Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?
BEN MBOI (1935-2015), salah satu dari ratusan anggota DPRGR/MPRS yang memberhentikan Sukarno sebagai presiden dan melantik Soeharto sebagai presiden pada 27 Maret 1968. Namun, kemudian dia merasa menyesal setelah sebuah pengalaman menyentaknya ketika bertemu dengan orang-orang Afrika. Ben menceritakan pengalamannya itu dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Pada 1971, dia mengambil gelar Master in Public Health di Belgia. Di sana, dia bertemu dokter-dokter dari Afrika dan Timur Tengah, antara lain Tanzania, Uganda, Kongo, Kamerun, Nigeria, Mesir, Irak, Iran, dan Kuwait. Mereka bertanya, “Anda dari mana?” Ben menjawab dari Indonesia. “Oh Indonesia Sukarno?” “Tidak,” kata Ben. “Indonesia Soeharto!” “Di mana Sukarno?” “Sukarno sudah disingkirkan dan sudah meninggal.” “Kenapa dia disingkirkan?” Ben menjawab seperti mode pada saat itu, “Sukarno bersimpati terhadap komunisme.” “Apa? Karena bersimpati pada komunis kamu singkirkan dia? Dia yang membawa kamu jadi merdeka, kamu singkirkan hanya karena dia bersimpati pada komunis? Astaga, kamu lebih pentingkan komunisme daripada kemerdekaan? Kamu tidak tahu terimakasih!” “Supaya Anda tahu, kami orang Afrika merdeka oleh getaran yang digerakkan oleh Sukarno, yang membangkitkan harga diri Afrika dan orang Afrika. Aneh, dia yang bawa kamu ke pintu gerbang kemerdekaan malah kamu singkirkan!” “Saya tidak dapat menjawab. Betapa pentingnya makna kemerdekaan itu. Betapa pentingnya seorang Bapak Bangsa itu, yang membawa kita ke pintu gerbang kemerdekaan,” kata Ben Mboi yang kemudian menjadi gubernur Nusa Tenggara Timur. Salah satu getaran yang digerakkan Sukarno adalah Konferensi Asia Afrika pada 1955. Bangsa-bangsa Asia dan Afrika, terutama yang belum merdeka, memenuhi undangan Sukarno untuk menghadiri Konferensi Bandung itu, untuk menuntut kemerdekaannya. Pada akhir 2005, Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki memberikan penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo kepada Sukarno. Penghargaan itu diterima oleh Megawati Sukarnoputri di kantor kepresidenan Union Buildings, Pretoria. Penghargaan diberikan kepada Sukarno karena dianggap memajukan dan mengembangkan solidaritas internasional untuk melawan penjajahan dan penindasan. Sukarno disebut sebagai pemimpin kharismatis yang menumbuhkan semangat nasionalis. Ironisnya, di dalam negeri masih ada yang menuduh Sukarno terkait peristiwa kudeta Gerakan 30 September 1965 (G30S). “Kok dibilang beliau mau membantu parpol yang mau meng-kup. Yang mau di-kup kan dia,” kata Megawati, dikutip dalam Kisah Istimewa Bung Karno . Ben mengakui bahwa memang masih ada kelompok yang menuduh Sukarno mengetahui, terlibat, bahkan dalang peristiwa G30S. “Malahan kita ketahui Bung Karno tidak suka pakai istilah G30S. Dia memilih memakai istilah Gerakan 1 Oktober atau Gestok,” kata Ben yang tidak yakin Sukarno bagian dari gerakan itu. Mengapa Sukarno memilih istilah Gestok? Menurut sejarawan Onghokham, G30S yang diberi akronim Gestapu (Gerakan September 30) adalah istilah Orde Baru, sedangkan Sukarno sendiri lebih senang menyebutnya Gerakan Satu Oktober (Gestok). Apabila dilihat dari sudut ketepatan sejarah memang istilah Gestok lebih tepat, sedangkan istilah Gestapu bernada politis dan hina bagi gerakan tersebut –Gestapu dihomonimkan dengan Gestapo, polisi rahasia atau alat teror fasisme Hitler. “Akan tetapi mau dikata apa, toh golongan yang memakai istilah Gestapu ini pemenangnya,” tulis Onghokham dalam Sukarno: Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965 . Akhirnya, Ben Mboi pun menyadari bahwa “oleh bangsa-bangsa Afrika Sukarno disamakan dengan Musa yang membawa orang Israel keluar dari perbudakan Mesir. Dan kita, orang Indonesia, mencampakan dia dari ingatan sejarah. Mohon maaf, Bung Karno!"*
- Sukarno Melepaskan Burungnya
SUKARNO lahir pada 6 Juni 1901 di Surabaya, di bawah bintang Gemini. Lambang anak kembar ini, bagi Sukarno, mencerminkan dua sisi karakternya: lembut dan keras. “Aku seorang yang suka memaafkan, akan tetapi aku pun seorang yang keras kepala,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. “Aku menjebloskan musuh-musuh negara ke balik jeruji penjara, namun aku tidak tega membiarkan burung terkurung di dalam sangkar.” Hal itu karena Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengajari anaknya, Sukarno, untuk menyayangi binatang. Dia pernah memarahi, bahkan memukul pantat Sukarno kecil pakai rotan, karena menjatuhkan sarang burung. “Kukira aku sudah mengajarimu agar menyayangi binatang,” bentak Raden Sukemi. “Masih ingatkah kau arti kata-kata: Tat Twan Asi, Tat Twan Asi ?” Raden Sukemi menjawab sendiri. “Artinya: ‘Dia adalah aku dan aku adalah dia; engkah adalah aku dan aku adalah engkau’ . Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini memiliki arti khusus?” Tat Twan Asi adalah ajaran Hindu tentang kesusilaan tanpa batas. “Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada di diri kita semua,” jawab Sukarno. Raden Sukemi bertanya lagi, “Bukankah engkau sudah diperintahkan untuk melindungi makhluk Tuhan? Dan coba katakan padaku apa sebenarnya burung dan telur itu?” “Mereka adalah ciptaan Tuhan,” jawab Sukarno. Menurut Guntur Sukarnoputra, ayahnya adalah orang yang halus perasaannya. Cinta dan sayangnya pada binatang-binatang bisa dijadikan bukti. “Sewaktu di kompleks Istana ada seekor burung yang dikurung, Bung Karno marah besar kepada pengawal. Kemudian burung itu dilepaskan. Kepada seekor nyamuk pun Bung Karno tidak pernah tega membunuhnya. Nyamuk-nyamuk itu cukup dihalaunya saja keluar dari kelambunya,” kata Guntur dalam Wartawan Bertanya, Guntur Sukarno Menjawab . Sewaktu menjalani pembuangan di Bengkulu, Sukarno membeli 50 ekor burung gelatik dengan harga sangat murah, dan sepasang burung barau-barau atau cucakrawa. Dia beli sangkar yang besar. Dengan memelihara burung, kata Sukarno, “aku mencoba mengalihkan pikiran dari persoalan pribadi.” Namun, malah membuatnya tidak tenang. “Aku harus melepaskan hewan-hewan ini. Aku tidak tega melihat sesuatu dikurung dalam sangkar,” kata Sukarno. Tak hanya melepaskan burung dari sangkar, Sukarno juga melepaskan monyet dan kanguru. “Pernah di Sumatra aku diberi seekor monyet. Hewan itu diikat dengan rantai. Aku tidak tahan melihatnya. Aku lepaskan monyet itu kedalam hutan. Ketika Irian Barat dikembalikan kedalam kekuasaan kami, aku mendapat hadiah seekor kanguru. Hewan itu dikerangkeng. Kuminta agar dia dibawa ke tempat asalnya dan dilepaskan,” katanya. Selain melepaskannya, Sukarno juga menunjukkan kesayangannya terhadap binatang dengan cara memeliharanya. Dia pernah memelihara anjing, kucing, dan rusa di Istana Bogor, yang semula hanya sembilan rusa jantan dan 48 betina. “Aku menyayangi mereka, memberi mereka pisang dari tanganku dan mereka berbiak,” kata Sukarno. “Adakah presiden lain yang memiliki 700 ekor rusa yang lepas berkeliaran di halaman rumputnya? Hewan-hewan ini sekarang menjadi bagian dari keluarga kami.” Ternyata, kata Guntur, ajaran bapaknya di kala Sukarno kecil untuk menghafal dan menghayati Tat Twam Asi sampai beliau mempunyai anak, belum juga luntur. Dan ajaran ini pun diajarkannya kepada Guntur dan adik-adiknya. “Kalau aku sampai ketahuan menembak binatang, uh , jangan tanya Bapak akan marah setinggi langit,” kata Guntur.*
- Anjing dalam Sejarah Indonesia
ANJING kerap dianggap sebagai binatang piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Kebiasaan memelihara anjing sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. “Pasai” kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera menjadi Samudera Pasai. Menurut Ali Hasymy dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia , asal nama Pasai, baik dalam Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai , menyebutkan “setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itu pun matilah pada tempat itu.” Kebiasaan memelihara anjing juga dicatat Ma Huan, seorang Tionghoa muslim yang mengiringi Laksamana Cheng Ho berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada 1416. Dia mencatat rakyat biasa di Majapahit tinggal bersama anjing mereka. Islam yang menyatakan jilatan anjing sebagai najis barangkali menyebabkan kaum Muslim enggan memeliharanya. Kendati demikian, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1941), memelihara anjing betina jenis Keeshond, hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno di Pasar Baru Jakarta. Sukarno juga pernah memelihara anjing. Mungkin karena anggapan najis dan sikapnya yang patuh pada tuannya itulah yang membuat anjing dipakai sebagai kata umpatan atau merendahkan. Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), misalnya, pernah menyamakan raja Mataram, Sultan Agung, dengan “seekor anjing yang telah mengotori masjid Jepara.” Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis: Verboden voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk pribumi dan anjing). Kata umpatan atau merendahkan itu kemudian dipakai siapa saja. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang bekerjasama dengan Belanda sebagai “anjing Belanda”. Sutan Sjahrir pernah menyebut orang yang bekerja sama dengan Jepang, terutama Sukarno, sebagai “anjing-anjing Jepang”. Para politisi dan rakyat Belanda pun mencap Sukarno sebagai “anjing piaraan Jepang”. “Cap tersebut merupakan momok yang terus mengganggu Sukarno dan Hatta pada masa sesudah Perang Dunia II,” tulis Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Sjahrir juga kena batunya ketika menjabat perdana menteri. Karena memilih berunding dengan Belanda, dia dan para pengikutnya diejek sebagai “anjing-anjing Belanda”. Pada masa revolusi, para pejuang mengumpat orang pribumi yang membantu Belanda sebagai “anjing NICA” (Netherlands-Indies Civil Administration, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Andjing NICA juga sebutan untuk Batalion Infanteri V Brigade W KNIL dari Bandung. Sebaliknya, orang-orang Belanda menyebut kaum pejuang sebagai “anjing Sukarno”.*
- Henk Sneevliet dan Anjingnya
ADA beragam nama unik yang diberikan kepada hewan peliharaan. Salah satunya yang dilakukan oleh Henk Sneevliet pada anjing kesayangannya. Ellen Santen, 75 tahun, cucu Henk Sneevliet menunjukkan selembar foto bergambar kakeknya yang sedang bercengkrama dengan anjing kesayangannya. Dalam gambar, terlihat anjing jenis English Springer Spaniel itu sedang berdiri memanjat tubuh tuannya. Foto yang dibuat sekitar tahun 1939 itu masih tersimpan rapi dan terawat baik oleh keluarga Ellen. “Anjing ini diberi nama Toedjoe, ya si Toedjoe, seperti nama kapal Zeven Provincien yang dibelanya,” ujar Ellen kepada Historia di rumahnya di Amsterdam. Seperti tercatat dalam sejarah, pada 4 Februari 1933, awak kapal Zeven Provincien melakukan pemberontakan, menguasai kapal perang milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang berada di perairan timur Sumatera. Dalam siaran yang disebarkan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris dan Belanda itu para kelasi berbangsa Indonesia menyatakan dukungan mereka pada aksi mogok yang dilakukan rekan-rekan mereka di Surabaya. Pemogokan yang dimulai pada Januari 1933 itu menolak pemotongan gaji para pelaut dan buruh pelabuhan bumiputera. Pemberontakan kapal Zeven Provincien berakhir tragis. Ketika tiba di perairan Selat Sunda, kapal tersebut dibombardir. Puluhan awak kapal bangsa Indonesia tewas akibat pemboman itu. Inilah yang membuat Henk Sneevliet melancarkan protesnya yang berujung kepada pemenjaraannya selama lima bulan sejak 21 Februari – 21 Juli 1933. Henk Sneevliet, pembawa komunisme ke Indonesia, dan anjingnya, Toedjoe. (Historia.ID). Bob de Wilde, 91 tahun, suami Ellen, pernah menjadi saksi kala tokoh revolusioner Belanda itu dibebaskan dari penjara. “Ketika dia dibebaskan dari penjara, saya waktu itu berusia 9 tahun datang untuk menyambutnya bersama ibu saya. Waktu itu Henk berpidato tentang pentingnya mendukung usaha pembebasan negeri kolonial seperti Hindia Belanda,” ujar Bob de Wilde, 91 tahun, suami Ellen Santen. Menurut Bob, dari sekian banyak politikus Belanda yang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen Belanda saat itu, hanya Henk Sneevliet yang lantang menyuarakan rakyat Hindia Belanda yang sedang dijajah. “Setahu saya, cuma Henk Sneevliet yang berani menyuarakan pembebasan bangsa Indonesia saat itu. Tak banyak politikus yang seberani dia,” kata Bob. Menurut Ellen, selain peduli pada nasib kaum buruh, Sneevliet juga seorang penyayang binatang. Tak hanya berfoto dengan anjingnya, salah satu foto juga memperlihatkan Henk sedang berpose dengan seekor sapi. “Sayang sekali saya tidak tahu siapa nama sapi ini,” kata Ellen terkekeh. Sepanjang hidupnya, Sneevliet memperjuangkan pembebasan negeri-negeri terjajah, termasuk Indonesia. Ketika Belanda diduduki Jerman pada 1940, dia kembali melawan namun akhirnya tertangkap polisi rahasia Nazi, Gestapo dan dieksekusi mati pada 12 April 1942. Lantas bagaimana nasib anjingnya? “Anjing itu tetap dipelihara oleh keluarga kami, tapi saya lupa kapan anjing itu mati,” pungkas Ellen.*
- Kesaksian Korban Rezim Lee Kuan Yew
LEE Kuan Yew, sosok yang mentransformasi Singapura, negara kecil bersumber daya alam nyaris nol menjadi pemain besar ekonomi dunia tersebut, meninggal dunia pada usia 91 tahun. Perdana menteri Singapura, yang berkuasa dari tahun 1959 sampai 1990 tersebut meninggal karena penyakit pneumonia. Namun bagi sebagian orang, kematian Lee Kuan Yew adalah jalan menuju kebebasan dari tirani. Beberapa bersuara mengomentari kepemimpinan pragmatis, atau dalam istilah yang lebih keras, ‘kediktatoran terselubung’ Lee Kuan Yew selama dirinya berkuasa. Di balik menara pencakar langit dan kekuatan finansial Singapura, bentuk-bentuk otoriterianisme mewujud. “Dia akan selalu diingat sebagai diktator yang berhasil mempertahankan lapisan tipis demokrasi dan khayalan besar akan pemerintahan hukum sampai akhir hayatnya,” tulis Tan Wah Piow, seorang eksil Singapura sejak tahun 1976 yang bermukim di London kepada freemalaysiatoday.com (23/3). Sebelum jadi eksil di London, Tan adalah Presiden Serikat Mahasiswa Universitas Singapura (sekarang Universitas Nasional Singapura, NUS). Pada 1974, dia ditangkap dan diadili karena aktivitasnya menuntut demokrasi dan keadilan sosial yang transparan bagi kaum buruh dianggap mengganggu keamanan nasional. Kasusnya diyakini penuh rekayasa. Sempat dijatuhi hukuman setahun penjara, dia lalu pergi ke Inggris pada 1976 dan menjalani hidup dalam pengasingan. Pada 1987, Tan kembali jadi sosok antagonis ketika dia dituduh pemerintah sebagai otak konspirasi gerakan Marxis di Singapura melalui gereja Katolik. Sekali lagi, pemerintah Singapura melaksanakan operasi pengamanan dengan nama Operation Spectrum . " Operation Spectrum menangkap 22 orang di antara para pengacara, mahasiswa, dan para pekerja Gereja Katolik. Mereka dipenjarakan di bawah Internal Security Act (ISA) yang melenyapkan proses hukum dan hak mereka untuk membela diri di depan pengadilan," tulis Clement Mesenas dalam Dissident Voices: Personalities in Singapore’s Political History . Melalui ISA, pemerintah Singapura telah melakukan pembersihan terhadap kekuatan-kekuatan penentang pemerintahan yang telah dikuasai oleh partai yang didirikan Lee, People′s Action Party (PAP). Hak-hak sipil dan kebebasan pers kerap ditekan. ISA di Singapura awalnya diperkenalkan oleh Malaysia ketika Singapura bergabung pada 1963. Sejarawan Singapura dari Universitas Oxford, P.J. Thum, merujuk pada dokumen yang dikeluarkan pemerintah Inggris, mengemukakan bahwa alasan merger Malaya dan Singapura tahun 1963 adalah sebuah trik politik yang dirancang oleh Inggris, PAP, dan pemerintah Malaya untuk memberangus kaum komunis Singapura melalui ISA. Pada 2 Februari 1963, ISA diteken dan Operation Coldstore dilaksanakan. Targetnya adalah menangkapi orang-orang kiri Singapura, terutama rival dari PAP yang juga partai oposisi, Barisan Sosialis. Total 133 orang ditahan, beberapa menjalani hidup di pengasingan. Setelah Singapura berhasil dikuasai PAP dan Lee Kuan Yew berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya secara ‘bersih’, maka merger menjadi tidak ada artinya lagi. Singapura berpisah, dan laju politik Lee Kuan Yew tidak terhadang lagi sampai beberapa dekade setelahnya. “Jika alasan pembentukan Malaysia melalui merger antara Federasi Malaya dan PAP adalah untuk menetralkan oposisi politik di Singapura, lalu ketika oposisi itu sudah tidak ada, apa lagi alasan rasional bagi keduanya untuk tetap meneruskan merger tersebut?” ujar Thum mengomentari keluarnya Singapura dari Malaysia pada tahun 1965, sebagaimana dikutip dari theonlinecitizen.com (23/3). Selama berkuasa, Lee Kuan Yew memang pragmatis. Kematian di hari tua yang tenang mungkin adalah salam terakhir dan hadiah yang pantas untuk sosok yang telah memberikan begitu banyak untuk negaranya. Setelah Lee Kuan Yew tiada, dunia kini bisa menilai warisan besarnya untuk Singapura dengan beragam sudut pandang. “Dengan kematian, kebenaran tentang dirinya akan terungkap. Beruntung orang yang sudah tiada tidak bisa lagi menuntut atas dasar pencemaran nama baik untuk membungkam kritik, seperti yang kerap dengan cepat dia lakukan semasa hidupnya,” tambah Tan yang saat ini tinggal di London, masih dalam statusnya sebagai eksil.*
- Rahasia Lee Kuan Yew
DI bawah Lee Kuan Yew, Singapura membuat peraturan Internal Security Act (ISA), yang mengizinkan pemerintah menahan seseorang tanpa proses hukum dengan dalih keamanan nasional. Meski kemajuan ekonomi Singapura mencitrakan wajah liberal layaknya negara-negara dunia pertama, nyatanya Singapura masih menjunjung langkah represif dalam menghadapi aspirasi warganya sendiri. “Meskipun ada pemilu berkala yang dilaksanakan dengan jujur, dan peraturan pemilu yang masih mengizinkan semua partai untuk berpartisipasi (kecuali Partai Komunis), adanya penyitaan agenda sosial dan politis oleh elite pemimpin memiliki arti masyarakat telah disingkirkan secara efektif dari partisipasi politik,” tulis Stephen Mccarthy dalam The Political Theory of Tyranny in Singapore and Burma . Setidaknya telah dua kali ISA diteken dan meninggalkan trauma bagi mereka yang menjadi korbannya. Pertama pada tahun 1963 ( Operation Coldstore ), dan kedua tahun 1987 ( Operation Spectrum ). Pemerintah mengambil dalih pembersihan atas upaya-upaya subversif gerakan kiri dalam kedua kasus tersebut. Operation Coldstore secara efektif menumpas gerakan kiri, sekaligus rival-rival politik Lee dari Barisan Sosialis, beberapa bulan sebelum pemilihan umum 1963 dilaksanakan. Karena itulah para korban tersebut meyakini apa yang menimpa mereka adalah sebuah tindakan keji yang murni politis. “Nyatanya ada penahanan tanpa pengadilan melalui ISA, sistem hukum yang mengolok-olok konsep daripada sebuah hukum itu sendiri. ISA adalah hukum di luar hukum itu sendiri. Saat kamu ditahan di bawah ISA, kamu tidak akan mendapatkan perlindungan hukum dalam bentuk apapun,” ujar Lim Hock Siew pada 2009, sembari mengingat ketika dia dipermainkan oleh petugas hukum kala meminta kejelasan soal penangkapannya di tahun 1963. Said Zahari, tahanan politik lainnya menceritakan bagaimana kondisi keras di dalam tahanan. Mulai dari kebingungan soal status tahanan mereka, aksi mogok makan untuk menolak kerja paksa, sampai depresi yang menyebabkan upaya bunuh diri Lim Chin Siong, rival utama Lee dalam berebut pengaruh politik di Singapura sebelum dia ditahan. “Kami menentang sistem berdasarkan prinsip. Kami, sebagai tahanan politik, seharusnya tidak diperlakukan layaknya kriminal biasa seperti ini,” tulis Said Zahari dalam otobiografinya The Long Nightmare: My 17 Years as a Political Prisoner . Salah satu korban lain dari gaya kepemimpinan Lee adalah Chia Thye Poh, yang mendekam di penjara selama 32 tahun. Pada 1966, saat sebagai anggota parlemen dari partai Barisan Sosialis menggelar aksi protes terhadap keputusan pemerintah untuk memisahkan diri dari Malaysia. Menurutnya PAP dan Lee Kuan Yew ada di belakang keputusan itu dan tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Pemerintah menggunakan ISA untuk menangkap dia dan kawan politiknya. Chia dijebloskan ke penjara dan mendekam di sana sampai tahun 1998. Setelahnya, Barisan Sosialis tersingkir dari peta politik Singapura. Laju Lee dan PAP tak tertahankan. Pada tahun 1987 ketika ISA kembali dilaksanakan, Lee mendapat kecaman karena kembali dengan semena-mena menangkapi warganya sendiri. Pada 2010, Teo Soh Lung, salah satu korban penangkapan itu mengatakan Lee telah menciderai keadilan dengan menahan dirinya tanpa pengadilan. Dan sudah saatnya sejarah kelam itu diajarkan kepada anak muda. “Anak-anak muda penasaran tentang masa lalu Singapura dan mereka juga ingin tahu tentang apa yang terjadi pada 1987 dan 1988, yakni soal penangkapan dan penahanan tanpa pengadilan 24 orang di bawah ISA, juga pengasingan dari banyak orang lainnya,” tuturnya dalam memoarnya Beyond the Blue Gate: Recollections of a Political Prisoner seperti dikutip dari theonlinecitizen.com (24/3).*
- Cerita Lawas Golkar Terpecah Belah
MENILIK sejarah, Partai Golkar beberapa kali mengalami konflik internal dan perebutan pengaruh. Golkar semula dengan nama Sekber Golkar, berdiri pada 20 Oktober 1964. Ia disokong 97 organisasi kekaryaan, lalu mengembang hingga 201 organisasi. Pilar utamanya adalah Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), dan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) –dikenal dengan sebutan Trikarya. Golkar ikut Pemilu 1971 dan menang, sehingga melegitimasi kuasa Soeharto. Andil terbesar untuk kemenangan Golkar berasal dari Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (Korpri), Pertahanan dan Keamanan (Hankam), dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga pemikir kebijakan yang berkantor di Tanah Abang. Namun, usai pemilu 1971, mereka malah tak akur. David Reeve, sejarawan asal Australia, menduga ada persaingan antarkelompok di Golkar. “Mungkin saja terjadi persaingan antara kelompok Ali Moertopo dan aliansi Hankam-Korpri; gesekan antara Hankam dan Korpri; persaingan antarsejumlah jenderal senior dari masing-masing kelompok ini, di mana semua jenderal menikmati akses sangat dekat dengan presiden; dan ketegangan sipil militer pada semua tingkatan,” tulis David dalam Golkar: Sejarah yang Hilang . Ali Moertopo, asisten pribadi Presiden Soeharto, lekat peranannya dalam pembentukan dan eksistensi CSIS. Menurut Leo Suryadinata, sejarawan National University of Singapore, persaingan dan saling berebut pengaruh dalam Golkar tercermin dalam Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 1973. Munas membicarakan beberapa hal tentang ciri Golkar, antara lain kekuasaan di Jakarta, dominasi militer, dan perebutan kekuasaan di berbagai kelompok. Trikarya dan Korpri menginginkan kursi ketua umum, sedangkan Hankam dan CSIS saling sikut untuk membatasi pengaruh satu sama lain. Konflik Hankam dan CSIS bahkan muncul secara tersirat dalam pertunjukan sandiwara di sela-sela Munas. Berlakon “Raden Wijaya, Raja Majapahit”, sandiwara mengisahkan kemenangan Raden Wijaya atas tentara Khubilai Khan. “Mungkin ini dipersiapkan oleh kelompok Hankam yang mencoba mempermalukan kelompok Tanah Abang untuk memperlihatkan bahwa Hankam mempunyai pengaruh yang besar di Golkar,” tulis Leo dalam Golkar dan Militer: Studi Tentang Budaya Politik . Hankam berhasil menghambat kelompok CSIS-Ali Moertopo yang sebelumnya mendominasi Golkar dengan terpilihnya Mayjen Soekowati sebagai ketua umum. Soekowati wafat pada tahun yang sama, dan posisinya diganti Kolonel Amir Murtono. Pada saat bersamaan, Rahman Tolleng, seorang tokoh muda Golkar, menggagas Golkar agar menjadi partai modern. Dia berpendapat Golkar harus lepas dari militer dan birokrasi. Bagi dia, militer dan birokrasi ibarat alat bantu peluncur untuk satelit. “Saat satelit sudah berada di orbit, alat bantu itu harus dilepaskan,” kata Rahman, dikutip dw.de . Gagasan Tolleng jadi polemik. Dia mendapat serangan dari kelompok Hankam dan Korpri. “Dalam tubuh Golkar sendiri banyak yang mencurigai Tolleng sebagai orang PSI. Apalagi korannya di Bandung senantiasa mengkritik pemerintah,” tulis Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia . PSI adalah singkatan dari Partai Sosialis Indonesia. Sepakterjang Tolleng di Golkar berakhir setelah Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari). Golkar menganggapnya terlibat Malari sehingga memecatnya.*
- Musik Gamelan di Luar Angkasa
BADAN ruang angkasa Amerika Serikat (NASA) menyiapkan dua wahana luar angkasa, Voyager 1 dan Voyager2 , dengan tujuan awal mempelajari planet Jupiter dan Saturnus. Namun, para peneliti juga mempertimbangkan potensi Voyager sebagai wahana penjelajah sistem tata surya yang belum diketahui; yang mungkin akan menjadi kontak pertama manusia dengan kehidupan di luar bumi. Karena itu, sembilan bulan sebelum peluncuran Voyager , NASA meminta Carl Sagan, astronom kenamaan Universitas Cornell, menyusun tim khusus yang bertugas menyiapkan agar wahana Voyager juga berfungsi sebagai “pembawa pesan untuk peradaban ekstraterestrial.” Tim memutuskan Voyager akan membawa musik terbaik, galeri foto, dan suara-suara kehidupan baik alami maupun artifisial. Semuanya direkam dalam piringan suara yang terbuat dari emas, VoyagerGolden Record . Sagan dan timnya menuliskan pengalaman mereka sebagai para pembuat keputusan seleksi dalam buku Murmurs of Earth , terbit tahun 1978. Dalam proses seleksi tersebut, musik gamelan dari Jawa muncul sebagai salah satu usulan. Judulnya Puspawarna , yang liriknya dibuat oleh Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV dari Surakarta (1853-1881), untuk mengenang istri dan selirnya. Puspawarna terkenal di Jawa Tengah dan biasanya dimainkan untuk menyambut pangeran masuk ke istana. Penggagasnya adalah Robert E. Brown, seorang etnomusikolog asal Amerika yang pernah merekam musik Puspawarna secara langsung pada 1971 di keraton Paku Alaman. “ Puspawarna (beragam warna bunga) merujuk pada simbol selera Hinduisme orang-orang Jawa. Namun layaknya bunga, ia juga simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai mekarnya dua wujud krusial dalam pembentukan materi tata surya di masa awal penciptaan; bintang-bintang dan galaksi,” tulis David Darling dalam Deep Time . Puspawarna dimainkan Tjokrowasito (K.P.H. Notoprojo), maestro gamelan Indonesia di masanya. Lahir 17 Maret 1909 di Yogyakarta, kariernya sebagai musisi gamelan naik ketika ditunjuk sebagai pemimpin gamelan Paku Alaman tahun 1962. Tahun 1971, dia pindah ke California untuk mengajar gamelan di Institut Seni California dan mencetak generasi-generasi pertama musisi gamelan di Amerika. Dia meninggal dunia di usia 98 tahun di Yogyakarta, pada 2007. “Lou Harrison menghormati jasa-jasa Pak Cokro dengan mendedikasikan sebuah komposisi untuknya. Juga mengusulkan sebuah bintang untuk dinamai dari nama Pak Cokro,” tulis Elon Brinner dalam Music in Central Java: Experiencing Music, Expressing Culture . Lou Harrison adalah komposer kenamaan Amerika yang juga salah satu murid Tjokrowasito. Pada 1983, sebuah bintang baru di rasi Andromeda dinamakan “Wasitodiningrat”, merujuk nama Tjokrowasito ketika dianugerahi gelar Kanjeng Raden Tumenggung oleh Paku Alaman. “Ini bukan hanya satu-satunya hubungan antara Pak Cokro dan luar angkasa. Ketawang Puspawarna yang dimainkan atas arahannya terpilih menjadi salah satu musik yang dikirim ke luar angkasa dalam wahana Voyager tahun 1977 yang mewakili peradaban manusia di jagat raya,” tambah Brinner. Puspawarna yang berdurasi 4 menit 43 detik dicantumkan bersama karya musisi dari berbagai benua di Timur dan Barat. Ia bersanding dengan karya-karya klasik gubahan Johann Sebastian Bach, Wolfgang Amadeus Mozart, dan Ludwig van Beethoven. Total durasi musik adalah 90 menit. Piringan emas juga memuat pesan-pesan sapaan dari 55 bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia: “Selamat malam, hadirin sekalian. Sampai jumpa dan sampai bertemu lagi di lain waktu.” Pengisi suaranya bernama Ilyas Harun. Kedua wahana Voyager diluncurkan pada 1977. Keduanya memuat piringan emas dengan konten yang sama. Saat ini, Voyager 1 menjadi benda buatan manusia yang terjauh. Posisinya sekarang ada di wilayah interstellar , yang merupakan sebuah ruangan luas di antara sistem tata surya dan bintang-bintang. Jaraknya sejauh 19 miliar kilometer dari Bumi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa kecil kemungkinan wahana Voyager ditemukan makhluk asing dari peradaban luar bumi. Karena itu, Voyager lebih sering dianggap sebagai kapsul waktu yang mungkin akan ditemukan kembali oleh peradaban manusia di masa depan.
- Pengadilan Internasional Peristiwa 1965
BUKTI-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah banyak terungkap. Komisi Nasional HAM pada 2012 yang lalu juga telah menyerahkan hasil penyelidikan pro justisia pelanggaran berat HAM peristiwa 1965 ke Kejaksaan Agung. Namun, sampai hari ini belum ada kejelasan sikap pemerintah atas tragedi kemanusiaan itu. Presiden Joko Widodo dalam kampanye pemilihan presiden berjanji akan “menghormati HAM dan penyelesaian berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu termasuk 1965.” Tapi harapan menipis saat Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada peringatan Hari HAM sedunia 10 Desember lalu, menyatakan pemerintah tak akan meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu. “Dari pertimbangan tersebut, saat diskusi film Jagal bersama Joshua Oppenheimer di Den Haag pada 22 Maret 2013, kami bersepakat akan memberikan tekanan internasional kepada pemerintah Indonesia,” ujar Nursyahbani Katjasungkana, koordinator sekretariat International People’s Tribunal 1965 (IPT 65), pada peluncuran situs 1965tribunal.org , di gedung Lembaga Bantuan Hukum, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta (17/12). Tekanan internasional itu berupa Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965), yang akan dilaksanakan pada Oktober 2015 di Den Haag, Belanda, bertepatan dengan setengah abad peristiwa 1965. Untuk sampai ke sana, sekretariat IPT 65 bekerjasama dengan organisasi-organisasi penyintas, pegiat HAM, akademisi, peneliti, seniman, jurnalis, mahasiswa, dan berbagai tokoh masyarakat serta aktivis prodemokrasi nasional dan internasional. Sekretariat IPT 65 di Indonesia dan Belanda akan mengumpulkan bukti-bukti berupa dokumen masa lalu, materi audiovisual, pernyataan para saksi atau testimoni dan alat bukti lain yang akan dipresentasikan dalam sidang. “Segala macam testimoni terkait masalah 65 dapat dikirim pada situs IPT, dan nanti akan ada tim yang mengolah,” ujar Saskia Eleonora Wierenga, koordinator peneliti IPT 65, yang juga penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia: Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI. Prosedur IPT 1965 berupa sidang HAM formal, bukan sidang kriminal yang menuntut seseorang atas dakwaan melakukan perbuatan pidana. Melainkan penuntut akan mendakwa negara Indonesia agar bertanggungjawab secara moral dan hukum berdasarkan bukti-bukti kejahatan terhadap kemanusiaan yang tersebar luas dan sistematis pasca 1965-1966. Majelis hakim akan melakukan penghakiman dengan menguji bukti-bukti dan membangun rekam sejarah yang akurat dan sahih sebagai dasar untuk memberikan putusannya. Pembacaan putusannya akan dilaksanakan pada 2016 di Jenewa, Swiss. Menurut Nursyahbani, yang telah bersedia menjadi hakim adalah Elizabeth Odio Bonito, mantan ketua majelis hakim pengadilan internasional Yugoslavia, dan Helen Jarvis, mantan hakim pengadilan internasional Kamboja. IPT 65 akan menyelenggarakan serangkaian kegiatan sepanjang 2015 yang diharapkan dapat membantu proses pemulihan para penyintas serta keluarganya. Pengadilan Rakyat Internasional 1965 pada akhirnya akan menciptakan iklim politik di Indonesia, dimana HAM diakui dan dihormati.*
- Cerita Lain Prahara 1965
KAKEK berusia 75 tahun itu sabar menunggu. Wajahnya sudah banyak berubah sejak pertemuan terakhir sekira satu setengah tahun silam. Senyum lepas menyungging di bibirnya yang kini tak ditemani gigi ketika dia akhirnya kedatangan tamu yang ditunggunya. Selain sibuk di organisasi Ratu Adil (Rakyat Bersatu Bertindak berdasarkan Agama dan Ilmu), Efendi Saleh, kakek tadi, dan keluarganya sedang aktif menuntut ganti-rugi kepada Yayasan Saint Carolus. Menurutnya, sebagian lahan RS Carolus di jalan Salemba merupakan lahan rumah neneknya, Nyi Metrasari Raden Sukaesih, di mana dulu dia ikut tinggal, yang diambil paksa penguasa Orde Baru. “Kita lagi sedang berperkara,” katanya sambil tertawa kecil. Kisah persengketaan keluarganya dengan Yayasan Saint Carolus menyeruak tak lama setelah Prahara 1965. Pada masa pemerintahan Sukarno, Yayasan Saint Carolus meminati lahan tempat tinggal neneknya yang terletak persis di samping RS Saint Carolus. Yayasan lalu melakukan berbagai upaya. Setelah upaya membeli tak berhasil, yayasan pernah berusaha menukar guling lahan milik neneknya dengan lahan di Jalan Raden Saleh, Jakarta. “Itu sudah ada surat-suratnya, mau dikasih,” ujar Efendi. Tapi upaya yayasan itu selalu bertepuk sebelah tangan. Sukaesih tak pernah tertarik melepas lahannya. Meski tak jelas apa alasannya, penolakan yang memercikkan bibit api dalam sekam itu sangat mungkin terkait dengan faktor historis lahan itu yang kisahnya membentang 40 tahun ke belakang dari saat itu. Pada 1926, bersama adiknya yang bernama Poeradisastra (ayah sastrawan Saleh Iskandar Poeradisastra atau lebih dikenal dengan Buyung Saleh), Sukaesih ikut ambil bagian dalam pemberontakan petani melawan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Cilegon. “Dia (Poeradisastra, red .)yang mendapat tugas mengorganisasi orang dari Ciamis ke Banten,” kata Saleh. Suami ketiga Sukaesih, seorang tentara Belanda bernama Johannes Hermanus Philippo, diam-diam ikut bersumbangsih dengan memberi bantuan. Tapi dia ketahuan dan dipecat sementara Sukaesih di-Digul-kan. Peran itulah yang membuat pemerintah republik kemudian membalas jasa Sukaesih dengan penghargaan sebagai perintis pergerakan kemerdekaan. Selain itu, negara memberinya sebidang tanah di Jalan Minangkabau. Sementara itu, tanah di Jalan Salemba Raya 35 merupakan hibah dari seorang pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Oleh Sukaesih tanah di Manggarai dijadikan usaha toko bahan bangunan, sementara yang di Salemba seluas 800-an meter persegi untuk tempat tinggal. Tanah yang bentuknya memanjang ke belakang itu berdampingan dengan kantor dan gudang milik BAT (British American Tobacco) di sebelah kanan dan RS Saint Carolus di sebelah kirinya. Efendi dan orangtuanya ikut tinggal di situ. Kamar Efendi menempati bagian belakang bungalo yang terletak paling belakang. Teman-temannya biasa main ke situ. Efendi aktif membantu perguruan silat yang didirikan ayahnya. Perguruan silat yang didirikan Adang Saleh (ayah Efendi) itu bernaung di bawah Persatuan Pencak Silat Seluruh Indonesia. Mereka biasa berlatih di halaman rumah atau lapangan di belakang Perguruan Rakyat yang terletak di samping gudang BAT. Perguruan Rakyat menjadi tempat Efendi sekolah dan Sukaesih bekerja sebagai bendahara. Menurut Ruth McVey dalam Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution , para pemimpin PNI Batavia mendirikan perguruan itu pada 1928. Tanah itulah, termasuk milik Sukaesih, yang diminati Yayasan Saint Carolus. Yayasan kemungkinan membutuhkannya untuk memperluas rumahsakit. “Carolus punya rencana banyak, sejak lama itu. Tapi kebentur sama kita,” ujarnya. G30S, yang diikuti oleh perubahan peta politik nasional, ikut mengubah keadaan di daerah itu. Semua yang “berbau” kiri dan Sukarnois mulai “diburu” dan “digebuk”. Mahasiswa antikomunis, antara lain dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), menjadi aktor terpenting. Tentara memasok segala kebutuhan mahasiswa. Pihak-pihak antikomunis ikut mendukung. “Nasi bungkus untuk mahasiswa itu keluar dari dapurnya Saint Carolus. Karena saya bersebelahan, saya tahu keluarnya nasi bungkus itu,” kata Efendi. Sekira 1966, anak-anak KAMI menggerebek rumah Sukaesih dan memasangi sebuah plang bertuliskan: Ikut Gerwani Djakarta Raja. “Plang itu dirobohin sama anak-anak,” kata Efendi. Efendi sendiri selamat karena sebelumnya sudah diberitahu akan adanya aksi oleh salah seorang anggota KAMI yang sering nongkrong di rumahnya. “Waktu adik saya mau dibawa sama mereka, yang bela anak-anak GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, red .).” Rumah dan isinya pun menjadi acak-acakan dan banyak yang hilang. “Semua ijazah, semua keterangan saya habis dibakar anak-anak KAMI itu,” katanya. Bukan hanya itu, kamar Efendi pun digali. “Katanya saya menimbun senjata.” Efendi terpaksa melarikan diri hingga ke Bali. Sempat bergonta-ganti pekerjaan dalam pelariannya, dia akhirnya tertangkap sekitar tahun 1969. Ayahnya juga kena tahan lima tahun. “Padahal PKI juga bukan, dia justru PNI,” kata Efendi. Berita tentang rumah neneknya sudah tak diketahuinya lagi. Selepas dari tahanan rezim Orde Baru pada 1979, Efendi hanya tahu neneknya sudah meninggal dan sebelumnya pindah ke Cipinang. Lahan rumah neneknya telah menjadi bagian RS Carolus. Bagaimana ceritanya lahan Carolus membesar bahkan hingga ke lahan Perguruan Rakyat, dia tak tahu. “Perguruan Rakyat itu yang sekarang jadi kamar mayatnya Saint Carolus; asrama perawat itu dulunya lapangan di depan rumah saya,” ujarnya. Efendi hanya tahu sedikit dari teman-temannya, “habis Laskar Arief Rahman Hakim menggerebek itu diserahkan kepada PMKRI.” Kini, keluarga Efendi menuntut haknya. "Kenapa yang lain dapat ganti rugi, keluarga saya tidak?” ujarnya. Tapi Yayasan Carolus bersikukuh sudah membeli tanah itu dari sebuah yayasan yang beralamat di Jalan Salemba Raya 35. Sengketa itu pun beralih ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. “Ada panggilan kepala desa, lurah. Penduduk setempat yang tua-tua tau bahwa memang kita pernah tinggal di situ. Saksi-saksi banyak,” jelasnya. “Semua diambil sama Carolus. Itu negara yang ngasih, negara juga yang ngambil, atas nama negara tapi sebenarnya bukan negara,” tutupnya.*
- Jaksa Priyatna Tantang Jenderal Duel Pistol
SEPAK terjang Priyatna Abdurrasyid di dalam Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) akhirnya menghasilkan banyak musuh di kalangan Angkatan Darat. Banyak pejabat perusahaan negara dan militer berlindung di balik orang-orang kuat seperti Sukarno atau Jenderal Yani yang tak sadar dijadikan tameng oleh mereka. Sementara itu Operasi Budhi yang keras melawan korupsi pun mengusik perasaan presiden ketika Direktur Perusahaan Dagang Negara Harsono Reksoatmodjo diperiksa atas tuduhan menggunakan wewenangnya untuk mendirikan perusahaan pribadi. Orang dekat presiden itu dituduh telah merugikan negara ratusan juta rupiah. Priyatna ingat suatu sore dia sampai harus meminta nasihat Menteri Pertama Djuanda ketika tugas mengharuskannya menangkap Harsono. Priyatna tak takut, tapi gamang lantaran tak ingin melukai hati sang presiden. “Waktu saya lapor (Djuanda, red. ), dia sambil tiduran baca koran bilang, ‘ya sudah tangkap saja!’,” kata Priyatna kepada Historia , meniru komentar Djuanda. “Katabelece” Djuanda, yang juga dikenal anti-korupsi itu jadi modal keberanian Priyatna menahan Harsono. Buntut dari penangkapan itu, Nasution dan wakilnya di Paran, Wiryono Prodjodikoro (Mahkamah Agung) dipanggil presiden ke Istana Bogor. Waperdam Soebandrio menceramahi keduanya bahwa apa yang diributkan itu sama sekali tak penting. Persaingan politik antara Angkatan Darat dan PKI di tingkat nasional ikut melemahkan Operasi Budhi/Paran. Lawan-lawan politik Nasution membisikkan kepada presiden bahwa Operasi Budhi merupakan tunggangan Nasution untuk menghimpun kekuatan guna menyaingi presiden. Tak lama berselang, Soebandrio mengumumkan pembubaran Operasi Budhi pada Mei 1964. Presiden menggantikannya dengan lembaga baru, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar). Priyatna kembail fokus di Kejaksaan setelah bubarnya Operasi Budhi/Paran. Namun tekadnya membantu pemberantasan korupsi tak pernah surut. Ketika rezim berganti, dia kembali mendapat kepercayaan untuk itu dengan masuk ke dalam Tim Pemberantasan Korupsi. Tim tersebut dibentuk pemerintahan Soeharto untuk merespon kritik skandal korupsi yang menghampiri pemerintahannya. Koran Indonesia Raya di bawah Mochtar Lubis mempelopori kritik itu dengan berita-berita mengenai kasus korupsi di Pertamina. “ Mark up biaya Pertamina waktu itu sudah keterlaluan,” ujar Priyatna. Menurutnya, selama memeriksa kasus korupsi di Pertamina itu dia sempat memeriksa Ibnu Sutowo dan Haji Taher. Priyatna sangat terbantu menjalankan tugasnya karena adanya kerjasama dari Indonesia Raya . Dari koran itulah TPK banyak mendapatkan informasi. Belakangan, oleh oknum-oknum di sekitar Presiden Soeharto bantuan Indonesia Raya itu justru diputarbalikkan dengan tuduhan bahwa Priyatna berusaha membocorkan pemeriksaan kepada media massa. Menurutnya, modus korupsi di Pertamina kala itu juga sangat beragam. Dia mendapati, pada 1968, oknum di Pertamina ketahuan melakukan penggelembungan harga ketika diminta Pertamina membeli rumah mantan PM Ali Sastroamidjojo seharga Rp35 juta. Oknum itu meminta Ali menandatangani kwitansi dengan harga yang sudah dilipatgandakan, sebagai bukti sah jual-beli. Ali Sastroamidjojo menolak. Keterlibatannya memeriksa skandal Pertamina membuat Priyatna jadi musuh penguasa. Jaksa Agung Sugih Arto bilang kepadanya, “Pak Harto marah soal Pertamina,” ujarnya menjelaskan kejadian ketika dia diminta mendampingi jaksa agung menghadap presiden. Karena suap penguasa tak berhasil meluluhkan hatinya, teror akhirnya yang mendatanginya. Bentuknya beragam. Tapi yang paling diingat Priyatna, ketika suatu siang seorang jenderal pengusaha tiba-tiba memasuki ruangan kantornya sambil melempar pistol. “Darah saya naik. Ok, kita duel di luar kantor sebagai laki-laki,” ujarnya kepada Historia.id sambil mempraktikkan tangannya menarik laci untuk mengambil pistol simpanannya. “Lari dia, nggak berani,” sambungnya sambil terkekeh. Usai mendampingi Jaksa Agung Sugih Arto ke Bina Graha, Priyatna sadar dirinya sudah tak dikehendaki penguasa. Dia akhirnya mengundurkan diri dan memilih melanjutkan studi. “Saya langsung teringat akan ucapan Alamsyah Ratu Prawiranegara, komandan saya di Sumatera Selatan, yang menirukan ucapan Pak Harto, ‘Si Priyatna itu apaan, mau periksa-periksa orang’,” ujarnya dalam otobiografinya.*
- Pak Tino Sidin dan Pinjaman Uang dari Pak Harto
SALAH satu memorabilia yang dipamerkan di Taman Tino Sidin di Yogyakarta adalah kuitansi pinjaman uang sebesar Rp7 juta untuk penyelesaian rumah. Jangka waktu pinjaman selama satu tahun tanpa bunga. Kuitansi tanggal 20 November 1981 itu ditandatangani penerima pinjaman: Tino Sidin. Yang menarik, pemberi pinjaman itu orang nomor satu Republik Indonesia: Presiden Soeharto. Tino tinggal di Yogyakarta, tetapi lebih banyak bekerja di Jakarta. “Belum punya rumah sendiri. Lucu ya! Padahal kenalan saya orang gede-gede,” kata Tino Sidin dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982. Tino berpetuah tentang hidup sederhana. “Jangan ngoyo cari duit, dulu kita lahir juga tidak membawa apa-apa.” Menurut arsitek Bambang Eryudhawan, cerita pinjaman itu berawal ketika Tino diundang ke Cendana (rumah Soeharto) mengantar Agus Prasetyo, siswa TK di Probolinggo yang menjadi juara melukis di Tokyo Jepang. “Saat berpisah, Pak Tino menyisipkan kertas ke Pak Harto dengan isi ingin jumpa pribadi. Pada November 1981 bisa jumpa pribadi. Lantas dapat pinjaman itu, untuk uang muka kredit rumah,” kata Bambang Eryudhawan kepada Historia . Tino Sidin lahir di Tebingtinggi, Sumatra Utara, 25 November 1925 dari orangtua keturunan Jawa. Sejak kecil dia berbakat menggambar. Ketika pendudukan Jepang, dia menjadi kepala bagian poster kantor penerangan Jepang di Tebingtinggi. Setelah Indonesia merdeka, selain sebagai anggota Polisi Tentara Divisi Gajah Dua Tebingtinggi, dia menjadi guru menggambar di SMP Negeri Tebingtinggi. Dia bersama Ismail Daulay mendirikan Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Medan pada 1945. Kuitansi pinjaman uang sebesar Rp7 juta dari Presiden Soeharto kepada Tino Sidin. (Dok. Bambang Eryudhawan). Bersama dua orang temannya, Nasjah Djamin dan Daoed Joesoef, Tino merantau ke Yogyakarta. Mereka bergabung dengan Seniman Indonesia Muda, membuat poster-poster perjuangan. Dia juga bekerja sebagai pegawai bagian kesenian di Kementerian Pembangunan Pemuda (1946-1948) dan bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17 (1946-1949). Tino kembali ke kampung halaman dan menetap di Binjai. Dia aktif di dunia pendidikan dan kesenian dengan menjadi guru Taman Siswa Tebingtinggi, ketua Palang Merah Remaja Kabupaten Langkat, dan ketua ASRI Binjai. Tino kemudian kembali ke Yogyakarta. Setelah belajar di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta, dia mendirikan Pusat Latihan Lukis Anak-anak (1969-1977). Sementara itu, kawannya Daoed Joesoef menjadi menteri P&K (Pendidikan dan Kebudayaan). “Banyak orang yang naik, karena temannya naik. Saya mungkin begitu juga,” kata Tino. Tino pun mengisi acara Gemar Menggambar di TVRI pada 1978. Pekerjaannya sebagai pendidik “menggambar” menasional. Sejak 1980, dia menjadi penatar guru gambar tingkat TK dan SD seluruh Indonesia. Program ini di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bahkan, bukunya Gemar Menggambar sebanyak 6 jilid disahkan menjadi buku pegangan guru SD seluruh Indonesia. Popularitas Tino melambung seantero negeri. “Ketika dia dibawa Daoed Joesoef meninjau ke Kalimantan Selatan (1979) masyarakat setempat mengelu-elukan Tino lebih dari sang menteri,” tulis Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982. “Anak-anak, pramuka, ibu-ibu berebutan mengeroyok. Petugas keamanan kewalahan.” Popularitas itulah yang membuatnya dilirik sutradara untuk membintangi film Nakalnya Anak-Anak (1980). “Pernah nama awak dipasang segede gajah di poster film, padahal awak hanya muncul lima menit di film itu,” kata Tino. Tino menikah dengan Nurhayati pada 1950 dan dikaruniai lima orang anak perempuan. Dia meninggal pada 29 Desember 1995.*






















