top of page

Hasil pencarian

9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kisah Warung Siluman

    BANDUNG 1946. Di hari ke-24 bulan Maret, secara perlahan namun pasti api mulai melahap seluruh area kota tersebut. Namun pada beberapa titik, sekelompok pejuang masih sibuk membakar rumah-rumah dengan menggunakan dinamit lokal yang sumbunya harus disulut secara langsung. “Bayangkan di tengah hujan gerimis, kami harus melakukannya satu persatu: betapa melelahkannya…”kenang Aleh (93), eks pejuang Bandung. Dalam keadaan gelap dan hujan tiada henti, Aleh dan kawan-kawan merasakan waktu berjalan sangat lama. Tetiba pukul 20.00 terdengar ledakan yang sangat keras dari arah timur: tanda perintah untuk membakar Bandung lebih dipercepat lagi. “Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan granat dan Molotov saja supaya lekas selesai…” ujar Aleh kepada Historia . Ledakan dasyat pun terdengar di seantero Bandung. Keadaan kota marak oleh cahaya api, yang memanjang dari arah barat hingga timur. Gumpalan asap putih yang bersanding dengan kepulan debu-debu berwarna hitam membumbung ke angkasa. Jalan yang semula gelap menjadi terang. Dan nampaklah iringan-iringan pengungsi bergerak menuju selatan Bandung. “Sulit untuk dilukiskan perasaan kami saat itu, melihat tumpah darah kami menjadi lautan api. Rasanya pasti sedih…” ungkap Karman Somawidjaja dalam Hari Juang Siliwangi . Rasa lelah yang mendera, menjadikan perut mereka keroncongan. Namun sama sekali tak ada makanan yang mereka bawa. Sementara untuk meminta kepada para pengungsi mereka pun merasa tak tega. Beruntung rasa lapar itu tak berlangsung lama. Begitu para pejuang dan pengungsi memasuki pinggiran Bandung, mereka menemukan warung-warung yang ternyata menyediakan makanan selama 24 jam. “Warung-warung yang malam buta pun tetap beroperasi itu kami sebut sebagai “warung siluman”,” kenang Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Munculnya “warung-warung siluman” itu adalah murni atas inisiatif rakyat di pinggiran kota Bandung. Awalnya mereka membangun dapur umum di setiap desa, tetapi karena dapur umum tersebut tidak mencukupi untuk menampung para pejuang dan pengungsi, maka rakyat pun membuat sejenis warung darurat secara mandiri. Penyediaan bahan mentahnya pun dilakukan secara swadaya: memanfaatkan hasil kebun dan peternakan pribadi. Petugas-petugas warung tersebut terdiri dari para lelaki dan perempuan. Merekalah yang menyelenggarakan kebutuhan logistik para tamunya dari Bandung. “Tak ada yang mau dibayar, semua mereka berikan secara gratis dan ikhlas…” kenang Aleh. Menurut Haji Rusdi, salah satu koordinator warung-warung siluman itu, jumlah pos-pos logitsik tersebut mendekati jumlah ribuan. Di kawasan Cibaduyut saja, kata Haji Rusdi, jumlah warung siluman mencapai angka seratus lebih. “Sepanjang jalan Ciparay-Majalaya, saat itu dipenuhi warung-warung siluman yang diperkuat oleh ratusan pengelolanya…” ujar Haji Rusdi kepada surat kabar Minggu Buana edisi 18 Juli 1983.

  • Teror Arwah di Rumah Bersejarah

    HENRY kecil (Finn Scicluna-O’Prey) terbangun di tengah malam dan melengos keluar kamar begitu saja, seolah ada kekuatan gaib yang menuntunnya. Sang ibu, Marian Marriott (Sarah Snook), sesaat setelahnya kebingugan mencari putranya yang akhirnya didapati sudah terpaku di ujung lorong dekat tangga. Marion melihat mata Henry memutih pertanda kerasukan roh. “Mereka mengincar kita!” seru Henry menunjuk sisi atas tangga yang mentok langit-langit. Sekelebat penampakan yang hadir dalam teknik jumpscare menutup adegan di menit-menit awal film ini. Film besutan sutradara kembar Peter dan Michael Spierig ini mengisahkan drama-horor di sebuah rumah berasitektur era Victoria nan bersejarah, Winchester Mystery House atau Puri Misteri Winchester, di San Jose, California, Amerika Serikat dengan latar waktu tahun 1906. Setelah adrenalin dipacu jump scare di scene pembuka, penonton diajak mendalami kisah nyata di balik misteri rumah dan pemiliknya, Sarah Lockwood Winchester (Helen Mirren). Sarah merupakan janda William Wirt Winchester, pemilik Winchester Repeating Arms Company. Kepemilikan 50 persen saham di perusahaan itu membuat Sarah perempuan terkaya era itu. Sarah hidup dalam duka setelah ditinggal mati suami dan bayinya. Kedukaan ditunjukkannya dengan selalu mengenakan busana bernuansa hitam. Sarah percaya kehidupan keluarganya dikutuk. Selain kian menutup diri, perangainya pun mulai tak masuk akal. Kondisi Sarah membuat cemas anggota dewan direksi Winchester Repeating Arms Company. Arthur Gates (Tyler Coppin), salah satu anggota direksi, langsung meminta bantuan dokter jiwa Eric Price (Jason Clarke). Dia tak ingin perilaku-perilaku ganjil Sarah merugikan perusahaan. Dokter Price awalnya tak percaya paparan Sarah bahwa keluarganya dikutuk hantu-hantu gentayangan. Roh-roh yang mendiami rumah berlantai tujuh itu merupakan roh mereka yang mati akibat senapan buatan Winchester, baik kala Perang Saudara Amerika maupun akibat tindak kriminal. Tapi lama-kelamaan, Price percaya banyak arwah di rumah itu. Sambil menyelipkan sejumlah jump scare , Spierieg bersaudara tak lupa melukiskan alasan Sarah membangun sendiri sejumlah desain interior ganjil yang berkaitan dengan angka 13 dan kamar-kamar yang disegel palang kayu. Kamar-kamar itu dibuat memang untuk didiami para hantu yang senantiasa menggentayanginya. Sarah selalu mendesainnya di tengah malam dan dalam kondisi kerasukan. “Jadi, hantu-hantu itu yang membangun rumah seperti ini?” tanya Price. “Ya, kamar-kamar yang dipalangi untuk mereka yang belum bisa tenang agar terkunci di dalam kamar. Jika arwah mereka sudah bisa tenang, kamarnya akan dibuka dan dibongkar lagi untuk ditempati arwah lainnya,” jawab Sarah. Pada suatu tengah malam, Sarah merasakan kehadiran arwah yang lain dari biasanya. Arwah dengan kekuatan jahat itu ternyata yang merasuki tubuh Henry hingga Henry nyaris membunuh Sarah dengan senapan Winchester-nya. Ternyata, itu arwah Kopral Benjamin Block (Eamon Farren), prajurit Pasukan Konfederasi yang tewas oleh senapan Winchester pasukan Serikat di Perang Saudara Amerika. Kedua saudaranya juga tewas akibat tembakan senapan Winchester. Arwah Block tak hanya meneror Sarah dan Price, tapi juga Marion, keponakan Sarah yang menemani di rumah itu, beserta Henry putranya. Drama panjang nan menegangkan itu mencapai akhir di sebuah klimaks yang dengan apik dihadirkan sutradara. Dengan scene perpaduan gempa dahsyat San Fransisco, 18 April 1906, dan rajutan plot seperti keterkaitan Price dengan kutukan Winchester, Spierig bersaudara sukses membuat ending apik. Spierig bersaudara tak lupa menyisipkan keterangan akhir bahwa Sarah terus merenovasi rumahnya sampai akhir hayatnya pada 1922. Fakta dan Pakem Sejarah Film dengan sound effect yang amat “ ngefek” ini dibuat dengan cukup apik baik detail maupun sejarahnya. Wardrobe, properti, dan gaya/karakter pemeran cukup bisa membangun atsmosfer masa pasca-era Victoria. Namun, kebocoran akurasi fakta sejarah tetap ada lantaran adanya alur dan karakter fiktif. Tokoh Henry Marriott, misalnya, diceritakan merupakan putra dari Marian Marriott, keponakan Sarah. Padahal, faktanya Marian tak punya anak. “Dia dan mendiang suaminya mengadopsi seorang anak perempuan, namun itupun setelah kejadian yang ada dalam film (pasca-gempa 1906),” ungkap kolumnis Sal Pizarro dalam artikelnya di The Mercury News , 2 Februari 2018. Lalu, pada 1906, yang merupakan setting waktu film, Marian faktanya sudah tak lagi menemani bibinya. Dia pindah setelah menikah dengan Frederick Marriott. Di sisi lain, patut diapresiasi bahwa sutradara tak ingin melupakan sejumlah kecanggihan yang tercetus dari kreativitas Sarah seperti sistem drainase, alat komunikasi internal rumah, hingga ide sepatu roda. Namun yang menjadi kekeliruan, terkait ide sepatu roda baru muncul 20 tahun dari set film (1906). Film ini juga cacat di alur yang tak sesuai pakem sejarah. Selain di scene pembantaian balas dendam Kopral Block terhadap para karyawan perusahaan Winchester, ketidaksesuaian terjadi di scene gempa. Dalam film, gempa digambarkan terjadi tak lama setelah jam 12 tengah malam. Padahal, aslinya gempa itu terjadi saat fajar, sekitar pukul 05.12 pagi dan pastinya bukan gara-gara kemarahan arwah Kopral Block.

  • Petisi 24 Oktober

    TAK peduli kenaikannya ke kursi ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) ikut dibantu tim Opsus pimpinan Ali Moertopo, yang merupakan think tank Orde Baru (Orba), Hariman Siregar ogah tinggal diam melihat banyak penyelewengan yang dilakukan pemerintah Orba. Bersama sekjen DMUI Judilherry Justam dan mahasiswa-aktivis lain dari UI maupun kampus-kampus lain, mereka terus aktif mengkritik pemerintahan Orba. Kritik mahasiswa dipicu penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Belum lagi kasus korupsi di Pertamina awal 1970-an tuntas diusut, penyelewengan demi penyelewengan lain bermunculan. “Gerakan mahasiswa 1973/73 memprotes pemerintah pada mulanya berasal dari penentangan terhadap korupsi, yaitu sungguh-sungguh banyak pejabat negara, terutama personil militer telah membangun kepentingan bisnis substansian mereka sendiri,” tulis Muchtar Effendi Harahap dan Andris Basril dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia . Selain korupsi, yang menjadi sorotan mahasiswa adalah keadilan ekonomi dan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah. “Pada pertengahan 1973, kritik mahasiswa banyak ditujukan pada masalah modal asing yang dianggap memperbesar jurang perbedaan dalam masyarakat, karena model pembangunan ekonomi yang dipilih adalah pertumbuhan ekonomi yang banyak dipotong dengan modal asing, yang dianggap sebagai ‘penjajahan model baru’,” tulis Ignatius Haryanto dalam Indonesia Raya Dibredel! Isu-isu tersebut menjadi bahasan dalam diskusi rutin mahasiswa yang digelar Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pimpinan Sjahrir. Diskusi makin intens semenjak Hariman menjabat ketua umum DMUI pada pertengahan 1973. “Langkah pertama yang diambil Hariman setelah menduduki jabatan Ketua Umum DMUI adalah mengadakan kegiatan dalam bentuk diskusi-diskusi. Arahnya adalah fokus menyoroti masalah-masalah sosial-politik dan kemasyarakatan,” tulis Max Diaz Riberu, Syafinuddin al-Mandari, dan Nunik Iswardhani dalam biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba . Pada 13-16 Agustus 1973, DMUI dan GDUI menghelat diskusi untuk menyambut HUT kemerdekaan. Diskusi bertema “28 Tahun Kemerdekaan Indonesia” itu mengundang pembicara tokoh-tokoh populer seperti Soebadio Sastrosatomo, Sjafruddin Prawiranegara, Yuwono Sudarsono. Diskusi itu menghasilkan sejumlah kesimpulan, antara lain: perlunya praktek politik dan serangkaian tindakan untuk menyelesaikan masalah dan bukan sekadar diskusi-diskusi, dan adanya perbedaan gambaran mengenai struktur sosial-politik antara generasi muda dan tua. Diskusi tersebut memicu semangat mahasiswa untuk makin merapatkan barisan dan aktif mengkritik pemerintah. Hariman gencar menggalang kerjasama dengan kalangan mahasiswa-kalangan mahasiswa lain di berbagai tempat. Pada Oktober, 11 mahasiswa ITB mendatangi pimpinan DPR. Setelah diterima ketua Komisi IX Djamal Ali, mereka mengajukan tuntutan. Para mahasiswa kembali bergerak pada 24 Oktober. Hari itu, DMUI menghelat sebuah diskusi untuk memperingati Sumpah Pemuda dan mengundang tokoh lintas generasi. Selain Menlu Adam Malik, tokoh-tokoh yang hadir antara lain Sudiro (mantan walikota Jakarta), BM Diah (tokoh pers, pendiri Merdeka ), Soebadio Sastrosatomo (intelektual PSI), Sjafruddin Prawiranegara (presiden Indonesia semasa pemerintahan darurat), Ali Sastroamidjojo (politisi PNI), TB Simatupang (mantan Kepala Staf Angkatan Perang), dan Dorodjatun Kuntoro-Djakti (dosen FE UI). Usai diskusi, mereka berziarah ke TMP Kalibata. Di sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada pemerintah yang diberi nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu berisi antara lain: meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang antikemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran. Petisi 24 Oktober tak hanya membuat Soeharto berang, tapi juga memantik gerakan protes lebih militan kepada pemerintah Orba yang berpuncak pada Peristiwa Malari. “Gerakan yang melahirkan Petisi 24 Oktober 1973 adalah permulaan daripada perlawanan yang juga berkembang terus, meskipun lewat pasang-surut,” tulis sejarawan Max Lane di lamannya, www.maxlaneonline.com .

  • Ketika Sukarno Enggan Berperang Melawan Soeharto

    DI kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto adalah pahlawan. Kendati demikian, kepopuleran Soeharto tak mencegah para aktivis KAMI mendatangi rumahnya dan melayangkan protes. Mereka kecewa karena Soeharto tak melakukan apapun untuk mencegah pembubaran KAMI oleh Presiden Sukarno.

  • Ida Sang Legenda

    IDA Royani, aktris top 1970-an, tak pernah lupa suatu hari di tahun 1965 ketika sedang rekaman sebuah lagu anak-anak di Studio Remaco. Semangatnya langsung berganti kekesalan lantaran produsernya tiba-tiba memintanya mengganti lagu. Dia berarti harus memulai dari awal. Kekesalan Ida makin bertambah karena pencipta lagu penggantinya, yang diperkenalkan produser kepadanya, merupakan orang yang menyebalkan. “Kampungan,” kata Ida mengisahkan kesan pertamanya bertemu dengan Benyamin Sueb, kepada Historia . Lahir di Jakarta pada 24 Maret 1953, Ida sejak kecil hobi menyanyi. Keriernya dimulai dari penyanyi cilik. Pada 1960-an, Ida juga menjadi bintang iklan. Menginjak remaja, Ida mulai menyanyikan country . Penampilan Ida pun berganti menjadi funky : sepatu boots , baju trendy , dan rambut warna-warni. Ida dikenal sebagai penyanyi remaja yang funky dan fashionable. Gaya pakaian Ida kerap kali jadi panutan anak muda kala itu. Kepopuleran Ida bertambah ketika kerap sepanggung bersama Benyamin. “Sekitar 1968-1969 Ida mulai sering satu panggung dengan Ben, meski belum duet,” tulis Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia . Merasa cocok, Ben lalu mengajak Ida berduet menyanyikan lagu Betawi. Ida menerimanya. "Aku lulus SMA tahun 1972. Waktu itu aku sudah nyanyi sama Benyamin," kata Ida. Meski awalnya Ida kerap mendapat ejekan publik karena melakukan hal berkebalikan dari citranya yang fungky, a lbum perdana Ida-Benyamin, Tukang Kridit , sukses di pasaran. Orang-orang yang awalnya mengejek Ida malah berbalik menjadi pembeli kasetnya dan menjadi penggemar. Duet Ida-Benyamin menjadi salahsatu artis paling terkenal pada 1970. Beberapa hits mereka seperti “ Begini-Begitu”, “Di Sini Aje”, “Hujan Gerimis”, “Lampu Merah”, “Nimang Anak”, “Dipatil Ikan Sembilang”, atau “Tukang Kridit” amat familiar di telinga masyarakat . “Waktu terkenal-terkenalnya Benyamin waktu nyanyi sama aku,” kata Ida. Menurut Wahyuni, kesuksesan duet Ida-Ben disebabkan karena kemampuan Ida mengimbangi Benyamin. Bahkan Ida yang terkenal fashionable , pernah nyanyi mengenakan sandal jepit, kain, dan kebaya. T ak ada pasangan duet Benyamin yang bisa menyaingi Ida. Ketenaran mereka membuat Ida dan Ben dikenal sebagai pasangan legendaris. Namun, Benyamin bukan satu-satunya pasangan Ida. Ida pernah duet bareng Frans Daromes pada 1971. Ketika itu, Ida jarang tampil bareng Benyamin. Duet Ida-Benyamin memang beberapa kali putus-sambung. Usai duet dengan Frans, Ida kembali duet dengan Benyamin di acara Jakarta Fair. “Tahun 1975-1976 aku ke London. Tadinya mau belajar desain tapi aku cuma belajar modeling dan bahasa,” kata Ida. Duet mereka kembali bubar setelah Ida menikah dengan Pangeran Tengku Aziz dan pindah ke Malaysia tahun 1976. Tapi tahun 1978 Ida dan Benyamin kembali berduet di acara ulang tahun TVRI menyanyikan lagu “ Tuak Asem”. Dari hasil duetnya dengan Benyamin, Ida mendapat penghasilan besar. “Aku dan Benyamin kan lagi populer-populernya. Dan nyanyi itu hasilnya nggak sedikit, tiap bulan beli mobil bisa,” kata Ida. “Aku sama Benyamin bayarannya sama.” Tapi Ida dan Benyamin punya cara beda membelanjakan uang. “Aku nggak punya tanah yang berhektar-hektar, aku nggak punya gunung. Benyamin beli bukit, ditanami cengkih, aku nggak punya. Aku Cuma punya sepatu, tas, baju bermerek. Barang-barangku harganya hampir sama kayak tanahnya Benyamin.” Selain menyanyi, Ida juga bermain dalam 15 judul film dari 1970-1978. Di film pertamanya, Di Balik Pintu Dosa, Ida beradu peran dengan aktris Fifi Young. Ida juga beradu peran dengan Rhoma Irama dan menyanyi bersamanya di film itu. Tapi, dari 15 judul film yang dimainkan Ida, 10 di antaranya merupakan adu peran Ida dengan Benyamin. Keduanya bermain bareng antara lain di Benyamin Biang Kerok (1972), Ratu Amplop (1974), dan Tarsan Pensiunan (1976). Film Benyamin-Ida paling banyak diproduksi tahun 1974, mencapai 5 judul film. Ketika memutuskan berjilbab (1978), Ida mengurangi show dan akhirnya mundur dari dunia tarik suara. Namun, dia sempat membintangi sinetron Mat Beken di TPI yang naskahnya ditulis Benyamin. Keduanya juga menyanyikan lagu “Si Mirah Jande Merunde” yang jadi bagian sinetron itu. Duet keduanya bubar ketika Ida mundur dari dunia hiburan dan terjun ke dunia bisnis pakaian muslim.

  • Mengapa Ahmad Sukarno?

    PADA 1946-1947, mahasiswa Indonesia di Mesir giat mempromosikan nama Indonesia negeri seribu piramid tersebut. Selain mengadakan kegiatan amal dan diskusi, mereka pun aktif memperkenalkan para pemimpin Indonesia ke berbagai lapisan masyarakat. “Kita tidak bisa menafikan jika para pejuang Indonesia di Mesir menggunakan Islam sebagai alat pendekatan terhadap masyarakat dan pemerintah Mesir,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Upaya itu terbukti berhasil. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia telah mendapat simpati besar dari rakyat Mesir yang juga mayoritas muslim. Menurut M. Zein Hasan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri , situasi itu disadari dan dimanfaatkan secara baik oleh para aktivis mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia. “Sentimen agama terbukti sangat efisien menarik sokongan masyarakat Arab atas dasar solidaritas Islam,” ujar diplomat senior Indonesia yang kala itu aktif sebagai mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia di Mesir. Namun, ada satu hal yang mengganjal: nama Sukarno (presiden Indonesia) sangat tidak berbau Arab (baca: Islam). Ini memunculkan pertanyaan dari hampir kalangan kaum muslim di Mesir: Sukarno, pemimpin Indonesia itu, apakah seorang muslim atau bukan? Guna mengantisipasi persoalan tersebut, aktivis mahasiswa Indonesia, sepakat menambahkan nama “Ahmad” di depan nama Sukarno. Demikianlah, saat Zein Hassan diwawancarai oleh wartawan Mesir, pertanyaan soal agama Sukarno itu lantas muncul kembali. Kali ini Zein menjawabnya secara percaya diri, “Kenapa bukan Muslim? Bukankah nama lengkap dia adalah Ahmad Sukarno?” katanya. Sejak itulah masyarakat dan pers Timur Tengah, tak pernah lagi mempersoalkan apa agama presiden Republik Indonesia tersebut. Mereka pun kerap menyebut presiden Republik Indonesia dengan sebutan: Ahmad (atau Ahmed) Sukarno. Lantas bagaimana sikap Sukarno sendiri terhadap penambahan nama tersebut? Menurut Zein, awalnya Si Bung menerimanya. Itu terbukti dengan dibiarkannya nama “Ahmad” tersebut tercantum oleh yang bersangkutan kala menandatangani surat-surat resmi untuk negara-negara Islam. Baru setelah peyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, penambahan nama “Ahmad” mulai dipersoalkan oleh Sukarno. Hal itu tercetus saat dirinya berpidato dalam rapat umum menyambut Pemimpin Uni Sovyet Kliment Voroshilov di Surabaya pada 1959. “Siapa yang menambah namaku dengan 'Ahmad'?" tanya Sukarno. Jawaban baru diberikan oleh Zein pada rapat staf Departemen Luar Negeri pada 1959. Dia menyatakan bahwa dirinya yang menambahkan “Ahmad” pada nama sang presiden. “Tujuannya, menarik sokongan umat Islam sedunia bagi perjuangan Indonesia sesudah Proklamasi,” ungkap Zein.*

  • All England dari Masa ke Masa

    PUJIAN tinggi patut dilayangkan untuk Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon. Pasangan ganda putra Indonesia yang menyandang peringkat satu dunia ini berhasil mempertahankan gelar All England pada Minggu, 18 Maret 2018, di Arena Birmingham, Inggris. Kevin/Marcus menang 21-18 dan 21-17 atas pasangan Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen. All England merupakan turnamen bulutangkis perorangan. Turnamen ini merupakan turnamen resmi tertua di dunia sebagaiana FA Cup (Inggris) di cabang olahraga sepakbola. Berikut fakta-fakta All England dalam angka yang dinukil dari berbagai sumber: 10 Maret 1898 All England dihelat untuk pertamakalinya sebagai turnamen eksebisi, terinspirasi dari sebuah turnamen yang diprakarsai Percy Buckley, sekretaris Guildford Badminton Club, pada 10 Maret 1989 di Guildford Drill Hall. Hajatan nan sukses itu mendorong Badminton Association of England (BAE) – federasi bulutangkis pertama dunia yang berdiri 1893, menggelar event yang lebih akbar setahun setelahnya. 4 April 1899 BAE untuk kali pertama menggelar The Open English Championships di London Scottish Regiment Drill Hall. Semua pesertanya pebulutangkis Inggris. Mereka masih mengenakan busana kasual era itu karena belum ada pakaian olahraga. Para peserta putra mengenakan celana panjang dan peserta putri mengenakan rok panjang. Di edisi perdana ini, All England mempertandingkan tiga nomor: ganda putra (dimenangi D. Oakes/Stewart Massey), ganda putri (Meriel Lucas/Mary Graeme), dan ganda campuran (D. Oakes/Daisey St. John). All England masih merupakan turnamen kejuaraan dunia “tak resmi”. “Oleh karenanya pemenangnya boleh dikatakan sebagai juara dunia,” tulis Don Paup dalam Skills, Drills & Strategies for Badminton. 1900 Pada edisi kedua, jumlah nomor yang dipertandingkan di All England bertambah dengan masuknya nomor tunggal putra dan putri. Sydney H. Smith menjadi juara tunggal putra pertama, sementara Ethel B. Thompson jadi kampiun pertama tunggal putri. Ethel mengulanginya di edisi 1901. 1902 Di tahun ini, The Open English Championships berganti nama menjadi The All England Championships dan bertahan hingga kini. Venue -nya juga berpindah dari London Scottish Regiment Drill Hall ke Crystal Palace Central Transept. Situs allenglandbadminton.com mencatat bahwa pada edisi 1902, lapangannya diubah dari yang berbentuk mirip jam pasir menjadi persegi panjang yang bertahan sampai sekarang. 1903-1909 All England kembali berpindah lokasi. Dari edisi keempat hingga 1909, All England dimainkan di London’s Rifle Brigades City Headquarters. Di tahun 1903 pula atlet serbabisa George Alan Thomas mengukir prestasi pertamanya di nomor ganda campuran. Hingga 25 tahun berikutnya, Thomas meraih total 21 gelar di berbagai nomor (4 tunggal putra, 9 ganda putra, 8 ganda campuran). Hingga zaman now , Thomas masih memegang rekor pemain tersukses di All England. 1910-1939 Lagi-lagi, All England pindah venue. Dari 1910 sampai 1939, All England dimainkan di The Royal Horticultural Hall, London. Di tahun 1910 juga untuk pertamakalinya muncul juara dari luar Inggris. Adalah Guy Sautter (Swiss), yang berpasangan dengan Dorothy Cundall (Inggris), berhasil menjuarai nomor ganda campuran. Setahun berselang, dan juga di edisi 1913-1914, Guy menjuarai nomor tunggal putra. Pada edisi 1924, sebuah rekor baru tercipta ketika Kathleen McKane Godfree menyapu bersih gelar di tiga nomor yang diikutinya: tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Sedangkan pada edisi 1931, fashion pebulutangkis mulai beralih. Raymond “Bill” White menginspirasi para pebulutangkis lain untuk mengubah gaya busana dari celana panjang ke celana pendek. Adapun di edisi 1938, popularitas All England kian meluas lantaran mulai disiarkan via radio. 1947 All England kembali bergulir setelah terhenti sejak 1939 akibat Perang Dunia II. Tempat penyelenggaraan pun berpindah lagi, kali ini ke Harringay Arena, London Utara. Di tahun ini juga, Herbert Scheele memulai kariernya sebagai wasit hingga kelak jadi wasit kehormatan dan tokoh bulutangkis dunia . 1949 Malaya mempelopori keikutsertaan negara dari Asia Tenggara di All England. Bahkan, pasangan ganda putranya, Ooi Teik Hock/Teoh Seng Khoon, sukses menjadi juara. Di edisi ini pula Amerika Serikat menorehkan sejarah pertama kesuksesan All England-nya lewat keberhasilan David G. Freeman menjuarai nomor tunggal putra. 1950-1951 Setelah kembali berpindah lokasi ke Empress Hall, Earls Court, London pada 1950, All England untuk kali pertama ditayangkan via siaran televisi pada 1951. 1957-1968 Pada 1957, All England mulai dihelat di Wembley Pool (kini Wembley Arena), London yang terus bertahan hingga 36 tahun berikutnya. Di edisi 1959, Indonesia menorehkan tinta emas pertamanya lewat nomor tunggal putra. “Tan Joe Hok juara All England 1959, sekaligus mengukuhkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang juara pada turnamen yang disebut-sebut kejuaraan dunia bulutangkis,” ujar Broto Happy dalam Baktiku Bagi Indonesia. Di partai puncak bertajuk “All Indonesian Final”, Tan Joe Hok mengalahkan Feerry Sonneville 15-8, 10-15 dan 15-3. Indonesia kembali membuat rekor di edisi 1968. Rudy Hartono mendunia sebagai juara termuda di usia 18 tahun 7 bulan. 1977-1982 John Player & Son, perusahaan tembakau dan rokok berbasis di Nottingham, Inggris, mempelopori perusahaan yang mensponsori All England (1977). Sedangkan di edisi 1982, China menjalani debutnya dengan menurunkan tujuh pemain. Mereka pulang dengan membawa dua gelar: tunggal putri (Zhang Ailing) dan ganda putri (Lin Ying/Wu Dixi). 1984 Yonex, produsen alat olahraga asal Jepang, memulai debutnya sebagai sponsor utama. Posisi itu bertahan hingga 32 tahun berikutnya, menjadikan rekor kerjasama terlama dalam berbagai sejarah olahraga. Rekor ini kembali dipertegas dengan perpanjangan kerjasama baru pada 2015 hingga 2021. “All England adalah turnamen tertua dan paling prestisius di dunia dan kami senang bisa tetap menjadi bagian dari mereka,” cetus Presiden Yonex Ben Yoneyama di situs resmi Yonex, 7 Maret 2014. 1994-2018 Mulai 1994, venue All England pindah dari London ke Birmingham, tepatnya di National Indoor Arena, dan bertahan hingga sekarang. Tragisnya, wakil-wakil Inggris mulai kesulitan juara di “rumah sendiri”. Terakhir wakil mereka juara pada 2005 lewat kemenangan Nathan Robertson/Gail Emms di ganda campuran. Salah satu staf pelatih Inggris kala itu adalah mantan pebulutangkis Indonesia Rexy Mainaky. Pada 2007, turnamen ini disematkan status “Superseries” oleh BWF (Federasi Bulutangkis Dunia). Empat tahun kemudian, All England naik kelas dengan status “Superseries Premier”. Bagi Indonesia, All England lumbung gelar. Hingga sekarang, Indonesia nyaris tak pernah pulang tanpa gelar. Pada 2016, gelar dipersembahkan ganda campuran Praveen Jordan/Debby Susanto. Sementara pada 2017-2018, ganda putra Marcus/Kevin masih digdaya mempertahankan gelar.

  • Candi-candi di Mata Naturalis Inggris

    NATURALIS Inggris, Alfred Russel Wallace, menumpang kapal pos Belanda dari Ternate menuju Surabaya. Dia bermukim di Jawa dari 18 Juli hingga 31 Oktober 1861. Karena biaya transportasi mahal, dia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke suatu tempat di kaki Gunung Arjuna. Dari hasil perjalanannya, dia kagum dengan peninggalan peradaban Hindu-Budha dan mencatatnya dalam The Malay Archipelago. Dalam perjalanannya, Wallace berhenti di Modjo-kerto (Mojokerto), kota kecil sekitar 40 mil di selatan Surabaya. Dia menginap di rumah Mr. Ball, orang Inggris yang telah lama tinggal di Jawa. Ball mengajaknya ke Desa Modjo-agong (Mojoagung), tak jauh dari Mojokerto. Wallace mengamati puing-puing kota kuno, Modjo-pahit. Dia melihat dua tumpukan batu besar. Puing-puing itu adalah sisi dari sebuah pintu gerbang. “Keindahannya sangat menakjubkan. Batu yang digunakan sangat bagus dan keras, dengan sudut tajam dan permukaan rata. Sambungan antarbatu tak terlihat dan penyambung itu tidak memakai adukan semen atau campuran kapur,” catat Wallace. Di puing-puing itu tak ditemukan arca, tapi tembok batunya berhiaskan relief. Puing-puing bangunan tersebar hingga bermil-mil ke segala penjuru. Bahkan hampir setiap jalan besar dan kecil menunjukkan adanya pondasi bangunan di bawahnya seakan jalan kota tua. Sesampainya di rumah seorang wedana, kepala distrik Modjo-agung, Wallace melihat relief wajah perempuan cantik pada batu lava. Batu itu tadinya terkubur di suatu tempat dekat Modjo-agong. “Ekspresi saya terlihat sangat ingin memiliki relief itu, kemudian Ball memintakan relief itu untuk saya, dan senang sekali ternyata wedana itu langsung memberikannya,” katanya. Ukiran itu menggambarkan sosok Durga. Ukurannya kecil, dengan tinggi dua kaki dan berat sekira 100 pon. Dia kemudian mengirim arca durga itu ke Modjo-kerto. “Akan saya bawa ketika nanti kembali ke Surabaya,” lanjutnya. Wallace memutuskan tinggal beberapa waktu di Wonosalem, di kaki Gunung Arjuna. Perjalanan ke Wonosalem harus melalui hutan lebat. Di tengah hutan itu, dia menemukan reruntuhan bangunan kuno. Makam raja-raja itu terbuat dari batu dan diukir indah. Di dekat alasnya ada bagian menonjol yang memiliki relief. “Relief ini berupa serangkaian adegan yang mungkin melukiskan peristiwa yang pernah terjadi pada almarhum,” katanya. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan yang mirip aslinya. Luas bangunan itu sekitar 30 kaki persegi, tinggi 20 kaki, dan terletak di daerah yang sedikit lebih tinggi dibandingkan sisi jalan. Bangunan seperti candi itu tertutup bayangan pohon raksasa yang penuh tanaman dan tumbuhan menjalar. Wallace juga menyebut beberapa karya seni paling penting. Beberapa di antaranya sudah lebih dulu dia ketahui lewat History of Java karya Stamford Raffles. Wallace menyebut kompleks candi di Desa Brambanam. Candi Brambanam atau sekarang disebut Prambanan, dulu lebih dikenal dengan Candi Loro-jongran. Di kompleks Candi Loro-jongran terdapat 20 candi, enam candi berukuran besar lebih dari 90 kaki, dan 14 candi kecil. Di daerah itu pula ada Candi Sewa atau Candi Seribu seluas 600 kaki persegi. Seperti Candi Loro-jongran, di candi ini banyak ditemukan arca berukuran besar. Wallace mencatat baris terluar terdiri dari 84 candi, baris kedua 76 candi, baris ketiga 64 candi, baris keempat 44 candi, baris kelima berbentuk jajaran genjang 28 candi. Jumlah seluruhnya 296 candi berukuran kecil yang diatur dalam lima jajaran genjang. Tumbuhan tropis telah merusak candi kecilnya, tetapi beberapa masih terlihat sempurna. Setengah mil dari Brambanam, ada Chandi Kali Bening, nama lain dari Candi Kalasan. Luasnya 72 kaki persegi dan tinggi 60 kaki. Keadaannya masih sangat bagus. Candi ini memiliki hiasan arca-arca Hindu, meski lebih tepatnya peninggalan Budha. “Keindahannya melebihi patung-patung India. Reruntuhan istana, pendapa, dan candi-candi yang berhiaskan relief dewa-dewa juga terdapat di tempat yang sama,” ujarnya. Melampaui Amerika Tengah dan India Wallace juga menyebut Borobodo (Borobudur), candi besar terletak kira-kira 80 mil ke barat di wilayah Kedu. Candinya terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras yang menutupi kaki bukit. “Agaknya jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan Piramid terbesar di Mesir tak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini,” tulis Wallace. Berikutnya Candi Gunong Prau, terletak kira-kira 40 mil sebelah barat daya Semarang, di sebuah gunung bernama Gunong Prau. Di sana ada dataran luas yang dipenuhi reruntuhan candi. Untuk sampai di kuil itu dibuatlah empat buah tangga batu dengan arah berlawanan. Tiap tangga punya lebih dari seribu anak tangga. Reruntuhannya hampir 400 candi yang dihiasi ukiran indah dan halus. Daerah yang terdapat di antara daerah ini dan Brambanam, yang berjarak sekitar 60 mil, dipenuhi puing. Tak jarang sebuah ukiran indah ditemukan pula, misalnya di sebuah parit atau di dinding bangunan yang tertutup. Wallace juga melihat, di Jawa bagian timur, terutama Kediri dan Malang, terdapat banyak peninggalan kuno. Sayangnya, sebagian besar bangunannya sudah rusak. Meski begitu, dia mengenali puing-puing itu sebagai bekas istana, benteng, kolam pemandian, saluran air, dan candi. “Kita akan merenungkan betapa anehnya hukum kemajuan yang nampak seperti kemunduran karena di berbagai belahan dunia terjadi penghancuran ras yang memiliki nilai artistik dan arsitektur tinggi,” ujar Wallace. Menurutnya, hanya sedikit orang Inggris yang memahami keindahan arsitektur Jawa. Peninggalan itu tak pernah digambarkan atau dilukiskan secara umum. “Sangat disayangkan karena peninggalan arsitektur Jawa melampaui yang ada di Amerika Tengah atau bahkan melampaui India,” pujinya. Sementara itu, Wallace melihat masyarakat Jawa membangun rumahnya dari bambu dan rumbia. Masyarakat juga cenderung mengabaikan karya nenek moyangnya itu. Mereka justru melihatnya sebagai hasil perbuatan raksasa dan iblis. “Saya merasa perlu untuk menarik perhatian orang terhadap karya seni yang mengagumkan ini. Terutama karena saya diliputi pemikiran tentang patung-patung yang jumlahnya tak terhitung ini, yang dikerjakan dengan kehalusan dan citarasa seni yang tinggi,” kata Wallace. Dia pun sangat menyangkan pemerintah Belanda tidak melakukan langkah besar untuk menyelamatkan reruntuhan bangunan kuno itu dari kehancuran akibat tumbuhan tropis. Pemerintah Belanda juga tidak berpikir untuk mengumpulkan arca-arca yang masih dalam keadaan baik, tapi tersebar di penjuru negeri.

  • Sepakbola Soviet Era Stalin

    MUSIM panas tahun ini, miliaran pasang mata akan tertuju ke Rusia. Negeri Beruang Merah mendapat kehormatan jadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Sebagai host , suksesor negeri adidaya Uni Soviet itu tentu tak ingin malu dengan hasil jelek. Sayang, catatan terakhir di Euro 2016 (Prancis), prestasi Alan Dzagoev dkk. bikin publik Rusia menundukkan wajah. Kalah 0-3 dari Wales di partai terakhir Grup B, timnas Rusia gagal melaju ke babak berikutnya. Rusia harus puas menempati urutan buncit klasemen grup di bawah Slovakia, Inggris, dan Wales. Tidak sedikit yang kecewa. Salah satunya, anggota parlemen merangkap ketua Partai Komunis Rusia, Gennady Zyuganov. Dia menginginkan sepakbola Rusia kembali ke masa kejayaan seperti di era Joseph Stalin. “Tim Rusia lembek. Kita butuh mobilisasi Stalinis, di mana mental dan fisiknya sangat kuat,” ucap Zyuganov, dikutip The Guardian , 21 Juni 2016. Kedigdayaan sepakbola di Rusia ambruk seiring kolapsnya Uni Soviet. Semasa Soviet, klub maupun tim nasional mampu berjaya di berbagai kompetisi berkat ditopang kelompok-kelompok buruh, institusi-institusi negara, hingga kalangan industri. Begitu semua runtuh, struktur sepakbola domestik kena dampaknya. Yang tak kalah penting, para pemain timnas Soviet tercerai-berai ikut negara masing-masing pecahanan Soviet. Sepakbola untuk Propaganda Sepakbola di Soviet sebetulnya baru diperhatikan Joseph Stalin setelah dia tak lagi disibukkan memerangi Jerman-Nazi di Perang Dunia II (PD II). Selama 1942-1945, semua kegiatan sepakbola di Soviet dihentikan total gara-gara perang dahsyat itu. “Pasca-PD II rezim Stalin memutar strategi politik dan misi diplomatiknya dengan penggunaan atribut olahraga, dalam hal ini sepakbola. Dinamo (Moskva) dijadikan kelinci propaganda pertama,” ungkap Arief Natakusumah dalam Drama itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya. Semasa era Stalin, Dinamo Moskow merupakan klub yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Soviet, KGB (Badan Intelijen Soviet), dan NKVD (Kepolisian Rahasia Soviet). Bahkan dedengkot NKVD, Lavrentiy Beria, menjadi ketuanya sampai nyawanya dicabut dalam eksekusi mati Mahkamah Luar Biasa Soviet. Dinamo direstui Stalin menjadi “duta” Soviet ketika melancong ke Inggris atas undangan FA, beberapa bulan pasca-usainya PD II. Alasan Stalin merestui, selain untuk mengumbar propaganda ketangguhan Negeri Tirai Besi, sekaligus meyakinkan publik dalam negeri bahwa mereka tak kalah superior dari negara-negara Barat. Rombongan Dinamo – yang dalam catatan sejarah menjadi tim Soviet pertama yang menjejakkan kaki di Inggris– mendarat di Croydon, 4 November 1945 menggunakan pesawat Dakota DC-3. Selain Beria sendiri, sejumlah perwira NKVD mendampingi muhibah tim itu untuk memastikan agar para pemain Dinamo tak lupa daratan dan terpapar borjuisme di Inggris. Mereka disambut langsung Ketua FA Stanley Rous, staf kedutaan Soviet, dan ketua Partai Buruh Inggris pro-komunis Albert Victor Alexander. “Inggris adalah tanah kelahiran sepakbola. Tidak diragukan lagi semua pemain terbaik dunia adalah orang Inggris,” sanjung pelatih Dinamo Mikhail Yakushin dalam sambutannya, dikutip David Downing dalam Passovotchka: Moscow Dynamo in Britain 1945. Namun, belum lagi empat laga yang dijadwalkan berlangsung, psywar media keburu membuncah. Media-media Inggris melansir berita-berita bernada meremehkan. Salah satunya yang dituliskan reporter surat kabar Sunday Express Frank Butler: “Mereka tidak cukup bagus untuk melawan tim-tim profesional kita. Para pemain mereka nyaris semuanya amatiran.” Soviet balas menyindir dengan sasaran sambutan dingin tuan rumah. “Di Inggris, tanah kelahiran sepakbola, kami diterima dengan sambutan khas Inggris: tanpa bendera, musik, atau kalungan bunga. Pihak pemerintah Inggris bersikap dingin dan mereka membiarkan kami diserang jurnalis-jurnalis mereka. Kami memilih bermalam di Kedutaan Soviet, ketimbang penginapan yang mirip barak tanpa bantal,” ujar Vadim Sinyavsky, komentator radio Soviet yang ikut mendampingi. Dinamo tapi berhasil membuktikan kehebatannya di lapangan. Dari empat pertandingan yang dimainkannya, tak sekalipun mereka kalah. “Hasil tur Dinamo ke Inggris adalah memasukkan 19 gol dan kemasukan 9 gol,” ungkap Victor dan Jennifer Louis dalam Sport in the Soviet Union. Di laga perdana, 13 November 1945, Dinamo bermain imbang 3-3 melawan Chelsea di Stamford Bridge. Klub berjuluk Dinamiki itu bikin geger publik Inggris di partai kedua melawan Cardiff City di Ninian Park. Dinamo menang telak 10-1. Partai ketiga jadi partai yang paling ditunggu –Dinamo vs Arsenal. Kandang Tottenhan Hotspur, White Hart Lane, dipinjam untuk laga itu lantaran Stadion Highbury masih direnovasi. Sekira 55 ribu penonton di stadion yang diselimuti kabut itu menjadi saksi The Gunners menyerah 3-4 dari Dinamo. Di partai terakhir melawan Glasgow Rangers, Dinamo bermain imbang 2-2. Pada laga-laga itu, Dinamo sebenarnya “mencabut” beberapa pemain dari klub Soviet lain. Salah satunya, Vsevolod Bobrov, pemain CSKA Moskva juga bintang hoki es Soviet dan kawan dekat Vasily Stalin (putra Stalin). Pun begitu Arsenal, yang meminjam Stanley Matthews dari Stoke City, Stanley Mortensen (Blackpool), dan Harry Brown (Queens Park Rangers). Tapi toh Dinamo membuktikan sepakbola Soviet tak kalah hebat dari Inggris. “Bertahun-tahun berlalu sejak kami bertemu pertama kali dengan para pesepakbola Rusia. Semenjak itu di hati semua orang yang mengalami pengalaman itu, kata-kata ‘Dynamo Moscow’ mengingatkan akan konsep sepakbola yang berkelas,” kenang Matthews, dikutip Downing.

  • AR Baswedan Dikerdilkan, Musso dan Sutan Sjahrir Dilupakan

    MEDIO April 71 tahun lampau, kerjasama delegasi Republik Indonesia (RI) pimpinan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dengan pemerintah Kerajaan Mesir membuahkan persahabatan dahsyat. Sineas Indonesia dan Mesir kini mengabadikannya dalam film layar lebar bertajuk Moonrise over Egypt. Beberapa adegannya diambil langsung di Kairo, Mesir pada Agustus 2016. “Cukup banyak pemain dan kru yang berangkat ke Kairo, di samping bekerjasama dengan tenaga-tenaga sineas Mesir,” cetus sutradara Pandu Adiputra dalam press screening film tersebut, Jumat (1/3/2018). Filmnya mengisahkan pergulatan delegasi RI pimpinan Agus Salim (diperankan Pritt Timothy) dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, Pandu membumbui film dengan dramatisasi, pembelokan alur cerita, hingga penghadiran tokoh-tokoh fiktif. “Timbul seakan-akan ada dua bagian dari film ini. Satu bagian perjuangan diplomatik Indonesia. Kedua, ada juga cerita mata-mata Belanda dan pemuda Indonesia, pedagang Indonesia jadi mata-mata Belanda. Kita enggak pernah dengar cerita ini. Apakah ini agar ceritanya tidak datar dan menjadi menarik?” ujar kritikus film Salim Said dalam konferensi pers usai press screening. Sejarawan Asvi Warman Adam juga merasakan hal serupa. “Memang di satu sisi penulis dan sutradara punya keleluasaan menambahkan tokoh fiktif atau alur cerita yang tidak ada dalam fakta sejarah. Ini sudah biasa dalam film-film tema sejarah. Tapi sejauh mana aspek non-historis tadi mendominasi film ini? Itu pertanyaannya,” timpal Asvi. Mata-mata dan Bahasa Dalam pemaparannya, produser Adie Marzuki menjelaskan bahwa dari riset mereka yang dibantu kosultan sejarah Hendi Johari dan sejarawan Rushdy Hoesein, memang ada peristiwa mematai-matai aktivitas delegasi RI di Kairo itu. Pengkhianatan itu tak lepas dari kartu subsidi mereka selama kuliah di Mesir dari pemerintah Belanda. “Kenyataannya memang ada yang tidak mengembalikan kartu subsidi sebagaimana yang disepakati PPKI. Itu yang kemudian dipergunakan Belanda untuk membujuk mereka, agar menelisik aktivitas delegasi Indonesia,” terang Adie. Tim produksi merasakan betul kesulitan merangkum kisah sejarah rumit itu ke dalam sebuah cerita dengan durasi yang terbatas. Terlebih, sasaran penonton mereka generasi muda dari usia 13 tahun. Oleh karena itu, tim menyederhanakan aksi spionase itu agar lebih mudah dicerna semua kalangan, memperindah alur cerita, hingga enak ditonton. Konsekuensinya, film ini jadi melupakan beberapa aspek yang lekat dengan kisah Agus Salim dkk. di Mesir. Contohnya, perihal bahasa. Agus Salim dikenal poliglot (menguasai banyak bahasa asing). Tiga anggota delegasi lain, A.R. Baswedan, H.M. Rasyidi, dan Nazir Datuk Pamuncak, juga jago bahasa Arab sehingga dimasukkan ke dalam tim agar bisa lebih mudah mengambil hati para diplomat Liga Arab. Anehnya, tak sekalipun dialog di film menampilkan penggunaan bahasa Arab. Pun Bahasa Belanda, yang mestinya selalu diucapkan tokoh Adriaanse, Jansen, atau Willem van Rechteren Limpurg (diperankan Harry Bond Jr.). Menurut produser Amir Sambodo, ketiadaan dialog berbahasa asing disebakan kesulitan pendalaman bahasa. “Memang awalnya kita mau bikin Agus Salim dkk. bicara banyak bahasa. Tapi kita cari cast- nya enggak ada yang bisa. Kita diskusi dengan Pandu, ya akhirnya kita putuskan pakai bahasanya Indonesia dan Inggris,” ujar Amir. Tokoh dan Peran Terlupakan Terlepas persoalan teknis, kritikus dan sejarawan mengeluhkan adanya pengerdilan peran A.R. Baswedan dan penghilangan beberapa tokoh penting dalam misi diplomati itu di film. A.R. Baswedan, misalnya, digambarkan tak lebih sebagai pelengkap. Padahal, kata Asvi, “Kepulangan Baswedan juga tak mudah. Harus berpindah-pindah pesawat, terdampar di Singapura dan kehabisan uang. Setelah ada yang membantu dan tiba di Jakarta, nota diplomatik itu harus disembunyikan di dalam kaus kakinya sehingga dia bisa selamat sampai ke Yogya untuk disampaikan ke presiden. Makanya, hemat saya perlu ditambahkan.” Sementara, Rushdy mempertanyakan kenapa tokoh Perdana Menteri Sutan Sjahrir tak dihadirkan sama sekali di film. “Sjahrir punya pengaruh dalam persoalan-persoalan terkait. Dia kan perdana menteri. Apalagi Agus Salim berangkat ke Lake Success (Amerika, markas DK PBB) bersama Sjahrir,” ujarnya. Selain mempertanyakan Sjahrir, Rushdy juga menyoroti penghilangan tokoh Musso di film itu meski Musso bukan anggota delegasi. “Muso datang dari Kairo bersama duta besar kita di Cekoslowakia. Beliau datang menggunakan nama (samaran) Suparto. Dia sempat berdebat dengan para mahasiswa (Indonesia) yang kuliah di Kairo tentang politik negara,” sambungnya.*

  • Memburu Subandrio

    Sesaat setelah menerima Supersemar, Letjen TNI Soeharto memerintahkan Panglima Kodam Jakarta Raya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal Presiden Sukarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya  Prajurit Pejuang . Ketika melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud. Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. Di lantai atas guest house , yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya kena ciduk. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. Terindikasi PKI? Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. Tempo setelah G30S meletus, Subandrio lewat sejumlah pidato menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam: membalas teror dengan kontra-teror. Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh jadi seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI. “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam Bertarung dalam Revolusi. Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan rapat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan ekstra cemas. Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat. Membunuh Subandrio, misalnya. Bila hal ini terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan berakhirnya,” tutur Yoga kepada B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam Memori Jenderal Yoga . “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.” Vonis Mati Pada 1967, proses hukum terhadap Subandrio digelar dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Anehnya, dakwaan buat Subandrio bukan karena terindikasi PKI atau terlibat G30S. Pengadilan memutuskan Subandrio bersalah karena dianggap subversif terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror. Sidang berlangsung singkat. Subandrio dijatuhi hukuman mati. Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S . “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.” Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup. Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu dia mengalami depresi. Pada 1978, tatkala masih meringkuk dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada 1995. Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh pada 1998, kebebasan bersuara terbuka bagi siapa saja. Termasuk pula untuk mereka, yang dulu pernah dibungkam oleh rezim Soeharto. Tak terkecuali bagi Subandrio. “Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno," kata Subandrio. "Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu menjadi tekad saya. Dan ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.”

  • Genderang Perang Indonesia-Belanda di Negeri Piramida

    DUA pemuda pejuang berlarian ke dalam hutan diburu serdadu Jepang. Langkah kaki mereka lambat laun tak sinkron dengan irama nafas akibat kelelahan. Mereka akhirnya tertembak. Salah satu yang tewas adalah Ahmad Sjauket (Hadil), putra H. Agus Salim. Adegan pengejaran dan penembakan itu mengawali film roman sejarah bertema perjuangan diplomatik Indonesia di Mesir. Dengan tajuk Moonrise over Egypt (Bulan Sabit di Langit Mesir), sutradara Pandu Adiputra melukiskan bagaimana delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) H Agus Salim (Pritt Timothy) jempalitan untuk memetik pengakuan internasional pertama, dari Kerajaan Mesir medio 1947. Delegasi Indonesia, terdiri dari Menteri Muda Penerangan AR Baswedan (Vikri Rahmat), HM Rasyidi (Satria Mulia), dan Nazir Datuk Pamuncak (Drh. Ganda), awalnya disambut hangat karena memenuhi undangan Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdul Rahman Hassan Azzam atau dikenal Azzam Pasha (James Dixon). Azzam mendampingi mereka sampai ke Hotel Continental di Kairo dan memandu mereka menemui Perdana Menteri Mesir Mahmoud El Nokrashy Pasha (Mark Sungkar). “Kami ingin melihat negara dengan populasi muslim terbesar meraih kemerdekaannya. Agar menjadi tonggak bagi negara-negara lainnya lepas dari cengkeraman kolonialisme,” cetus El Nokrashy saat beramah-tamah. Namun, pertemuan delegasi Indonesia –yang ditambah dua mahasiswa PPKI di Kairo, Zein Hasan (Reza Anugrah) dan Hisyam (Bhisma Wijaya)– itu terdengar Duta Besar (Dubes) Belanda untuk Mesir Willem van Rechteren Limpurg (Harry Bond Jr.) dan Dubes Keliling Belanda Cornelis Adriaanse (Alex Jhunnany). Mereka langsung bergerak. Drama pun dimulai. Konflik demi konflik nan seru silih berganti hadir memenuhi film sepanjang 113 menit ini. Konflik antara Indonesia dan Belanda itu akhirnya menyeret Mesir. Bahkan PM El Nokrashy sampai dijadikan target pembunuhan oleh Jansen (Cris de Lima), intel yang digunakan oleh Adriaanse. Dalam suasana sulit itu, Agus Salim memasrahkan diri kepada Allah SWT. Dia mengirim surat kepada El Nokrashy. Hasil upaya itu menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan misi diplomatik Indonesia. Dan, sutradara berhasil menutup film dengan ending apik berupa konflik El Nokrashy-Jansen-Hisyam. Konflik yang menjadi klimaks film itu merupakan personifikasi genial sang sutradara untuk menggambarkan konflik dua bangsa yang berseteru (Indonesia dan Belanda) dan menyeret tuan rumah. Hasilnya? Silahkan tunggu tanggal mainnya. Menarget Generasi Zaman Now Film ini bisa dibilang film pertama tentang perjuangan diplomasi Indonesia. Film yang akan ditayangkan serentak di berbagai bioskop pada 22 Maret 2018 ini cukup apik sebagai entertainment lantaran kaya bumbu dan sarat konflik. Sutradara tak takut menyelipkan beberapa scene fiktif, termasuk kisah percintaan Hisyam dengan Zahra, seorang mahasiswi Malaya (Ina Marika), agar lebih ‘ nge-pop ’ dan bisa dicerna generasi muda dari usia 13 tahun. “Memang film ini kita sesuaikan juga dengan selera generasi zaman now. Namun bukan berarti keluar dari pakem sejarah yang sesuai kejadian nyata, meski ada dramatisasinya,” cetus Amir Sambodo sang produser eksekutif. Kritikus film Salim Said turut menyanjung bahwa kisah pertempuran diplomatik Indonesia vs Belanda di Mesir itu dikemas cukup apik. “Film ini enak ditonton. Dibikin dan dimainkan dengan bagus. Yang harus kita perhatikan juga adalah dimensi diplomatik dalam film ini. Bagaimana Agus Salim menggunakan sentimen Islam dalam mencari dukungan,” ujar Salim Said dalam konferensi pers usai penayangan screening film. Senada dengan Salim, sejarawan Rushdy Hoesein memuji tim produksi yang berani mengangkat perjuangan RI di arena diplomasi, meski ditambah sejumlah alur cerita fiktif. “Seperti Titanic saja, itu kan juga roman sejarah. Ada cerita-cerita fiktif baru yang diselipkan. Tidak ada salahnya. Acungan jempol, saya bilang ini keberanian. Tapi nanti baru akan terbukti setelah ditonton banyak orang. Kita lihat reaksi mereka,” timpal Rushdy. Yang Menyimpang Terlepas dari scene - scene fiktifnya, ada sejumlah adegan film ini tak sesuai fakta historis, terutama menyangkut detail sebagaimana terdapat di film-film perjuangan lain macam Soekarno atau Jenderal Soedirman . Bagi penonton yang paham sejarah, ketidakakuratan detail cukup mengganggu. Di adegan pembuka, misalnya, ketidakakuratan detail terjadi pada properti dan wardrobe . Salahsatu tentara Jepang yang mengejar pejuang digambarkan memakai helm M1. Helm itu buatan Amerika Serikat, musuh Jepang di Perang Pasifik. Ketidakakuratan terjadi juga di scene eksekusi Sjauket. Sang eksekutor menggunakan pistol Luger buatan Jerman, bukan Nambu –pistol khas perwira Jepang. Sebelumnya, dua pejuang yang dikejar Jepang berlarian sambil menenteng senapan semi-otomatis M1 Garand. Padahal, senjata buatan Amerika itu baru tersebar di Indonesia seiring masuknya serdadu Belanda-NICA. Artinya, M1 Garand masuk setelah Jepang hengkang. “Seharusnya adegan pembuka itu tak perlu dihadirkan. Kesan saya seperti adegan perang-perangan amatiran,” ujar Salim Said. Lebih parah lagi, adegan terbunuhnya Sjauket itu digambarkan tak sesuai fakta sejarah, di mana dia tewas saat dikejar Jepang di dalam hutan. Faktanya, “Sjauket itu kan meninggal ditembak Jepang, ketika dia dan rombongannya hendak melucuti dan mengambil persenjataan Jepang,” jelas Rushdy. Lepas dari fakta, teknis film ini sengaja dibuat up to date . Musik dan tata suara, misalnya, sebagaimana dijelaskan produser, dibuat agak kekinian agar bisa menarik minat penonton muda. Beberapa lagu yang ditampilkan cenderung jazzy dan kadang nada rock. Sayangnya, film ini gagal menyuguhkan atmosfer Kairo di era 1947. Meski beberapa adegan syuting langsung di Kairo, berbagai perabotan kurang mendukung sensasi “jadul” film. Beberapa efek visual yang digunakan untuk mendukungnya pun masih kasar. Tak butuh orang jago kritik film untuk membedakan suasana di beberapa adegan asli atau rekaan visual. Satu keganjilan yang kocak terpancar dari scene ketika Thariq (Donny Fadhli), pengajar Indonesia di Al Azhar, memberi uang kepada Hisyam. Cangkir kopi yang diangkat Thariq tampak masih tertempel label ber- bar code . Well , sepertinya zaman itu (1947) produk-produk perabotan belum ada yang harus dicek harga di kasir dengan barcode. Mungkin sebelum syuting tim properti luput mencopotnya. Wallahu a'lam .

bottom of page