Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mendulang Sejarah Tambang Nusantara
“ Molukken is het verleden, Java is het heden, en Sumatra is de toekomst ” artinya "Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa depan." Ungkapan ini begitu mengemuka sejak abad 19 di kalangan kolonialis di Hindia Belanda. Popularitas rempah memudar sementara Sumatra disebut sebagai masa depan. Mengapa? Kepulauan Sumatra saat itu mulai dikenal sebagai wilayah pertambangan minyak sebagai sumber energi kegiatan industri. “Pada masa lampau, Sumatra ini dulu adalah daerah tambang emas,” ujar Agus Setiawan, sejarawan Universitas Indonesia, dalam “Ekspose Arsip PT Perusahaan Gas Negara (1950) 1961—2008” di Hotel Aston, Jakarta Selatan, 26 September 2017. Menurut Agus, aktivitas pertambangan di Nusantara setidaknya sudah terjejaki di zaman Hindu Budha. Raja Majapahit Hayam Wuruk pernah memerintahkan Adityawarman, raja Kerajaan Melayu yang merupakan vasal Majapahit, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi. Sebabnya, di sana ada pertambangan emas. Di zaman pra-kolonial, emas digunakan sebagai alat tukar dan bahan utama pembuat senjata tradisional (keris), patung-patung, maupun arca-arca. Pada masa perang-perang kolonial, misi militer tentara Belanda juga menyertakan ahli-ahli geografi dan geologi. Kelompok peneliti ini bernama Royal Dutch Geographical Society (Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda). Mereka kemudian mengambil sampel batu-batuan untuk diteliti kandungan mineralnya. Dengan data-data yang terhimpun, pemerintah Belanda membuat satu peta tambang Hindia Belanda. “Jadi sebenarnya, pemerintah kolonial sudah memetakan Hindia Belanda dari Sumatra sampai Papua. Sudah ada koordinat-koordinat yang mengandung bahan tambang dan kekayaan alam kita di situ. Ini dijelaskan dalam arsip-arsip Belanda” ujar Agus yang meneliti sejarah pertambangan minyak di Hindia Belanda dalam disertasinya. Potensi kekayaan tambang di wilayah Hindia Belanda selalu beririsan dengan kepentingan politik. Hal ini dibuktikan dalam Perang Aceh yang berlangsung antara 1873-1904. Setelah Aceh takluk, Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz memerintahkan penanaman pipa minyak dari Perlak ke Pangkalan Brandan. Minyak dari Sumatra berkualitas bagus karena oktannya tinggi sehingga laku keras di pasaran. Akibatnya, Belanda berjaya secara politik dan ekonomi. Tak lama kemudian, Van Heutsz mendapat hadiah kenaikan jabatan sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda. Memasuki abad 20, eksploitasi pertambangan oleh pemerintah Hindia Belanda kian menggeliat. Banyak berdiri perusahaan pertambangan multinasional Belanda di antaranya: Royal Dutch (perusahaan tambang minyak di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara), Billiton Maatschappij (perusahaan tambang timah di Belitung), Mijnbouw Maatschappij van Zuid Bantam (perusahaan tambang emas di Cikotok, Banten), Bataafsche Petroleum Maatschappij (perusahaan tambang minyak di Balikpapan), dan Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (perusahaan tambang minyak di Papua). Meski demikian, pemerintah kolonial agak menutup rapat-rapat kekayaan tambang untuk diakses. Hanya sebagian kecil konsesi yang dibuka bagi perusahaan asing. Namun, menjelang Perang Dunia II, Belanda terpaksa meninggalkan aset pertambangan mereka karena terdesak di front Pasifik. Pada zaman Indonesia merdeka, pemerintah di bawah Presiden Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan warisan Hindia Belanda. Eksploitasinya masih terjaga. “Ini kemudian berkebalikan dengan pemerintahan Orde Baru yang justru membuka konsesi pertambangan sebesar-besarnya lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPA) tahun 1967,” kata Agus Menurut Agus, banyak koordinat tambang yang dimaksimalkan oleh negara saat ini merupakan kelanjutan dari apa yang diusahakan pemerintah Belanda. “Isu-isu tentang tambang di kemudian hari dikhawatirkan jadi polemik terutama setelah adanya otonomi daerah. Oleh karena itu, pengungkapan sejarah pertambangan berdasarkan arsip jadi begitu penting,” ujar Agus.
- Membidik Sejarah Senapan
SEJAK zaman prasejarah, manusia sudah memikirkan mengenai senjata yang mampu mematikan sasaran dari jarak jauh. Setelah panah dinilai ketinggalan zaman, senapan mulai dikembangkan. Penemuan bubuk mesiu dan proyektil mendorong perubahan senapan dari zaman ke zaman. 1500-an Senapan kopak atau biasa disebut arquebus kali pertama digunakan di Spanyol. Pengisian peluru, yang cukup memakan waktu, dilakukan dari moncong senapan. Pemicunya seutas tali sumbu-api yang dikaitkan pada logam berbentuk “S”, yang jika digerakkan akan menyentuh cawan mesiu lalu melontarkan peluru. Arquebus tak cocok dalam cuaca basah. Akurasinya buruk. Jangkauan tembakannya kurang dari 200 meter. Namun, dalam perang Cerignola sekira 1500-an, pasukan Spanyol yang membawa 1.000 penembak arquebus mampu memukul mundur pasukan Prancis. 1600-an Senapan lontak atau biasa disebut musket menggunakan batu-api, bahan yang mengandung besi dan belerang, sebagai pengganti sumbu-api. Ketika pemicu ditekan, akan menggerakkan roda gerigi dibawah cawan mesiu, menimbulkan bunga api yang membakar bubuk mesiu, lalu melontarkan peluru keluar lewat laras. Dibandingkan arquebus, musket lebih akurat, daya jangkau lebih jauh, dan daya tembus pelurunya lebih baik. Hingga pertengahan abad ke-16, pasukan infantri Spanyol menjadi semakin kuat dengan penggunaan musket. Namun, pengguna musket masih dilindungi barisan pembawa tombak yang disebut pikemen ketika mereka sedang mengisi peluru. 1700-an Inggris memproduksi massal senapan yang disebut Brown Bess . Senapan ini menggunakan mekanisme flintlock , yaitu penggunaan batu api untuk memantik percikan di dalam cawan mesiu. Pengisian amunisi masih melalui ujung laras, dibantu semacam besi yang disebut ramrod . Jangkauan tembaknya mencapai 180 meter. Pada periode yang sama, di Jepang berkembang senapan laras panjang yang disebut teppo . Teppo , mendapat pengaruh Portugis, masih menggunakan mekanisme matchlock yaitu gerakan mematuk dari tangkai berbentuk "S" ke cawan berisi mesiu. 1800 - 1880 Senapan pada masa ini telah meninggalkan mekanisme flintclock , digantikan cap lock yang dikembangkan dan dipatenkan Alexander John Forsyht pada 11 April 1807. Dalam perang sipil Amerika, 1861–1865, pasukan dari kelompok Uni membeli 80.000 pucuk senapan karabin rancangan Christian Sharps untuk pasukan kavaleri mereka. Senapan ini menjadi andalan pasukan berkuda karena pengisian amunisi lewat belakang laras ( breech loader ) sehingga lebih mudah. Pelatuknya berbentuk topi. Untuk menyalakan bubuk mseiu, bahan merkuri fulminate yang bersifat ekplosif dipakai menggantikan batu-api. 1881 - 1920 Mekanisme revolver, sebagai pengganti cap lock , dalam pembuatan pistol mempengaruhi perkembangan senapan. Senapan bisa melakukan serentetan tembakan, yang merupakan hasil ujicoba Rudolf Schmidt pada 1889. Schmidt mengadopsi model kokang pada senapan yang dikembangkan Von Dreyse (1838) dan Peter Paul Mauser (1872) serta menambahkan kotak peluru yang bisa memuat 12 peluru sekaligus. Baca juga: Alat Perang Made in Republik 1921-1960 Dalam dua kali Perang Dunia, senapan laras panjang menemukan kesempurnaannya: pengisi peluru otomatis. Pada 1940-an, Uni Soviet mengembangkan Tokarev SVT-40 sementara Amerika mengembangkan M1 Carbine. Buatan Amerika memiliki kotak peluru dengan kapasitas lebih banyak namun bikinan Soviet lebih ringan ditenteng. Yang paling fenomenal adalah AK-47 yang dirancang Mikhail Kalashnikov, komandan pasukan tank Uni Soviet. Penggunaannya menyebar di berbagai negara. AK-47 memiliki kekuatan tembak yang besar, ditambah kaliber peluru yang besar pula, 7,62 milimeter. AK-47 bisa memuntahkan 600 peluru per menit dengan kecepatan serbu 700 m/s. Namun tenaga besar ini berakibat pada akurasi yang buruk karena hentakan ke belakang ketika menembak juga besar (Baca: Benarkah Kalashnikov di Balik Lahirnya AK-47? ). 1960-2000 Israel memproduksi senapan serbu Galil tahun 1974 dengan mengadopsi prinsip AK-47 dan hampir mirip model Finnish Valmet M 62 bikinan Finlandia. Amerika memiliki M16, yang dirancang Eugene Stoner dan kali pertama diuji di palagan Vietnam tahun 1975 (Baca: Soeharto Ingin Bangun Pabrik Senjata M16 ). Yang terbaru, Inggris memproduksi SA80 tahun 1985. SA80 menggunakan peluru kaliber NATO 5.56x45mm, dengan kapasitas magasin 30 peluru, dan berat senapan kurang dari 5 kilogram. SA80 juga dilengkapi teleskop SUSAT (Sight Unit Small Arms Trilux), yang membuat senjata lebih akurat. SA80 menjadi pegangan utama pasukan Inggris di medan Irlandia Utara, Perang Teluk, Kosovo, dan Iraq. Sumber: Gun and Its Development karya W.W Greener
- Senjata dalam Prahara 1965
SETELAH menginstruksikan nonton bareng film Pengkhianatan G30S/PKI, Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo membuat pernyataan yang mengejutkan dalam acara silaturahmi dengan para purnawirawan TNI dan perwira aktif di Markas Besar TNI pada Jumat, 22 September 2017. Dia menyebut berdasarkan informasi intelijen A1, ada institusi di luar militer yang memesan 5.000 senjata. Akun Pusat Penerangan TNI @Puspen_TNI mencuit pernyataan Panglima TNI itu yang di- mention oleh akun TNI AU @_TNIAU : “5 ribu pucuk itu banyak lho, gimana cara ‘ngumpetinnya’? Dan apakah penyataan Panglima ini memang benar? Krn dari @Puspen_TNI blm ada ket.” Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsma TNI Jemi Trisonjaya kemudian mengeluarkan press release (24/9/2017) meminta maaf atas mention admin twitter TNI AU dan menyatakan bahwa “Admin TNI AU tidak menyanggah kebenaran isi pernyataan dari Panglima TNI selama itu memang benar pernyataannya dan mendapat izin dari beliau atau puspen TNI, karena organisasi TNI jalur komandonya adalah tegak lurus, sehingga masyarakat jangan menginterpretasikan ke arah lain dari pernyataan airmin di Twitter.” Wajar saja bila admin TNI AU mempertanyakan ribuan senjata itu mengingat TNI AU pernah dituduh melakukan black flight ke Tiongkok untuk mengambil 25.000 pucuk senjata cung dengan pesawat Hercules. Pada 2 Oktober 1965, Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto memperlihatkan senjata cung kepada Presiden Sukarno di Istana Bogor. “Banyak laskar Pemuda Rakyat (organisasi pemuda PKI, red ) mengadakan kegiatan dan latihan di sekitar Pangkalan Udara Halim dan mereka juga memiliki senjata api yang kelihatannya seperti yang dimiliki Angkatan Udara,” kata Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Men/Pangau Laksdya Udara Omar Dani membantahnya. “Saya kira, tidak betul. Bapak Presiden. Tidak betul itu senjata milik Angkatan Udara.” Komodor Udara Leo Wattimena angkat bicara, “tidak mungkin, karena semua senjata Angkatan Udara harus didaftar dan diberi nomor inventaris dan disimpan dalam gudang.” Menurut Soeharto setelah memeriksanya, Leo mengakui senjata itu milik Angkatan Udara. “Mungkin mereka mencurinya dari gudang. Kami akan meneliti lagi, Bapak Presiden,” kata Leo. Sementara itu, Kolonel Udara Wisnu Djajengminardo, mantan komandan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, mengatakan bahwa “senjata cung bukan hanya milik AURI, Angkatan Darat juga punya. Yang jelas, itu bukan dari gudang di Halim. Saya tidak menyimpan cung,” kata Wisnu dalam wawancara dengan Tempo , 14-20 Juni 1999. Senjata cung itu dijadikan bukti keterlibatan AURI dalam peristiwa G30S. Hal itu tercantum dalam dakwaan Omar Dani bahwa AURI mengadakan black flight ke Tiongkok untuk mengambil 25.000 pucuk senjata cung. Kepada interogator, Omar Dani menjelaskan bahwa penerbangan dari Indonesia ke Tiongkok harus melapor terlebih dahulu kepada Singapore Control dan kemudian ke Hongkong Control, sehingga tidak mungkin terjadinya black flight . “Ah, itu kan peraturannya, AURI kan sering mengadakan black flight ,” kata sang interogator. “AURI hanya mengadakan black flight untuk menjebak foreign intruders , penyelundup/penyusup asing, seperti waktu operasi melawan PRRI dan Permesta, yang mempergunakan pesawat dan penerbang asing,” kata Omar Dani. PRRI dan Permesta didukung oleh CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat). Para interogator masih ngotot bahwa AURI tentu membawa senjata secara gelap dari Tiongkok. Omar Dani pun menjelaskan, “andaikata AURI mau mengangkut 25 ribu senjata, yang seberat kira-kira 3 kg per pucuk senjata, maka yang diangkut adalah minimal 75 ribu kg, itu belum bungkusnya, belum amunisinya, yang menjadikan kesemua yang harus diangkut hampir 150 ribu kg. Ini berarti paling sedikit harus ada minimal 15 sortie (terbang pulang-pergi sebuah pesawat, red ).” Omar Dani kembali dari Tiongkok pada 20 September 1965, jadi masih ada sembilan hari sampai 1 Oktober 1965. “Apakah ada 15 sortie dalam jarak waktu itu? Yang ada adalah flight C-130 ke Tiongkok untuk Seskau (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Udara),” kata Omar Dani. Dengan penjelasan itu, para interogator tidak bisa apa-apa lagi, tapi tetap bertanya: “Kalau dengan Garuda bagaimana?” “Tanya sendiri kepada Garuda,” jawab Omar Dani. Menurut Omar Dani, pada pokoknya para interogator dalam hal teknis kurang, bahkan tidak menguasai bahannya. Karena mereka diberi tugas untuk mencari dan membuktikan kesalahan para terdakwa dengan cara apapun, maka mereka mencari-cari pada hal-hal yang nonteknis, atau ngotot, bahwa yang mereka katakan itu harus benar, dan yang dikatakan tersangka pasti bohong, pasti salah. Lantas, bagaimana sebenarnya soal senjata cung itu? Pada akhir 1964, Waperdam I merangkap Menteri Luar Negeri Dr. Soebandrio berkunjung ke Tiongkok. Dia didampingi Menteri Penerangan Achmadi, Deputi Operasi Men/Pangad Mayjen TNI Moersjid, Men/Pangal Laksdya Laut RE Martadinata, Deputi Operasi Men/Pangau Laksda Udara Sri Muljono Herlambang, dan Men/Pangak Irjen Pol. Soetjipto Joedodihardjo. Perdana Menteri Chou En Lai menawarkan 100.000 pucuk senjata ringan kepada Indonesia. “Setelah tiba di tanah air, tawaran bantuan senjata dari Tiongkok tersebut dilaporkan kepada Presiden/Pangti ABRI di hadapan forum rapat KOTI (Komando Operasi Tertinggi, red ). Semua yang hadir setuju menerima tawaran itu, termasuk Men/Hankam KSAB Jenderal TNI AH Nasution. Sebanyak 100.000 pucuk itu untuk keempat angkatan,” kata Omar Dani. Omar Dani kemudian berangkat ke Tiongkok sepengetahuan Presiden Sukarno. Tujuannya selain mengurus senjata itu, juga untuk mengurus pesawat MIG-19 untuk Pakistan. Dalam perang India-Pakistan, Indonesia dan Tiongkok membantu Pakistan dengan pesawat MIG-19. Dia juga menjajagi kemungkinan mencari substitusi bagi keperluan AURI karena pada waktu itu pengiriman material dari Uni Soviet kurang lancar. “Bapak (Sukarno, red. ) telah menyetujui saya mengurus senjata tersebut adalah untuk keperluan Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia, red. ), yang berarti bahwa senjata tersebut dipakai oleh AURI,” kata Omar Dani. Akhirnya, karena pernyataan Panglima TNI menimbulkan kegaduhan, pada Minggu, 24 September 2017, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyampaikan bahwa institusi yang memesan senjata adalah Badan Intelijen Negara sebanyak 500 pucuk bukan 5.000 pucuk dari PT Pindad untuk keperluan sekolah intelijen. Setelah ada klarifikasi dari Menkopolhukam itu, akun twitter TNI AU pun berkicau: “Wilayah udara RI pagi ini aman! Tidak ada black flight !”
- Sarwo Edhie Wibowo Kecewa Kepada Soeharto
PADA 1967, baru sekitar enam bulan menjabat Pangdam II/Bukit Barisan di Medan, Sumatra Utara, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo mendapatkan penugasan baru yang cukup memukulnya. Dia menerima kabar akan dijadikan duta besar di Moskow, Rusia. Berita ini membuat seisi rumah gempar.
- Perkembangan Islam di Sulawesi Selatan
Hari ini dalam sejarah Islam di Nusantara, 22 September 1605 (Jumat, 9 Jumadil awal 1014 H), Raja Tallo sekaligus mangkubumi Kerajaan Gowa, I Malingkang Daeng Manyonri’, memeluk Islam. Dia mendapat nama Islam, yaitu Sultan Abdullah Awwalul Islam. Pada saat yang sama, Raja Gowa ke-14, I Manga’rangi Daeng Manrabia, juga memeluk Islam. Dia menerima nama Islam, yaitu Sultan Alauddin. Raja Gowa dan Raja Tallo memutuskan memilih Islam dan mengundang guru agama dari Koto Tengah, Minangkabau yang berada di Aceh, untuk mengajarkan Islam di Sulawesi Selatan. Datanglah tiga mubalig yang dikenal sebagai Dato’ Tallu di Makassar atau Datu’ Tellu di Bugis, yaitu Dato’ri Bandang (Abdullah Makmur alias Khatib Tunggal), Dato’ri Pattimang (Sulaiman alias Khatib Sulung), dan Dato’ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu). Ketiganya berperan penting dalam Islamisasi di Sulawesi Selatan. Menurut Prof. Dr. Ahmad M. Sewang dalam Islamisasi Kerajaan Gowa: Abad XVI sampai Abad XVII, Sultan Alauddin kemudian mengeluarkan dekrit pada 9 November 1607 di hadapan jemaah salat Jumat bahwa Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan pusat Islamisasi di Sulawesi Selatan. Islam menjadi agama kerajaan dan agama masyarakyat. Untuk merealisasikan dekrit itu, Sultan Alauddin mengirim utusan ke kerajaan-kerajaan tetangga dengan membawa hadiah untuk para raja. Kerajaan-kerajaan yang menyambut baik antara lain Sawitto, Balanipa di Mandar, Bantaeng, dan Selayar. Selain dengan jalan damai, menurut Ahmad, penyebaran Islam juga dilakukan dengan peperangan. Tiga kerajaan Bugis: Bone, Wajo, dan Soppeng yang tergabung dalam aliansi Tellunpoccoe (tiga kerajaan besar), persekutuan untuk menghadapi Kerajaan Makassar, menolak seruan agar memeluk Islam. Maka, pecahlah perang antara Kerajaan Makassar yang terdiri dari Kerajaan Gowa dan Tallo melawan Kerajaan Bugis yang terdiri dari Kerajaan Bone, Soppeng, dan Wajo. Menurut lontara Bugis perang itu disebut mussu selleng (perang pengislaman) yang oleh antropolog Prancis, Christian Pelras, penulis Manusia Bugis, diterjemahkan sebagai Islamic war . “Meskipun terjadi perang dengan raja-raja Bugis yang menolak ajakan pengislaman akibat kesalahpahaman, Gowa senantiasa tetap menyebarkan Islam menurut prinsip dawah Islamiyah. Bagi masyarakat Bugis perang itu dianggap sebagai musu selleng (perang pengislaman) yang menyimpan banyak korban dan dendam,” tulis Prof. Dr. Abu Hamid dalam biografi ulama Sulawesi Selatan, Syekh Yusuf Seorang Ulama Seorang Pejuang. Ahmad menyatakan bahwa terlepas dari motivasi yang mendorong Sultan Alauddin mengumumkan perang terhadap kerajaan-kerajaan Bugis, perang itu menguntungkan proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebab diiringi dengan pengislaman terhadap raja-raja yang ditaklukkan. Gowa menaklukkan Kerajaan Soppeng pada 1609, Kerajaan Wajo pada 1610, dan Kerajaan Bone 1611. Dengan Raja Bone masuk Islam, sebagian besar wilayah Sulawesi Selatan telah memeluk Islam, kecuali Tana Toraja. “Dengan demikian proses Islamisasi antara 1605 sampai 1611 merupakan periode penerimaan Islam secara besar-besaran. Setelah itu, dimulailah proses sosialisasi Islam ke dalam struktur kerajaan dan kehidupan masyarakat. Kelihatannya, proses itu berjalan dengan tidak banyak menimbulkan pertentangan. Hal ini terjadi karena sejak semula, penyebaran Islam dilakukan atas prakarsa raja, serta atas kemampuan adaptasi yang diperlihatkan oleh para penyiar Islam,” tulis Ahmad.
- Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda
SEMBILAN bulan setelah pemerintah Belanda memutuskan mendukungnya, pada 14 September silam, di Amsterdam, diadakan aftrap atau pengenalan publik terhadap penelitan besar proses dekolonisasi Indonesia. Kamis malam itu, para peneliti dari tiga lembaga yang menggondol tugas penelitian, masing-masing KITLV (Institut Kerajaan untuk Bahasa, Sejarah dan Kebudayaan), NIOD (Institut Belanda untuk Dokumentasi Perang, Holocaust dan Genosida) dan NIMH (Institut Belanda untuk Sejarah Militer) membeberkan rancangan kerja mereka. Penelitian ini akan dibagi dalam sembilan proyek besar, tiga di antaranya melibatkan Indonesia. Menurut Frank van Vree, direktur NIOD, peneliti Indonesia akan dilibatkan dalam meneliti periode Bersiap, kajian regional di pelbagai wilayah Indonesia dan penelitian khusus terhadap kesaksian mereka yang mengalami sendiri pelbagai kekerasan selama, bagi kita, perang kemerdekaan itu. Walaupun dalam bahasa Indonesia, bisa dipastikan tidak banyak di antara kita tahu apa yang disebut periode Bersiap. Di Belanda periode Bersiap dikenal sebagai masa penuh kekerasan (1945-1946) yang dialami oleh orang-orang Belanda, kalangan Indo berdarah campuran, kalangan Tionghoa serta warga minoritas lain yang dianggap bersekutu dengan Belanda. Pelaku kekerasan, masih menurut anggapan khalayak Belanda, adalah orang-orang Indonesia. Kamis malam pekan lalu, sejarawan Remy Limpach yang disertasi doktornya menyebabkan keputusan pemerintah ini, menegaskan bahwa periode Bersiap itu lebih rumit lagi. Dia menyebutnya sebagai perang saudara, karena selama perang kemerdekaan kekerasan juga terjadi di kalangan Indonesia sendiri, antara mereka yang anti dengan pro-Belanda. Belum lagi kekerasan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Jepang dan Inggris —waktu itu Inggris masuk Indonesia sebagai pasukan sekutu. Sebenarnya istilah “ het Indonesisch geweld ” atau kekerasan yang dilakukan orang Indonesia sudah terlebih dahulu diungkap oleh Perdana Menteri Mark Rutte, ketika mengumumkan keputusan pemerintah untuk mendukung usul penelitian ini pada jumpa pers Jumat, 2 Desember 2016 yang lampau. Menurutnya, penelitian ini tidak hanya mengarah pada ulah kalangan militer, tetapi juga peran kalangan politik, pemerintahan dan kehakiman. Dia berlanjut, “Juga kekerasan Indonesia dalam apa yang disebut periode Bersiap, termasuk keputusan di Den Haag dan kejadian setelah 1949.” Pada saat itu Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia. Harian NRC Handelsblad edisi Sabtu, 3 Desember 2016 mengungkap bahwa penelitian terhadap kekerasan pihak Indonesia merupakan syarat salah satu mitra koalisi pemerintah sebelum menyetujuinja. Partai buruh PvdA yang beraliran kiri bisa saja begitu getol menghendaki penelitian terhadap apa yang mereka sebut sejarah kelam Belanda ini, tetapi tanpa dukungan mitra koalisi partai konservatif VVD, penelitian ini tidak akan jalan. Dikenal sebagai partai yang selalu membela kepentingan veteran yang terdesak karena pengungkapan kekerasan militer Belanda, sudah pasti VVD bersikukuh supaya periode Bersiap juga diteliti. Bisa dikatakan partai politik VVD adalah benteng perlindungan terakhir kalangan veteran Belanda yang sekarang sudah sangat berkurang ditelan zaman atau tak bisa apa-apa lagi dimakan usia. Sebelum itu, mereka begitu aktif, berdemonstrasi turun ke jalan pun mereka lakukan. Lobi mereka juga kuat sekali, baik melalui organisasi maupun perorangan atau tokoh berpengaruh. Organisasi veteran (beserta beberapa tokoh mereka) misalnya berhasil menekan sejarawan Loe de Jong, direktur RIOD (pendahulu NIOD) supaya tidak menggunakan kata “ oorlogsmisdrijf ” (kejahatan perang) dalam bagian akhir (jilid 12) buku Belanda semasa Perang Dunia II. Tokoh terpenting yang tak henti-hentinya memperjuangkan para veteran adalah pangeran Bernhard, kakek raja Willem-Alexander dan ayah putri Beatrix (sebelum mundur sebagai ratu Belanda). Disebut-sebut pangeran Bernhard mendesak putrinya, ratu Beatrix, supaya tidak mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1995. Kalau berlangsung tepat pada peringatan 50 tahun proklamasi kemerdekaan, maka kunjungan itu bisa diartiken sebagai pengakuan Belanda pada proklamasi kemerdekaan kita. Itu artinya sia-sialah tugas para veteran yang dikirim ke Indonesia selama perang kemerdekaan 1945-1949. Dan memang kunjungan kenegaraan itu akhirnya berlangsung pada tanggal 21 Agustus 1995. Pangeran Bernhard tutup usia pada 2004, begitu pula banyak veteran Belanda yang meninggal atau berumur lanjut. Tinggallah VVD, sebagai satu-satunya pihak yang terus membela kepentingan para veteran. Maka jelaslah urut-urutan keterkaitannya. Partai konservatif VVD menghendaki supaya periode Bersiap diteliti dan itulah yang ditegeskan oleh perdana menteri Rutte ketika mengumumkan keputusan kabinetnya untuk memesan penelitian ini. Bahkan Rutte yang pemimpin VVD ini masih membubuhkan istilah “ Indonesisch geweld ” alias kekerasan Indonesia itu. Dan ketika mengungkap rancangan kerja mereka, ketiga institut yaitu KITLV, NIOD dan NIMH, dengan teges juga mencantumkan Bersiap sebagai salah satu di antara tiga proyek penelitian yang akan dilakukan di Indonesia. Maklum itulah kehendak pemesan, itulah pesen sponsornya. Sebetulnya bisa saja ketiga lembaga penelitian itu mengusulkan supaya periode Bersiap juga diteliti. Usul itu mereka ajukan —tidak bisa tidak— karena tahu persis bahwa partai VVD yang mendukung kalangan veteran ingin supaya kekerasan ini juga diteliti, sehingga akan terlihat bahwa pihak Indonesia juga bertanggung jawab terhadap pertumpahan darah. Dengan begitu beban kesalahan dan malu bukan hanya ditanggung oleh veteran Belanda melainkan pula oleh pihak Indonesia. Kabinet Belanda terdahulu sudah menolak usul mengadakan penelitian ini, bisa jadi karena waktu itu periode Bersiap tidak tertera di dalam usulan. Supaya bisa diterima maka periode Bersiap harus pula menjadi satu tema khusus penelitian di Indonesia dan melibatkan peneliti kita. Ketika mengumumkan menerima usul itu, perdana menteri Mark Rutte juga menyebutnya secara explisit. Jadi istilah “ Indonesisch geweld ” alias kekerasan pihak Indonesia itu dilontarkan oleh perdana menteri Rutte untuk menghindari keberatan organisasi veteran Belanda, bahwa hanya mereka yang terus-terusan jadi sasaran kritik pelaku kekerasan. Kira-kira begitulah tawar menawar politik yang terjadi, apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai koehandel alias dagang sapi. Ketiga lembaga yang akan melakukan penelitian sekarang menerima gelontoran dana sebesar 4,1 juta euro dan mereka akan bekerja selama empat tahun. Jelas ini dana Belanda. Kemauan, seperti telah diuraikan di atas, juga merupakan kemauan Belanda dan itu adalah hasil kompromi dalam kabinet koalisi. Setelah kemauan politik dan dana Belanda ini, kita sekarang pantas bertanya: kalau begitu apa peran Indonesia? Belanda memang ingin melakukan penelitian di Indonesia bahkan melibatkan para peneliti kita. Ireen Hoogeboom, koordinator penelitian di Indonesia menyebut nama dua sejarawan Indonesia yang akan terlibat dalam penelitian besar ini: Prof. Dr. Bambang Purwanto dan Dr. Abdul Wahid. Keduanya sejarawan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kamis malam itu, Hoogenboom juga membantah kabar burung di media sosial bahwa keterlibatan peneliti Indonesia ini bersifat kolonial. “Masalah ini tidak kami dapati dalam berhubungan dengan peneliti Indonesia,” katanya. Patut dipertanyakan seberapa jauh peneliti Indonesia mengetahui koehandel yang merupakan latar belakang politik sampai keputusan penelitian ini keluar. Bagaimanapun juga yang melakukan penelitian adalah lembaga-lembaga Belanda, demi kepentingan masyarakat Belanda dan merupakan pesanan pemerintah Belanda. Dananya juga sepenuhnya berasal dari Belanda. Apa sebenarnya kepentingan Indonesia dalam hal ini? Lima tahun silam, pada 2012, pertanyaan ini pertama kali dilontarkan oleh Lizzy van Leeuwen, peneliti dan pakar antropologi Belanda yang dari awal sudah kritis terhadap rencana penelitian ini. Pertanyaan berikutnya sudahkah para peneliti Indonesia memperhitungkan kenyataan perang bahwa sebenarnya pihak-pihak yang terlibat juga saling melakukan kekejian, sehingga penelitian mengenai kekerasan perang ini sebenarnya mubazir belaka? Pada Kamis malem itu jawabannya tidaklah jelas, terutama karena dua sejarawan Indonesia yang disebut namanya tidak hadir untuk memberi penjelasan. Sebelum masalah kepentingan ini jelas, keterlibatan peneliti Indonesia sangat patut dipertanyakan. Sampai akhir tahun lalu, ketika keputusan melakukan penelitian ini turun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa kekerasan yang terjadi di Indonesia adalah dampak sampingan dari agresi militernya. Itu tertuang dalam nota ekses ( Excessennota ) karya mendiang sejarawan Cees Fasseur yang terbit pada 1969. Dari penjelasan Perdana Menteri Mark Rutte awal desember 2016 itu, paling sedikit bisa didengar dua sebab yang mendorong pemerintah Belanda berubah pendirian dan mendukung usul mengadakan penelitian besar itu. Pertama , penelitian sejarawan Remy Limpach yang berhasil mengungkap bahwa kekerasan selama perang kemerdekaan Indonesia itu bersifat struktural, menyebar dan tertancap dalam stuktur militer Belanda di Indonesia waktu itu. Jelas bukan sekadar dampak sampingan seperti yang sampai sekarang tetap dianut pemerintah Belanda. Dalam bukunya yang berjudul De brandende kampong van generaal Spoor (Kampung-kampung Jenderal Spoor yang terbakar) Limpach lebih lanjut menelanjangi koalisi para pelaku kekerasan di dalam struktur militer dan sipil yang dalam semua jajaran bertanggung jawab melakukannya. Tiga wakil tertinggi kekuasaan di Hindia Belanda bersama-sama bertanggung jawab terhadap kekerasan ekstrim itu. Mereka adalah panglima tentara jenderal Simon Spoor, pejabat sipil tertinggi Huib van Mook dan pejabat tinggi kehakiman Henk Gelderhof. Remy Limpach menyebut ketiganya telah melakukan “judi militer, dengan taruhan nyawa puluhan ribu orang Indonesia dan Belanda”. Sebab kedua adalah pelbagai gugatan pengadilan yang pertama kali dulu, September 2011, dimenangkan oleh para janda Rawagede. Menyusul mereka, sekarang ahli waris korban Sulawesi Selatan juga menggugat negara Belanda di pengadilan, kembali mereka juga menang. Ada dua tokoh yang berdiri di balik kemenangan mereka, pengacara Liesbeth Zegveld dan aktivis Jeffry Pondaag, pengurus Komite Utang Kehormatan Belanda. Seperti dua peneliti Indonesia di atas, Zegveld maupun Pondaag tidak hadir pada acara peluncuran program penelitian Kamis malam 14 September itu. Padahal kemenangan mereka di pengadilan telah menyebabkan pemerintah memutuskan penelitian ini. Ketidakhadiran mereka jadi alasan kritik hadirin terhadap penyelenggara. Pertemuan 14 September lalu memang berlangsung penuh kontroversi. Ada aktivis yang mendesak supaya bukan hanya agresi militer terhadap Indonesia yang diteliti, tapi juga pelbagai perang kolonial Belanda lain di Nusantara, seperti perang Aceh. Ada pula wakil para veteran yang dari dulu selalu menolak istilah oorlogsmisdaden atau kejahatan perang, karena kebanyakan pembicara mendukung penelitian ini. Hanya Marjolein van Pagee, fotograf Belanda pengelola situs web Histori Bersama, yang mencoba bersikap kritis dengan berpendapat bahwa penelitian ini sama sekali bukan penelitian netral. Marjolein juga mempertanyakan kemandirian para peneliti tatkala lembaga induk mereka merupakan lembaga pemerintah. Kemudian masih ada pula kolumnis John Jansen van Galen yang tampil jenaka dengan pertanyaan menggelitik: mengapa ketiga institut itu sampai perlu minta anggaran khusus? Bukankah dengan anggaran reguler yang juga berasal dari pemerintah seharusnya sudah bisa mengadakan penelitian ini? Soal anggaran ini sebelumnya juga sudah disampaikan oleh Lizzy van Leeuwen, maka kembali terlibat betapa penyelanggara aftrap gagal dalam mendatangkan kalangan yang kritis terhadap proyek penelitian besar ini. Kesan yang muncul dari acara tersebut menjadi jelas bahwa penelitian menyeluruh tehadap proses dekolonisasi Hindia Belanda semata-mata merupakan masalah Belanda. Bagi kita di Indonesia yang penting adalah menjawab dahulu apa kepentingan kita melibatkan diri dalam penelitian ini. Tanpa jawaban tegas maka keterlibatan peneliti Indonesia (yang akan dibayar oleh pemerintah Belanda) akan kehilangan makna. Bisa-bisa peneliti Indonesia itu hanya melayani kehendak partai konservatif VVD yang memang menuntut adanya penelitian terhadap kekerasan pihak Indonesia.
- Mimpi Indonesia di Piala Dunia Terganjal Israel
GEGAP gempita Piala Dunia 2018 di Rusia kian terasa. Sekira setahun lagi, pesta sepakbola terbesar itu akan kembali menggelorakan para penggila bola di berbagai pelosok bumi, termasuk Indonesia. Pun begitu, Indonesia lagi-lagi hanya akan menjadi penonton. Entah kenapa sepakbola Indonesia bak jalan di tempat. Suriah saja yang negaranya tengah luluh-lantak gara-gara perang, punya asa untuk mentas di Piala Dunia 2018. Menjadi salah satu tim urutan tiga terbaik di Kualifikasi Piala Dunia, Suriah punya kans jika mampu melewati Australia dan tim urutan 4 Zona Concacaf (Amerika Utara, Tengah dan Karibia). Sementara Indonesia harus gigit jari karena “pagi-pagi” sudah gugur di kualifikasi Zona Asia (Asia). Tidak sedikit yang merasa timnas Indonesia takkan tampil di Piala Dunia sampai kiamat. Selebihnya, masih membanggakan dan “mengakui” bahwa yang tampil di Piala Dunia 1938 di Prancis adalah timnas Indonesia. Sebetulnya Indonesia bisa tampil di Piala Dunia 1958 di Swedia andaikata tidak ada gengsi politik. Di era 1950-an sampai awal 1960-an, timnas Indonesia termasuk Macan Asia ketimbang negara-negara Asia lainnya macam Jepang atau Korea Selatan yang belakangan selalu jadi langganan mewakili Asia di Piala Dunia. “Waktu itu Korea berantakan akibat perang saudara. Jepang masih tertatih-tatih setelah dibom atom oleh AS. China masih disibuki oleh Revolusi Kebudayaannya,” tulis Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya . Pada Kualifikasi Piala Dunia 1958 Zona Asia, Indonesia sejatinya nyaris meraih selembar tiket ke Swedia. Maulwi Saelan Cs. lolos ke putaran kedua kualifikasi setelah memeras keringat menyingkirkan China di putaran pertama Grup 1. Di putaran kedua, Indonesia masih harus meladeni Mesir, Sudan dan Israel. Akan tetapi, tak satu pun tim yang bersedia meladeni Negeri Zionis itu. Indonesia mengikuti langkah Sudan dan Mesir yang secara politis musuh Israel pasca Perang Arab-Israel 1946 dan 1956. “Indonesia yang secara politik sedang getol-getolnya mengumandangkan perlawanan terhadap neokolonialisme, menganggap Israel sebagai penjajah rakyat Palestina dan karena itu, menolak bertanding di Israel,” tulis Owen A. McBall dalam Football Villains . PSSI sempat meminta FIFA untuk menghelat laga Indonesia vs Israel di tempat netral, bukan di Israel. Namun, permintaan itu ditolak mentah-mentah. PSSI pun memilih mundur dari putaran kedua kualifikasi. “Itu (menghadapi tim Israel) sama saja mengakui Israel. Ya, kita nurut (Bung Karno yang anti-Israel). Enggak jadi berangkat,” kata Maulwi Saelan, mantan kiper timnas kepada Historia pada 2014 silam. Padahal, jika saat itu pemerintah tak mencampuradukkan sepabola dan politik, bisa saja Indonesia tampil di Piala Dunia. Menilik peta kekuatan di putaran kedua itu, Indonesia jelas unggul segala-galanya di atas kertas. Sementara Israel, bukan berarti otomatis bisa berangkat ke Swedia. FIFA melarang sebuah tim lolos tanpa sekalipun bertanding. Setelah dicarikan tim, dipilihlah Wales yang tak lolos Zona Eropa tetapi punya nilai tertinggi di antara yang lainnya. Dalam laga home and away , Israel keok dengan skor agregat 4-0.
- Nobar Film Pengkhianatan G30S/PKI untuk Generasi Muda yang Mana?
SETELAH sempat dihentikan penayangannya semenjak September 1998, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer kembali diputar di berbagai tangsi militer dan sekolah-sekolah di Indonesia. Gagasan tersebut memicu kontroversi, bukan hanya karena persoalan akurasi sejarahnya, melainkan pula karena komentar eksentrik panglima atas pro-kontra pemutaran film itu: “Emang gue pikirin?!”
- Komentar Pers Arab tentang Pengangkatan Soeharto
PADA 9 Februari 1967, sidang paripurna DPR-GR mengeluarkan dua resolusi yaitu memberhentikan Presiden Sukarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS yang menurut pendirian DPR-GR terbukti dengan nyata kesalahannya (sesudah pendirian ini dibenarkan oleh MPRS), dan memilih/mengangkat pejabat presiden sesuai Pasal 3 Ketetapan No.XV/MPRS/1966; serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengusutan, pemeriksaan dan penuntutan secara hukum.
- Tujuh Pemeran Film Pengkhianatan G30S/PKI
DALAM poster promosinya, film Pengkhianatan G30S/PKI hadir dengan slogan memikat: “Film yang tak mungkin terulang lagi.” Kontan saja, pancingan demikian membuat siapa saja tertarik untuk menyaksikan. Semula, film bergenre dokumenter-drama ini berjudul Sejarah Orde Baru namun diganti untuk kepentingan politik. Plot cerita mengambil latar peristiwa sejarah tentang Gerakan 30 September 1965 yang tragis: terbunuhnya enam jenderal pimpinan TNI AD. Akhir kisah menyimpulkan bahwa peristiwa kelam itu didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Film berdurasi empat jam ini sukses besar di jagad sinema Indonesia. Pemutaran perdananya menembus angka 699.282 penonton. Menurut data Perfin (Persatuan Film Indonesia), rekor jumlah penonton tersebut tidak terpecahkan hingga 1995. Produksinya pun tak tanggung-tanggung memakan biaya 800 juta sebagai film termahal saat itu. Dalam Festival Film Indonesia (FFI) tahun 1984, film besutan sutradara Arifin C. Noer memenangkan Piala Citra untuk kategori skenario terbaik. Setahun kemudian, Pengkhianatan G30S/PKI dinobatkan sebagai film unggulan terlaris periode 1984-1985. Sejak itu, pemerintah menjadikan penayangan film ini sebagai agenda rutin melalui stasiun TVRI . Ia pun menjadi metode paling ampuh dalam mengangkat propaganda dan narasi sejarah Orde Baru. Sebanyak 10.000 pemain dan figuran terlibat di dalamnya. Berikut riwayat tujuh pemeran film Pengkhianatan G30S/PKI . Sukarno “Biasa. Itu biasa dalam revolusi,” demikian tutur Presiden Sukarno dalam film ini menyikapi peristiwa Gerakan 30 September. Presiden Sukarno bukan tokoh sentral dalam film ini. Namun Umar Kayam dengan piawai memperlihatkan bagaimana Sukarno berada diujung tanduk kekuasaannya Dalam film, Proklamator itu digambarkan sebagai pemimpin yang gontai akibat riuhnya situasi politik. Wibawanya memudar sebagaimana rambutnya yang mulai tipis. Umar Kayam lebih dikenal sebagai budayawan, akademisi, dan kolumnis. Kepada Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historia Indonesia Jilid 5, dia bercerita bahwa para pembantu rumah tangga di Istana Bogor tempat pengambilan gambar terkejut melihatnya setelah dirias mirip dengan Sukarno. Guru besar Fakultas Sastra UGM ini wafat di Jakarta pada 2002 dalam usia 69 tahun. Soeharto Sosok Mayjen TNI Soeharto mulai hadir pasca terbunuhnya para jenderal teras AD. Dalam film, dia digambarkan sebagai tokoh protagonis yang kalem namun sigap bertindak. Penampilan heroiknya terlihat saat berinsiatif mengambil alih pimpinan AD tatkala mendengar kup Dewan Revolusi yang disiarkan RRI . Dia pun berani berbantah terhadap Presiden Sukarno yang lebih memilih Jenderal Pranoto sebagai pimpinan AD. Soeharto bak pahlawan saat memimpin penggalian lahan penguburan enam jenderal di kawasan Lubang Buaya dan menjadi juru bicara kepada publik. Soeharto dalam film ini diperankan oleh Amoroso Katamsi. Aktor kelahiran 1940 ini sebelumnya berprofesi sebagai dokter jiwa di Angkatan Laut dengan pangkat letnan kolonel. Di salah satu edisi majalah Panji Masyarakat tahun 1998, Amoroso menganggap ada yang kurang seimbang pada sosok Soeharto. “Dilebih-lebihkan sih tidak, cuma porsinya lebih banyak dibanding yang lain,” katanya. Amoroso masuk nominasi pemeran utama pria terbaik dalam FFI 1984. Keberhasilannya memerankan Soeharto membuatnya akrab dengan keluarga Cendana. DN Aidit “Jakarta adalah kunci,” ujar Ketua PKI, DN Aidit dalam sebuah rapat biro politik menjelang operasi Gerakan 30 September. Dialah tokoh antagonis dalam film Pengkhianatan G30S/PKI . Satu ciri khas Aidit dalam film ini adalah kebiasaannya mengisap rokok hampir di setiap adegan. Padahal dalam kehidupan nyata, Aidit melalui resolusi partai menghimbau kader-kader PKI untuk tidak merokok dan mengalokasinnya untuk biaya kongres partai. Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok. Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. “Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda . Dalam film, karakter Aidit yang licik, bengis, dan konspirator ulung dilakonkan oleh Syu’bah Asa. Pada era 1970-an, Syu’bah adalah anggota Dewan Kesenian Jakarta. Namun dia lebih dikenal sebagai sastrawan dan jurnalis senior Tempo, kemudian pemimpin redaksi Editor, lalu pindah ke Panji Masyarakat . Dia wafat di Pekalongan pada 24 Juli 2011. Untung Sjamsuri Letnan Kolonel Untung Sjamsuri adalah komandan batalion Tjakrabirawa. Dia yang menjadi pimpinan militer Gerakan 30 September. Dalam film, Untung digambarkan selalu berada di bawah pengaruh Aidit sebagai perwira progresif revolusioner. Untung sosok yang bimbang, terutama setelah Soeharto berhasil mengonsolidasikan TNI AD untuk menumpas Gerakan 30 September 1965. Untung diperankan oleh Bram Adrianto. Dilansir situs filmindonesia.or.id , aktor kelahiran 1942 ini memulai karier seninya sebagai anggota teater Wijaya Kesuma pimpinan Rendra Karno. Namanya melambung usai memerankan Letkol Untung dalam film Pengkhianatan G30S/PKI. Di luar karier film, Bram menekuni minat lain sebagai pelukis dan wiraswasta. Sarwo Edhie Wibowo Sesosok tentara berbaret merah, gagah, dan tampan diperintahkan Mayjend Soeharto merebut stasiun RRI yang dikuasi pasukan Gerakan 30 September. Dialah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, komandan Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat (RPKAD) cikal bakal Kopassus. Sarwo Edhie disebut-sebut bertanggung jawab atas banyaknya korban tak bersalah dalam penumpasan anasir PKI di Indonesia. Dalam film, Sarwo Edhie diperankan Didi Sadikin. Saat memerankan Sarwo Edhie, Didi tercatat sebagai kapten Koppasandha (kini Kopassus). Johana Sunarti “Pak Nasution, beliau di Bandung, sudah tiga hari di Bandung. Kalian datang kesini cuma untuk membunuh anak saya!” Itu adalah kalimat epik yang dilontarkan Johana Sunarti, istri Jenderal Nasution saat rumahnya disatroni pasukan Tjakrabirawa. Dalam adegan itu, Sunarti dengan tegar menggendong putrinya, Ade Irma yang bersimbah darah terkena tembakan. Seorang diri, dia juga nekat menghadapi geromobolan Tjakrabirawa agar suaminya, Nasution dapat melarikan diri ke belakang rumah. Walau tampil singkat, karakter Sunarti tampil apik. Dia diperankan oleh Arzia Dahar atau lebih populer dengan nama Ade Irawan. Ade Irawan yang kini berusia 80 tahun adalah artis peran kawakan Indonesia yang malang melintang di dunia perfilaman dan sinetron. Ade Irma Suryani Nasution Ade Irma adalah karakter paling belia dalam film ini. Dia adalah putri bungsu Jendral Nasution berusia lima tahun yang tertembak saat tentara Tjakrabirawa menyergap kediaman Nasution. “Engkau gugur sebagai perisai ayahmu,” demikian Nasution mengenang Ade Irma. Dalam sebuah adegan lain, Ade yang periang ingin menjadi jendral berbintang seperti ayahnya. Dia juga kerap bercanda dan bergurau dengan “Om Pierre” ajudan Jenderal AH Nasution. Tokoh Ade Irma diperankan oleh Henneke Adinda Tumbuan, akrab dipanggil Keke. Keke tak lain putri dari pasangan artis peran ternama Rima Melati dan Frans Tumbuan. Kini, Keke lebih aktif sebagai sineas di balik layar.
- Kekecewaan Sutradara Film Pengkhianatan G30S/PKI
PANGLIMA TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo memerintahkan kepada jajaran TNI AD untuk nonton bareng film Pemberontakan G30S/PKI. Film ini sebenarnya telah dihentikan penayangannya sejak 30 September 1998 atas permintaan masyarakat dan keluarga besar TNI AU. Film Pemberontakan G30S/PKI diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin oleh Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Presiden Soeharto. Tokoh penting di balik film ini adalah sejarawan Nugroho Notosusanto. Dwipayana memilih Arifin C. Noer sebagai sutradara film yang awalnya berjudul Sejarah Orde Baru . “Pak Dipo (panggilan Dwipayana) memilih Arifin karena Arifin ini dipandang sebagai orang yang independen. Dia tidak memiliki afiliasi dengan organisasi mahasiswa manapun atau organisasi masyarakat apapun,” ujar Jajang C. Noer, istri mendiang Arifin C. Noer, kepada Historia beberapa waktu lalu. Arifin lahir pada 10 Maret 1941 di Cirebon. Dia menulis drama dan puisi sejak di Sekolah Lanjutan Pertama. Dia melanjutkan sekolah ke Solo dan bergabung dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Pada 1960, dia pindah ke Yogyakarta dan bergabung dengan Lingkaran Drama Yogya, kemudian masuk Teater Muslim. Setelah pindah ke Jakarta, dia mendirikan Teater Kecil. Pada 1972, naskah dramanya, Kapai Kapai memenangkan hadiah pertama sayembara penulisan naskah drama Dewan Kesenian Jakarta. Arifin mulai terjun ke dunia film sebagai penulis skenario Pemberang pada 1971 . Dia kemudian menulis skenario film Melawan Badai, Rio Anakku, Sanrego, Senyum di Pagi Bulan Desember, Kenangan Desember, dan Kugapai Cintamu . Arifin menyutradarai film pertamanya, Suci Sang Primadona (1978) yang memberi Piala Citra untuk Joice Erna. Namanya melambung setelah menyutradarai film Serangan Fajar yang meraih penghargaan sebagai film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 1982 dengan menyabet lima Piala Citra. “Arifin kembali meraih gelar penulis skenario terbaik melalui film Pengkhianatan G30S/PKI ,” tulis Suara Karya , minggu ketiga Agustus 1992. Film Pengkhianatan G30S/PKI dikerjakan selama dua tahun dengan biaya terbesar saat itu, yaitu Rp800 juta. Setelah selesai, film ini ditayangkan dalam sidang kabinet dan semuanya setuju. Film berdurasi lebih dari tiga jam ini ditayangkan di bioskop dan TVRI sebagai tontonan wajib anak-anak sekolah dan pegawai pemerintah. Ternyata, Arifin kecewa setelah melihat hasilnya. Dia mengungkapkan kekecewaannya kepada Eros Djarot, sutradara, penulis lagu, dan politisi. “Hingga menjelang turunnya Soeharto hanya ada satu versi untuk melihat peristiwa G30S, yakni versi film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer, sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut,” tulis Eros Djarot, dkk., dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI . “Berbicara soal film yang sangat ‘luar biasa’ mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini, saya jadi ingat Mas Arifin C. Noer. Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya,” kata Eros Djarot, sutradara film fenomenal Tjoet Nja’ Dhien (1988). Setelah membuat film Pengkhianatan G30S/PKI , Arifin ingin berhenti membuat film. Mungkinkah karena kekecewaan terhadap film itu? Dia menyampaikan keinginannya itu dalam surat tanggal 10 Februari 1984 kepada Ajip Rosidi, sastrawan yang berdiam di Jepang pada 1980-2002. Ajip membalas surat itu pada 17 Februari 1984. “Keputusan untuk tidak membuat film lagi tentu keputusan yang penting. Buat saya, juga mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberi alasan yang lebih terperinci. Kau mengatakan bahwa selama 5 tahun membuat film merupakan tahun-tahun yang percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” tulis Ajip dalam buku kumpulan surat-suratnya, Yang Datang Telanjang. Ajip memberikan penilaian terhadap film-film karya Arifin dan memintanya agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk berhenti membuat film. Ajip menyebut bahwa Arifin sepertinya punya masalah dengan PFN (Produksi Film Negara). “Baik sekali kau mempertimbangkan hubunganmu dengan PFN. Tetapi jangan hendaknya karena itu kau lantas memutuskan mau berhenti membuat film. Sebab, kalau begitu, maka dunia perfilman Indonesia akan terus hanyut dalam selera Indo –atau Cina,” kata Ajip yang berharap “filmmu akan membuat tradisi, atau baik disebutkan: melanjutkan tradisi film pribumi seperti yang dibuat oleh Usmar Ismail.” Akhirnya, Arifin pun urung berhenti bikin film. Setelah Pemberontakan G30S/PKI , dia membuat film Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), dan terakhir, Bibir Mer (1991). Film Taksi yang dibintangi Meriam Bellina dan Rano Karno terpilih menjadi film terbaik FFI 1990 dan menyabet enam Piala Citra. Arifin C. Noer meninggal dunia pada 28 Mei 1995.
- Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum
Gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dikepung massa pada Minggu (17/09) hingga Senin (18/09). Gegaranya, LBH menyelenggarakan acara yang berkaitan dengan peristiwa 1965. Melalui rilisan pers yang diterima Historia, LBH Jakarta menulis, “Massa meneriakkan ancaman mengerikan, melakukan stigma dan tuduhan-tuduhan tidak berdasar, serta mencoba masuk, melempari dengan batu dan melakukan provokasi, serta mencoba membuat kerusuhan.” Padahal, YLBHI saat itu sedang menyelenggarakan acara yang menampilkan pertunjukan seni dengan nama #AsikAsikAksi. Ancaman terhadap LBH sesungguhnya tidak hanya terjadi pada hari ini saja. Pada era Orde Baru (Orba), ancaman dan tekanan juga pernah mereka alami. Kendati pada awal pembentukannya, LBH didukung pemerintah namun belakangan pemerintah Soeharto menunjukkan ketidaksukaannya kepada LBH. Demikian menurut Adnan Buyung Nasution dalam Demokrasi Konstitusional: Pikiran & Gagasan. Buyung menyebutkan, pada 1974 Ali Moertopo pernah memerintahkan untuk menangkap dirinya saat terjadi peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari). Buyung lantas ditahan selama dua tahun tanpa proses peradilan karena dituduh sebagai dalang Malari. “Semua pengacara LBH masuk dalam daftar hitam pemerintah. Kantor, rumah, dan kendaraan mereka sering dirusak. Bahkan ada yang diancam akan ditahan,” ungkap Buyung. LBH sendiri merupakan lembaga bantuan hukum yang digagas Buyung pada 1969. Dalam otobiografinya, Adnan menceritakan tentang awal mula pendirian LBH. Dia bercerita bahwa pada mulanya ide tentang pendirian LBH dia kemukakan dalam kongres Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) III pada 18-20 Agustus 1969. Ternyata, ide ini didukung oleh kongres kemudian ditindaklanjuti oleh Adnan. Selain dukungan politis dari Peradin, Buyung juga mendapat dukungan moril dari mahasiswa dan cendekiawan. Agar LBH "tidak digebuk", Buyung melakukan "siasat ala Jawa" untuk sekadar kulonuwun kepada pemerintah dengan menemui Ali Murtopo untuk meminta persetujuan pendirian LBH. Secara personal, Buyung mengenal Ali sejak aktivis-aktivis kesatuan aksi pengganyangan PKI sering berkumpul di markas Kostrad. Pangkostrad Kemal Idris memperkenalkan Ali sebagai orang kepercayaannya. “Wah saya gembira sekali, saya akan mendukung,” kata Ali. Tidak cukup sampai Ali Moertopo, Buyung juga menyiapkan uraian tertulis mengenai pembentukan LBH untuk Presiden Soeharto. “Pak Harto sudah baca, katanya bagus, teruskan ide ini,” kata Ali kepada Buyung. Setelah mendapat persetujuan dari pemerintah, Buyung mencari dukungan dari pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Ali Sadikin. Buyung mengenal Ali Sadikin sebagai orang yang mendukung para seniman dan budayawan dengan membangun Taman Ismail Marzuki. Buyung optimis mendapat dukungan dari Ali Sadikin. Dalam otobiografinya, Buyung menulis bahwa Ali Sadikin memiliki peran besar dalam pembentukan LBH. Bersama seorang aktivis sosial Nani Yamin, Buyung menemui Ali Sadikin di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Sekretaris Gubernur Kris Hutapea ikut dalam pertemuan tersebut. “Negara hukum tidak bisa ditegakkan hanya dengan pidato, tapi dengan tindakan nyata, yaitu membela rakyat. Supaya rakyat sadar akan hak dan kepentingan hukumnya... Ini termasuk pelayanan negara kepada rakyat yang butuh bantuan di bidang hukum... Dalam pembangunan Jakarta saya lihat bidang pelayanan hukum ini bagian yang belum digarap Bang Ali,” ujar Buyung. “Wah, saya setuju dah, setuju! Saya mau. Buyung bikin proposalnya ya,” jawab Ali Sadikin. Selain membuat proposal, Buyung juga diminta untuk melampirkan SK organisasi. Namun, Buyung tidak memiliki organisasi. Ali Sadikin lantas mengusulkan untuk melampirkan SK yang dibuat oleh Peradin untuk pendirian LBH. Permintaan Buyung tentang SK ini sempat membuat bingung Lukman Wiradinata. Lalu dia disarankan untuk pergi menemui S. Tasrif. “Ya sudah, Pak Tasrif, sekjen suruh bikin SK.” Dengan sedikit mengomel akhirnya S. Tasrif membikin SK pembentukan LBH yang dibuat Peradin. Setelah syarat pembentukan LBH lengkap, perngurus LBH dilantik pada 28 Oktober 1970 di Balai Kota oleh Ali Sadikin. Frans Hendra Winata dalam Pro Bono Publico menyebut langkah Buyung sebagai awal gerakan perkembangan bantuan hukum di Indonesia. Pada peresmian kantor LBH di Jalan Ketapang, Ali Murtopo memberikan sumbangan lima sepeda motor untuk operasional. Banyak orang-orang yang mengkritik keputusan Buyung menerima bantuan Ali Murtopo. Namun Buyung menjawab bahwa dia percaya pada itikad baik Ali Murtopo. Sayangnya, pemberian motor itu hanya bagian dari politik kosmetik pemerintah Soeharto. Dia ingin membangun citra bahwa pemerintah Orba mendukung demokrasi, hukum, dan HAM. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Orba untuk menahan Buyung selama dua tahun tanpa peradilan dengan tuduhan sebagai dalang Malari. Tidak hanya itu, para pengacara LBH juga sering menerima ancaman ketika menangani kasus. Kasus yang diangkat umumnya melibatkan orang kurang mampu yang terintimidasi oleh militer. Misalnya, membela orang-orang yang tanahnya diambil untuk pembangunan Simprug, kasus Tanjung Priok, pembangunan TMII, buku putih ITB, dan Kasus Waduk Kedungombo. Beragam tantangan dan ancaman terhadap LBH datang dari dulu hingga kini. Buyung menyebut bahwa tantangan paling ringan berupa upaya penyuapan hingga intimidasi dan ancaman kekerasan. “Namun, lama-kelamaan pengacara kami kebal dengan ancaman, terutama dalam kasus penting,” kata Buyung.






















