Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Filosofi Bisnis T.D. Pardede
SEKOLAHNYA tidak tinggi tetapi lini usahanya ada di mana-mana. Orang-orang suka memanggilnya “Ketua”, yang dalam logat Medan dilafal “ Katua ”, yang berarti bos. Itulah Tumpal Dorianus Pardede, yang sohor sebagai “Raja tekstil dari Medan.” Pada masa jayanya, Pardede diakui sebagai salah satu pengusaha nasional terkaya di Indonesia. Bakat bisnis Pardede, yang lahir di Balige, 16 Oktober 1916 ini memang sudah terasah sejak dini. Di masa kanak-kanak, seperti terkisah dalam Apa dan Siapa Sejumlah orang Indonesia 1985—1986 , Pardede suka bermain kelereng. Acapkali menang. Bahkan, sering pula Pardede muncul di pasar, menjual kelereng yang berlebihan itu. Dengan cara itulah, bocah Pardede mendapatkan uang jajan. Sebagian uang yang sisa, disimpannya sebagai tabungan. Pada usia tujuh tahun, Pardede membagi waktunya antara sekolah, berjualan, dan belajar agama. “Waktu itu ayah saya sudah meninggal,” tutur Pardede. Pardede menempuh pendidikan formal hanya sampai tingkat Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar bagi anak-anak pribumi di Balige. Namun, Pardede banyak menimba ilmu dagang dari pengalamannya bekerja di lapangan. Beranjak dewasa, Pardede bekerja sebagai buruh kasar dari satu perkebunan ke perkebunan lain di Sumatra Timur. Di samping banyak belajar ilmu dagang, Pardede sering menyaksikan betapa merananya para kuli kebun yang terikat kontrak dengan tuan kebun Belanda. Begitupun pada zaman pendudukan Jepang. Pardede yang sudah beralih profesi jadi pedagang gula merah dan garam di Balige kerapkali menerima perlakuan kasar tentara Jepang. Pukulan atau tempelengan tentara Jepang berkali-kali mendera Pardede maupun rekannya sesama pedagang pemasok bahan pangan. Kendati demikian, kejelian dan kegigihan Pardede dalam berdagang berhasil membuatnya memonopoli gula dan garam di Tapanuli. “Dari situlah saya jadi banyak uang, sehingga di zaman Jepang, yang dibilang paling kaya di Tapanuli, sayalah itu,” kata Pardede dalam majalah Eksekutif , No. 11, Mei 1980. Pardede mengakui, di zaman Jepang dirinya bekerja siang dan malam. Bahkan, kalau perlu dia tidur di mobil. Dengan demikian, Pardede mampu menguasai pasar-pasar di Tapanuli dan menyisihkan saingannya sesama pedagang dari kalangan Tionghoa. Pengalaman kerja di bawah panji penjajah membuat Pardede berhasrat membantu orang-orang yang kesulitan melalui usahanya. Oleh karena itu, di masa revolusi kemerdekaan Pardede ikut berjuang sebagai perwira dagang. Dengan pangkat letnan, Pardede bertugas di bagian perbekalan atau logistik. Dia mengambil beras dari Tapanuli dan menjualnya ke Pekan Baru. Dengan begitu, perjuangan dapat dibiayai sekaligus memberi makan pasukan. Pada 1949, Pardede berhenti dari dinas ketentaraan. Pardede melihat keadaan masyarakat serba susah. Banyak orang hanya berkaus kutang alias singlet. Dari situ timbulah niat Pardede untuk membangun pabrik tekstil, khususnya kaus singlet. Berdirilah kemudian, Knitting Factory T.D. Pardede di Medan. Kaus produksi pertamanya dicetak dengan nama merk Surya. Sejak pabrik tekstil Pardedetex berdiri pada 1953, kesuksesan seolah-olah mengejar Pardede. Usahanya berkembang pesat sehingga mampu mediversifikasi berbagai produk sandang. Dari singlet, Pardedetex memproduksi selimut dan membangun lagi pabrik pemintalan benang. Pada 1960-an, sosok Pardede sudah dikenal luas sebagai industrialis terkemuka di Indonesia. Selimut cap Surya menguasai pasaran dalam negeri sedangkan Pardedetex menjadi pabrik pemintalan swasta terbesar di Indonesia. Reputasi Pardede bahkan memikat Presiden Sukarno yang kemudian mengangkatnya menjadi menteri berdikari pada Kabinet Dwikora. Pardede, seperti diungkap sejarawan Jepang Masashi Nishihara dalam Sukarno, Ratna Sari Dewi & Pampasan Perang , adalah pendukung finansial terpercaya Sukarno. Hingga dekade 1980-an, kerajaan bisnis Pardede telah merambah berbagai sektor. Selain pabrik tekstil, Pardede memiliki jaringan perhotelan dan usaha perikanan. Semuanya bernaung di bawah induk usaha T.D. Pardede Holding Company, terdiri dari 28 unit badan usaha dengan tenaga kerja sebanyak 5.000 orang staf dan karyawan. Selain mencari untung di perniagaan, Pardede berkhidmat pula dalam urusan sosial kemasyarakatan. Di bidang olahraga, Pardede membentuk Pardedetex yang jadi cikal bakal klub sepakbola profesional pertama di Indonesia. Di bidang kesehatan, Pardede membangun Rumah Sakit Herna, yang diambil dari nama sang istri Hermina br. Napitupulu. Dan di bidang pendidikan, Pardede mendirikan Universitas Darma Agung yang sekaligus menjadi tempat penghasil sumber daya manusia bagi berbagai perusahaan Pardede. Siapa nyana, Pardede yang cuma jebolan HIS Balige itu pada akhirnya menggondol gelar Doktor (Honoris Causa) dalam ilmu ekonomi. Gelar itu diperolehnya dari Takushoku University, Jepang pada 1967. Sebelumnya, pada 1964 Pardede memperoleh gelar Ahli Tekstil dari Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) dan Ahli Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sumatra Utara (USU) pada 1965. Gelar kehormatan itu buah dari pengalaman dan keterampilan Pardede dalam mengelola bisnis. Di balik kesuksesan Pardede, tersua prinsip yang jadi pegangannya: “Miskin belajar kaya, kaya belajar miskin.” Begitulah falsafah hidup Pardede yang selalu dikemukakannya dalam berbagai kesempatan. Miskin belajar kaya, artinya: dalam keadaan miskin, kita harus punya keuletan dam ketabahan untuk mencari jalan dan berusaha untuk mencari kaya. Sedangkan kaya belajar miskin, berarti rezeki berasal dari Tuhan sehingga kita disebut orang kaya, maka kita mesti tetap mengingat bagaimana sakitnya waktu masih miskin. Dengan demikian, kekayaan itu jadi amanah untuk kepentingan kemanusiaan sesuai yang dikehendaki Tuhan. Dalam menjalankan roda perusahaannya, Pardede mengusung motto 8K yang menjadi pedoman setiap karyawan. Isinya terdiri dari delapan kata sifat: Kejujuran, Kelakuan, Kemauan, Kerajinan, Kebersihan, Kesehatan, Kewajiban, dan Kepatuhan. Menurut mantan sekretaris pribadi Pardede, Drs. H.S. Pulungan, “ Walutama ” adalah istilah lain untuk menyebut motto 8K tadi. Walutama dapat menjadi jembatan takwa (Batak dan Jawa). “Walutama dapat dibaca sebagai walu na tama (Batak), atau dapat juga dibaca sebagai wolu sing utomo , yang kedua-duanya berarti delapan yang utama,” ujar Pulungan dalam “Visi, Misi, dan Profesi” termuat di kumpulan tulisan 75 Tahun Dr. T.D. Pardede suntingan Samuel Pardede. Sampai wafatnya pada 18 November 1991, Pardede meninggalkan aset yang tersebar di berbagai kota. Beberapa masih bertahan hingga saat ini, seperti Hotel Danau Toba dan Hotel T.D Pardede di Medan dan Parapat. Begitupun dengan Universitas Darma Agung dan Rumah Sakit Herna. Nama T.D. Pardede diabadikan sebagai nama salah jalan di kota Medan yang dahulu bekas lokasi berdirinya pabrik tekstil Pardede.*
- Elvis Menyanyi Dangdut
PERNAH suatu masa celana cutbrai menjadi tren. Pedangdut Achmad Rafiq, yang meninggal 19 Januari lalu, didaulat sebagai orang yang mempopulerkannya. Dia memboyong goyang pinggul dan gaya kostum mencolok ke dangdut bersama celana panjang cutbrai khas yang dikenal sebagai “celana A. Rafiq.” Orang datang ke penjahit cukup bilang, “Tolong jahitin celana A. Rafiq. Orang (penjahit) sudah tahu. Itu tidak bisa hilang dalam sejarah,” kata A. Rafiq kepada Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia.
- V dan Organisasi Tanpa Nama
SEPERTI Gerakan Rakyat Anti Fasis (Geraf) yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan Gerakan Djojobojo di bawah komando Mohammad Joesoeph, bekas tentara Hindia Belanda (KNIL) membentuk organisasi bawah tanah untuk menentang Jepang. Namanya kelompok “V” (dari kata Victory ). Menurut L. De Jong dalam Pendudukan Jepang di Indonesia , anggota dari kelompok “V” menggunakan tanda pengenal seperti sapu tangan merah atau sebuah bulu berwarna putih. Pemimpinnya seorang Indo-Belanda, berpangkat sersan mayor KNIL, AW Ledoux. Pada Maret 1943, Ledoux ditangkap polisi rahasia Jepang (Kenpeitai) . “Setelah kejadian itu, semua eks militer KNIL yang tertangkap dan padanya terdapat sapu tangan merah atau bulu putih mendapat hukuman berat,” tulis De Jong.
- Wadah Pengetahuan Tanah Jajahan
PENJAJAH membutuhkan pengetahuan tentang negeri jajahannya untuk menjaga kesinambungan penjajahannya. Karena itulah Kerajaan Belanda mendirikan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) pada 1851 untuk mengumpulkan informasi mengenai daerah jajahan. “Kolonialisme tercermin dalam koleksi ilmiah dan sejarah seni yang indah, dan yang memberi gambaran daerah-daerah jauh yang pernah, kurang lebih, dikuasai Belanda,” kata Putri Maxima, pelindung KITLV, dalam pengantar katalog pameran, Treasures . Selain KITLV, “di seluruh dunia, tidak ada tempat yang menyediakan koleksi mengenai jajahan Belanda dan sekitarnya yang begitu luas dan mudah diakses.”
- Menyadap Tahanan Perang Nazi
BUKTI-bukti baru menyingkap bagaimana taktik Inggris selama Perang Dunia II dan pikiran para perwira Jerman yang terlibat dalam Holocaust. Seorang pengungsi, yang direkrut dinas rahasia Inggris, mengungkapkannya. Pengungsi itu bernama Fritz Lustig, pensiunan akuntan dari Muswell Hill berusia 93 tahun. Dia adalah salah satu dari sekira seratus pengungsi, sebagian besar Yahudi Jerman, yang lari ke Inggris dan kemudian direkrut intelijen Inggris untuk menyadap obrolan para perwira Nazi yang ditahan di sel-sel tersembunyi di sekitar London. Dia mendengar diskusi para tawanan Jerman tentang keterlibatan mereka dalam Holocaust dan kekejaman lainnya selama Perang Dunia II.
- Segarnya Sejarah Es
SEKIRA akhir abad ke-19, Chailley Bert, seorang pelancong asal Prancis, mencatat bahwa terdapat es dari ujung ke ujung Pulau Jawa hingga gunung-gunung dan desa. Bert jelas berlebihan. Namun penggunaan es sebagai teman minuman sudah menjadi umum di Hindia kala itu. Sekira 1895, musafir Prancis Delmas, yang mampir di Batavia, mencicipi “segelas besar sidre-syampanye , minuman lezat, yang dibuat dengan buah-buahan negeri itu, es dan soda.” Menurut Denys Lombard, es merupakan lambang “kenyamanan” yang sudah semestinya di negeri tropis dan pengawet bagi makanan yang mudah rusak. Pada pertengahan abad ke-19, kapal-kapal yang datang dari Amerika Utara membawa berbalok-balok es ke berbagai pelabuhan besar di Nusantara. Sekira 1869, keluarga-keluarga kaya di Batavia “hanya minum air yang berasal dari es yang mencair, yang didatangkan dari Boston.”
- Agar Dieng Tak Tenggelam
PEMBUATAN terowongan bawah tanah untuk mengendalikan air telah dilakukan Dinasti Mataram Kuno di bawah wangsa Sanjaya, yang membangun Gangsiran Aswatama . Nama Aswatama diambil dari tokoh pewayangan. Aswatama adalah putra pandita Drona. Untuk membalas dendam kematian ayahnya dalam perang Baratayudha, dia menggali lorong bawah tanah atau gangsiran , yang berujung di perkemahan Pandawa. Nahas, Aswatama tewas oleh keris Pasopati yang ditendang bayi Parikesit, cucu Arjuna, hingga menancap di dadanya.
- Rakyat Yogyakarta Diselamatkan Selokan
Di musim hujan, selokan –yang dipenuhi sampah– sering meluap dan menimbulkan banjir. Namun, di masa pendudukan Jepang, selokan telah menyelamatkan rakyat Yogyakarta dari kerja paksa ( romusha ) dan menekan kekurangan pangan . Pada 1940, Dorodjatun dinobatkan menjadi Sultan Hamengkubuwono IX. Tak lama kemudian Jepang datang. Di Jakarta, pada 1 Agustus 1942, dia dilantik untuk kali kedua sebagai Sultan Yogyakarta oleh Panglima Besar Tentara Pendudukan Jepang. Sultan menerima wewenang dari Jepang untuk mengurus pemerintahan Kesultanan yang dinamai Kochi (Daerah Istimewa).
- Upacara Natal Bersama Haram
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menganjurkan umat Islam tak mengikuti kegiatan-kegiatan perayaan Natal. Mengikuti upacara Natal Bersama bagi umat Islam hukumnya haram. Demikian bunyi fatwa tentang perayaan Natal Bersama yang dikeluarkan MUI pada 7 Maret 1981. Kala itu MUI dipimpin Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), sedangkan ketua Komisi Fatwa-nya adalah Syukuri Ghozali. Fatwa tersebut dilatarbelakangi fenomena yang kerap terjadi sejak 1968 ketika Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 1-2 Januari dan 21-22 Desember. Lantaran perayaan Lebaran berdekatan dengan Natal, banyak instansi menghelat acara perayaan Natal dan Halal Bihalal bersamaan. Ceramah-ceramah keagaman dilakukan bergantian oleh ustadz, kemudian pendeta. Menurut Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia , Hamka mengecam kebiasaan itu bukan toleransi namun memaksa kedua penganut Islam dan Kristiani menjadi munafik. Hamka juga menilai penganjur perayaan bersama itu sebagai penganut sinkretisme.
- Golkar Perubahan dari Gerinda
PERSAINGAN partai di tingkat nasional tak selalu tercermin di tingkat lokal. Pada 1960-an, ketika kelompok komunis dan nasionalis bisa bekerjasama di tingkat nasional, di Gunung Kidul justru terjadi persaingan, terutama antara Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Persaingan itu menghapus cerita tentang Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda), partai berbasis massa tradisional yang cukup besar. Namanya jarang disebut-sebut. Padahal, di Gunung Kidul, Gerinda berada di urutan kedua dengan delapan kursi, setelah PKI dengan 18 kursi dalam pemilihan DPRD tahun 1958. Massa Gerinda yang “tetap” menyebabkan partai ini tak tampak dalam persaingan yang keras dengan partai lain.
- Gerinda Suka Diejek PKI
SETELAH vakum selama masa pendudukan Jepang, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta (PKN) muncul kembali pada 1951 sebagai partai politik dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia (Gerinda). Ketuanya dipegang Pangeran Suryodiningrat, pendiri PKN. Meski tak punya cabang-cabang di daerah, kecuali wakil-wakil penerangan partai di tiap kabupaten, Gerinda mendapat sambutan hangat. Mereka meraih kursi lumayan dalam pemilihan DPRD Yogyakarta tahun 1957. Pesaing utamanya adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), yang belum sembuh benar akibat pukulan telak militer karena Peristiwa Madiun 1948. Dari total 57 kursi, PKI meraih 14 kursi. Diikuti oleh Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 8 kursi dan Gerinda 6 kursi.
- Mas Slamet Dikutuk Kaum Republik
Kelompok kanan reaksioner Belanda selalu menganggap Sukarno seorang pengkhianat atau quisling –diambil dari nama Perdana Menteri Norwegia yang bekerjasama dengan tentara Nazi selama Perang Dunia II– yang menjual bangsanya kepada Jepang. Sebaliknya, kaum republiken menganggap kolaborasi Sukarno dengan Jepang hanyalah perkara strategi perjuangan merebut kemerdekaan. Justru orang-orang yang anti-Jepang dan anti-Republik serta pro-Belandalah yang pantas disebut quisling; salah satunya Mas Slamet, pendiri Partai Demokrat. Mas Slamet tak hanya mencap Indonesia sebagai bentukan Jepang, dia juga menganggap bendera merah putih sebagai produk Jepang. “Mr. Slamet di dalam surat terbuka kepada Ratu Wilhelmina terkesan tidak mengenal makna simbolis bendera merah putih bagi gerakan nasional di negerinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.






















