top of page

Sejarah Indonesia

Mendulang Sejarah Tambang Nusantara

Mendulang Sejarah Tambang Nusantara

Revolusi industri menggeser rempah sebagai primadona dari Hindia Belanda. Sebagai gantinya, munculah produk tambang yang menjadi komoditas ekonomi menjanjikan hingga kini.

Oleh :
26 September 2017

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pengalengan minyak untuk Batavian Petroleum Company di Pangkalan Brandan, 1916. Foto: KITLV.

Molukken is het verleden, Java is het heden, en Sumatra is de toekomst” artinya "Maluku masa lampau, Jawa masa kini, dan Sumatra masa depan." Ungkapan ini begitu mengemuka sejak abad 19 di kalangan kolonialis di Hindia Belanda. Popularitas rempah memudar sementara Sumatra disebut sebagai masa depan. Mengapa?


Kepulauan Sumatra saat itu mulai dikenal sebagai wilayah pertambangan minyak sebagai sumber energi kegiatan industri.


“Pada masa lampau, Sumatra ini dulu adalah daerah tambang emas,” ujar Agus Setiawan, sejarawan Universitas Indonesia, dalam “Ekspose Arsip PT Perusahaan Gas Negara (1950) 1961—2008” di Hotel Aston, Jakarta Selatan, 26 September 2017.


Menurut Agus, aktivitas pertambangan di Nusantara setidaknya sudah terjejaki di zaman Hindu Budha. Raja Majapahit Hayam Wuruk pernah memerintahkan Adityawarman, raja Kerajaan Melayu yang merupakan vasal Majapahit, untuk menguasai Sungai Batanghari di Jambi. Sebabnya, di sana ada pertambangan emas. Di zaman pra-kolonial, emas digunakan sebagai alat tukar dan bahan utama pembuat senjata tradisional (keris), patung-patung, maupun arca-arca.


Pada masa perang-perang kolonial, misi militer tentara Belanda juga menyertakan ahli-ahli geografi dan geologi. Kelompok peneliti ini bernama Royal Dutch Geographical Society (Masyarakat Geografi Kerajaan Belanda). Mereka kemudian mengambil sampel batu-batuan untuk diteliti kandungan mineralnya. Dengan data-data yang terhimpun, pemerintah Belanda membuat satu peta tambang Hindia Belanda.


“Jadi sebenarnya, pemerintah kolonial sudah memetakan Hindia Belanda dari Sumatra sampai Papua. Sudah ada koordinat-koordinat yang mengandung bahan tambang dan kekayaan alam kita di situ. Ini dijelaskan dalam arsip-arsip Belanda” ujar Agus yang meneliti sejarah pertambangan minyak di Hindia Belanda dalam disertasinya.


Potensi kekayaan tambang di wilayah Hindia Belanda selalu beririsan dengan kepentingan politik. Hal ini dibuktikan dalam Perang Aceh yang berlangsung antara 1873-1904. Setelah Aceh takluk, Jenderal Johannes Benedictus van Heutsz memerintahkan penanaman pipa minyak dari Perlak ke Pangkalan Brandan. Minyak dari Sumatra berkualitas bagus karena oktannya tinggi sehingga laku keras di pasaran. Akibatnya, Belanda berjaya secara politik dan ekonomi. Tak lama kemudian, Van Heutsz mendapat hadiah kenaikan jabatan sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda.


Memasuki abad 20, eksploitasi pertambangan oleh pemerintah Hindia Belanda kian menggeliat. Banyak berdiri perusahaan pertambangan multinasional Belanda di antaranya: Royal Dutch (perusahaan tambang minyak di Pangkalan Brandan, Sumatra Utara), Billiton Maatschappij (perusahaan tambang timah di Belitung), Mijnbouw Maatschappij van Zuid Bantam (perusahaan tambang emas di Cikotok, Banten), Bataafsche Petroleum Maatschappij (perusahaan tambang minyak di Balikpapan), dan Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (perusahaan tambang minyak di Papua).


Meski demikian, pemerintah kolonial agak menutup rapat-rapat kekayaan tambang untuk diakses. Hanya sebagian kecil konsesi yang dibuka bagi perusahaan asing. Namun, menjelang Perang Dunia II, Belanda terpaksa meninggalkan aset pertambangan mereka karena terdesak di front Pasifik.


Pada zaman Indonesia merdeka, pemerintah di bawah Presiden Sukarno menasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan warisan Hindia Belanda. Eksploitasinya masih terjaga.


“Ini kemudian berkebalikan dengan pemerintahan Orde Baru yang justru membuka konsesi pertambangan sebesar-besarnya lewat Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPA) tahun 1967,” kata Agus


Menurut Agus, banyak koordinat tambang yang dimaksimalkan oleh negara saat ini merupakan kelanjutan dari apa yang diusahakan pemerintah Belanda.


“Isu-isu tentang tambang di kemudian hari dikhawatirkan jadi polemik terutama setelah adanya otonomi daerah. Oleh karena itu, pengungkapan sejarah pertambangan berdasarkan arsip jadi begitu penting,” ujar Agus.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page