top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan

    BUTUH satu helaan nafas nan berat dari mulut Okky Tirto saat mengisahkan masa-masa akhir buyutnya, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo nan tragis. Cicit dari garis istri pertama, Siti Suhaerah itu mengibaratkan Tirto bak Tan Malaka dan Sukarno, di mana kedua tokoh itu juga mengalami masa-masa pengasingan yang memilukan. Mengutip biografi Tirto yang dijahit Pramoedya Ananta Toer dari beragam sumber bertajuk Sang Pemula , Tirto setidaknya dua kali diasingkan ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Bacan (1912). Tirto dibuang pemerintah kolonial tak lain lantaran beragam tuduhan, hasil dari tajamnya pena Tirto yang menguak borok pejabat-pejabat kolonial lewat suratkabar miliknya, Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan .  “Dia pulang ke Jawa dalam keadaan banyak tuduhan akibat dikriminalisasi. Nah , alhasil…dia enggak punya hak jawab dan patah arang saat di pengasingan,” terang Okky kepada Historia . Lanjut cicit yang punya nama asli RM Joko Prawoto Mulyadi itu, sekembalinya ke Batavia Tirto tak lagi bisa bersinar seperti sediakala. Ia bak dijadikan tahanan rumah di salah satu kamar Hotel Medan Prijaji di Jalan Kramat Raya, jelang mengembuskan nafas terakhirnya. “Dia disediakan satu kamar di hotel itu. Kalau di bukunya Pram (Sang Pemula), kemudian hotel itu dirampas anak buahnya sendiri, Raden Goenawan. Pengkhianatan. Sendiri dia (menghadapinya, red. ). Tragis ya. Tirto ini kan (nasib akhirnya) mirip Tan Malaka. Cuma bedanya Tirto menikah,” katanya menuturkan. Hotel Medan Prijaji itu kini diyakini sudah berubah menjadi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya. Makanya ketika pernah muncul usulan mengabadikan Tirto menjadi nama jalan di Bandung, Okky kurang sepakat. Usulan itu sempat mencuat pada 2012 kala Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jawa Barat (MSI Jabar) Nina Lubis menyarankan Pemerintah Provinsi untuk mengabulkan Tirto dijadikan nama jalan di Bandung. Menurut Okky, keluarga besar Tirto akan sangat merasa terhormat jika nama Tirto dijadikan nama jalan di Jakarta, ya tepatnya di jalan bekas Hotel Prijaji itu beralamat. Walau memang kiprah Tirto yang paling mencolok adalah ketika ia masih aktif membela “yang terprentah” terhadap “yang memerentah” di Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung). “Karena seseorang dijadikan pahlawan atau bukan itu, bukan ketika dia lahir. Tapi ketika dia menutup mata. Karena sepanjang hidupnya dia konsisten. Kalau dulu juga ada Bung Karno di-Wisma Yaso-kan, Tirto mengalami itu di hotel miliknya sendiri yang kemudian dirampas itu,” tambah Okky. Hingga pada akhir pekan pertama bulan ke-12 pada 1918, Tirto mengembuskan nafas terakhir. Ia kembali ke Sang Khalik dalam kesendirian dalam usia muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen itu dengan sendu saat memulai pengisahan riwayat Tirto dalam Sang Pemula. “Akhir seorang pemula pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberikan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian orang meninggalkannya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkan,” tulis Pram. Namanya lantas bagai lenyap tak berbekas dalam ombak sejarah yang silih-berganti memunculkan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Namanya baru muncul lagi setelah ditemukan Pram kala meneliti sejarah zaman permulaan nasionalisme Indonesia pada 1956. Bapak Pers & Pahlawan Nasional Perlahan tapi pasti nama Tirto pun mulai dapat perhatian lagi di dunia pers nasional. Sebagaimana Pram menyebut Tirto sebagai “Bapak Pers Nasional”, pemerintah lewat Dewan Pers turut memberi pengakuan dengan menyematkan gelar “Perintis Pers Indonesia” yang diberikan Menteri Penerangan cum Ketua Dewan Pers Mashuri Saleh pada 31 Maret 1973 lewat Surat Nomor 69/XI/1973. Di tahun yang sama, tepatnya 30 Desember 1973 makamnya di Manggadua dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berselang kurun 33 tahun, nama Tirto diakui lebih luas dengan dianugerahi status “pahlawan nasional” oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya 10 November 2006 bersamaan dengan Hari Pahlawan. Sebelumnya, usulan Tirto dijadikan pahlawan nasional, sebagaimana diungkapkan Nina Lubis dalam kata pengantar buku kecil usulannya, R.M. Tirto Adhi Soerjo (1880-1918): Pelopor Pers Nasional , pengajuan nama Tirto untuk dijadikan pahlawan dari provinsi Jawa Barat datang dari MSI Jabar bersama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (PPKK Lemlit Unpad), serta  Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jabar. Buku yang meringkas Sang Pemula karya Pram. Dituturkan Okky, kala itu Nina Lubis mengontak ayahnya untuk membicarakan pengusulan itu. Pengusulannya tak lepas dari jejak Tirto yang banyak berpusar di Cianjur, Bandung dan Bogor meski Tirto kelahiran Blora dan berasal dari keluarga priyayi Jawa. “Iya, zaman SBY itu (gelar pahlawan nasional). Sebelumnya Nina Lubis menghubungi ayah saya, RM Dicky Permadi. Kemudian mereka bikin tim untuk mengurus pengajuannya ke Kementerian Sosial dan pada 2006 itu bulan November dianugerahi Pak SBY,” tandas Okky.*

  • Kekerasan Seks Serdadu Belanda

    TIGA tahun lalu, media-media di Belanda memberitakan kemenangan gugatan Temiri atas pemerintah Kerajaan Belanda. Di pengadilan tinggi Den Haag, nenek berusia 86 tahun itu dapat membuktikan bahwa dirinya adalah salah satu korban pemerkosaan sejumlah prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) di Peniwen, Malang pada 19 Februari 1949. Seperti dilansir Dutchnews , atas kemenangan tersebut, Temiri berhak mendapatkan ganti rugi sebesar € 7.500 (tahun 2016 sama dengan Rp114 juta), sesuai putusan yang dibacakan oleh Pengadilan Den Haag pada 27 Januari 2016. Namun, uang ganti rugi itu tidak akan bisa menebus penderitaan batin Temiri sepanjang hidupnya. Sejatinya aksi brutal yang dilakukan serdadu Belanda tidak hanya terjadi di Peniwen. Beberapa kesaksian sempat terekam dalam pengalaman beberapa tentara Belanda dan Indonesia. Salah satunya diungkapkan oleh J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke TNI. Sekira pertengahan tahun 1947, Princen bertugas di Bogor. Laiknya anak muda, saat bertugas di kota hujan itu, dia terlibat hubungan asmara dengan remaja perempuan bernama Asmuna, yang tinggal persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh setengah telanjang dan dipenuhi lubang peluru,” kenang Princen. Rupanya saat tiba di pos penjagaan, Asmuna dipaksa untuk melayani nafsu bejat tiga serdadu Belanda. Tentu saja gadis Bogor itu menolak dan berusaha lari. Karena panik, salah seorang serdadu lalu menembak mati Asmuna. Kasus Asmuna ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak militer Belanda. Alih-alih mendapat keadilan, Asmuna yang sudah meninggal justru dituduh sebagai mata-mata Republik yang akan menyelinap ke markas tentara Belanda dan terpaksa ditembak mati. “Aku merasa muak dengan fitnah keji itu dan sejak itulah kebencianku terhadap perilaku negaraku yang tidak adil terhadap orang-orang Indonesia semakin menguat,” ujar Princen. Aksi kekerasan seks juga pernah disaksikan secara langsung oleh Mayor Soegih Arto, Komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot Divisi Siliwangi. Tahun 1948, pada suatu malam menjelang subuh, dari balik semak-semak di sebuah bukit dekat Gunung Halu (sebuah kecamatan yang sekarang masuk wilayah Bandung Barat), dia menyaksikan para prajurit  KST mengumpulkan sejumlah perempuan lalu memperkosanya secara terbuka dan beramai-ramai. “Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu,” ujar Soegih Arto dalam biografinya, Sanul Daca. Soegih Arto sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya, termasuk anak-anak dan orang tua, persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST. Aksi pemerkosaan yang dilakukan tentara Belanda juga dilaporkan oleh seorang komandan gerilyawan di Sumatera Barat bernama Taswar Akip. Dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid III terbitan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Taswar menyebut bahwa seorang wakil dari penduduk Muara Labuh, Solok Selatan meminta pasukannya untuk melindungi desanya dari keganasan serdadu Belanda. “Mereka sering datang untuk membunuh dan memperkosa para perempuan di desa kami,” ungkap orang Muara Labuh itu. Dalam Insiden Sulawesi Selatan pada 1947, selain pembunuhan massal, serdadu Belanda juga memerkosa perempuan-perempuan yang terlibat dalam aksi bawah tanah melawan militer Belanda. Salah satu korban adalah Sitti Hasanah Nu’mang. Selain mendapatkan penyiksaan, penghinaan dan pelecehan, Sitti juga diperkosa oleh seorang perwira tinggi militer Belanda bernama Mayor De Bruin. “Dalam kesendirian, saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya,” ujar Sitti seperti dikisahkannya dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi 45  suntingan sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito. Di Peniwen sendiri, Temiri bukanlah satu-satunya korban pemerkosaan. Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan: Perang Gerilya Semesta II Jilid X , ada tiga perempuan aktivis Gereja Protestan di Peniwen yang juga mengalami nasib yang sama. Bahkan mereka lebih malang lagi, setelah diperkosa kemudian dibunuh secara kejam oleh prajurit KST.*

  • Perburuan di Layar Perak

    DUA film yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (2019) dan Perburuan (2019) telah rilis pada 15 Agustus lalu. Berkat novel Bumi Manusia yang memang sudah terkenal sebelumnya, film adaptasinya pun menjadi perbincangan luas dan menuai pro kontra. Sedangkan film Perburuan garapan Richard Oh, berangkat dari novel  Perburuan (1950) tidak setenar tetralogi Pulau Buru. Berbeda dengan novelnya, film Perburan tidak dimulai 16 Agustus 1945 ketika Hardo untuk pertama kalinya muncul di Desa Kaliwangan. Richard Oh memulai film ini dengan memperkenalkan suasana markas Daidan pada hari-hari sebelum pecah pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar enam bulan sebelum Proklamasi. Tak lama, Richard kemudian menyusun adegan pemberontakan para tentara Peta. Hardo (Adipati Dolken), Dipo (Ernest Samudra) dan para shodan telah bersiap, namun shodanco Karmin (Khiva Ishak) tak kelihatan batang hidungnya. Karmin berkhianat. Rencana pemberontakan bocor, para pembangkang Jepang itu dicegat lalu diserang di jalanan tengah hutan. Dalam adu senjata singkat itu, beberapa shodan gugur. Sedangkan Hardo, Dipo dan mereka yang tersisa berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan. Sejak itu perburuan Hardo dimulai. Dialog yang Hilang Bagi mereka yang sudah membaca novel Perburuan, satu hal yang ada di benak ketika menonton film adaptasinya adalah "dialognya dipotong-potong!" Novel Perburuan ditulis Pram dalam empat bab. Tiga bab didominasi oleh dialog Hardo dengan beberapa tokoh. Bagian pertama merupakan dialog Hardo dengan Lurah Kaliwangan, calon mertuanya sendiri. Di mana bagian itu sedikit banyak menceritakan mengenai latar belakang Hardo sebelum menjadi buruan Jepang. Dalam film, dialog yang berlatar jalan desa di tengah kebun jagung itu hanya sepotong. Hanya menampilkan usaha Lurah Kaliwangan merayu Hardo untuk pulang. Padahal, dialog itu penting untuk mengenalkan tokoh-tokoh lain di sekitar Hardo dan hubungan mereka dengan Hardo. Bagian ini, oleh Richard nampaknya ditampilkan dalam adegan kilas balik. Namun, potongan-potongan kilas balik itu didominasi dengan cerita Hardo dan Ningsih (Ayushita), tunangannya. Beberapa penegenalan tokoh cukup penting menjadi terlewat di sini. Dialog antara Hardo dan ayahnya yang pada bab kedua novel juga banyak terpotong. Dari bagian ini, alam pikiran Hardo dapat terbaca melalui percakapan dengan ayahnya di dalam gubuk itu. Sedangkan dalam film, percakapan mereka hanya untuk menjelaskan peristiwa penggerebekan Hardo dan seputar kematian ibu Hardo. Sedangkan bab ketiga di mana terjadi dialog antara Hardo dan Dipo, yang dapat menjadi pengantar ke puncak cerita, Richard membuatnya seperti dialog nasionalisme yang kaku. Semangat anti-Jepang seperti yang diungkapkan Pram sendiri juga tak nampak. Meski demikian, beberapa adegan terutama dalam teknik pengambilan gambar cukup menarik. Adegan monolog Hardo di dalam gua nampak dramatis karena menampilkan wajah Hardo yang hanya diterangi korek api. Hal itu juga bisa ditemukan dalam dialog di dalam gubuk yang hanya diterangi cahaya bulan dari celah-celah gubuk. Meski terpotong, adegan dialog terasa lumayan intim. Penggambaran jalan desa yang sunyi di tengah kebun jagung begitu realistis. Adegan yang terjadi di jalan itu, tidak memaksa Richard harus membuat jalan itu terang benderang agar para pemain terlihat jelas. Suara Adipati Dolken sebagai Hardo kere juga membantu membangun suasana seperti yang digambarkan dalam novel. Namun, hal lain yang cukup mengganggu adalah latar musiknya. Sudah terpotong cukup banyak, dialog-dialog dalam film Perburuan terganggu oleh latar musik. Suasana sunyi yang ditulis Pram dalam novel ketika Hardo berada di tengah kebun jagung menjadi pecah oleh alunan musik bernuansa patriotik. Padahal sebelum adegan itu, Pram menulis, “Bulan waktu itu belum timbul dan bintang-bintang berkedipan tenang di atas awan-gemawan berarak. Tenang saja dusun Kaliwangan … suatu dusun di tepi kota Blora.” Kesunyian dan ketenangan. Itulah yang menyelimuti novel ini dan yang menemani perjalanan Hardo sebagai buruan. Bukan musik patriotik yang disisip-sisipkan. Sedangkan beberapa adegan yang seharusnya menampilkan kejadian kacau malah terasa sebaliknya, seperti pada akhir film ini. Ketika kabar kekalahan Jepang mulai terdengar, suasana mulai riuh, oleh desah kerata, oleh hiruk pikuk stasiun, oleh ringkik kuda dokar. “Terdengar sorak lagi. Hore … Peta dan Heiho dibubarkan!” tulis Pram. Richard membuat adegan itu begitu lambat dan rapi. Tidak terasa atmosfir yang menandakan sebuah peristiwa kemerdekaan. Hal yang sama terjadi pada kematian Ningsih. Yang seharusnya kacau, sekali lagi, dibuat lambat dan rapi. Bukan Sejarah Hitam Putih Angga Okta Rahman, cucu Pram, pertama kali membaca novel Perburuan pada 2002, ketika menginjak kelas tiga sekolah dasar. Baginya, novel Perburuan hendak menceritakan tentang narasi perjuangan kemerdekaan yang tidak selalu hitam putih. Tidak selalu soal penjajah dan terjajah, tetapi juga persoalan di antara sesama anak bangsa. “Ada suatu masa di mana banyak orang berjuang untuk kemerdekaan, untuk keadilan terhadap bangsanya, tapi di satu sisi ada orang-orang yang ingkar hal itu. Seperti Karmin yang ingkar karena alasan dirinya sendiri. Atau seperti lurah Kaliwangan yang ingkar karena alasannya pada keluarga. Tapi di satu sisi kita bisa melihat seperti Hardo, di mana dia tetap berjuang terhadap kemerdekaan walaupun kehidupan keluarganya hancur. Walaupun kehidupan pribadinya juga hancur, tapi ia tetep berjuang, demi kemerdekaan, demi keadilan terhadap bangsanya, demi kepentingan terhadap bangsanya,” terang Angga kepada Historia. Narasi yang ditangkap Angga itu memang muncul dalam film Perburuaan . Namun, Angga menyayangkan bahwa hal itu kurang ditonjolkan. “Apakah hal itu muncul dan mendapat ruang yang cukup dalam film, muncul ya, menurut saya muncul. Cuma memang tidak mendapatkan ruang yang lebih. Saya berharap tentang hal yang saya sampaikan tadi itu akan menjadi lebih disorot,” kata Angga. Angga menambahkan bahwa hal itu mungkin memang terjadi karena banyak dialog yang dipotong, yang dampaknya mengurangi pesan seperti pada novel. “Padahal kalau misalkan tidak sebanyak ini dipotongnya, mungkin akan lebih mempertegas ke pendapat saya itu. Tidak mendapat ruang yang cukup mungkin karena dialognya terlalu banyak dipotong,” jelas Angga. Dalam film ini, Angga menyukai color grading dan beberapa spot editing yang menurutnya sangat bagus. Selain itu, “yang paling bikin menarik menurut saya dimasukannya tokoh Supriyadi. Itu kan nggak ada di dalam Perburuan , tiba-tiba dimasukan di situ dan ini menurut saya hal yang bagus,” ujarnya. Masuknya Supriyadi dalam film nampaknya berangkat dari adanya pemberontakan Peta di Blitar pada 14-15 Februari 1945 yang menginspirasi Perburuan . A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer membenarkan hal itu. “Realistisnya latar cerita ini tidak hanya jelas dari tempatnya, melainkan juga dari waktunya. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung pada tanggal 16/17 Agustus 1945; ketiga protagonis laki-lakinya dahulu adalah shodancho , bintara dalam Peta, Pembela Tanah Air, tentara pembantu yang didirikan Jepang. Mereka nampaknya terlibat pemberontakan Peta terhadap Jepang. Benarlah anggapan Aveling bahwa ini merupakan rujukan pada pemberontakan Peta Daidan Blitar, pada malam 15 Februari 1945,” tulisnya. Terakhir, Angga menyoroti make up pemain yang menurutnya kurang maksimal. “Buat saya yang paling mengganggu itu brewok dan dekil-dekil tokohnya sih. Intinya sih menurutku kurang maksimal aja,” katanya. Meskipun demikian, menurut Angga, interpretasi terhadap novel Pram sangat bebas. “Karena setiap orang kan punya pendapat yang berbeda tentang bukunya sendiri, tentang apa yang ingin disampaikan dan filmnya,” jelas Angga.*

  • Melahirkan Max Havelaar di Korea

    KEBAHAGIAN terpancar di wajah Ubaidilah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Banten. Ia diundang oleh IKCS (Indonesia Korean Cultural Studies) untuk menghadiri kegiatan peluncuran novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea pada Sabtu, 10 Agustus 2019 di Korean Cultural Center, Sudirman, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri oleh mayoritas orang Korea ini memberi kesan tersendiri bagi Ubaidilah. Sebagai seorang yang fokus dalam pelestarian karya-karya Multatuli di Indonesia, Ubaidilah merasa senang dengan adanya perhatian masyarakat Korea terhadap sastra dari Hindia ini. “Penerbitan buku Max Havelaar bagi saya sangat menggembirakan karena sudah jarang sekali para pembaca yang mau kembali pada bacaan sastra kelas dunia,” ucap Ubaidilah saat menanggapi peluncuran novel Max Havelaar berbahasa Korea tersebut. Max Havelaar merupakan karya terkemuka Multatuli yang pertama kali diluncurkan pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam. Novel yang pengerjaannya hanya membutuhkan waktu satu bulan, September-Oktober 1859, itu ditulis berdasarkan salinan surat-surat ketika Multatuli menjabat asisten residen di Lebak, Banten. Multatuli hanya menetap kurang lebih selama tiga bulan di Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama dengan membawa luka dan kecewa. Ia meradang, sekuat tenaga berusaha membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Multatuli pun menggugat ketidakadilan yang ditemuinya. Multatuli menulis Max Havelaar di penginapan Au Prince Belge di Bergstraat No. 80, Brusel, Belgia. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku. Pada 13 Oktober 1859, buku tersebut selesai ditulis. Beberapa waktu sebelum karyanya diterbitkan, Multatuli mengirim secarik surat kepada Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” katanya dalam surat tersebut. Tetapi raja bergeming. Novel Max Havelaar diakui sebagai salah satu karya sastra dunia. Keberadaan novel karya Multatuli ini bahkan mampu mengusik perhatian rakyat Belanda tentang tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan pemerintahan mereka di negeri jajahannya. Dalam buku Die Welt Bibliothek , penyair, novelis, dan pelukis berdarah Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, Hermann Hesse, menjadikan Max Havelaar salah satu buku bacaan wajib yang sangat dikaguminya. Terjemahan dari bahasa aslinya, Belanda ke dalam bahasa Indonesia dilakukan pada 1972 oleh H.B. Jassin. Berkat itu, setahun kemudian Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Ia juga berkesampatan tinggal selama satu tahun di Belanda. Sementara bahasa Korea sendiri menjadi terjemahan ke-47 bagi novel Max Havelaar di seluruh dunia. Menurut sejarawan Korea Bae Dong Sun, orang Korea tidak terlalu mengenal karya sastra dari Belanda, termasuk yang berlatar belakang kolonialisme di Hindia. Mereka lebih tertarik membaca karya-karya dari sastrawan Inggris atau Amerika. “Meski tidak terkenal, buku ini begitu bagus. Itulah sebabnya kami menerjemahkan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea,” kata Bae Dong Sun kepada Historia. Penerjemahan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea memakan waktu yang tidak sebentar. Para penerjemah, Bae Dong Sun, Sagong Gyeong, dan Mr. Kang, melakukan persiapan selama 2 tahun, terhitung sejak Desember 2016. Ubaidilah menyebut jika antusias para peneliti Korea terhadap Multatuli ini cukup besar. “Sejak ide pendirian Museum Multatuli di Banten, teman-teman Korea ini sudah nongkrong di museum. Sebelum pembukaan juga mereka sudah bertanya banyak hal tentang Multatuli,” kata Ubaidilah kepada Historia . Akhirnya, Ubaidilah menyarankan penerbitan novel Max Havelaar berbahasa Korea, karena memang saat itu belum ada terjemahan dalam bahasa tersebut. Sagong Gyeong setuju dengan usulan itu. Ia pun mulai membentuk tim yang terdiri dari sejarawan dan sastrawan. Demi mendapat terjemahan yang sesuai dengan karakter Multatuli, Bae Dong Sun dan tim mengunjungi tempat-tempat yang dahulu pernah ditempati sang penulis ketika berada di Indonesia. Mereka mencoba merekonstruksi pribadi Multatuli melalui peninggalannya. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah bekas kediaman Multatuli dan Tugu Kunskring Paleis. Untuk proses terjemahannya, para peneliti Korea menggunakan novel berbahasa Indonesia dan Belanda. Mereka memilih keduanya karena dirasa lebih dekat dengan penulis aslinya, serta isinya pun lebih mudah dipahami. “Agar dapat mengetahui Indonesia sekarang, kita perlu mengetahui Indonesia di masa lalu. Bukan dari orang Indonesia semata, melainkan perlu pandangan orang Belanda. Buku ini menjadi salah satu sumber penting untuk mengungkapnya,” pungkas Bae Dong Sun.*

  • Lima Hal Menarik Seputar Malam Perumusan Naskah Proklamasi

    SUASANA 17 Agustus 1945 sangat terasa di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan yang dahulu dipakai oleh Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo untuk menulis konsep ( klad ) naskah Proklamasi ini tetap mempertahankan kondisi asli sejak 74 tahun silam. “Berdasarkan foto-foto, kemudian penelitian, serta buku-buku yang dibuat oleh para tokoh yang datang pada malam perumusan, maka dibuatlah replika sesuai dengan aslinya,” kata Wahyuni (42), educator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, kepada Historia . Terjadi beberapa peristiwa unik yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat selama detik-detik perumusan naskah Proklamasi di tempat yang pernah menjadi gedung Kedutaan Besar Inggris ini. Mesin Tik Militer Jerman Klad naskah Proklamasi yang telah dibacakan dan disetujui oleh semua orang yang hadir di rumah Laksamana Maeda akhirnya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Namun, masalah muncul: di rumah itu hanya ada mesin tik berhuruf kanji. Sayuti kesulitan karena tidak ada huruf latin di sana. Menurut penuturan Satzuki Mishima, ajudan Laksamana Maeda, yang diwawancarai tim Museum Perumusan Naskah Proklamasi, untuk mengantisipasi hal tersebut dia kemudian pergi dengan mengendarai mobil Jeep menuju kantor perwakilan militer Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia (sekarang Gedung Armada Barat di bilangan Pasar Senin) untuk meminjam mesin tik berhuruf latin. Dengan mesin tik Korvetten-kapitan Dr. Hermann Kandeler itu, Sayuti akhirnya dapat menjalankan tugasnya menyalin rancangan teks Proklamasi. Ditandatangani di Atas Piano Setelah selesai merumuskan klad naskah Proklamasi, Sukarno, Hatta, dan Subarjo, pergi ke ruang tengah untuk menemui semua orang yang sedari tadi menunggu mereka. Tepat di samping piano yang letaknya dekat dengan tangga dan dapur (kini menjadi ruang pengetikan naskah), ketiganya berdiri membacakan hasil buah pikir mereka. Meski dibumbui sejumlah perdebatan, klad naskah Proklamasi itu akhirnya disetujui. Sebagai bukti pengesahannya, Sukarno dan Hatta diminta untuk membubuhkan tanda tangan mereka. Tanpa beranjak dari tempatnya dan dalam posisi berdiri, Sukarno dan Hatta memanfaatkan piano di samping mereka sebagai alas. Walau hanya replika, letak piano tersebut masih dapat dilihat di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Menurut penuturan Wahyuni posisi piano sekarang ditentukan berdasarkan kesaksian orang-orang yang hadir pada saat proses perumusan terjadi, seperti B.M. Diah dan asisten rumah Laksamana Maeda. Naskah Asli yang Terbuang Dalam biografinya, Butir-Butir Padi B.M. Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman karya Dasman Djamaludin, B.M. Diah pernah menceritakan pengalamannya hadir saat penyusunan naskah Proklamasi pada 16 Agustus 1945. Saat Sayuti Melik diminta untuk mengetik klad Proklamasi tulisan tangan Sukarno, Diah ikut menemaninya. Setelah selesai, naskah tulisan tangan Sukarno itu diremas dan dibuang ke tempat sampah oleh Sayuti. Kebetulan B.M. Diah melihatnya, dia lalu mengambil dan menyimpan teks asli tersebut. Namun, sumber lain menyebut kalau naskah itu tidak dibuang Sayuti, melainkan hanya disimpan di meja saja. Kemudian saat B.M. Diah akan kembali ke kediamannya, dia mengambil naskah itu. “Saya tidak menyangka bahwa kertas tersebut menjadi dokumen penting di kemudian hari,” kata B.M. Diah. B.M. Diah sendiri saat itu diberi tugas oleh Hatta untuk segera memperbanyak naskah Proklamasi dan menerbitkannya di berbagai surat kabar agar berita kemerdekaan diketahui oleh semua orang. Dalam buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik , Nugroho Notosusanto menulis jika teks Proklamasi yang ada pada B.M. Diah diterbitkan pada Oktober 1945 di surat kabar Merdeka . Debat Pengesahan Naskah Setelah selesai membacakan konsep ( klad ) naskah Proklamasi, Sukarno menyarankan semua orang yang hadir bersama-sama membubuhkan tanda tangan di kertas itu. Sukarno ingin semuanya berperan menjadi wakil bagi bangsa Indonesia untuk proses kemerdekaan tersebut. Namun saran itu mendapat penentangan dari golongan pemuda. Mereka tidak rela jika orang-orang yang telah menjadi "budak Jepang" ikut mengesahkan naskah Proklamasi. Yang dimaksud "budak Jepang" adalah tokoh-tokoh dari golongan tua yang mereka nilai tidak memiliki andil dalam pergerakan nasional. “Mereka dinilai sebagai oprotunis-oportunis belaka dan memperoleh ‘kursi’ karena pengabdiannya kepada pemerintah balatentara Dai Nippon,” tulis Nugroho. Akibat pernyataan tersebut, mereka yang tertuduh merasa marah. Perdebatan antara golongan tua dan golongan muda pun tak terhindarkan. Di dalam situasi yang panas tersebut, Sukarni, salah seorang tokoh golongan muda, mengusulkan agar penandatangan naskah Proklamasi hanya Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Sukarno dan Hatta telah dikenal luas sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan sehingga pilihan tersebut dianggap paling baik oleh semua orang yang hadir. Akhirnya, usul Sukarni itu diterima oleh semua orang. Beberapa Kata yang Berubah Setelah diminta oleh Sukarno, Sayuti Melik, ditemani B.M. Diah segera mengetik naskah Proklamasi di ruangan bawah tangga dekat dapur. Ia mengetik naskah Proklamasi dengan perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan “Soekarno-Hatta”; terakhir dia juga mengganti “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”. Angka 05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945. “Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru, jadi kalau soal ejaan bahasa Indonesia saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi.*

  • Dari Bugel Menjadi Hoegeng

    Kapolri Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang jujur, bersih, dan sederhana. Dia menjadi polisi sejak zaman pendudukan Jepang. Kariernya terus naik hingga menjadi Kapolri berkat pendidikannya. Pada 1952, Hoegeng bersama 15 orang lulus sebagai angkatan pertama PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Setelah diwisuda, mereka diundang Presiden Sukarno ke Istana Negara Jakarta. Satu persatu ditanya: nama, asal, sudah punya istri atau belum, dan lain-lain. Tibalah giliran Hoegeng memperkenalkan diri. “Hoegeng, Pak!” Sukarno menatapnya. Namanya aneh. Yang dia tahu nama “Sugeng” bukan “Hoegeng.” Gara-gara soal nama, perkenalan jadi panjang. Menurut Sukarno, nama “Hoegeng” bukan nama Jawa dan tidak ada artinya. Dia pun meminta Hoegeng mengganti namanya dengan mengambil dari cerita pewayangan. “Nama yang baik itu seperti nama saya, Sukarno. Kan, nama wayang itu. Nah, begini saja, mbok ya nama jij (kamu) itu diganti saja. Ya, diganti seperti Sukarno begitu.” Hoegeng menolak. Ternyata Sukarno serius. Dia pun mencari akal untuk mencairkan suasana. “Ya, nama Hoegeng itu saya dapat dari saya punya orang tua. Kalau saya berganti nama, Sukarno pula, sedangkan pembantu di rumah saya namanya juga Sukarno, waaah…” Sukarno mendelik. Orang-orang pada tertawa riuh. “Benar-benar kurang ajar kamu,” kata Sukarno. “Gaya Pekalongan mungkin tak selalu enak. Bisa-bisa dianggap keterlaluan oleh atasan yang tak paham. Tapi Bung Karno sepertinya dapat memahami. Agaknya karena dia orang Jawa Timur dan pernah tinggal di Surabaya,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan. “Bung Karno tidak marah namanya saya jadikan bahan olok-olok. Malah Bung Karno sendiri akhirnya tertawa keras.” Hoegeng yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, memiliki empat nama: Abdul Latif (pemberian teman ayah seorang peramal Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian Eyang Putri), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyut, ibu dari Eyang Putri). Dia memilih nama pemberian ayahnya: Hoegeng Iman Santoso. Namun, dia lebih suka memakai nama Hoegeng saja. Ternyata, nama Hoegeng ada asal usulnya. Waktu kecil dia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, dia dijuluki si “bugel” (gemuk) seperti ubi mengeram dalam tanah. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah: dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng” (ejaan lamanya hoegeng). “Rasanya (Hoegeng) sebuah nama yang meriah sekaligus lucu mengandung ironi,” kata Hoegeng. “Sebab dalam kenyataannya saya tak pernah lagi gemuk dan barang kali tak ingin demikian.”

  • Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri

    KINI, Karawang dikenal sebagai kawasan industri. Ratusan pabrik beroperasi di sana. Padahal, hingga akhir 1980-an Karawang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat. “Dulunya adalah masyarakat pertanian, mayoritas penduduknya petani namun berubah,” kata Profesor Aiko Kurosawa dalam diskusi “Historical and Land Use Transformation in Industrial Society” di LIPI, Kamis (15/08/2019). Bersama antropolog Makoto Iko dan sosiolog Tagayasu Naito, Aiko sejak tahun lalu melakukan studi peralihan kawasan agraris menjadi industri di Desa Sukaluyu, Teluk Jambe, Karawang. Menurut Aiko, di masa kolonial Tegal Jambe termasuk tanah partikelir yang disebut Tegalwaru Landen. Tuan tanah berkuasa di sana baik secara ekonomi maupun administrasi. Para petani penggarap diwajibkan menyerahkan 20 persen hasil panen. Para tuan tanah juga menentukan siapa saja yang boleh berbisnis di wilayahnya. Setelah merdeka, sawah sebagai tanah partikelir dibagikan sebagai hak milik kepada pengggarapnya (petani). Sedangkan tanah kongsi atau tanah yang tidak digarap oleh rakyat, diambilalih pemerintah dan jadi milik Kementerian Perhutanan. Sawah-sawah yang jadi milik petani itu tetap digarap pemiliknya hingga era Orde Baru. Lantaran arealnya sangat luas, pemerintah menjadikannya kawasan agraris penghasil padi terbanyak Indonesia. Perhatian besar pada pertanian Karawang dicurahkan untuk mencapai swasembada pangan dengan penanaman bibit unggul, penggunaan pestisida, dan pembangunan saluran irigasi. Usaha ini membuahkan hasil dengan produksi yang melimpah pada 1984, yakni 25,8 juta ton. Namun, surplus beras ini tak bertahan lama. Soeharto berubah pikiran. Kawasan agraris ini diubah menjadi kawasan industri. Pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri dimulai pada akhir 1980-an. Peran spekulan tanah sebagai calo sangat penting dalam pembebasan tanah petani itu. Sebanyak 538 hektare tanah darat di bagian selatan Desa Sukaluyu milik 87 orang petani dijual dengan harga murah. Aturan resmi, Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Pengembangan Kawasan lndustri, Kabupaten Karawang, baru keluar kemudian. “Pada 1990-an beberapa kawasan industri muncul di daerah timur Jakarta. Yang paling besar KIIC (Karawang International Industrial City), didirikan oleh Sinar Mas dan perusahaan Jepang Itochu,” kata Tagayasu Naito. Di samping membangun kawasan industri, dibangun pula perumahan nasional (perumnas) Bumi Teluk Jambe sebagai penunjang di bagian utara Desa Sukaluyu. Inilah pembangunan perumnas pertama di wilayah desa. Pembangunan perumnas seluas 186 hektare itu meliputi tiga desa, yakni Wadas, Sukaluyu, dan Sukaharja. Sepanjang 1994-1995, pemerintah mengalihfungsikan 174 hektare sawah menjadi kawasan perumahan. Pembangunan perumnas ini dilakukan secara bertahap sejak 1995, namun tersendat karena krisis moneter. Pengembang lalu mengganti taktik dengan mempromosikan perumahan itu pada pegawai pemerintah dan buruh. Dengan menggandeng BTN, pengembang membuat keringanan dan penghapusan bunga selama 5 tahun. Dengan banyaknya proyek pembangunan, sawah-sawah di Karawang tergusur. Data Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mencatat, laju alih fungsi lahan dalam kurun waktu 1989-2007 mencapai 135,6 hektare per tahun.  Pada 1981 terdapat 12,114 hektare sawah di Karawang. Angkanya surut drastis pada tahun 2000, dengan tersisa 2497 hektare. Sementara data yang dihimpun Aiko menunjukkan penyempitan areal sawah di Desa Sukaluyu pada tiga tahun berturut-turut. Pada 2016 jumlah sawah masih 40 hektare, menyusut 17 hektare (2017), dan tersisa 13 hektare pada 2018. Akibat makin sempitnya persawahan, pengiriman beras ditutup. Warga beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil, buruh pabrik, tukang ojek, atau dan kuli. Hanya 20 orang penduduk Teluk Jambe yang berprofesi sebagai petani. Kesenjangan pun terlihat amat jelas antara penduduk kampung dan perumahan yang menurut Makoto amat jarang bersinggungan. “Sejak membuka kawasan industri pada 1990-an karawang mengalami perubahan sosial yang dinamis,” kata Makoto Iko.

  • Cucian untuk Perdana Menteri Kashmir

    Sewaktu menjabat Wakil Komandan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD), Letnan Kolonel Soegih Arto diajak dalam rombongan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan kunjungan kenegaraan ke India, Kashmir, danBurma (Myanmar) pada Oktober-November 1955. Dia ditugaskan menjadi ajudan Bung Hatta. Yang menjadi masalah selama kunjungan adalah pakaian dalam . Mau minta dicucikan malu karena kualitasnya substandar, tidak dicuci kotor, dan mencuci sendiri tak sesuai harkat dan derajat tamu yang dipanggil excellency (yang mulia). Pagi-pagi Soegih Arto dibangunkan oleh pelayan dengan mengatakan, “ Excellency your morning tea. Shall I prepare your bath ?” “Baru seumur hidup disebut excellency dan rasanya enak juga,” kata Soegih Arto dalam memoarnya, Sanul Daca . Oleh karena itu, kata Soegih Arto, “pakaian dalam yang sudah kotor, dimasukkan saja dalam koper, menunggu kesempatan baik.” Acara demi acara di India berjalan dengan baik dan lancar. Acara selanjutnya berkunjung ke Kashmir. Soegih Arto ikut rombongan Angkatan Darat. Sesampainya di Kashmir, rombongan tentara ditempatkan di guesthouse tersendiri yang cukup baik. Masing-masing mendapat satu kamar. Mereka langsung masuk kamar dan beberes karena akan segera dimulai peninjauan ke perbatasan India-Pakistan. Ketika Soegih Arto sedang sibuk, masuklah seorang berpakaian jas panjang dan memakai kopiah tebal menanyakan apakah kamar cukup memuaskan. Soegih Arto tak tahu siapa dia karena tak memperkenalkan diri. “Waktu dia menanyakan apakah ada yang dapat dia dibantu, saya langsung menyerahkan pakaian kotor untuk dicuci,” kata Soegih Arto. “Orang itu tertegun sebentar dan tanpa berkata apa-apa pergi membawa pakaian kotor saya.” Sorenya, Rajpramukh Kashmir mengadakan resepsi menghormati Bung Hatta. Rajpramukh adalah gelar pemimpin administratif di India sejak 1947 hingga 1956. Rajpramukh ditunjuk untuk provinsi dan negara bagian tertentu. Di jajaran yang menerima tamu berdiri Rajpramukh Kashmir dan permaisuri serta seorang yang rasa-rasanya pernah lihat. “Bagaikan kilat yang menyambar, saya ingat bahwa orang yang berdiri itu, tidak lain adalah orang yang saya beri cucian tadi pagi,” kata Soegih Arto. Lho, pembantu rumah tangga mess kok ada di situ? Soegih Arto menanyakan kepada Atase Militer Indonesia untuk India, Letnan Kolonel Thalib, siapa orang yang berdiri dekat raja. Dijawabnya, itu adalah Perdana Menteri. Soegih Arto lemas. Gemetar. Rasanya lutut tak mampu lagi menyangga badannya. “Saya telah menyuruh Perdana Menteri mengantar pakaian kotor ke dobi,” kata Soegih Arto. Dobi adalah penatu, yaitu orang yang pekerjaannya mencuci dan menyetrika pakaian. Soegih Arto langsung meninggalkan barisan untuk menghindari salaman. Dia mencari minum untuk mengembalikan kekuatan. Lama kemudian, setelah semua tamu datang, dia keliling, berjalan kesana-kemari. Celaka tak dapat dielak, petaka tak dapat dihindari. Soegih Arto pun bertemu dan berhadap-hadapan. Perdana Menteri tertawa dan menyalaminya. “Saya ketawa malu-malu, kata orang Belanda, seperti petani sakit gigi padahal pada waktu itu rasanya saya seperti petani tidak punya muka.” Dalam suhu yang dingin di Kashmir, Soegih Arto masih bisa berkeringat. Dia pun berjanji kepada diri sendiri akan lebih berhati-hati di kemudian hari. Dari Kashmir, rombongan Bung Hatta menuju Burma. Kelak, Soegih Arto akan menjadi duta besar untuk Burma. Dan setelah menjabat Jaksa Agung, dia menjadi duta besar untuk India.

  • Bung Hatta dan Jenderal Ngaret

    MOHAMMAD HATTA, wakil presiden pertama Republik Indonesia terkenal dengan kedisiplinannya. Terlebih soal waktu. Karena keteraturan terhadap jadwal, Bung Hatta sampai dijuluki "manusia jam" oleh jurnalis kawakan Mochtar Lubis . “Celakalah kita kalau datang terlambat dari jam yang telah dijanjikan. Akan sukar sekalilah minta bertemu lagi, jika sekali terbukti kita tidak dapat menjaga waktu yang tepat,” kenang Mochtar Lubis dalam “Bung Hatta Manusia Berdisiplin” termuat di kumpulan tulisan Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan suntingan Meutia Farida Hatta-Swasono. Bung Hatta pun tidak segan menegur orang yang melanggar disiplin waktu, sekalipun petinggi militer. Meski demikian, seorang jenderal pernah juga cari perkara dengan Bung Hatta. Namanya Moestopo, pangkatnya mayor jenderal. Pada 1946, Moestopo memimpin Pasukan Terate (Tentara Rahasia Tertinggi) yang terdiri dari sekumpulan copet dan maling di front Subang, Jawa Barat. Sekali waktu pada minggu pagi, Moestopo mendapat perintah via telegram untuk menghadap Bung Hatta. Pesan telegram mengatakan bahwa Bung Hatta menantinya pada pukul 8.00 pagi. Jamuan pun telah disediakan oleh Nyonya Rahmi Hatta berupa teh dan kue sebagai penganan sarapan. Moestopo segera bergegas. Di tengah perjalanan, apes melanda Moestopo. Kendaraan yang membawanya menuju kediaman Bung Hatta mengalami masalah. Untuk tetap melaju, mobilnya pun terpaksa didorong. “Maklumlah mobil di zaman revolusi butut, sehingga semuanya mempunyai penyakit harus didorong,” tulis Moestopo dalam “Bersama Bung Hatta, Proklamator dan Wakil Presiden RI Pertama” termuat dalam  Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan . Setiba di rumah Bung Hatta, Moestopo terlambat lima menit dari waktu bertemu yang ditentukan. Moestopo memberi hormat militer dengan tegap. Bung Hatta menerima kedatangan Moestopo dan menyambutnya dengan dingin. “Hai Jenderal Moestopo! Kamu itu jenderal atau bukan? Kalau jenderal mana disipilinnya?” hardik Bung Hatta.   Alih-alih tersindir atau malu, (masih dalam sikap tegap), Moestopo malah berseloroh, “Bung, maklumlah kita berjuang berdikari. Saya tahu bahwa pemerintah hanya dapat memberikan mobil butut kepada jenderalnya sehingga perlu didorong-dorong dulu mobil itu.” Mendengar jawaban Moestopo, Bung Hatta hanya tersenyum sambil melengos. Moestopo dipersilakannya duduk untuk memulai sarapan pagi. Sang jenderal ngaret itu pun boleh bernapas lega lolos dari amarah Bung Hatta.

  • Pattimura Dihukum Mati Karena Dikhianati

    SELAMA berkuasa di Maluku, Belanda sempat dibuat repot selama berbulan-bulan oleh kecerdikan Kapitan Pattimura yang pandai meramu strategi perang. Kompeni itu bahkan hampir menyerah jika bala bantuan dari Batavia tidak datang dengan cepat. Namun begitulah takdir, perjuangan Pattimura harus berakhir oleh pengkhianatan rakyatnya sendiri, raja negeri Booi di Saparua, Maluku, yang selama ini mati-matian dibelanya. Malam 11 November 1817, Pattimura dan pasukannya sedang berdiam di sebuah rumah di hutan Booi. Tidak ada perbincangan apapun, mereka hanya diam termenung. Tiba-tiba terdengar keramaian di luar dan pintu terbuka oleh tendangan seseorang. Beberapa tentara merangsek masuk, mengarahkan senjata ke semua orang. Seorang opsir berteriak memberi perintah untuk menyerah, sambil mengarahkan senjatanya ke dada Pattimura. Kemudian masuk dan berteriak raja Booi: “Thomas, menyerahlah engkau. Tidak ada gunanya melawan. Rumah ini sudah dikepung empat puluh serdadu yang siap menembak mati kalian.” “Terkutuklah engkau, pengkhianat!” geram Pattimura, seraya digiring keluar menuju kota Booi, sebelum diberangkatkan ke Ambon. Tidak disebutkan apakah raja Booi mendapat imbalan atas pengkhianatannya itu. Namun I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura menyebut alasan raja Booi menjual informasi kepada Belanda karena dendam setelah Pattimura menurunkan posisinya sebagai pemimpin rakyat. Kabar penangkapan Pattimura tersiar ke seluruh pelosok negeri dengan sangat cepat. Para pemimpin perang lain pun segera menjadi target perburuan. Sebagian memilih meletakkan senjata, namun sebagian lain memutuskan tetap berperang. Mereka tidak ingin nasibnya berakhir di tiang gantung, dan terus melanjutkan perjuangan Pattimura. Setiba di Ambon, Pattimura dan sejumlah pejuang yang tertangkap dikurung di benteng Victoria. Selama di dalam penjara, mereka diinterogasi oleh tentara. Namun Pattimura menutup rapat-rapat mulutnya sehingga tidak banyak informasi yang didapat Belanda. Memasuki bulan Desember, para tahanan dihadapkan di depan Ambonsche Raad van Justitie (Dewan Pengadilan Ambon). Setelah melalui beberapa sidang, vonis pun dijatuhkan. Kapitan Pattimura, Anthone Rhebok, Said Perintah, dan Philip Latumahina mendapat hukuman paling berat sebagai pemimpin perang, yakni hukum gantung. Sementara tahanan lainnya diasingkan ke Jawa. Pattimura dan tiga orang lainnya mengisi hari-hari terakhir menjelang ekseskusi dengan renungan. “Suatu malam penuh ketegangan dan perjuangan batin. Pikiran keempat pemimpin itu melayang-layang ke sanak saudara. Kebebasan yang mereka ingini menyebabkan korban besar yang harus mereka berikan. Tetapi sekarang kembali mereka akan ditindas oleh kaum penjajah,” tulis Nanulaitta. Tanggal 16 Desember 1817, tibalah hari eksekusi. Pagi-pagi sekali, empat orang pemimpin itu telah diperintahkan untuk bersiap. Tidak terlihat kecemasan di wajah Pattimura dan kawan-kawan seperjuangnya itu karena sehari sebelumnya para pemuka agama datang mengunjungi mereka dan semalaman menemani di dalam sel sambil terus memanjatkan doa. Di lapangan depan benteng Victoria, tiang gantung telah disiapkan. Para algojo pun telah berdiri di sampingnya, menunggu korbannya tiba. Sejumlah besar tentara dipersiapkan, baik di sekitar lapangan eksekusi maupun pantai untuk menghalau segala bentrokan yang mungkin terjadi. Rakyat Maluku pun telah berkumpul, berusaha melihat para pemimpin mereka untuk terakhir kalinya. Sekitar pukul tujuh, Pattimura dan para terhukum lainnya tiba dengan tangan terikat, dan penjagaan yang amat ketat. Setelah mereka ditempatkan di depan tiang gantungan, seorang petugas pengadilan membacakan putusan dewan hakim di depan seluruh orang yang hadir: “… mereka akan dihukum gantung sampai mati, dilaksanakan oleh para algojo. Kemudian mayat mereka akan dibawa keluar dan digantung agar daging mereka menjadi mangsa udara dan burung-burung, dan digantung agar tulang belulang mereka menjadi debu sehingga dengan demikian menjadi suatu pelajaran yang menakutkan bagi turun-temurun. Bahwa Thomas Mattulesi untuk selama-lamanya akan digantung di dalam sebuah kurungan besi dan sekalipun telah menjadi debu, akan menimbulkan ketakutan karena perbuatannya,” tulis Nanulaitta. Philip Latumahina menjadi yang pertama menaiki tiang gantung. Tali dipasangkan dan genderang dibunyikan. Namun sesaat kemudian ia terjatuh. Tali maut itu ternyata tidak mampu menahan beban Latumahina yang memang berbadan besar. Dengan susah payah, algojo menyeretnya kembali ke depan tiang gantungan. Malang nasibnya, ia harus merasakan tali gantungan untuk kedua kalinya. Beberapa detik kemudian nyawanya pun melayang. Setelah Latumahina, berturut-turut Anthone Rhebok dan Said Perintah menaiki tiang gantung. Tidak perlu usaha dan waktu terlalu lama bagi algojo mengeksekusi keduanya. Setelah genderang dibunyikan, nyawa keduanya dengan cepat terlepas. Tiga orang pejuang telah berpulang, kini tibalah giliran sang panglima tertinggi Maluku berhadapan dengan tiang gantungan. Dari atas tempat eksekusi ia bisa melihat puluhan musuh yang sangat ingin ia hancurkan sedang menontonya. Sementara di kejauhan ia menatap rakyat Maluku yang hendak ia bebaskan, meski gagal. Saat algojo memasangkan tali di lehernya, sambil mengarahkan pandangannya ke arah hakim-hakim Belanda, Pattimura mengucapkan kata-kata perpisahannya: “Selamat tinggal tuan-tuan.”

  • Bumi Manusia Rasa Milenial

    MODERNISASI dan cinta. Minke (diperankan Iqbaal Ramadhan) mengalami kegalauan akut terhadap hidup yang dipilihnya dan berkelindan dengan dua hal itu. Di satu sisi ia seorang anak bupati yang mengenyam pendidikan Eropa: bersekolah dengan anak-anak Belanda dan Indo (blasteran bumiputra dengan Eropa) pada zaman peralihan. Di sisi lain cintanya kandas karena aturan kolonial yang sangat rasialistis akhir abad ke-19. Setidaknya begitu gambaran yang disuguhkan sineas Hanung Bramantyo dalam Bumi Manusia . Film drama yang diangkat dari tetralogi pertama Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer bertajuk sama. Karya sastrawan yang disebutkan Hanung, sebagai karya yang acap dibaca secara sembunyi-sembunyi di masa Orde Baru. Memang Hanung tak menyertakan periode waktu. Namun soal era sangat nampak lantaran Minke salah satu pemuda HBS Hogere Burgerschool (setara SMP-SMA) Surabaya yang turut antusias melihat perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu Belanda, 6 September 1898. Tetapi di lain pihak, Minke melihat sendiri bagaimana dampak modernisasi yang masuk ke Hindia Belanda di masa itu. Mulai dari kapal uap, kereta api uap, hingga teknologi komunikasi telegraf dan telegram. Serbuan teknologi Eropa yang kian memisahkan jurang antarkelas di kehidupan sosial Hindia Belanda. Betapa makin kuat penindasan yang terasa antara kelas Eropa dan bumiputra. Sementara itu dari sesama kawan HBS-nya pula, Robert Suurhof (Jerome Kurnia), ia mengenal bidadari Indo, Annelies Mellema (Mawar Eva de Jongh). Tidak butuh waktu lama untuk Minke jatuh hati. Dalam selingan kisah asmara keduanya itu pula Minke melihat kenyataan yang tak biasa. Bahwa ibu Annelies yang seorang nyai, Ontosoroh alias Sanikem Sostrotomo (Sha Ine Febriyanti), justru yang memegang kendali sebuah bisnis perkebunan, Boerderij Buitenzorg di Wonokromo milik pasangan sang nyai seorang Belanda, Herman Mellema (Peter Sterk). Herman justru lebih banyak foya-foya. Mabuk-mabukan hampir saban hari di rumah pelesir Baba Ah Tjong (Chew Kin Wah). Robert Mellema (Giorgino Abraham), kakak Annelies, setali tiga uang. Enggan meneruskan sekolah dan memandang hina Minke sebagai kalangan bawah bumiputra. Hubungannya dengan gadis Indo itu turut jadi perhatian orang tua Minke yang seorang Bupati Bojonegoro. Ayah Minke (Donny Damara), menegurnya dengan keras karena menganggap Minke meninggalkan budaya dan tradisi Jawa. Sementara Minke hanya bisa curhat pada ibunya: “Saya hanya ingin menjadi manusia bebas yang hidup di bumi manusia dengan segala perkaranya”. Kembali ke Wonokromo, Minke mulai dihadapkan dengan perkara yang sudah lama mengganggu hatinya. Tak lain antara jurang pemisah antara kaum yang “terperintah” (bumiputra) dan “memerintah” (Eropa). Baik soal kasus kematian Herman Mellema dan hak asuh Annelies dan harta waris Herman yang digugat putra Herman dari istri pertama, Maurits Mellema (Robert Alexander Prein). Para aktor dan tim produksi film Bumi Manusia di gala premier Jakarta. (Randy Wirayudha/Historia). Bagaimana kelanjutannya? Baiknya Anda tonton sendiri film berdurasi 172 menit yang akan tayang resmi di bioskop-bioskop tanah air mulai 15 Agustus 2019. Film yang menurut Hanung sangat kontekstual dengan kondisi di Indonesia saat ini. “Film ini bercerita tentang kata modern pertama kali keluar di Hindia Belanda. Itu sangat relate dengan kaum milenial karena kata-kata milenial sendiri baru keluar belakangan ini. Kegalauan Minke sama halnya dengan kegalauan anak-anak muda saat ini. Tonton film ini karena film ini berbicara tentang Indonesia pada masa masih embrio,” ujar Hanung kepada Historia di sela gala premier selebritas  Bumi Manusia di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, Senin (12/9/2019) malam. Blunder Film Hanung mengakui proyek filmnya merupakan film “berat”. Ia menggali dari nol novel Pram untuk bisa meramunya hingga bisa diterima kaum milenial yang dirasa sulit menerima film dengan bobot berat. “Tantangannya adalah waktu. Untuk mendapatkan karakter Minke, sakitnya Minke itu tidak bisa 2-3 bulan, harus tahunan tapi mana ada waktunya,” lanjutnya. Mungkin faktor itulah yang akhirnya menuai beberapa kritik. Padahal filmnya dimulai dengan mendongkrak emosi via pemutaran lagu “Indonesia Raya”. Juga digambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tengah serbuah modernitas. Plus sisipan tembang menyentuh “Ibu Pertiwi” yang dibawakan Iwan Fals. Pun dengan komitmen para aktornya yang membawakan multibahasa di filmnya, mulai dari bahasa Jawa, Belanda, Prancis, Cina hingga Jepang. Sayangnya tak diikuti bahasa Melayu yang jadi “bahasa pemersatu” kaum bumiputra saat itu, melainkan hanya bahasa Indonesia baku belaka. Membuat suasana filmnya sangat milenial meski menggerogoti keotentikan karya Pramoedya. Meski dinamika naik-turun alur filmnya tetap ada, namun setengah durasi ke belakang justru terasa membosankan. Belum lagi runyamnya beberapa detail properti. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka – senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu m usketeer dari Prancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko. Itu jika dibandingkan dengan sejarah aslinya di era itu. Masalahnya beberapa kejadian juga menyeleweng dari novel Pram sendiri, Bumi Manusia . Dalam novelnya, saat Minke disatroni polisi untuk dijemput, perlakuan agen polisinya nampak kasar. Padahal pada novelnya digambarkan Minke dijemput dengan perlakuan sopan, mengingat Minke anak bupati. Surat pemanggilannya pun bertuliskan “Karesidenan Bodjonegoro”, bukan Kabupaten Bodjonegoro lantaran ayahnya si bupatilah yang memanggilnya. Di novel Pram juga Minke menjelaskan asal-usul namanya yang bersumber dari hinaan gurunya semasa ELS (De Europeesche Lagere School). Mungkin dalam dialognya Iqbaal yang memerankan Minke kepeleset lidah bahwa panggilan itu berasal dari guru sekolah HBS. Hanung juga melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat dikaguminya semasa ELS. Hanung Bramantyo, sutradara film Bumi Manusia. (Randy Wirayudha/Historia) Lantas di adegan Minke disuruh jalan jongkok sebelum menghadap ayahnya di pendopo kabupaten. Orang yang menyuruhnya adalah abdi dalem pendopo. Padahal dalam novel, yang menyuruh Minke jalan jongkok adalah agen polisi yang mengantarnya dari Surabaya ke Bojonegoro. Dalam film juga tak diputar lagu “Wilhelmus” saat perayaan penobatan Ratu Wilhelmina dan penobatan ayahnya jadi bupati, sebagaimana dituangkan Pram. Dalam pengadilan juga tak nampak adanya jaksa penuntut, di mana sistem hukum kolonial masih sangat serupa dengan saat ini, juga di novel. Nyai Ontosoroh hanya ditekan oleh hakim. Pun dengan vonis Baba Ah Tjong sebagai peracun Herman Mellema. Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa. Entah berapa detail dari novel Pram yang berbelok dalam film. Namun, blunder yang dirasa paling terasa adalah, Hanung menyertakan nama Raden Mas (RM) Tirto Adhi (Soerjo), terhitung lima kali dalam film. Jelas-jelas Pram tak pernah menyebut nama Tirto meski Minke adalah “penjelmaan” dari tokoh pers nasional itu. Sedikitnya dalam novel, Pram hanya menyebut RM Minke anak Bupati B (merujuk Bojonegoro). Soal ini, Hanung membantah bahwa Minke adalah Tirto Adhi Soerjo. “Ini bukan biografi tentang Tirto Adhi Soerjo. Siapa bilang (Minke adalah Tirto, red. )? Enggak ada yang bilang seperti itu (Minke adalah Tirto)! Pak Pram hanya memudahkan agar supaya karakternya itu hipotesanya enak, makanya dia ambil Tirto Adhi Soerjo. Tetapi Pak Pram sama sekali tak mengatakan ini (Minke) adalah Tirto Adhi Soerjo,” kata Hanung. Toh, dalam filmnya, lima kali nama Tirto disertakan. Pertama dalam surat pemanggilan Minke dengan kop Karesidenan Bojonegoro. Kedua dalam dialog Minke dengan ayahnya. Ketiga dalam lembaran pengumuman kelulusan HBS sebagai ranking 1 HBS se-Surabaya. Keempat dalam tulisannya di surat kabar pasca alter egonya terungkap. Kelima saat Minke menyodorkan surat nikah resmi secara Islam ke Raad van Justitie untuk membuktikan bahwa dia suami sah Annelies. Respons Keluarga Tirto Adhi Soerjo Lantas bagaimana tanggapan keluarga Tirto Adhi Soerjo sendiri? Terkait Minke yang dianggap bukan Tirto Adhi Soerjo namun namanya tetap muncul di beberapa adegan filmnya. “Kalau bagi saya enggak ada soal. Memang tidak harus sowan ke keluarga besar Tirto Adhi Soerjo karena diambilnya dari Bumi Manusia , bukan Sang Pemula yang biografinya Tirto. Tapi itu kembali ke Hanung sendiri apakah dia merasa harus atau tidak. Bagi saya pribadi Tirto Adhi Soerjo sudah milik anak segala bangsa, siapapun mau menginterpretasikannya, monggo-monggo saja,” kata RM Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo kepada Historia. Okky Tirto, cicit Tirto Adhi Soerjo dari garis istri pertama Siti Suhaerah Namun Okky turut salut dengan “strategi” Hanung mengambil Iqbaal Ramadhan untuk memerankan Minke alias Tirto Adhi Soerjo. Nama aktor muda ini tengah menjulang sejak memerankan Dilan dalam Dilan 1990 . Kendati memang mulanya pemilihan Iqbaal menuai pro-kontra. “Ya itu minusnya bahwa di diri Iqbaal masih menempel citra Dilan. Orang akan confuse kenapa Dilan memerankan Minke. Agak jetlag melihatnya. Tapi positifnya adalah Iqbaal sedang naik namanya di kalangan milenial. Kita mau berharap apa kaum milenial tahu Pram? Susah dan berat lho, mungkin kalau mereka magang di Historia , bisa tuh ,” tutur Okky seraya bergurau. Setidaknya dengan “Dilan effect ” itu, menurut Okky, jadi pintu masuk generasi milenial untuk memahami sejarah bangsa di masa kolonial. “Dua poin penting: pertama, anak milenial bisa jadi senang akan sastra yang sesungguhnya, bukan sastra pop. Kedua, mereka jadi aware dengan sejarah bangsa ini. Bahwa di dalamnya mereka jadi mengenal Tirto itu hanya efek samping. Strateginya yang oke juga kalau dikemasnya baik,” tandas Okky.

bottom of page