top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cerita Mega Tentang Upaya Pembunuhan Ayahnya

    SEBAGAI alumni Perguruan Cikini, Megawati Sukarnoputri tak pernah lupa momen ketika sekolahnya merayakan hari jadi ke-15 dengan menggelar malam amal dan bazar pada 30 November 1957. “Bersama kakak, saya mendapat tugas menjaga pameran, kakak saya jaga permainan,” kata Megawati ketika memberi kesaksian di acara peluncuran buku Seri Historia yang dihelat Penerbit Buku Kompas dan majalah Historia di Museum Nasional, Jakarta, 30 November 2017. Suasana meriah kala itu makin semarak dengan kehadiran Presiden Sukarno, yang datang bukan sebagai presiden tapi wali murid Mega dan Guntur. Banyak teman Mega dan murid-murid lain sekolah itu bercengkerama akrab dengan Sukarno. Namun, seketika suasana berubah pilu begitu Sukarno hendak menuju mobilnya untuk pulang. Enam granat dilemparkan pemuda-pemuda asal Bima, Nusa Tenggara Timur, ke arah Sukarno. Korban berjatuhan. “Tidak terlupa karena korbannya dari kawan saya ada 100-an orang, baik meninggal, luka parah, atau luka kecil. Ada beberapa yang cacat seumur hidup,” kata Mega. Sukarno sendiri selamat dari kejadian yang kemudian disebut Peristiwa Cikini itu. Selain kesigapan para personel Detasemen Kawal Pribadi (DKP), pasukan pengawal Sukarno yang dipimpin Komisaris Besar Mangil Martowidjojo, kata Mega, ayahnya bisa selamat karena ada granat yang meleset. Hal itu terjadi karena granat yang berpotensi tepat mengenai Sukarno telat beberapa detik dilemparkan. Keterlambatan itu terjadi karena si pelempar ragu. “Karena lihat Bung Karno begitu ceria tertawa bersama teman-teman sekolah saya, detik-detik itu terlewat. Jadi, korban banyak teman saya di Cikini,” sambung Mega. “Dalam pengadilan, mereka sangat menyesal. Mereka hanya diberitahu Bung Karno akan datang ke suatu tempat,” kata Mega, menjelaskan ketidaktahuan pelaku terhadap sosok Sukarno yang mereka kira jahat. Upaya pembunuhan terhadap Sukarno itu menewaskan 10 orang dan melukai 100-an lainnya. Peristiwa itu bukan satu-satunya upaya pembunuhan terhadap Sukarno. Peristiwa lain yang diingat Mega terjadi pada 9 Maret 1960. Daniel Maukar, pilot tempur AURI, memberondong Istana Negara menggunakan pesawat Mig-17. Peluru senapan mesin pesawatnya langsung menembus dinding istana dan mengenai ruang makan. “Kalau diteliti, ada satu peluru yang berbahaya. Satu peluru itu dinyatakan akan mengenai tepat kepala ayah bila sedang ada di ruang makan,” kata Mega. Sukarno selamat karena saat kejadian sedang rapat di Dewan Nasional yang juga berkantor di kompleks Istana Merdeka (kini kantor Dewan Nasional jadi kantor Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila). Selain dua upaya pembunuhan tersebut, ada lima upaya pembunuhan lain yang pernah dialami Sukarno. Ketujuh upaya pembunuhan itu diulas mendalam dalam buku Mengincar Bung Besar. Dua buku lainnya yaitu Kennedy & Sukarno dan Ho Chi Minh & Sukarno. Mega menyambut baik penerbitan buku Seri Historia itu. “Buku tentang kisah Bung Karno berguna bagi generasi muda dan para calon pemimpin bangsa. Kita jadikan sejarah sebagai cermin agar bisa memahami masa kini dan meneropong masa depan kita sebagai bangsa yang terhormat, serta bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia,” kata Mega.

  • Kala Hantu Pindah ke Kota

    SEBUAH kuburan meletus. Bersamaan dengan keluarnya asap yang mengikutinya, sebuah pocong perlahan muncul dari dalam kuburan itu. Ia lalu melompat. Dua pocong lain sudah menunggu, satu di pohon, satu lagi berdiri dekat kuburan. Salim (diperankan Benyamin S.) dan warga desa yang sedang duduk di warung kopi bergidik ketakutan melihat kejadian itu. Mereka lari tunggang-langgang setelah pocong yang melompat-lompat mengejar mereka. Adegan dalam film Setan Kuburan (1975) itu memperkuat pandangan mengenai kuburan, pohon, dan tempat alami seperti telaga atau danau sebagai tempat favorit kemunculan hantu. Pandangan itu tak hanya terdapat dalam film. Lagu “Rintihan Kuntilanak” karya The Panas Dalam, misalnya, liriknya juga mengungkapkan pandangan serupa. “Malam sunyi kusendiri, duduk sepi di atas pohon,” demikian penggalan lirik lagu tersebut. “Film dulu (1980-an, red .) mencoba mengangkat sesuatu yang ada dalam masyarakat berdasarkan cerita rakyat, misalnya,” kata Suma Riella Rusdiarti, dosen sastra Prancis di Universitas Indonesia yang menulis disertasi tentang "Kaidah, Makna Das Unheimliche , dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia." Ada kecenderungan film horor tahun 1970-an hingga 1980-an menjadikan pohon, danau, atau kuburan sebagai tempat kemunculan hantu meski ada juga yang menjadikan rumah angker sebagai seting lokasi seperti film CintaBerdarah (1989). Pemilihan lokasi kemunculan hantu tersebut jelas bukan tanpa sebab. Ia berangkat dari tradisi-budaya beragam etnis di Indonesia. Dalam kebudayaan Jawa, misalnya, ada tempat-tempat yang dianggap keramat dan dikuasai makhluk gaib. “Orang Jawa percaya Tuhan telah memberikan tempat pada mereka yang berbeda. Hutan, pohon besar, atau tempat-tempat wingit (sakral, red .)," kata Prapto Yuwono, dosen sastra Jawa Universitas Indonesia. Bagaimana kemunculan hantu di kuburan juga dikisahkan antara lain oleh Kidung Sidumala . Selain menyebut pemakaman Setra Ganda-mayu, kidung itu juga melukiskan para hantu bertengger di pohon kepuh dan randu. Namun, lokasi kemunculan hantu berubah seiring bergantinya zaman. Film-film horor yang diproduksi tahun 2000-an ke atas cenderung menampilkan hantu-hantu yang muncul di tempat-tempat publik. “Ada perpindahan lokasi hantu, dulu di pohon sekarang di apartemen, terowongan,” kata Riella. Pergantian tempat kemunculan hantu itu tak semata menyangkut perubahan tren, tapi berkait erat dengan faktor sosial-ekonomi masyarakat. Perubahan itu berawal dari pembangunan yang menggusur tempat-tempat yang semula dianggap angker, semisal penggusuran kuburan untuk dijadikan perumahan mewah. Pembangunan membuat tempat sepi menjadi jarang. “Kota menjadi semakin padat dengan urbanisasi, dan ruang-ruang yang tadinya untuk kuburan, danau, sekarang dijadikan ruang manusia sebagai rumah, mal, apartemen, sekolah,” kata Riella. Dari pembangunan itulah kemudian muncul legenda urban yang cenderung menceritakan hantu perkotaan. Legenda-legenda urban itu kemudian diangkat oleh sineas ke layar lebar. Terowongan Casablanca (2007), Kereta Hantu Manggarai (2008), Hantu Diskotik Kota (2014), dan Rumah Angker Pondok Indah (2013) merupakan beberapa di antara film horor itu. Namun, film horor produksi tahun 2000-an yang memilih kuburan, pohon, dan telaga sebagai tempat kemunculan hantu tetap masih ada. “Dalam film ada semacam perebutan kekuasaan ruang antara manusia dan hantu. Hantu dalam film itu kemudian seperti dianggap intruder (pengacau, red. ), mereka harus diusir. Padahal, kalau dulu kita percaya bahwa kita bisa hidup bersama,” ujar Riella.

  • Kebangkitan Penghayat Kepercayaan

    LIMA rato (imam Marapu) mengadakan ritual untuk melepas Mikael Keraf ke Yogyakarta. Pastor yang mendalami dan membela hak-hak penganut Marapu di Sumba, Nusa Tenggara Timur itu akan membagi pengetahuannya soal Marapu dalam seminar agama-agama Nusantara di acara Borobudur Writers & Cultural Festival, 23-25 November 2017. Dalam proses itu, seekor ayam dibelah. Lewat usus dan darahnya, rato membaca apakah misi ini baik atau tidak. Ketika pertanda itu dibaca, burung-burung berterbangan di atap rumah. “Itu burung keila Marapu. Burung suci yang dilindungi itu ribut sekali di atas pertanda saya direstui. Senang sekali saya,” kata Mikael ketika ditemui Historia , di Hotel Manohara, Magelang, seusai acara. Mikael mengatakan masyarakat Marapu yang hanya dijumpai di Sumba memang akrab dengan tanda-tanda alam. Ada suku yang akrab dengan hujan. Ada pula yang akrab dengan halilintar. Itu karena inti ajaran mereka terpusat pada etika lingkungan, hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dengan leluhur dan Yang Maha Kuasa. “Mereka punya hubungan kekerabatan yang kuat sekali dengan kuasa kosmik,” ujarnya. Apa yang terlihat dari masyarakat Marapu merupakan khas dari agama-agama kuno di Nusantara. Arkeolog Agus Widiatmoko menjelaskan, agama yang telah ada sebelum agama-agama dominan masuk, memegang tiga prinsip: meyakini hubungan antara manusia dengan Yang Kuasa, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan tumbuhan, hewan, dan lingkungan. “Itulah prinsip dasar agama Nusantara sebelum pengaruh agama luar datang. Jadi, yang namanya agama asli Nusantara konsepnya sama,” ujar Agus. Keyakinan itu awalnya dibawa para penutur Austronesia yang bermigrasi sekira 4000 tahun lalu dari utara, yaitu Pulau Formosa, Taiwan ke Kepulauan Nusantara. “Tradisinya sama. Seperti makan sirih. Ini orang-orang asli kita,” jelasnya. Ketika Hindu-Buddha masuk, sebagian penganut budaya Austronesia masih memelihara keyakinannya. Bahkan, hingga kini masih bisa disaksikan di Toraja. Pun di masyarakat Dayak, Kalimantan. “Hindu Buddha ketika itu tidak mayoritas. Hanya di Jawa dan Bali. Di luar itu sedikit sekali. Di Pulau Nias, kebudayaan asli Nusantara masih ada ketika penjajah datang, termasuk di Toraja,” terangnya. Bahkan, di wilayah yang mayoritas beragama Hindu pun, ajaran sebelumnya masih muncul dan membaur. Buktinya, Hindu di Bali dan India sangat berbeda. “Makanya di Bali ada konsep tri hita karana. Di India tidak ada. Artinya ada asimilasi,” lanjut Agus. Tak Diakui Sayangnya, para penganut ajaran kuno itu seakan menjadi tamu di negeri sendiri. Mereka mendapat diskriminasi sampai ke tingkat regulasi. Sudarto, peneliti dari Setara Institute mengatakan, setelah Pemilu pertama tahun 1955, para penghayat kepercayaan jumlahnya meningkat hingga 350 kelompok. Mereka dikonsolidasi oleh mantan Wakil Perdana Menteri KRT Wongsonegoro. Sebelumnya, pada 1951, dia mengadakan kongres kebatinan di Solo. Dia memaknai apa yang dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 UUD 1945 adalah ajaran kebatinan. “Agama lokal menguat. Dalam kongres kedua dikuatkan lagi. Jadi, pasal 29 itu untuk mengakomodir kepercayaan ini,” jelas Sudarto. Namun, pengertian itu mendapat penentangan. Menurut Sudarto, mereka yang menentang mengartikan dimaksud “kepercayaan” dalam Pasal 29 adalah sekte-sekte dalam Islam, seperti Sunni dan Syiah. Menguatnya pengaruh kelompok penghayat kepercayaan membuat gelisah penganut agama mayoritas. Akhirnya, pada 1962 Kementerian Agama membuat definisi agama berdasarkan pendapat Menteri Agama Mukti Ali. “Agama itu harus punya Tuhan, harus punya kitab suci, harus dogmatis, harus punya nabi. Kepercayaan pun dianggap sempalan,” kata Sudarto. Efeknya, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, para penganut kepercayaan yang tak sesuai definisi agama dianggap tak punya agama. Mereka dianggap komunis. “Yang artinya PKI. Jadi kalau mau hidup harus memilih di antara agama yang diakui itu,” kata Sudarto. Pada tahun itu pula lahir UU PNPS No. 1/1965. Isinya tentang penodaan agama dan melindungi agama yang diakui pemerintah dari ajaran-ajaran penghayat kepercayaan. “Ini adalah awal dari tidak diakuinya agama para penghayat kepercayaan secara regulatif,” kata Sudarto. Penghayat kepercayaan pun memasuki masa kritis. Pada 1967, bahkan Kong Hu Cu pun tak disebut agama karena indentik dengan Tiongkok dan komunis. Ramai-ramai penganut Kong Hu Cu pindah agama. Jumlah penganut Katolik dan Kristen meningkat tajam dari 3 persen menjadi 6-7 persen. “Orang Kong Hu Cu tidak mau masuk Islam karena perbedaan kultur yang tajam. Maka mencuatlah isu Kristenisasi, resahlah orang Islam. Tahun itu terjadi pembakaran gereja pertama di Aceh, disusul Palembang dan Makassar,” kata Sudarto. Cara Bertahan Para penghayat kepercayaan sulit mendapat hak-hak sebagai warga negara seperti identitas keagamaan, pencatatan sipil atas pernikahan, akte kelahiran, hak pendidikan, termasuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Akhirnya banyak yang terpaksa beralih agama hanya agar mendapat hak-haknya. Hal itu disampaikan Mikael Keraf setelah 2,5 tahun mendampingi komunitas Marapu. Mereka baru bisa mengakses pendidikan, hak-hak sosial, tabungan di bank, hanya jika menulis kolom agama dengan agama yang diakui negara. “Ada kesadaran kalau komunitas ini termarjinalkan terutama dari agama mayor juga dari komunitas modern. Mereka susah mendapat hak politik, hak sosial, tak punya akses ke bank dan akses ke pendidikan tinggi,” jelas Mikael. Lebih ekstrim lagi, penganut Kaharingan di Kalimantan bahkan sampai menyusun kitab suci pada 1980-an agar dianggap beragama. Dalam usaha itu mereka dibantu antropolog Jerman dan Indonesia. “Menarik sekali, mana yang dimasukkan ke kitab, mana yang tidak. Ada perdebatan mengenai mana cerita yang dimasukkan,” ujar Marko Mahin, aktivis di Lembaga Studi Dayak-21. Pada 1980-an, mereka ramai-ramai datang ke Bali untuk menjadi penganut Hindu Kaharingan. Sebelumnya, kata Marko, masyarakat Kaharingan sempat mendatangi Islam dan Kristen. Namun, mereka diminta melepas kepercayaan Kaharingan mereka. “Islam tidak makan babi, mereka makan. Tanpa khotbah, tanpa ceramah, jumlah penganut Hindu meningkat jadi 300,” kata Marko. Sementara itu, masyarakat Parmalim yang menganut Agama Malim lebih memilih Kristen. Ferry Wira Padang, direktur Aliansi Sumut Bersatu (ABS) mengatakan usaha itu dilakukan supaya lebih mudah menerima pendidikan. Meskipun demikian, mereka tetap menjaga eksistensi ajaran Agama Malim salah satunya dengan cara memberikan kelas setiap Sabtu dan Minggu. “Tiap komunitas Parmalim ada guru yang bertugas mewariskan nilai-nilai itu,” ujar Ferry yang dalam empat tahun ini bekerja untuk inklusi sosial penghayat kepercayaan di Sumatra Utara. Jumlah penghayat kepercayaan mencapai puncaknya pada 1972 dengan 644 kelompok yang terdaftar di Sekretariat Kerjasama Kepercayaan. Namun, jumlahnya kemudian menurun. Pada 2003, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat tinggal 245 kelompok. Tiga tahun kemudian turun menjadi 214 kelompok. Sejak 2016 tinggal 186 kelompok. Kini, tercatat 12 juta jiwa yang terdaftar sebagai penganut aliran kepercayaan di bawah naungan Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI). Mikael mencatat hanya tinggal 12 persen penduduk Sumba yang masih menganut Marapu. Mereka didominasi oleh generasi tua. Sisanya menganut agama-agama mayor seperti Katolik, Protestan, Islam, dan sedikit Hindu. Marko mencatat penganut Kaharingan hanya delapan persen dari total penduduk Kalimantan Tengah. Sedangkan jumlah Parmalim sekira 20.000 jiwa tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Respons Keputusan MK Melihat sejarahnya, kata Sudarto, ada dua masalah mengapa penghayat kepercayaan sulit diterima: kekhawatiran agama besar jumlah penganutnya berkurang dan masalah dalam memahami agama dan kepercayaan. “Jangankan rakyat, pejabat saja tidak bisa membedakan. Tuhan tidak pernah mendefinisikan agama itu apa. Agama dimasukkan dalam studi agamanya Barat. Ciri-cirinya punya Tuhan, nabi, kitab suci; kalau tidak punya, tidak dianggap agama,” kata Sudarto. Sudarto menduga, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa masuk ke kolom agama di KTP, akan banyak orang yang kembali kepada kepercayaan awalnya. “Jangan-jangan yang 87,15 persen Islam bisa jadi tinggal 60 persen saja di Indonesia, yang kejawen juga mungkin akan menikmati ruang ini,” kata Sudarto. Meski ada yang menganggap sebagai momentum penguatan bagi penghayat kepercayaan, tetapi ada pula yang curiga. Seperti sebagian penganut Kaharingan. “Hasil keputusan MK ini dicurigai seperti teknik memancing macan turun dari gunung. Tinggal pukul-pukul kepalanya, selesai,” kata Marko. Kendati begitu, yang menyambut gembira lebih banyak. Mereka pun tak perlu lagi mencantumkan “Hindu” di kolom agama pada KTP mereka. “Tapi ada juga elite Kaharingan yang sudah terlanjur enak di Hindu, mereka menolak,” ujar Marko. Mikael pun yakin warga Marapu sangat ingin mencatumkan “Marapu” di kolom agama pada KTP mereka. Bahkan, mereka tengah mempersiapkan merayakan keputusan MK di Festival Waikumba ke-6 pada 1-3 Desember 2017. Acara itu jadi momentum untuk mensosialisasikan keputusan MK sekaligus deklarasi eksistensi Marapu di Sumba. Mikael optimistis semua yang diam karena dominasi Katolik dan Kristen akan kembali bangkit bersama agama yang telah terdiskriminasi sebelumnya. “Ternyata mereka tetap Marapu. Setelah ini akan banyak orang mengaku Marapu. Apa itu sinkretisme, bagi saya, kita tidak bisa lepas dari akar sejarahnya,” ujarnya.

  • Gempa Gagal Halangi Chile Jadi Tuan Rumah Piala Dunia

    RAKYAT Chile bahagia. Kongres FIFA di Lisbon, Portugal pada 10 Juni 1956 memutuskan Chile menjadi tuan rumah Piala Dunia 1962. Dalam kongres itu, banyak delegasi meragukan kemampuan Chile yang dipimpin Carlos Dittborn (petinggi induk organisasi sepakbola Chile) sebenarnya. Sebagai negara dunia ketiga, Chile tak hanya masih lamban dalam laju perekonomian tapi juga minim modal. “Faktanya, Chile masih miskin, belum berkembang, kekurangan teknologi komunikasi dan fasilitas olahraganya masih minim,” ungkap Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Dibandingkan Argentina sebagai pesaing kuat, infrastruktur olahraga Chile kalah jauh. Namun, Dittborn tetap optimis. “Karena kami tak memiliki apa-apa, kami akan melakukan segalanya,” ujar Dittborn kala meyakinkan para delegasi lain, sebagaimana dikutip David Goldblatt dalam The Ball is Round . Chile akhirnya menjadi pemenang dengan 32 suara mengalahkan Argentina yang kebagian 11 suara. Empat belas suara lainnya abstain . Berkah sekaligus tantangan besar itu disambut suka cita dan rasa tanggung jawab pemerintah dan rakyat Chile. Segala upaya mereka lakukan demi mewujudkan mimpi. Namun belum lagi hasil upaya itu terlihat bentuknya, gempa dahsyat menghantam negeri itu pada 22 Mei 1960. “Gran Terremoto de Valdivia”, sebutan rakyat Chile untuk gempa berkekuatan 9,6 Skala Richter itu, guncangannya menjangkau hingga Filipina yang terpisah Samudra Pasifik. Gempa itu juga memicu erupsi Gunung Puyehue-Cordon Caulle di Rio Bueno dan memicu tanah longsor di selatan Pegunungan Andes serta menimbulkan tsunami hingga ke Filipina. Di Chile, tsunami mencapai ketinggian 25 meter. Total korban tewas di berbagai negara nyaris mencapai 6000 orang, dua juta orang di Chile langsung menjadi tunawisma. Kerugian materil ditaksir mencapai enam milyar dolar Amerika. Terlepas dari kehancuran berbagai infrastruktur, empat dari delapan stadion yang dipersiapkan Chile sejak 1956 ikut luluh-lantak. “Sebagian besar wilayah Chile menjadi reruntuhan. Penetapan Chile (sebagai tuan rumah Piala Dunia 1962) terancam dibatalkan. Namun FIFA memutuskan Chile tetap jadi tuan rumah di tengah kehancuran,” tulis Clemente A Lisi dalam A History of World Cup: 1930-2014. Meski amat terpukul oleh bencana itu, rakyat Chile pantang menyerah. “Kami akan melakukan segalanya semampu kami untuk membangun kembali,” kata Dittborn kepada segenap elemen masyarakat. Pembangunan kembali sejumlah stadion berjalan siang-malam. Dananya datang dari berbagai pihak, termasuk swasta. Braden Copper Company, perusahaan tambang tembaga Amerika Serikat yang beroperasi di Chile sejak awal abad ke-20, bahkan mempersilakan stadionnya di Rancagua dijadikan salah satu venue Piala Dunia. Dari delapan stadion yang direncakan bakal dijadikan venue, hanya empat stadion yang akhirnya bisa digunakan: Estadio Nacional, Estado Sausalito, Estadio Rancagua, dan Estadio Arica. Publik Chile juga kembali dirundung musibah. “Pada April 1962, sebulan sebelum turnamen (Piala Dunia –red.) dimulai, Dittborn meninggal karena serangan jantung di usia 38 tahun. Segenap Chile berduka. Stadion di Arica dekat perbatasan Chile-Peru, (lalu) menggunakan namanya sebagai penghormatan,” tulis Lisi. Bak keajaiban, Chile mampu menyiapkan empat stadion dan beragam infrastruktur penunjang untuk Piala Dunia sebelum waktunya terlepas dari berbagai kekurangan di sana-sini. Namun, lagi-lagi rintangan menghampiri Chile. Dua wartawan Italia, Antonio Ghiredelli dan Corrado Pizzinelli, yang datang dua bulan jelang Piala Dunia membuat rakyat Chile meradang lewat tulisan-tulisan mereka. Ghirelli menulis bahwa FIFA salah memberi kepercayaan kepada Chile sebagai tuan rumah. Dalam artikel yang ditulis di Corriere della Sera itu Ghirelli juga menyertakan penggambaran keburukan fasilitas komunikasi hingga transportasi. Sedangkan Pizzinelli, lewat tulisannya di La Nazione , menyerang sisi sosial-ekonomi Chile dengan memasukkan masalah prostitusi, kekurangan gizi, dan kemiskinan di Chile. Artikel-artikel itu lantas diterjemahkan dan diterbitkan oleh suratkabar lokal El Mercurio dan Clarin de Santiago . Sontak, publik Chile berang. Gelombang anti-Italia pun muncul. Seorang wartawan Argentina kena getahnya ketika sedang di bar. Dia dipukuli gegara dikira orang Italia. Sementara, Ghirelli dan Pizzinelli buru-buru angkat kaki dari Chile. Saat Piala Dunia berjalan, para pemain timnas Chile melampiaskan kemarahan mereka dengan mengintimidasi pemain-pemain Italia. Kedua negara bertemu dalam pertandingan penyisihan Grup 2 pada 2 Juni 1962 di Estadio Nacional. Alih-alih menampilkan permainan cantik, pertandingan yang oleh publik Chile dijuluki sebagai “Battle of Santiago” itu justru lebih tepat disebut pertempuran. Pelanggaran kasar dan brutal para pemain Chile bertebaran. Hal itu menimbulkan perlawanan brutal dari para pemain Gli Azzuri (julukan timnas Italia). Alhasil, wasit Ken Aston asal Inggris mengkartumerah dua pemain Italia, Mario David dan Giorgio Ferrini. Namun, anehnya Aston tak mengeluarkan satu pun kartu kepada para pemain Chile. Keributan pun pecah, sampai petugas keamanan turun tangan membantu wasit melerai para pemain. “Saya bukan menjadi wasit pertandingan. Saya justru menjadi pengadil dalam manuver-manuver militer,” kenang Aston sebagaimana dikutip Johnny Morgan dalam For the Love of Football: A Companion. Meski menang 2-0, Chile akhirnya tak berhasil mencapai puncak turnamen itu. Brasil menjadi juara turnamen itu setelah mengalahkan Cekoslowakia 3-1 di final.

  • Heboh Pemuda Peuyeumbol

    HAWA Bandung yang dingin berubah menjadi panas. Pasalnya, di tengah-tengah Pertempuran Surabaya, seorang yang menamakan dirinya sebagai Bung Tomo beteriak keras di depan mikrofon Radio Pemberontak Surabaya . Dalam bahasa Sunda, dia menyebut pemuda-pemuda Bandung bermental peuyeumbol (singkong yang diragi hingga lembek dan merupakan makanan khas Bandung), karena tidak jua berani menggempur tentara Inggris. "Mereka (pemuda-pemuda Bandung) menjadi terbakar," ujar John R.W. Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 . Kendati maksud orang yang mengaku sebagai Bung Tomo itu baik, namun tak ayal soal sebutan "pemuda peuyeumbol" tersebut menjadi masalah. Rasa simpati para pemuda Bandung terhadap Bung Tomo pun sempat sirna. Mereka menyatakan bahwa kata-kata itu tak pantas dikeluarkan oleh seorang tokoh pejuang. "Dia tak berhak menilai keberanian kami dari kejauhan," ungkap Asikin Rachman (94), eks pejuang di Bandung. Selidik punya selidik, ternyata orang yang mengejek pemuda-pemuda Bandung itu bukanlah Bung Tomo, melainkan Soetomo yang tak lain adalah pemuda Bandung sendiri. Dia merupakan salah satu anggota delegasi pemuda Jawa Barat yang datang ke Kongres Pemuda di Yogyakarta pada 10 November 1945 mewakili KNI (Komite Nasional Indonesia) Cicadas. Menurut seorang anggota KNI Jawa Barat bernama Madomiharna, Soetomo dikenal sebagai pemuda yang pandai berpidato. Laiknya Bung Tomo asli, Soetomo pun memiliki suara yang menggelegar dan pandai beretorika. "Makanya kami memberi julukan kepadanya sebagai 'Bung Tomo dari Cicadas'," ungkap Midomiharna seperti dikutip dalam Mohammad Rivai: Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 karya Suwardi Suwardjo dkk. Usai mengikuti kongres di Yogyakarta, delegasi Jawa Barat lantas berangkat ke front Surabaya. Ketika berada di studio Radio Pemberontak Surabaya pada 13 November 1945, "Bung Tomo dari Cicadas" itu meminta kesempatan untuk bicara di depan mikrofon. Bung Tomo asli yang saat itu berada di studio tentu saja menyilakan. "Soetomo itu saya benarkan berbicara di depan Radio Pemberontak kami…Saya memang tidak menanyakan siapa sebenarnya dia, karena jelas dia datang ke front Surabaya bersama rombongan Jawa Barat," tutur Bung Tomo saat diwawancarai oleh Suwardi Soewardjo dkk pada 18 Agustus 1979. Begitu sampai di Bandung, Madomiharna langsung diserbu pertanyaan-pertanyaan oleh para pemuda Bandung. Salah satunya: mengapa Bung Tomo berani-berani menuduh para pemuda Bandung sebagai bermental peuyeumbol? Dia lantas menjelaskan bahwa yang berpidato itu bukanlah "Bung Tomo dari Surabaya", melainkan "Bung Tomo dari Cicadas". Maka beramai-ramailah para pemuda Bandung mendatangi KNI Cicadas guna meminta pertanggungjawaban dari Soetomo. Namun bukannya Soetomo yang didapat, melainkan penjelasan mengejutkan dari pihak KNI Cicadas: Soetomo yang bernama asli Soebrata, bukanlah anggota KNI Cicadas. Dia hanya seorang bekas tahanan Jepang di Penjara Sukamiskin yang kerap terlibat praktek penipuan. "Karena berkawan akrab dengan beberapa anggota KNI Cicadas, dia berhasil mencuri stempel KNI Cicadas dan membuat sendiri surat-surat supaya dia bisa ikut berangkat bersama delegasi Jawa Barat ke Kongres Pemuda di Yogyakarta," tulis Suwardi.

  • Lintasan Sejarah Hidupnya Tak Semulus Lintasan Atletik

    BILA Jamaika punya Usain Bolt dan Amerika Serikat punya pelari legendaris Jesse Owens, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia punya legenda atletik dengan kisah hidup tak kalah menguras emosi dari kedua nama tadi. Gurnam Singh nama legenda itu. Pria Punjab tulen itu lahir di Sogada, Pakistan pada 17 Agustus 1933. Ketika berusia delapan tahun, Gurnam merantau ke Medan dan menetap di sana bersama komunitas Sikh. Untuk menyambung hidup, dia bekerja serabutan mulai dari jadi pembantu juru masak, penjaja susu sapi, sais pedati, tukang reparasi dinamo, hingga kuli aspal. Dengan modal tabungan yang dimilikinya, Gurnam akhirnya merintis bisnis tekstil dan membuka toko olahraga Gurnam Sport di Pasar Peringgan pada 1966. Kedua usaha itu membuat dia sukses secara ekonomi. Namun, kesibukan berlatih atletik menjelang PON III (20-27 September 1953) di Medan membuatnya tak fokus menanangi bisnis. Neraca keuangan tokonya mulai carut-marut hingga akhirnya bangkrut. Tapi Gurnam kemudian membangun lagi bisnisnya dengan toko yang sama di Jalan Gajah Mada, Medan. “Nasibnya sama karena saya terus sibuk mengikuti latihan di Jakarta,” ujarnya, sebagaimana dilansir Kompas , 14 September 1996. Beruntung, prestasi Gurnam di olahraga tak sama dengan prestasinya di bisnis. Gurnam pernah didaulat sebagai manusia tercepat Asia dengan rekor waktu tercepat untuk kategori lari 5000 dan 10.000 meter. “Ayah 4 anak ini di masa jayanya pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 kilometer ditempuhnya dalam tempo 2 jam 27 menit 21 detik,” tulis buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 . Gurnam lalu terpilih masuk timnas atletik Indonesia untuk Asian Games IV di Jakarta. Sayang, dia tak seberuntung rekannya, Mohammad Sarengat, yang berhasil menyumbang emas melalui cabang lari 100 meter putra dan lari gawang 110 meter putra. Gurnam kalah dari Finai Teruo asal Jepang yang menggondol perak dan Tarlok Singh dari India yang mengantongi emas. Toh , Gurnam tetap jadi salah satu atlet yang diundang Presiden Sukarno sebagai tamu kehormatan. Gurnam juga mendapatkan hadiah tanah seluas tujuh hektar dan uang 700 ribu rupiah. Namun kehidupannya berubah 180 derajat seiring dengan pergantian rezim di Indonesia. Kehidupannya yang sudah tertatih-tatih akibat bisnisnya seret berlanjut dengan bangkrutnya toko Gurnam Sport. Gurnam mencoba bangkit dengan membuka toko kerajinan gitar di Medan. Tapi usaha itu hanya bertahan setahun. Perlahan, dia mulai melego harta-bendanya. Kesulitan Gurnam bertambah ketika istrinya mulai sakit-sakitan. Keempat anak Gurnam akhirnya putus sekolah lantaran tak ada biaya. Dalam kondisi seperti itu, Pemerintah Kota Medan menggusur rumah Gurnam di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan, Medan pada 1972 tanpa memberi ganti-rugi karena Gurnam dianggap tak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Gurnam akhirnya hidup menggelandang dan terpisah dari keluarganya. Dia kerja serabutan untuk menyambung hidup, mulai dari penjual air sampai satpam. Saat menjadi satpam, dia sempat tersandung masalah hukum. Medio Oktober 1976, Gurnam ditahan dan diajukan ke meja hijau. Pengadilan Negeri Medan menyidang dia dengan tuduhan mencuri barang-barang perabotan toko tempatnya bekerja. “Gurnam (dituduh) mencuri kayu, alat-alat perabot, paku dan lain-lain dari toko perabot di Jalan Gedeh, Medan. Jumlahnya ditaksir ratusan ribu rupiah,” tulis Kompas , 16 Januari 1977 . Begitu lepas dari kasus hukum, Gurnam melanjutkan hidup seorang diri dalam kondisi melarat. Perhatian kepadanya baru berdatangan, dari mulai wartawan olahraga hingga Mensesneg Moerdiono, pada 1990-an. “Mensesneg menyinggung pekerjaan Gurnam yang kini penjual air, ketika menjelaskan rencana pemberian penghargaan kepada atlet peraih emas, perak dan perunggu di Olimpiade Barcelona (1992),” tulis Kompas, 19 Agustus 1992 . Bantuan dan sumbangan mulai mengalir kepada Gurnam. Namun, Gurnam menolak. “Bantuan yang saya inginkan hanyalah agar rumah saya di Gang Sauh, Jalan Padang Bulan yang dibongkar Pemda Medan dibangun kembali,” ujarnya. Itu sebabnya dia enggan menerima bantuan seorang pengusaha asal Purwokerto yang ingin menjamin hidupnya dengan syarat Gurnam bersedia pindah dari Medan. Keadaan sulit akhirnya membuat Gurnam tak kuasa menolak bantuan. Pada 25 Juni 1996, dia menerima hadiah sebuah rumah sederhana di Pancurbatu, Deli Serdang dari Kodam Bukit Barisan. Di rumah itu dia tinggal hingga sekira satu dekade. Pada 7 Desember 2006, Gurnam menghembuskan nafas terakhir di RS Sumber Waras, Grogol, Jakarta.

  • Hikayat Sebuah Lonceng Tua

    Di sudut sebelah barat kawasan pendopo Kabupaten Cianjur, lonceng tua itu terpuruk seperti orang sakit. Tak banyak orang tahu asal usul benda kuno tersebut. Termasuk Irvan Rivano Muchtar, Bupati Cianjur. “Saya sama sekali tidak tahu riwayat lonceng itu, tapi karena saya yakin itu benda sangat bersejarah maka tak ada niat dari pemerintah Kabupaten Cianjur untuk menyingkirkannya,” ujar Irvan kepada Historia . Bagi kalangan sepuh di kota beras itu, keberadaan lonceng kabupaten (demikian orang Cianjur menyebutnya) memiliki kenangan tersendiri. Pepet Johar (71), masih ingat, bagaimana saat remaja dulu dirinya selalu menjadikan bunyi lonceng itu sebagai acuan untuk mengetahui waktu. “Pada akhir tahun 1950-an, secara rutin lonceng kabupaten kerap dibunyikan tiap hari, dan jumlah pukulannya disesuaikan dengan angka jam yang sedang berlangsung…,” ungkap pengelola Bumi Ageung (Museum Prawiradiredja II, bupati Cianjur ke-10) itu. Lebih jauh lagi, tahun 1900-an, lonceng kabupaten pernah dijadikan pengingat berlangsungnya jam malam. Dari para leluhurnya, Dadan (75) mendapat cerita: seiring lonceng dipukul sembilan kali di waktu malam, maka sambil menunggang kuda, beberapa upas (petugas keamanan kabupaten) berkeliling untuk memeriksa apakah masih ada penduduk berkeliaran atau tidak. “Jika mendapatkan penduduk termasuk para bocah masih berada di luar rumah maka mereka langsung disuruh untuk ngampih (segera masuk rumah),” tutur seniman senior di Cianjur itu. Lonceng kapubaten pun di era Hindia Belanda pernah berfungsi sebagai pemberi informasi telah terjadinya suatu peristiwa penting di Cianjur. Dalam Preanger Bode tertanggal 23 Maret 1910, dikisahkan ketika bupati terkemuka Cianjur R.Prawiradiredja II mangkat pada 17 Maret 1910, lonceng kabupaten dibunyikan beberapa kali tepat pada jam 6 pagi, disusul bunyi beduk bertalu-talu dari Masjid Agung Cianjur . Banyak versi yang beredar sekitar asal-usul lonceng kabupaten. Namun jika mengacu kepada tulisan yang tertera di kepala lonceng (BORCHHARD GEGOTEN IN T AMBAGD QWARTIR TOT BATAVIA 1774), besar kemungkinan lonceng itu dibuat di Batavia oleh Johan Christian Borchhard, seorang pengrajin lonceng Eropa terkemuka pada abad ke-18. “Lonceng buatan Borchhard tersebar dari Belanda hingga Afrika Selatan,” ujar Valeron Najoan, penulis sejarah yang rajin menelusuri arsip-arsip tua berbahasa Belanda. Borchhard sebenarnya seorang berkebangsaan Jerman, namun menjelang kematiannya pada 1777, ia kerap bermukim di Enkhuizen, Belanda. Dari penelisikan yang dilakukan oleh Valeron, ada dua lonceng karya Borchhard yang dibuat di Batavia, khusus untuk Gubernur Jenderal VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Belanda) ke-29 Petrus Albertus van Der Parra. Lonceng pertama selesai pada 1772 sedangkan lonceng kedua rampung pada 1774, setahun sebelum van Der Parra meninggal secara mendadak. “Jika melihat kisah tersebut, saya memiliki pendapat lonceng yang terdapat di muka pendopo Cianjur itu adalah lonceng kedua. Itu dibuktikan dengan tahun yang tertera di kepala lonceng yakni 1774. “ ungkap Valeron. Lantas muncul pertanyaan: bagaimana lonceng tersebut bisa berada di Cianjur? Soal itu memang belum terjawab secara pasti oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan. Dalam buku Sejarah Cianjur karya Raden Makbul Husein dan Abdur Rauf, disebutkan bahwa lonceng itu konon dihadiahkan oleh VOC untuk Aria Waratanudatar (bupati pertama Cianjur). “ Ketika Aria Cikondang sebagai utusan sang ayah, datang ke Batavia ia lantas dihadiahi sebuah lonceng sebagai tanda mimitraan (kerjasama),” tulis Raden Makbul Husein dan Abdur Rauf. Keterangan di atas jelas rancu secara historis. Logikanya, Aria Wiratanudatar berkuasa jauh sebelum tahun 1774 (waktu ketika lonceng itu selesai dibuat). Dia menjadi penguasa di Cianjur dari tahun 1677 hingga 1691. Jadi perbedaannya hampir seratus tahun. Ada dua kemungkinan lonceng itu bisa disimpan di Cianjur. Pertama, bisa jadi itu dihibahkan pemerintah Hindia Belanda kepada Cianjur di awal abad ke-19, sebagai simbol penghargaan. Menurut Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kejapaksa , sejak awal abad ke-18 Cianjur merupakan sumber devisa terbesar bagi pemerintah Hindia Belanda pasca VOC runtuh akibat korupsi. Terutama untuk komoditas kopi. Kedua, lonceng itu dihadiahkan khusus untuk Bupati Prawiradiredja II karena prestasinya yang sangat hebat dalam membangun Cianjur. Besar kemungkinan benda itu diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1904 ketika pemerintahan Cianjur mengadakan pesta peringatan ke-40 berlangsungnya pemerintahan Prawiradiredja II. Bataviaasch Nieuwsblad tertanggal 26 Agustus 1904, mengisahkan bagaimana saat itu para pejabat dan pemuka komunitas Eropa, Tionghoa dan tokoh-tokoh bumiputera memberikan berbagai aneka hadiah menarik kala itu kepada sang bupati. Namun pastinya soal ini harus ditelisik lebih serius lagi oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan, sehingga tidak ada lagi orang Cianjur yang buta pada sejarah kotanya sendiri.

  • Kapur Barus, Agen Persebaran Agama di Nusantara

    Pada Maret 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Kilometer 0 Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sejak lama, Barus menjadi tempat persinggungan pedagang antarbangsa. Mereka datang dari berbagai tempat terutama untuk mendapatkan kapur barus yang berguna untuk mengawetkan mayat. Keramik dan piring yang ditemukan di situs Lobu Tua membuktikan pedagang dari Tiongkok dan Arab pernah datang ke Barus. Selain untuk mendapat kapur barus, para pedagang juga singgah untuk menunggu perjalanan berikutnya. “Orang-orang seringkali menunggu selama beberapa bulan untuk menunggu angin yang cocok untuk pelayaran mereka,” kata arkeolog Agus Widiatmoko dalam diskusi buku Gerbang Agama-Agama Nusantara di Museum Nasional, Jakarta, 25 Oktober 2017. Pejabat di Direktorat Sejarah Kemendikbud itu mencontohkan, I Tsing ketika hendak menuju Nalanda (India) harus singgah di Swarna Dwipa selama enam bulan. “I Tsing belajar tentang tata bahasa Sanskrit sebelum memperdalam ajaran Budha di Nalanda. Untuk menunggu angin ke barat, ia harus nunggu enam bulan,” kata Agus. Menurutnya, ada kemungkinan I Tsing berangkat ke India melalui Barus karena letak Pantai Barat Sumatera yang berdekatan dengan India. Dengan adanya kontak dagang dan waktu singgah yang cukup lama, interaksi antara masyarakat lokal dengan orang asing terjalin. Dari interaksi inilah agama-agama luar masuk ke Nusantara melalui Barus, kemudian menyebar ke wilayah lain. “Sampai abad ke-17, perairan di utara Sumatera belum bisa ditempuh karena Malaka dikuasai perompak,” kata Rusmin Tumanggor, penulis buku Gerbang Agama-Agama Nusantara. Bukti-bukti hadirnya beragam agama di Barus juga bisa dilihat dari mantra-mantra yang digunakan dalam pengobatan tradisional di sana. Menurut Rusmin, dari semua jenis mantra pengobatan, mantra Hindu yang paling mula ada. “Hindu yang masuk di sana tidak begitu progresif menghindukan, siapa yang mau masuk saja. Jika benar Hindu di Bali dari India, tidak akan mungkin bisa sampai ke Bali tanpa transit terlebih dahulu di Barus," kata Rusmin. Rusmin mengurutkan berdasarkan temuannya: Hindu yang pertama kali masuk ke Barus, diikuti Yahudi, Kong Hu Cu, Islam, kemudian Kristen. Masuknya Yahudi ke Barus bisa ditemukan dari mantra pengobatan berbahasa Ibrani yang dia temukan di Pustaha Batak. “ Ben somerlah bi rahaman bi rahamin …” yang artinya “dengan Tuhan yang dermawan dan penyayang.” Agama Kong Hu Cu masuk melalui Barus sejak 250 SM. Selain temuan arekologis berupa pecahan keramik Tiongkok di Lobu Tua yang ditemukan Denys Lombard, hal yang menjadi pembukti ialah mantra pengobatan yang ditujukan pada Dewa Kwan Khong –dewa penentu orang hidup di batas Nirwana dalam agama Ru, cikal-bakal Kong Hu Cu– yang ditemukan Rusmin. Mantra itu berbunyi “ Hong, ulosi aha on songon tumbaga huling, palua sahitna, hipashon imana …” Artinya, kurang lebih “Hong, sematkan ulos ke tubuhnya, seperti Tumbaga Huling, sembuhkan sakitnya, kelegaan baginya.” Sementara, Islam masuk melalui Barus diperkirakan jauh sebelum masuk ke Samudra Pasai. “Pada 1963 Hamka mengatakan Islam awalnya bukan di Samudra Pasai pada abad ke-15 tapi masuk beberapa dasawarsa ketika Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam di Jazirah Arab, tempat itu adalah Barus,” kata sejarawan JJ Rizal yang menjadi moderator diskusi. Catatan dari masa Dinasti Tang (abad ke-7 sampai abad ke-10), Hsin Tang Shu , menyebutkan bahwa di pesisir Sumatera terdapat permukiman Islam. Bukti lain, temuan berupa makam Syekh Rukunuddin, bertarikh 672 M, di Makam Mahligai, Barus. Ketika Van Der Tuuk, utusan Perkumpulan Alkitab Belanda, masuk ke Barus pada 1851 untuk mengkristenkan Batak, sudah ada Islam di pesisir pantai. Van der Tuuk, menurut Rusmin, akhirnya memilih untuk menyebarkan Kristen ke daerah pedalaman karena di daerah pesisir sudah banyak pemeluk Islam. Meski beragam agama masuk melalui Barus, Rusmin menjelaskan bahwa pluralisme tetap terjaga. Ketika Islam masuk ke Barus, orang-orang yang sudah memeluk agama lain tidak dipaksa untuk masuk Islam. “Hindu yang sudah ada tidak diotak-atik. Hanya dijelaskan ada agama baru. Hal serupa juga terjadi ketika para misionaris masuk ke Barus,” kata Rusmin.

  • Dilaknat hingga Akhir Hayat

    GARA-GARA nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu amat pas digunakan untuk melukiskan nasib Moacyr Barbosa Nascimento, goleiro (kiper) timnas Brasil di Piala Dunia 1950. Publik negeri Samba yang semua memujanya, berbalik 180 derajat melaknatnya. Prestasi melimpah Barbosa seakan tiada arti lantaran dikambinghitamkan dalam satu momen – final Piala Dunia 1950 kontra Uruguay di Estadio do Maracana. Di era 1940-an, Barbosa diakui sebagai salah satu kiper terbaik dunia. Bersama klubnya Vasco da Gama, gelar Campeonato Sul-Americano de Campeones diraihnya pada 1948. Begitupun Campeonato Carioca, turut dipersembahkannya pada tahun 1945, 1947, 1949, 1950, 1952, dan 1958. Tidak ketinggalan, satu titel Copa America untuk Selecao (julukan Brasil) di tahun 1949. Maka, kiper berkulit legam itu menjadi harapan rakyat Brasil di perhelatan Piala Dunia pertama pasca-Perang Dunia II. Tuan rumah tak terkalahkan di babak penyisihan. Di laga puncak, 16 Juli 1950, di Stadion Maracana, Brasil bersua tim tetangga Uruguay yang berada di posisi kedua. Brasil hanya butuh hasil imbang karena pada fase lanjutan setelah penyisihan, formatnya masih babak grup. Dalam dua laga awal, Brasil menghancurkan Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Berada di posisi teratas, Brasil hanya butuh satu poin untuk juara. Publik Brasil yakin itu takkan sulit diraih timnasnya. Maka, mereka sudah sangat siap untuk berpesta. “Wali Kota Rio (de Janeiro) dalam pidato sebelum pertandingan, malah sudah menyanjung tim (Brasil) sebagai juara dunia,” ungkap Joseph L Arbena dan David G LaFrance dalam Sport in Latin America and Caribbean . Nyaris 200 ribu penonton, mayoritas suporter tuan rumah, menyesaki Maracana saat laga puncak dimainkan. Riuh di tribun penonton baru “meledak” di menit ke-47 ketika Albino Friaca Cardoso memecah kebuntuan Brasil. Namun, Uruguay menyamakan kedudukan di menit 66 lewat gol Juan Alberto Schiaffino. Petaka buat Brasil tiba di menit 79 kala Alcides Ghiggia memaksa Barbosa memungut bola dari gawangnya untuk kedua kali. Barbosa diperdaya Ghiggia dari pinggir kotak penalti. Bola di kaki Ghiggia yang dikira hanya akan dilepaskan sebagai umpan, justru meluncur ke gawangnya ke arah tiang dekat. Barbosa yang sudah bergerak keluar sarang untuk memotong bola, mati langkah. Skor 2-1 untuk Uruguay bertahan sampai wasit George Reader asal Inggris meniup peluit akhir. Seisi stadion nyaris terdiam kecuali sektor tribun yang dihuni suporter Uruguay. “Final yang sampai sekarang dikatakan sebagai bencana nasional. Diperparah karena dimainkan di stadion kebanggaan (kota) Rio, Maracana,” tulis Teresa A Meade dalam A Brief History of Brazil . Ratusan ribu penonton langsung keluar stadion dengan tertunduk lesu, termasuk yang di tribun kehormatan. Beberapa suporter bahkan sampai bunuh diri kemudian. Publik Brazil mengenang kekalahan itu sebagai Maracanazo atau Bencana Maracana. Saat Presiden FIFA Jules Rimet menyerahkan trofi Piala Dunia ke para pemain Uruguay, tak ada perayaan megah. “Saat saya berjalan menuju lapangan, saya merasakan keheningan yang luar biasa. Tidak ada pengawal kehormatan, tak ada lagu kebangsaan dan tak ada upacara (perayaan pemenang). Hanya ada saya sendiri,” tutur Jules Rimet yang dituangkan dalam bukunya, The Wonderful Story of World Cup . Sementara, Schiaffino punya kesan lain ketika mengenang momen itu. “Saya menangis lebih keras ketimbang orang Brasil. Sungguh membuat saya sangat sedih melihat mereka menderita seperti itu. Kami semua merasa sangat emosional,” ujarnya. Toh, sekembalinya mereka ke Uruguay publik merayakan kemenangan itu dengan pesta pora. Di Brasil, publik yang murka lalu menjadikan Barbosa kambing hitam. Dia dijadikan musuh nomor satu, dikutuk seantero negeri. Para orangtua di Brasil bahkan menyamakannya dengan demit, mereka menyebut nama Barbosa untuk menakut-nakuti anak-anak mereka jika susah diatur. Kiper yang tak pernah mengenakan sarung tangan itu mengaku tak mengerti kenapa dia yang paling disalahkan. Toh, gol Ghiggia ke gawangnya bukan blunder murni kiper tapi memang berasal dari skema permainan dan kecerdasan Ghiggia dalam melakukan gerak tipu. Lagipula, bukan hanya dia yang tampil melawan 11 pemain Uruguay. “Karier internasionalnya (di timnas) berakhir di final melawan Uruguay itu, namun dia baru benar-benar pensiun (di level klub) pada 1963 di usia 42 tahun. Tahun di mana dia dihadiahi gawang terbuat dari kayu yang digunakan di Stadion Maracana pada Piala Dunia 1950,” sebagaimana dikutip Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats . Barbosa membawa pulang gawang itu dan membakarnya di halaman belakang rumahnya. Segenap stakeholder sepakbola Brasil sejak itu tak pernah mau dekat-dekat dengan Barbosa. Konon, mereka takut ketularan nasib buruk. Di satu waktu, Barbosa dilarang ikut hadir dan menyaksikan timnas Brasil latihan jelang Piala Dunia 1994. Di waktu lain, Presiden CBF (induk organisasi sepakbola Brasil) Ricardo Teixeira melarang Barbosa menjadi komentator untuk laga-laga timnas Brasil. Persekusi terhadapnya berlangsung hingga lebih dari empat dekade. “Hukuman maksimal untuk kejahatan di Brasil 30 tahun. Saya menjalani hukuman yang tidak saya lakukan selama 43 tahun,” ucap Barbosa pada 1993, seperti dikutip Tom Winterbottom dalam A Cultural History of Rio de Janeiro after 1889: Glorious Decadence . Setengah abad setelah tragedi final di Maracana itu, Barbosa mengembuskan nafas terakhir di Praia Grande, 7 April 2000, akibat serangan jantung. Baru di akhir hayat, Barbosa tak lagi dilaknat. Brasil sendiri sejak itu tak pernah mau punya kiper berkulit hitam, hal yang baru berubah pada Piala Dunia 2002 ketika kiper berkulit hitam Nelson de Jesus Silva alias Dida menjadi kiper utama. “Dia (Barbosa – red .) berjasa besar buat tim Brasil namun kemudian dihukum setelah pertandingan. Faktanya, dia kiper nomor satu dan menunjukkan jasa besarnya untuk sepakbola Brasil. Penting untuk menggarisbawahi jasa-jasanya,” ujar Dida dalam testimoninya di biografi Barbosa, The Last Save of Moyacyr Barbosa, karya Darwin Pastorin.

  • Wujud Kuntilanak dalam Sinema dan Naskah

    Berambut kusut panjang terurai, mengenakan gaun panjang berwarna putih, dengan suara tawa melengking. Itulah wujud kuntilanak dalam imaji muda-mudi berusia 20-an saat ini. Menurut, Faqihudien Abi, mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, gambaran kuntilanak bergaun putih yang dia miliki berasal dari film-film –yang diperankan– Suzanna. Jawaban serupa juga dikatakan oleh tiga narasumber lain. Susanna merupakan ikon horor tahun 1980-an. Meski film-filmnya yang menampilkan kuntilanak –semisal Sundel Bolong (1981) dan Malam Satu Suro (1988)– diproduksi tahun 1980-an, ketika muda-mudi tadi belum lahir, film-film itu sering ditayangkan ulang stasiun-stasiun televisi swasta pada awal 2000-an. Eksistensi kuntilanak, satu dari sekian banyak jenis hantu di Indonesia, telah ada sejak lama. Di dalam serat, kata dosen sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono, sosok kuntilanak digambarkan sebagai penggoda ibu-ibu yang baru melahirkan. Kuntilanak suka mencuri bayi. Maka, dalam budaya Jawa, ibu yang sedang mengandung dibekali gembolan berisi gunting, bangle , bawang putih, dan lain-lain supaya tak diganggu kuntilanak. “Atau dia nembang kidung “Lingsir Wengi”. Kalau surup (menjelang magrib –red.), orang-orang zaman dulu menyanyikan lagu “Lingsir Wengi”. Itu penolak bala sebenarnya, bukan pemanggil setan seperti yang diceritakan dalam film,” ujarnya. Naskah-naskah selalu menggambarkan kuntilanak dengan sosok perempuan cantik, berambut panjang, bisa terbang, tawa cekikikan melengking, dan sering berada di atas pohon. Ia bisa berubah wujud menjadi sosok mengerikan ketika marah. Namun, kata Prapto, kuntilanak sebetulnya tak beda dari sundel bolong. “Kalau dia sudah marah akan menjadi sundel bolong yang lubangnya pindah-pindah. Penggambarannya seram, bukan cantik lagi. Penggambaran di sinema kurang seram, selalu baju putih. Menurut saya, itu visualisasi saja. Sebenarnya hitam, di atas pohon, justru rambutnya yang kelihatan, kalau ketawa ya cekikikan, dan sering terbang,” sambung Prapto. Kuntilanak, kolong wewe, dan genderuwo merupakan anak buah dari makhluk gaib yang menjaga suatu daerah. Suluk Plencung , ditulis pada 1791, menyebutkan beberapa nama penunggu suatu wilayah. Semisal, carub bawor yang menunggu daerah Lamongan atau Ki Samahita di Magelang. Babad Tanah Pekalongan juga menyebutkan para penunggu tempat angker, seperti Kali Sambong yang dijaga siluman welut putih dan Alas Gambiran yang dijaga Dewi Lanjar, suruhan Ratu Kidul. “Kolong wewe, jin, dan lain-lain semua punya fungsi dan tugas masing-masing. Pemimpin tertingginya itu Roro Kidul,” kata Prapto. Gambaran kuntilanak seperti yang diuraikan Prapto agaknya tak seluruhnya masuk ke kepala para sineas. Maka, film-film horor kuntilanak pun menampilkan sosok kuntilanak berupa perempuan cantik bergaun putih seperti yang diperankan Susanna. Film-film horor acapkali menceritakan kuntilanak adalah arwah penasaran dari perempuan yang meninggal ketika sedang mengandung atau perempuan yang mati karena korban kejahatan sehingga mati membawa dendam. Setelah menjadi hantu, si perempuan punya kekuatan untuk membalaskan dendamnya. Namun, di akhir cerita biasanya akan ada tokoh lelaki yang mengalahkan hantu tersebut, biasanya kiai, ustad, atau pria agamis lain. “Dalam film horor, perempuan ketika hidup menjadi korban. Ketika mati, dia punya kekuatan tapi harus dikalahkan. Akhirnya, back to order lagi, perempuan bagaimanapun harus ditundukkan. Di satu sisi, memperlihatkan bagaimana budaya patriarki memandang perempuan. Perempuan itu menakutkan kalau cantik sekaligus pintar, femme fatale ,” ujar Dr. Suma Riella, dosen sastra Prancis Universitas Indonesia yang menulis disertasi “Kaidah, Makna Das Unheimliche , dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia”. Gambaran itu menjadi representasi visual kuntilanak di lebih dari 30 film horor yang diproduksi sejak 1960-an hingga 2017. Karena itulah sineas Rizal Mantovani berusaha mendobraknya. Lewat trilogi film kuntilanaknya yang dirpoduksi antara tahun 2006-2008, dia mencoba menampilkan wujud lain kuntilanak. Sosok kuntilanak dalam film Rizal tak mengenakan gaun putih panjang maupun berwajah cantik. “Dia (Rizal – red .) mencoba menawarkan versi baru kuntilanak tapi kan nggak laku, tidak ditiru. Yang terfiksasi dalam kepala masyarakat itu kuntilanak versi Suzanna, berbaju putih. Itu menurut saya dipengaruhi film-film. Jadi imajinasi kita pun terbentuk,” sambung Riella.

bottom of page