Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Tragis Akhir Hidup Bapak Film Nasional
USMAR Ismail ditahbiskan sebagai Bapak Film Nasional. Dia mendirikan Perfini (Pusat Film Nasional Indonesia) dan pada 30 Maret 1950 memulai shooting pertama filmnya, Darah dan Doa di Purwakarta. Tanggal 30 Maret kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional. Selama hidupnya, antara tahun 1950-1970, Usmar Ismail membuat 33 film layar lebar: drama (13 film), komedi atau satire (9 film), aksi (7 film), musical/entertainment (4). Namun, ada satu film yang membuatnya tertekan dan berakhir dengan kematiannya. Menurut Rosihan Anwar, wartawan senior dan ipar Usmar Ismail, tidak semua publik tahu tentang cerita tragis yang dialami Usmar Ismail dan yang membawanya kepada kematian relatif muda. “Usmar meninggal dunia dalam usia belum genap 50 tahun. Walaupun Usmar tidak pernah membicarakannya dengan saya, namun saya pikir dia telah mengalami kekecewaan berat dan stress akibat joint-production Perfini dengan sebuah perusahaan film Italia membuat film cerita dengan lokasi Bali,” tulis Rosihan dalam “Di Balik manusia Komunikasi,” tulisan persembahan untuk 75 Tahun M. Alwi Dahlan, kemenakan Usmar Ismail. Pada 1970, Usmar Ismail, sebagai direktur Perfini bekerjasama dengan International Film Company dari Italia, membuat film Adventures in Bali . Namun, proses produksi dan setelah film jadi, bermasalah. Dalam surat pembaca di majalah Ekspres , 21 Desember 1970, Usmar mengakui, “untuk diketahui perlu juga kami menjelaskan bahwa dalam usaha kerjasama ini ternyata pihak Perfini telah banyak sekali dikecewakan oleh pihak Italia, terutama mengenai penyelesaian soal honorarium artis dan karyawan, soal mengenai biaya hotel yang sekarang dibebankan kepada Perfini.” Menurut perjanjian, kata Rosihan, nama Usmar sebagai sutradara akan dicantumkan dalam versi film yang diedarkan di Eropa. “Ternyata waktu Usmar berkunjung ke Roma melihat penyelesaian film Bali itu namanya sama sekali tidak disebut. Usmar sudah ditipu oleh produser Italia,” kata Rosihan. Pada 31 Desember 1970, Usmar pulang dari Italia untuk mengurus kopi film Adventure in Bali, yang ternyata untuk peredaran di Indonesia tidak dikirim. Film ini dirilis dengan judul Bali pada 1971, namun gagal menggaet penonton. Film ini kemudian diedit ulang oleh sutradara Ugo Liberatore dan Paolo Heusch, dan diberi judul baru, Incontro d’amore a Bali . Sementara itu, Usmar sedang berjuang mempertahankan Perfini, meskipun untuk menggaji karyawan harus melego peralatan studio. Sudah jatuh tertimpa tangga. Setiba di Indonesia, Usmar merumahkan 160 karyawannya di PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club, karena bisnis yang dibangunnya sejak 1967 itu dilikuidasi oleh toko serba ada, Sarinah. Malamnya, Usmar masih sempat menyelesaikan dubbing film terakhirnya, Ananda di studio Perfini. Setelah itu, menjelang pergantian tahun, seperti biasa dia mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya ke Miraca Sky Club. Dia mengadakan perpisahan dengan karyawannya. “Saya terkejut, karena pada malam tahun baru, Usmar, saya dan Aboe Bakar Loebis beserta masing-masing istri masih kumpul di Miraca Sky Club di mana Usmar menjadi manajernya," kata Rosihan. Tidak biasa, Usmar mengajak semua bawahannya berfoto. Dia memeluk satu per satu istri kolega dan bawahannya untuk mengucapkan selamat tahun baru sekaligus kata-kata perpisahan. Dia juga menghendaki sahabat-sahabatnya untuk tetap duduk di dekatnya. “Yang dianggap paling aneh, Usmar yang ketika muda pernah belajar dansa, malam itu ber- soul sendiri,” tulis Rita Sri Hastuti dalam “Mengenang 40 Tahun Kepergian Usmar Ismail dari Darah dan Doa,” lsf.go.id , 14 Maret 2011. Esok sorenya pukul 17.00 Usmar tak sadarkan diri karena pendarahan di otak. “Ada pikiran untuk mengadakan operasi di otaknya. Namun, untuk itu tidak mungkin lagi,” kata Rosihan. Usmar meninggal pada 2 Januari 1971 dan dimakamkan di TPU Karet Jakarta.
- Inilah Asal-Usul Profesi Tukang Catut
MENYAMBUT Hari Film Nasional pada 30 maret 2015, sejumlah bioskop memberi promo bagi calon penonton film nasional pada hari-H. Calon penonton cukup beli satu tiket untuk nonton dua film nasional. Tawaran lain berupa kemudahan pembelian tiket bioskop secara online , tak perlu mengantre. Tapi puluhan tahun silam, tiket bioskop jadi lahan subur tukang catut. Sejak kapan profesi tukang catut karcis bioskop dimulai? Kerja mencatut kali pertama muncul pada masa pendudukan Jepang. “Orang yang jadi catut memang bukan sengaja. Karena itu tempo memang banyak yang tidak kerja,” tulis Piso Tjoekoer (kemungkinan nama samaran) dalam Warisan Djepang terbitan 1946. Mingguan Djaja , 4 Mei 1963, bahkan menyebut inilah awal masa merajalelanya tukang catut di negeri ini. Liberty , 1 April 1946, mendeskripsikan mencatut sebagai “gampangnya mendapat untung besar… lantas orang jadi tidak suka berusaha putar otak lebih keras atau gunakan tenaga urat lebih banyak buat mencipta apa-apa yang kekal.” Tukang catut hadir di segala tempat. Termasuk bioskop. Ini terekam dalam film Tiga Dara buatan Usmar Ismail, sutradara sohor Indonesia, pada 1956. Toto dan Nenny, sepasang muda-mudi, datang ke bioskop pada malam hari. Mereka agak telat. Calon penonton telah mengantre hingga luar bioskop. Toto dan Nenny berada di baris paling belakang. Belum lama mereka mengantre, petugas loket bilang tiket habis. Toto dan Nenny lekas ke parkiran bioskop. Seorang lelaki tukang catut menawarkan tiket bioskop ke mereka. Harganya tiga kali lipat ketimbang harga normal di semua kelas tempat duduk: loge (kelas satu), stalles (kelas dua), kelas kambing (kelas tiga), dan kelas balkon (khusus). Firman Lubis (alm), seorang dokter dan penulis, punya gambaran serupa dengan Usmar Ismail tentang tukang catut. Saat masih remaja pada 1950-an, dia sering nonton di bioskop. Jika film lagi bagus dan bintangnya pun terkenal, bioskop bakal ramai. Tukang catut pun bersliweran di bioskop. “Mereka sudah mengantre duluan di depan, atau menyelak (biasanya mereka berkelompok sehingga orang tidak berani menegur) begitu saja ke depan,” tulis Firman dalam Jakarta 1960-an . Untuk menjadi tukang catut, orang harus punya keahlian beladiri dan keberanian. Firman menyebut beberapa nama tukang catut sohor pada masa itu. Antara lain si Jaim alias Eddy dan Lorens. Kehadiran mereka bikin beberapa calon penonton kesal. Sebab “Harga yang mereka tawarkan bisa berlipat dua, tergantung ramainya orang yang mau menonton,” tulis Firman. Sementara sebagian calon penonton dari kalangan atas justru mencari mereka. Berapapun harga tiket, calon penonton ini pasti membeli. Lagi pula calon penonton ini enggan capek-capek mengantre lama. Menilai sepak terjang tukang catut lebih banyak merugikan orang, pemilik bioskop di Jakarta meminta bantuan polisi mengawasi catut pada 1960-an. “Di Bioskop Menteng, alat-alat negara bukan saja menjaga keamanan dan keberesan penjualan karcis bioskop dari luar loket, tetapi juga dari dalam loket,” tulis Djaja . Menghadapi penjagaan ketat, tukang catut tak kehilangan akal. Mereka bekerja sembunyi-sembunyi. Strategi ini berhasil. “Tukang catut masih saja sempat berbisik-bisik ke telinga penonton yang tidak kebagian karcis: loge…loge… stalles…stalles! ” tulis Djaja . Ali Sadikin, Gubernur Jakarta, turun tangan mengatasi tukang catut pada 1970. Dia bilang butuh kerjasama menghadapi tukang catut. Dia berjanji bakal menurunkan harga tiket bioskop. Sebaliknya, dia juga meminta calon penonton jangan malas antre. Dengan cara ini, tukang catut perlahan menghilang dari bioskop. Beralih ke tempat lain seperti terminal dan stasiun kereta api.
- Begal Dulu Begal Sekarang
Prabu Jayabaya, raja Kediri, telah meramalkan bahwa begal pada ndhugal, rampok padha keplok-keplok. Ramalan tersebut ditafsirkan oleh Sindung Marwoto dalam Ramalan Prabu Jayabaya: Mengungkap Tanda-tanda Zaman sebagai berikut: "Pencopet, perampok, perompak, maling dan sejenisnya semakin kurang ajar. Dia melakukan aksinya dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Ia menjarah-rayah harta orang lain dengan semena-mena. Ia bersorak-sorai karena menjarah dan merampok semakin mudah dan hasilnya semakin banyak, risiko perbuatan mereka semakin kecil. Kalau toh tertangkap dan masuk penjara, mereka dengan sangat mudah menyuap pejabat hukum untuk melepaskan.” Begal (bahasa Jawa) merupakan istilah klasik dalam dunia perbanditan di Jawa. Begal, menurut sejarawan Wasino dalam Kapitalisme Bumiputera , merupakan pencurian oleh penjahat dengan cara menghadang korban di tengah jalan. Selain begal, sejarawan Suhartono mencatat istilah lain yaitu perampok, penyamun, kecu , koyok , dan culeng . Kecu dan rampok terdiri dari kawanan yang lebih dari 20 orang, koyok lebih dari 5 orang, dan culeng lebih dari tiga orang. “ Maling atau pencuri dan begal, meskipun sering dilakukan lebih dari seorang dapat digolongkan resistensi individu. Yang jelas sasaran mereka adalah individu pula yang merugikan petani. Mereka digolongkan kejahatan kecil, sedangkan rampok dan kecu termasuk kejahatan besar atau kejahatan serius,” tulis Suhartono dalam Bandit-bandit di Pedesaan Jawa. Suhartono menganggap perbanditan di Jawa muncul akibat resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib, dan tekanan sosial-politik. “Menurut kacamata pemerintah kolonial resistensi ini sebagai kejahatan yang dilakukan para penjahat atau bandit,” tulisnya. Sebagai contoh, Sunan Kalijaga pada masa mudanya menjadi begal karena resistensi terhadap keadaan memprihatinkan rakyat kadipaten Tuban. Dia membegal untuk membantu rakyat miskin. Berdasarkan kesadaran politik, menurut Suhartono, resistensi berupa perbanditan dibedakan menjadi gerakan belum sadar politik, setengah sadar, dan sadar sepenuhnya. Resistensi yang sadar sepenuhnya mewujud dalam bentuk gerilya dan pemberontakan. Resistensi setengah sadar dilakukan oleh individu maupun kelompok yang diwujudkan dalam perampokan dan pengkecuan. “Gerakan yang tidak sadar lebih didominasi oleh tindak kejahatan semata-mata yang diwujudkan dalam pencurian, begal, dan sejenisnya,” tulis Suhartono. Di Jawa, Suhartono menguraikan realisasi dari resistensi berupa “pembakaran kebun tebu, los tembakau, saluran irigasi, perusakan gudang dan bangunan lain, pencurian, pambegalan, dll.” Sementara itu, Wasino melihat perbanditan di Jawa sebagai tindak kejahatan biasa, bukan karena resistensi. Munculnya kecu sampai begal dapat berlangsung di sepanjang bulan dalam siklus setahun. Akan tetapi, data kepolisian di kabupaten dan kota Mangkunegaran menunjukkan bahwa kecu selalu muncul dalam bulan-bulan paceklik, misalnya bulan September. Pada 1919-1921 di setiap September selalu ada sekali peristiwa kecu . Sementara bulan April dan Juli tidak selalu terjadi. “Hal yang sama juga pada kasus perampokan di jalan (begal),” tulis Wasino. Sedangkan kasus pencurian hewan (raja kaya), mengalami penurunan pada bulan Juli. Ini terkait dengan tersedianya lapangan pekerjaan di wilayah perkebunan tebu saat musim tanam tebu. “Dengan demikian,” Wasino menyimpulkan, “bisa dikatakan bahwa motif pengkecuan dan pembegalan adalah motif ekonomi.”
- Nabi Muhammad Perangi Pengkhianat
Gagal menaklukkan Madinah dan umat Islam yang dimulai pada 31 Maret 627, pasukan Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy di Mekah, menarik diri dari pengepungan berlarut-larut, yang menandakan kemenangan umat Islam di Madinah. Umat Islam kemudian mengalihkan perhatiannya kepada suku Quraizah. Suku Quraizah adalah satu dari tiga suku Yahudi yang menetap di Madinah, sebelum kedatangan umat Islam yang mengungsi dari Mekah. Yang lainnya adalah suku Nadir dan Qainuqa. Nabi Muhammad meneken Piagam Madinah tahun 622 untuk mengikat beragam komunitas di Madinah, termasuk Yahudi, agar hidup berdampingan di Madinah. Namun ketika suku Nadir dan Qainuqa mengkhianati perjanjian itu, mereka pun diusir dari Madinah. Keduanya kemudian bergabung dengan pasukan Abu Sufyan. Pada Perang Parit, suku Quraizah berniat memberontak dengan menyerang umat Islam dari dalam. Namun Muhammad berhasil menggagalkan persekongkolan mereka dengan pasukan penyerang. “Orang-orang Islam secepatnya memobilisasi dan menyerang pertahanan orang-orang Yahudi itu. Suku Quraizah menahan serangan, yang dipimpin oleh Ali, selama 25 hari. Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa menang dan meminta untuk bernegosiasi,” tulis Yahiya Emerick dalam Critical Lives: Muhammad. Buku-buku yang ditulis penulis Barat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad kemudian memerintahkan mengeksekusi mati sekitar 600-900 laki-laki Quraizah karena telah melanggar Piagam Madinah dan bersekongkol dengan musuh. Peristiwa ini kemudian menjadi perdebatan di antara sejarawan Islam di masa modern. Philip K. Hitti agaknya memilih moderat dengan menyebut 600 orang Quraizah tewas akibat diserang. “Setelah pengepungan berakhir, Muhammad menyerang orang-orang Yahudi karena ‘bersekongkol dengan pasukan penyerang’ yang mengakibatkan terbunuhnya 600 orang suku utama Yahudi, Banu Quraizah, dan sisanya yang masih hidup, diusir dari Madinah,” tulisnya dalam History of the Arabs . Setelah kemenangan di Perang Parit, Madinah menjadi basis umat Islam. Nabi Muhammad kemudian menundukkan suku-suku Arab yang masih menyembah berhala tanpa bisa dihalangi oleh Mekah. “Pasukan Muslim hampir selalu menang dalam serangan-serangan tersebut, dan suku-suku Arab yang kalah menerima otoritas Muhammad. Suku-suku lain, mendengar kekuatan Muhammad yang kian besar, berdatangan ke Madinah dengan sendirinya untuk menjalin aliansi dan bersumpah untuk mengikuti sang nabi,” tulis Gabriel Said Reynolds dalam The Emergence of Islam: Classical Traditions in Contemporary Perspective . Pada periode Madinah ini, tulis Philip K. Hitti, Arabisasi atau nasionalisasi Islam dilakukan. “Nabi baru itu memutuskan ketersambungan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen: Jumat menggantikan Sabat (Sabtu, red. ), azan menggantikan suara terompet dan gong, Ramadan ditetapkan sebagai bulan puasa, kiblat (arah salat) dipindahkan dari Yerusalem ke Mekah, ibadah hajike Ka’bah dibakukan dan mencium Batu Hitam –ritual pra-Islam– ditetapkan sebagai ritual Islam.”
- Siasat Jitu Perang Khandaq
Pada 31 Maret 627, pasukan persekutuan (al-ahzab) pimpinan Abu Sufyan asal Mekah tiba di Madinah. Namun, alangkah terkejut mereka ketika melihat sekeliling Madinah telah dibentengi dengan parit-parit yang dalam. Abu Sufyan, yang memusatkan daya gedornya pada pasukan kavaleri, hanya bisa keheranan melihat strategi perang yang tak biasa di tanah Arab tersebut. Karena itulah perang ini disebuat Perang Parit atau Perang Khandaq. Perang Parit dipicu kebangkitan umat Islam Madinah yang menurunkan pamor Mekah sebagai pusat keagamaan dan dagang utama di jazirah Arab. Hal ini membuat Abu Sufyan, pemimpin suku Quraisy di Mekah, geram. Dia menghimpun pasukan dari berbagai suku di Mekah, suku Yahudi, serta tentara bayaran dari suku Badui dan Abissinia, untuk menaklukkan Madinah dan umat Islam. Sekira 10.000 prajurit terkumpul, jumlah terbesar di seluruh Arab saat itu. Nabi Muhammad mengumpulkan pengikutnya untuk mendiskusikan strategi perang. Ide melindungi kota dengan membangun parit ditelurkan seorang Persia, Salman al-Farisi. Sekira 3.000 prajurit yang mempertahankan kota dikerahkan untuk membangun parit selama enam hari. Parit dalam bahasa Arab (khandaq) berasal dari bahasa Persia ( kandan artinya menggali), melalui bahasa Aramaik. “Menghadapi kekuatan yang begitu besar, kelihatannya tidak mungkin penduduk Madinah akan berhasil mempertahankan diri,” tulis Irving M. Zeitlin dalam The Historical Muhammad . “Tapi seorang Persia menyarankan Muhammad untuk menggali parit di sekitar Madinah, sebuah inovasi militer yang menurut orang-orang Arab Badui itu sebagai taktik paling curang yang pernah mereka hadapi.” Hal itu karena tradisi pertempuran antara dua pasukan selalu terjadi di tanah terbuka. Mereka tidak terbiasa menghadapi musuh yang bertahan di dalam kota. Menghadapi situasi perang yang terbilang baru itu, pasukan Abu Sufyan hanya bisa membangun kemah untuk mengepung. Salah satu dari mereka, Amr bin Wadd, sempat meloncati parit dan mencapai tengah kota sebelum akhirnya tewas setelah berduel dengan Ali bin Abi Thalib, sepupu Muhammad. “Tidak percaya dengan taktik perang semacam itu, yang menurut orang-orang Badui merupakan tindakan paling tidak jantan yang pernah mereka lihat, pasukan penyerang akhirnya bergerak mundur pada akhir April 627, setelah jatuh korban sebanyak 20 orang dari kedua pihak,” tulis Philip K. Hitti dalam History of the Arabs . Pengepungan berlangsung selama 27 hari dan terasa begitu menyiksa bagi pasukan penyerbu yang hanya bisa menunggu di tengah dinginnya gurun. Selain itu, usaha persekongkolan mereka dengan satu suku Yahudi yang tersisa di Madinah, suku Qurayza, pun tak ada kabarnya. Ternyata, Muhammad sudah mencium benih pemberontakan itu.
- Candrasengkala Prasasti Batutulis
ADOLF Winkler, seorang kapten VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), dibantu seorang ahli ukur, 16 pasukan Eropa, dan 26 orang Makassar, melakukan ekspedisi untuk membuat peta lokasi “bekas kerajaan Pajajaran”. Pedomannya: hasil laporan ekspedisi pertama pasukan VOC yang dipimpin Sersan Scipio tiga tahun sebelumnya. Pada 25 Juni 1690, rombongan Winkler tiba di daerah yang kini dikenal dengan daerah Batutulis, Bogor. Mereka mendapati batu prasasti setinggi dua hasta yang memuat informasi penting terkait sejarah Sunda Kuna. Winkler mencatat temuannya dalam Daghregister 1690 . Laporan Winkler memantik perhatian orang-orang Eropa untuk menyelidiki lebih lanjut prasasti Batutulis. Hasil penyelidikan mereka hanya membahas letak dan betuk prasasti Batutulis. Penelitian epigrafis baru dilakukan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1817, yang dituangkan dalam karya monumental, The History of Java . Raffles melampirkan transkripsi prasasti Batutulis sebagai objek penyelidikannya, namun dia menyebut kondisi prasasti itu kurang baik. Sarjana Belanda, R. Friederich, menentang pendapat itu. Dalam “Verklaring van den Batoe-toelis van Buitenzorg,” dimuat jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , I. 1853, dia menganggap prasasti itu masih layak baca. Walaupun hasil kajiannya menyisakan celah soal transliterasi, dia merupakan perintis kajian isi prasasti Batutulis. Dia membuat alih aksara dan terjemahan ke bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya pada 1853. Prasasti Batutulis, yang memuat teks beraksara Jawa Kuna dalam sembilan baris susunan dan berbahasa Sunda Kuna, tak seluruhnya menampilkan bentuk aksara yang tampak dan ajeg. Satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda diakritik ( pepet ) merupakan objek yang kerap diperdebatkan dan ditafsir ulang para ahli. Pasalnya ia berkaitan dengan candrasengkala atau atau kronogram (gambaran waktu dalam penentuan angka tahun) prasasti Batutulis. Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi . Dalam “Het jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg”, jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , LIII, 1911, etnolog Belanda, CM Pleyte, menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata ban adalah huruf Ä›, kemudian dia menyisipkan huruf m , menjadi emban ( Ä›(m)ban ). Pleyte memberi taksiran bahwa kata emban beroleh angka empat berdasar jumlah panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dengan demikian jumlah sengakalan itu; panca (5), pandawa (5), emban (4), dan bumi (1). Jadi, prasasti Batutulis bertarikh 1455 Çaka atau 1533 M. Taksiran angka tahun Pleyte disanggah sejarawan Hoesein Djajadiningrat. Dia menjadi bumiputera pertama yang mengkaji prasasti Batutulis, dalam disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten pada 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Tanpa alasan pasti, Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih patut berangka tiga. Sehingga, angka tahun prasasti Batutulis ialah 1355 Çaka atau 1433 M. Pendapat lain dipaparkan ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg” jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebut frasa ngemban adalah dua. Dasarnya, arti kata ngemban yang bermakna menggendong atau mengemban/mengutus selalu berjumlah dua: menggendong dan yang digendong, mengutus dan yang diutus. Jadi, tarikh prasasti Batutulis ialah 1255 Çaka atau 1333 M. Hasan Djafar, ahli epigrafi yang kerap mengkaji prasasti masa kerajaan Sunda, mencoba menjernihkan silang pendapat para ahli. Dia menyelaraskan angka tahun yang dipaparkan para ahli dengan masa bertahta raja yang mengeluarkan prasasti Batutulis. Bila merujuk pendapat Hoesein, angka tahun Batutulis bertepatan dengan masa Niskala Wastukancana bertahta (1363-1467). Sedangkan pendapat Poerbatjaraka justru menempatkan prasasti Batutulis pada masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang tewas di tanah lapang Bubat. Kedua pendapat itu, menurut Hasan, berbeda jauh dari informasi dalam prasasti. Isi prasasti Batutulis menyebut bahwa prasasti dibuat pada masa Prabu Surawisesa bertahta untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali dinobatkan bernama Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga. “Dari Carita Parahiyangan dan Pustaka Rajya I Bhumi Nusantara, terutama parwa IV, Sarga I, diketahui bahwa Prabu Surawisesa memerintah pada tahun 1521-1535 dan berkedudukan di Pakuan-Pajajaran,” ujar Hasan kepada Historia . “Maka angka tahun yang paling mendekati adalah angka tahun 1433 M.” Pendapat Hasan Djafar selaras dengan tafsiran Pleyte. Isi prasasti Batutulis, menurut Hasan, dapat dibagi menjadi tiga bagian: pembuka ( manggala ) yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa; tujuan ( sambandha ) pembuatan prasasti sebagai sakakala atau tanda peringatan untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasanya dalam membuat parit pertahanan sekeliling ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug batu, membuat hutan larangan ( samida ), dan membuat Telaga Warna Mahawijaya; titimangsa atau candrasengkala bertulis panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Çaka atau 1533 M.
- Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika
PERINGATAN 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) akan berlangsung 22-24 April 2015 di Bandung, Jawa Barat. Selain melahirkan Dasa Sila Bandung, KAA menumbuhkan semangat solidaritas di antara negara-negara Asia dan Afrika. Sebagai tindak lanjut dari KAA, pada Desember 1957, Mesir menjadi tuan rumah Konferensi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika, yang dihelat di Universitas Kairo. Dari konferensi ini terbentuklah Afro-Asian’s Peoples Solidarity Organization (AAPSO). Negara-negara peserta akan mendirikan organisasi setiakawan di wilayahnya lalu mengirimkan wakilnya ke Kairo. Di Indonesia, Komite Perdamaian Indonesia (KPI), badan nonpemerintah yang mendukung gerakan internasional pelarangan senjata atom, membentuk Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Asia-Afrika (OISRAA) pada 1960. Para pendiri OISRAA adalah Anwar Tjokroaminoto (Partai Syarikat Islam Indonesia), KH Sirajuddin Abbas (Perti), Njoto (PKI), Mansur (PNI), dan Sunito (DPR GR). Rapat pleno menunjuk Utami Suryadarma, rektor Universitas Res Publica, sebagai ketua umum dan Ibrahim Isa sebagai sekretaris jenderal. OISRAA berbagi kantor dengan KPI di Jalan Raden Saleh No. 52, Jakarta. Isa ditunjuk sebagai wakil OISRAA di AAPSO. OISRAA aktif mengkampanyekan dan menggalang dukungan demi pembebasan Irian Barat. Antara lain melobi pemerintah Mesir untuk menutup Terusan Suez dari kapal-kapal perang Belanda yang bertujuan ke Irian. OISRAA juga membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika. “OISRAA mendukung perjuangan Aljazair melawan Prancis, Vietnam Selatan melawan Amerika Serikat, dan menentang apartheid di Afrika Selatan,” ujar Vannessa Hearman, pengajar Indonesian Studies di University of Sydney, kepada Historia . Berkat lobi OISRAA, Departemen Luar Negeri RI memberi lampu hijau agar Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair, Kongres Nasional Afrika, dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan membuka kantor perwakilan di Jakarta. FLN Aljazair, misalnya, punya kantor perwakilan di Jalan Serang, yang dikepalai Lakhdar Brahimi (kini diplomat senior PBB). Melalui Brahimi, bantuan Indonesia mengalir ke unit-unit perjuangan Aljazair. Menurut Ibrahim Isa, keberhasilan OISRAA tak bisa lepas dari peran Presiden Sukarno. Sukarno mengutus Dubes Keliling RI Supeni Pudjobuntoro untuk menemui Pangeran Kamboja Norodom Sihanouk. Tujuannya, Sihanouk bersedia meminta Presiden Prancis Charles De Gaulle agar melarang kaum kanan Prancis menjadikan Aljazair sebagai negara apartheid . “Mula-mula Sihanouk ragu, tapi kemudian meneruskan pesan tersebut kepada De Gaulle,” ujar Isa. Aljazair akhirnya merdeka pada Juli 1962. Terkait Afrika Selatan, lobi OISRAA ikut menentukan tindakan yang diambil pemerintah Indonesia. “Pada 19 Agustus 1963 Indonesia menutup hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Afrika Selatan serta menutup pelabuhan-pelabuhannya dari kapal-kapal Afrika Selatan,” tulis J.A. Kalley dan E. Schoeman dalam Southern African Political History . OISRAA juga berhasil meyakinkan negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika untuk mengirimkan perwakilan ke Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Jakarta pada 17 Oktober 1965. Selanjutnya, selain menjadi salah satu panitia, OISRAA mengkampanyekan Konferensi Trikontinental (Asia, Afrika, Amerika Latin) di Havana, Kuba, pada 3-12 Januari 1966. Namun justru di Kuba-lah OISRAA mengalami titik balik, yang tak lepas dari dampak perubahan politik di Indonesia. Kendati OSIRAA mendapat kepercayaan dari Presiden Kuba Fidel Castro dan dianggap sebagai perwakilan Indonesia yang sah oleh negara-negara peserta konferensi, Indonesia mengirim delegasi lain yang diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. Keterusterangan wakil OISRAA mengenai dualisme kepemimpinan di Indonesia membuat Jenderal Soeharto berang. Para anggota OISRAA harus kehilangan paspor dan tak bisa pulang ke Indonesia. Isa harus hidup di pengasingan. Di dalam negeri, para pegiatnya ditangkap, dibunuh, atau hilang seperti Njoto, salah satu ketua OISRAA. Melemahnya Sukarno ikut meredupkan OISRAA.
- Mengupas Mitos Pohon Upas
SEROMBONGAN pengembara berteduh di bawah pohon di sebuah tanah lapang. Semenit kemudian seorang jatuh dan mati tanpa sebab. Yang lain lari tunggang-langgang sebelum akhirnya satu persatu juga jatuh dan mati. Mereka tidak tahu pohon itu adalah pohon upas. Cerita menyeramkan pohon upas terus-menerus direproduksi, sejak kali pertama keberadaannya dicatat Friar Odoric (1286-1331), misionaris Italia yang mengunjungi Nusantara abad ke-14. Tiga abad kemudian, botanis Belanda kelahiran Jerman, George Eberhard Rumphius (1627-1702), mendapat sampel batang pohon upas ketika menjadi pegawai VOC di Makassar. Dalam bukunya yang monumental, Herbairum Amboinese , Rumphius menulis tentang pohon upas dengan menarik dan agak berlebihan. “Udara di sekitar pohon begitu tercemar sampai-sampai jika ada seekor burung hinggap di dahan pohon, burung itu akan langsung kehilangan kesadaran dan jatuh mati,” tulis Rumphius. Namun, orang paling bertanggungjawab atas kehebohan mitos pohon upas adalah seorang Jerman yang pernah tinggal di Jawa, John Nichols Foersch, dalam artikelnya di The London Magazine tahun 1783. Dia menulis bagaimana para tahanan penjara sering ditugaskan mengumpulkan getah pohon upas; hanya satu dari sepuluh orang yang bisa kembali hidup-hidup. Pohon upas juga disebut dalam buku The Botanic Garden yang ditulis tahun 1791 oleh sastrawan dan naturalis Inggris, Erasmus Darwin (1731-1802). Dalam buku puisinya yang laris terjual itu, dia meromantisasi mitos upas sebagai pohon keramat yang melahirkan monster-monster pembawa kematian. Apakah cerita pohon upas itu sepenuhnya benar? Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) mengutus Thomas Horsfield (1773-1859), naturalis asal Amerika Serikat, untuk membuktikan mitos tersebut. Hasilnya, pohon upas memang mematikan, tapi hanya lendir getahnya. “Efek racun pohon upas itu cukup mengejutkan kala diujicobakan kepada seekor ayam dan anjing, yang pertama langsung mati kurang dari dua menit dan yang satunya dalam sekitar delapan menit,” tulis Victoria Glendinning dalam Raffles and the Golden Opportunity . Dalam laporannya pada 1812, Horsfield mengutarakan bahwa penduduk lokal sudah menyadari khasiat racun pohon upas untuk keperluan membunuh lawan-lawannya. Sekali terkena getah racunnya, orang tersebut akan kejang-kejang lalu mati. “Orang-orang Makassar, Borneo, dan pulau-pulau di daerah timur menggunakan racun itu melalui panah bambu (yang ujungnya ditajamkan), lalu kemudian mereka lepaskan dengan cara ditiup (disumpit),” demikian laporan Horsfield yang dimuat dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. &c suntingan Sophia Raffles. Mitos di sekitar pohon upas sudah begitu mengakar di tengah-tengah para naturalis Eropa di awal abad ke-19. Raffles dalam History of Java , William Marsden (1754-1836) dalam The History of Sumatra , dan John Crawfurd (1783-1868) dalam History of the Indian Archipelago , menyinggung keberadaan pohon upas, sekaligus menyangkal mitosnya. “Segala hal yang kita tahu mengenai kebenaran pohon upas ialah, sebuah dusta mengerikan dari orang yang menyebarkan mitos ini dan sikap prasangka buruk yang luar biasa dari mereka yang mau mempercayai khayalan sia-sia ini darinya,” tulis Crawfurd dengan ketus. Sampai sekarang, pohon upas masih dapat ditemukan di Indonesia. Di Jawa, ia lebih dikenal sebagai pohon ancar, yang akhirnya menjadi nama ilmiah untuk pohon ini, Antiaris toxicaria .
- Jejak Kurator Indonesia
DUNIA senirupa kontemporer Indonesia belakangan ramai dengan kehadiran kurator. Mereka muncul dari pergulatan wacana seni dan perkembangan politik-ekonomi. “Tapi kajian sejarah seni di Indonesia belum cukup membahas kehadiran kurator dan hubungannya dengan faktor-faktor itu,” kata Agung Hujatnika, dalam diskusi bukunya, Kurasi dan Kuasa: Kekuratoran dalam Medan Senirupa Kontemporer di Indonesia , di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, (20/3). Kurator, sosok penting dalam penyelenggaraan pameran seni. Tugas mereka antara lain menyeleksi, menilai, menulis, dan menampilkan karya seni dalam satu tema tertentu. “Kurator tak bisa sembarangan mengumpulkan karya,” kata Tommy F Awuy, pengajar filsafat pada Universitas Indonesia. Mereka mesti memiliki pemahaman teoritis khusus dan mendalam tentang karya seni. Kurator Hendro Wiyanto, menemukan istilah kurator dalam katalog pameran di Indonesia bertahun 1986. Saat itu, Juan Mor’O, seniman muda dari Filipina, menggelar pameran pamitan setelah ngendon beberapa lama di Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. “Dia memohon seniman-seniman muda yang bekerja di Bentara Budaya Yogyakarta menjadi ‘kurator’ pameran yang tajuknya ‘Moro-Moro Dadi’ (tiba-tiba menjelma, red ). Nah, itu dia ada kurator-kurator yang mendadak jadi,” kata Hendro.Tapi Hendro tak yakin kalangan senirupa Indonesia telah menyebut dan memahami istilah kurator. Sementara Agung berpendapat praktik kuratorial di Indonesia lebih dulu muncul jauh sebelum istilah kurator populer. Dasar argument Agung terletak pada keberadaan pameran dan ruang seni seperti Bataviasche Kunstkring pada 1914 dan Keimin Bunka Shidoso pada 1942. Dengan menggelar pameran seni, lembaga ini telah menunjukkan praktik kuratorial. Antara lain mengoleksi dan merawat karya seni. Sebelum pendapat Agung muncul, M. Dwi Marianto, kurator dan pengajar pada ISI Yogyakarta, pernah mengutarakan pendapat hampir serupa. Perbedaannya, Dwi merujuk pada praktik kuratorial dalam seni batik, kriya, dan desain di Jepara. Dalam artikelnya di Kompas , 6 April 2001, Dwi menyebut R.A. Kartini sebagai “seniwati-kurator dan kurator independen, serta pelindung dan promotor seni.” Sebab Kartini menulis pengantar komprehensif dan detail tentang karya batik dalam Pameran Nasional Karya Perempuan di Belanda pada 1898. Lalu adakah tokoh kurator pemula dalam senirupa Indonesia? Agung menyebut satu nama sohor masa 1950-1960. “Dari sejumlah sosok yang layak disebut sebagai ‘proto-kurator’ pada masa itu, tercatat nama Dullah… Apa yang dikerjakan Dullah sangat memadai untuk diperbandingkan dengan cakupan kerja seorang kurator museum senirupa pada umumnya,” tulis Agung. Dullah sendiri seorang pelukis kesayangan Sukarno. Pada masa Sukarno, patronase seni mengarah pada partai politik atau badan pemerintah. Ini mempengaruhi praktik kuratorial. Negara dan badan pemerintah lebih banyak melakukan praktik kuratorial ketimbang partikelir (swasta). Perubahan muncul pada masa Soeharto. Partikelir perlahan mendominasi praktik kuratorial. Beberapa di antaranya Sanento Yuliman dan Jim Supangkat. Kekuratoran juga mulai menjadi profesi khusus di Indonesia. Ini tak lepas dari boom karya seni pada 1990-an sebagai akibat munculnya kelas ekonomi mapan di Indonesia. Galeri dan eksebisi seni pun ikut tumbuh subur. Para pemilik galeri dan penyelenggara eksebisi seni juga mulai menyadari pentingnya kehadiran kurator. Keberhasilan pameran seni dengan kehadiran kurator menjadi tak terpisahkan. Ini terbukti pada 1993 saat Jim Supangkat menjadi kurator pada Biennale di Jakarta. “Inilah titik awal untuk memahami kekuratoran senirupa kontemporer Indonesia,” kata Tommy. Sejak itu, kurator-kurator partikelir terus bermunculan hingga sekarang.
- Penyelundup Kaum Paderi
REPUTASI Peto Magek sebagai saudagar besar asal Tiku jelek di mata Belanda. Dia menguasai perdagangan di pantai barat Sumatra sejak awal abad ke-19, dengan pusatnya di Pasaman. Dia aktif berniaga dengan raja dan saudagar di daerah Pasaman, Tapanuli, dan Aceh sebagai mitra dagang yang utama. “Pandangan Belanda terhadap Peto Magek memang sangat negatif,” kata Gusti Asnan, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Padang, melalui sambungan telepon kepada Historia , Selasa (17/3). Peto Magek menikahi putri Yang Dipertuan Parik Batu, pejabat tertinggi di kerajan Parik Batu, bagian Kerajaan Alam Minangkabau, yang berhulu di lereng Gunuang Pasaman. J.C. Boulhouwer, komandan pasukan Belanda, melukiskan Peto Magek dalam laporannya yang kemudian dibukukan di Amsterdam pada 1841, Herrinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust gudurende de Jaren 1831-1834 . Tubuhnya tak bisa dibilang tinggi, bahkan untuk ukuran orang Melayu. Dia selalu membunyikan sendi jari tangan saat bicara. Dan bila omongan masuk, dijentikkannya jari itu. Dia selalu tersenyum licik dengan sorot mata liar. Berkali-kali Boulhouwer melontarkan sumpah serapah: Peto Magek saudagar anak haram jadah! Selain dalam laporan Boulhouwer, sepak terjang Peto Magek bertebaran dalam arsip kolonial. Salah satunya, arsip Brieven aan Minister van Kolonien betreffende de Indisch Ambtenaren, Handel, Militair 1835-1837 , yang bisa dilacak di Arsip Nasional Republik Indonesia, menyebut Peto Magek seorang smokelhandler (penyelundup). Saudagar-saudagar yang berhubungan dagang dengannya juga dicap smokelhandler . Ketika Belanda campur tangan dalam Perang Paderi (1821-1838), sebagaimana ditulis H. Mas’oed Abidin dalam Sejarah Pemikiran Islam di Minangkabau ,Peto Magek orang yang memasok meriam Inggris ke pasukan Imam Bonjol. Tak hanya dengan Inggris, Peto Magek berhasil menjalin “bisnis gelap” dengan A.F. van den Berg, mantan asisten residen Padang pertama. Van den Berg pernah jadi juru runding perdamaian antara Belanda dan kaum Paderi pada 1825 dan 1826, ketika Belanda menjalankan strategi bertahan karena sebagian besar tentaranya ditarik ke Pulau Jawa menghadapi pasukan Diponegoro. Tahu kesuksesan “perdagangan gelap” Peto Magek, pemerintah Hindia Belanda naik pitam. Pada 1831, Boelhouwer memimpin 120 tentara Belanda menyerang Ujung Rajo, pusat perdagangan kaum Paderi. Di sinilah rumah dan gudang milik Peto Magek berada. Serangan itu, sebagaimana dicatat Boelhouwer, memporak-porandakkan basis Peto Magek. Namun sang buronan gagal ditangkap. “Di rumah dan gudang Peto Magek ditemukan barang-barang yang akan diekspor dan yang baru datang. Barang-barang yang ditemukan itu hanyalah sisa dari barang yang tidak sempat dibawa lari oleh Peto Magek dan orang-orangnya,” tulis Boulhouwer. Boulhouwer membawa barang-barang tersebut sebagai rampasan perang. Saking banyaknya, tidak semua barang terbawa pasukannya. Sisanya dibakar berikut rumah dan gudang milik Peto Magek. Setelah itu, nama dan sepak terjang Peto Magek tak terdengar lagi. Arsip lawas hanya mencatat, begitu saluran niaga di pantai barat Sumatra dikuasai Belanda, saudagar Paderi pindah haluan perdagangan ke pantai timur, Selat Malaka. Jalur dagang utama ke pantai timur, menurut Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera , adalah sungai-sungai yang mengalir ke sana: Sungai Rokan, Barumun, Bila, dan Panei. Hasil-hasil daerah pedalaman dibawa ke Pulau Penang dan Singapura. Dari dua bandar dagang ini pula kebutuhan kaum Paderi didatangkan.
- Jakarta Kota Tinja
GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali mengumpat. Kali ini dalam siaran langsung ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi swasta. “Lalu apa tuduhan yang lebih keji lagi, istri saya menerima dana CSR (dana sosial perusahaan swasta) untuk main di Kota Tua. Lu buktiin, tahi, bangsat, goblok, nenek bego ,” ujarnya dengan jengkel sebelum disela. Umpatannya itu keluar terkait konflik antara dirinya dan DPRD DKI Jakarta dalam kasus APBD. Kata “tahi” bukan sekali ini keluar dari mulut Ahok. Tahun lalu, dia pernah menyebut Jakarta sebagai “Kota Tahi” kala mengomentari kepengurusan kawasan Kota Tua yang tak becus. Ternyata “tahi” memiliki ceritanya sendiri dalam sejarah Jakarta (dulu Batavia). Tepatnya ketika pasukan Mataram menyerbu Batavia pada 1629. Raja Mataram, Sultan Agung (1593-1646) berambisi menaklukkan Batavia untuk memuluskan jalan menaklukkan Kesultanan Banten. Pasukan Mataram menyerbu Batavia dua kali, tahun 1628 dan 1629. Adapun episode pertempuran yang berkaitan dengan “tahi” terjadi di salah satu menara benteng pertahanan Belanda, Hollandia , pada malam hari 20 Oktober 1629. Kisah tersebut ditemukan dalam buku karya penjelajah Belanda, Johan Nieuhof (1618-1672), Het Gezandtschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen Keizer van China (Kedutaan Besar dari Kongsi Dagang Belanda Republik Belanda kepada Tartar Cham, Kaisar Cina) yang kali pertama terbit pada 1665 di Belanda. Kala itu, pertahanan Hollandia dipimpin oleh sersan asal Jerman, Hans Madelijn. Sudah kehabisan senjata untuk mempertahankan benteng dari pasukan Mataram, Hans menelurkan gagasan sinting. “Benteng itu dipertahankan oleh hanya 15 serdadu. Mereka kehabisan peluru, dan untuk bertahan terpaksa melemparkan segala macam benda yang bisa dilempar, konon termasuk isi tangki kakus,” tulis Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia . Sejarawan Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta , mencatat, “saat mereka diserang oleh peluru jenis baru ini, orang-orang Jawa itu langsung melarikan diri sambil berteriak jengkel, “ 0, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay (Oh, Belanda setan, kalian berkelahi pakai tahi!).” “Ini adalah kata berbahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku yang ditulis oleh orang Jerman,” tambah Heuken. Hermanus Johannes de Graaf dalam bukunya, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung mengatakan kejadian itu dijadikan dalih untuk menghentikan pengepungan. “Akan tetapi Valentijn melihat bahwa bukan karena alasan inilah mereka mundur melainkan terutama juga karena mereka melihat datangnya pasukan pembebasan dari kota menuju ke arah mereka,” tulis de Graaf mengutip dari catatan penulis Belanda, Francois Valentijn (1666-1727). Batavia gagal direbut dan prajurit Mataram pulang dengan terlunta-lunta. Orang Mataram kemudian menjuluki Batavia sebagai “Kota Tahi”, baik dalam artian umpatan maupun merujuk peristiwa konyol yang mereka alami di benteng Hollandia . Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) dalam bukunya, History of Java , menulis bahwa julukan tersebut masih digunakan oleh orang-orang Jawa setidaknya sampai awal abad ke-19. Sebuah kampung bernama “Kota Tahi” juga pernah eksis sebelum namanya menghilang di pertengahan abad yang sama. Adapun di bekas lokasi situs benteng Hollandia kini berdiri pusat perbelanjaan Glodok.
- Gudang Rempah Jadi Gudang Sejarah
DENGAN wajah ceria, lima gadis cilik melihat satu per satu koleksi Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan No 1 Jakarta Utara, Selasa (24/2) siang. Mereka sering berkunjung ke sana. Alasannya, selain dekat rumah, mereka suka koleksi-koleksi museum. Museum Bahari memiliki ratusan koleksi yang berkaitan dengan dunia maritim Nusantara. Dari foto, lukisan, alat navigasi, hingga keramik. Semuanya didapatkan melalui perburuan maupun hibah. "Kami pernah mendapatkan 200 koleksi peninggalan kapal Tiongkok yang tenggelam di Belitung pada abad ke-11. Ada mangkok, piring; ada yang sudah berkerak seperti karang, ada yang masih dengan karang-karangnya," ujar Isa Ansyari, kepala koleksi dan perawatan Museum Bahari. Perahu tradisional dari berbagai daerah menjadi koleksi terbanyak museum. Ada yang asli, ada pula yang sekadar replika. Ada juga patung-patung tokoh bersejarah yang berkaitan dengan dunia maritim seperti Ibnu Battutah. Semua ini membantu memperlengkap informasi mengenai masa lalu kemaritiman Nusantara. Mulanya bangunan Museum Bahari merupakan gudang rempah-rempah Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC). Setelah mendapat izin berniaga di Batavia, VOC membangun dua kompleks pergudangan di sekitar Pelabuhan Sunda Kelapa: di sisi barat Kali Besar (Westzijdsche Pakhuizen) dan sisi timur (Oostzijdsche Pakhuizen). Bangunan Museum Bahari termasuk dalam kompleks pergudangan barat, yang dibangun secara bertahap mulai 1652 sampai 1771 (ada yang menyebut dibangun tahun 1645). Tak jauh dari gudang, berdiri sebuah menara (kini, Menara Syahbandar) yang dibangun pada 1839 masa Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens. Menara tersebut berfungsi mengawasi dan mengatur lalu-lintas pelabuhan. Peruntukan gudang tersebut berubah-ubah mengikuti pergantian penguasa. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang menggantikan VOC, menggunakan gudang itu untuk menampung komoditas seperti kopi, teh, dan kina. "Komoditas tersebut berasal dari kebun-kebun di Jawa Barat," kata Isa. Pemerintah pendudukan Jepang menggunakan gudang itu sebagai tempat perbekalan perang. "Baju-baju bagus rakyat diambil Jepang dan disimpan di sini lalu dikirim ke Burma, Malaysia," lanjut Isa. Pada masa Republik, gudang itu dimiliki Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon, yang kemudian jadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel). PN Postel kemudian dipecah menjadi dua: Perusahaan Negara Pos dan Giro (kini, PT Pos Indonesia Persero) dan Perusahaan Negara Telekomunikasi (kini, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau biasa disebut Telkom). "Setelah Pos memisahkan diri, gudang ini akhirnya jadi gudang Telkom. Sementara Menara Syahbandar jadi Polsek Penjaringan," ujar Isa. Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mengambil-alih gudang Telkom tersebut pada 1976 dan menjadikannya Museum Bahari. Bang Ali meresmikannya pada 7 Juli 1977. Museum Bahari kemudian beberapa kali melakukan perbaikan dan pembenahan. "Museum mulai cantik itu sejak anggota dewan mulai memihak kepada museum. Kalau dulu ngajuin anggaran, susah," kata Isa.





















