top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Begal di Jawa Kuno

    KEN Angrok barangkali perampok paling melegenda di Jawa. Sepak terjangnya tidak saja membuat resah masyarakat di wilayah timur Gunung Kawi, tapi juga membuat penguasa di Tumapel hingga Daha kerepotan mengejarnya. Ternyata, banyak aksi bandit yang tercatat dalam berbagai sumber jauh sebelum Ken Angrok lahir pada abad 12 M. Dalam banyak kasus, penguasa tak tinggal diam dengan mengamankan jalan yang menghubungkan antardesa untuk distribusi barang dagangan. Prasasti Mantyasih dari 907 M menceritakan penduduk Desa Kuning ketakutan yang diperkirakan di lokasi itu sering terjadi pembegalan atau perampokan. Lima orang patih pun ditugaskan menjaga keamanan jalan. Ahli efigrafi Boechari dalam “Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuno” menulis perampokan pada saat itu biasanya merajalalela di daerah-daerah terpencil, perbukitan, perhutanan, atau muara sungai yang berdelta. Apalagi jika wilayah itu merupakan jalur perdagangan. Sesuai dengan kondisi Desa Kuning yang berada di lereng Gununug Sindoro-Sumbing. Sepertinya, sejak dulu daerah itu adalah celah kledung yang menghubungkan Kedu dengan Wonosobo. Jalan itu melalui Garung dan Pegunungan Dieng. Jalur ini bisa sampai ke pantai utara Pekalongan, atau ke barat melalui Banjarnegara, masuk daerah Banyumas terus ke Galuh. Kasus perampok lainnya tercatat dalam Prasasti Kaladi (909 M). Pembegalan terjadi terhadap para pedagang dan nelayan yang melewati hutan Aranan. Hutan ini memisahkan Desa Gayam dan Desa Pyapya, yang kini diperkirakan menjadi Desa Pepe di selatan Pulungan, Jawa Timur. Adapun Desa Kaladi kemungkinan daerah di utara pesisir Sidoarjo. Kini, Kaladi bernama Kladi. Usai melakukan aksinya, pembegal masuk hutan Aranan sebelum kembali ke desanya, Mariwung. Supaya penduduk tidak ketakutan, Hutan Aranan dijadikan sawah. Perampok juga digambarkan dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Diceritakan dua penjahat berwajah garang dengan kumis seperti Pak Raden, berbadan kekar, menghunuskan pisau dan senjata panjang. Mereka menyerang beberapa pria yang nampak ketakutan. Salah satu di antaranya terjatuh dengan barang bawaan yang berjatuhan. Hukuman Mati Dalam Purwwadhigana , naskah hukum dari abad 10-11 M , disebutkan 18 jenis kejahatan. Misalnya menjual milik orang lain ( adwal tan drwya), pencurian ( pawrttining maling ), dan tindak kekerasan ( ulah sahasa ). Dari 18 jenis kejahatan dalam naskah itu di antaranya adalah tindak pidana atau sukha duhkha yang disebut dalam Prasasti Sanguran (928 M), yaitu meludah ( hidu kasirat ), menganiaya ( sahasa ), memukul ( hastacapala ), dan mengeluarkan senjata tajam ( mamijilaken wuri ning kikir ). “Sumber penghasilan kerajaan didapatkan pula dari denda atas tindak pidana ( sukha duhkha ),” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog Puslit Arkenas. Menurut naskah hukum Agama atau Kutaramanawa pada masa Majapahit, pembunuhan, pencurian, dan semua kejahatan yang termasuk astadusta dan astacorah dihukum mati. Astadusta adalah delapan tindak pidana yang mengakibatkan kematian orang lain antara lain membunuh orang tak berdosa, menyuruh membunuh orang tak berdosa, melukai orang tak berdosa, makan bersama pembunuh, pergi bersama pembunuh, berteman dengan pembunuh, memberi tempat kepada pembunuh, dan memberi pertolongan kepada pembunuh. Astacorah adalah delapan kejahatan yang berhubungan dengan pencurian antara lain mencuri, menyuruh mencuri, memberi jalan perbuatan pencurian, memberi tempat bagi pencuri, berteman dengan pencuri, menunjukkan jalan kepada pencuri, membantu pencuri, dan menyembunyikan pencuri. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menyebutkan semua kejahatan dikenakan denda mata uang emas yang jumlahnya disesuaikan kejahatan yang dilakukan, kecuali perampokan dan pencurian, dihukum mati.*

  • Desember Hitam

    PRIHATIN terhadap kemandekan seni rupa Indonesia, sejumlah seniman muda melakukan protes pada 1974. Mereka membuat pernyataan bersama yang ditandatangani 14 seniman, kemudian dikenal sebagai “Black Desember”. Protes para seniman muda itu dipicu oleh hasil akhir Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (PBSLI) pertama yang diselenggarakan Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta pada 18-31 Desember 1974 di Taman Ismail Marzuki –pameran tersebut kemudian diselenggarakan rutin tiap dua tahun; cikal-bakal Biennale yang bertahan hingga kini. Pameran yang diikuti 83 pelukis dan menampilkan 240 karya itu bertujuan mempresentasikan seni lukis terbaik dari Indonesia. Dewan juri yang terdiri dari Popo Iskandar, Afandi, Rusli, Fajar Sidik, Sujoko, Alex Papadimetru, dan Umar Khayam lalu memilih “Matahari dari Atas Taman” karya Irsam, “Keluarga” karya Widayat, “Lukisan Wajah” karya Abas Alibasyah, “Pohon” karya Aming Prayitno, dan “Tulisan Putih” karya Abdul Djalal Pirous sebagai lima karya terbaik. Dewan juri juga mengkritik beberapa karya seniman muda yang dianggap keluar dari pakem. “Usaha bermain-main dengan apa yang asal ‘baru’ dan ‘aneh’ saja, dapatlah dianggap sebagai usaha coba-coba, cari-cari, atau sekadar iseng, atau bukti langkanya ide dan kreativitas,” kata salah seorang juri sebagaimana diberitakan Angkatan Bersendjata , 27 Desember 1974. Kritik tersebut, kata FX Harsono dalam artikel berjudul “Desember Hitam, GSRB, dan Kontemporer”, yang bernada mendiskriditkan para pelukis muda segera mendapat tanggapan dengan protes dan keluarnya Pernyataan Desember Hitam 1974. Muryotohartoyo, Juzwar, FX Harsono, B Munni Ardhi, M Sulebar, Ris Purwana, Daryono, Siti Adiyati, DA Peransi, Baharudin Narasutan, Ikranegara, Adri Darmadji, Hardi, dan Abdul Hadi WM langsung menandatangani Pernyataan Bersama sebagai bentuk protes. “Yang menandatangi memang seniman muda. Mereka menandatangani Desember Hitam bukan karena tidak dimenangkan oleh dewan juri tatapi karena adanya kemandekan dalam seni lukis Indonesia karena depolitisasi,” kata kurator Jim Supangkat kepada Historia , Kamis (4/1/18). Bagi para seniman “Black Desember”, kondisi tersebut sangat tak sehat bagi perkembangan seni rupa Indonesia. Dalam pernyataan Desember Hitam nomor lima dikatakan, yang menghambat pekembangan seni lukis Indonesia selama ini adalah konsep usang yang masih dianut oleh establishment dan seniman-seniman mapan. Demi keselamatan seni lukis Indonesia, maka sudah saatnya establishment tersebut diberi gelar kehormatan, purnawirawan budaya. Para penandatangan Desember Hitam lalu membuat aksi simbolis berupa mengirim karangan bunga bundar, yang biasa digunakan dalam upacara pemakaman. Di atas bunga itu mereka meletakkan tulisan: “Kematian seni lukis Indonesia”. “Saya kira (Desember Hitam – red.) mencerminkan konflik macam-macam. Dalam artian, lukisan yang mendapat penghargaan itu lukisan yang hanya memperlihatkan kecantikan. Dalam analisis saya, lukisan-lukisan yang mendapat penghargaan memperlihatkan gejala depolitisasi perkembangan seni rupa. Jadi artinya, itu kan terjadi awal 1970-an, di lingkungan para seniman ada ketakutan untuk menyentuh persoalan-persoalan sosial-politik,” kata Jim. Lebih lanjut Jim menjelaskan, penandatanganan Desember Hitam tidak terkait dengan keberpihakan politik tetapi protes terhadap karya-karya yang dianggap tidak jujur. “Kalau orang sudah membuat karya ketakutan terus kemudian memuji-muji perkembangan Orde Baru dan sebagainya, itu kan karya tidak jujur. Nah itulah yang dikritik oleh Desember Hitam.” Konflik tersebut kemudian menyatukan seniman muda baik di Yogyakarta maupun Jakarta untuk membentuk “Gerakan Seni Rupa Baru”. Mereka kemudian mengadakan pameran pertamanya di Taman Ismail Marzuki pada Agustus 1975. Ada 11 seniman yang ikut serta dalam pameran itu, di antaranya Siti Adiyati, Muryotohartoyo, FX Harsono, Jim Supangkat, B. Munni Ardhi, Bachtiar Zainoel, dan Hardi.

  • Hiburan Masyarakat Jawa Kuno

    DI Jawa, seni pertunjukan jalanan sudah ada sejak abad 9. Kesenian itu dipertontonkan di kerumunan pasar dan di keramaian jalanan. Begitu pula dengan pertunjukan wayang yang semula digelar saat penetapan sima (tanah bebas pajak), kemudian hadir dalam pesta perkawinan rakyat. Arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti dikenal juga pertunjukkan keliling. Para pemainnya disebut menmen. Candi Borobudur, melalui reliefnya memperlihatkan suasana bagaimana tarian pinggir jalan dilakukan sebagaimana pengamen jalanan di masa kini. Mereka mendapatkan penghasilan dari para penonton. Berikut ini keterangan dari prasasti, naskah kesusastraan, dan relief di candi, mengenai hiburan masyarakat Jawa Kuno. Sinden Kata mangidung dijumpai dalam Prasasti Waharu I (873 M) . Widu mangidung dapat diartikan sebagai penyanyi perempuan atau pesindhen. Kata widu , dalam Bahasa Indonesia sekarang artinya biduan. Profesi ini termasuk pejabat kerajaan yang disebut watak i jro atau golongan dalam ( abdidalem ) . Mereka termasuk profesi yang memperoleh gaji dari kraton. Wayang Bukti tertua yang menyebut kata dalang ( haringgit ) adalah Prasasti Kuti (840 M) yang ditemukan di Joho, Sidoarjo. Haringgit merupakan bentuk halus dari kata ringgit. Kata ini sampai sekarang masih ada dalam Bahasa Jawa, yang berarti wayang. Dalam Prasasti Kuti, haringgit dimasukkan ke dalam kelompok wargga i dalem artinya berada di lingkungan istana. Prasasti Wukajana dari masa Balitung menyebut pertunjukkan lakon Bhimma Kumara, sebuah cerita sempalan dari Mahabharata. Kisahnya tentang Kicaka yang dimabuk asmara terhadap Drupadi. Menurut prasasti itu, sang dalang menampilkan lakon Bhimma Kumara untuk hyang . Sejauh ini Bhima Kumara adalah satu-satunya lakon wayang yang disebutkan dalam prasasti. Tak hanya wayang kulit. Ada pula wayang orang dan wayang beber. Istilah wayang wwang (wayang orang) muncul pertama kali dalam Prasasti Dhimanasrama dari masa Mpu Sindok. Sementara informasi tentang wayang beber muncul dalam berita Cina, Ying-yai Sheng-lan. Disebutkan adanya pertunjukkan seorang laki-laki yang mempertontonkan gulungan bergambar yang disangga dengan dua batang kayu. Ia berbicara dengan suara keras, menjelaskan kisah dalam gulungan itu kepada penonton. Di atas gulungan itu ada gambar manusia, burung, binatang buas, rajawali, atau serangga. Tarian Beberapa prasasti meyebutkan seni tari. Kemungkinan pada masa Jawa Kuno dikenal dua jenis tarian. Manigel adalah tarian yang tidak menggunakan topeng. Tarian yang menggunakan topeng, seperti disebut dalam Prasasti Kuti, istilahnya mangrakat, matapukan, dan manapal . Tarian ini bisa dilakukan oleh orang yang berprofesi sebagai penari maupun masyarakat yang menarikan tarian tertentu. Dalam naskah Nagarakrtagama disebutkan istilah Juru I angina yang merujuk pada penari perempuan. Ia bertugas menyanyi dan menari, menghibur para petinggi kerajaan. Dalam Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti Alasantan (939 M) disebutkan adanya tarian yang dilakukan oleh para pejabat. Tarian ini dilakukan dengan mengikuti aturan tertentu. Jenis tarian yang disebut ada tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanahasta. Tarian ini merupakan tarian adat yang biasa ditarikan dalam upacara penetapan sima . Tarian lainnya yang dilakukan untuk hiburan disebutkan juga dalam Prasasti Poh (905 M). Digambarkan adanya tiga perempuan penari keliling. Mereka menari sambil diiringi oleh laki-laki. “Mungkin sejenis penari thledek ,” tulis Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa. Lawak Prasasti Poh menyebutkan adanya juru lawak. Selain penabuh gamelan dan penari, mereka pun diundang sebagai saksi dalam upacara penetapan sima . Setidaknya ada dua pelawak, Si Lugundung dari Desa Rasuk dan Si Kulika dari Desa Lunglang. Mereka diberi upah kain 1 yugala dan emas 6 masa . Paling tidak ada dua jenis lawakan. Marirus adalah lawakan yang disampaikan dengan menggunakan kata-kata. Sedangkan mabanol adalah lawakan yang diekspresikan dengan gerakan. Musik Prasasti Waharu I juga mencatat adanya mapadahi. Profesi ini masuk dalam daftar pejabat kerajaan atau watak i jro atau golongan dalam. Mereka adalah abdi dalem yang digaji kraton. Adapun mapadahi berasal dari padahi, artinya kendang. Mapadahi merujuk pada pengendang. Dalam upacara penetapan sima , pengendang ini akan hadir dan menabuh kendang setelah acara pesta makan bersama. “Setelah mereka selesai makan demikian lama, kemudian jnu skar maju dan sang penabuh kendang menabuh kendang,” tulis arkeolog Universitas Gadjah Mada, Timbul Haryono, “Masyarakat Jawa Kuno dan Lingkungannya pada masa Borobudur”, dalam 100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur. Para penabuh kendang ini ada yang bergabung membentuk kelompok. Terbukti dalam satu baris kalimat Prasasti Mulak (878 M), mengenai tokoh Si Kuwuk yang hadir dalam upacara sima . Ia merupakan pimpinan pengendang. Akrobat Pertunjukkan ini bisa dilihat melalui relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Relief ini memperlihatkan beberapa orang sedang mengadakan pertunjukkan. Salah seorang meletakkan benda panjang dan tipis seperti papan di atas dagunya. Papan itu diberdirikan secara vertikal. Si seniman terlihat seperti berjoget tanpa menjatuhkan papan itu. Penonton duduk di bawah pohon menyaksikan dengan gembira dan bertepuk tangan. Salah seorang membawa anak yang diangkat agar bisa menonton pertunjukkan dengan lebih jelas. Seniman Profesional Di lingkungan istana, ada jabatan Rakryan Demang. Tugasnya memastikan agar sang raja gembira. Dalam teks Nawanatya , yang berisi ajaran kepemimpinan, Rakryan Demang harus menjaga tujuh nada, nyanyian, tarian, selain menjaga aspek keindahan lainnya di istana. Ia pula yang bertugas menyediakan gamelan, terutama saron dan gendang, membuat kakawin, serta mengatur keindahan tarian. Para seniman pada masa Jawa Kuno, tak hanya profesi di lingkungan istana. Beberapa menjalaninya dengan profesional sebagai mata pencaharian. Prasasti Wanua Tengah III (908 M) menyebut seorang pemimpin kelompok penari topeng dari Desa Hinor yang diberi upah emas 2 kupang. Dua orang penari topeng juga diberi upah emas sedangkan enam orang pemusik masing-masing diberi emas 1 kupang. Seniman profesional dikenakan pajak. Prasasti Cane (921 M), Prasasti Turun Hyan A (1036 M), Prasasti Patakan yang mungkin dikeluarkan masa Airlangga menyebut profesi awayang atau aringgit sebagai warga kilalan yaitu penduduk yang mempunyai kewajiban membayar pajak. Pertunjukkan seni tak hanya ketika upacara penetapan sima . Tak jauh beda dengan sekarang, masyarakat yang sedang merayakan pesta pernikahan juga menggelar pertunjukkan seni. Teks Sumanasantaka melukiskan suasana sebuah pesta pernikahan yang diselingi pertunjukkan wwayang wang. Warga berbondong-bondong menontonnya. Ada yang membawa kekasih dan keluarganya. Mereka menonton sambil menikmati jajanan di tengah keramaian itu.

  • Menjaga Kelestarian Lewat Pameran

    GADIS cilik itu asik bermain lompat tali. Di dekatnya bocah lelaki sedang balap karung. Keduanya bukan anak manusia, tapi patung karya Bambang Win. Tak jauh dari keduanya, gadis lain berdiri dekat pintu masuk sambil membawa satu vas berisi bunga. Seakan hendak menyambut para tamu dan memberi hadiah bunga, gadis dalam lukisan Remy Sylado berjudul “Katakan dengan bunga” itu mengawali deretan lukisan yang mengisi pameran bertajuk “Solidarity, Peace, and Justice” yang digelar di Balai Budaya, Jakarta, 4-11 Januari 2018. Ada 30 seniman yang berpartisipasi dalam pameran tersebut. Mereka berasal dari generasi berbeda-beda, mulai dari yang senior seperti Aisul Yanto, Cak Kandar, Remy Sylado, Ika Ismurdiyahwati, hingga yang muda macam Chrysnanda Dwilaksana dan Idris Brandy. Selain lukisan dan patung, pameran juga memajang karya instalasi Edi Bonetsky. Berada di sudut kanan seberang pintu masuk, Edi meminta pengunjung menggambar apapun di atas buku sejarah berbahasa Jerman. Tema “Solidarity, Peace, and Justice” dipilih untuk merespon keadaan baik keseharian maupun konflik besar yang terjadi dewasa ini. Sementara, Balai Budaya dipilih sebagai tempat pameran karena memiliki banyak nilai sejarah untuk perkembangan seni Indonesia. “Jadi kita mengingat kembali hal-hal yang sudah lalu. Kami terharu dengan adanya Balai Budaya Jakarta yang sudah sangat tua tapi sangat bersejarah, jadi kami berusaha supaya ini diingat lagi. Harus ada aktivitas,” kata Ika Ismurdiyahwati, kurator pameran. Balai Budaya merupakan titik nol kebudayaan Indonesia pasca-proklamasi, kata Aisul, yang juga merupakan sekretaris jenderal Balai Budaya. “Tahun 1954, waktu itu Mohammad Yamin memfasilitasi seniman. Salah satunya dengan gedung ini. Di gedung ini, para seniman melahirkan berbagai pemikiran dan praktik kebudayaan yang ada di Indonesia,” katanya kepada Historia . Di antara seniman besar yang pernah memamerkan karya seni di Balai Budaya, ada Sudjojono, Basuki Resobowo, Affandi, dan Rendra. Arsip koran milik IVAA-online.org antara lain menulis, Gerakan Seni Rupa Baru –sebuah gerakan yang mendobrak konservatisme seni rupa di Indonesia– pernah melakukan pameran di Balai Budaya pada Agustus 1976. Pameran yang diikuti para seniman muda dari Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta ini dihelat dalam rangka merayakan setahun kelahiran Seni Rupa Baru. Di Balai Budaya pula pelukis Nashar menjadi besar. Pada Juni 1983, dia menggelar pameran tunggal di sana. Pemeran yang memajang 30 karya itu disponsori Cak Kandar, pelukis yang juga aktivis seni. “Ada Manifesto Kebudayaan, pameran tunggal, pementasan karya, dan petisi 50 di sini. Pusat kesenian Jakarta juga lahir di sini. Markas Malari juga di sini. Di sinilah sumber dari pusat peristiwa kesenian dan kebudayaan yang menjadi tonggak maupun kelahiran organisasi-organisasi kesenian dan kebudayan. Jadi gedungnya sendiri bersejarah walaupun secara fisik sederhana,” kata Aisul.

  • Senandung Cinta Susi

    YON kali pertama menulis lagu untuk album To The So Called The Guilties (1967). Judulnya “Rasa Hati”. Isinya curah hatinya pada Susi Nander (Sioe Tjuan), penggebuk drum Dara Puspita, kelompok musik asal Surabaya yang semua personelnya perempuan. Susi Nander bukan asing bagi personel Koes Bersaudara. Dara Puspita dan Koes Bersaudara sering tampil satu pangung, termasuk ketika keduanya tampil dalam sebuah acara di Petamburan, salah satu yang memicu penangkapan dan penahanan Koes Bersaudara. Yon juga pernah terlibat dalam pembuatan album pertama Dara Puspita, Jang Pertama . Dalam album itu Yon membantu menulis lirik lagu berjudul “Kenangan Yang Indah”. Mereka sempat berpacaran, meski akhirnya tak berujung ke pelaminan. Pada Juli 1968, Dara Puspita melakoni tour ke luar negeri, dari Iran hingga Belanda, dalam waktu yang lama. Kerinduan Yon memuncak dan tak tertahankan. Apalagi saudara-saudaranya sudah menikah, meski mereka tetap tinggal di kompleks keluarga Koeswoyo di Haji Nawi, Jakarta Selatan. Yon pun menciptakan lagu “Hidup Yang Sepi” yang masuk album Koes Plus Volume 2 (1970) Kisah cinta Yon dan Susi Nander juga mengilhami Tonny menulis lagu “Andaikan Kau Datang” yang juga mengisi album Koes Plus Volume 2 . Yon akhirnya menikah dengan Damiana Sustrini (Susi), salah satu fans dari Yogyakarta, pada 1970. Karena Koes Plus tengah berada di puncak popularitas, Yon hampir jarang di rumah. Sibuk latihan, rekaman, dan manggung. Dara Puspita kembali ke Indonesia pada September 1971. Mereka bikin tour keliling Jawa, yang ditutup dengan pertunjukan di Jakarta pada Maret 1972. Dalam moment inilah Dara Puspita tampil satu panggung dengan Koes Plus, yang punya arti khusus bagi Susi dan Yon. Kendati sudah menikah, Yon tak bisa melupakan Susi Nander, cinta pertamanya. Kegalauan hatinya ditumpahkan dalam lagu “Hatiku Beku” untuk album Koes Plus Volume 9 (1973). Damiana Sustrini memberikannya seorang putra, Ulung Gariyas dan Otmar Veda (David). Pernikahan mereka kandas di tengah jalan. Setelah lama menduda, Yon menikah lagi dengan Bonita Angela dan dikaruniai dua anak, Aron dan Kenas. Pasangan ini kemudian tinggal di Pamulang, Banten. Bonita selalu mengiringi ke manapun Yon manggung. Tentu tak hanya romansa. Yon juga melirik tema lainnya. Salah satunya lagu berbahasa Jawa dengan judul “Jo Podo Nelongso” yang masuk dalam album Koes Plus Album Pop Jawa I (1973). Yon menyoroti kondisi sosial-ekonomi negeri ini. Yon pernah mengatakan setidaknya menciptakan 300-an lagu. Dia merasa beruntung seorang penggemarnya berinisiatif mematenkan 79 lagu ciptaannya. Namanya Siong Chung Lukman, pengacara asal Bandung. Yon tak perlu keluar biaya. “Saya malah dapat duit Rp40 juta. Kalau begitu satu lagu saya harganya Rp 500 ribu,” ujar Yon. Yon Koeswoyo telah berpulang. Selamat jalan.*

  • Selamat Tinggal Penyanyi Tua

    KENDATI selera musik berganti, para penggemar lamanya dimakan usia, Yon Koeswoyo masih bernyanyi dari panggung ke panggung. Dia ingin mengabadikan lagu-lagu Koes Bersaudara/Koes Plus, kelompok musik legendaris Indonesia yang pernah berjaya di era 1960 hingga 1980-an. “Saya ingin lagu-lagu Koes Plus abadi sampai seribu tahun nanti,” ujarnya. Yon Koeswoyo lahir dengan nama Koesjono di Tuban, Jawa Timur, pada 27 September 1940, dari pasangan Koeswojo dan Atmini. Koeswojo seorang priyayi; terakhir bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri. Atmini ibu rumah tangga. Yon anak keenam dari sembilan bersaudara. Yon belajar musik secara otodidak. Ia bisa memainkan gitar ( rhytm ). Tapi, berkat gemblengan Tonny Koewoyo, kakaknya, dia jadi penyanyi handal. Suaranya bening. Kadang nakal. Bersama saudara-saudara lelakinya, Yon membentuk sebuah kelompok musik menjelang tahun 1960-an. Mula-mula namanya Koes Bross, lalu ganti Koes Brothers, Koes Bersaudara, dan akhirnya Koes Plus. Yon jadi vokalis dan memainkan rhythm , Tonny (melodi), Nomo (drum), dan Yok (bass, vokal). Masuknya Murry, orang dari luar keluarga besar sebagai pengganti Nomo, menjadi dasar pemilihan nama Koes Plus. Koes Bersaudara merilis album (piringan hitam) pertama Angin Laut pada 1963. Sambutannya lumayan tapi belum cukup untuk membantu kebutuhan keluarga besar ini. Untuk menambah penghasilan, mereka mengamen dari rumah ke rumah dan pentas dari panggung ke panggung. Kala itu Indonesia dilanda demam musik ngak-ngik-ngok , istilah yang dipakai Presiden Sukarno untuk menyebut musik Barat. Demi mendorong kepribadian dan kebudayaan nasional, pemerintah melarang musik ngak-ngik-ngok . Meski ada larangan, Koes Bersaudara kerap menyanyikan lagu-lagu Barat demi memenuhi keinginan penggemar. Dampaknya, pada 29 Juni 1965, personel Koes Bersaudara ditangkap dan dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Khusus Glodok. Mereka dibebaskan sekira tiga bulan kemudian. Yon sempat kuliah di jurusan arsitektur Universitas Res Publica (kini, Universitas Trisakti). Ketika Tonny, kakaknya, menantangnya untuk memilih kuliah atau musik, Yon memutuskan berhenti kuliah. Lagian situasi politik lagi tak menentu. Universitas Res Publica jadi sasaran demo. Mahasiswa-mahasiswanya kena screening , upaya penguasa untuk menyaring mahasiswa-mahasiswa yang diduga komunis. Pada 1967, Koes Bersaudara sempat merilis dua album (piringan hitam), Jadikan Aku Dombamu dan To Tell So Called the Gulties , yang berisikan sejumlah lagu yang mereka ciptakan selama di penjara. Namun kondisi ekonomi lesu. Udangan pentas sepi. Koes Bersaudara vakum. Para personelnya, yang sudah berkeluarga, harus mencari cara untuk bertahan hidup. Yon sendiri melakoni jual-beli celana. Sempat pula membeli Fiat 1100 dan menjadikannya taksi gelap. Tapi mereka tetap latihan, kecuali Nomo. Tonny akhirnya mendepak Nomo sebagai pemain drum dan menggantikannya dengan Murry. Pada 1969, Koes Bersaudara ganti nama jadi Koes Plus. Perlahan Koes Plus menapaki puncak popularitas. Setelah Tonny meninggal dunia pada 1987, Koes Plus nyaris tenggelam. Pada 1993 Koes Plus mencoba bangkit, sekalipun harus bongkar-pasang personel. Ketika Yok dan Murry akhirnya mundur, Yon menjadi satu-satunya personel Koes Plus yang masih bertahan. “Saya tidak meninggalkan mereka tapi saya yang ditinggalkan,” ujar Yon. Bersama sejumlah anak muda, Yon bermain dari panggung ke panggung; membawakan lagu-lagu Koes Plus. Sesekali dia membuat dan menyanyikan lagu-lagu anyar. Sempat pula tampil sebagai penyanyi solo lewat album Hanya Mimpi dan Lantaran . Zaman berganti. Namun Yon terus berdendang, melawan tubuh dan suaranya yang menua. Mirip lagu yang dibawakannya. Oh penyanyi tua lagumu sederhana Lagu dari hatinya terdengar dimana mana Oh penyanyi tua lagumu sederhana Mulutnya pun tak ada dan anehnya banyak penggemarnya O siapa itu o ku tak tahu Pagi, 5 Januari 2018, Yon Koeswoyo tutup usia. Selamat jalan.*

  • Apa dan Siapa Islandia?

    PECINTA sepakbola tanah air boleh berbangga renovasi Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK) telah selesai. Renovasi yang dilakukan dalam rangka Asian Games 2018 itu tak hanya alakadar macam renovasi-renovasi sebelumnya, tapi menyulap GBK menjadi stadion modern nan canggih. Yang membanggakan lagi, ujicoba pertama GBK pasca-renovasi akan menyuguhkan dua tontonan menarik pada 11 dan 14 Januari mendatang. Pada tanggal 11, kesebelasan Indonesia Selection akan menjamu kuda hitam Islandia. Tiga hari berikutnya, giliran timnas Indonesia yang meladeni timnas Islandia. Islandia? “Ya kalau 10-20 tahun lalu kita bicara Islandia, pasti diketawain. Siapa mereka? Namun dalam 10 tahun terakhir itu juga mereka melakukan pembenahan serius,” kata pelatih dan mantan pemain Persiba Balikpapan Timo Scheunemann kepada Historia (5/1). Jangankan prestasi sepakbola, nama Islandia pun masing asing di telinga publik tanah air. Negeri-pulau yang terletak dekat Kutub Utara itu memang kurang “bermasyarakat” dalam lingkungan global. Selain sebagai tujuan wisata populer sebagian kecil orang Eropa, Islandia hanya terkenal sebagai penghasil ikan laut. Karena ikan itu pula Islandia pernah perang melawan Inggris. Dalam sepakbola, tak banyak yang bisa diketahui dari negeri itu selain nama Gylfi Sigurdsson atau Eidur Gudjohnsen. Nama terakhir begitu dikenal publik, terutama media-media asal Inggris dan Spanyol, lantaran punya prestasi dua gelar Premier League semasa membela klub Chelsea FC dan La Liga, Copa del Rey, serta Champions League saat berseragam FC Barcelona. Namun, sebagai bangsa Viking, yang dikenal ulet dan gigih, Islandia tak pernah menyerah sehingga namanya lamat-lamat mulai terdengar dalam dunia sepakbola global. Prestasi bagusnya di Euro 2016 lalu meroketkan nama Islandia. Di masa lalu, Islandia baru mengenal sepakbola pada akhir abad ke-19. Meski berkembang lambat, pada 1912 Islandia sudah punya liga bernama Urvalsdeild, yang hanya diikuti tiga klub. Laga internasional pertama Islandia berlangsung 29 Juli 1930 kala mengalahkan Kepulauan Faroe 1-0. Namun, karena kedua negara belum masuk FIFA, laga itu tak masuk sebagai laga resmi FIFA. FIFA baru mengakui laga resmi internasional Islandia pada 17 Juli 1946, saat Islandia dikalahkan Denmark 0-3 di Reykjavik. Sementara, UEFA (badan sepakbola Eropa) dalam situs resminya menyatakan baru mengabulkan pengajuan Islandia untuk mendaftar pada 1954. Itu berarti Islandia baru menjadi bagian sepakbola Eropa tujuh tahun setelah memiliki induk organisasi sepakbola (KSI). Meski dalam berbagai ajang, baik Piala Eropa, Piala Dunia maupun Olimpiade, Islandia dianggap “anak bawang” nirprestasi, negeri itu tak pernah berhenti belajar dan berusaha. Sejak awal tahun 2000-an, Islandia berbenah. Menurut Brian Koh dalam artikelnya di Soccer Politics, salah satu situs di bawah naungan Duke University, North Carolina, Amerika Serikat mengungkapkan, Islandia memulai proyek jangka panjang dengan beragam program. Selain membenahi fasilitas, seperti dibangunnya banyak lapangan indoor , Islandia membenahi pembinaan pemain muda dan kepelatihan. “Hasilnya, mereka mengawali sukses dengan lolos kualifikasi untuk Piala Eropa U-21 untuk pertama kalinya pada 2011,” tulis Koh. Generasi yang sama turut membawa Islandia sampai ke perempatfinal Euro 2016 lalu di Prancis. “Mereka menjadikan impossible menjadi possible. Di Euro 2016, mereka jadi giant killer (pembunuh raksasa). Melawan Portugal mereka imbang, juga mengalahkan Inggris di (babak) 16 besar,” Koh melanjutkan. “Ya maklum saja. Mereka pegang rekor negara terkecil dari segi jumlah penduduk dan wilayah negara yang lolos Euro (2016) kemarin. Sekarang pegang rekor negara terkecil juga yang masuk Piala Dunia. Makanya kita enggak pernah dengar,” lanjut Timo. Di Piala Dunia 2018 mendatang di Rusia, keikutsertaan Islandia bahkan sudah tercatat sejak jauh hari. Ia mengalahkan raksasa macam Italia atau Belanda, yang gagal lolos. Jelas bukan faktor pembinaan semata yang membuat Islandia meroket. Menurut Timo, faktor mental dan kultur bangsa Islandia berperan penting. Mental yang pantang menyerah dan tak pernah puas jadi modal berharga Islandia berkembang hingga seperti sekarang. “Prestasi mereka di Euro tak menjadikan mereka lupa diri. Malah mereka merasa under-perform dan tidak menampilkan permainan sebagaimana yang mestinya mereka tampilkan. Itu yang saya bilang kultur dan mental. Ibaratnya ada tanah yang tandus dan subur. Nah , Islandia seperti halnya Jerman, itu tanahnya subur. Mentalnya luar biasa dan mereka jadi contoh yang sangat bagus buat Indonesia,” tandas Coach Timo.

  • Maling Pun Ikut Revolusi

    Yogyakarta pasca proklamasi adalah kota yang rawan tindak kejahatan. Selain maraknya para maling, di siang hari para pencopet pun kerap berkeliaran. Kehidupan zaman perang yang serba sulit membuat sebagian orang nekad lantas mencari jalan pintas dengan mengakrabi dunia hitam. Bukan hanya itu, praktek pelacuran pun marak di berbagai sudut kota. “Kehidupan sosial menjadi kacau dan serba kumuh,” kenang Satya Graha, jurnalis tua yang pernah menghabiskan masa remajanya di kota gudeg tersebut. Situasi itu pula yang dikeluhkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX di hadapan Mayor Jenderal Moestopo. Kepada penasehat khusus militer Presiden Sukarno itu, Sri Sultan meminta solusi supaya kota yang dipimpinnya kembali aman dan tentram. Entah bagaimana awalnya, Mustopo kemudian memiliki ide nyeleneh : memberdayakan para maling, copet dan pelacur itu untuk terlibat dalam revolusi. Caranya: dengan mengirimkan mereka ke daerah pendudukan Belanda dan berpraktek di sana. Tujuannya selain mengacaukan kondisi sosial juga untuk menurunkan daya tempur para prajurit Belanda. “Istilah Pak Moes, mereka itu dilibatkan dalam psywar (perang psikologis),” ujar sejarawan Moehkardi kepada Historia . Moestopo kemudian mengumpulkan para copet, maling dan pelacur di seluruh Yogyakarta. Sebagian bahkan diambil dari Surabaya dan Gresik, di mana dia berasal. Para pelaku dunia hitam itu diajarinya hidup disiplin dan ilmu perang. Tak tanggung-tanggung, Moestopo mengangkat para instruktur militer untuk membimbing langsung para pencopet, maling dan pelacur itu. Salah satunya adalah Kolonel T.B. Simatupang. Masih segar dalam ingatan Simatupang, suatu malam dia dijemput oleh Moestopo. Sang jenderal menyatakan bahwa sejak malam itu Simatupang harus memberikan pelajaran mengenai dasar-dasar ilmu perang kepada suatu kelompok yang sedang disiapkan menjalankan tugas di daerah musuh. “Waktu itu saya diajak memasuki suatu ruang pelajaran yang setengah gelap dan di hadapan saya telah berdiri sejumlah perempuan muda yang semua matanya ditutup sehingga saya tak bisa mengenal mereka,” ujar Simatupang seperti dikisahkan kepada Sinar Harapan edisi 30 September 1986. Seiring berjalannya “pendidikan” terhadap para pelaku dunia hitam, pada pertengahan 1946, Markas Besar Tentara (MBT) memindahkan Moestopo ke front Subang di Jawa Barat. Di front yang juga dikenal sebagai Sektor Bandung Utara-Timur ini, uniknya Moestopo ada di bawah komando seorang “letnan kolonel” yakni Sukanda Bratamanggala. Namun tak ada yang tidak mungkin di era revolusi. Apapun bisa diadakan, termasuk seorang letnan kolonel yang membawahi seorang mayor jenderal. Singkat cerita, Moestopo pindah ke front Subang. Bersamanya, ikut pula sekitar 100 prajurit dunia hitam-nya. Dia menamakan pasukannya sebagai Pasukan TERATE (Tentara Rahasia Tertinggi), yang terdiri dari dua unit: BM (Barisan Maling) dan BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Menurut sejarawan Robert B. Cribb, sebagai komandan lapangan, Moestopo menempatkan para kadet Akademi Militer Yogyakarta yang tengah belajar praktek tempur. Selaku salah satu instruktur di akademi militer tersebut, Moestopo memang memiliki wewenang itu. “Dua unit itu kemudia dioperasikan di dalam kota Bandung. Tugasnya selain untuk mencuri senjata, pakaian dan alat-alat tempur juga menimbulkan kekacauan dan kebingungan di kalangan tentara Belanda,”tulis Cribb dalam Ganster and Revolutionaries, The Jakarta People’s Militia and Indonesian Revolution 1945-1949. Pada awal-awal operasi, BM dan BWP dapat bekerja secara baik. Menurut Himawan Soetanto dalam Menjadi TNI , tak jarang mereka membawa hasil yang lumayan saat pulang ke markas. Selain senjata, pakaian dan teropong, sebagai bukti mereka pun kerap membawa bendera Si Tiga Warna yang langsung diturunkan dari tiang bendera di depan markas Belanda. Pendek kata, mereka memang terdiri dari para pemberani. Namun lambat laut, kedisiplinan mereka mulai melumer. Alih-alih mengacaukan keamanan wilayah pendudukan musuh dan melemahkan moril tentara Belanda, kehadiran BM dan BWP justru berimbas negatif ke basis para gerilyawan. “Yang terjangkit penyakit kotor, justru kebanyakan malah dari prajurit kita” ungkap Moehkardi. Begitu juga dengan para “prajurit maling”. Mereka tak lagi selektif dalam menjalankan operasinya. Tidak cukup beroperasi di wilayah pendudukan, wilayah rakyat dan basis gerilyawan sendiri pun mereka sikat. Ada kisah lucu terkait soal ini. Suatu pagi, Mayjen Moestopo melapor kepada Letkol Sukanda Bratamanggala. Dengan gaya bicaranya yang khas, Moestopo mengeluh kopor pakaiannya semalam telah hilang. Alih-alih terkejut, Bratamanggala malah ngakak . Yang dilapori, tentu saja menjadi heran. “ Kok Overste malah ketawa?” ujar Moestopo. Ditanya demikian, Bratamanggala semakin ngakak . Seraya mengusap air mata yang keluar saking gelinya, senior Divisi Siliwangi itu berkata: “ Siapa lagi yang mengambil kopor Jenderal, kalau bukan anak buah Jenderal sendiri? Ini mungkin yang disebut senjata makan tuan?” Beberapa waktu sejak kejadian itu, Moestopo akhirnya menarik kedua unit andalannya tersebut dari front dan membubarkannya. Maka sejak itu, berakhirlah kiprah para maling, copet dan pelacur dalam revolusi.

  • Media Komunikasi dalam Lagu

    KECEWA lantaran sang kekasih manja, aktivis perempuan Sujatin langsung menulis surat. Dari Yogyakarta, dia mengirim surat itu ke Batavia, tempat sang kekasih berada. Lewat surat itu, hubungan cinta keduanya pun berakhir. Pada 1930-an itu, surat menjadi andalan komunikasi jarak jauh orang dari berbagai tempat. Ia digunakan untuk beragam keperluan mulai dari urusan pribadi hingga pemerintahan maupun relasi antarnegara. Popularitas surat sebagai media penyampai pesan itu menginspirasi banyak musisi untuk membuat lagu bertema surat atau menyertakan surat di dalam lirik-liriknya. Di Indonesia saja, lagu yang memuat surat tak terhitung jumlahnya. Lagu “Surat Cinta” Nur Afni Octavia (rilis tahun 1970-an), “Kau Tercipta Bukan Untukku” ciptaan Obbie Messakh yang dibawakan Ratih Purwasih (1980-an), atau “Kangen”-nya Dewa 19 (1990-an) hanyalah satu dari sekian banyak lagu bersurat dari tiap dekade. Selain berkirim surat, orang-orang pra-era komunikasi satelit berkomunikasi dengan menggunakan telepon. Penggunaan alat komunikasi yang dikembangkan dari radio itu juga menginspirasi para musisi untuk menjadikannya sebagai tema lagu-lagu mereka. Gombloh, musisi asal Surabaya yang beken pada 1980-an, salah satunya. Lewat lagu “Kugadaikan Cintaku”, yang dirilis pada 1986 dalam album Semakin Gila , dia tak hanya meraup sukses dengan meledaknya lagu itu tapi sekaligus menjadikan komunikasi telepon sebagai penanda zaman. “Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu. Kutelepon, di rumahmu, sedang apa sayangku,” demikian penggalan lirik lagu tersebut. Bagi muda-mudi, penggunaan telepon untuk komunikasi dengan kekasih atau perempuan yang jadi incaran untuk dijadikan pacar amat penting dan mengasyikkan. Meski hanya bisa mendengarkan suara, suara gadis pujaan di telepon mampu membunuh rindu dalam kalbu. Sampai pertengahan 1990-an, ketika pemerintah belum menggalakkan pemasangan telepon rumah, telepon umum pun jadi tempat tujuan banyak orang. Telepon umum koin mulai muncul di Indonesia pada 1981. Antara 1983-1988, Telkom memasang 5.724 unit di berbagai daerah. Setelah itu, Telkom mengembangkan dengan telepon umum kartu. Mulai dipasang pada 1988, telepon umum kartu awalnya hanya dipasang Telkom sebanyak 95 unit. Jumlah itu pun terus bertambah. Hingga 1993, jumlah telepon umum kartu telah mencapai 7.835 unit. Di telepon umum-telepon umum itulah muda-mudi dari berbagai kota di Indonesia sering melepas rindu pada kekasih. Meski kerap harus mengantri, mereka rela demi mendengar suara pujaan hati. Fenomena itu yang menginspirasi diciptakannya lagu “Telepon Umum” milik Wiwiek Sumbogo (1987). Lagu ini mengisahkan orang-orang yang menelepon untuk membunuh jenuh saat menunggu bis datang. Kebetulan, kala mengantri telepon umum, si penyanyi bertemu pujaan hati. Kala radio panggil atau pager mulai booming pada akhir 1990-an, muncul pula lagu yang mengiringinya, “ Tididit”. Lagu yang dinyanyikan grup Sweet Martabak ini liriknya berbunyi, “Tididit pagerku berbunyi, tididit begitu bunyinya.” Menurut WartaEkonomi, pada 1997 ada sekira 60.000 pelanggan yang dilayani PT Persada Komindo. Perusahaan yang dipimpin Hengky Liem ini mengelola Nusapage, operator pager yang bekerjasama dengan Motorola. Pada Februari di tahun yang sama, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Menparpostel) Joop Ave meresmikan PT Metro Media Raya. Perusahaan dalam negeri ini memproduksi radio panggil dengan merek Falcon. Harapannya, operator radio panggil dalam negeri akan bekerjasama dengan pabrikan dalam negeri dibanding pabrikan luar. Meski tak masuk ke semua lapisan masyarakat, pager amat berguna bagi penggunanya. Aktivis HAM Usman Hamid dalam Digital Nation Movement mengingat, saat demo 1998 para mahasiswa menggunakan pager atau HT untuk memudahkan koordinasi. Kejayaan pager tergusur begitu telepon seluler (ponsel) mulai dijual murah pada tahun 2000-an. Pada akhir 1990-an pager mampu bertahan karena ponsel di Indonesia masih mahal baik harga perangkatnya maupun biaya operasionalnya. Pesan singkat atau SMS (Short Messages Service) sebagai salah satu fitur dalam ponsel menjadi media paling diandalkan untuk berkomunikasi jarak jauh karena berbiaya murah. Asa Briggs menulis dalam Sejarah Sosial Media , di Amerika Serikat layanan pesan singkat mulai dikenalkan tahun 2000. Meski awalnya SMS tak mendapat sambutan antusias, pada 2001, tulis SundayTimes, para remaja kecanduan untuk saling berkirim pesan singkat. Bahkan, seorang remaja bisa mengirim sampai 1000 SMS dalam sebulan. Di Indonesia sendiri, pada 2006 pelanggan jasa telepon selular dengan berbagai platform dari semua operator mencapai 64 juta. Di tahun yang sama, lagu “SMS” yang dinyanyikan Ria Amelia muncul dengan lirik, “Bang, SMS siapa ini, Bang.” Kemunculan Facebook pada paruh kedua 2000-an ikut mempengaruhi pola komunikasi di Indonesia. Dengan jumlah pengguna yang terus meningkat, dari 322 ribu orang pada 2008 menjadi 26,8 juta pada 2010, Facebook kini menjadi salah satu media komunikasi utama lintas-usia dan lintas-gender. Sebagai media komunikasi yang menandakan sebuah zaman, Facebook menginspirasi band Gigi merilis lagu berjudul “My Facebook” pada Agustus 2009. Lagu tersebut mengisahkan pertemuan mantan kekasih melalui Facebook .

  • Tuntutan Merdeka 100%

    Hari ini, tujuh puluh tahun silam, di kota sejuk Purwokerto, Jawa Tengah, berlangsung pertemuan besar yang dihadiri sekitar 300 orang dari pengurus partai, badan-badan perjuangan, dan perkumpulan pemuda. Wakil-wakil pengurus partai yang hadir dari Partai Boeroeh Indonesia, Masyumi, Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia. Lalu dari perkumpulan lain seperti pucuk pimpinan Serikat Rakyat Indonesia, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Gerakan Rakyat Indonesia, Persatuan Wanita Republik Indonesia, Partai Revolusioner Indonesia, Pesindo, KRIS, Hizbullah. Dua tokoh utama yang hadir adalah Tan Malaka dan Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Tidak ada siaran pers. Semua yang hadir mendapat undangan pribadi atau melalui organisasi yang diwakilinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan kiri, dan revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946 . Mereka berkumpul untuk merapatkan barisan dan membuat kesepakatan mengenai arah perjuangan, apalagi pusat pemerintahan sudah berpindah ke Yogyakarta dari Jakarta. Pertemuan besar dengan ketua penyelenggara Sastro Suwirjo dan sekretaris Sukarni ini, digelar dua hari, 4-5 Januari 1946. Hari pertama pertemuan berisi laporan-laporan barisan pemuda yang sudah melakukan perjuangan di daerah. “Suasana Jawa Timur tak lain diliputi oleh suasana pertempuran yang hendak mengenyahkan segala upaya kaum penjajah. Oleh karena perjuangan rakyat Jawa Timur itulah, perjuangan rakyat Indonesia terdengar ke seluruh dunia. Karena diplomasi pemerintah kita, maka perjuangan rakyat Surabaya yang tadinya sangat menguntungkan menjadi kurang menguntungkan karena musuh mendapat tempo menyusun tenaganya lebih kuat,” ujar Ismail wakil dari Jawa Timur, seperti dikutip harian Kedaulatan Rakjat , 6 Januari 1946. Laporan senada disampaikan wakil dari Jawa Tengah. “Inggris katanya datang melucuti Jepang, menolong kaum interniran. Namun itu bohong belaka. Inggris datang ke Magelang tanpa diketahui gubernur Jawa Tengah, tetapi tentara dan meriamnya bertambah terus. Kelemahan kita ialah pemerintah selalu berdaya upaya untuk menghentikan semangat rakyat berjuang mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, rasa berjuang rakyat juga belum tebal. Masing-masing ingin menjadi jenderal, masing-masing saling mencurigai,” ujar Sayuti Melok dari Jawa Tengah. Sementara di Jakarta, ujar Chaerul Saleh, sudah menjadi kota “sana” dan “sini”. “Jalanan utama Jakarta, dari Senen hingga Jatinegara dikuasai oleh Batallion Depoot Speciale Troepen,” tulis Erwiza Erman dan Ratna Saptari dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. “Saya ingat dulu di daerah Senen itu batas antara wilayah Belanda dan Republik, kalau daerah Republik yang dipakai ya uang ORI (Oeang Republik Indonesia). Di dekat-dekat situ, para pejuang ngumpul atau tinggal bersama. Namanya anak-anak, pengen melihat seperti apa sih pejuang itu. Ternyata ya macam-macam orangnya,” ujar Cornelia Sutantri, 85 tahun, kepada Historia . Saat itu, Cornelia tinggal di daerah Tanah Nyonya, daerah Gunung Sahari. Pada hari kedua, 5 Januari 1946, giliran Tan Malaka dan Jenderal Soedirman yang berbicara. Tan menyoroti soal kemerdekaan penuh atau 100% yang harus diraih oleh Indonesia. “Kita tidak suka berunding dengan siapa saja sebelum kemerdekaan tercapai 100% dan sebelum musuh meninggalkan pantai dan lautan kita dengan beres. Jangan kira kalau rakyat tidak mengerti diplomasi. Kita tidak suka berunding selama musuh masih dalam negeri kita. Selama masih ada 1 kapal musuh, kita harus terus berontak,” ujar Tan Malaka, seperti dikutip harian Merdeka , 11 Januari 1946. Seluruh peserta pertemuan di Purwokerto sepakat membentuk volksfront dengan minimum program: berunding atas pengakuan kemerdekaan 100% sesudah tentara asing meninggalkan laut Indonesia; pemerintah rakyat; tentara rakyat; melucuti tentara Jepang; mengurus tawanan bangsa Eropa; menyita dan menyelenggarakan pertanian; menyita dan menyelenggarakan industri. Melihat dua hari yang gempita, Jenderal Soedirman pun menyatakan dukungannya atas kemerdekaan 100%. “Saudara-saudara yang siap sedia membela kemerdekaan 100%! Saya sangat gembira akan dibentuknya volksfront . Tentara timbul tenggelam dengan negara. Pemimpin negara boleh berganti, kabinet pun boleh berganti tiga bulan sekali. Namun, tentara tetap berjuang terus bersama rakyat sampai kemerdekaan tercapai 100%. Lebih baik di-atoom sama sekali daripada tak merdeka 100%,” ujar Soedirman, seperti dikutip dari harian Kedaulatan Rakjat , 6 Januari 1946. Di kemudian hari, volksfront ini dikenal sebagai Persatuan Perjuangan.

  • Kala Kolera Menyerang Batavia

    Wabah difteri melanda tanah air pada penghujung 2017. Penyakit epidemi yang ditandai gejala peradangan saluran pernafasan dan demam ini lebih rentan menyerang anak-anak. Sebanyak 28 provinsi terjangkit wabah difteri, tak terkecuali Jakarta. Karena masifnya penularan dan besarnya jumlah korban meninggal, Kementerian Kesehatan menetapkannnya dalam status Kejadian Luar Biasa (KLB). Pemerintah bahkan sampai mengeluarkan himbauan agar anak-anak divaksin difteri. Kejadian serupa juga pernah terjadi di Jakarta kala masih bernama Batavia. Pembunuhnya bernama bakteri kolera ( cholera asiatica ). Orang awam lebih mengenalnya dengan sebutan “muntaber” (muntah berak). Menurut buku Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia yang diterbitkan Departemen Kesehatan, penyakit kolera mulai dikenal pada 1821. Penyakit yang menyerang usus besar ini ditandai dengan gejala muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Penderita kolera dapat mengalami kematian dalam beberapa jam apabila tak mendapat penanganan secara serius. Roorda van Eysinga, pegawai kolonial urusan pribumi (Indlansche Zaken), menyaksikan hiruk pikuk ketika wabah kolera menjangkit masyarakat Batavia. “Ada hari-hari ketika di Batavia terdapat 160 orang mati (akibat kolera). Mereka mengalami kejang-kejang hebat, dan meninggal dunia beberapa saat kemudian,” catat Eysinga dalam Verschillende Reizen en Lotgevallen . Kolera menyebabkan kepanikan luar biasa di kalangan orang Eropa. Pasalnya, wabah kolera menyebar lebih cepat dibandingkan penyakit epidemi lainnya semisal malaria, tipus, atau disentri. Pada 1864, kolera merenggut nyawa sebanyak 240 orang Eropa. Sementara tingkat kematian di kalangan penduduk bumiputra mencapai dua kali lipat dari jumlah itu. Persebaran bakteri kolera biasanya menular lewat air minum, makanan, dan kontak langsung. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun menyebutkan ragam kebiasaan unik warga Batavia untuk menangkal kolera. Bagi masyarakat etnis Tionghoa, wabah kolera dapat dicegah dengan menggelar pertunjukan barongsai yang mengitari permukiman pecinan . Mereka meyakini setan penyebar kolera takut pada barongsai. Sedangkan warga bumiputra yang beragama Islam akan menghindari penyakit ini dengan meminum air khusus yang didoakan oleh para kyai. “Kolera merupakan penyakit yang sangat baru dan menyebarluas dengan cepat sehingga komunitas Indonesia dan Tionghoa menanggapinya dengan cara yang tak lazim,” tulis Susan Blackburn. Dalam Ensiklopedia Jakarta: Volume 2, tahun 1910 dan 1911 tercatat sebagai tahun kolera. Selama jangka waktu itu, rata-rata tiap 1000 orang bumiputra yang tinggal di hulu kota meninggal sedangkan di kota hilir (Batavia Lama) jumlahnya 148 orang. Hingga mendekati akhir, total warga Batavia yang meninggal diperkirakan sebanyak 6000 orang. “Begitu banyaknya orang meninggal sehingga banyak mayat yang tidak sempat dikubur. Mayat-mayat itu diletakkan didekat jalan raya bersama peti matinya. Wabah itu bahkan menyebar hingga ke kota Bogor,” tulis Wiwin Juwita Ramelan, dkk dalam laporan penelitian di Universitas Indonesia berjudul 'Penyakit Menular di Batavia'. Dari Batavia, kolera bahkan terbawa hingga ke ujung utara Sumatra. Menjelang abad 20, tentara Belanda mengadakan ekspedisi militer untuk menaklukkan Aceh. Sebagaimana diungkap Anthony Reid dalam Asal Mula Konflik Aceh , kolera masih terus berjangkit di kalangan serdadu Belanda dan menyebar pula kepada orang-orang Aceh. Pemerintah kolonial menyatakan wabah kolera rentan menjangkit saat terjadi musim kemarau. Jumlah penderita kolera mulai menyusut memasuki musim penghujan. Namun kolera akan muncul lagi bila musim kemarau tiba ketika air sungai mendangkal. Dampak sosial yang ditimbulkan wabah kolera cukup memprihatinkan kehidupan masyarakat kolonial di Batavia. Sangat sulit untuk merawat pasien dari kelas sosial rendah yang biasanya tinggal di ruangan kecil berdinding bata. Ruangan-ruangan itu harus ditutup rapat untuk mencegah aliran udara. Mereka dirawat dengan metode pengobatan sederhana seperti mandi dengan air hangat atau kadangkala dengan arak. “Kondisi menyedihkan mereka membuat perawatan itu menjadi pekerjaan yang tak tertahankan dan dapat dikatakan sangat menyengsarakan,” ujar Eysinga . Pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap sektor kesehatan beriringan dengan bergulirnya era politik etis. Sosialiasi penyuluhan kesehatan dan inovasi pengobatan ditingkatkan. Pada 1911, vaksin kolera diperkenalkan kepada masyarakat. Namun wabah kolera benar-benar tak dapat ditanggulangi sepenuhnya. Meski waksin sudah diproduksi, sampai dengan tahun 1920, penyakit kolera tetap mewabah setiap tahun. Di Batavia, kolera memang sulit diatasi mengingat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan yang rendah.

  • Pengungkapan Kebenaran Dulu, Baru Rekonsiliasi

    GUBERNUR Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo kembali mengemukakan pendapatnya mengenai tragedi 1965 di Indonesia. Menurutnya tragedi itu meninggalkan bekas luka dendam yang belum bisa disembuhkan dan masih sulit untuk berdamai dengan masa lalu. “Nah, jika ini tidak bisa dipecahkan, dendam akan terus berlanjut. Kecurigaan yang mendalam akan berlanjut. Segala sesuatu yang berasal dan terwujud dalam bentuk balas dendam, serta kecenderungan curiga dan percaya bahwa kita satu-satunya yang benar –dan ini salah– tentu akan menciptakan rintangan pada kemampuan bangsa untuk maju secara maksimal,” ujar Agus kepada Johannes Herlijanto, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Pelita Harapan, seperti termuat dalam artikelnya The 1965 Tragedy, China, and the Ethnic Chinese: Interview with Lieutenant General (Retired) Agus Widjojo (Part II) . Oleh karena itu, Agus berpendapat bahwa perlu permintaan maaf dari segala arah oleh semua pihak yang terlibat dalam kekerasan, termasuk negara Indonesia dan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Permintaan maaf itu tidak berarti bahwa pemerintah meminta maaf kepada PKI. Karena itu, permintaan maaf yang saya usulkan adalah dari segala arah. PKI juga harus meminta maaf, karena pada tahun 1948, mereka juga membunuh banyak pamong praja di Jawa Timur. Pada tahun 1965, jelas, setidaknya tujuh tentara dibunuh oleh mereka. Jadi PKI juga harus meminta maaf,” ujar putra Sutojo Siswomiharjo, salah satu jenderal yang dibunuh pada dinihari 1 Oktober 1965 itu. Namun demikian, menurut Agus, beberapa perwira di TNI salah menafsirkan gagasan rekonsiliasi dan permintaan maaf tersebut menjadi pengakuan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah. Mereka takut tindakan itu akan memberi ruang bagi kebangkitan PKI. “Mereka belum bisa melakukannya. TNI tidak pernah diajarkan untuk berpikir kritis. Mereka masih sangat preskriptif, doktriner, dan terkadang doktrin-doktrin ini dapat disalahgunakan. Nah, misalnya, isu PKI memang diperparah dengan dibesar-besarkan yang menghasilkan mobilisasi-mobilisasi untuk bersatu. Nah, siapa lawan PKI? kelompok garis keras yang menggunakan sentimen keagamaan untuk membangkitkan militansi,” ujar Agus. Rekonsiliasi yang diungkapkan Agus Widjojo ditanggapi aktivis IPT 1965, Harry Wibowo. Menurutnya, pernyataan Agus ini tidak tepat. “Agus ini membalikkan mana awal dan mana ujung. Sebelum ada rekonsiliasi, maka diperlukan pengungkapan kebenaran. Itu yang benar,” ujar Harwib, panggilan Harry Wibowo, kepada Historia . Meski UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006, pengungkapan kebenaran atas tragedi 1965 masih bisa dilakukan. “Tinggal bagaimana kemauan presiden, kan di RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) sudah ada. Tinggal bikin semacam keputusan presiden saja. Sebab kalau tidak, maka ya muncul pernyataan-pernyataan yang seperti ini. Dibumbui politik pula. Dan menurut saya bukan komisi, sebab terkesan memerlukan undang-undang lagi dan akan lama lagi. Namun, bentuklah semacam komite atau panitia yang diberi wewenang khusus, dengan durasi kerja minimal untuk pengungkapan kebenaran adalah tiga tahun,” kata Harwib.

bottom of page