Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cerita Kampung Kumuh dari Zaman Kolonial
HENDRIK Freerk Tillema, seorang apoteker Belanda, tiba di Semarang pada awal abad ke-20. Dia bekerja pada Samarangsche Apotheek. Tiga tahun kemudian, dia berkesempatan keliling Semarang demi memenuhi hasratnya terhadap perbaikan kesehatan. Dia kaget melihat keadaan kampung-kampung di Semarang. “Banyak yang perlu dikerjakan di kota Indonesia. Semuanya benar-benar masih harus diperbaiki, seperti pelayanan kesehatan masyarakat, penerangan kampung, sanitasi, penataan daerah padat, perbaikan perumahan umumnya, saluran tanah, pembuangan kotoran, pengawasan kebersihan makanan, tidak ada satupun yang layak,” tulis Tillema dalam Kromoblanda: On the Question of Living Condition in Kromo’s Vast Country , dikutip Amir Karamoy dalam “Program Perbaikan Kampung : Antara Harapan dan Kenyataan” termuat di Prisma , No. 6, 1984. Menurut James L. Coban, kampung berbeda dari desa. “Desa berupa wilayah dengan pertanian dan lahan kosong, sedangkan kampung sebuah permukiman tanpa pertanian dan lahan kosong yang biasa berada di sekitar pinggiran atau dalam kota,” tulis Coban dalam “Uncontrolled Urban Settlement: The Kampong Question in Semarang (1905-1940)” termuat di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , 1974. Kemunculan kampung di kota bermula dari Regeeringsreglements 1854. Isi peraturan berupa pemisahan ras menjadi tiga, sesuai dengan tingkatannya: Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Segregasi berdampak pada kebijakan pemukiman penduduk kota. “Segregasi ras secara fisik diterapkan dalam permukiman mereka yang sengaja dipisah-pisah dan tidak boleh membaur,” tulis Purnawan Basundoro dalam Pengantar Sejarah Kota . Hak-hak istimewa Gubernur Jenderal ( exorbitante rechten ) memperkuat kebijakan memukimkan penduduk berdasarkan ras. Orang Eropa dan sejumlah Timur Asing mukim di wilayah sehat dengan limpahan fasilitas seperti pagar, sanitasi, jalan, dan rumah permanen. Sebaliknya, Bumiputera menempati wilayah rawan penyakit. Tanpa fasilitas penunjang pula. Misalnya di Batavia, mereka bermukim di kota Inten. Memasuki awal abad ke-20, kepadatan penduduk kampung-kampung di kota mulai bertambah. “Migrasi urban mengubah banyak hal di kampung-kampung. Mereka menjadi daerah padat dan meluas,” tulis WF Wertheim dan The Siauw Giap dalam “Social Change in Java, 1900-1930” termuat di Jurnal Pacific Affairs Vol. 35, No. 3. Para migran di Semarang, Surabaya, dan Batavia memilih tinggal di kampung-kampung dekat dari pelabuhan. Mereka memandang pelabuhan sebagai tempat bekerja paling pas untuk mereka : dekat, tak mensyaratkan pendidikan tinggi, dan tak perlu keluar ongkos transportasi. Kondisi lingkungan bukan prioritas mereka. “Mereka tak mempersoalkan lingkungan tak higienis dan justru menerimanya sebagai fakta kehidupan,” tulis Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing During the Decolonization of Indonesia 1930-1960 . Sebagian besar penduduk kampung berpenghasilan dan berpendidikan rendah. Mereka hanya berpikir bagaimanya menyambung hidup. Tanpa merasa ada diskriminasi kebijakan pemukiman oleh pemerintah kolonial. Akibatnya pemerintah kolonial berada di atas angin dan makin mengabaikan lingkungan mereka. “Semua faktor itu berhubungan dengan kurangnya kekuatan penghuni kampung pada masa kolonial. Kekuatan terletak pada pemilik modal keuangan, sosial, dan politik,” tulis Freek Colombijn. Di mata pemerintah kolonial dan orang Eropa, kampung perwujudan dari bumiputera : miskin, terbelakang, dan tak beradab. Kampung menjadi penegas gagasan hegemonik kolonial bahwa orang Eropa kuat, sedangkan bumiputera lemah. Uniknya, gagasan ini menjadi mentah ketika ada orang Eropa tinggal di kampung. Orang Eropa menyebut mereka afglijden naar de kampong (terpeleset ke kampung), sedangkan Bumiputera memanggil mereka Belanda Kesasar . Mengetahui ada sejumlah orang Eropa bermukim di kampung, pemerintah kolonial resah. Mereka mulai berusaha memperbaiki kondisi kampung. Dan muncul pula seorang tokoh bumiputera bernama Hoesni Thamrin. Dia anggota Voolksraad (Dewan Rakyat) dan Gemeente Raad (Dewan Kota). Dia memperjuangkan perbaikan kampung. Akhirnya pada 1920, pemerintah kolonial membuat kebijakan kampongverbetering untuk mengubah wajah kampung agar tak lagi kumuh dan sumpek.
- Ini Alasan Kenapa Jalan Daendels Berakhir di Panarukan
Setelah Jalan Anyer-Panarukan selesai, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mengeluarkan tiga peraturan terkait dengan pengaturan dan pengelolaan jalan raya ini. Peraturan pertama dikeluarkan pada 12 Desember 1809 berisi aturan umum pemanfaatan jalan raya, pengaturan pos surat dan pengelolaannya, penginapan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kereta pos, komisaris pos, dinas pos dan jalan. Peraturan kedua keluar pada 16 Mei 1810 tentang penyempurnaan jalan pos dan pengaturan tenaga pengangkut pos beserta gerobaknya. Peraturan ketiga tanggal 21 November 1810 tentang penggunaan pedati atau kereta kerbau, baik untuk pengangkutan barang milik pemerintah maupun swasta dari Jakarta, Priangan, Cirebon, sampai Surabaya. Kendati tujuan awalnya terutama untuk kepentingan ekonomi, Jalan Anyer-Panarukan kemudian dikenal sebagai Jalan Raya Pos. Daendels mengumumkan pembentukan Dinas Pos pada 3 Agustus 1808, peraturannya telah disusun pada 18 Juli 1808. Dinas Pos berada di bawah Komisaris Urusan Jalan Raya dan Pos yang dipimpin oleh Van Breeuchem dengan gaji 5.000 ringgit per tahun. Tugasnya mengkoordinasikan pelayanan komunikasi dalam bentuk pengiriman paket pos dan bertanggungjawab atas perbaikan dan perawatan jalan dan fasilitas yang berkaitan dengan pos. Para prefek (jabatan setingkat residen) juga bertanggungjawab atas pelayanan pos dinas dan individu di daerah masing-masing. Para prefek mengangkat petugas administratif dibantu petugas pribumi dengan gaji lima ringgit per bulan, menyediakan kuda-kuda untuk mengangkut pos, dan berkoordinasi dengan militer setempat untuk menyediakan pengawalan bagi pengiriman paket yang penting atau bila melewati daerah yang rawan. Dinas Pos dibagi kedalam empat distrik sekaligus sebagai kantor pos besar: Banten, Batavia, Semarang dan Surabaya. Kantor pos besar tersebut menampung paket dan surat dari sekitar 47 kantor pos lokal. Pengiriman dari dan ke kantor pos besar berlangsung setiap dua kali seminggu yaitu Sabtu dan Selasa –sumber lain menyebut Sabtu dan Kamis. “Di setiap beberapa paal ada pesanggrahan atau pondokan untuk mengganti kuda dan beristirahat dan itu menjadi tanggungan para bupati untuk merawat pesanggrahan-pesanggrahan itu,” kata Djoko Marihandono, sejarawan Universitas Indonesia yang menulis disertasi tentang Daendels. Di setiap pesanggrahan disediakan antara 8 sampai 16 kandang kuda disertai pondokan untuk istirahat petugas pembawa gerobak dan penumpangnya. Dari Bogor sampai Surabaya juga didirikan sekitar 12 penginapan dengan setidaknya 6-8 kamar dan sebuah gudang barang dan tempat kereta. Para petugas pos memakai seragam dengan jas biru atau merah dan celana yang mengenakan selempang putih dengan tanda pos di tangan kirinya. Untuk menghindari salah jalan, disediakan seorang penunjuk jalan. Selain paket dan surat umum, baik pribadi atau dinas, ada juga pesan yang sifatnya rahasia. Petugas yang membawa pesan rahasia ini harus bertanggungjawab bila perlu diperintahkan untuk mempertaruhkan nyawanya. Oleh karena itu, setiap karung pos dimasukkan ke dalam peti yang kuncinya disimpan di setiap kantor pos. Kepala pos diizinkan membuka peti itu tetapi dilarang keras membuka paketnya. Yang menarik, menurut Djoko, pesan rahasia itu juga ada yang berupa lisan (messagerie). “Pesannya dibisikkan kepada si kurir dan kurir ini dijaga ketat selama perjalanan sampai tujuan. Ketika kurir ini lewat, semua harus minggir, dan kalau menghalangi bisa ditembak langsung oleh pengawalnya,” kata Djoko. Lantas kenapa jalan yang dibangun oleh Daendels itu harus berujung di Panarukan? Ketika berkunjung ke Surabaya pada awal Agustus 1808, Daendels melihat bahwa jalan dari Surabaya perlu diperpanjang ke timur. Tujuannya bahwa wilayah Ujung Timur ( Oosthoek ) merupakan daerah yang potensial bagi produk tanaman tropis selain kopi, seperti gula dan nila. Di samping itu ada kemungkinan perairan di sekitar selat Madura memberikan peluang bagi pendaratan pasukan Inggris. Untuk itu, dia memerintahkan F. Rothenbuhler, pemegang kuasa (gesaghebber) Ujung Timur sebagai penanggungjawab pembangunan jalan Surabaya sampai Ujung Timur yang dimulai pada September 1808. Titik akhir jalan di Ujung Timur terletak di Panarukan, dan tidak dibangun hingga Banyuwangi. Pertimbangannya Banyuwangi dianggap tidak memiliki potensi sebagai pelabuhan ekspor. Sedangkan Panarukan dipilih karena dekat daerah lumbung gula di Besuki dan dengan tanah-tanah partikelir yang menghasilkan produk-produk tropis penting.
- Kesaksian dari Pertempuran Lengkong
PRIYATNA Abdurrasyid, ahli hukum ruang angkasa dan mantan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, salah seorang pemuda yang tersulut semangatnya oleh gaung Proklamasi kemerdekaan. Tanpa pikir panjang tentang bahayanya, dia ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pengalaman Priyatna berjuang selama revolusi kemerdekaan dituangkan dalam otobiografi Dari Cilampeni ke New York Mengikuti Hati Nurani: H Priyatna Abdurrasyid karya Ramadhan K.H. Dia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), lalu masuk Sekolah Kader Militer di Yogyakarta yang dikepalai Letjen Hidajat Martaatmadja. Pendidikan militer selama tiga bulan itu langsung melatih para siswanya ke lapangan pertempuran sungguhan. Priyatna mendapat tugas ke Bandung yang telah dikuasai Sekutu. Sekutu yang terdiri dari pasukan Inggris, India, dan Gurkha bertugas membebaskan tawanan dan interniran serta melucuti pasukan Jepang. Dalam menjalankan tugasnya, mereka berkoordinasi dengan aparat Indonesia dengan membentuk Badan Perhubungan. Di Bandung, pasukan Sekutu menginap di Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Sebuah insiden mengubah keadaan damai akibat provokasi-provokasi. Para pejuang melawan. Kontak senjata terjadi sejak 25 November. Pemicunya, tindakan “gegabah” pasukan Sekutu yang menembaki penduduk saat berusaha menyelamatkan diri ke dekat Hotel Homann akibat banjir bandang Sungai Cikapundung pada 25 November. Entah karena tak tahu beda antara penduduk dan pejuang atau ada provokasi dari NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda), berondongan senjata memangsa banyak penduduk. “Menurut berita kemudian, banjir besar tersebut adalah hasil kerja sabotase agen NICA-Belanda dengan jalan membobol pintu air Danau Pakan di Dago atas,” ujar Priyatna. Para pejuang membuat rencana pembalasan. Priyatna, komandan regu dari Yon II, bertugas mengumpulkan informasi guna penyusunan rencana operasi. Dia mengepos di hotel kecil milik sahabatnya, M. Rais, tak jauh dari hotel tempat menginap pasukan Sekutu. “Jadi saya hafal sekali setiap sudutnya, karena sering main di situ,” ujarnya. Paginya, beberapa pejuang yang membantu evakuasi penduduk diserang pasukan Sekutu. Ternyata mereka hanya memancing. Keluarnya pasukan Sekutu dari hotel menjadi santapan para pejuang yang sudah menunggu. Setelah senjatanya dirampas, pasukan Sekutu dibenamkan ke sungai Cikapundung yang deras. Panglima Sekutu di Jawa Barat Brigjen N. MacDonald marah besar. “Pada 27 November Jenderal MacDonald mengeluarkan sebuah ultimatum yang memerintahkan agar wilayah kota dari tengah ke utara harus ditinggalkan orang Indonesia dalam tempo 48 jam,” tulis Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution . Nasution lalu memerintahkan seluruh pasukan menyingkir ke selatan kota Bandung. Meski begitu, perlawanan terus berjalan. Pada 3 Desember, mereka menyergap konvoi pasukan Sekutu yang akan masuk Bandung di jalan antara Padalarang-Cimahi. Sekutu kemudian membalas. Dengan dalih membebaskan tawanan dan interniran Belanda di Tun Dorp, daerah Lengkong Dalam, mereka membuka ofensif dengan bombardir udara. Tak lama kemudian, datang pasukan darat didukung tank dan panser. Kontak senjata terjadi di Jalan Lengkong Besar, tempat di mana pejuang memusatkan penghadangan. Berondongan senapan mesin dan muntahan kanon dari tank-tank Inggris memporak-porandakan konsentrasi pasukan Republik. Meski pejuang Indonesia bahkan ada yang berhasil menaiki dan melumpuhkan tank, kekuatan mereka sangat tak sebanding dengan pasukan Sekutu yang modern. Bombardir udara oleh RAF dari AU Inggris makin menghancurkan pasukan pejuang. Serangan itu baru berhenti ketika senja, saat para pejuang sudah mundur sampai di persimpangan Jalan Tegalega. Akibat pertempuran itu, banyak pejuang tewas. Salah satunya Sugiarto Kunto, sahabat Priyatna, yang gugur terkena pecahan mortir di dagu dan dada. “Sugiarto Kunto gugur tepat di sebelah saya. Di situ pertama kali saya melihat usus-usus manusia nyangkut di pohon-pohon, serta potongan tangan dan kaki yang bergelimpangan,” kenangnya. Untuk mengenang pertempuran tersebut, di sudut simpang tiga Jalan Lengkong Besar dengan Jalan Cikawao, dibangun Monumen Peristiwa Lengkong.
- Si Putih Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman
KEBERHASILAN gerilya Jenderal Soedirman terletak pada kesediaan masyarakat membantu perjuangannya. Mereka menyediakan penginapan dan makanan, membuatkan tandu baru, memikul tandu, dan penunjuk jalan karena penduduk setempat lebih mengetahui arah jalan yang akan ditempuh. “Menjadi kebiasaan rombongan itu untuk menggunakan tenaga-tenaga setempat sebagai penunjuk jalan,” tulis buku Soedirman Prajurit TNI Teladan. Pada 24 Januari 1949 malam, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memutuskan jalan dari Desa Jambu menuju Warungbung. Penduduk setempat menyarankan agar paginya sudah harus berangkat ke tempat lain karena ternyata rombongan bergerek mendekati markas Belanda di Kasugihan, yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. Tandu dibuat dan pemanggul disiapkan malam itu juga. Benar saja, setelah mereka sampai di Desa Gunungtukul pada 25 Januari 1949, deru kendaraan militer Belanda begitu dekat sehingga rombongan terus melanjutkan prejalanan. Sewaktu hendak memotong jalan Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949, Tjokropranolo seperti biasa mencari seorang penunjuk jalan. “Di daerah itu oleh penduduk setempat saya diperkenalkan kepada seorang penunjuk jalan bernama Putih (kemungkinan besar bukan nama sebenarnya, red. ),” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Namun, menurut Soedirman Prajurit TNI Teladan, orang itu penduduk Desa Jambu di Trenggalek, yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Dengan tetap waspada, tawaran itu diterima dengan senang hati. Mula-mula, Tjokropranolo merasa aneh mengapa justru si Putih yang berperawakan kecil, berkulit putih, berperangai lembut tapi gerakannya lincah, dipilih sebagai penunjuk jalan. Sedangkan di sekelilingnya banyak orang lain yang postur badannya besar dan kokoh. Rupanya, kata Tjokropranolo, tidak ada orang yang berani menjadi penunjuk jalan karena rombongan sudah dekat dengan pasukan Belanda. Tapi si Putih berani. “Tanpa bertanya lagi saya terima saja si Putih sebagai penunjuk jalan. Dalam perjalanan dari desa Gunungtukul ke desa Ngideng, si Putihlah yang menjadi penunjuk jalan,” kata Tjokropranolo. Dua hari dua malam si Putih berjalan. Sesampainya di Desa Ngideng, rombongan menginap di rumah seorang penduduk yang cukup berada. Mereka dilayani dengan baik. Rumahnya tidak jauh dari sungai yang cukup deras, sehingga mereka lebih senang mandi di sungai daripada di sumur. Tjokropranolo curiga terhadap si Putih karena tidak mau mandi bersama-sama dan memilih mandi di tempat lain yang lebih jauh. Dia pun memerintahkan seorang anggota rombongan, Mustafa, mengikuti si Putih. Dia khawatir si Putih sudah tahu siapa yang ditandu dan melaporkannya kepada pasukan Belanda di Ponorogo. Setelah mengamati si Putih, Mustafa dengan tertawa lebar melaporkan kepada Tjokropranolo bahwa si Putih adalah "seorang wanita yang bertabiat kelaki-lakian." Bisa saja, si Putih tomboy, namun Tjokropranolo menyebutnya waria. “Saya sendiri ngga ngira . Sifat-sifatnya persis laki-laki. Legalah hati saya, setelah mengetahui bahwa si Putih itu ternyata seorang waria. Dia tentunya akan selalu menghindar mandi bersama kita,” kata Tjokropranolo. Kendati Tjokropranolo tidak mengira telah dituntun oleh seorang waria, namun dia mengakui peranannya. “Sungguh ngga ngira . Pokoknya kita selamat.”*
- Inilah 8 Perempuan Gebetan Penyair Chairil Anwar
Chairil Anwar, penyair besar yang eksentrik dan diakui sebagai pembaru puisi Indonesia. Selama hidupnya yang relatif muda, dia menghasilkan 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Beberapa puisinya dibuat untuk perempuan-perempuan yang mengisi hatinya. Kendati penampilannya urakan, namun Chairil dikenal sebagai pemuda yang banyak penggemarnya terutama di kalangan gadis-gadis. Dia digemari karena rupanya bagus, kulitnya putih dan wajahnya menyerupai Indo. Chairil juga dikenal “pintar” memikat gadis-gadis karena dia mudah berkenalan dengan siapa saja, lelaki maupun perempuan. Chairil pernah tertarik pada beberapa perempuan. “Di antara gadis yang pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat,” tulis Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar . Itulah sebabnya, nama-nama gadis itu diabadikan dalam sejumlah sajak Chairil. Paling sedikit, nama-nama gadis itu disebut dengan tiga cara: disebut dalam baris-baris sajak (Ida); dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, dan Tuti); dan dijadikan sebagai sajak persembahan (Sumirat, Sri Ajati, dan Karinah Moordjono). Berikut ini kisah para perempuan tersebut. Ida Nasution Perempuan pertama yang disebut Chairil dalam sajaknya, “Ajakan” (Februari 1943) adalah Ida. Dia kembali disebut dalam sajak “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948). Chairil juga menyebut berkali-kali nama Ida dalam “Pidato Chairil Anwar 1943” yang diucapkan kepada Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1948. Ida Nasution lahir tahun 1924. Dia merupakan esais yang cemerlang dan penerjemah yang berbakat. Dia pernah menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het Inzicht dan Opbouw. Dia kemudian bersama Chairil mengelola “Gelanggang,” ruang kebudayaan dalam majalah Siasat . Ida pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan kawan-kawannya, dia mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November 1947. Hidup Ida berakhir tragis, dia hilang dalam perjalanan Bogor-Jakarta pada 1948. Sri Ayati Chairil jatuh hati kepada Sri Ayati, penyiar radio Jepang, Jakarta Hoso Kyokam . Dia membuat dua puisi untuknya: “Hampa –kepada Sri yang selalu sangsi” (Maret 1943) dan “Senja di Pelabuhan Kecil” (1946). Pada 2007, sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab berhasil menemui Sri di usia 88 tahun, dan menuliskan kisahnya, “Bertemu Pujaan Chairil Anwar.” Sri tahu Chairil membuat sajak “Senja di Pelabuhan kecil” untuknya dari almarhumah Mamiek, anak angkat Sutan Sjahrir yang masih saudara sama Chairil. Sri pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jalan Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat. “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Dia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat ). Dia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenang Sri, yang juga seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta. “Sri mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya... Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati,” tulis Alwi Shahab. Dian Tamaela Pada 1946, Chairil menulis puisi “Cerita Buat Dien Tamaela.” Puisi ini dia persembahkan untuk Dian Tamaela, putri dokter Lodwijk Tamaela dengan Mien Jacomina Pattiradjawane. Mereka pernah menetap di Oosterweg (sekarang Jalan Pahlawan) Mojokerto, Jawa Timur. “Penyair Chairil Anwar ini pernah menaruh hati kepada almarhumah Dien Tamaela, itu berlangsung di masa pendudukan Jepang,” tulis Purnawan Tjondronegoro dalam “Chairil Anwar Meminang Calon Istri Setelah Ketemu di Cilincing.” Dokter Tamaela adalah pejuang kemerdekaan dari organisasi Jong Ambon bersama Alexander Jacob Patty, Johanes Latuharhary, dan lain-lain. Menurut I.O. Nanulaitta, penulis biografi Mr. Johanes Latuharhary , dokter Tamaela mempunyai dua putri, Dien Tamaela dan dokter Deetje Tamaela. “Dien meninggal dalam usia masih remaja. Persahabatannya dengan penyair Chairil Anwar dikenangkan dan diabadikan oleh pemuda itu dalam sajaknya ‘Beta Pattirajawane’,” tulis Nanulaitta. Maksudnya, sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang menyebut berkali-kali Beta Pattirajawane, ibu Dien yang tidak menyukai Chairil. Untuk mengenang kematian Dien, Chairil mempersembahkan puisi “Cintaku Jauh di Pulau” yang paling disukai anaknya, Evawani Alissa Ch. Anwar. Bait keempat puisi yang ditulis tahun 1946 ini berbunyi: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang sama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Anehnya, sumber keluarga menyebut Dien meninggal tahun 1948. Gadis Rasid Chairil menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” di majalah mingguan, Siasat pada 1948. Di sini dia mengenal Gadis Rasid, wartawan Siasat . Chairil menaruh hati pada Gadis dan mempersembahkan puisi untuknya berjudul “Buat Gadis Rasid” pada 1948. “Sajak itu ditulis niscaya setelah Chairil berkenalan dengan Gadis yang tatkala itu juga menjadi wartawan surat kabar Pedoman. Karena perhatiannya yang luas terhadap kesusastraan dan kebudayaan umum, Gadis mengenal elite sastra Indonesia modern pada waktu itu. Tak mengherankan bahwa dia pun kenal baik dengan Chairil,” tulis Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari . Gadis berhenti sebagai wartawan Pedoman pada 1950-an karena menikah dengan Henk Rondonuwu. Setelah dikaruniai seorang anak, mereka bercerai. Gadis kemudian bekerja di kantor perwakilan PBB di Jakarta, mengajar di Sekolah Tinggi Publisistik dan Akademi Penerangan, asisten peneliti di Brookings Institute Amerika Serikat, wartawan lepas untuk berbagai media luar negeri, anggota Badan Sensor Film, dan aktif di dunia perbukuan sebagai direksi Penerbit Djambatan dan sekretaris eksekutif IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Gadis meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil: 28 April 1988. Tuti Artic Seperti kepada Gadis Rasjid, Chairil juga mempersembahkan sebuah puisi untuk “Tuti Artic” (1947). Menurut Asrul Sani dalam Derai-derai Cemara , pergaulan Chairil di Jakarta dengan anak-anak Indo dan rajin ke pesta. Dia akrab dengan tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat mangkal pelajar-pelajar sekolah Belanda MULO, HBS, atau AMS kala itu, seperti misalnya di sebuah toko es krim, Toko Artic, yang berada di Jalan Kramat Raya, yang kemudian kita temui dalam sajaknya “Tuti Artic.” Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic; sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca cola/ Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetak/Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa. Hubungan Chairil dan Tuti agaknya sesaat: Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar/Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Karinah Moordjono Karinah Moordjono adalah putri seorang dokter di Medan pada tahun 1930-an. Chairil mengenalnya ketika masih tinggal di Medan, sebelum pindah ke Jakarta pada 1941. Ketika ditahan polisi Jepang pada 1943, Chairil terkenang pada Karinah, seperti terbaca dalam sajak “Kenangan” (19 April 1943). “Jalinan ‘kenangan’ apa yang terjadi antara Chairil dan Karinah, tentu hanya mereka berdua yang tahu,” tulis Pamusuk Eneste. Sumirat Sumirat adalah perempuan yang paling tertambat dalam hati Chairil. Dalam “Sajak Putih” (18 Februari 1944), Chairil mempersembahkan puisinya itu “buat tunanganku Mirat.” Puisi “Dengan Mirat” (8 Januari 1946) diubah judulnya menjadi “Orang Berdua” dalam kumpulan sajak Deru Campur Debu. Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Gelora Cinta Chairil Anwar pada Pacarnya Mirat,” Intisari, April 2002, salah satu sajak Chairil terindah adalah “Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis pada 1949, namun dibubuhi keterangan “di pegunungan 1943.” “Berdasarkan data bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946, dan mendapat putri Evawani Alissa pada 1947, adalah suatu kenyataan betapa Chairil terkenang-kenang kepada seorang perempuan dari masa lajangnya setelah berkeluarga,” tulis Seno. Chairil bertemu Mirat pada 1943 di Pantai Cilincing Jakarta, tempat piknik masa itu. Mereka berpacaran; menonton film berdua. Ada kesamaan dalam hobi mereka. Mirat suka melukis, dia belajar di sanggar Sudjojono, Basuki Abdullah, dan Affandi. “Sumirat sangat tertarik kepada kemaun keras Chairil yang tidak mengenal lelah. Pekerjaannya membuat sajak di mana-mana. Kertas-kertas penuh dengan tulisan tangannya,” tulis Purnawan. Chairil sering mampir ke rumah Sumirat di Kebon Sirih Jakarta. Mereka mendiskusikan sajak-sajak Chairil. Sumirat, seorang perempuan yang mencoba menghayati hasil karya Chairil. Ketika Sumirat pulang kampung ke Paron, suatu desa di Madiun, Jawa Timur, Chairil menyusul dan sempat tinggal beberapa hari. Ayah Sumirat, RM Djojosepoetro, memberikan restunya dengan syarat Chairil memiliki pekerjaan tetap. Chairil kembali ke Jakarta untuk tidak kembali lagi. Mereka berpisah. “Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun,” tulis Seno. Dia meninggalkan kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan, namun hancur bersama rumah Sumirat ketika Belanda menyerang Madiun. Sumirat kemudian mendengar semua tentang Chairil; bagaimana dia menikah, punya anak, menjadi penyair besar, dan mati muda. Hapsah Wiriaredja Chairil bertemu Hapsah di Karawang, jatuh cinta, lalu menikah pada 6 September 1946. Hapsah lahir di Cicurug, Sukabumi, 11 Mei 1922. Hapsah hampir menikah dengan seorang dokter, tapi Chairil begitu gigih untuk mendapatkannya. Di keluarga, menurut Evawani, anak satu-satunya Chairil-Hapsah, panggilan akrab Chairil adalah Nini. Sedangkan panggilan sayang Chairil kepada Hapsah adalah Gajah, karena badannya gemuk. Chairil pernah mengungkapkan cita-citanya, “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi menteri pendidikan dan kebudayaan,” kata Chairil, seperti dikenang Evawani dalam Chairil Anwar Derai-derai Cemara . Cita-cita Chairil tak tercapai. Dia mati muda di usia 26 tahun 9 bulan pada 28 April 1949, karena sakit paru-paru dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Sedangkan Hapsah, yang bekerja di departemen pendidikan dan kebudayaan sampai pensiun, meninggal di usia 56 tahun pada 9 Mei 1978.
- Sepuluh Fakta Tentang VOC yang Belum Banyak Diketahui Orang
Pada 20 Maret 1602 enam perusahaan dagang menggabungkan diri, membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC). Tujuan utama penggabungan itu adalah memperkuat armada dagang Belanda menghadapi pesaingnya, Spanyol dan Portugis. Keduanya dianggap merintangi jalan Belanda menguasai jalur perdagangan, khususnya ke kepulauan rempah-rempah di Nusantara. Banyak hal yang belum diketahui publik mengenai bagaimana sebenarnya VOC bekerja dan menjalankan kegiatannya. Perusahaan dagang simbol kolonialisme dan imperialisme itu akhirnya mengalami kebangkrutan pada 1799 akibat korupsi yang kronis. Berikut 10 fakta sejarah di balik VOC yang jarang orang ketahui. 1. Gold dan Glory Tak seperti Portugis dan Spanyol yang mengemban misi gold , glory dan gospel (kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama), VOC hanya berminat pada gold dan glory . VOC mengekang ketat para pendeta protestan yang berjumlah kurang dari seribu pendeta di seluruh wilayah VOC di Asia. Pelayanan rohani mereka dibatasi hanya kepada komunitas Eropa yang kecil dan komunitas-komunitas yang telah dikristenkan oleh Portugis, seperti Ambon, Minahasa, dan Malaka. Dengan memperlihatkan sikap masa bodoh, menurut sejarawan Denys Lombard, para pedagang Belanda sekadar mengikuti kebiasaan para pedagang Asia, yang sejak berabad-abad melakukan perdagangan sama sekali tidak bermaksud menyiarkan agama mereka. “Selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,” tulis Lombard, “orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa meraka.” 2. Hak Octrooi VOC menjadi “negara dalam negara” karena mendapat hak-hak istimewa ( octrooi ) dari Kerajaan Belanda. Hak-hak tersebut yaitu monopoli perdagangan, memiliki mata uang, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan menyatakan perang. 3. Tujuh Belas Kunci Heereen Seventien Menurut sejarawan Mona Lohanda, di dalam ruang sidang Heereen Seventien di Amsterdam, terdapat lemari besar untuk menyimpan seluruh dokumen dan surat-surat VOC. Lemari tersebut hanya bisa dibuka dengan 17 kunci yang dipegang oleh 17 anggota Heereen Seventien . Hal ini memperlihatkan dewan tertinggi sangat menjaga kerahasiaan bisnis dagang VOC. 4. Pegawai VOC Internasional Menurut Denys Lombard, penerimaan pegawai VOC pada kenyataannya bersifat “internasional.” Kompeni menjadi semacam “legiun asing.” Pada 1622, di garnisun Batavia terdapat 143 tentara: 17 orang Vlaams atau Wallon, 60 Jerman, Swiss, Inggris, Skotlandia, Irlandia, atau Denmark; 9 orang tak jelas asal usulnya; dan hanya 57 orang yang betul-betul kelahiran Belanda. Pegawai dari Jerman pada setiap waktu jumlahnya selalu besar. Banyak yang menjadi tentara, tetapi ada juga yang bekerja sebagai tenaga ahli, misalnya ahli bedah atau insinyur pertambangan. 5. Monopoli Ketat VOC VOC melakukan monopoli perdagangan dengan sangat ketat. Ia tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk melakukan perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya secara perorangan, baik dengan Eropa maupun negeri-negeri Asia lainnya. Perdagangan gelap hanya dapat dilakukan hanya dengan risiko yang sangat besar. Orang-orang Eropa yang tidak lagi menjadi pegawai VOC (compagniesdienaren) dan menjadi warga bebas (vrijburgers), hanya punya peluang berusaha di sector-sektor yang kurang menguntungkan, seperti pertanian, perdagangan bahan pangan, rumah makan, dan rentenir. Tetapi di sektor ini mereka harus bersaing dengan para pedagang Tionghoa. 6. Pembentukan Kampung Untuk membangun Batavia yang dikuasai sejak 1691, VOC mendatangkan orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Parakitri T. Simbolon, selama VOC berkuasa telah menghimpun lebih dari 40 kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia. Jumlahnya sekira 128.000 jiwa dan hanya sekira 600 orang Eropa. VOC menyediakan lahan untuk mereka membangun perkampungan berdasarkan latar belakang suku masing-masing. Kampung tertua adalah Kampung Banda hasil migrasi yang dilakukan gubernur jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621. Hingga kini, jejak kampung-kampung di Batavia dan sekitarnya masih bisa ditemukan sesuai nama etnisnya: Kampung Melayu, Kampung Bali, dan Kampung Ambon, dan lain-lain. 7. Larangan Membawa Wanita Meski Hindia dikenal sebagai sorga, kebijakan VOC yang keras nyaris tak mengizinkan perempuan turut serta dalam pelayaran. Ini menjadi alasan kuat sehingga seorang perempuan harus menyaru laki-laki (transvestisme). Di sisi lain pemerintah Belanda tak permisif kepada para perempuan yang ketahuan menyamar menjadi laki-laki. Hukum Belanda, yang antara lain bersumber pada hukum adat dan Injil, melarang transvestisme. Perempuan tak diperkenankan berpenampilan seperti laki-laki, juga sebaliknya. Transvestisme adalah tindakan kriminal. Namun biasanya tuduhan itu dikenakan untuk memperberat tindakan kriminal lainnya. Menurut Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol, ada berbagai motif perempuan menyaru laki-laki: cinta, patriotisme, lari dari tuduhan kriminal, serta perbaikan kondisi ekonomi. Oleh karena itu, menurut Denys Lombard, orang-orang Belanda yang baru tiba di Hindia bersedia mengawini gadis-gadis Indo yang berayah Portugis. Sebagian besar dari perempuannya, berasal dari Makassar dan Bali, tapi mereka adalah keturunan dari perkawinan campuran terdahulu. Makassar dan Bali, melalui perempuannya, member sumbangan besar kepada perkembangan penduduk Batavia. 8. Budak Budak adalah komoditas perdagangan. Dalam abad ke-17, Heereen Seventien sampai kewalahan menangani soal budak yang dibawa orang Belanda yang pulang dari Nusantara. Markas VOC di Amsterdam direpotkan mengurusi perawatan budak yang ditinggalkan pemiliknya dan disibukan pula oleh para budak yang minta dipulangkan ke negeri asalnya. Oleh karena itu, menurut Harry A. Poeze, VOC akhirnya mengeluarkan aturan untuk membatasi budak yang boleh dibawa ke negeri Belanda. Budak-budak itu banyak didatangkan dari Sulawesi dan Bali. Bukan hanya dibutuhkan sebagai tenaga kerja, budak pun dibutuhkan sebagai simbol status sosial. Tak heran jika budak akan dirawat sebaik mungkin, meski nyatanya banyak terjadi penindasan. Setelah VOC runtuh pun perbudakan masih terjadi di Hindia Belanda. 9. Komoditas Selain Rempah-rempah Ketika harga rempah-rempah turun dan tak jadi komoditas primadona lagi, VOC tak kehilangan akal. Untuk tetap bertahan melakukan perdagangan, VOC kemudian memperdagangkan berbagai komoditas. Menurut sejarawan Mona Lohanda, dalam kargo-kargonya VOC mengangkut dan menjual ragam komoditas khas negeri tropis, seperti ayam, beras, kuda, bahkan budak. 10. Orang Belanda Pantang Menetap Sementara orang Portugis memang berniat menetap dan beranak-pinak, ketika tiba di Asia orang-orang Belanda selalu mengatakan, “bila masa dinas enam tahun yang harus kujalani telah selesai, aku akan kembali ke Eropa.” Orang-orang Belanda selalu ingin pulang ke negerinya jika masa tugas usai. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk di Batavia yang tak didominasi orang Eropa. Dalam tahun 1674, jumlah mereka kurang dari sepersepuluh penduduk Batavia. “Keterikatan para kolonis Belanda pada tanah airnya merupakan ciri hakiki mentalitas, yang menentukan perilaku mereka jauh sampai ke abad 20,” tulis Denys Lombard. Ada beberapa alasan mengapa mereka tak ingin menetap: tujuan mereka hanya ingin mencari kekayaan, VOC tidak memberi kelonggaran kepada prakarsa perorangan, tiadanya sarana untuk memperkenalkan dan menyesuaikan kebudayaannya, faktor cuaca dan ketidakberdayaan para dokter menyebabkan Batavia dianggap sebagai “kuburan orang Eropa.”
- Pilot CIA Ini Lolos Dari Hukuman Mati di Indonesia
MINGGU malam, 18 Mei 1958 itu juga, berita tertangkapnya Pope sampai ke Markas Besar CIA di AS. Direktur CIA, Allen Dulles segera mengirim telegram kepada para perwira CIA di Indonesia, Filipina, Taiwan, dan Singapura: tinggalkan posisi, hentikan pengiriman uang, tutup jalur pengiriman senjata, musnahkan semua bukti, dan mundur teratur. “Inilah saatnya bagi Amerika Serikat untuk pindah posisi. Sesegera mungkin, kebijakan luar negeri Amerika berubah arus,” tulis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA. Dalam wawancara dengan Weiner pada 2005, Pope mengakui bahwa operasi CIA di Indonesia gagal. “Namun kami telah memukul dan melukai mereka. Saya suka membunuh komunis dengan cara apapun yang bisa saya lakukan. Kami membunuh ribuan komunis, meskipun setengah di antaranya mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan komunisme,” kata Pope. Menurut Sugeng Sudarto dalam Patahnya Sayap Permesta , berdasarkan anjuran Presiden Sukarno untuk segera menyelesaikan segala perkara, termasuk perkara Pope, maka sidang pertama pengadilan Pope dilakukan secara terbuka oleh Pengadilan Tentara Jakarta pada 28 Desember 1959, di ruang sidang Markas Besar Angkatan Udara di Jalan Sabang No. 2A Jakarta. Setelah 17 kali persidangan, pada 29 April 1960 hakim memutuskan menjatuhkan hukuman mati kepada Pope. “Mereka mengadili saya atas tuduhan pembunuhan dan menjatuhi saya hukuman mati,” kata Pope. “Mereka mengatakan bahwa saya bukanlah tawanan perang dan tidak berhak mendapat perlakuan berdasarkan Konvensi Jenewa.” Ketika bertemu Presiden AS, John F. Kennedy di Gedung Putih, Washington, AS, pada 24 April 1961, Sukarno menawarkan pembebasan Pope asalkan AS mendukung Indonesia merebut Irian Barat. Namun, Kennedy belum menentukan sikap. Pada pertengahan Februari 1962, adik Presiden Kennedy sekaligus Jaksa Agung Robbert Kennedy berkunjung ke Indonesia. Bobby, panggilannya, membawa dua misi: meredakan ketegangan Indonesia-Belanda soal Irian Barat dan membebaskan Pope. Menurut Arthur Meier Schlesinger dalam Robert Kennedy and His Times , Bobby menemui Sukarno untuk membebaskan Pope, namun Sukarno masih tetap pada pendiriannya; Pope dilepaskan dengan syarat AS mendukung Indonesia soal Irian Barat, sementara Belanda adalah sekutu AS. Bobby sempat keluar ruangan karena emosi. Setelah Bobby minta maaf, Sukarno akhirnya menjamin akan menangani dengan caranya sendiri. “Setelah empat tahun dua bulan dalam penahanan, dia dibebaskan pada bulan Juli 1962 atas permintaan secara pribadi oleh Jaksa Agung Amerika Serikat, Robert F. Kennedy,” tulis Weiner. Sukarno punya cara dan cerita sendiri perihal pembebasan Pope. Istri Pope, bekas pramugari Pan American Airways, bersama ibu dan saudara perempuannya, menghadap Sukarno dan menangis tersedu-sedan memohon supaya Pope diampuni. “Bila sudah menyangkut seorang perempuan, hatiku menjadi lemah,” kata Sukarno. “Aku tidak dapat bertahan menghadapi air mata seorang perempuan, sekalipun dia orang asing.” Setelah sembuh dan keluar dari rumah sakit, Pope menjadi tahanan rumah menunggu dipindahkan ke penjara tentara untuk dihukum mati. Sukarno menyampaikan kepadanya, “atas kemurahan hati Presiden engkau diberi ampun. Tetapi ini kulakukan dengan diam-diam. Aku tidak ingin ada propaganda mengenai hal ini. Sekarang pergilah! Sembunyikan dirimu di Amerika Serikat secara rahasia. Jangan memperlihatkan diri di muka umum. Jangan bikin cerita-cerita untuk surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan. Pulang sajalah, sembunyikan dirimu, menghilanglah dari pandangan umum, dan kami akan melupakan semua yang telah terjadi.” Pengampunan Sukarno tidak cuma-cuma. Ia menjadi salah satu strateginya dalam merebut Irian Barat, dimana AS berada di pihak Indonesia. Selain itu, menurut Guntur Sukarnoputra, suatu hari ketika dia membaca berita mengenai pembangunan jalan Jakarta By Pass , menanyakan pada ayahnya benarkah pembangunan jalan tersebut merupakan barter dengan pembebasan Allen Pope. “Bung Karno ketika itu hanya tertawa-tawa kecil saja,” kata Guntur dalam Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku . Tak diduga beberapa saat kemudian, Bung Karno berteriak dari kamar mandi memanggil Guntur. “Beliau bergurau bahwa semoga Amerika mengirimkan Allen Pope-Allen Pope yang lain. Sehingga dapat ditukar dengan Ava Gardner dan Ivonne de Carlo, yakni bintang film Amerika yang terkenal kecantikan dan kemolekan tubuhnya saat itu.” Jakarta By Pass (Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen DI Panjaitan) sepanjang 27 kilometer menjadi sarana untuk memperlancar transportasi dari Cawang ke Pelabuhan Tanjung Priok. Selain membantu pembangunan Jakarta By Pass , AS juga membantu pembangunan Jembatan Semanggi, simpang empat sekaligus jembatan layang hasil rancangan Ir. Sutami. Menurut Weiner, setelah bebas dan selama sisa hidupnya pada 1960-an, Pope kembali terbang untuk CIA ke Vietnam. Pada Februari 2005, di usia 76 tahun, dia dianugerahi medali Legion of Honor oleh pemerintah Prancis atas perannya dalam menyuplai barang-barang kebutuhan bagi pasukan Prancis yang sedang dikepung di Dien Bien Phu pada 1954.
- Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon
18 Mei 1958, pesawat pembom B-26 milik Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Allen Lawrence Pope ditembak jatuh di Ambon. Pope, penerbang CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) terlibat dalam pemberontakan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta), yang wilayahnya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA , pada usia 25 tahun Pope sudah menjadi veteran selama empat tahun dari misi-misi rahasia berbahaya. Dia terkenal karena keberanian dan semangatnya. Pilot-pilot CIA telah mulai membombardir pada 19 April 1958. Pope melakukan misi terbang pertamanya di Indonesia pada 27 April 1958. Selama tiga pekan berikutnya, dia bersama rekan-rekannya sesama pilot CIA menyerang sasaran militer dan sipil di beberapa desa dan pelabuhan di timur laut Indonesia. Kedutaan Besar AS melaporkan bahwa ratusan warga sipil terbunuh. Direktur CIA, Allen Dulles dengan tegang menceritakan kepada Dewan Keamanan Nasional AS bahwa semua serangan bom tersebut telah mengundang kemarahan besar di kalangan rakyat Indonesia karena dituduhkan bahwa pilot-pilot AS memegang kendali. “Semua tuduhan itu benar adanya,” tulis Weiner, “tetapi Presiden Amerika Serikat dan menteri luar negeri secara terbuka membantah kabar tersebut.” Presiden AS, Eisenhower memang ingin menjaga operasi ini tetap bisa disanggah sehingga dia memerintahkan jangan sampai warga AS dilibatkan dalam setiap operasi militer. Namun, Dulles tidak mematuhinya. Sehingga dalam sebuah laporan CIA untuk Gedung Putih dan Presiden AS, pasukan udara CIA itu digambarkan sebagai “pesawat-pesawat terbang pembangkang.” 18 Mei 1958 adalah hari yang sial bagi Pope. Didampingi operator radio JH Rantung, dia terbang dini hari di atas kota Ambon dalam operasi yang menenggelamkan sebuah kapal Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), membom sebuah pasar, dan merusak sebuah gereja. Enam warga sipil dan 17 militer tewas. Setelah itu, Pope mengalihkan serangannya ke arah konvoi ALRI yang bergerak dari pelabuhan Ambon menuju Morotai untuk melaksanakan Operasi Amphibi. Menurut Sugeng Sudarto dalam Patahnya Sayap Permesta , Operasi Amphibious Task Group 21 (ATG-21) itu, terdiri dari unsur laut dengan tujuh kapal (dua kapal pengangkut dan lima kapal Penyapu Ranjau) dan Pasukan Pendarat terdiri dari dua peleton KKO-AL, satu peleton speciale troepen (pasukan komando), dan satu Detasemen Brawijaya. Misi operasi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel KKO HHW Huhnholzs ini untuk merebut lapangan terbang Morotai, menggunakannya sebagai basis melancarkan operasi udara dan dukungan udara terhadap Operasi Merdeka menumpas Permesta. Semula para pimpinan operasi merasa ragu, jangan-jangan pesawat B-26 itu kawan. Namun, keraguan itu hilang setelah pesawat itu membuat gerakan menukik dua kali dan melancarkan tembakan dan bom, yang meleset. Kapal-kapal segera melepaskan tembakan. Tembakan dari kapal komando RI Sawega dan PR-203 RI Pulau Raas, berhasil mengenai pesawat B-26. Pope berusaha melarikan diri, membubung keatas, namun roda pesawat sebelah kiri lepas dan jatuh ke laut. Ketika mencapai 6000 kaki pesawat itu terbakar, Pope dan Rantung melompat; keduanya selamat namun kaki Pope patah terbentur ekor pesawat. Ketika B-26 jatuh, terlihat pesawat pemburu Mustang mengarah ke kapal. Demi keamanan pasukan dan kapal, pesawat itu ditembaki dan membubung keatas, membelok ke arah B-26 yang sedang meluncur ke laut, selanjutnya pesawat itu menghilang. Belakangan baru diketahui bahwa pesawat P-51 Mustang itu milik AURI yang datang untuk membantu dan dipiloti Kapten Dewanto. Menurut Weiner, dalam kantong pakaian terjunnya yang berkancing-tarik, Pope menyimpan catatan-catatan pribadinya, laporan terbang operasinya, dan sebuah kartu anggota klub perwira di Clark Field, Filipina. “Dokumen-dokumen tersebut menjelaskan identitas dirinya yang sebenarnya –seorang perwira Amerika yang membom Indonesia atas perintah pemerintahnya. Dia bisa saja langsung ditembak mati. Namun dia diadili,” tulis Weiner. Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno menegaskan, “Aku 99,9% yakin bahwa Pope seorang agen CIA.”
- Siapakah Sebenarnya Nyi Roro Kidul?
Nyi Roro Kidul telah hidup lama dalam ingatan masyarakat Jawa. Ia disebut memiliki hubungan dengan para raja Jawa. Konon, setiap penobatan raja Jawa sekaligus ritual pernikahan mistis dengan Ratu Pantai Selatan itu. Siapa sebenarnya Nyi Roro Kidul? Asal usulnya ada beberapa versi. Antropolog Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyi Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Ratu Kidul ini mulanya adalah putri dari Kerajaan Galuh, sekira abad 13. Ada pula versi yang menyebut dia adalah keturunan penguasa Pajajaran. Kemudian ada yang mengatakan dia keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan masih ada yang mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya. Dikisahkan, Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa. Ratu Pantai Selatan ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati, yang memerintah Mataram Islam 1585-1601, pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon ketekunannya membuat Laut Selatan bergolak. Istana ratu Pantai Selatan yang berada didasarnya porak poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati. Ratu Kidul pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang pemuda gagah tengah bersemedi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana bawah Laut Selatan, ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan. Senapati pun bergegas menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan. Panembahan Senapati menang gemilang. Cucu panembahan senapati, Sultan Agung yang memerintah 1613-1646, membuat tarian bedhaya yang mengisahkan balada cinta kakeknya dengan Ratu Kidul. Saat terjadi palihan nagari 1755, tulis Nancy K. Florida dalam “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang dan keraton Surakarta bedhaya ketawang . Tarian ini menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru. Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka. Dalam pidato tertulisnya yang berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan? Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa. “Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram. Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni (VOC) yang juga berwarna hijau. Menurut Nancy, hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyi Roro Kidul pernah renggang saat meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IX pada 2 Oktober 1988. Namun, saat penobatan Sultan Hamengkubuwono X, dengan melihat histeria massa dalam penobatannya, konon dukungan dan hubungan dengan Nyi Roro Kidul baik-baik saja.
- Selamat Jalan Emon, Si Anak Manja
“Mas Boy…,” teriak Emon dengan gerak-gerik kemayu dalam film Catatan Si Boy (1987) . Nama Didi Petet melambung setelah memerankan Emon, yang oleh banyak orang disebut sebagai peran bencong. Padahal, Didi berulang kali menyatakan bahwa peran Emon bukanlah banci. “Didi Petet memerankan tokoh Emon, si anak manja (bukan bencong seperti dugaan sementara orang) sangat berhasil,” tulis majalah Pertiwi , 1989. Selain Didi, aktor yang juga memainkan peran sebagai gay adalah Ucok Hasyim Batubara (Cok Simbara) dalam Terang Bulan di Tengah Hari (1987) dan Mathias Muchus dalam Istana Kecantikan (1988). Namun, Mathias memerankan Nicko yang digambarkan sebagai lelaki tulen, tidak klemar-klemer seperti bencong. Film ini dianggap sebagai film Indonesia pertama yang bertema homoseksualitas. Berkat perannya ini, Mathias terpilih sebagai aktor terbaik dalam Piala Citra Festival Film Indonesia 1988, sedangkan Didi terpilih sebagai pemeran pembantu pria terbaik lewat film Cinta Anak Zaman. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih , peran gay yang dimainkan Didi Petet dan Cok Simbara jauh di bawah yang dimainkan Muchus. “Gay-nya Muchus tampil secara utuh dan dari dalam, dua yang lain masih terasa pisikal,” tulis Salim Said. Namun, sampai sekarang justru Emon-lah yang menjadi representasi gay di layar kaca atau lebar. Perannya sebagai penghibur untuk ditertawakan. Seperti halnya Muchus, Didi pun diganjar penghargaan sebagai Aktor Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 1988 karena perannya sebagai Emon. Didi kembali meraih penghargaan serupa pada FFB 1989 dan 1994 melalui film Gema Anak Kampus 66 dan Si Kabayan Cari Jodoh . Sejak itu, dia berulang kali masuk nominasi sebagai aktor utama atau pembantu dalam ajang Piala Citra dan Indonesian Movie Award. Didi Petet bernama asli Didi Widiatmoko, lahir di Surabaya pada 12 Juli 1956. Dia meninggal dunia pada Jumat, 15 Mei 2015, karena sakit asam lambungnya naik akibat kelelahan. Nama “Petet” adalah julukannya sejak masa sekolah dasar sampai menengah di Bandung. Banyaknya nama Didi membuat teman-temannya memanggil dengan tambahan “Petet” lantaran matanya agak sipit. Didi melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan lulus pada 1983. Di sini dia menemukan tempat yang tepat untuk mengembangkan bakatnya dalam seni peran. Pada 1987, Didi bersama Sena A. Utoyo mendirikan grup pantomim: Sena Didi Mime. Anggotanya kurang lebih 50 orang dan yang aktif sekira 30-an. Sekretariatnya di kampus IKJ karena sebagian besar anggotanya mahasiswa IKJ dan Sena adalah salah satu staf pengajar di IKJ. “Keduanya dwi-tunggal perpantomiman Indonesia, khususnya Jakarta. Berkat keduanya penampilan grup selalu menghibur dan humor. Tema yang disajikan selalu dekat dan intim dengan lingkungan masyarakat,” tulis Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia . Setelah Sena meninggal, Didi melanjutkan Sena Didi Mime bersama Yayu Aw. Unru dan yang lainnya. Selain pantomim, dia juga merambah dunia film dan sinetron. Di luar itu, dia pernah menjadi pengajar di Jurusan Teater IKJ dan menjabat dekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ. Didi membintangi film layar lebar pertamanya Semua Karena Ginah pada 1985. Selama karirnya, dia main di lebih dari 50 film, yang terakhir Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015). Selain sebagai Emon, Didi juga terkenal sebagai Kabayan dalam empat film tentang si Kabayan (1989, 1991, 1992, 1994). Didi juga main di 12 sinetron, terakhir dan sedang tayang adalah Preman Pensiun (2015).
- Asal-Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta
Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah Buwana menjadi Bawana. Berbagai kalangan mengomentari penghilangan gelar tersebut. Namun, yang terpenting adalah sabda ini menyangkut suksesi di Kesultanan Yogyakarta, di mana sultan diduga hendak mengangkat putrinya sebagai penggantinya karena tak memiliki putra mahkota. Adik-adik sultan pun menentangnya. Bagaimana sejarah gelar khalifatullah melekat pada sultan-sultan Yogyakarta? Pada awalnya, raja-raja Mataram memakai gelar panembahan, sultan, dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim utusan ke Makkah untuk meminta gelar sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Makkah, sehingga namanya menjadi Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir. Raja-raja Martaram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan . Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar khalifatullah . Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 , gelar baru ini, khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia. Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan . “Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama . Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya tentang Herman Willem Daendels, di Universitas Indonesia tahun 2005. Anehnya, menurut Lombard, Sunan Surakarta tidak pernah menuntut gelar khalifatullah, barangkali karena mereka merasakan bahwa gelar baru itu secara tersirat membatasi kekuasaan mereka; fungsi raja disandingi ciri-ciri moral tertentu berdasarkan Islam. Dalam Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta , Teuku Ibrahim Alfian menguraikan arti gelar itu: Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama , berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia. Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Reinventing Indonesia , meskipun raja-raja Jawa memakai gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah , namun dipandang oleh sementara pihak sebagai pusat tradisi kejawen (mistisisme Jawa) yang tidak mencerminkan tradisi Islam. Sementara yang lain memandang bahwa tradisi kejawen dengan pusat kehidupan kerajaan di Jawa adalah Islam dalam perspektif Jawa. Sementara itu, menurut Alfian, gelar yang disandang oleh Sultan Yogyakarta mengungkapkan konsep keselarasan. “Keraton Yogyakarta seperti kerajaan-kerajaan Jawa dan kerajaan yang bersifat ketimuran pada umumnya menganut konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama,” pungkas Alfian.
- Kamus dari Penjara Sultan
EKSPEDISI Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan saudaranya Frederick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh pada 21 Juni 1599. Mereka dijamu dengan hangat. Namun Sultan Aceh tidak berminat berdagang dan hanya ingin menggunakan kapal-kapal dan senjata Belanda untuk menyerang Johor di Semenanjung Melayu. Intrik para saudagar Portugis mengacaukan rencana itu dan menimbulkan salah paham serta kekerasan. Pada 1 September 1599, pasukan Sultan Aceh menyergap dan membunuh Cornelis de Houtman dan beberapa orang lain. Pemimpin lain dari ekspedisi, Le Fort, berhasil meloloskan diri dengan dua kapalnya, tetapi 30 awak kapal termasuk Frederick de Houtman ditangkap. Frederick dibujuk masuk Islam dengan iming-iming jabatan tinggi dan dinikahkan dengan perempuan Aceh. Dia menolak. Dia pun mendekam dipenjara Benteng Pidi selama 26 bulan (11 September 1599 sampai 25 Agustus 1601). Frederick menghabiskan waktunya di tahanan dengan menyusun kamus percakapan berbagai topik dalam bahasa Belanda dan Melayu, berjudul Spraeck ende Woordboek, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden . “Percakapan yang ditulis dalam bahasa Melayu pasar oleh Frederick berkisar tentang suasana dalam kontak jual-beli di pelabuhan,” ujar Lilie Suratminto, pengajar sastra Belanda Universitas Indonesia, kepada Historia . Bahasa Melayu yang terdapat di dalamnya, menurut Lilie, menyerap banyak kosakata Arab dan Turki yang transkripsinya disesuaikan dengan persepsi Frederick. Frederick mengumpulkan bahan dan data dari wawancara dengan para informan sesama tahanan. Dia kerap dibantu seorang juru bahasa yang telah bertahun-tahun bekerja untuk armada Portugis dan Belanda. Juru bahasa dari Luxemburg itu dijuluki “Pak Kamis” oleh Frederick. Pada bagian awal kamus berisi sajak pujian ( Lof-Dicht ) dan panduan astronomi yang menampilkan berbagai gugusan bintang di selatan khatulistiwa yang berguna bagi para pelayar mencapai Hindia. Kamus setebal 222 halaman ini juga memuat beberapa percakapan dan daftar kata dalam bahasa Belanda-Madagaskar. Menurut Karim Harun dalam “Aspek Konjugasi dalam Buku Perbualan Houtman (1603)”, Jurnal Pengajian Melayu Vol. 17 (2006), padanan bahasa Madagaskar bertujuan membantu orang Eropa yang singgah di Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan), Afrika Selatan, untuk berinteraksi dengan penutur asli guna mengangkut perbekalan, makanan, dan minuman. Frederick meletakkan percakapan bahasa Belanda di sebelah kanan dengan huruf Gotik, berdampingan dengan bahasa Melayu di bagian kiri yang memakai huruf Roman. Dalam komposisi itu, menurut Lilie, sang penulis masih terpengaruh kuat budaya Portugis yang kala itu kentara dengan penggunaan huruf Gotik dalam penulisan Alkitab. Selepas bebas dari penjara atas usaha diplomasi Pangeran Mauritius, kamus percakapan itu diterbitkan Jan Evertsz Cloppenburch Boecvercooper op’t Water Amsterdam pada 1603. “Huruf Gotik tak lagi ada, sebab VOC pada abad ke-17 telah menetapkan huruf Roman sebagai aksara resmi pemerintahannya di Hindia Timur,” ujar Lilie. Kamus percakapan ini sempat dirahasiakan dan hanya diperuntukkan bagi para pejabat dan nahkoda VOC. Namun akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Kamus ini mendapat permintaan tinggi di Eropa. Para awak kapal Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia menggunakan buku tersebut sebagai acuan pelayaran. “Mereka memasukan buku ini ke dalam tas mereka sebelum berangkat ke Asia Tenggara,” tulis J.T. Collins dalam Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat . Pada 1612, seorang pedagang VOC, Albert Ruyll, mengedit dan menerbitkan kembali kamus itu dengan judul Speighel vande Maleyshce Tale . Enampuluh delapan tahun kemudian terbit edisi tambahan yang tak lagi memasukkan bahasa Madagaskar, Arab, dan Turki. Penerbitan dalam bahasa Latin juga dilakukan Gotardus Arthusius, yang kemudian dialihbahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Avgvstine Spalding dengan tajuk Dialogues in the English and Malaiane Languages . Pengalihbahasaan kamus percakapan Frederick de Houtman ke dalam berbagai bahasa, “telah membuka jendela Nusantara bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda,” ujar Lilie.





















