top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Merayakan Sejarah Masa Depan Indonesia

    PULUHAN orang berjejal di dalam rangkaian trem yang sekujur gerbong bagian luarnya ditulisi grafiti slogan kemerdekaan berbahasa Inggris. “We need just now Independence!” Kami hanya butuh kemerdekaan sekarang juga. Trem tersebut melaju beriringan dengan tank-tank milik Inggris yang baru saja tiba di Jakarta. Setelah Jepang kalah perang, Indonesia dan beberapa negara di wilayah Asia Tenggara lainnya, menjadi kewenangan Inggris. Ada agenda rahasia Belanda terselip di misi tersebut: kembali berkuasa di Indonesia. Namun nasionalisme yang telah tumbuh subur di kalangan rakyat, menentang upaya tersebut. Situasi itu terekam dalam film dokumenter Setelah Proklamasi yang diputar pada peluncuran buku dan pameran foto sejarah 70 Tahun HistoRI Masa Depan , Sabtu (22/08) lalu di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Film dokumenter selama kurang lebih 15 menit tersebut menampilkan situasi Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan. “Bung Karno berkeliling Jakarta menemui rakyat. Ini Haji Darip, tokoh masyarakat terkemuka dari Karawang,” kata sejarawan Rushdy Hoesein menjelaskan film selama penayangannya. Selain tampak figur Bung Karno, terekam pula aktivitas warga yang memenuhi alamat kantor redaksi koran Merdeka , berdesakan membeli koran. Rosihan Anwar muda terlihat masih ceking kala mendampingi kedatangan Menteri Penerangan Amir Sjarifoeddin yang datang berkunjung. Meutia Hatta yang didaulat membuka acara menyampaikan kekagumannya pada suasana Jakarta di masa itu yang ditunjukkan di dalam film. Melalui pameran ini, dia berharap anak-anak muda berminat belajar sejarah. “Pameran ini diharapkan dapat menggugah muda-mudi untuk mengenal sejarah bangsanya,” kata anak pertama Bung Hatta itu dalam sambutannya. Tak hanya film yang menggambarkan suasana revolusi, puluhan foto lama yang selama ini belum terpublikasi juga turut dipamerkan. Kurator galeri Antara Oscar Motuloh mengatakan sebagian koleksi foto dia dapatkan dari museum Bronbeek di Belanda. Beberapa foto bersejarah penting lainnya yang dipamerkan adalah 14 lembar foto-foto pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56. Foto yang selama ini beredar tak lebih dari empat foto, yang memperlihatkan Bung Karno sedang membaca teks proklamasi, memimpin doa, dan pengerekan bendera Merah Putih. Menurut tim riset Yayasan Bung Karno yang juga bekerjasama menyelenggarakan pameran ini, ada sudut pandang menarik lainnya dari foto-foto seputar proklamasi. Selama ini versi yang beredar hanya menyebutkan bahwa peristiwa bersejarah itu hanya dihadiri oleh tak kurang dari 100 orang. Namun foto yang berhasil ditemukan menunjukkan ada lebih dari 500 orang turut menyaksikan pembacaan teks proklamasi. Satu foto yang paling menarik dari 14 foto proklamasi itu adalah pekik “merdeka” yang dilakukan ala salam “banzai” Jepang dengan mengangkat kedua tangan. Bung Karno memimpin dan diikuti ratusan hadirin berseragam peta yang juga mengangkat kedua tangan mereka ke atas. Selembar foto lain menunjukkan Bung Karno menyambut serombongan anggota Barisan Laskar Rakyat yang datang terlambat karena mengira pembacaan teks proklamasi dilakukan di lapangan Ikada. Mereka berbondong bersenjatakan bambu runcing di tangan.  Dendam kesumat tentara Belanda pada Bung Karno pun terlihat pada sebuah foto di mana tank Belanda memasang posternya tepat di ujung moncong meriamnya. Foto yang sama memperlihatkan empat serdadu Belanda awak tank yang berpose tersenyum di depan kamera. Pameran foto yang berlangsung sampai Oktober mendatang memberikan gambaran yang lebih meriah tentang revolusi kemerdekaan Indonesia. Foto-foto yang mengandung ribuan kata-kata penjelasan tentang semangat zaman pada masa-masa awal kemerdekaan.

  • Memori Perjuangan Kota Bogor yang Mulai Dilupakan Orang

    PADA 26 Oktober 1957, puluhan pejuang kemerdekaan se-Karesidenan Bogor berkumpul di rumah Bupati Bogor, R.E. Abdoellah, di Jalan Panaragan No. 31. Secara aklamasi, mereka menyepakati bahwa gedung di Jalan Cikeumeuh No. 28 (sekarang Jalan Merdeka) sebagai Museum Perjoangan. Mulanya bangunan tersebut adalah gudang barang milik Wilhelm Sustaff Wissner, sejak 7 Juli 1879. Setelah beralih tangan beberapa kali, gedung ini sempat menjadi kantor perusahaan. Kemudian pada Juni 1938 menjadi gedung persaudaraan Parindra (Partai Indonesia Raya) cabang Bogor. Lalu sejak 9 Maret 1942, tentara Jepang memfungsikan gedung ini sebagai gudang. “Pada periode 1945-an, beragam laskar rakyat dan organ perjuangan lain juga berkoordinasi di sini. Kapten Muslihat, Mayor Oking, dan Margonda sering pula berkumpul di gedung ini. Kemudian pada 1949, menjadi kantor pemerintah darurat kabupaten,” ujar Ma’ruf (46 tahun), kurator Museum Perjoangan Bogor, kepada Historia . Sekolah Rakyat juga pernah bertempat di gedung tersbut sekira tahun 1952. Kartinah Muslihat, istri almarhum Kapten Muslihat, melantik dewan pengurus Yayasan Museum Perjoangan Bogor (YMPB) pada 10 Nopember 1957. Tak lama berselang, muncul surat keputusan Pelaksana Kuasa Militer Daerah Res. Inf 8/III-No. Kpts/3/7/PKM/57, yang berisi arahan kepada pengurus YMPB untuk mempersiapkan dan mengusahakan gedung Museum Perjoangan agar dapat diwujudkan dan diresmikan pada 17 Agustus 1958. Sejak 1958-1981, Museum Perjoangan tersebut tak pernah tersentuh renovasi. Pada 18 September 1981, seperti dicatat harian Merdeka 16 Agustus 1987, Jawatan Gedung-gedung Bogor menyatakan kondisi bangunan Museum Perjoangan Bogor secara keseluruhan dinyatakan rusak. YMPB pun berusaha melakukan renovasi dengan melakukan penggalangan dana. Setelah menghabiskan dana sekira Rp80 juta, akhirnya renovasi selesai pada Juni 1987. Bangunan bertingkat satu ini pun mulai menambah koleksinya, terutama dari era revolusi fisik 1945. YMPB membentuk tim khusus untuk sejarah lisan untuk membuat diorama, sebagai bagian koleksi museum. Beberapa diorama itu antara lain peristiwa pertempuran Kapten Muslihat pada 25 Desember 1945, pertempuran di Maseng, pertempuran di Kota Paris, dan peristiwa Cemplang. Hingga tahun 2014, Museum Perjoangan Bogor masih menerima koleksi hibah dari eks pejuang. “Meski sudah dihibahkan ke museum, tak serta merta artefak tersebut bisa di- display . Harus melalui verifikasi yang ketat dan informasi yang akurat tentang sejarah dan fungsi artefak tersebut,” terang Ma’ruf. Berdasarkan buku tamu, tak banyak pengunjung yang datang di museum tersebut, meski tarif masuknya terbilang murah hanya Rp4.000. “Saya sengaja di hari kemerdekaan ini datang mengajak anak dan istri saya kesini. Selain mengenalkan sejarah kepada anak-anak, juga sudah lama saya tidak kesini. Kunjungan pertama tahun 2005, dan ini yang kedua,” ujar Dede Supriyana, 28 tahun, pengunjung museum kepada Historia .

  • Asal-Usul Batas Usia Minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974

    SEORANG gadis berusia delapan tahun dinikahkan secara agama kepada seorang lelaki tua yang lebih pantas jadi ayahnya ketimbang suaminya. Pernikahan itu berlangsung di Mekkah sekira 1937, ketika si gadis dibawa pergi haji oleh ayah kandungnya. Dikisahkan, ayah kandung si gadis tersebut berutang pada lelaki tua itu. Tak sanggup membayar utangnya, si ayah menawarkan anak gadisnya sebagai gantinya. Kelak, apabila si anak sudah mendapatkan haid pertamanya, lelaki tua tadi boleh menggaulinya sebagai mana mestinya suami-istri. Setelah dinikahkan, anak dan ayah itu pulang ke Jawa. Selang tiga tahun kemudian, tepat saat si gadis berusia 12 tahun, saudagar tua tadi datang menyusul, menagih janji si ayah untuk menyerahkan anaknya. “Sang ayah sedia untuk merayakan perkawinan anaknya, pada waktu itu si gadis barulah melihat wajah suaminya dan ia tidak mau ikut dengan si orang kaya itu karena tidak cinta padanya,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya “Soal Kawin Gantoeng” yang dimuat di Istri Indonesia , Januari 1941. Menyadari kesalahannya, akhirnya si ayah mengajukan gugatan cerai kepada lelaki tua itu. Celakanya, dia tak kunjung menjatuhkan talak pada istrinya itu. Malah sebaliknya, si saudagar tua itu menagih lagi uang yang dipinjam si ayah gadis tadi.   Maria yang saat itu sudah dikenal sebagai pengacara pembela kaum perempuan, disambangi paman si gadis. Dia memohon tolong agar persoalan itu bisa diselesaikan. Maria memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke muka hakim pengadilan agama. Setelah melalui proses panjang, akhirnya pihak keluarga si gadis setuju untuk membayar pihak suami dengan sejumlah uang yang menurut istilah Maria disebut “menebus talak”. Kasus tersebut menjadi catatan bagi Maria Ullfah dan gerakan perempuan saat itu untuk menetapkan batas usia pernikahan. Batas Usia Minimal dalam Undang-Undang Persoalan pernikahan paksa dan pernikahan di bawah umur ini telah menjadi isu besar dalam gerakan perempuan di Indonesia. Setelah Kongres Perempuan Indonesia ketiga pada 1939, Ny. Sri Mangunsarkoro mengagas berdirinya Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Maria Ullfah ketuanya. Tugas lembaga tersebut mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun undang-undang perkawinan. Perjuangan untuk menyusun undang-undang yang melindungi perempuan dalam soal perkawinan sudah dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia kedua di Batavia, 20-24 Juli 1935. Usaha itu sempat terhenti pada zaman Jepang. Kembali diteruskan pada era kemerdekaan. Pada 1950 atas desakan gerakan perempuan, pemerintah kembali meneruskan penyusunan Undang-Undang Perkawinan. Untuk keperluan itu, pemerintah membentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Dua hal yang paling sering diperdebatkan dalam panitia ini adalah tafsir terhadap poligami dan usia minimal pasangan untuk menikah. Maria dan gerakan perempuan yang tergabung di dalam konfederasi Kongres Wanita Indonesia (Kowani) mengusulkan agar usia minimum pasangan calon pengantin adalah 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki. Dalam wawancara proyek dokumentasi arsip sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia, Maria menuturkan pada 1 Desember 1952 panitia sudah menyampaikan RUU Perkawinan. Dalam RUU itu disebutkan usia minimal menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun untuk perempuan. Rancangan tersebut merupakan hasil kompromi dengan berbagai pihak. Menurut Cora Vreede-De Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian panitia penyusunan undang-undang itu berkepentingan untuk menyusun sebuah peraturan perkawinan yang berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa perkecualian dengan berdasar pada Pancasila.  Pada April 1954 setelah melewati berbagai perdebatan soal usia minimal dan poligami, panitia menyampaikan rancangan kepada menteri agama. Namun RUU perkawinan itu kembali macet. Baru pada September 1957, Ny Soemarie, anggota DPR, berinisiatif membawa rancangan itu ke parlemen. Usia minimal pernikahan tetap 15 tahun untuk perempuan dan 18 tahun untuk laki-laki.  Semenjak 1957, lagi-lagi pembahasan UU Perkawinan macet. Ditambah suasana politik dalam negeri yang tak kunjung reda dari pergolakan. Setelah rezim berganti dari Sukarno ke Soeharto, gerakan perempuan kembali membahasnya. Pada 19 dan 24 Februari 1973, tokoh-tokoh Kowani termasuk Maria Ullfah menemui DPR. Pokok pembicaraan dalam rapat dengar pendapat itu menyepakati bahwa perkawinan harus hasil kesepakatan sukarela antara calon suami dan istri. Ini menghindari adanya kemungkinan kawin paksa dari pihak-pihak di luar pasangan tersebut. Batas usia perkawinan disepakati sekurangnya 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk perempuan. Peserta rapat sepakat bahwa perkawinan berasas monogami dan persamaan hak di dalam pengajuan gugatan cerai baik pada istri maupun suami.   Setelah hampir 30 tahun berjuang memiliki sebuah Undang-Undang Perkawinan, akhirnya pada 22 Desember 1973, tepat pada peringatan Hari Ibu, DPR mengetuk palu pengesahan RUU Perkawinan. Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Perkawinan No. 1/1974. Namun UU Perkawinan itu tidak mengakomodasi usulan gerakan perempuan tentang usia minimal dalam perkawinan, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Menurut Maria, pembatasan usia itu tidak lagi ideal, bahkan untuk era tahun 1970-an pun. Pada 18 Juni kemarin Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Yayasan Kesehatan Perempuan untuk menaikkan batas usia minimal bagi perempuan. Penolakan MK tersebut sekaligus melanggengkan pembatasan usia minimal yang bahkan pada era 1970-an tidak lagi ideal.

  • sah Pinah, Babu Bumiputra yang Bikin Belanda Gempar

    PINAH hanya bisa pasrah. Tak bisa baca tulis, tak punya uang, dan tak punya kenalan, famili, atau teman di negeri Belanda membuatnya tak punya pilihan selain tetap tinggal bersama majikannya yang “buas.” Sebagai babu (pembantu rumah tangga) yang didatangkan langsung dari Jawa, gadis berusia sepuluh tahun itu harus siap sedia 24 jam. Majikannya memperlakukannya dengan kasar. Dia hanya mendapat roti kering dan air dingin meski musim dingin. Sandangan pun hanya kebaya dan sarung yang dibawa dari kampung halaman. Berita Pinah yang malang sampai ke banyak telinga. Beberapa orang bersimpati meminta izin untuk merawatnya, namun majikannya malah marah. Alasannya, dia mengeluarkan banyak uang untuk mendatangkan Pinah. Oleh karena itu, Pinah harus merasakan dirinya sebagai budak. Pinah salah satu dari ratusan bumiputra yang menjadi babu di negeri Belanda. Banyak dari mereka dibawa oleh majikan yang pulang atau sekadar liburan. Keintiman dan kepercayaan di antara keluarga majikan dan babunya yang membuat para majikan lebih memilih membawa babu mereka ketimbang mencari babu baru yang belum mereka kenal. “Di mata anak-anak Eropa, pengabdian baboe untuk mereka adalah tak terbatas,” tulis Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas. Namun, tak sedikit pula babu yang didatangkan ke Belanda. Tak punya kekuatan hukum, status mereka tak ubahnya budak. “Dalam banyak hal orang-orang pribumi itu diperlakukan dengan cara yang mengingatkan orang pada Zaman Pertengahan di Eropa, ketika tuan budak dapat melakukan apa saja terhadap para budaknya,” tulis A. Muhlenfeld, seorang amtenar Hindia Belanda, dalam artikelnya sebagaimana disitir Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah . Alpanya perhatian pemerintah salah satunya karena tak adanya catatan sipil para babu itu. Para majikan atau agen tak mendaftarkan mereka ke dinas sipil lantaran mereka biasanya tinggal hanya untuk sementara. Kantor-kantor pemerintah pun membiarkan dan enggan mencatat karena hampir semua babu itu tak tahu tanggal kelahiran dan tak punya nama keluarga. Akibatnya, selain jumlah para babu tak diketahui pasti, status plus hak mereka pun tak jelas. Hal itu menimbulkan celah bagi para majikan untuk memperlakukan mereka sewenang-wenang. Seorang yang bersimpati kepada Pinah lalu berkirim surat kepada Muhlenfeld, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang punya perhatian pada nasib bumiputra yang kebetulan pada Maret 1916 sedang cuti ke Belanda. Dia langsung mendatangi C. Th. van Deventer, penggagas Politik Etis, untuk meminta masukan. Van Deventar tak memberinya solusi, justru memintanya mencari pemecahan masalah yang sudah sering didengarnya itu. Selain mengirimkan sepucuk nota yang menerangkan keadaan pilu para babu di Belanda kepada Kementerian Penjajahan, Muhlenfeld juga membawa persoalan tersebut ke publik. Artikelnya di majalah KolonialeStudien, “Nasib Para Babu Pribumi yang Tinggal di Nederland”, bukan hanya membuat majikan Pinah kena “tembak”, tapi mata para birokrat juga terbelalak. Selama ini para birokrat membiarkan kasus yang mereka ketahui itu sehingga Pinah dan ratusan babu lain harus menjalani hari-hari yang berat. Dalam artikelnya, Muhlenfeld mengusulkan beberapa langkah perlindungan para babu. Di antaranya pendirian penampungan sementara para babu yang menganggur dan sedang mencari pekerjaan. Dengan begitu, mereka tak mesti susah payah cari tumpangan sebelum mendapat tempat menetap atau pulang ke kampung halaman. Jauh sebelumnya, pada 1898 usul itu pernah berhasil untuk menampung para pelaut Jawa yang bekerja di maskapai pelayaran Belanda. Usul Muhlenfeld menarik dukungan kaum etis. G.J. Oudemans, utusan pemerintah yang menangani urusan pribumi di Belanda, mendukung penuh usulan tersebut. Pada Mei 1916, dia mulai menjalankan usahanya yang dia sebut tempat perawatan orang Hindia yang sementara tinggal di Belanda. Selain mendorong pendataan pribumi dan Tionghoa oleh pemerintah Belanda, Oudemans juga mengadvokasi pasangan suami-istri Soekantadisastra-Itji asal Sunda. Pasangan itu menjadi pesakitan lantaran tak mendapatkan hak penginapan dan pakaian sesuai yang tertera dalam kontrak. Namun advokasi itu tak berhasil meski sudah ada gugatan ke pengadilan. Seusai Soekantadisastra keluar rumah sakit akibat TBC, mereka pulang ke Hindia pada Februari 1920. Seminggu setelah tiba, Soekantadisastra meninggal. Istrinya lalu kerja menjadi babu pada sebuah keluarga Belanda di Nice, Prancis. Perhimpunan Oost en West pun terpantik mewujudkan cita-citanya yang sudah lama diimpikan. Dengan bantuan pemerintah, pada 1919 lembaga itu mendirikan persinggahan untuk menampung dan menolong para babu di Belanda. Nasib Pinah mulai berubah setelah masalah babu muncul ke publik. Majikannya menitipkan dia ke rumah sanak-famili di luar negeri, di mana dia mendapatkan perlakuan baik. Ketika dia kembali ke majikannya dan mendapat perlakuan tak manusiawi, kejaksaan Amsterdam tak lagi tinggal diam. Melalui Dewan Perwalian Amsterdam II, Pinah lalu dipindahkan ke Lembaga KR Santo Joseph-Nazareth di Venlo. Meski tak bisa mendapatkan kesempatan pulang ke Hindia, di sana Pinah mendapatkan perlakuan manusiawi dan mendapat pendidikan singkat untuk dipersiapkan sebagai tenaga babu atau pelayan toko.

  • Bekas Kantor Redaksi De Locomotief di Semarang Dihancurkan

    SATU lagi bangunan yang punya nilai penting bagi sejarah pers dan pergerakan nasional Indonesia menemui ajal. Bangunan bekas kantor redaksi harian De Locomotief di Jalan Kepodang (dulu van Hogendorpstraat ), Semarang itu diduga hancur karena sengaja dirobohkan oleh pemiliknya. Pantauan Historia di lapangan (Jumat, 19/6) bangunan yang roboh bernomor 20. Adapun bangunan bernomor 22 yang berada di sebelahnya, dan masih bagian dari kantor redaksi koran tersebut, dalam kondisi rusak. Menurut Stn, tukang parkir di Jalan Kepodang, bangunan berlantai dua itu roboh sekitar tiga pekan lalu. Gedung itu roboh setelah sehari sebelumnya, pemilik membongkar balok-balok kayu penopang lantai dua. Tindakan pemilik, ujar Stn, didasari oleh kejengkelan terhadap ulah pencuri di gedung itu. “Sebelum sengaja dibongkar, papan-papan yang jadi alas lantai II dipreteli pencuri. Kejadiannya sampai dua kali. Mungkin karena jengkel dan khawatir kayu-kayunya diambil semua oleh pencuri, pemilik memutuskan untuk ‘menyelamatkannya’ sendiri. Balok-balok penopang diambil, sehingga bangunan yang tak punya kekuatan itu roboh pada keesokan hari,” kata Stn. Namun menurut Stn, perobohan bangunan itu diduga dilakukan atas sepengetahuan pihak berwenang. Informasi tersebut dia dapatkan dari informasi orang kepercayaan pemilik bangunan. Stn mengaku kerap melihat orang kepercayaan itu datang ke lokasi sambil membawa bendel kertas yang dia duga berkas perizinan pembongkaran. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo, dkk., dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia , setelah Batavia (Jakarta) dan Surabaya, Semarang merupakan kota ketiga yang penting bagi kelahiran pers Belanda dengan korannya De Locomotief . Awalnya bernama Semarangsch Advertentieblad yang terbit pada 1851 (sumber lain menyebut 1845), kemudian berganti nama menjadi De Locomotief pada 1863. Setelah terbit mingguan, dalam waktu singkat De Locomotief dapat terbit dua kali seminggu, dan akhirnya menjadi harian pada 1879. Dalam waktu 15 tahun, koran ini berpindah tangan dua kali, tetapi peredarannya makin bertambah. Sejak 1866, surat kabar ini tidak mendapat saingan dari surat kabar lain di sekitar Semarang. Beberapa surat kabar yang muncul kalah bersaing, dan akhirnya malah dibeli oleh De Locomotief . Meski terbit di daerah, De Locomotief punya jangkauan pembaca di seantero Hindia Belanda. Tak hanya itu, ia juga punya pengaruh kuat di lapangan politik. De Locomotief merupakan penyokong utama politik etis di Hindia Belanda. “Ia merupakan surat kabar yang besar pengaruhnya bagi pembaruan politik kolonial,” tulis Abdurrachman. “ De Locomotief adalah pembawa suara ‘politik etika’ yang terutama didukung oleh gabungan perusahaan perdagangan impor. Sebaliknya, para eksportir dan kantor-kantor administrasi perkebunan menolak gagasan peningkatan kemakmuran penduduk bumiputra. Mereka lebih suka membaca Soerabajaasch Handelsblad .” Sedangkan, menurut mantan wartawan dan kurator Jim Supangkat, pembaca De Locomotief beragam mulai dari para pedagang, pengusaha perkebunan, industrialis, masyarakat pribumi terpelajar, dan para pegawai di kalangan pemerintahan. “Pengaruh ini membuat visi De Locomotief diakui sebagai visi masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu,” tulisnya dalam CP Biennale 2005: Urban/Culture . Pieter Brooshooft, redaktur utama De Locomotief adalah seorang reformis yang peduli pada hak-hak pribumi, khususnya hak-hak para petani dan buruh perkebunan. Dia melihat mereka sebagai masyarakat yang berjasa mendatangkan keuntungan, namun diabaikan kesejahteraannya. “Brooshooft adalah pencetus gagasan Politik Etis,” tulis Jim. Istilah Politik Etis berasal dari tulisan Brooshooft: “Die Etische Koers in de Koloniale Politiek” (1901). Dasar pemikiran Politik Etis sudah bergulir sejak cultuur stelsel (tanam paksa) dikritik dan dianggap sebagai penindasan. Politik Etis merupakan kelanjutan pemikiran ini, suatu penyusunan konsep politik yang menurut pendukungnya harus dijalankan Kerajaan Belanda sebagai tanggung jawab moral. De Locomotief –yang berusia lebih dari seabad (1851-1956)– menjadi media massa pertama yang berani secara terus menerus mempersoalkan hak-hak pribumi.

  • Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang

    Pernah sekali Padang “ditawan” selama dua minggu lebih oleh Prancis. Bukan oleh tentaranya, tetapi segerombolan bajak laut. Dipicu perang Revolusi Prancis, wilayah pantai barat Sumatra menjelma menjadi teater pertempuran. Corsairs , bajak laut yang diberi izin oleh Prancis untuk merampok musuh-musuh Prancis, bermunculan dan menebar teror. Salah satunya adalah Francois-Thomas Le Meme. Le Meme lahir di Saint-Malo, barat laut Prancis, pada 13 Januari 1764. Dia mulai berdagang di Hindia pada 1791. Dari pelabuhan di Mauritius, sebelah timur Madagaskar, dia berdagang ke Jawa dan Sumatra sebagai kapten kapal Hirondelle . Ketika perang Revolusi Prancis berkobar di Eropa, jiwa revolusionernya terpanggil. Hirondelle diubahnya menjadi kapal bajak laut. Per Juli 1793, Hirondelle meneror kapal dagang Inggris (EIC) dan Belanda (VOC) di pantai barat Sumatra. “Sebulan sesudah itu dia merampok kapal VOC di Selat Sunda yang kebetulan sedang dalam perjalanan dari Batavia ke Padang. Hari itu juga direbut lagi dua kapal dagang kepunyaan orang Tionghoa dan besoknya sebuah lagi kepunyaan Belanda. Le Meme mendapat banyak barang rampasan yang tinggi harganya,” tulis Rusli Amran dalam Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang Volume 1 . Keberhasilan merampok kapal Inggris, William Thesied , pada 25 Agustus 1793 membuat Le Meme dipromosikan ke kapal Ville de Bourdeaux . Dia mengarahkan awaknya berlayar ke Padang, kota dagang VOC yang penting di pantai barat Sumatra. Sudah sejak 1663, VOC bercokol di sana dan memonopoli berbagai komoditas, terutama emas. Meski begitu pertahanan Padang lemah. Ketika Ville de Bourdeaux yang berawak 200 orang dan dipersenjatai 32 meriam itu melego jangkarnya di sana, tak ada perlawanan yang cukup berarti. P.F. Chassen, Opperkoopman (kepala pedagang) VOC menyerah. Gerombolan Le Meme menyatakan sejak itu juga Padang dan daerah lain di pantai barat Sumatra yang dikuasai VOC menjadi daerah taklukan Prancis. Padang diduduki selama 16 hari. Saat itu pertengahan Desember 1793. “Pernyataan itu ditandai dengan pengumandangan lagu Marseillaise serta pengibaran bendera tricolor di Padang,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an . Padang dijarah. Namun untuk ukuran perompak, sikap gerombolan Le Meme terbilang baik. Kecuali meminta makan, mereka tidak banyak berbuat onar. Ketika penduduk Padang hanya mampu menyediakan 25.000 ringgit dari ransum sebesar 70.000 ringgit yang dituntutnya, Le Meme tidak menghukum mereka. “Singkatnya, Le Meme tidak semata-mata datang sebagai perampok atau bajak laut, tetapi masih dipengaruhi oleh cita-cita besar revolusi (rakyat) yang baru saja terjadi di negeri mereka,” tambah Rusli. Namun ulah orang-orang Tionghoa yang menolak patungan ransum akhirnya membuat Le Meme naik pitam juga. Dibantu penduduk lokal yang sama kesalnya, dia memerintahkan untuk membakar rumah orang-orang Tionghoa dan mengusir mereka keluar kota. Di hari ke-16, Le Meme meninggalkan Padang dan kembali ke Mauritius. Karir perompaknya kian melonjak. Namanya dielu-elukan di Prancis. Pun sepeninggal Le Meme, serangan corsairs lainnya tidak berhenti. “Di tahun yang sama, tiga corsairs dari Mauritius sudah menyerang tiga pos Inggris di Bengkulu dan Natal. Pada 1794, Natal dan Tapanuli sempat diduduki lagi oleh para corsairs ,” tulis Anthony Reid dalam The French in Sumatra and the Malay World, 1760-1890 . Petualangan Le Meme berakhir. Dia tertangkap dan meninggal pada 30 Maret 1805 di kapal Waltherstow , yang tengah membawanya ke Inggris untuk diadili. Ketika Mauritius berhasil dikuasai Inggris pada 1810, aktivitas para corsairs terhenti. Padang berada di bawah pemerintahan Inggris ketika perang Napoleon berkobar di Eropa pada 1803, sebelum akhirnya dikembalikan lagi ke Belanda melalui Konvensi London pada tahun 1814.

  • Membersihkan Najis dari Film

    MENYAMBUT Ramadan, stasiun televisi dan bioskop menayangkan film-film bertema Islam. Film-film itu menyampaikan ajaran Islam melalui ide cerita yang beragam. Kesamaan film-film itu terletak pada gagasan bahwa film hanya berupa media dan Islamlah pesannya. Berpuluh tahun lampau, orang mempertentangkan dua hal ini. Film masuk ke Hindia Belanda pada 1900. Khalayak Hindia Belanda menerima kehadiran film. Hari demi hari, film berkembang makin menarik. Dari bisu menjadi bersuara. Semula hanya dokumenter kemudian beranjak mempunyai jalan cerita. Omongan sehari-hari penduduk Hindia Belanda pun mesti bersinggah pada perihal film. Lalu selingkar orang berpaham kaku mengkhawatirkan perkembangan film dalam masyarakat. Menurut mereka pergi ke bioskop menonton film perbuatan tak berfaedah. Film mulai menampilkan adegan percumbuan, pergaulan lelaki dan perempuan bukan muhrim, cerita fantasi, dan mempertontonkan lekuk tubuh perempuan. Orang berpaham kaku akhirnya memvonis film sebagai perusak moral masyarakat, barang berbahaya. Menghadapi vonis terhadap film, ulama Islam belum bersikap. “Hingga saat ini, saya belum membaca satu karangan dari seorang pemimpin agama Islam di Indonesia yang menjatuhkan hukum terhadap film dengan secara radikal,” tulis Soerono, seorang redaktur majalah Islam, dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Djuli 1941. Soerono mencoba meredakan vonis sepihak terhadap film. Dia menggagas pemanfaatan film untuk kepentingan umat Islam. Dia mengambil film Hollywood buat contoh. “Dari Hollywood kita kerap sekali dibikin tercengang dengan pertunjukan filmnya yang 100% berisi propaganda agamanya,” tulis Soerono. Soerono tahu masyarakat Indonesia mempunyai khazanah cerita Islam berlimpah. Menurutnya, pembuat film bisa mengambil cerita itu untuk film. Soerono juga menyarankan pembuat film berdiskusi dengan pemimpin pergerakan Islam. Tujuannya membedakan film dari ceramah agama dan menghindari salah paham dalam menjabarkan Islam. “Demikian itulah yang saya kehendakkan dengan film propaganda agama. Bukannya terang-terangan satu film dengan titel ‘Masuklah Islam’, ‘Jadilah Orang Islam’, dan sebagainya. Cukup dalam cerita dicantumkan satu dua peristiwa suruhan agama,” tulis Soerono. Soerono yakin film bertema Islam bakal segera hadir dan penonton bisa menjadikan kegiatan ke bioskop lebih berfaedah. “Agar sekalipun mereka berada di gedung bioskop dengan mendengar musik-musik, tetapi jiwanya masih tetap berada dalam semangat suasana keislaman,” tulis Soerono dalam Pertjatoeran Doenia dan Film , 1 Desember 1941. Tapi Soerono harus memendam keyakinannya beberapa lama. Sebab pembuat film belum mampu menghadirkan film bertema Islam. Catatan Khrisna Sen, pakar kajian media dan Indonesia kontemporer, menunjukkan film bertema Islam mulai semarak pada 1960-an. Situasi politik mengharuskan para seniman menunjukkan warna kultural dan politiknya. Muncullah film Badja Membara pada 1961. “Film ini menunjukkan Islam sebagai cahaya perubahan,” tulis Khrisna Sen dalam Indonesian Cinema : Framing the New Order . Asrul Sani, Usmar Ismail, dan Djamaludin Malik melanjutkan pembuatan film bertema Islam. Mereka membuat Tauhid . “Film mempunyai nilai keislaman, dan juga menampilkan elan vital revolusioner saat itu, sebagaimana Sukarno dengung-dengungkan,” tulis Hairus Salim dalam “Indonesian Muslim and Cultural Networks” termuat di Heirs to World Culture editan Jennifer Lindsay dan Maya HT Liem.   Usaha Usmar Ismail dan kawan-kawan mendapat serangan. Sekelompok orang berpaham kaku menajis-najiskan film. Usmar pun membalas, “Buruk baiknya sebuah film bukanlah bergantung kepada filmnya, tetapi kepada orang yang membikinnya,” tulis Usmar dalam “Siapa yang Najis, Film atau Pembikinnya?” termuat di Usmar Ismail Mengupas Film . Sekarang serangan terhadap film berkurang. Agama dan film bisa muncul bersamaan.

  • Gedung De Locomotief Belum Masuk Daftar Bangunan Bersejarah

    MESKI berada di kawasan Kota Lama, bangunan eks kantor harian De Locomotief yang baru-baru ini roboh, ternyata tak tercatat dalam daftar inventarisasi bangunan bersejarah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang. Dengan demikian, status bangunan itu belum dilindungi oleh Surat Keputusan Wali Kota Semarang. Hasil penelusuran Historia menunjukkan, bangunan di Jalan Kepodang Nomor 20-22 Semarang itu tak tercatat dalam dua buku inventarisasi bangunan bersejarah yang diterbitkan pemerintah kota bersama Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro. Inventarisasi pertama dilakukan pada tahun 1994-1995. Adapun inventarisasi kedua pada 2006. Anehnya, di kedua buku itu, kantor harian De Locomotief justru disebut berada di Jalan Kepodang Nomor 34, yang saat ini menjadi Kantor Bank Mandiri. Padahal di lembaran koran De Locomotief tertulis dengan jelas alamat kantor redaksi koran penyokong kebijakan politik etis itu: “N.V. Dagblad De Locomotief van Hoogendorpstraat 20-22 Semarang.” Sampai sekarang, penomoran gedung di jalan yang sekarang bernama Jalan Kepodang itu tidak berubah. Kasi Tata Tuang dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, Nik Sutiyani, mengakui adanya kesalahan dalam proses inventarisasi bangunan bersejarah yang dilakukan oleh lembaganya. Dia berjanji akan merevisi kesalahan itu dan memasukkan bangunan lama di Jalan Kepodang 20-22 ke dalam daftar inventarisasi. “Kalau ada kesalahan itu wajar, karena data tentang bangunan lama di Semarang sangat minim. Yang penting kita akan terus merevisi dan menambah daftar bangunan bersejarah secara berkala,” ujar Nik.

  • Inilah 8 Perempuan Gebetan Penyair Chairil Anwar

    Chairil Anwar, penyair besar yang eksentrik dan diakui sebagai pembaru puisi Indonesia. Selama hidupnya yang relatif muda, dia menghasilkan 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Beberapa puisinya dibuat untuk perempuan-perempuan yang mengisi hatinya. Kendati penampilannya urakan, namun Chairil dikenal sebagai pemuda yang banyak penggemarnya terutama di kalangan gadis-gadis. Dia digemari karena rupanya bagus, kulitnya putih dan wajahnya menyerupai Indo. Chairil juga dikenal “pintar” memikat gadis-gadis karena dia mudah berkenalan dengan siapa saja, lelaki maupun perempuan. Chairil pernah tertarik pada beberapa perempuan. “Di antara gadis yang pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat,” tulis Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar . Itulah sebabnya, nama-nama gadis itu diabadikan dalam sejumlah sajak Chairil. Paling sedikit, nama-nama gadis itu disebut dengan tiga cara: disebut dalam baris-baris sajak (Ida); dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, dan Tuti); dan dijadikan sebagai sajak persembahan (Sumirat, Sri Ajati, dan Karinah Moordjono). Berikut ini kisah para perempuan tersebut. Ida Nasution Perempuan pertama yang disebut Chairil dalam sajaknya, “Ajakan” (Februari 1943) adalah Ida. Dia kembali disebut dalam sajak “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948). Chairil juga menyebut berkali-kali nama Ida dalam “Pidato Chairil Anwar 1943” yang diucapkan kepada Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1948. Ida Nasution lahir tahun 1924. Dia merupakan esais yang cemerlang dan penerjemah yang berbakat. Dia pernah menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het Inzicht dan Opbouw. Dia kemudian bersama Chairil mengelola “Gelanggang,” ruang kebudayaan dalam majalah Siasat .  Ida pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan kawan-kawannya, dia mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November 1947. Hidup Ida berakhir tragis, dia hilang dalam perjalanan Bogor-Jakarta pada 1948. Sri Ayati Chairil jatuh hati kepada Sri Ayati, penyiar radio Jepang, Jakarta Hoso Kyokam . Dia membuat dua puisi untuknya: “Hampa –kepada Sri yang selalu sangsi” (Maret 1943) dan “Senja di Pelabuhan Kecil” (1946). Pada 2007, sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab berhasil menemui Sri di usia 88 tahun, dan menuliskan kisahnya, “Bertemu Pujaan Chairil Anwar.” Sri tahu Chairil membuat sajak “Senja di Pelabuhan kecil” untuknya dari almarhumah Mamiek, anak angkat Sutan Sjahrir yang masih saudara sama Chairil. Sri pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jalan Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat. “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Dia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat ). Dia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenang Sri, yang juga seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta. “Sri mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya... Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati,” tulis Alwi Shahab. Dian Tamaela Pada 1946, Chairil menulis puisi “Cerita Buat Dien Tamaela.” Puisi ini dia persembahkan untuk  Dian Tamaela, putri dokter Lodwijk Tamaela dengan Mien Jacomina Pattiradjawane. Mereka pernah menetap di Oosterweg (sekarang Jalan Pahlawan) Mojokerto, Jawa Timur. “Penyair Chairil Anwar ini pernah menaruh hati kepada almarhumah Dien Tamaela, itu berlangsung di masa pendudukan Jepang,” tulis Purnawan Tjondronegoro dalam “Chairil Anwar Meminang Calon Istri Setelah Ketemu di Cilincing.” Dokter Tamaela adalah pejuang kemerdekaan dari organisasi Jong Ambon bersama Alexander Jacob Patty, Johanes Latuharhary, dan lain-lain. Menurut I.O. Nanulaitta, penulis biografi Mr. Johanes Latuharhary , dokter Tamaela mempunyai dua putri, Dien Tamaela dan dokter Deetje Tamaela. “Dien meninggal dalam usia masih remaja. Persahabatannya dengan penyair Chairil Anwar dikenangkan dan diabadikan oleh pemuda itu dalam sajaknya ‘Beta Pattirajawane’,” tulis Nanulaitta. Maksudnya, sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang menyebut berkali-kali Beta Pattirajawane, ibu Dien yang tidak menyukai Chairil. Untuk mengenang kematian Dien, Chairil mempersembahkan puisi “Cintaku Jauh di Pulau” yang paling disukai anaknya, Evawani Alissa Ch. Anwar. Bait keempat puisi yang ditulis tahun 1946 ini berbunyi: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang sama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!  Anehnya, sumber keluarga menyebut Dien meninggal tahun 1948. Gadis Rasid Chairil menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” di majalah mingguan, Siasat pada 1948. Di sini dia mengenal Gadis Rasid, wartawan Siasat . Chairil menaruh hati pada Gadis dan mempersembahkan puisi untuknya berjudul “Buat Gadis Rasid” pada 1948. “Sajak itu ditulis niscaya setelah Chairil berkenalan dengan Gadis yang tatkala itu juga menjadi wartawan surat kabar Pedoman. Karena perhatiannya yang luas terhadap kesusastraan dan kebudayaan umum, Gadis mengenal elite sastra Indonesia modern pada waktu itu. Tak mengherankan bahwa dia pun kenal baik dengan Chairil,” tulis Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari . Gadis berhenti sebagai wartawan Pedoman pada 1950-an karena menikah dengan Henk Rondonuwu. Setelah dikaruniai seorang anak, mereka bercerai. Gadis kemudian bekerja di kantor perwakilan PBB di Jakarta, mengajar di Sekolah Tinggi Publisistik dan Akademi Penerangan, asisten peneliti di Brookings Institute Amerika Serikat, wartawan lepas untuk berbagai media luar negeri, anggota Badan Sensor Film, dan aktif di dunia perbukuan sebagai direksi Penerbit Djambatan dan sekretaris eksekutif IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Gadis meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil: 28 April 1988.               Tuti Artic Seperti kepada Gadis Rasjid, Chairil juga mempersembahkan sebuah puisi untuk “Tuti Artic” (1947). Menurut Asrul Sani dalam Derai-derai Cemara , pergaulan Chairil di Jakarta dengan anak-anak Indo dan rajin ke pesta. Dia akrab dengan tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat mangkal pelajar-pelajar sekolah Belanda MULO, HBS, atau AMS kala itu, seperti misalnya di sebuah toko es krim, Toko Artic, yang berada di Jalan Kramat Raya, yang kemudian kita temui dalam sajaknya “Tuti Artic.” Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic; sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca cola/ Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetak/Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa. Hubungan Chairil dan Tuti agaknya sesaat: Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar/Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Karinah Moordjono Karinah Moordjono adalah putri seorang dokter di Medan pada tahun 1930-an. Chairil mengenalnya ketika masih tinggal di Medan, sebelum pindah ke Jakarta pada 1941. Ketika ditahan polisi Jepang pada 1943, Chairil terkenang pada Karinah, seperti terbaca dalam sajak “Kenangan” (19 April 1943). “Jalinan ‘kenangan’ apa yang terjadi antara Chairil dan Karinah, tentu hanya mereka berdua yang tahu,” tulis Pamusuk Eneste. Sumirat Sumirat adalah perempuan yang paling tertambat dalam hati Chairil. Dalam “Sajak Putih” (18 Februari 1944), Chairil mempersembahkan puisinya itu “buat tunanganku Mirat.” Puisi “Dengan Mirat” (8 Januari 1946) diubah judulnya menjadi “Orang Berdua” dalam kumpulan sajak Deru Campur Debu. Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Gelora Cinta Chairil Anwar pada Pacarnya Mirat,” Intisari, April 2002, salah satu sajak Chairil terindah adalah “Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis pada 1949, namun dibubuhi keterangan “di pegunungan 1943.” “Berdasarkan data bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946, dan mendapat putri Evawani Alissa pada 1947, adalah suatu kenyataan betapa Chairil terkenang-kenang kepada seorang perempuan dari masa lajangnya setelah berkeluarga,” tulis Seno. Chairil bertemu Mirat pada 1943 di Pantai Cilincing Jakarta, tempat piknik masa itu. Mereka berpacaran; menonton film berdua. Ada kesamaan dalam hobi mereka. Mirat suka melukis, dia  belajar di sanggar Sudjojono, Basuki Abdullah, dan Affandi. “Sumirat sangat tertarik kepada kemaun keras Chairil yang tidak mengenal lelah. Pekerjaannya membuat sajak di mana-mana. Kertas-kertas penuh dengan tulisan tangannya,” tulis Purnawan. Chairil sering mampir ke rumah Sumirat di Kebon Sirih Jakarta. Mereka mendiskusikan sajak-sajak Chairil. Sumirat, seorang perempuan yang mencoba menghayati hasil karya Chairil. Ketika Sumirat pulang kampung ke Paron, suatu desa di Madiun, Jawa Timur, Chairil menyusul dan sempat tinggal beberapa hari. Ayah Sumirat, RM Djojosepoetro, memberikan restunya dengan syarat Chairil memiliki pekerjaan tetap. Chairil kembali ke Jakarta untuk tidak kembali lagi. Mereka berpisah. “Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun,” tulis Seno. Dia meninggalkan kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan, namun hancur bersama rumah Sumirat ketika Belanda menyerang Madiun. Sumirat kemudian mendengar semua tentang Chairil; bagaimana dia menikah, punya anak, menjadi penyair besar, dan mati muda. Hapsah Wiriaredja Chairil bertemu Hapsah di Karawang, jatuh cinta, lalu menikah pada 6 September 1946. Hapsah lahir di Cicurug, Sukabumi, 11 Mei 1922. Hapsah hampir menikah dengan seorang dokter, tapi Chairil begitu gigih untuk mendapatkannya. Di keluarga, menurut Evawani, anak satu-satunya Chairil-Hapsah, panggilan akrab Chairil adalah Nini. Sedangkan panggilan sayang Chairil kepada Hapsah adalah Gajah, karena badannya gemuk. Chairil pernah mengungkapkan cita-citanya, “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi menteri pendidikan dan kebudayaan,”  kata Chairil, seperti dikenang Evawani dalam Chairil Anwar Derai-derai Cemara . Cita-cita Chairil tak tercapai. Dia mati muda di usia 26 tahun 9 bulan pada 28 April 1949, karena sakit paru-paru dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Sedangkan Hapsah, yang bekerja di departemen pendidikan dan kebudayaan sampai pensiun, meninggal di usia 56 tahun pada 9 Mei 1978.

  • Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon

    18 Mei 1958, pesawat pembom B-26 milik Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Allen Lawrence Pope ditembak jatuh di Ambon. Pope, penerbang CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) terlibat dalam pemberontakan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta), yang wilayahnya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA , pada usia 25 tahun Pope sudah menjadi veteran selama empat tahun dari misi-misi rahasia berbahaya. Dia terkenal karena keberanian dan semangatnya. Pilot-pilot CIA telah mulai membombardir pada 19 April 1958. Pope melakukan misi terbang pertamanya di Indonesia pada 27 April 1958. Selama tiga pekan berikutnya, dia bersama rekan-rekannya sesama pilot CIA menyerang sasaran militer dan sipil di beberapa desa dan pelabuhan di timur laut Indonesia. Kedutaan Besar AS melaporkan bahwa ratusan warga sipil terbunuh. Direktur CIA, Allen Dulles dengan tegang menceritakan kepada Dewan Keamanan Nasional AS bahwa semua serangan bom tersebut telah mengundang kemarahan besar di kalangan rakyat Indonesia karena dituduhkan bahwa pilot-pilot AS memegang kendali. “Semua tuduhan itu benar adanya,” tulis Weiner, “tetapi Presiden Amerika Serikat dan menteri luar negeri secara terbuka membantah kabar tersebut.”  Presiden AS, Eisenhower memang ingin menjaga operasi ini tetap bisa disanggah sehingga dia memerintahkan jangan sampai warga AS dilibatkan dalam setiap operasi militer. Namun, Dulles tidak mematuhinya. Sehingga dalam sebuah laporan CIA untuk Gedung Putih dan Presiden AS, pasukan udara CIA itu digambarkan sebagai “pesawat-pesawat terbang pembangkang.”     18 Mei 1958 adalah hari yang sial bagi Pope. Didampingi operator radio JH Rantung, dia terbang dini hari di atas kota Ambon dalam operasi yang menenggelamkan sebuah kapal Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), membom sebuah pasar, dan merusak sebuah gereja. Enam warga sipil dan 17 militer tewas. Setelah itu, Pope mengalihkan serangannya ke arah konvoi ALRI yang bergerak dari pelabuhan Ambon menuju Morotai untuk melaksanakan Operasi Amphibi. Menurut Sugeng Sudarto dalam Patahnya Sayap Permesta , Operasi Amphibious Task Group 21 (ATG-21) itu, terdiri dari unsur laut dengan tujuh kapal (dua kapal pengangkut dan lima kapal Penyapu Ranjau) dan Pasukan Pendarat terdiri dari dua peleton KKO-AL, satu peleton speciale troepen (pasukan komando), dan satu Detasemen Brawijaya. Misi operasi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel KKO HHW Huhnholzs ini untuk merebut lapangan terbang Morotai, menggunakannya sebagai basis melancarkan operasi udara dan dukungan udara terhadap Operasi Merdeka menumpas Permesta. Semula para pimpinan operasi merasa ragu, jangan-jangan pesawat B-26 itu kawan. Namun, keraguan itu hilang setelah pesawat itu membuat gerakan menukik dua kali dan melancarkan tembakan dan bom, yang meleset. Kapal-kapal segera melepaskan tembakan. Tembakan dari kapal komando RI Sawega dan PR-203 RI Pulau Raas, berhasil mengenai pesawat B-26. Pope berusaha melarikan diri, membubung keatas, namun roda pesawat sebelah kiri lepas dan jatuh ke laut. Ketika mencapai 6000 kaki pesawat itu terbakar, Pope dan Rantung melompat; keduanya selamat namun kaki Pope patah terbentur ekor pesawat. Ketika B-26 jatuh, terlihat pesawat pemburu Mustang mengarah ke kapal. Demi keamanan pasukan dan kapal, pesawat itu ditembaki dan membubung keatas, membelok ke arah B-26 yang sedang meluncur ke laut, selanjutnya pesawat itu menghilang. Belakangan baru diketahui bahwa pesawat P-51 Mustang itu milik AURI yang datang untuk membantu dan dipiloti Kapten Dewanto. Menurut Weiner, dalam kantong pakaian terjunnya yang berkancing-tarik, Pope menyimpan catatan-catatan pribadinya, laporan terbang operasinya, dan sebuah kartu anggota klub perwira di Clark Field, Filipina. “Dokumen-dokumen tersebut menjelaskan identitas dirinya yang sebenarnya –seorang perwira Amerika yang membom Indonesia atas perintah pemerintahnya. Dia bisa saja langsung ditembak mati. Namun dia diadili,” tulis Weiner. Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno menegaskan, “Aku 99,9% yakin bahwa Pope seorang agen CIA.”

  • Selamat Jalan Emon, Si Anak Manja

    “Mas Boy…,” teriak Emon dengan gerak-gerik kemayu dalam film Catatan Si Boy (1987) . Nama Didi Petet melambung setelah memerankan Emon, yang oleh banyak orang disebut sebagai peran bencong. Padahal, Didi berulang kali menyatakan bahwa peran Emon bukanlah banci. “Didi Petet memerankan tokoh Emon, si anak manja (bukan bencong seperti dugaan sementara orang) sangat berhasil,” tulis majalah Pertiwi , 1989. Selain Didi, aktor yang juga memainkan peran sebagai gay adalah Ucok Hasyim Batubara (Cok Simbara) dalam Terang Bulan di Tengah Hari (1987) dan Mathias Muchus dalam Istana Kecantikan (1988). Namun, Mathias memerankan Nicko yang digambarkan sebagai lelaki tulen, tidak klemar-klemer seperti bencong. Film ini dianggap sebagai film Indonesia pertama yang bertema homoseksualitas. Berkat perannya ini, Mathias terpilih sebagai aktor terbaik dalam Piala Citra Festival Film Indonesia 1988, sedangkan Didi terpilih sebagai pemeran pembantu pria terbaik lewat film Cinta Anak Zaman. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih , peran gay yang dimainkan Didi Petet dan Cok Simbara jauh di bawah yang dimainkan Muchus. “Gay-nya Muchus tampil secara utuh dan dari dalam, dua yang lain masih terasa pisikal,” tulis Salim Said. Namun, sampai sekarang justru Emon-lah yang menjadi representasi gay di layar kaca atau lebar. Perannya sebagai penghibur untuk ditertawakan. Seperti halnya Muchus, Didi pun diganjar penghargaan sebagai Aktor Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 1988 karena perannya sebagai Emon. Didi kembali meraih penghargaan serupa pada FFB 1989 dan 1994 melalui film Gema Anak Kampus 66 dan Si Kabayan Cari Jodoh . Sejak itu, dia berulang kali masuk nominasi sebagai aktor utama atau pembantu dalam ajang Piala Citra dan Indonesian Movie Award. Didi Petet bernama asli Didi Widiatmoko, lahir di Surabaya pada 12 Juli 1956. Dia meninggal dunia pada Jumat, 15 Mei 2015, karena sakit asam lambungnya naik akibat kelelahan. Nama “Petet” adalah julukannya sejak masa sekolah dasar sampai menengah di Bandung. Banyaknya nama Didi membuat teman-temannya memanggil dengan tambahan “Petet” lantaran matanya agak sipit. Didi melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan lulus pada 1983. Di sini dia menemukan tempat yang tepat untuk mengembangkan bakatnya dalam seni peran. Pada 1987, Didi bersama Sena A. Utoyo mendirikan grup pantomim: Sena Didi Mime. Anggotanya kurang lebih 50 orang dan yang aktif sekira 30-an. Sekretariatnya di kampus IKJ karena sebagian besar anggotanya mahasiswa IKJ dan Sena adalah salah satu staf pengajar di IKJ. “Keduanya dwi-tunggal perpantomiman Indonesia, khususnya Jakarta. Berkat keduanya penampilan grup selalu menghibur dan humor. Tema yang disajikan selalu dekat dan intim dengan lingkungan masyarakat,” tulis Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia . Setelah Sena meninggal, Didi melanjutkan Sena Didi Mime bersama Yayu Aw. Unru dan yang lainnya. Selain pantomim, dia juga merambah dunia film dan sinetron. Di luar itu, dia pernah menjadi pengajar di Jurusan Teater IKJ dan menjabat dekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ.   Didi membintangi film layar lebar pertamanya Semua Karena Ginah pada 1985. Selama karirnya, dia main di lebih dari 50 film, yang terakhir Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015). Selain sebagai Emon, Didi juga terkenal sebagai Kabayan dalam empat film tentang si Kabayan (1989, 1991, 1992, 1994). Didi juga main di 12 sinetron, terakhir dan sedang tayang adalah Preman Pensiun (2015).

  • Asal-Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta

    Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah Buwana menjadi Bawana. Berbagai kalangan mengomentari penghilangan gelar tersebut. Namun, yang terpenting adalah sabda ini menyangkut suksesi di Kesultanan Yogyakarta, di mana sultan diduga hendak mengangkat putrinya sebagai penggantinya karena tak memiliki putra mahkota. Adik-adik sultan pun menentangnya. Bagaimana sejarah gelar khalifatullah melekat pada sultan-sultan Yogyakarta? Pada awalnya, raja-raja Mataram memakai gelar panembahan, sultan, dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim utusan ke Makkah untuk meminta gelar sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Makkah, sehingga namanya menjadi Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir. Raja-raja Martaram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan . Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar khalifatullah . Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 , gelar baru ini, khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia. Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan . “Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama . Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya tentang Herman Willem Daendels, di Universitas Indonesia tahun 2005. Anehnya, menurut Lombard, Sunan Surakarta tidak pernah menuntut gelar khalifatullah, barangkali karena mereka merasakan bahwa gelar baru itu secara tersirat membatasi kekuasaan mereka; fungsi raja disandingi ciri-ciri moral tertentu berdasarkan Islam. Dalam Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta , Teuku Ibrahim Alfian menguraikan arti gelar itu: Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama , berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia. Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Reinventing Indonesia , meskipun raja-raja Jawa memakai gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah , namun dipandang oleh sementara pihak sebagai pusat tradisi kejawen (mistisisme Jawa) yang tidak mencerminkan tradisi Islam. Sementara yang lain memandang bahwa tradisi kejawen dengan pusat kehidupan kerajaan di Jawa adalah Islam dalam perspektif Jawa. Sementara itu, menurut Alfian, gelar yang disandang oleh Sultan Yogyakarta mengungkapkan konsep keselarasan. “Keraton Yogyakarta seperti kerajaan-kerajaan Jawa dan kerajaan yang bersifat ketimuran pada umumnya menganut konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama,” pungkas Alfian.

bottom of page