top of page

Sejarah Indonesia

Dari Bugel Menjadi Hoegeng

Dari Bugel Menjadi Hoegeng

Sukarno menyuruh Hoegeng mengganti namanya karena bukan nama Jawa. Namanya gemuk tapi badannya kurus.

Oleh :
16 Agustus 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kapolri Hoegeng Iman Santoso berkunjung ke bagian lalu lintas Kepolisian Kerajaan Belanda di Driebergen pada 1970. (Repro Polisi: Idaman dan Kenyataan).

Kapolri Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang jujur, bersih, dan sederhana. Dia menjadi polisi sejak zaman pendudukan Jepang. Kariernya terus naik hingga menjadi Kapolri berkat pendidikannya.


Pada 1952, Hoegeng bersama 15 orang lulus sebagai angkatan pertama PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Setelah diwisuda, mereka diundang Presiden Sukarno ke Istana Negara Jakarta. Satu persatu ditanya: nama, asal, sudah punya istri atau belum, dan lain-lain.

Tibalah giliran Hoegeng memperkenalkan diri.


“Hoegeng, Pak!”


Sukarno menatapnya. Namanya aneh. Yang dia tahu nama “Sugeng” bukan “Hoegeng.”


Gara-gara soal nama, perkenalan jadi panjang. Menurut Sukarno, nama “Hoegeng” bukan nama Jawa dan tidak ada artinya. Dia pun meminta Hoegeng mengganti namanya dengan mengambil dari cerita pewayangan.


“Nama yang baik itu seperti nama saya, Sukarno. Kan, nama wayang itu. Nah, begini saja, mbok ya nama jij (kamu) itu diganti saja. Ya, diganti seperti Sukarno begitu.”


Hoegeng menolak. Ternyata Sukarno serius. Dia pun mencari akal untuk mencairkan suasana. “Ya, nama Hoegeng itu saya dapat dari saya punya orang tua. Kalau saya berganti nama, Sukarno pula, sedangkan pembantu di rumah saya namanya juga Sukarno, waaah…”


Sukarno mendelik. Orang-orang pada tertawa riuh. “Benar-benar kurang ajar kamu,” kata Sukarno.


“Gaya Pekalongan mungkin tak selalu enak. Bisa-bisa dianggap keterlaluan oleh atasan yang tak paham. Tapi Bung Karno sepertinya dapat memahami. Agaknya karena dia orang Jawa Timur dan pernah tinggal di Surabaya,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan. “Bung Karno tidak marah namanya saya jadikan bahan olok-olok. Malah Bung Karno sendiri akhirnya tertawa keras.”


Hoegeng yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, memiliki empat nama: Abdul Latif (pemberian teman ayah seorang peramal Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian Eyang Putri), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyut, ibu dari Eyang Putri).


Dia memilih nama pemberian ayahnya: Hoegeng Iman Santoso. Namun, dia lebih suka memakai nama Hoegeng saja.


Ternyata, nama Hoegeng ada asal usulnya. Waktu kecil dia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, dia dijuluki si “bugel” (gemuk) seperti ubi mengeram dalam tanah. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah: dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng” (ejaan lamanya hoegeng).


“Rasanya (Hoegeng) sebuah nama yang meriah sekaligus lucu mengandung ironi,” kata Hoegeng. “Sebab dalam kenyataannya saya tak pernah lagi gemuk dan barang kali tak ingin demikian.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Badan-Badan Otonom NU

Badan-Badan Otonom NU

Nahdlatul Ulama memiliki badan-badan otonom dalam berbagai bidang untuk menandingi gerakan organisasi-organisasi massa PKI.
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
bottom of page