema FC menjamu Persebaya. Laga “Derbi Jawa Timur” itu beberapa tahun belakangan berkalang kekerasan, terutama di antara kedua suporter. Beragam imbauan agar Bonek, suporter militan Persebaya, tak menemani tim “Bajul Ijo” ke Malang pun muncul sebelum laga, termasuk dari Walikota Surabaya Tri Rishamarini. Partai di Liga I pada Sabtu, 6 Oktober 2018 itu dimenangkan Arema 1-0. Tapi bukan kekalahan Persebaya yang jadi sorotan besar Bonek, melainkan chant-chant rasis yang berkumandang di stadion dan perobekan bendera Persebaya oleh Aremania, suporter Arema FC. Hal-hal negatif itu kian meruncingkan rivalitas Bonek dengan Aremania, yang akarnya ada pada fanatisme para pendukung klub-klub Surabaya dan Malang. Mula Bentrokan Bonek vs Aremania Rivalitas Surabaya-Malang sudah ada sejak lama. Di kompetisi Perserikatan, rivalitas kedua kota diwakili Persebaya vs Persema, sementara di Galatama diwakili Niac Mitra vs PS Arema (sebutan lama Arema FC). Meski bentrok antarsuporter Persebaya dan Arema kerap terjadi, tak ada yang ingat pasti kapan dan bagaimana itu bermula. “Ada banyak versi ya. Tapi kan suporter Persebaya sudah lama ada, dari awal-awal kompetisi Perserikatan. Sementara, Arema baru berdiri 1987. Jauh sebelum itu sebenarnya rival kita itu Persema Malang,” cetus dedengkot Bonek Andie ‘Peci’ Kristianto kepada Historia. Dari banyak versi itu, ditengarai pemicu awal bentrok adalah insiden di Stadion Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990. Mereka “konflik” bukan dalam rangka menonton tim pujaan bertanding, tapi menonton konser musik Kantata Takwa. Massa Bonek selaku “tuan rumah” tersinggung saat bagian depan panggung dikuasai para penonton asal Malang. Ketersinggungan itu membuat sebuah gesekan kecil berubah jadi bentrokan yang melebar sampai ke sekitar Stasiun Gubeng. Andie 'Peci' Kristianto, dedengkot Bonek (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Versi lain, kecemburuan arek-arek Malang terhadap pemberitaan-pemberitaan media Jawa Timur. Di era awal 1990-an, Persebaya dengan Boneknya acap jadi “media darling” hingga timbul ketidaksukaan pada Bonek. “Ya mungkin dari pihaknya Arema merasa mereka harus cari musuh yang kuat agar dikenal banyak orang. Waktu itu kan klub baru, bukan klub perserikatan dan ketika (Arema) berdiri agar bisa eksis, memusuhi Persebaya dan pendukungnya,” tambah Andie Peci. Versi ketiga menyatakan, serangan oknum pendukung Persema terhadap bus Persebaya dalam sebuah laga Liga Indonesia II, 26 Desember 1995. Serangan batu yang dilontarkan dengan ketapel itu memecahkan kaca bus dan pecahannya mengenai mata salah seorang pemain Persebaya. “Ada itu pemain Persebaya, Nurkiman, dikatapel (oknum suporter Malang). Itu juga pemicu konflik Surabaya dan Malang. Matanya kena itu. Habis itu matanya cacat dan harus berakhir kariernya,” sambungnya lagi. Dari semua versi mula konflik itu, menurut peneliti sejarah Persebaya Dhion Prasetya, hal terpenting yang harus dipahami adalah rival klasik Persebaya adalah dengan tim-tim Perserikatan, bukan tim Galatama seperti Arema. “Tapi elemen suporter sekarang sudah mulai paham. Kalau sama tim Galatama, enggak ada sejarahnya persaingan dengan mereka. Sebenarnya Bonek sudah mulai terbuka juga, kok. Dengan Lamongan, dengan Solo. Tapi asal jangan sampai ada provokasi satu-dua pihak yang men- judge Bonek begini atau begitu yang buruk,” jelas Dhion. Masih Sulit Untuk Berdamai Fakta-fakta itu, berjalin dengan fanatisme kedaerahan yang sempit, membuat perdamaian di antara keduanya belum terjadi. Untuk bisa berdamai dengan suporter Malang, Andie Peci mengakui masih sulit walau di masa mendatang itu tak mustahil. “Sebenarnya permusuhan itu tidak statis ya. Dulu Bonek dan Bobotoh juga tidak akur. Juga dengan Panser Biru (suporter PSIS), Pasopati (suporter Persis), LA Mania (suporter Persela), Brajamusti (suporter PSIM Yogyakarta). Tapi perlahan semua bisa berubah, kami sudah bisa akur,” tutur Andie Peci. Bersama beberapa dedengkot Bonek, sejak beberapa tahun lalu Andie Peci berhasil mengupayakan perdamaian. “Saya sempat ikut proses perdamaian dengan Pasopati. Padahal dulu konfliknya keras luar biasa. Terakhir Persebaya main di Solo, sudah tidak ada gesekan. Setelah itu dengan suporter Lamongan, saya juga terlibat langsung (mendamaikan). Teman-teman pendahulu kami juga sudah bisa proses damai dengan PSIS,” tambahnya. Selain Arema, yang saat ini masih sulit diajak berdamai dengan Bonek adalah The Jakmania, suporter Persija. “Sebetulnya sudah pernah dimulai (pendekatan antar-petinggi suporter), tapi gagal. Ya itu, gara-gara kejadian di Bantul (bentrokan Bonek-Jakmania, 3 Juni 2018). Kita sudah niat untuk mencairkan (konflik) walau ya belum berhasil,” lanjutnya. Stigma Kekerasan dan Perjuangan Selain dikenal dengan konflik terhadap suporter lain, Bonek dikenal masyarakat luas akan kekerasannya. Andie Peci pun mengakui masih ada oknum-oknum nakal yang akhirnya mencoreng kebesaran nama Bonek sekaligus merugikan klub. “Saya selalu sampaikan ke siapapun, kalau ada Bonek yang bersalah, keliru, dan sudah melanggar dalam level pidana, penjarakan saja. Tapi bahwa stigma (kekerasan) itu masih melekat, iya. Kita dan teman-teman semua tidak dalam posisi mengiyakan tapi kita tidak munafik bahwa Bonek itu identik dengan kekerasan. Sampai sekarang masih ada, tapi frekuensinya menurun. Butuh waktu tapi saya dan teman-teman selalu mendudukkan persoalan inti, di mana kami sendiri harus introspeksi juga, harus berbenah,” cetus Andie. Di dalam Bonek sendiri, sambungnya, sudah mulai lahir komunitas Bonek yang sikap dan pikirannya relatif lebih maju. “Ada Bonek Pelajar, Bonek Kampus dan sebagainya. Kelompok-kelompok yang mencitrakan Persebaya dengan baik. Di dalam kota juga sekarang mulai kondusif, tidak seperti dulu. Kalau di stadion selalu beli tiket sampai tercatat sebagai penonton terbesar di Liga I ini. Kami paham problemnya tapi butuh waktu dan lambat laun kami yakin stigma itu akan berubah.” Namun, sikap cair itu hanya terjadi kepada suporter tim lain. Dalam hal membela klub kesayangan, terutama saat terjadi dualisme Persebaya setelah tak diakui PSSI pada 2009, sikap Bonek tak pernah melunak. “Kita melawan suatu sistem yang kotor saat itu. Versi saya dan teman-teman, ya itu ada permainan, ada skenario khusus untuk Persebaya didegradasi. Akhirnya ya kita didegradasi. Kepemimpinan (manajemen) Persebaya juga mengalami dualisme. Ya kita mendukung Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia. Tapi sementara, yang diakui PSSI Persebaya di bawah PT MMIB (Mitra Muda Inti Berlian). Kita sebenarnya didegradasi tidak masalah, tapi yang diakui mestinya manajemen sebelumnya karena sejak 2009 Persebaya sudah profesional di bawah perseroan yang asli itu,” seru Andie. Bonek memboikot dan berulangkali mendemo Persebaya di bawah PT MMIB. “Saya sampai pernah luka dibacok karena bela Persebaya. Itu tahun 2012. Dari pihak sana ada kelompok yang tidak senang saya dan kawan-kawan berdemo. Kelompok sana yang pakai kekerasan,” kenangnya. Bonekmania Selalu Menyertai Persebaya, Termasuk saat klub versi PT Persebaya Indonesia Tak Diakui PSSI (Foto: persebaya.id) Perjuangan mereka tak sia-sia. Pada 2017, PSSI kembali mengakui. “Militansi Bonek ini keliatan sekali bukan glory hunter . Mereka tetap membela klub yang sejarahnya sudah panjang, bukan kloning-an,” timpal Dhion. Hingga kini, Andie Peci dan rekan-rekannya terus berusaha mencontohkan yang baik agar Bonek terus menggerus stigma buruk yang melekat pada dirinya. Bukan hanya Bonek, jika kondisi sepakbola nasional sudah mapan nir-kepentingan politis, suporter lain juga takkan mau lagi anarkis yang akhirnya merugikan klub. “Suporter akan menemukan jalannya sendiri (untuk berlaku baik). Kita juga harus belajar dari Eropa. Di sana mereka selalu menyediakan kuota untuk suporter tim lawan. Artinya masing-masing bisa berivalitas dalam konteks batas-batas sepakbola. Terlebih, kecil kepentingan politis, mafia sepakbola pun nyaris tidak ada. Itu cukup memengaruhi jalan pikiran suporter,” imbuhnya. Seandainya sepakbola nasional sudah bisa mapan seperti itu, lanjut Andie, moralitas suporter akan berubah. Saling bunuh antarsuporter atau aksi-aksi rasisme takkan ada lagi. “Itu yang belum ada di sini. Butuh waktu memang untuk mengubah, terutama kemapanan sepakbola nasional kita,” tutup Andie.

  • Kata Pemuda Zaman Kolonial tentang Sumpah Pemuda

    SEORANG pengendara sepeda melaju di Jalan Kawi, tak jauh dari asrama pelajar STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda) —sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat No 106—di Batavia. Usia pengendara masih remaja belasan tahun. Dia memasang kain berwarna merah-putih di bagian depan sepeda. Polisi menghentikan si remaja dan menurunkan kain itu dari depan sepeda. “Demikianlah nasib ‘anak-anak nakal’ yang merasa dirinya terpanggil untuk setia kepada Sang Merah-Putih,” kenang Frits K.N. Harahap dalam “Bersifat Temporerkah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?” termuat di 45 Tahun Sumpah Pemuda . Dia ingat peristiwa itu terjadi menjelang Ikrar pemuda di asrama pelajar STOVIA pada 28 Oktober 1928. Frits mendengar bahwa sekelompok pemuda akan menggelar rapat untuk membentuk organisasi kepanduan nasional di asrama pelajar Stovia. Dia dan teman-temannya telah bergabung di sebuah organisasi kepanduan bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Tapi mereka merasa kurang puas dengan aktivitas di organisasi tersebut sehingga memutuskan datang ke lokasi rapat. “Kami pandu-pandu menjadi ‘pengawal’, yang menjaga ‘keamanan dan ketertiban’ di pekarangan gedung keramat Jalan Kramat, tempat diselenggarakan Kongres Pemuda,” tulis Frits, yang saat itu menjadi pandu termuda di sana. Tiga hari rapat, pemuda-pemuda itu tak hanya membicarakan organisasi kepanduan, tetapi juga merumuskan soal-soal kebangsaan terkait tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Frits ingat kawan-kawan pandu menyambut hasil rapat itu dengan gembira. Ketika mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang dari biola Wage Rudolf Soepratman, jantung Frits berdebar. Perasaannya campur aduk. Antara khawatir polisi bertindak membubarkan rapat sekaligus takzim terhadap gesekan Soepratman. Mitologisasi Sumpah Pemuda? Pengakuan Frits menjelaskan sepotong pengaruh Sumpah Pemuda dalam kehidupan banyak pemuda di Hindia Belanda. Bertahun-tahun lalu muncul pertimbangan ulang tentang makna dan peran Sumpah Pemuda yang semakin termitologisasi atau lebih banyak bumbunya ketimbang kenyataan sebenarnya. Pertimbangan itu muncul antara lain dari tulisan Taufik Abdullah dalam “Selamat Tinggal (?) Sumpah Pemuda” termuat di Tempo , 28 Oktober 1978; Riyadhi Gunawan dalam “Sumpah Pemuda: Diantara Pemuda, Peristiwa, dan Kesadaran Sejarah” termuat di Kedaulatan Rakyat,  27 Oktober 1978, dan seorang penulis tak bernama menulis “Yongelingen Yang Abrnormal” dalam majalah Matahari , 16—31 Oktober 1978. Tiga artikel tersebut mencoba mendudukkan Sumpah Pemuda secara apa adanya. Tapi artikel tersebut tak memuat kesaksian dari pemuda sezaman ketika Sumpah Pemuda terjadi. Beberapa terbitan lain berupaya mengungkap apa peran dan makna Sumpah Pemuda bagi para pemuda sezaman. Seorang pemuda bernama Machfoeld, misalnya, turut mengalami hal serupa Frits. “Penulis kini masih ingat jelas betapa hening sahdu dan indahnya suasana dalam Gedung IC (Indonesische Clubhuis —nama lain asrama pelajar STOVIA) Kramat 106 Jakarta, di kala itu. Banyak pasang mata tampak berkedip-kedip basah. Banyak pasang bibir tampak berkomat-kamit syukur berterimakasih kepada Tuhan YME,” tulis Machfoeld dalam “Sumpah Pemuda: Sebelum, Semasa, Sesudah Lahirnya.” Redakan Pertikaian Machfoeld terkenang hari-hari sebelum pemuda mengucap ikrar untuk bersatu. Para pemuda dari beragam daerah Hindia Belanda kerap kali bersitegang di Kutoarjo, kota di mana Machfoeld menempuh pendidikan menengahnya. Dia mengalami masa-masa perkelahian antarpemuda dari Pasundan, Ambon, Minahasa, dan Jawa. Sebabnya hanya karena senggolan. “Perkara demikian itu, biasanya belum cukup diselesaikan di tempat itu. Kadangkala masih disambung dengan perbuatan kenakalan-kenakalan pada lain-lain hari terhadap dia atau mereka yang dianggapnya ‘bersalah’,” tulis Machfoeld. Sumpah Pemuda mengubah pertikaian antarpemuda menjadi gagasan dan semangat untuk bersatu secara perlahan. “Tetapi Sumpah Pemuda yang didengungkan di Jakarta (Betawi di waktu itu), juga terdengar di pelosok-pelosok daerah. Semangat pemuda-pemudi dan orang-orang tua mereka, pegawai-pegawai negeri, guru-guru dibangkitkan oleh pers secara diam-diam,” ungkap Limbak Tjahaja, seorang gadis muda di Sawah Lunto pada waktu Sumpah Pemuda terlaksana, dalam “Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional” termuat di Bunga Rampai Soempah Pemoeda 50 Tahun . Gaung Sumpah Pemuda juga sampai ke gadis muda bernama Sujatin di kota Yogyakarta. Dia aktif dalam organisasi Jong Java dan memperoleh kabar tentang Sumpah Pemuda melalui surat kawan-kawannya dari Jakarta. “Dapat dibayangkan betapa berdebar-debar hati saya dan kawan-kawan ketika ‘Sumpah Pemuda’ telah dicetuskan dan kami bersama Angkatan Muda semua mempunyai bendera Merah Putih dalam buku kami, pun lagu Indonesia Raya mulai di kalangan pemuda dinyanyikan,” ungkap Sujatin Kartowijono dalam “Apa Arti Sumpah Pemuda Bagi Diriku”. Sujatin menambahkan pengaruh Sumpah Pemuda terasa pula pada pergerakan wanita. “Setelah Sumpah Pemuda didengungkan maka kami merasa pula bahwa kaum wanita harus dibangkitkan dari keadaan yang masih agak pasif dan diberi semangat nasional,” lanjut Sujatin. Kelak usaha Sujatin dan kawan-kawannya berbuah Kongres Perempuan Indonesiapertama pada 22 Desember 1928. Humor Pemuda Cerita S.K. Trimurti, menteri perburuhan pertama Indonesia, tentang keadaan pemuda setelah Sumpah Pemuda lain lagi. Usia Trimurti 16 tahun ketika Sumpah Pemuda berlangsung di Batavia. Dia masih bersekolah di Surakarta dan hanya mendengar sayup-sayup kabar Sumpah Pemuda. Dia merasakan Sumpah Pemuda mempunyai pengaruh dalam kehidupan para pemuda di kota lainnya beberapa tahun kemudian. Trimurti mengungkap cerita humor sekitar kehidupan pemuda setelah Sumpah Pemuda. Menurut dia, kehidupan pemuda masa itu tidaklah melulu berisi keseriusan dan ketegangan. “Tetapi pemuda-pemuda yang selalu ada unsur ‘humornya’ dalam diri masing-masing. Muka-muka mereka bukanlah muka-muka yang seram, yang kelihatan selalu ‘tegang’,” terang dia dalam “Sikap Humor dalam ‘Keseriusan’ Pejuang-Pejuang Muda”. Trimurti menyatakan aktivitas organisasi pergerakan nasional semakin berkurang setelah Sumpah Pemuda. Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pertemuan anggota partai, organisasi pemuda, dan organisasi wanita yang memiliki cita-cita Indonesia merdeka dan menentang pemerintah. “Apakah dengan itu kegiatan politik lantas berhenti?” tanya Trimurti. Pemuda selalu mempunyai cara untuk menghadapi situasi sulit dan beban berat. Misalnya untuk menyiasati larangan rapat, pemuda mengadakan rapat sembari berjalan di dalam gang. Cara ini berhasil mengelabui anggota Politiek Inlichtingen Dienst (PID—semacam dinas intelijen pemerintah). Cara lain pemuda untuk mengelabui anggota PID adalah dengan menyaru sebagai pasangan sejoli ketika menggelar rapat. “Kalau terjadi begini, bukan PID yang ribut, akan tetapi orang-orang tua itu. Mereka mengira, bahwa anak-anaknya benar-benar pacaran,” lanjut Trimurti. Trimurti mengakui pengaruh Sumpah Pemuda 1928 dalam kehidupan anak muda pada zamannya. “Banyak sekali. Yang jelas tekad untuk mewujudukan Indonesia Raya yang satu, berdaulat, meresap sungguh-sungguh di hati sanubari pejuang-pejuang muda ketika zaman penjajahan.” Begitulah pengaruh Sumpah Pemuda menurut pemuda-pemuda sezaman.

  • Hikayat Lagu Melati di Tapal Batas

    KETIKA tenor asal Bandung Sudaryanto bersama Paduan Suara Esbhita dan kelompok Orkes Simfoni Angkatan Darat pimpinan F.A. Warsono melantunkan lagu Melati di Tapal Batas dalam suatu konser di tahun 1970-an, banyak orang terhenyak dengan lagu lawas ciptaan penyair Ismail Marzuki tersebut. Para veteran menitikkan air mata dan banyak mantan pejuang terkenang kembali suasan-suasana di front Jakarta timur pada era revolusi. “Lagu itu begitu populer dan sering kami nyanyikan bersama saat kami pulang dari medan perang,” kenang Mochamad Kajat, salah seorang eks pejuang yang pernah berjuang di wilayah Bekasi dan sekitarnya. Menurut Ninok Leksono dalam Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman , lagu Melati di Tapal Batas memang dicipta oleh Ismail dalam pencitraan sosok “perempuan yang jantan dan herois”. Tentu saja itu paradoks dengan lagu-lagu Ismail lainnya seperti Sabda Alam , di mana disebutkan “wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.” Silakan Anda simak sendiri bait-bait lagu tersebut: Engkau gadis muda jelita/ bagai sekuntum melati// Engkau sumbangkan jiwa raga/ di tapal batas Bekasi// Engkau dinamakan srikandi// pendekar putri sejati// Engkau turut jejak pemuda/ turut mengawal negara// Oh pendekar putri nan cantik// Dengarlah panggilan ibu//Sawah ladang rindu menanti//Akan sumbangan baktimu// Duhai putri muda remaja/suntingan kampung halaman//Kembali ke pangkuan bunda/berbakti kita di ladang//. Lagu Pesanan Namun di balik ketenaran lagu yang bernuansa seriosa tersebut, tak banyak orang tahu jika Melati di Tapal Batas memiliki kisah tersendiri. Alkisah di front Jakarta Timur (tapal batas Bekasi) pasca-proklamasi dikumandangkan, eforia revolusi begitu menggelegak di dada setiap anak muda Indonesia. Bukan hanya para pemuda, para pemudi pun ikut terlibat sebagai pejuang bersenjata. “Kebanyakan mereka adalah anak-anak perempuan para petani di Karawang dan Bekasi,” ungkap Kajat. Keikutsertaan para pejuang perempuan itu tidak diiringi dengan keterampilan untuk bertempur. Rata-rata bergabungnya para putri petani tersebut hanya bermodalkan keberanian dan keinginan untuk ikut mengusir penjajah. Akibatnya banyak para gadis perang yang tergabung dalam lasykar-lasykar itu menjadi makanan peluru musuh di medan laga. Demi mengetahui hal tersebut, Komandan Resimen V Cikampek Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (yang membawahi wilayah pertempuran Jakarta dan sekitarnya) merasa prihatin. Dia menyatakan bahwa sejatinya palagan bukanlah tempat bagi para perempuan tersebut. “Bukan kami tidak percaya, namun sebagai perempuan mereka memiliki tugas yang lebih penting untuk melahirkan generasi baru. Kalau mereka semua gugur di medan perang, lantas siapa yang akan meneruskan perjuangan ini?” ujar Moeffreni dalam biografinya berjudul Jakarta-Karawang-Bekasi, Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati. Tetapi jika hal itu disampaikan secara langsung kepada mereka, Moeffreni yakin akan ada upaya penolakan. Maklum, darah muda. Karena itu, dia lantas mencari akal agar bukan saja komandan yang melarang tetapi masyarakat juga ikut melarang. Ketika situasi penuh kebingungan itu, tetiba di markas Resimen V Cikampek muncullah penyair Ismail Marzuki dan penyair Suto Iskandar. Mereka singgah di Cikampek dalam rangka perjalanan mereka ke Yogyakarta. Kepada dua seniman itu Moeffreni lantas menceritakan masalah yang tengah dihadapinya di front Jakarta Timur. Lalu terbetiklah ide untuk menciptakan suatu lagu yang bisa mempengaruhi para remaja putri tersebut untuk menarik diri dari garis depan tanpa harus merasa kehilangan kehormatan. “Terserahlah kepada kalian caranya,” ujar Moeffreni. Maka sekira awal 1947, berkumandanglah lagu Melati di Tapal Batas di seantero palagan Pulau Jawa. Bekasi dan Jakarta Timur pun heboh. “Responnya sangat bagus, para remaja putri banyak yang sadar bahwa berjuang mempertahankan kemerdekaan tidaklah harus lewat memanggul senjata,” kata Moeffreni. Cerita Nyata Banyak kalangan menyebut bahwa kisah di balik lagu Melati di Tapal Batas tersebut tak lebih sebagai fiksi semata. Tapi benarkah? Beberapa waktu lalu, saya pernah berupaya menelusuri soal ini dan menemukan kenyataan menarik bahwa ada kemungkinan subyek-subyek yang dikisahkan dalam lagu tersebut adalah nyata. Dalam lagu itu, Ismail dan Suto memanggil para petempur putri itu sebagai “srikandi”, seorang prajurit perempuan dalam dunia pewayangan (merupakan istri Arjuna) yang piawai menggunakan senjata panah. Di lagu itu juga duo penyair tersebut mangidentifikasi secara eksplisit sang srikandi adalah putri dari para petani. Dan anggapan terakhir itu dibenarkan oleh Kajat seperti di atas. Soal sebutan “srikandi”, Ninok Leksono berpendapat bahwa penyebutan itu hanya sekadar simbol untuk mencitrakan sosok perempuan yang gagah perkasa dan tak kalah ksatria dari para pejuang laki-laki. Tapi dari penelusuran yang saya lakukan terhadap para pelaku sejarah di Karawang dan Bekasi, nama “srikandi” memang pernah ditabalkan kepada suatu kelompok lasykar perempuan yang aktif berjuang melawan tentara Inggris dan Belanda di sekitar Karawang dan Bekasi, “Nama kelompoknya BSI, Barisan Srikandi Indonesia,” ungkap Abdurachman, salah seorang eks anggota lasykar di Karawang Utara. Nama BSI juga sekilas sempat disebut-sebut dalam buku sejarawan asal Australia Robert B. Cribb berjudul Gangsters and Revolutionaries (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949 ). Cribb menyatakan kepada saya bahwa dia sendiri kesulitan untuk mencari data lengkap tentang kelompok tersebut. Yang jelas, kata Cribb, BSI terkait dengan nama Sidik Kertapati, salah seorang tokoh pejuang yang mengikuti jalur politik Tan Malaka dan pernah bergabung dengan LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja).

  • Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan

    DI kota sejuk Bogor, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution sedang main golf bersama deputinya, Mayor Jenderal Ahmad Yani. Sambil menenteng stik golf, Nasution membuka perbincangan seputar gaya hidup masing-masing. Lagi asyik membeter lubang, Yani tetiba celetuk.  “Jangan harapkan orang lain akan memikirkan apalagi mengurus kita. Hendaklah kita uruskan sendiri untuk kita pribadi,” demikian ujar Yani yang diceritakan ulang oleh Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru . Berbicara soal gaya hidup, Nasution dan Yani memang saling silang. Nasution menekankan kesederhanaan. Sementara Yani tampil lebih glamor. Satu contoh. Menurut Nasution, pada saat itu Yani mempunyai sebuah vila kecil sebagai tempat rehat dan berekreasi yang disambangi saban akhir pekan. Di kalangan para jenderal, kepemilikan aset semacam itu masih agak jarang dan terdengar mewah. Kesempatan main golf bareng dimanfaatkan Nasution untuk menasihati Yani. “Satu-satunya hal yang kurang saya senangi padanya, sehingga tempo-tempo saya tegur, ia  tak mengikuti filsafat saya tentang kesederhanaan. Tapi ia pun berterus terang kepada saya,” kenang Nasution mengenai Yani. Perwira Andalan Sejak semula, Yani adalah perwira yang menonjol. Di masa revolusi, dia telah menyandang pangkat letnan kolonel. Ketika bertugas di Divisi Diponegoro, Yani membangun reputuasi sebagai penempur dengan membentuk pasukan komando Banteng Raiders. Pasukan elite ini dipersiapkan untuk membereskan pemberontakan Darul Islam. Nama Yani kian populer setelah memimpin “Operasi 17 Agustus” yang berhasil menggempur perlawanan PRRI di Sumatera Barat. Yani kemudian ditarik ke Markas Besar (Mabes) AD di Jakarta. Nasution mengangkatnya sebagai Deputi I (Operasi) dan kemudian Deputi II (Administrasi). Menurut Nasution, Yani adalah pembantunya yang sulit tergantikan. Ketika sedang berada di daerah operasi, Nasution mempercayakan Yani memimpin Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Pun selama menjadi deputi, Yani adalah sosok yang sehaluan dengan Nasution: antikomunis garis keras. Yani bernasib mujur. Rekam jejaknya yang gemilang terdengar sampai ke Istana. Selain kecakapannya sebagai tentara profesional, Yani adalah sosok yang gagah dan flamboyan. Banyak orang menilai Yani sebagai persona penuh pesona. Daya pikat Yani makin kuat melihat postur tubuhnya yang ramping atletis. Tipikal perwira cakap seperti ini begitu disenangi Sukarno.   “Sesudah PRRI, Pak Yani disegani. Wibawa. Dianggap strateeg (ahli strategi). Menarik perhatian Bung Karno,” kenang Yayu Rulia Sutowiryo, istri Ahmad Yani, dalam Ahmad Yani: Sebuah Kenang-kenangan . Diperhatikan Sukarno Yani mulai merapat ke Sukarno semasa kampanye pembebasan Irian Barat digencarkan. Sukarno mendapuk Yani menjadi Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) Pembebasan Irian Barat. KOTI berkantor di Istana dan struktur komandonya berada langsung di bawah presiden. Bertugas di Istana, Yani jadi semakin akrab ke tengah publik karena dia juga bertindak sebagai Juru Bicara KOTI. Pergaulannya pun kian lekat dengan kehidupan Istana, mengimbangi selebritas Presiden Sukarno. Di sisi lain, sebagai Deputi KSAD, Yani harus tetap membagi waktunya di Mabes AD. Tak pelak, keberadaan Yani di Istana membuat hubungannya dengan Nasution merenggang. “Setelah ia berada di Istana sehari-hari sebagai Kepala Staf KOTI, nyatalah bahwa ia tampil sebagai pengagum Bung Karno dan rupanya cocok pula mereka dalam pergaulan pribadi,” kata Nasution. Petaka bagi Nasution tiba tatkala Yani mencapai puncak kariernya. Pada 23 Juni 1962, Sukarno menunjuk Yani menggantikan Nasution sebagai KSAD. Sejak itu pula, reorganisasi TNI diberlakukan sesuai keinginan Sukarno. Panglima tiap angkatan berada di bawah komando presiden selaku panglima tertinggi. Yani kemudian menduduki posisi setara menteri, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). Pengangkatan Yani sebagai orang nomor satu di jajaran TNI AD jadi sorotan banyak pihak. Pasalnya, untuk kedudukan sepenting itu, Yani berhasil melangkahi beberapa jenderal yang lebih senior. Rosihan Anwar, jurnalis kawakan masa itu, bahkan mempertanyakan apakah Yani mempunyai kewibawaan moral yang besar atas AD? “Menurut kalangan peninjau politik di Jakarta, hal itu masih jadi pertanyaan. Sebab Yani punya kecendrungan hidup bermewah-mewah,” tulis Rosihan dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965 . Kortsluiting Menjadi Menpangad menempatkan Yani berada di lingkaran dalam Sukarno. Sementara Nasution, “ditendang ke atas” menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Wewenang Nasution atas komando AD telah dilucuti. Otoritasnya sebatas mengkoordinasi angkatan perang. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967 , Nasution sengaja disingkirkan karena galak mengkritik Sukarno terutama menyangkut korupsi dan kehidupan pribadi. Nasution mengakui, semenjak Yani menggantikan dirinya, hubungan mereka tak lagi serasi. Satu kata dalam bahasa Belanda, " kortsluiting”, (artinya: terputus)demikian Nasution menggambarkan relasinya dengan Yani. “Sejak 1963, tak pernah lagi ada konsultasi antara kami berdua, kecuali sekedar bertemu secara insidental saja,” ungkap Nasution. Menurut sesepuh TNI AD Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo -orang dekat Yani yang pernah menjadi perwira pembantu di Mabes AD- latar belakang masing-masing turut mempengaruhi perbedaan pandangan antara Yani dan Nasution. Nasution sebagai orang Mandailing merupakan Muslim yang kuat. Sedangkan Yani, orang Purworejo yang sikapnya Muslim Jawa (abangan). Di tambah lagi, pada zaman Belanda, Yani sekolah di AMS (sekolah Belanda setara SMA) yang bergaul secara Barat. “Pak Nasution tak bisa dan tak biasa hidup senang-senang seperti Bung Karno. Berdansa-dansa dan dikerumuni perempuan-perempuan, itu jauh dari sikap hidup Pak Nas. Pak Yani beda, ia bisa sekalipun tak biasa melakukannya,” kata Sayidiman kepada Historia . Meski berbeda pendekatan terhadap Sukarno, Yani dan Nasution sepaham urusan melawan PKI. Menurut Sayidiman, dengan kedudukannya, Yani memainkan peran terselubung membungkam kebijakan dan lobi-lobi politik kubu PKI kepada Sukarno. Ini pun atas sepengetahuan Nasution. “Pak Nas juga setuju bahwa Pak Yani berusaha untuk menjauhkan Bung Karno dari pihak komunis. Kesediaan Pak Yani melayani Bung Karno dalam hidup bersenang-senang termasuk bagian usaha itu. Mungkin Pak Nas anggap Pak Yani terlalu jauh melayani Bung Karno," demikian ungkap Sayidiman.*

  • Misi Kina Indonesia

    MENDENGAR ada pesawat asing mendarat darurat di Lapangan Udara Cikalong, Tasikmalaya, pada 6 Juni 1947, KSAU Suryadi Suryadarma langsung mengutus Opsir Udara III Petit Muharto menuju lokasi. Yang diutus langsung berangkat dan meyakini pesawat asing itu merupakan pesawat rekannya asal Amerika Serikat yang ditungggu-tunggu. “Memang benar dugaan Muharto. Pilotnya adalah Bob Freeberg yang pernah diberi petunjuk, mengikuti rel kereta api untuk sampai ke Maguwo. Waktu itu ia terpaksa terbang rendah di bawah gumpalan awan, dan justru karena itu, ia sebagai orang baru kehilangan orientasi,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Bob Freeberg, veteran AL AS, merupakan pilot Commercial Air Lines Incorporated (CALI) yang bersama Muharto menjalani misi menembus blokade Belanda di masa awal kemerdekaan. “Pesawat C-47 Dakota milik Bob Freeberg secara resmi disewa oleh Pemerintah RI dan diberi nomor registrasi RI-002,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma . Misi Membiayai Revolusi Dari Tasik, Bob dan Muharto diterbangkan ke ibukota Yogyakarta menggunakan pesawat Nishikoreng yang dipiloti Sunaryo “Betet” untuk menemui KSAU Suryadarma. Keduanya langsung mendapat tugas baru dari Suryadarma. “Tugas yang harus dijalankan adalah mengangkut barang untuk dijual di luar negeri, berupa serbuk kina dan panili,” tulis Irna. Tugas menembus blokade Belanda itu dibuat Suryadarma untuk mencari tambahan dana guna membiayai perjuangan. “Dalam kondisi dikepung daerah Federal yang telah dikuasai Belanda, pada hakikatnya Djokjakarta sudah diblokade dengan rapat, sehingga tidak mungkin lagi bisa mendatangkan obat-obatan, begitu juga upaya mencukupi kebutuhan sandang serta beragam keperluan hidup lainnya. Blokade tersebut hanya bisa ditembus lewat udara, dengan memanfaatkan sejumlah penerbang pemberani, yang berani nekad menerobos blokade,” tulis Julius Pour dalam Doorstoot naar Djokja . Bersama “Betet”, Bob dan Muharto pun kembali ke Tasikmalaya. Sementara pesawat RI-002 diisi bahan bakar dan dimuati 29 peti serbuk kina dan 11 peti panili, dipasok oleh Divisi Siliwangi, Muharto selaku pemimpin misi memberi briefing kepada para awak. Selain Muharto dan Bob sebagai pilot, misi tersebut diawaki dua juru mesin berkebangsaan Filipina; Pang Suparto, perwira Siliwangi yang ditugaskan sebagai juru muat; dan Opsir II Boediardjo selaku juru radio. “Saya yang masih berada di Malang dipanggil untuk ikut mengawal pesawat Dakotanya Bob yang diberi nomer register RI-002. Setelah dimuati kina dan panili kami lepas landas,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi. Pada 9 Juni, RI-002 terbang menuju Yogyakarta. Setelah para awak beristirahat, pukul 23.45 pesawat yang dipiloti Bob itu bertolak menuju Labuan untuk mencapai Manila. Setelah melalui perjalanan malam berbahaya itu para anggota misi langsung disambut masalah setibanya di Manila. “Siapa lagi kalau bukan Perwakilan Belanda yang menuduh RI-002 mengangkut kina hasil curian dari Pabrik Kina di Bandung, yang berada dalam yuridiksi kekuasaan Belanda,” lanjut Boediardjo. Lewat kuasa hukum Ponce Enrile, De Witt, dan Perkins, Konsul jenderal Belanda di Manila menuntut penyitaan terhadap semua peti berisi kina yang dibawa RI-002. Beruntung, misi AURI mendapat dukungan penuh dari Senator Filipina Salipada Pendatun. Veteran Guerilla Army of Muslims and Christians itu gigih melawan upaya yang dilakukan para advokat Konjen Belanda. Meski memakan waktu sebulan lebih, Indonesia akhirnya menang. Pemerintah Filipina menyatakan 29 peti kina dan 11 peti panili yang dibawa RI-002 menjadi hak penuh awak RI-002. Namun, selesai urusan dengan Konjen Belanda tak berarti masalah selesai. Ke mana kina dan panili itu harus dijual? Manila tak punya pasar untuk dua komoditas yang belum dikenal tersebut. Masalah kian bertambah ketika Boediardjo jatuh sakit akibat malaria. Dengan uang saku pas-pasan yang kian menipis sementara dagangan belum jelas kapan akan terjual, para awak misi mesti hidup hemat. “Setiap hari mereka berjalan kaki bersama sejauh setengah mil untuk makan di suatu kedai nasi murah. Yang disantap juga selalu menu yang itu-itu juga,” tulis Irna. Hari-hari berat itu dijalani para anggota misi dengan terus menawarkan dagangan kepada berbagai pihak, terutama peminat asal Amerika. Perjuangan mereka akhirnya berhasil, komoditas yang mereka bawa laku. Hasil penjualan kina dan panili, ditambah bantuan dana dari rekan-rekan Suparto di Singapura, langsung mereka gunakan untuk membayar utang-utang selama di Manila dan membayar jasa Bob. Sisanya, dibawa Suparto ke tanah air untuk biaya perejuangan.

  • Korem Bantah Larang Seminar di Malang

    BERITA mengenai pelarangan seminar sejarah di Universitas Negeri Malang (UM) oleh instansi militer setempat mendapat tanggapan dari Korem Kota Malang. Kepala Penerangan Komando Resort Militer (Kapenrem) 083/Baladhika Jaya (Bdj) Mayor (Inf.) Prasetya HK mengatakan pihaknya tak melakukan pelarangan acara tersebut, karena memang bukan ranah mereka, menilik UU No 12 tahun 2012 pasal 8 ayat 3 tentang kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan Perguruan Tinggi. “Kita menganggap permasalahan ini sudah selesai. Dari pihak panitia juga sudah mengklarifikasi bahwa pembatalan ini murni dari panitia, tidak ada intervensi dari Korem maupun Kodim,” ujar Kapenrem Prasetya ketika dimintai konfirmasi Historia , Jumat petang, 12 Oktober 2018. Konfirmasi itu menegaskan isi rilis yang tersebar di broadcast message pesan singkat sehari sebelumnya. Dalam rilis itu, Kapenrem keberatan dengan berita yang dimuat Historia pada 10 Oktober 2018 terkait pembatalan seminar sejarah di UM tersebut. Kapenrem juga menyayangkan berita di Historia yang dianggapnya tidak benar dan menyudutkan institusi TNI karena tidak meminta konfirmasi terlebih dahulu. Mengenai surat pembatalan dari panitia kepada para pembicara seminar yang menjadi sandaran berita di Historia , Korem 083/Bdj telah meminta klarifikasi kepada pihak panitia. Pihak panitia kemudian menyampaikan permohonan maaf karena mencantumkan nama Korem 083/Bdj dan Kodim 0833/Kota Malang dalam surat pembatalan tersebut. Sebagaimana diberitakan sebelumnya, UM sedianya akan menggelar seminar sejarah bertajuk “Perubahan dan Kesinambungan Historis dalam Perspektif Keilmuan dan Pembelajaran” pada 24 Oktober mendatang. Seminar akan menghadirkan empat pembicara, yakni Asvi Warman Adam (sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia/LIPI), Sri Margana (sejarawan Universitas Gajah Mada), Abdul Syukur (sejarawan Universitas Negeri Jakarta) dan Ari Sapto (sejarawan/Ketua Jurusan Sejarah UM). Namun acara tersebut akhirnya dibatalkan. Pihak panitia mengirimkan surat pemberitahuan bernomor 10.10.85/UN32.7.5.3/KP/2018 yang berisi penundaan/pembatalan seminar kepada empat narasumber. Surat itu ditandatangani Ari Sapto selaku Kajur Sejarah dan Reza Hudiyanto selaku ketua pelaksana. Di butir pertama keterangan dicantumkan bahwa muncul pemahaman yang keliru di masyarakat setempat dan beredar di media sosial, khususnya dari beberapa kelompok tertentu, sehingga menarik perhatian pihak keamanan/intelijen di Kota Malang. Sementara di butir kedua keterangan dicantumkan: “Berdasar hasil diskusi dan negosiasi panitia dengan pihak KOREM dan KODIM Kota Malang, diperoleh masukan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bila seminar tetap dilaksanakan”. Dari informasi lain yang diterima Historia , memang muncul keberatan dan seruan dari kelompok tertentu atas acara seminar yang menurut mereka “kekiri-kirian”. Mereka juga menolak Asvi Warman Adam sebagai salah satu pembicara. Asvi Warman Adam, yang dikukuhkan sebagai profesor riset di LIPI pada 26 Juli lalu, dikenal sebagai sejarawan yang getol dengan pelurusan sejarah G30S 1965.

  • Gempa Bumi Terbesar di Indonesia

    GEMPA bumi dengan magnitudo 6,3 mengguncang Situbondo pada Kamis (11/10) pukul 01.44 WIB. Tiga orang meninggal dunia. Gempa susulan tercatat sudah 14 kali. Sebelumnya, gempa dan tsunami menerjang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, yang menelan korban jiwa lebih dari 2.000 orang. Sedangkan gempa di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menewaskan 563 orang. Indonesia memang rawan gempa dan tsunami. Bahkan, menurut United States Geological Survey (USGS), dari 20 gempa bumi terbesar di dunia sejak tahun 1900, lima di antaranya terjadi di Indonesia: Gempa bumi magnitudo 9,1 di Samudra Hindia (26 Desember 2004), gempa bumi magnitudo 8,6 di lepas pantai barat Sumatra (11 April 2012), gempa bumi magnitudo 8,6 di Nias (28 Maret 2005), gempa bumi magnitudo 8,5 di Laut Banda (1 Februari 1938), dan gempa bumi magnitudo 8,5 di Bengkulu, Sumatra Selatan (12 September 2007). Gempa bumi dengan magnitudo 9,1 di Samudra Hindia merupakan gempa bumi terbesar ketiga di dunia sejak tahun 1900. Gempa bumi terbesar pertama terjadi di Valdivia, Chile (22 Mei 1960) dengan magnitudo 9,5 dan terbesar kedua adalah gempa bumi di Prince William Sound, Alaska (28 Maret 1964) dengan magnitudo 9,2. Gempa bumi berkekuatan sama atau lebih kecil sedikit terjadi pada 11 Maret 2011 di Tohoku, Jepang, dengan magnitudo 9,1, dan gempa bumi di Kamchatka, Rusia, dengan magnitudo 9,0. Semua gempa bumi megathrust tersebut mengakibatkan tsunami yang merusak. Namun, kerusakan akibat tsunami setinggi 30 meter pada 26 Desember 2004 lebih besar dan luas. Gempa bumi tersebut terasa di Banda Aceh, Meulaboh, Medan; dan beberapa bagian Bangladesh, India, Malaysia, Maladewa, Myanmar, Singapura, Sri Lanka dan Thailand. Indonesia paling parah selain Sri Lanka, India, dan Thailand. Menurut USGS, tsunami menyebabkan lebih banyak korban daripada tsunami lain yang tercatat dalam sejarah. Tsunami ini juga tercatat hampir di seluruh dunia oleh alat pengukur pasang surut di Samudra Hindia, Pasifik dan Atlantik. Jumlah korban tewas mencapai 286.000 orang dari 14 negara yang terkena tsunami. Indonesia yang paling banyak korban, sekitar 170.000 tewas dan 50.000 hilang.

  • KTP dan Pajak Anjing

    KARTU identitas (KTP) tak hanya melekat pada manusia, melainkan juga terdapat pada anjing. Baru-baru ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan kartu identitas dan microchip khusus anjing ke khalayak. Kartu identitas memuat data anjing dan pemiliknya, sedangkan microchip berisi riwayat kesehatan anjing dan tertanam di leher belakang anjing. Pemberian kartu identitas dan microchip bertujuan untuk mendata anjing. Pendataan memudahkan petugas mengenali anjing rentan rabies dan anjing bebas rabies. Anjing berkartu identitas dan ber- microchip berarti mempunyai pemilik dan riwayat kesehatan. Pengaturan kepemilikan anjing seperti ini bukan baru kali ini saja terjadi. Pemerintah kolonial Belanda pernah mengeluarkan aturan kepemilikan anjing pada 1906. Aturan itu termaktub dalam Staatsblad (Lembaran Negara) 1906 No. 283 dan menyebut kewajiban bagi para pemilik anjing. Antara lain berupa kewajiban melapor jumlah anjingnya, memberi anjing medali atau peneng, membayar pajak untuk anjingnya, dan ketentuan hukuman bagi pelanggar. “Didenda uang sebanyak-banyaknya lima belas rupiah orang yang memelihara anjing jikalau anjingnya terdapat di jalan raya atau di tanah lapang dengan tiada memakai medali yang masih laku menurut aturan yang tersebut,” demikian bunyi Pasal 7 Staatsblad 1906 No. 283, sebagaimana dikutip dari buku Handleiding ten Dienste van de Inlandsche Bestuurambtenaren terbitan 1919 dan tersimpan di Perpustakaan Nasional Indonesia. Pemerintah kolonial menjelaskan bahwa pemberlakuan aturan itu demi mencegah bahaya penyakit anjing gila, bukan untuk semata-mata mengisi kas. Penyakit anjing gila memperoleh perhatian serius dari pemerintah kolonial. Buktinya pemerintah kolonial turut pula mengeluarkan ordonansi tentang penyakit anjing gila sepanjang 1905-1915. Termasuk pula penanganan terhadap korban gigitan anjing gila dan rumah sakit rujukannya. Pendataan dan pungutan pajak khusus anjing bertahan setelah kemerdekaan. Kebijakan ini terdapat di banyak daerah seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Mojokerto. Pemerintah daerah tersebut kerapkali memuat iklan di media massa tentang kewajiban pemilik anjing mendata anjing peliharaan dan membayar pajaknya. Pengumuman Gubernur Jakarta agar pemilik anjing mendata dan membayar pajaknya. ( Mingguan Djaja , 28 Oktober 1967). Menurut R. Soedargo dalam Padjak Daerah dan Retribusi Daerah terbitan 1964, alasan pemerintah daerah tersebut menerapkan pajak anjing masih laras dengan keinginan pemerintah kolonial, yaitu melindungi warga dari penyakit anjing gila. “Dengan adanya pungutan pajak anjing maka setiap anjing liar dapat ditangkap dengan alasan tidak mempunyai tanda penning untuk kemudian dibinasakan, sedangkan nafsu orang untuk memelihara anjing banyak dapat dikurangkan, sehingga bahaya bagi masyarakat yang datang dari penyakit anjing gila dengan demikian dapat diperkecil,” tulis Soedargo. Tapi keterangan berbeda datang dari Alwi Shahab. Dia mengemukakan pajak anjing berperan besar dalam mengisi kas daerah seperti Kota Bandung. “Pemungutan pajak anjing bagi pemasukan kas ke kocek pemerintah daerah memang cukup besar, bila diingat harga rokok ketika itu sekitar satu perak per bungkus,” tulis Alwi Shahab dalam “Pajak Anjing dan Bursa Kucing” termuat di Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang . Sementara itu Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengingatkan para pemilik anjing untuk menaati Peraturan Pajak Andjing Djakarta 1967. Ali dalam  Djaja , 28 Oktober 1967, menyebut tiga kewajiban pemilik anjing. Pertama , melapor kepada Kantor Urusan Pendapatan dan Pajak DKI terkait jumlah, jenis, kelamin, warna, dan ciri-ciri anjing peliharaannya. Kedua, membayar pajak anjing. Ketiga, tiap anjing yang telah lunas pajaknya harus dilengkapi dengan tanda pajak anjing. Tapi lama-kelamaan pemberlakuan pajak anjing menyurut. Tak ada lagi gembar-gembor dari pemerintah daerah mengenai kewajiban mendata dan membayar pajak anjing. Sebuah penelitian dari Universitas Airlangga pada 1981 menyebut pemerintah justru kesulitan memantau anjing dan menerapkan pajak anjing. Anjing-anjing peliharaan berkeliaran di permukiman tanpa peneng. Tak ada tindakan apapun dari pemerintah terhadap anjing dan pemiliknya. “Jumlah petugas pajak anjing yang sangat terbatas dan disadari bahwa wilayah Kotamadya Surabaya sangat luas mengakibatkan ketidakmampuan petugas pajak anjing dalam melakukan penangkapan atau penahanan terhadap anjing-anjing yang berkeliaran tanpa pengalungan peneng anjing,” tulis Reinhard Rahaningmas dalam Pajak Anjing di Kotamadya Surabaya Suatu Tinjauan Deskriptif . Alasan lain pemberlakuan pajak anjing menyurut ialah rendahnya kesadaran para pemilik anjing terhadap pendataan dan pembayaran pajak anjing. Jangankan mendata dan membayar pajak anjing, kesadaran mengisi formulir surat pajak tahunan dan membayarnya pun masih rendah. Ini terjadi pula di banyak kota. Pajak anjing pun terdengar sayup-sayup. Hanya tersisa imbauan pendataan terhadap anjing, seperti terjadi di Jakarta sekarang.

bottom of page