Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sukarno Sang Kolektor Lukisan
SEHARI setelah pengakuan kedaulatan, 28 Desember 1949 Sukarno beserta keluarganya tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Dia langsung mendiami Istana Merdeka untuk pertama kalinya. Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukannya dengan pekik merdeka. Melihat gelora sambutan rakyat, Bung Karno berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara. “Belanda tidak meninggalkan apapun. Hanya meninggalkan dinding kosong. Saat Sukarno pertama masuk istana, dia melihat kekosongan. Dia tidak punya uang untuk belanja mengisi istana,” kata Mikke Susanto dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Sukarno kemudian mengisi istana dengan barang-barang seni. Dia memindahkan semua koleksi lukisannya yang dipajang di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Dia pun rajin mengunjungi rumah pelukis, sanggar-sanggar seni, dan komunitas-komunitas seni di seluruh Indonesia. Saat itu, Sukarno belum punya uang, tapi tak tega meminta gratisan lukisan dari para pelukis. “Akhirnya Sukarno memberanikan diri ketika bertemu para pelukis akan membeli lukisannya, namun dengan cara mencicil. Dia paham bagaimana kesulitan pelukis sekadar membeli kanvas saat itu. Saat itu belum ada pasar, belum ada kriteria yang disebut sebagai maestro atau legenda. Jadi, antara Sukarno dan seniman berkembang bersama. Mereka dalam tahap mencetak sejarah,” papar kurator seni ini. Perlahan, jumlah benda seni khususnya lukisan di istana bertambah. Mereka ditata sedemikian rupa di dinding-dinding semua istana kepresidenan. Lukisan-lukisan itu kemudian diberi tanda di bagian belakang dengan tulisan seperti “milik Sukarno” atau “milik Ir. Sukarno” atau tanda tangan Sukarno saja. Ternyata, dalam memberi tanda ini, bukan dilakukan oleh Sukarno sendiri tapi dibantu sejumlah pelukis. “Dengan memberi tanda ini, efeknya luar biasa. Koleksi ini bernilai tinggi karena tulisan ini juga. Selain lukisan yang bagus tentunya. Ya, karena dia presiden,” ujar Mikke. Total Nilai Sukarno gandrung dengan karya seni khususnya lukisan karena dia sendiri suka melukis. Dia melukis pertama kali saat kuliah di Technische Hoogeschool Bandoeng di bawah asuhan arsitek Belanda bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Dia kembali melukis ketika diasingkan ke Ende, Flores. “Ada lukisan dia, dari cat air, ukurannya kecil. Sukarno membeli bahan lukisan dari luar Ende. Meski dalam pengasingan, dia dapat gaji. Nah, dia titip dibelikan cat air dan kertas kepada orang-orang yang ke Surabaya, lewat kapal laut. Inilah salah satu yang membuat semangatnya tetap hidup meski terkena malaria,” ujar Mikke. Awal pertemanan Sukarno dengan para pelukis dimulai pada 1930-an dan puncak masa panen koleksi antara 1945-1965. Pihak rumah tangga istana pernah menghitung nilai dari semua koleksi seni kepresidenan yang dikumpulkan Sukarno. “Kami bersama pihak rumah tangga istana pernah menaksir nilai benda seni tersebut. Hasilnya adalah sebesar dua triliun untuk 16 ribu barang seni yang ada di istana,” ujar krititikus seni, Agus Dermawan T. Dari sekitar 16 ribu koleksi seni istana, Agus mendengar dari Guntur Sukarnoputra bahwa sekitar 2000-an lukisan milik Sukarno. Mikke menyebut ada 250 pelukis yang lukisannya dikoleksi Sukarno. Angka itu didapat dari buku-buku koleksi Sukarno dan arsip yang ditulis oleh Gafur, sepupu pelukis Dullah yang turut bekerja di istana era Sukarno. Pendataan koleksi seni kepresidenan dilakukan dengan penyusunan kitab koleksi seni Sukarno. Jilid I dan II dilakukan oleh pelukis Dullah tahun 1956, lalu jilid III dan IV dikerjakan pelukis Lee Man Fong pada 1959. Keempat jilid itu, tulis Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian , diterbitkan oleh Pustaka Kesenian Rakyat di Tiongkok. Pada 1 Januari 1964, terbit buku selanjutnya yang berisi sama dengan keempat jilid sebelumnya ditambah satu jilid khusus gambar foto dan keramik. “Namun, buku-buku itu tak lepas dari kesalahan juga, seperti yang ditemukan Pak Agus dan saya,” kata Mikke. “Jadi, jangan percaya 100 persen. Misalnya, salah nama, T. Ganani, ternyata Tatang Ganar. Lalu pelukis Fadjar Sidik, ditulis Djafar Sidik,” kata Mikke. Selama tiga tahun penelitian untuk buku Sukarno's Favourite Painters , Mikke menemukan sejumlah koleksi Sukarno yang berada di luar istana. “Lebih kurang dari yang temukan saat ini, 5-10 karya ada di luar istana. Istana juga tidak bisa mengklaimnya karena diberikan oleh Sukarno pribadi. Itu urusan lain di luar pendataan karya seni yang ada di dalam istana,” ujarnya.*
- Surabaya dan Sepakbolanya
SIAPA bilang Thor, tokoh fiksi pahlawan super kepunyaan Marvel Universe yang katanya leluhur bangsa Viking, hanya ada di Amerika Serikat. Di Surabaya juga ada. Warisannya kini tersisa hanya sebidang lapangan dan stadion di Jalan Patmosusastro, Wonokromo. Pemugarannya diresmikan Walikota Tri Rismaharini pada 12 Oktober 2017. Namun, Thor di Surabaya bukan superhero Thor di franchise Avengers. Thor di Surabaya merupakan nama klub sepakbola zaman Hindia Belanda yang ikut membentuk Surabaya jadi kota sepakbola. Seperti Jakarta dan Bandung, Surabaya di masa kolonial populasinya juga terkotak-kotak berdasarkan ras sejak 1855: Eropa, Timur Asing (Arab, Tionghoa), dan yang terendah bumiputera. Sekat rasial itu juga masuk ke dalam olahraga, terutama sepakbola, yang dibawa orang Eropa ke Nusantara sejak akhir abad ke-19. “Di Surabaya, klub pertamanya juga didirikan pemuda HBS (Hoogere Burger School) John Edgar dengan klub Victoria tahun 1895. Kemudian berkembang lagi ada SIOD (Scorens In Ons Doel), Sparta, Rapiditas, dan Thor (Thot Heil Onzer Ribben). Ini yang menjadi cikal bakal persepakbolaan di Surabaya,” ujar pengamat olahraga Rojil Nugroho Bayu Aji saat ditemui Historia di Universitas Airlangga, Surabaya. Klub-klub itu lantas bernaung di bawah Oost Java Voetbalbond (OJVB) pada 1907. Dua tahun berselang OJVB berganti jadi Soerabajasche Voetbalbond (SVB). Mulai 1914, SVB berinduk pada Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB) seiring berdirinya federasi sepakbola bikinan Belanda itu. Seakan tak mau kalah dari orang kulit putih, orang Tionghoa dan Bumiputera pun mendirikan klub masing-masing. Oei Kwie Liem mendirikan klub Tiong Hoa Soerabaja pada 1914, sementara kaum Bumiputera lewat R Pamoedji dan Paidjo mendirikan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB) pada 18 Juni 1927 (kini Persebaya), yang tiga tahun kemudian ikut mendirikan PSSI. “Klub Tiong Hoa Soerabaja ini pesat perkembangannya karena mereka juga punya (sokongan) POR (Perkoempoelan Olah Raga) yang membawahi banyak cabang olahraga, termasuk sepakbola. Walau akhirnya kemudian mereka ikut kompetisi di bawah SVB,” lanjut penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola dan Mewarisi Sepakbola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia itu. Di Surabaya lantas muncul satu “poros” kekuatan sepakbola lagi, yakni Soerabajasche Kantoor Voetbalbond (SKVB). Pada 1950, SKVB meleburkan diri ke Persebaya. “Ketika sudah terbentuk dua kutub, SIVB dan SVB, di tengah-tengah ini muncul SKVB. Isinya tim-tim kecil dari perkumpulan orang-orang kantoran di Surabaya (SV Douane, SV Factorij, SV Handelsbank, SV Internatio, SV Marine Kazerne Goebeng). Diinisiasikan oleh Radjamin Nasution, seorang dokter, pegawai bea cukai yang di kemudian hari jadi walikota Surabaya di tiga zaman (Belanda, Jepang, dan Indonesia). Beliau juga anggota Volksraad (wakil rakyat) Bumiputera pertama di Surabaya,” ujar Dhion Prasetya, peneliti sejarah Persebaya dan penulis Persebaya and Them , kepada Historia ketika ditemui di Surabaya. Saling Bersanding Hadirnya SVB dan SIVB sebagai dua kutub persepakbolaan Surabaya menjadi eksponen dari rivalitas PSSI-NIVB di berbagai kota. Uniknya, di Surabaya SVB dan SIVB malah akur. Beberapa kali pernah ada saling tukar atau pinjam pemain, baik saat SVB ikut kompetisi antarkota Stredenwedstrijden maupun kala SIVB bertarung di kompetisi Perserikatan. “Kalau di kota-kota lain kan perlawanannya vis-à-vis . Tidak mau saling bertemu, saling berkonfrontasi. Tapi di Surabaya justru sering berbagi lapangan, sering sparring , terlepas mereka punya kompetisi masing-masing. Tentunya untuk menunjukkan siapa yang terbaik,” sambung Rojil. Pengamat sepakbola surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji (Randy Wirayudha/Historia). Namun, lanjut dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut, SIVB tetap mampu mengembangkan nasionalisme lewat sepakbola. “Artinya dari dulu kultur sepakbola di Surabaya tidak sama dengan di Jakarta atau Bandung. Di Surabaya, mereka (SIVB dan SVB) bisa bertanding dan bersanding dengan fair ,” tambah Rojil. Zaman Jepang hingga Sekarang Seiring berkuasanya Jepang, olahraga, terutama sepakbola nyaris vakum. “Masa paling suram dalam sepakbola, tak hanya di Surabaya tapi di seluruh Indonesia. Olahraga hanya dikerucutkan melalui satu pintu, Tai Ku Kai . Masa yang paling susah menggelar olahraga untuk hiburan rakyat. Olahraga hanya untuk kepentingan perang. Kalaupun ada pertandingan, tapi tidak reguler seperti sebelumnya,” sambung Rojil. Kelumpuhan sepakbola mulai sedikit terobati di era Perang Kemerdekaan. “Lebih diprioritaskan untuk dijadikan tim PON (Pekan Olahraga Nasional) 1948 di Solo. Para pemain dari berbagai klub di Surabaya diseleksi untuk dijadikan tim PON mewakili Surabaya. Kompetisi reguler baru kembali digulirkan setelah Kongres PSSI di Semarang 1950 usai perang,” lanjutnya. Tim-tim Tionghoa dan Belanda lalu meleburkan diri ke dalam SIVB, yang kini menjadi Persebaya Surabaya, untuk bertarung di Perserikatan. Ketika Liga Sepakbola Utama (Galatama) muncul tahun 1979, tim-tim baru asal Surabaya bermunculan. Selain NIAC Mitra (berubah menjadi Mitra Surabaya), yang besar adalah Assyabaab Salim Grup Surabaya (ASGS, berdiri 1948, ikut Galatama 1991). Assyabaab mulai menghilang setelah Liga Indonesia 1996-1997. Sementara NIAC Mitra pindah “rumah” ke Palangkaraya pada 1999 dan menjadi Mitra Kalteng Putra. Dua tahun berselang, dibeli PT Kutai Kartanegara Sport Mandiri dan berubah nama jadi Mitra Kukar hingga sekarang. “Padahal dulu NIAC Mitra cukup punya pendukung banyak, meski ceritanya agak beda dengan ASGS yang tidak begitu didukung arek-arek Suroboyo. Ya pendukungnya Persebaya juga. Kan dua tim ini main di kompetisi berbeda (Perserikatan dan Galatama). Misal minggu ini masyarakat dukung Persebaya, minggu depan dukung NIAC. Ya ganti-ganti dukungan tim begitu,” tandas Dhion.
- Barisan Jenderal Sahabat Wartawan
Edy Rahmayadi, mantan jenderal yang kini menjadi gubernur Sumatera Utara sekaligus ketua umum PSSI tengah dalam pusaran pemberitaan. Pada sesi wawancara di salah satu televisi swasta baru-baru ini, Edy memperlihatkan mimik wajah yang gusar. Ketika pembawa acara berita menanyakan perihal rangkap jabatan yang dipegangnya, Edy sontak menjawab penuh hardikan: “Apa urusan Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda bertanya kepada saya.” Edy lantas memutuskan pembicaraan. Wawancara terhenti. Telewicara itu berjalin menyusul peristiwa meninggalnya seorang anggota Jakmania akibat keroyokan suporter Persib jelang laga Persib kontra Persija di Bandung (23/9). Si pembawa acara berita bertanya dalam kapasitasnya selaku juru warta. Sementara Edy, menjadi narasumber terkait kedudukannya sebagai orang nomor satu di PSSI. Ceplosan Edy berbuah blunder. Entah sengaja atau karena lagi banyak pikiran, jawabannya mendadak viral dan menuai gunjingan. Yang jelas, ini bukan kali pertama Edy mengeluarkan pernyataan bernada berang. Banyak kalangan menilai, Edy yang pernah menjabat panglima Kostrad ini masih terbawa gaya militer ala perwira tinggi. Namun sebagai pejabat publik, sikap Edy menyikapi persoalan terkesan arogan. Diajak Meliput Dinas Kebalikan dari Edy Rahmayadi, Jenderal M. Jusuf barangkali perwira tinggi TNI yang paling disenangi wartawan pada masanya. Jusuf yang menjadi Panglima ABRI periode 1978—1983 memang di kenal ramah terhadap pemburu berita. Pada 1981, Jusuf pernah mengajak sejumlah wartawan untuk ikut dan meliput perjalanan dinasnya. Saat itu, Jusuf sedang gencar melakukan peninjauan ke berbagai penjuru daerah di Indonesia. Satu diantara puluhan wartawan yang beruntung itu adalah Atmadji Sumarkidjo. Atmadji seorang reporter muda Harian Umum Sinar Harapan . Menurut Atmadji, hubungannya dengan Jusuf pada awalnya sebatas profesionalitas antara wartawan dengan narasumbernya. “Kemudian hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan pribadi yang amat berkualitas dan tak pernah satu kali pun terhenti hingga Pak Jusuf wafat,” kenang Atmadji. Hubungan karib tersebut dimulai dengan perhatian khusus yang diberikan oleh istri Jusuf, Elly Jusuf Saelan atas tulisan-tulisan yang dimuat di suratkabar Sinar Harapan . Atmadji kemudian dipercaya untuk menuliskan biografi M. Jusuf yang berjudul Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Dibekali Pistol Wartawan TVRI, Hendro Subroto menyimpan kesan mendalam terhadap sosok Sarwo Edhie Wibowo. Keduanya bersua saat Sarwo menjabat komandan pasukan elite RPKAD. Pada 1965, Sarwo memimpin pasukan RPKAD menumpas gerakan PKI di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Sementara Hendro yang menjadi juru kamera film berita TVRI ikut meliput. Melihat Hendro yang cuma menenteng tas ransel tanpa senjata, Sarwo bertanya, “Hen, mengapa kamu tak membawa senjata?.” Kontan saja Sarwo membuka couple ring di pinggangnya yang tertambat pistol Makarov 9 x 18 mm berikut tiga magasen peluru dan sebilah pisau komando. Dengan nada kebapakan Sarwo memberikan senjatanya kepada Hendro sambil kasih nasihat. “Kamu jangan sembrono. Pakai ini,” demikian pengalaman itu dikenang Hendro dalam memoarnya Perjalanan Seorang Wartawan Perang . Bertahun berselang, hubungan baik itu terus terbina. Hendro selalu meliput operasi militer yang dipimpin Sarwo, termasuk ketika Sarwo menjadi panglima Kodam Cenderawasih di Papua. Pada dekade 1980-an, nama Hendro telah malang melintang sebagai wartawan senior. Sementara Sarwo, telah pensiun dan dalam keadaan sakit-sakitan. Sekali waktu di tahun 1989, berita sakitnya Sarwo terdengar oleh Jenderal (purn.) Soemitro, mantan pangkopkamtib. Dikenal sebagai orang dekat Sarwo, Soemitro bertanya kepada Hendro saat bertemu di Singapura. “Hen, bagaimana keadaan bapakmu?.” Sebutan bapakmu yang dimaksud Soemitro ialah Sarwo Edhie Wibowo. Kalau You Berani Pertanyaan menantang oleh wartawan juga pernah dialami Benny Moerdani. Pada 1990, Benny pernah mengomentari biografi Jenderal Yoga Soegomo berjudul Memori Jenderal Yoga saat peluncuran di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Kata Benny, “Pak Yoga kalau bercerita mirip James Bond, selalu menang.” Tetiba seorang wartawan muda harian Kompas celetuk. “Pak, boleh saya muat komentar tadi,” kata Julius Pour, nama si wartawan tadi. “Silahkan, kalau you berani,” gertak Benny dengan nada datar tanpa ekspresi. Pengalaman "cari perkara" itu dikenang Julius Pour dalam pengantar buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis . Meski telah pensiun, aura angker masih menyelubungi Benny. Di masa jaya Orde Baru, dia adalah jenderal paling berkuasa. Benny menjabat Panglima ABRI periode 1983—1988 dan memegang kendali lembaga intelijen. Wajahnya pun cukup sangar karena jarang melempar senyum. Di kalangan pers, Benny juga dikenal galak. Dia tak pernah mau dipotret lensa kamera wartawan. Atas anjuran seniornya, Julius membatalkan niat untuk memuat kutipan Benny. Di kemudian hari, kalimat “silahkan, kalau you berani” ternyata selalu diulangi Benny dalam serangkaian wawancara bersama Julius. Sampai pada akhirnya, disepakati bila kisah perjalanan karier Benny akan ditulis oleh Julius. Biografi itu rampung pada 1993 dengan judul Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan . Menurut Julius, Benny adalah orang yang antusias dan cukup terbuka. Benny bersedia menjawab pertanyaan hingga tuntas. Bahkan, berkenan menjelaskan secara rinci tentang semua isu sampai pada desas-desus, dari kecaman hingga fitnah sekitar dirinya. “Beliau selalu rela dengan tangan terbuka bersedia menerima kedatangan saya. Sehingga akhirnya kami sering harus berdiskusi sampai jauh dini hari, di kamar kerjanya nya yang senyap," kenang Julius Pour. Edy Rahmayadi agaknya perlu belajar dari para pendahulunya tersebut dalam memperlakukan pewarta. Sebagai aparat sipil, Edy mengemban amanah rakyat. Saat menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat tak selayaknya dia berlagak seperti jenderal di tengah gelanggang perang.
- Sejarah Tertib Berlalu-Lintas
KORPS Lalu Lintas Polisi Republik Indonesia (Korlantas Polri) hendak menerapkan sistem tilang elektronik bagi para pelanggar lalu-lintas pada Oktober 2018. Sistem ini mengandalkan bantuan teknologi kamera closed circuit television (CCTV), basis data, dan jaringan internet. Polisi mengatakan penilangan model begini bertujuan mengubah perilaku pengendara bermotor menjadi lebih beradab dan menghindari suap-menyuap dari pelanggar ke polisi. Perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Perhatian itu berasal dari unsur pemerintah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, Pemerintah Kota, dan Kepolisian Lalu-Lintas. Mereka merivisi Undang-Undang Lalu-Lintas Jalan Tahun 1933 melalui penetapan Undang-Undang No. 7 Tahun 1951. Perubahan ini berkaitan dengan perkembangan angkutan jalan raya di Indonesia. Kendaraan bermotor mulai jamak hilir-mudik di jalanan. UU Lalu-Lintas Tahun 1951 memuat pembagian lajur cepat dan lambat. Lajur cepat untuk kendaraan bermotor, lajur lambat untuk sepeda, gerobak, dan becak. Ada juga ketentuan mengenai surat izin mengemudi dan syarat perlengkapan keselamatan berkendara. Hukuman dan sanksi terhadap pelanggaran lalu-lintas termaktub pula di dalam UU tersebut. Selain dari Kepolisian, perhatian terhadap perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor juga muncul dari warga biasa. Antara lain dari seorang penulis bernama S. Soemiati. Artikelnya termuat di Teruna , majalah remaja, 10 Oktober 1959. S. Soemiati mengingatkan bagaimana seharusnya orang berperilaku dalam berlalu-lintas di kota besar. Sopan-santun mesti berlaku di jalan dengan cara berbeda. Tidak sebagaimana sopan-santun dalam pertemuan keseharian. “Tak perlu kita setiap kali berjumpa dengan seseorang di jalan, lalu berkenalan atau berjabat tangan, mengangguk ramah tersenyum manis ataupun menyapa sopan. Mana mungkin pula, sebab demikian ramainya dan cepatnya lalu-lintas,” tulis Soemiati. Soemiati mencontohkan sopan-santun berlalu-lintas. “Sopan ialah, jika di dalam kota kita tidak memakai lampu yang besar, sebab menyilaukan pengemudi kendaraan lain yang berlawanan arah,” lanjut Soemiati. Intinya, menurut Soemiati, sopan-santun berlalu lintas berada pada kesadaran kewajiban pengemudi dan penghormatan terhadap hak pengguna jalan. “Barulah dapat dikatakan, bahwa kita mempunyai peradaban batin yang tinggi, telah mencapai tingkat atas dari peradaban,” catat Soemiati. Tapi anjuran Soemiati ini tak selalu hadir di lalu-lintas keseharian. Lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia, semisal Jakarta, penuh dengan kesemrawutan. Perilaku tidak tertib pengendara bermotor dan pengguna jalan menjadi pemandangan sehari-hari. Undang-undang, aturan, dan himbauan tentang tertib berlalu-lintas tak sampai di kepala mereka. “Sering kita melihat oplet yang dengan satu isyarat jari dari seseorang yang ingin menumpang, segera membelokkan stirnya dengan tiada ambil pusing ada atau tidak ada kendaraan di kiri atau kanannya,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya . Kelakuan pengguna jalan non-kendaraan bermotor hampir setali tiga uang dengan sopir oplet. “Becak-becak yang tiada mau kenal dengan aturan lalu-lintas dengan tanda-tandanya yang penting itu. Sepeda-sepeda yang tiada mau menuruti jalan yang telah disediakan untuknya… Sampai kepada orang-orang jalan kaki yang kurang memperhatikan suasana kelilingnya,” catat Kementerian Penerangan. Tak jarang perilaku serampangan ini menyebabkan kecelakaan lalu-lintas. Polisi lalu-lintas kesulitan menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Jumlah mereka belum mencukupi untuk menindak tiap pelanggaran lalu-lintas hari demi hari. “Cobalah kita ingat kalau hampir 40 sampai 50 pelanggaran yang harus diperbal (diproses, .) setiap hari, berapa banyak tenaga-tenaga yang dibutuhkan khusus untuk memperbal kesalahan-kesalahan belaka,” lanjut Kementerian Penerangan. Barisan Keamanan Lalu-Lintas Menyadari keterbatasan jumlah, polisi lalu-lintas merekrut warga kota agar turut membantu menertibkan perilaku pengendara dan pengguna jalan. Mereka terdiri dari pandu dan anak-anak sekolah. Nama kelompok ini Badan Keamanan Lalu-Lintas (BKLL). Tugas mereka bukan menindak para pelanggar lalu-lintas, melainkan mencegah pelanggaran itu terjadi. Pemilihan anggota BKLL dari kalangan pandu dan anak-anak sekolah berangkat dari gagasan bahwa tertib berlalu-lintas sudah harus membiasa sejak usia dini. Ketertiban lalu-lintas bukanlah urusan polisi semata, tetapi juga soal masyarakat. Polisi berpikir jika pemahaman tentang tertib berlalu lintas membiasa sedari dini, kesemrawutan di jalan akan berkurang secara perlahan. Ujungnya ialah penurunan angka kecelakaan. “Menjadikan penduduk kota Jakarta traffic-minded , terutama anak-anak sekolah sebagai usaha untuk ikut mengurangi jumlah kecelakaan,” ungkap Kementerian Penerangan. Polisi membekali calon anggota BKLL dengan pengetahuan tentang aturan berlalu-lintas. Pembekalan berlangsung pada sore hari sebanyak dua kali seminggu. Jadwal ini tak mengganggu kegiatan sekolah reguler pagi calon anggota BKLL. Setelah memperoleh 10 kali pembekalan, calon anggota BKLL akan menghadapi ujian di Kantor Besar Polisi Jakarta. Mereka akan memperoleh ijazah dari kepolisian jika berhasil lulus ujian. Menjadi anggota BKLL berarti siap pula mengemban tugas sebagai pelopor disiplin berlalu-lintas. Karena itu, polisi memberi anggota BKLL latihan baris-berbaris saban ahad pagi. “Dengan maksud supaya disiplin dapat tertanam,” ungkap Kementerian Penerangan. Polisi percaya, disiplin baris-berbaris anggota BKLL akan berkembang ke disiplin berlalu-lintas. Saat dirasa sudah siap dengan sikap disiplin berlalu-lintas, anggota BKLL mulai bertugas di jalan. Mereka berada di persimpangan-persimpangan ramai. Tapi kehadiran mereka tak cukup membantu menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Alasannya, jumlah anggota BKLL dengan pengendara bermotor dan pengguna jalan tidak seimbang. Selain itu, kehadiran anggota BKLL tidak terlalu menggugah kesadaran tertib berlalu-lintas pengendara bermotor dan pengguna jalan. Perilaku Penegak Hukum Keruwetan lalu-lintas di Jakarta kian sulit tertata pada 1960-an. Jalan-jalan terus penuh oleh kendaraan bermotor, sedangkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan makin jauh dari disiplin. Bahkan di jalan utama seperti M.H. Thamrin, pengendara bermotor dan pengguna jalan bertindak seenaknya. Pengendara bermotor melaju cepat, mengabaikan rambu penyeberang untuk pejalan kaki. “Masih banyak Bung-Bung Sopir dan Tuan-Tuan pengendara yang nampaknya belum begitu paham sopan-santun lalu-lintas. Mereka main serobot dan ngebut saja tanpa mempedulikan pejalan kaki yang sudah berjubel di zebra-cross hendak menyeberang,” tulis Kompas , 24 Juni 1967. Polisi lalu-lintas berupaya menindak para pelanggar batas kecepatan dan rambu. Mereka akan meniup peluit jika menemukan pelanggaran lalu-lintas. Pelanggar harus berhenti, menunjukkan rebewes atau surat izin mengemudi, dan menyodorkan surat bukti kendaraan. Polisi menjelaskan pelanggaran dan sanksinya sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1965. Tapi ada segelintir polisi menerapkan “hukum” sendiri. Para pelanggar tak perlu repot membayar denda atau menjalani hukuman sesuai UU No. 3 Tahun 1965. “Hukum” di luar hukum ini disebut prit jigo . “Sekali pelanggaran kena semprit, harus memberi sogokan 25 rupiah,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an . Tindakan korup polisi lalu-lintas tak hanya terjadi di kota Jakarta. Niels Murder, antropolog asal Belanda, menceritakan pengalamannya bertemu dengan polisi korup di Brebes, Jawa Tengah, pada November 1969. Dia sedang berkendara motor saat itu. Polisi menggelar razia di depan kantor dan memeriksa setiap pengendara bermotor. Niels kena giliran diperiksa oleh polisi. Surat-suratnya lengkap. Dan dia yakin tak ada aturan berlalu-lintas yang dilanggar. Tetapi seorang polisi tak mengembalikan surat-suratnya. Polisi itu justru membawa surat-suratnya ke sebuah meja. “Para polisi itu, seperti juga orang lainnya, mencari cara untuk mengais sedikit rupiah dari orang yang lewat,” tulis Niels dalam Petualangan Seorang Antropolog . Polisi mencari-cari kesalahan Niels. Nasib serupa menimpa pengendara bermotor lainnya. Polisi mengatakan bahwa mereka telah melanggar aturan lalu-lintas. Pasal sekian, ayat segini, dengan sanksi demikian. Polisi menawarkan cara singkat agar surat-surat pengendara bermotor lekas kembali. Pengendara tak punya pilihan. “Orang yang bijaksana selalu menyisipkan uang seratus rupiah ke dalam SIM itu,” tulis Niels. Itulah harga untuk pengembalian surat-surat kendaraan atas pelanggaran yang tak pernah mereka lakukan. Niels enggan membayar seratus rupiah. Dia mendatangi meja tempat suratnya ditahan. “Kutinggalkan motorku di tempatnya, berjalan menuju meja itu, merampas surat-suratku dari tangan si polisi, lalu pergi,” ungkap Niels. Perilaku korup polisi mencoreng wibawa mereka. Banyak orang menjadi ragu dengan upaya penertiban perilaku berlalu-lintas para pengendara bermotor. Keadaan ini jadi alasan bagi mereka untuk terus melanggar aturan. Toh , polisinya juga sering melanggar hukum. Kemudian zaman bergerak cepat dan teknologi berkembang. Kamera CCTV kini terpasang di banyak sudut jalan. Ide penerapan tilang elektronik pun muncul untuk memperbaiki perilaku berkendara dan menghindari suap-menyuap.
- Nasib Pasien Negeri Jajahan
SEJAK rumahsakit jiwa (RSJ) pertama dibangun di Buitenzorg (Bogor) tahun 1882, pasien gangguan jiwa terus berdatangan. Bahkan ketika Pulau Jawa sudah memiliki dua RSJ baru, dibangun pada awal abad ke-20 di Malang dan Magelang, tetap kewalahan menangani jumlah pasien yang terus membludak. Pasien itu ada yang diantar keluarga, ada juga yang diantar prabot desa. Salah satu pasien, orang Tionghoa berusia 30 tahun, misalnya, diantar keluarganya ke RSJ Magelang akibat sering memukuli istrinya. Pasien yang diantar oleh keluarganya ini adalah mereka yang membayar perawatan secara penuh. Biasanya mereka kelas atas pribumi dan Tionghoa, atau keluarga Eropa. Sementara, pasien golongan kedua adalah mereka yang dirawat secara cuma-cuma lantaran gangguan jiwa yang dianggap mengganggu masyarakat. Mereka merupakan pribumi miskin. Sebelum dimasukkan ke RSJ, penderita jenis ini terlebih dulu ditangkap, dipenjara, dan diadili. Jumlah mereka amat banyak, mendominasi jumlah pasien RSJ. Di RSJ Sumber Porong, Malang, misalnya, jumlah mereka mencapai 2000 dari 2600 pasien yang mesti dirawat RSJ sampai tahun 1930. Menurut Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, jumlah pasien yang membayar secara penuh pengobatannya hanya sekira dua ratusan orang. Dengan perbandingan yang senjang antara pasien yang dirawat gratis dan mereka yang membayar, pengelola rumah sakit melakukan siasat. RSJ Sumber Porong yang dipimpin WF Theunissen lalu membangun banyak tempat tidur dan menghemat biaya pembangunan serta lahan dengan mengurangi jumlah paviliun. Meski RSJ di era kolonial menampung pasien dari segala ras atau etnis, pemisahan kelas antara Eropa, pribumi kaya, dan pribumi miskin tetap terjadi. “Tidak ada bangunan dari batu bata untuk inlander . Bangsal mereka disesuaikan dengan gaya hidup dan etnisitasnya, juga kebutuhannya,“ kata JW Hoffman, psikiatris yang menggagas perawatan kesehatan mental untuk pribumi dan perawatan kesehatan mental pribumi berbiaya murah, dikutip Sebastiaan Broere dalam In and Out of Magelang Asylum . Bangsal berbatu bata selain mahal dianggap tak cocok untuk pasien pribumi. Alhasil, mereka ditempatkan di rumah bambu yang bahkan tak berjendela. “Mereka akan makin stres dan kena beri-beri lalu meninggal. Biarkan orang Jawa melihat gunung birunya, menetap di daerah pedesaan, di mana alam menenangkan jiwanya,” Hoffman melanjutkan. Para pasien pribumi tinggal di pondok bambu yang mereka bangun sendiri atas pengawasan pengelola rumahsakit. Perawatan yang mereka terima juga alakadarnya. Mereka menjalani perawatan dengan banyak kegiatan di RSJ yang terintegrasi dengan perkebunan. Mereka terus dibuat sibuk beraktivitas sehingga hanya menyisakan sedikit waktu dan tenaga untuk mengamuk. “Kehidupan sehari-hari di dalam suaka mencerminkan realitas kehidupan sosial di luar: pasien laki-laki sibuk membuat dan memperbaiki perabotan, berkebun, dan berurusan dengan ternak, sementara pasien perempuan membuat, memperbaiki, dan mencuci pakaian, juga bekerja di dapur,” tulis Pols. Bahkan ketika para pasien pribumi miskin itu telah sembuh dan tak punya tempat untuk hidup, mereka tetap bisa bekerja di perkebunan rumahsakit. Kerja-kerja dari mereka jelas menguntungkan pihak RSJ sehingga mereka tak benar-benar menerima perawatan secara gratis. Bila mereka tidak melakukan kerja-kerja fisik di RSJ, mereka akan dicap malas karena seolah trah- nya pribumi adalah bekerja fisik. Sementara, pasien Eropa juga diberi tugas namun ringan dan ketika mereka tidak melakukan pekerjaan itu, mereka dianggap menjaga kehormatan sebagai ras unggul yang tak pantas melakukan kerja fisik. Mereka hidup di RSJ dengan sangat dilayani. Selain ditempatkan di paviliun privat dan mahal, pasien Eropa dapat pulih dari afeksi mental yang kurang serius sekalipun. Mereka juga dimanjakan dengan fasilitas mewah untuk ukuran RSJ, seperti bisa mandi kapan pun mereka mau, perawatan di tempat tidur, dan waktu luang untuk berjalan-jalan di saat pasien pribumi miskin harus bekerja sampai kelelahan. Pemisahan ini, tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry In Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, menjadi satu bukti adanya perbedaan rasial dalam memperlakukan pasien RSJ.
- Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok
SEBUT saja namanya Muhammad. Lelaki tua yang jalannya pincang itu hingga kini tak paham mengapa dirinya sempat dipenjara. Bermula dari kejadian pada 12 September 34 tahun lalu di Tajungpriok. Menjelang magrib seperti biasa dia pulang dari tempat kerjanya: sebuah bengkel kecil di bilangan Jalan Yos Soedarso, Jakarta Utara. “Saya sedang menunggu bus yang lewat, ketika terjadi rame-rame lalu kaki kanannya saya tiba-tiba terasa nyeri,” kenang kakek berusia 68 tahun itu. Kaki Muhammad ternyata terhantam sebutir peluru. Saat kejadian dia mengaku tak berdaya untuk ikut lari seperti yang lainnya. Memang sempat ada sekelompok orang yang membawanya ke rumah sakit terdekat, namun tak lama kemudian dia justru dijemput oleh lima petugas berpakaian preman lantas dibawa ke suatu tempat yang sangat asing baginya. “Belakangan baru saya tahu itu adalah Rumah Tahanan Militer Cimanggis di Depok sana,” ujarnya. Tiga bulan lamanya Muhammad berstatus sebagai tahanan di RTM Cimanggis. Dia kemudian diantarkan ke rumahnya dengan ancaman keras: tidak boleh bicara dengan siapapun terkait apa-apa yang sudah dialaminya. Namun benarkah dia terlibat dalam insiden berdarah di Tanjung Priok malam itu? “Saya ini buta politik. Boro-boro ngurusin politik, makan sehari-hari saja sudah susah,” katanya dalam nada pelan. Aktivis Pengajian Berbeda dengan Muhammad, Dudung bin Supian (55) hadir dalam pengajian malam itu dalam kapasitas yang memang bisa disebut aktivis. Sebagai seorang muslim yang tidak menyetujui pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal, Dudung termasuk rajin mendengarkan para ustadz radikal itu berdakwah di wilayah Jakarta Utara. Pada saat terjadinya insiden berdarah di Tanjung Priok, Dudung adalah salah satu dari ribuan massa yang bergerak ke markas Kodim Jakarta Utara.Masih segar dalam ingatannya, dia bersama kawan-kawannya tengah meneriakan takbir pada saat berondongan peluru menyiram barisan mereka. Akibatnya, beberapa tubuh langsung rubuh. Dia sendiri terluka di bagian lengan kananya dan cepat diangkut ke rumah sakit terdekat. “Setelah dua bulan di rumah sakit, saya dijemput aparat untuk dipenjarakan,” kenang lelaki yang saat itu berprofesi sebagai penjual air bersih. Aktivis pengajian lainnya yakni Amir bin Bunari (53) harus iklash kehilangan tiga jari tangannya akibat dihantam peluru tajam. Malam itu, dia bergabung dalam barisan massa yang bergerak menuju pos komando tentara. Tetapi di tengah perjalanan, Amir mendengar berondongan senjata menyalak tak hentinya sehingga membuat orang-orang di sekitarnya jatuh terjengkang. “Saya sendiri mencoba lari, tetapi keburu tertembak,” ungkapnya seperti dikutip Tapol London dalam Muslim on Trial . Seperti yang lainnya, Amir lantas dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan sekadarnya. Dia lantas dipindahkan ke sebuah rumah sakit tentara dan menjadi tahanan hingga tiga bulan ke depan. Mencari Adik Damsirwan bin Nurdin (55) masih ingat malam itu dia disuruh sang bapak untuk mendari dua adik laki-lakinya. Ketika mendengar di Jalan Sindang ada terjadi keributan, dia langsung berlari ke arah tempat tersebut dan berharap bisa menemukan adik-adiknya. Beberapa orang sudah memperingatinya, namun Damsirwan jalan terus, hingga dia bertemu dengan sekumpulan massa yang tengah berlari ke arahnya. “Seorang yang lari melewati saya, tiba-tiba terkena peluru dan langsung roboh, saya sendiri secara spontan langsung menjatuhkan diri,” ujarnya. Karena kondisi yang tak terkendali dan banyaknya orang yang tertembak, Damsirwan memutuskan untuk tidak bangkit lagi dan berpura-pura mati. Namun aksinya ini diketahui oleh seorang polisi yang langsung mendekatinya lantas menendang kepalanya. Dia kemudian diseret dan dilemparkan secara kasar ke dalam satu truk tentara dan langsung diangkut ke rumah sakit tentara. Di sana dia bertemu dengan dua adiknya yang juga mengalami luka-luka karena tembakan. Ada ratusan orang yang menjadi korban dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, namun secara resmi hanya mayat Amir Biki (pemimpin demonstrasi) yang dikembalikan oleh pihak aparat kepada keluarganya untuk dimakamkan. Itupun setelah pihak aparat dibujuk oleh Mayor Jenderal TNI Edi Nalapraya, salah seorang link militer Amir Biki sejak penumpasan orang-orang kiri pada 1966-1967. “Tidak kurang 400 orang muslim menjadi syahid, ratusan lagi yang luka-luka, lalu diikuti penangkapan para ulama dan mubaligh,” ungkap Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia. Sepanjang kesaksian para korban yang dinukil Tapol London, selain Biki ada tiga mayat lagi yang dikembalikan kepada keluarganya masing-masing. Namun mereka dilarang keras untuk menguburkan para korban tersebut secara terbuka. Adapun ratusan korban lain, hingga kini keberadaan mereka masih misterius. Rumor-rumor menyebar bahwa mereka dibuang ke laut lepas di wilayah Kepualauan Seribu. Versi Pemerintah Bagaimana pemerintah Orde Baru sendiri memandang kejadian berdarah di Tanjung Priok? Dalam suatu tulisan berjudul ‘Tragedi Berdarah di Priok”, jurnalis Sinar Harapan Panda Nababan menyebut insiden itu sebagai dipicu oleh adanya gap sosial yang disiram oleh isu SARA sehingga menimbulkan gejolak. Sinar Harapan sendiri menilai bahwa peristiwa berdarah itu diawali oleh penyerbuan massa bersenjata clurit, parang dan pentungan-pentungan besi ke markas Kodim Jakarta Utara, sehingga menimbulkan reaksi yang keras dari aparat. Dalam pernyataan pers setelah 10 jam terjadinya insiden berdarah itu, Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani menyebut posisi sulit 15 prajuritnya yang harus menghadapi massa beringas berjumlah sekira 1.500 orang. Kendati demikian, Moerdani megatakan sesungguhnya pihak aparat telah melakukan tahapan persuasif namun ditolak mentah-mentah oleh massa. Para prajurit lantas melepaskan tembakan ke udara, namun tak digubris jua akhirnya terpaksa dilepaskan tembakan langsung. “Karena massa terus menyerang dengan mengayunkan senjata clurit dan berusaha merebut senjata petugas keamanan,” ujar Moerdani dalam biografinya, Profil Prajurit Negarawan karya Julius Pour. Pengutukan terhadap para pengunjukrasa juga kembali dilontarkan oleh Moerdani saat melakukan konfrensi pers di Aula Deparetemn Hankam/Markas Besar ABRI pada 13 September 1984. Dalam kesempatan itu, Moerdani yang didampingi oleh Menteri Penerangan Harmoko dan Panglima Kodam V Jakarta Raya, Mayjen Try Soetrisno mengecam peristiwa itu sebagai bentuk nyata perlawanan terhadap hukum yang berlaku. “Di samping itu, mereka menyalahgunakan ajaran agama dan tempat ibadah untuk menghasut umat beragama dan anak-anak sekolah,” ujar Benny Moerdani seperti dinukil oleh Sinar Harapan edisi 14 September 1984. Peristiwa Tanjung Priok menyebabkan citra Benny Moerdani menjadi buruk di sebagian kalangan Islam. Kepada sejarawan Salim Said, seorang aktivis Islam terkemuka bahkan secara terang-terangan menyebut Moerdani sebagai “pembantai orang-orang Islam di Tanjung Priok”. Situasi tersebut menyebabkan Benny Mioerdani harus melakukan klarifikasi kepada Menteri Agama Munawir Sjadzali. Bahkan, tidak cukup sowan kepada Menteri Agama, Moerdani pun melakukan safari ke pesantren-pesantren terkemuka di daerah.*
- Hilang Nyawa Suporter Bola Salah Siapa?
GELORA Bandung Lautan Api bergemuruh saat pilar Persib Bandung Bojan Mališić mencetak gol di injury time babak kedua kontra Persija Jakarta, Minggu (23/9/2018) petang. Gol pengunci kemenangan 3-2 Persib itu meletupkan kebahagiaan segenap Bobotoh Bandung dan Jawa Barat. Sayangnya, di sisi lain gol itu menenggelamkan aksi tak manusiawi yang mengakibatkan nyawa Haringga Sirla, warga Cengkareng Timur, Jakarta, melayang beberapa jam sebelum laga El Clasico dimulai. Haringga, anggota Jakmania, kena sweeping oknum Bobotoh. Meski dia sempat lari dan minta tolong, tak satupun manusia di sekitarnya iba dan tergerak untuk menolongnya, minimal dengan mencegah para pelaku. Alhasil, pemuda berusia 23 tahun itu tewas dikeroyok menggunakan beragam benda. Anehnya, ke mana 4.327 personel aparat keamanan yang diterjunkan khusus untuk mengamankan laga tersebut? Tak kalah aneh dan tak berperikemanusiaan adalah mereka, terutama warganet, yang dengan enteng menyalahkan sang korban karena nekat datang ke Bandung meski sudah ada himbauan dari kepolisian, klub hingga pengurus The Jakmania.Apakah dengan sang korban datang ke Bandung lantas pantas dihukum apalagi dibunuh? Jelas tidak. Tak ada aturan hukum yang melarang sebuah pertandingan sepakbola dihadiri pendukung tim lawan. Presiden Joko Widodo sampai geleng-geleng kepala. “Fanatisme yang kebablasan,” cetusnya. Menpora Imam Nahrawi bersama BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia) sampai mendesak kompetisi Liga I dihentikan sementara waktu. Ketua PSSI Jenderal TNI Edy Rahmayadi, sebagai pihak yang mesti ikut bertangggung jawab, mau tak mau menuruti desakan itu. Edy juga bakal mengadakan evaluasi meski tak jelas evaluasi seperti apa yang bakal dijalankannya. Siap, Pak Edy! Haringga Sirla, Jakmania asal Cengkareng Timur yang tewas dikeroyok oknum Bobotoh di Bandung (Instagram @militanjakartans) Kasus Berulang Kematian Haringga menambah panjang daftar suporter yang tewas dalam persepakbolaan tanah air. Menurut catatan, 54 suporter meregang nyawa gara-gara rivalitas sepakbola sejak 1995. Tujuh di antaranya akibat “konflik” suporter Persija-Persib sejak 2012, termasuk Haringga. Rangga Cipta Nugraha merupakan korban pertama. Anggota Bobotoh berusia 22 tahun itu tewas pada 27 Mei 2012 akibat tusukan benda tajam. Lazuardi (29), juga Bobotoh, menyusul tak lama kemudian akibat dikeroyok di hari yang sama dengan Rangga. Pun begitu dengan Dani Maulana (17). Mendiang Harun al-Rasyid Lestaluhu (30), anggota Jakmania, tewas dikeroyok di Tol Palimanan Cirebon. Sebelum Haringga, ada Ricko Andrean, Bobotoh yang dikeroyok oknum Bobotoh lain pada 22 Juli 2017 gara-gara menolong suporter Jakmania yang sedang dikejar oknum Bobotoh. Banyaknya korban tak menjadi perhatian semua stakeholder persepakbolaan nasional. Akibatnya, “berbalas pantun” selalu menjadi pilihan dalam penyelesaian. “Ini salah kita semua. Apa yang salah dengan kita? Karena ini terjadi berulang-ulang. Saya kira semua harus duduk bersama, melihat apa yang harus dievaluasi. Aturan kah, edukasi kah, eksistensi federasi kah, operator, klub, fans, atau media yang membiarkan semuanya menumpuk tak pernah ada penyelesaian konkret,” ujar Menpora Imam Nahrawi di acara Indonesia Lawyers Club, Selasa malam (25/9/2018). Belajar dari Inggris? Di masa lalu, klub-klub Inggris dan suporter mereka pernah jadi momok bagi persepakbolaan Eropa. Titik balik terjadi ketika Tragedi Heysel, 29 Mei 1985, yang mengakibatkan 39 orang tewas dan 600 luka-luka. Kejadian itu mengusik Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher. Sang “Wanita Besi” mendorong FA (induk sepakbola Inggris) bertindak tegas. Hasilnya, klub-klub Inggris diperintahkan untuk mundur dari semua kompetisi Eropa. “Kita harus membersihkan permainan (sepakbola) ini dari hooliganisme di negeri kita sendiri dan setelah itu mungkin kita baru bisa membolehkan sepakbola kita bermain di luar negeri lagi,” kata Thatcher, dikutip Jim White dalam A Matter of Life and Death. UEFA sebagai otoritas tertinggi sepakbola Eropa juga memberi sanksi kepada Liverpool dan sejumlah klub Inggris yang punya fans brutal, seperti Manchester United, Norwich City, dan Tottenham Hotspur. UEFA naru mencabut sanksi itu pada 1990. Tragedi Heysel 29 Mei 1985 mengakibatkan 39 orang tewas dan 600 luka-luka. (The Anfield Wrap). Dendam dan Luka Menganga Ibarat minyak dan air, pendukung Persija dan Persib sukar bersatu gara-gara dendam. Bentrok fisik maupun dalam berbagai sarana media yang provokatif mulai terjadi pada 2001 di Stadion Siliwangi. Dari situ, luka tak pernah terobati dan justru menjadi dendam yang terus bergulir bak bola salju. “Makanya saya katakan, jangan bicara damai dulu. Kita bicarakan tentang rasisme dan hinaan provokatif dulu, itu yang harus dihilangkan. Itu yang membuat koreng makin melebar. Rasisme, hate speech , dimulai dari kaos, spanduk, lagu-lagu, tulisan-tulisan di media sosial. Itu hilangkan dulu. Baru kita bicara rekonsiliasi dan perdamaian ke depan,” ujar Ketua Jakmania Tauhid Ferry Indrasjarief kala ditemui Historia. Namun, untuk menghilangkan berbagai hal negatif itu tak bisa hanya dilakukan pengurus suporter. Itu merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder sepakbola nasional. Tanpa kemauan bersama, kalimat “semoga ini yang terakhir” yang mengikuti tiap kerusuhan dengan korban jiwa akan selalu muncul. Hal itu membuat pentolan Bonek (fans Persebaya) Andie Peci, yang juga turut berduka atas meninggalnya Haringga, prihatin. Perilaku buruk suporter, kata Andie, tak lepas dari perilaku para petinggi sepakbola di Indonesia sendiri, baik petinggi klub, operator sampai PSSI. “Proses mencairkan, mendamaikan itu menurut saya hanya akan sia-sia ketika sepakbola nasionalnya sendiri tidak dalam posisi yang baik. Kita harus belajar dari Eropa. Rivalitas suporter di sana tetap dalam batas-batas sepakbola, batas-batas kemanusiaan. Mereka bisa seperti itu karena sepakbola di Eropa itu sudah mapan. Jadwalnya jelas, pengaturan skor nyaris tidak dijumpai, mafia sepakbola relatif kecil, aparat yang memberi rasa keamanan, selalu ada kuota untuk suporter tamu,” ujarnya saat ditemui Historia di Surabaya. Kemapanan sepakbola nasional dan profesionalitas industri sepakbola bakal langsung memengaruhi jalan pikiran para suporter. “Mereka bisa berivalitas dengan suporter lain sebagaimana mestinya. Tidak melakukan rasisme, tidak membunuh, mencelakakan. Itu yang belum bisa ada di sini. Butuh waktu memang, terutama untuk mengubah sepakbola nasional lebih mapan,” tandasnya.
- Sukarno Menjaga Martabat Pelukis
SEKIRA tahun 1960-an, di tengah usahanya menggelorakan semangat imperialis, Sukarno berusaha terus memupuk semangat para seniman untuk berkarya. Dia menginginkan ada studio seni besar untuk kegiatan melukis. Hasrat Sukarno disambut baik oleh Tjio Tek Djien, seorang pengusaha. Dia membuat studio seni lukis besar di kawasan Cideng, Jakarta Pusat. Banyak pelukis bergabung dengan bayaran seribu rupiah per lukisan dan harus membuat satu lukisan per hari. “Jadi, semacam kerja harian. Kalau memenuhi kriteria, berdasarkan instruksi Sukarno, lukisannya didistribusikan ke berbagai galeri seni di seantero Indonesia,” kata Mikke Susanto dalam peluncuran bukunya, Sukarno’s Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Saat itu, beberapa galeri yang dikunjungi orang untuk mencari benda seni, antara lain galeri Banowati di Jakarta dan galeri Pandy di Bali. Galeri Pandy didirikan oleh James Clarence Pandy, mantan pemandu wisata dari Thomas Cook, sebuah biro wisata internasional. Atas dorongan Sukarno, Pandy membuka galeri seni di Sanur, Bali, yang menampung lukisan-lukisan dari pelukis Indonesia. Sementara itu, koleksi benda seni istana terus bertambah. Sukarno memerlukan seorang kepercayaan yang bertugas mengatur segala hal yang berkaitan dengan penataan dan pendataan koleksi seninya. Dia menunjuk pelukis untuk menjadi pelukis istana yaitu Dullah (1950-1960), Lee Man Fong (1961-1965), dan Lim Wasim (1961-1968). Penunjukan sebagai pelukis istana turut membesarkan hati para pelukis Indonesia. “Saat Dullah mundur sebagai pelukis istana, dia diganti Lee Man Fong. Dan Lim Wasim diangkat sebagai asisten karena Man Fong merasa bukan orang kantoran, sementara Lim Wasim disebut Lee Man Fong sebagai orang kantoran. Akhirnya, Lim Wasim yang ada di istana,” ujar kritikus seni, Agus Dermawan T. Lee Man Fong pantas menggantikan Dullah karena karya-karyanya memang sesuai selera Sukarno. Saat menyambut Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta, Lee Man Fong beserta pelukis lain membuat lukisan dinding di Hotel Indonesia yang sangat disukai Sukarno. Lee Man Fong juga memprakarsai dan mengetuai perkumpulan pelukis Tionghoa di Indonesia bernama Yin Hua pada 1955 dan membuat sanggar lukis di kawasan Lokasari. Dari Yin Hua, muncul pelukis Tionghoa seperti Wen Peor, Thio Tjeng Tjwan, Lio Tjoen Tjay, dan Lee Rern. Soal lain adalah kepatuhan Sukarno kepada keinginan seniman. Misalnya, saat Lee Man Fong melukis Sukarno dengan seragam kebesarannya, dia tak keberatan disuruh bergaya oleh pelukis kesayangannya itu. “Bung Karno tidak menentukan cara duduknya sendiri, tapi ditentukan oleh asisten Man Fong yaitu Lim Wasim. Dia yang menata gaya Sukarno. Disuruh miring sedikit oke, mundur sedikit oke. Meski memakan waktu beberapa jam, Bung Karno nurut aja,” ujar Agus. Dalam buku barunya, Sukarno’s Favourite Painters , yang diterbitkan Balai Lelang Masterpice, Mikke Susanto menuliskan 33 pelukis kesayangan Sukarno secara alfabetis dari Abdulah Sr. hingga Willem Dooijewaard. Sembilan di antaranya pelukis mancanegara. Menariknya, Mikke memasukkan Affandi kedalam jajaran pelukis kesayangan Sukarno, padahal Affandi dikenal tak begitu suka Sukarno. “Bung Karno rak seneng (tidak senang, red. ) lukisanku kok. Lukisanku dianggap abstrak. Yang disayangi kok Basuki Abdullah,” ujar Agus menirukan ujaran Affandi tentang Sukarno. Namun begitu, kata Agus, Affandi kagum dengan sikap dan sosok Sukarno. Agus mengungkapkan bahwa di antara para pelukis terdapat persaingan meraih simpati dari Sukarno. Para pelukis iri dengan mereka yang disayangi Sukarno. Sebaliknya pelukis yang disayangi Sukarno juga iri dengan pelukis lain yang tidak dikenal tapi lukisannya dikoleksi Sukarno. Menurut Mikke konsep pelukis kesayangan ini sulit dijelaskan. “Saya membuat asumsi,” kata Mikke, “bahwa semua yang dikoleksi Sukarno, tentu disayangi. Sebab pada dasarnya Bung Karno sangat menjaga harkat dan martabat pelukis.”*
- Ali Bakatsir, Sastrawan Nasionalis Peranakan Arab
DI seantero Timur Tengah, nama Ahmad Sukarno sudah kadung kondang untuk merujuk siapa presiden pertama Indonesia. Bahkan di Kairo, ibukota Mesir, Ahmad Sukarno diabadikan sebagai nama salah satu jalan. Padahal nama asli Bung Karno hanya Sukarno. Perkara nama Ahmad Sukarno bermuasal dari ulah aktivis mahasiswa Indonesia di Mesir. Di zaman revolusi mereka tergabung dalam Panitia Pembela Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tujuannya agak unik dan terkesan pragmatis. Nama yang bernuansa Islami itu memberi citra Indonesia sebagai negara yang dipimpin oleh orang Muslim. Pada masanya, nama Ahmad Sukarno kian viral justru karena pentas drama. Bagaimana bisa? Dalam seminar internasional bertajuk “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” yang digelar kemarin (24/9) di teater Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, terungkap siapa yang berperan dalam popularisasi nama Ahmad Sukarno di Timur Tengah. Adalah Ali Ahmad Bakatsir, sastrawan peranakan Indonesia-Arab yang menambahkan nama Ahmad Sukarno sebagai salah satu lakon dalam karyanya berjudul Audatul Firdaus (Kembalinya Surga). Selain berkhdimat dalam dunia literasi sebagai seorang sastrawan, Ali Bakatsir juga bergiat dalam wadah PPKI. Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, direktur Menara Center –lembaga riset yang mengkaji keturunan Arab di Indonesia– sebelum melahirkan Audatul Firdaus, Ali Bakatsir termasuk orang yang paling rajin menulis di koran-koran Mesir mengenai kabar dari Indonesia. “Tentang Sjahrir, tentang Sukarno, tentang Mohammad Hatta, tentang Dr. Soetomo dalam bahasa Arab. Sehingga orang-orang Mesir menjadi terbiasa dengan pembicaraan tentang Indonesia,” ujar Nabiel. Khidmat di Jalur Sastra Ali Ahmad Bakatsir lahir di Surabaya 10 Desember 1910 (beberapa sumber lain menyebut 1900). Orang tuanya keturunan Arab dari pasangan Ahmad Bakatsir dan Nur Bobsaid. Pada 1920, Ali Bakatsir menimba ilmu di Hadramaut (Yaman) untuk belajar agama Islam dan bahasa Arab. Menurut Ali Hasan Albahar, pengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN, dalam keluarga Bakatsir mengakar dua hal penting: tradisi literasi dan sisi nasionalis. Di Yaman, Ali menetap di kota Seiyoun. Dia berguru pada seorang syekh besar bernama Al Qadhie Muhammad Bakatsir. Di masa ini, Ali mulai memperlihatkan kecakapannya di bidang sastra dengan menyusun bait-baitnya sendiri ataupun menggubah puisi. Selama di Seiyoun, Ali aktif dalam kegiatan sastra dan terlibat dalam penerbitan majalah At Tahdzhib . Seminar “Ali Ahmad Bakatsir: Sastrawan dalam Jejak Sejarah Indonesia” di Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. (Martin Sitompul/Historia). Sebagai pusat kebudayaan Arab, pada 1934, Ali merantau ke Mesir. Kendati terbentang jarak yang jauh, Ali tetap terikat dengan tanah kelahirannya. Apalagi memasuki dekade 1940-an, Ali makin serius memantau gerakan perjuangan di Indonesia lewat diskusi dengan sahabat-sahabatnya dalam PPKI. Pertengahan 1946, dalam acara peringatan setahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Kairo, karya Ali Bakatsir ini bergaung. Naskah drama Audatul Firdaus dipakai sebagai alat propaganda PPKI guna memperkuat perjuangan diplomasi Indonesia. Salah satu babak dari drama tersebut dipentaskan oleh pemuda-pemuda Jam’iah Syubban Muslimin di gedung teater PPKI. Berjuang Lewat Drama Ali Bakatsir menulis Audatatul Firdaus pada 29 Juli di Kairo, Mesir. Ia diterbitkan pertama kali oleh penerbit Maktabah Masr. Naskah drama ini terdiri dari empat babak. Dalam versi cetakan asli bahasa Arab terdiri dari 155 halaman. Ali mempersembahkan drama itu kepada saudara-saudaranya rakyat Indonesia. “Untuk mendengarkan suara rantai yang terlepas yang selama ini membelenggu 75 juta bangsa Indonesia,” tulis Ali Bakatsir dalam pengantar naskah dramanya. Kisahnya mengambil latar di dua tempat di Jakarta, yaitu rumah Haji Abdul Karim yang terletak Lapangan Gambir dan markas gerakan bawah tanah pimpinan Sutan Sjahrir di suatu kampung. Suasana zamannya menggambarkan keadaan negeri Indonesia semasa pendudukan Jepang di awal tahun 1942 hingga 17 Agustus 1945. Ali menceritakan kehidupan dua keluarga pejuang yang masih bersaudara sepupu: Sulaiman dan Madjid. Sulaiman mendukung gerakan bawah tanah pimpinan Sjahrir yang menolak bekerja sama dengan Jepang. Di pihak lain, Madjid sekubu dengan Sukarno-Hatta yang memutuskan bekerja sama dengan Jepang. Alur cerita drama ini menampilkan perdebatan Sulaiman dan Madjid yang berusaha mempertahankan langkah politik masing-masing. Akhir drama dipungkasi dengan terbongkarnya suatu rahasia. Baik Sjahrir maupun Sukarno-Hatta ternyata bermufakat untuk mengambil strategi berbeda menghadapi Jepang namun tetap satu dalam tujuan: Indonesia merdeka. Dalam roman politik itu, Ali tak lupa menggubah lirik lagu Indonesia Raya ke dalam bahasa Arab. Menurut A.R Baswedan yang diwawancara pada 1974 dalam Proyek Sejarah Lisan ANRI , Ali Bakatsir menyiarkan lagu Indonesia Raya di antara mahasiswa Mesir yang diberi kata-kata bahasa Arab yang cukup banyak. Keesokan hari setelah pentas, siaran radio di Mesir ikut memainkan drama tersebut. Lagu Indonesia Raya juga kumandang. Koran-koran Mesir kemudian memberitakan, bahwa ada satu negara bernama Indonesia yang pemimpinnya bernama (Ahmad) Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Opini publik tentang Indonesia terbentuk: sebuah negara Islam yang mau merdeka dan membutuhkan bantuan pengakuan dari negara lain. “Karya Ali Bakatsir ini mempengaruhi pemimpin-pemimpin Arab saat itu,” ujar Nabiel. Menurut Nabiel, hingga saat ini Audatul Firdaus menjadi bacaan yang cukup diminati oleh sebagian kalangan di Mesir yang tertarik soal sejarah Indonesia. Audatul Firdaus sendiri telah dibukukan dalam Kembalinya Surga yang Hilang: Sebuah Epos Lahirnya Bangsa Indonesia yang diterjemahhkan ke bahasa Indonesia oleh Nabiel A. Karim Hayaze. Pada akhirnya Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia. Ali Bakatsir sendiri tetap menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Dia dikenal sebagai sastrawan besar yang menelurkan ratusan buku syair dan naskah drama. Pada 10 November 1969, Ali Bakatsir wafat. Duta besar Indonesia untuk Mesir saat itu, Letjen TNI (purn.) A.J. Mokoginta ikut mengantarkan ke pemakaman dan mengenang jasa Ali sebagai sastrawan yang ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.
- Di Balik Rapat Raksasa di Surabaya
BULAN September 1945 menjadi kurun waktu meledaknya emosi rakyat Indonesia terhadap keadaan di mana serdadu Jepang masih petantang-petenteng meski sudah kalah perang. Ungkapan kekecewaan sekaligus euforia kemerdekaan mereka salurkan satunya dengan rapat raksasa. Sayangnya, porsi terbesar penulisan sejarah tentang rapat raksasa didominasi Rapat Raksasa di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas), Jakarta pada 19 September 1945. Langka masyarakat mengenal rapat raksasa di kota-kota lain, termasuk yang terjadi di Surabaya. “Selain di Jakarta, ada dua rapat raksasa (serupa Ikada). Satu di Tambaksari. Satu lagi di Lapangan Pasar Turi,” ujar Ady Setiawan, peneliti sejarah dari Roodebrug Soerabaia, kepada Historia. Seperti di Jakarta, massa yang hadir di rapat raksasa Surabaya juga sama banyaknya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sacred Territory, The First Days of the Indonesian Republic menyebut, lebih dari 100 ribu rakyat datang untuk ikut show of force terhadap kedudukan Jepang yang diperintah mempertahankan status quo oleh Sekutu. “Para tokoh kepemimpinan Surabaya dan masyarakat tak mengindahkan larangan Jepang terhadap rapat-rapat semacam ini. Rapat Tambaksari maupun Pasar Turi dihadiri massa yang membludak, sekitar 100 ribu orang. Dua rapat raksasa ini rupanya mampu menggugah semangat masyarakat sehingga lebih banyak perampasan senjata terjadi (terhadap tangsi-tangsi Jepang) setelah itu,” sebut peneliti Indonesia asal Australia itu. Kendati esensi rapatnya serupa, menggelorakan semangat kemerdekaan, tetapi dua rapat raksasa di Surabaya memunculkan banyak versi terkait tanggal kejadian. Terutama, rapat raksasa di Tambaksari. Versi Pertama Palmos yang “menjodohkan” keterangan memoar Soehario Padmodiwirio alias Hario Kecik dengan Ruslan Abdulgani, menarik kesimpulan bahwa yang terjadi lebih dulu adalah Rapat Raksasa di Pasar Turi, yakni 17 September 1945. Rapat yang lebih akbar terjadi lima hari berselang, 23 September 1945, di Tambaksari. “Memang ada ketidaksepakatan tentang tanggal pasti kedua rapat tersebut. Tapi disimpulkan bahwa versi Soehario dan Abdulgani yang menyebutkan 17 September untuk Rapat Pasar Turi lebih kecil dibanding 23 September di Tambaksari adalah yang paling tepat. Beberapa artikel lain menyebut rapat-rapat ini diadakan 11 dan 17 September. Yang disepakati semua pihak adalah ada jeda 6 hari antara kedua rapat tersebut,” ungkap Palmos. Versi Kedua Berbeda dari Palmos, pemimpin Pemuda Republik Indonesia (PRI) Soemarsono, dalam memoarnya yang berjudul Pemimpin Perlawanan Rakyat Surabaya 1945 yang Dilupakan, memaparkan terjadinya Rapat Raksasa di Pasar Turi pada 17 September dan Rapat Raksasa di Tambaksari pada 21 September 1945. Rapat Raksasa di Pasar Turi dihadiri massa yang lebih sedikit dengan menghadirkan komandan Polisi Istimewa M. Jasin berpidato. Sedangkan rapat di Tambaksari jauh lebih besar. “Kaum buruh, pemuda, pelajar, tukang becak, kaum perempuan, seluruh rakyat, di mana-mana menyambut ajakan menghadiri Rapat Samudera di Tambaksari jam 4 sore 21 September 1945 dengan pekik merdeka,” kenang Soemarsono. Soemarsono bahkan menyebut jumlah massa yang hadir mencapai 500 ribu orang. Rapat itu menghadirkan antara lain Ruslan Widjajasastra (Angkatan Muda Minyak), Kapten Sapia (eks perwira pemberontak Kapal Zeven Provincien pada 1933), serta Soemarsono sendiri yang ikut berpidato. “Siapa saja yang berani berani menghalangi kemerdekaan Republik Indonesia akan kita pukul hancur lebur!” seru Soemarsono dalam petikan pidatonya pada massa. Rapat itu diakhiri arak-arakan massa arek-arek Suroboyo keliling kota untuk unjuk kekuatan terhadap serdadu Jepang. Keterangan Soemarsono sejalan dengan keterangan mantan pemimpin Pemuda Putri Republik Indonesia (PPRI) Lukitaningsih, yang juga ikut berpidato di Tambaksari. Rapat Tambaksari, kata Luki, merupakan klimaks dari aksi pengibaran Sang Saka Merah Putih di rumah-rumah dan kantor-kantor di seluruh pelosok Surabaya. “Sebagai klimaks dari aksi tersebut, pada tanggal 21 September 1945 diadakan Rapat Umum untuk pertama kalinya di Tambaksari, Surabaya,” ujar Luki dalam “Saham Revolusi”, dimuat dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 . Sama seperti Soemarsono, Luki ikut ditangkap Kempetai usai rapat dan disekap di markasnya yang kini lahannya menjadi Tugu Pahlawan. Mereka akhirnya dibebaskan tengah malam setelah Gubernur Suryo mengancam. Versi Ketiga Ady Setiawan mengakui banyaknya kesimpangsiuran terkait tanggal dua rapat tersebut. Namun dalam bukunya, Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu, Ady mencoba menengok data suratkabar-suratkabar lawas yang ditemukannya, seperti Soeara Asia dan Soeara Merdeka. “ Besok, hari Selasa tg 11/9 moelai poekoel 6 sore di Tambaksari akan diadakan rapat besar oemoem. Sebeloem rapat besar dan masing-masing Siku ke lapangan Tambaksari dan tibanja pawai di lapangan terseboet, diharap sebeloem poekoel 6 sore. Koendjoengilah! Boelatkan kemaoean rakjat dalam rapat itoe! ,” kutip Ady dari kolom di Soeara Asia 10 September 1945. Pukul enam sore yang dimaksud, menurut Jean Geelman Taylor dalam Indonesia: Peoples and Histories , adalah pukul empat sore karena aturan waktu di Indonesia saat itu masih mengacu pada sistem penanggalan Jepang. Sementara istilah Siku adalah penyebutan lingkungan desa dalam bahasa Jepang. Namun, rapat umum itu batal digelar dan diklarifikasi pula oleh suratkabar yang sama dua hari berikutnya, di mana rapat raksasanya diundur jadi 12 September 1945. Namun, lagi-lagi rapat itu juga tak terealisasi dan tak ada penjelasan lebih lanjut dari Soeara Asia. “Tapi ada laporan lain dari Soeara Merdeka yang memuat peristiwa Rapat Raksasa Tambaksari bersamaan dengan laporan persitiwa Rapat Raksasa Ikada, tertanggal 20 September 1945,” imbuh Ady. Dalam berita di koran lawas asal Bandung tersebut dilaporkan, Rapat Raksasa Tambaksari terjadi pada 13 September 1945. Tokoh-tokoh yang berpidato antara lain Residen Surabaya Soedirman, Doel Arnowo dan Bambang Soeparto dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Surabaya. Adapun Rapat Raksasa Lapangan Pasar Turi digelar 17 September 1945. Pembicaranya M. Jasin, yang hanya berpidato pendek. “Soal perbedaan tanggal ini, memoar itu sumber lemah karena berdasarkan ingatan. Beda sama arsip koran. Satu contoh ekstrem adalah soal adanya dua prasasti di dalam satu gedung Monumen Pers tentang pendirian kantor berita Antara di Surabaya,” sambung Ady. Satu prasastinya menyebutkan berdirinya kantor pers itu 1 September 1945, satu prasasti lainnya menyebut bulan Agustus 1945 tanpa tanggalnya. Padahal, prasastinya bersebelahan dan salah satunya saat diesmikan, 18 Desember 1986, dihadiri para pelaku sejarah. “Aneh, kenapa bisa salah. Mungkin karena monumennya dibuat puluhan tahun setelah perang kemerdekaan. Ditambah, keterbatasan ingatan dan roda revolusi di Surabaya yang bergulir sangat cepat dari hari ke hari,” tandasnya.
- Islam Nusantara dan Islam Konghucu
SAID Aqil Siradj mendefinisikan Islam Nusantara sebagai Islam yang berciri “ramah, anti radikal, inklusif dan toleran” karena tempaan sejarah panjang persebarannya yang “didakwahkan [dengan cara] merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, tidak malah memberangus budaya” asli negeri kita. Maka dalam wawancaranya dengan BBC Indonesia (15/6/2015), ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu menegaskan, Islam Nusantara merupakan anti-tesis “Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara.”
- Putra Betawi dalam Pusaran Revolusi Indonesia
KERUMUNAN massa dari Jakarta dan sekitarnya menyemut sejak pagi 19 September 1945 di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas). Mereka tak mempedulikan para serdadu Jepang yang bersiaga di sekitar lokasi dengan senapan Arisaka plus bayonet terhunus, yang nongkrong di belakang juki-kanju (senapan mesin berat) type 92, atau yang bersiap dengan tekidanto (mortir). Massa tahu para prajurit tentara yang sudah kalah Perang Pasifik itu tak hendak menakut-nakuti rakyat yang berkerumun tapi hanya sedang menjaga ketertiban dalam rangka mempertahankan status quo sampai mereka dipulangkan oleh Sekutu. Maka begitu sosok yang didambakan, Presiden Sukarno, muncul saat senja, ratusan ribu manusia merdeka itu bersorak menyambut kedatangannya. Sang proklamator datang dengan dikawal Ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta Moeffreni Moe’min dan perwira Polisi Istimewa Mangil Martowidjojo selaku ajudan Sukarno. Moeffreni mengenakan seragam sipil dengan mengantongi granat dan sepucuk pistol di saku dalam jasnya. “Dia yang pasang badan atas keselamatan Sukarno, (Mohammad) Hatta dan anggota-anggota kabinet yang dijemput Soebianto (Djojohadikoesoemo) dan Daan Jahja dari Pejambon. Juga yang bertanggungjawab atas keamanan dalam peristiwa itu,” ujar sejarawan JJ Rizal saat acara teatrikal rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada di Lapangan Monas, 16 September 2018. Meski Bung Karno tak sampai lima menit cuap-cuap di atas podium, massa membubarkan diri dengan tertib. Peristiwa yang dikenal sebagai Rapat Raksasa Ikada itu aman terkendali. Ketakutan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) maupun jajaran kabinet akan terjadi chaos tak terbukti. Sejak jauh hari Moeffreni, yang mendapatkan info tentang akan adanya keramaian dari anak buahnya, mengkoordinir pengamanan untuk menghindari timbulnya konflik. Terlebih, terhadap rencana Presiden Sukarno datang ke Lapangan Ikada. “Saya sebagai pimpinan BKR Jakarta merasa terpanggil untuk berada di lapangan, terpanggil karena tugas mengamankan situasi yang memanas,” tutur Moeffreni yang dikutip Dien Majid di biografinya, Jakarta-Karawang Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min. Moeffreni Moe'min, ketua BKR Jakarta (ditandai merah), mengawal Presiden Sukarno di Rapat Raksasa Ikada. Moeffreni meracik pengamanan dari berbagai elemen. Selain anak buahnya dari BKR Jakarta, dia mengikutsertakan para mahasiswa Prapatan 10, Menteng 31, Barisan Pelopor pimpinan dr. Moewardi, Barisan Banteng pimpinan Soediro, Barisan Hisbullah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia pimpinan Harsono Tjokroaminoto, Laskar Rakjat Djakarta di bawah Imam Syafi’i dan Daan Anwar, Laskar Klender-nya H. Darip, dan Pemuda Kesatuan Sulawesi serta Pemuda Maluku pimpinan Willem Latumenten. “Moeffreni juga menyebar banyak anak buahnya berpakaian sipil. Setidaknya setiap satu tentara Jepang yang ada di sana dikelilingi tiga anak buah Moeffreni yang menyamar. Jadi kalau terjadi apa-apa, sudah bisa diantisipasi duluan,” sambung peneliti sejarah dari komunitas Front Bekassi Beny Rusmawan kepada Historia. Siapa Moeffreni Moe’min? Namun, zaman justru menenggelamkan nama Moeffreni. Bahkan di berbagai komunitas Betawi sebagai etnis “tuan rumah” di ibukota, nama Moeffreni asing dibanding nama tokoh-tokoh legenda macam Pitung atau Jampang. “Jangankan Moeffreni, Abdulrahman Saleh saja yang sudah pahlawan nasional banyak yang enggak tahu dia orang Betawi dan enggak dikenal. Padahal sudah lama dia jadi pahlawan dari Angkatan Udara,” ujar Beny. Moeffreni memang tak lahir di Jakarta, melainkan di Rangkasbitung pada 12 Januari 1921. “Tapi ayahnya orang Betawi Kwitang, Moehammad Moe’min. Dia jadi ambtenaar di Rangkas dan menikah dengan orang Banten. Makanya Moeffreni lahir di Rangkasbitung,” timpal JJ Rizal. Setelah “makan” bangku sekolahan Belanda, Moeffreni merintis karier jadi wartawan di Majalah Pandoe Djakarta . Dari pekerjaannya itu Moeffreni mengetahui pembentukan Seinen Dojo (Barisan Pemuda) di zaman Jepang. Ikutlah Moeffreni pelatihan khusus untuk pemuda terpelajar itu di Tangerang. “Angkatan pertama terdiri 50 orang. Bersama saya yang saya ingat ada Soeprijadi, Jono Soeweno, Daan Mogot, dan Kemal Idris. Dilatih selama enam bulan,” kenang Moeffreni, dikutip Dien Majid. Selepas Seinen Dojo, Moeffreni meneruskannya ke pendidikan perwira Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Selepasnya, Moeffreni mengikuti pendidikan Renseitai di Cimahi dan Redentai di Magelang. Dalam pelatihan intelijen di Magelang itu Moeffreni mengikat persahabatan dengan Sarwo Edhie, Zulkifli Lubis, dan Ahmad Yani yang kelak jadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Selepas proklamasi, Moeffreni dipercaya Ketua BKR Pusat Kasman Singodimedjo untuk memimpin BKR Jakarta Raya (kemudian berubah jadi TKR Resimen V Jakarta). Letkol Moeffreni Moe'min mengawasi salah satu titik di front timur Jakarta. (Repro Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi ). “Moeffreni itu orang yang menjadi nyawa di wilayah republik di garis terdepan dan front paling panas pertempuran. Dia komandan Resimen V Jakarta berpangkat letkol yang kemudian markasnya dipindah ke Cikampek setelah Jakarta diperintahkan untuk dikosongkan dari elemen militer (mulai 19 November 1945),” ungkap JJ Rizal. Letkol Moeffreni kemudian dipercaya mengomandani Resimen XII Cirebon, menggantikan Kolonel Soesalit Djojohadiningrat (putra RA Kartini). Di bawah tanggungjawabnya selaku komandan Resimen XII itulah Perundingan Linggarjati, 11-15 November 1946, berjalan lancar. Setelah dimutasi untuk menjabat Direktur Diklat Perwira Divisi Siliwangi di Garut pada April 1947, Moeffreni ikut terciduk ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dan dibuang ke Nusa Kambangan. Baru pada 1950 Moeffreni dibebaskan. Dia harus terima pangkatnya diturunkan jadi mayor akibat reorganisasi dan rasionalisasi di tubuh militer. Setelah dipercaya sebagai kepala staf Resimen Bogor lalu jadi “plt” Gubernur Militer di Bandung, Moeffreni bereuni dengan Ahmad Yani di Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) yang sudah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Moeffreni menjabat Asisten Subsistensi. Namun Moeffreni tak lama mengemban jabatan itu. Alasan kesehatan membuatnya keluar dari dinas militer pada 30 Juni 1957, berdasarkan Keppres No. 757/M Tahun 1958 . Moeffreni kemudian memilih mendarmabaktikan hidupnya di DPRD DKI hingga MPR RI. “Panglima” tanpa bintang itu mengembuskan napas terakhirnya pada 1996 di RSPP Jakarta. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Mempahlawankan Moeffreni Sepak terjang Moeffreni membuat Ahmad Syarofi dan para peneliti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) menganggap Moeffreni pantas dijadikan pahlawan nasional. Setelah mendapat restu keluarga Moeffreni, mereka mengajukan pengusulan ke Pemprov DKI yang kemudian membentuk Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Daerah (TP2GD). Ahmad Syarofi (kedua dari kanan), ketua Tim Pengusul Moeffreni sebagai Pahlawan Nasional. (Randy Wirayudha/Historia). “Itu kita sampai delapan kali bolak-balik berkas uji materinya. Setelah disetujui gubernur (DKI), diteruskan ke tim TP2GP (Tim Pengkaji dan Penelitian Gelar Pusat). Sekarang bolanya (keputusannya) tinggal ada di tangan Dewan Gelar,” tambah Syarofi. Dari Jakarta tahun ini tak hanya Moeffreni yang diajukan. Ada pengusulan dua tokoh lain: Usmar Ismail (tokoh perfilman nasional) dan RS Soekanto (Kapori Pertama). “Kita masyarakat Betawi enggak pingin macam-macam, hanya dukungan moral saja. Kiranya pemerintah menghormati penduduk lokal Jakarta. Apalagi terakhir orang Betawi yang jadi pahlawan nasional sudah lama sekali, Ismail Marzuki pada 2004. Itu kita dari LKB juga yang awalnya mengusulkan. You semua lama tinggal di Jakarta, tinggal di tanah Betawi, masak you enggak mau kasih kesempatan buat orang Betawi merasakan peranannya dalam perjuangan bangsa,” tandas Syarofi.






















