Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Makan Daging Masa Jawa Kuno
Jamuan mereka sering kali sangat bersahaja, terdiri dari domba, kambing, atau seperempat sapi dan kerbau panggang. Dengan itu mereka mengadakan pesta besar-besaran. Nasi ditumpuk begitu tinggi, setinggi bahu orang yang duduk bersila. Ayam dan unggas panggang, serta berbagai jenis makanan kering dari daging lembu, ditumpuk sebanyak-banyaknya, di mana-mana. Seolah itu merupakan pemborosan yang nista. Namun tidaklah demikian. Begitu raja dan kaum bangsawan selesai makan, sisanya dipindahkan bersama tikarnya. Lalu diberikan semuanya kepada para pelayan raja. Bagi kaum bangsawan, jika ada yang tersisa, mereka membawanya pulang untuk dinikmati bersama anak-anak mereka atas tanggungan raja. Begitulah kebiasaan dalam jamuan besar di Jawa sebagaimana dicatat Van Goens pada 1656. Duta VOC dari Batavia itu beberapa kali berkunjung ke Keraton Mataram di bawah Amangkurat I (1645-1677). Dalam acara semacam itulah rakyat bisa makan daging. Seperti disebut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, penyediaan daging yang nampak berlebihan seperti ini bukan hanya menjadi ajang pamer kebesaran penguasa. Itu juga cara membagi-bagi persediaan daging yang terbatas kepada rakyat. Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Laksamana Cheng Ho, terkejut dengan kebiasaan makan orang di Nusantara, khsususnya di Jawa. Dalam Yingya Shenglan, dia tercengang melihat makanan orang Jawa ketika datang pada awal abad ke-15. “Makanan penduduk sangat kotor dan buruk, contohnya ular, semut, dan semua jenis serangga serta cacing, mereka panaskan sebentar di atas api dan langsung dimakan,” katanya. Di luar itu, rakyat jelata biasanya lebih sering makan ikan, baik tawar maupun laut, karena mudah didapat. “Ikan ini kelihatannya agak tersebar di berbagai tempat dan dengan demikian dapat dinikmati oleh orang kaya maupun miskin, priyayi, atau rakyat jelata,” jelas Reid. Pada masa yang lebih kuno, raja juga punya kebiasaan menjamu rakyatnya makan beragam daging hewan dalam sebuah pesta, biasanya penetapan desa perdikan. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan daging dan ikan dibedakan tegas dengan istilah serapan dari bahasa Sanskreta, yaitu mamsa untuk daging dan matsya untuk ikan. Kakawin Nagarakrtagama mencatat jenis daging yang dihidangkan di Keraton Majapahit. Ada daging domba, kerbau, ayam, babi liar, lebah, ikan, dan bebek. Dijelaskan pula sederetan daging yang tidak dihidangkan kepada orang-orang yang taat pantangan Hindu, meskipun itu banyak digemari oleh rakyat biasa. “Kodok, cacing, penyu, tikus, anjing, alangkah banyaknya orang yang menggemari daging-daging ini mereka dibanjiri daging-daging ini, sehingga mereka tampak sangat senang,” tulis Mpu Prapanca. Berbagai daging yang sering dikonsumsi juga disebutkan dalam beberapa prasasti. Di antaranya babi ternak ( celeng ), babi hutan ( wok ), kerbau ( kbo/hadangan ), kijang ( kidang ), kambing ( wdus ), sapi ( sapi ), kera ( wrai ), serta dikenal juga kalong ( kaluang ). Adapun yang masuk kategori unggas adalah bebek ( andah ), sejenis burung ( alap-alap ), angsa ( angsa ), ayam ( ayam ) dan telur ( hanttrini ), kemungkinan telur ayam. “Mengingat ayam sudah dijinakkan sejak masa bercocok tanam, dan penggambarannya dapat dilihat pada relief Karmawibhangga (di kaki Candi Borobudur, red. ),” tulis Kresno Yulianto Sukardi, arkeolog Universitas Indonesia, dalam makalahnya “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV . Seseorang tengah berburu burung dengan alat sumpit dalam relief Karmawibhangga Dalam panil relief yang sama digambarkan juga babi. Pada masa itu mungkin sudah diternakkan. Pasalnya berbagai jenis babi memang sudah ditemukan di hutan-hutan Asia Tenggara selama ribuan tahun, bahkan diternakkan paling tidak sejak 3000 tahun SM. Ketersediaan Daging Babi termasuk dalam daging yang paling banyak tersedia selain ayam dan kerbau. Kata Reid, babi adalah pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging. Ia merupakan sumber utama daging di daerah di mana Islam belum masuk. Sementara kerbau, meski banyak peternak cenderung enggan menyembelihnya karena lebih berharga sebagai hewan pembajak. “Kerbau yang lebih kuat ada di mana-mana tapi tingkat reproduksinya yang lambat, satu atau lebih anak tiap tiga tahun atau lebih,” jelas Reid. Baik kerbau, kambing, maupun unggas, seperti itik sudah sejak lama telah diternakkan secara sungguh-sungguh. Hal ini dapat diduga berdasarkan Prasasti Sangsang (829 Saka/907 M). Isinya antara lain menyebutkan batas jumlah hewan yang tidak dikenai pajak bila dijual dalam wilayah sima: 20 kerbau, 40 sapi, 80 kambing, dan itik satu wantayan. Soal perdagangan hewan juga tertulis dalam Prasasti Kubu Kubu (827 Saka/905 M). Selain kerbau, kambing, sapi, dan itik, ayam termasuk hewan yang dijual. “Hewan ini barangkali sengaja dijual untuk dimakan atau dipelihara oleh masyarakat pada masa itu,” jelas Kresno. Orang sedang menyembelih kambing dalam relief Karmawibhangga Bukan cuma hewan yang masih hidup yang diperdagangkan. Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi menemukan kata hajagal dalam prasasti dan naskah. Itu merujuk pada pemotong hewan ternak atau tukang jagal. “Sangat mungkin pada masa Mataram Kuno, selain hewan ternak telah dijual pula daging secara eceran,” lanjutnya. Lagi-lagi, pembelinya tak sembarangan. Mengingat sampai masa kini pun, bagi penduduk desa daging masih merupakan makanan mewah untuk dikonsumsi sehari-hari. “Mereka mengkonsumsi daging hanya pada hari-hari besar seperti hari raya atau bila ada yang berkenduri,” kata Titi.
- Kisah Pierre Tendean Si Ajudan Tampan
Pierre Tendean dan Efendi Ritonga adalah taruna Akademi Teknik AD (Atekad) lulusan tahun 1961. Keduanya kawan dekat. Tingkat satu, mereka satu peleton dan tinggal bersama di barak. Sekamar saat menginjak tingkat dua. Sekali waktu, mereka keluar asrama turun ke arah Ciumbuleuit menghabiskan akhir pekan. “Pierre cerita bahwa ada lima wanita siswi SMA Dago yang taruhan untuk mendapatkan dirinya yang ganteng itu,” tutur Efendi dalam peluncuran buku biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi di Perpustakaan Nasional Jakarta Pusat, 25 Februari 2019. Menurut Efendi, tak satupun dari gadis Bandung itu yang diterima oleh Pierre karena alasan sedang belajar untuk menyelesaikan pendidikan. “Kelihatan dari jiwanya, dia bisa memisahkan mana yang harus dilakukan mana yang akan mengganggu,” tutur purnawirawan dengan pangkat terakhir brigjen itu. Acara peluncuran buku biografi resmi Pierre Tendean di Perpustakaan Nasional, 25 Februari 2019. Foto: Martin Sitompul/Historia. Ketampanan Pierre bisa disebut sebagai takdir bawaan. Lahir di Batavia, 21 Februari 1939, Piere merupakan putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean dari suku Minahasa dan Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Namun Pierre sendiri tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluarganya pindah ke Semarang. Di kota itu, Ayah Pierre yang dokter spesialis jiwa menjadi pimpinan Rumah Sakit Jiwa Pusat Semarang. Pada 1958, Pierre memutuskan masuk militer. Padahal, keluarganya menginginkannya berkuliah di ITB. Atekad menjadi tempat bagi Pierre meniti ilmu sebagai prajurit TNI. Letjen (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo menuturkan, di Atekad, Pierre termasuk siswa yang populer. Pengamatan Sayidiman ini cukup beralasan, karena saat itu dirinya menjabat sebagai komandan taruna Atekad. Pierre sering datang kepadanya untuk berbincang dan bertanya. “Semua taruna-taruna di Atekad kenal Pierre karena disiplin sehingga jadi komandan korps taruna. Pierre populer sebagai olahragawan, pemain bola basket, tenis, dan sepak bola,” ujar Sayidiman. Di kalangan taruna, Pierre kerap mendapat ledekan karena paras indonya. Pelecehan itu sering secara verbal berupa pertanyaan sindiran, “Indo ya?”. Sesekali, Pierre pernah menjawab dengan nada marah. “Barangkali rasa nasionalismemu lebih rendah daripada nasionalisme saya,” kata Pierre sebagaimana dituturkan karibnya, Efendi Ritonga. Setamat dari Atekad pada 1963, Pierre ditempatkan di Medan. Dia bertugas di satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan. Di kota itulah Pierre bertemu tambatan hatinya, Rukimini Chamim, gadis Medan keturunan Jawa. Pierre tak lama dinas di Medan, namun kisah cinta dengan Mimin – panggilan Rukmini – tetap berlanjut. Pada pertengahan, 1963, Pierre sekolah lagi di Bogor. Bersama beberapa rekannya, Pierre mengikuti pelatihan intelijen di Pusat Pendidikan Intelijen (Pusdikintel). Pierre dipersiapkan untuk operasi khusus, salah satunya mengawal Menteri Oei Tjoe Tat ke Malaysia. Oei Tjoe Tat ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan semua pihak yang anti dengan pembentukan federasi Malaysia. Misi ini dilakukan Oei dan Pierre dengan cara menyamar. Oei berlakon sebagai pedagang Tionghoa. Sementara Pierre, dengan wajah bulenya cukup apik berperan sebagai turis. Setelah misi intelijen dalam Operasi Dwikora ganyang Malaysia, Pierre mendapat penugasan baru, sekaligus yang terakhir dalam hidupnya. Pada April 1965, Pierre dipercaya menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pangkatnya naik jadi letnan satu dan tergolong ajudan termuda. Dari garis ibunya, Pierre masih berkerabat dengan Johana Sunarti Gondokusumo, istri Nasution. Dalam pekerjaan sehari-hari mengawal Nasution, Pierre kerap jadi pusat perhatian karena ketampanannya. Apabila Nasution diundang sebagai pembicara dalam seminar atau konferensi, sosok Pierre ikut jadi sorotan terutama dari kaum hawa. Dari sinilah kemudian terkenal istilah, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.” Malam 1 Oktober 1965 jadi hari pengabdian terakhir Pierre bagi keluarga Nasution. Pierre jadi korban saat pasukan Tjakrabirawa hendak meringkus Nasution. Saat itu, Pierre keluar dari paviliunnya untuk mengatasi kegaduhan dari pasukan-pasukan yang menyatroni kediaman Nasution. Pasukan yang hendak menangkap Nasution malah menyangka Pierre sebagai Nasution dan membawanya ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Nasib Pierre kemudian dapat diketahui. Dirinya menjadi salah satu korban pembunuhan Gerakan 30 September 1965 bersama enam perwira tinggi AD. Mereka yang gugur dalam peristiwa itu kelak disebut Pahlawan Revolusi. “(Pierre) perwira muda yang masih haus latihan tapi harus sudah berkorban,” kata mantan Panglima TNI dan juga Wakil Presiden Jenderal (Purn.) Try Sutrisno yang masih kakak senior Pierre semasa di Atekad. “Waktu taruna, kita diajar untuk loyal, untuk setia. “Kalau dia bilang, dia bukan Nasution pasti dilepas. Pierre memiliki rasa kesetiaan yang luar biasa.” Senada dengan Try Sutrisno, Sayidiman mengatakan, Pierre Tendean mengorbankan dirinya untuk keselamatan Jenderal Nasution, perbuatan yang juga menyelamatkan negara dan bangsa.
- Melindungi Kenangan Kapal Perang
SETELAH melarung karangan bunga di Selat Sunda pada Juni 2014 lalu, Armada Pasifik AL AS akan melakukannya lagi pada 1 Maret 2019 untuk untuk mengenang kapal penjelajah USS Houston (CA-30) beserta para awaknya yang tenggelam dalam Pertempuran Laut Jawa tahun 1942. Ritual itu akan dilakoni para awak kapal penyapu ranjau USS Chief (MCM-14) dan beberapa kolega mereka dari AL Australia. “Kami senang dan merasa terhormat untuk bisa mengenang mereka. Sampai sekarang masih banyak pahlawan perang Amerika yang hilang di sana (Selat Sunda),” ungkap komandan USS Chief Lieutenant Commander (setara mayor) Frederick Crayton dalam diskusi “Defense of Java and the Dutch East Indies: World War II” di @America, Mal Pacific Place, Jakarta, Selasa (26/2/2019). Para personel AL AS berharap bisa terus melakukannya tanpa harus khawatir bangkai kapal USS Houston bakal senasib dengan sejumlah bangkai kapal perang Belanda dan Inggris yang raib di dasar beberapa perairan Indonesia. NLMS De Ruyter , Java, dan Kortenaer milik AL Belanda maupun HMS Electra dan HMS Exeter milik AL Inggris bangkainya sudah raib dirongsok para pedagang besi bekas. USS Houston merupakan kapal yang tergabung dalam armada Komando ABDA (American, British, Dutch, Australia) saat menahan ofensif Jepang di Hindia Belanda pada Februari-Maret 1942. Bersama Perth , Houston ditenggelamkan kapal-kapal Armada Invasi Barat Jepang di Selat Sunda, dekat Pulau Panjang, 1 Maret 1942. “Sekitar 300 awak Houston sempat selamat dan mencapai pesisir pantai Banten, tetapi kemudian ditangkap Jepang. Mereka ikut dikirim bersama para tawanan perang Sekutu lainnya ke Burma (kini Myanmar) dan Thailand untuk membangun jalur kereta,” ujar Atase AL AS Commander (setara letnan kolonel) Greg Adams. Sisanya, sekitar 700 awak, termasuk Kapten Albert H. Rooks, tewas dan terbawa bangkai kapal ke dasar laut. Lebih dari tujuh dekade keberadaan Houston jadi misteri, ia akhirnya ditemukan pada Juni 2014 oleh AL AS dan Indonesia saat menjalani latihan bareng Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT). Saat Arkeologi Nasional (Arkenas) Indonesia dan tim arkeolog maritim Australia mensurvei keberadaan HM A S Perth p ada 2016 , pemerintah AS meminta mereka untuk sekaligus men- scan bangkai Houston yang lokasinya tak jauh dari Perth . “Ini penting buat kami karena mereka kami anggap pahlawan perang. Apalagi pada November 2016 kami tahu ada bangkai kapal Belanda dan Inggris yang hilang. Makanya kami ingin meningkatkan kepedulian bersama dan diskusi ini jadi bagian dari proses serta kampanye, di mana kami ingin ada legal proteksi terhadap Houston ,” imbuhnya. Pentingkah Perlindungan Indonesia terhadap Bangkai Kapal? Pertanyaannya, apakah penting masyarakat dan pemerintah Indonesia ikut peduli menjaga keberadaan bangkai kapal-kapal yang asing itu? “Yang pasti secara langsung dan tidak langsung, ada peran Amerika Serikat dalam kemerdekaan Indonesia. Kemenangan Amerika terhadap Jepang dalam Perang Pasifik dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki turut mempercepat dekolonisasi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Belum lagi beberapa orang-orang Amerika secara individual membantu kemerdekaan,” ujar sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa. Atase AL AS Commander Greg Adams saat memperlihatkan hasil scan sonar USS Houston (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pemerintah AS tergelitik untuk membawa isu memori kolektif antara Indonesia dan Amerika dengan harapan, pemerintah Indonesia bersedia memberi perlindungan hukum terhadap Houston . “Karena selain memperingati para pahlawan kami, peringatan 1 Maret nanti juga untuk memperkuat hubungan diplomatik Amerika dan Indonesia sejak 1949, di mana Amerika juga turut andil dalam mengakhiri konflik dengan Belanda,” sambung Adams. Amerika ingin pemerintah Indonesia bisa memberi perlakuan sama seperti terhadap HMAS Perth . Pada 2018, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat bekerjasama melindungi situs bangkai Perth di Selat Sunda lewat penetapan zona konservasi maritim. “Pertanyaan soal pentingkah bagi kita melindungi kapal perang mereka, timbul tidak hanya di kalangan mahasiswa tapi juga sampai ke level para pengambil kebijakan. Pertanyaan ini muncul karena memang kurangnya informasi dan pengetahuan (terkait sejarah bersama),” ujar Zainab Tahir, kepala seksi Barang Muatan Kapal Tenggelam Kementerian Kelautan dan Perikanan (BMKT KKP). Soal Perth , kata Zainab, lahir dari komitmen bersama soal proses-proses penetapannya. Mulai dari tiga kali pertemuan bilateral dengan pemerintah Australia, hingga riset dan survei bersama di dasar laut. “ Perth saja waktu ditemukan bangkainya tinggal 40 persen. Sisanya sudah di- scrap (dicuri). Soal siapa pelakunya selalu jadi pertanyaan, sulit buat dijawab. Termasuk kasus hilangnya HMS Exeter di perairan Pulau Bawean. Dalam pemindaian bawah laut 2008, masih terlihat utuh. Tapi pada pemindaian berikutnya pada 2016, sudah hilang tak berbekas. Kami hanya bisa menjawab, pelakunya terkait industri besar,” lanjut Zainab. Untuk payung hukum perlindungan situs makam bawah laut, pemerintah punya Undang-Undang (UU) Nomor 27 tahun 2007 dan Peraturan Menteri (Permen) KKP Nomor 17 tahun 2008 tentang konservasi maritim, serta UU Nomor 11 tahun 2010 tentang perlindungan warisan budaya. Selain itu, pemerintah Indonesia pun sudah meratifikasi UU terkait warisan bersama dalam naungan UNCLOS atau Konvensi Hukum Laut Internasional sejak 1982. Zainab Tahir, Kasie BMKT Kementerian Kelautan dan Perikanan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Tapi yang diatur adalah perlindungan obyek budaya (di UU dan Permen) tidak spesifik menyebutkan tentang warships (kapal perang). Kemudian, soal warship menjadi complicated (rumit) karena di situ ada hak negara pemilik kapal. Di UNCLOS menyebut adanya kedaulatan negara pemilik bendera. Inilah yang kemudian timbul polemik ketika bicara soal proteksi bangkai kapal perang,” jelas Zainab. Pun begitu, KKP menyatakan keprihatinannya bahwa beberapa bagian kapal Houston sudah hilang saat ditemukan para penyelam AS dan Indonesia pada 2014. Antara lain, beberapa bagian lapisan baja lambung kapal dan sejumlah paku bajanya. Zainab menyatakan, KKP siap membantu jika sudah ada penetapan kerjasama lewat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). “Wewenang awalnya ada di Kemenlu. Tentu kita tidak mau terjadi lagi seperti kasus kapal-kapal Belanda, di mana Indonesia disomasi, diprotes pemerintah Belanda. Ibu Susi (Pudjiastuti, menteri KKP) tetap berkomitmen untuk bersedia melindungi Houston . Tapi kami masih menunggu penetapan kerjasama, serta riset bersama lebih mendalam sebagai referensi dan dasar penetapan,” kata Zainab.
- Pertempuran Surabaya dari Mata Perempuan
SUATU hari di Surabaya pasca-proklamasi. Pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya. Riet dan suaminya, Boenakim, yang sedang berjaga di pos dekat Pasar Kupang, menyaksikan mereka menembak ke segala arah dengan membabi buta. Sejak pertempuran pecah, Riet ambil bagian dalam perjuangan sebagai anggota palang merah. Sementara, Boenakim sebagai komandan pos. “Aduh!” kata Boenakim yang sekonyong-kongyong ambruk. Riet langsung menjerit. Dilihatnya punggung Boenakim berlubang terkena peluru yang menembus lewat dadanya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim. Di tengah kepanikannya, Riet terus memberi pertolongan pada suaminya. Parto, anak buah Boenakim, lantas datang membantu. Riet dan Parto bahu-membahu merawat luka Boenakim. Namun sayang, nyawa Boenakim tak tertolong. Di pangkuan istrinya, Boenakim meninggal pada 11 November 1945 pukul 10.45. Sampai di rumah Riet, Kampung Asemjajar, suasana sudah sunyi. Seluruh penduduk kampung mengungsi lantaran takut sewaktu-waktu dibom Sekutu. Pasalnya, kampung sebelah, Asemrowo dan Dupak, sudah dibumihanguskan Sekutu dengan hujan bom. Setelah satu jam menyiapkan pemakaman hanya bersama Parto, Riet kedatangan empat perempuan tetangga yang membantunya bekerja di dapur. Suara bom dan mortir terus-menerus terdengar di kejauhan. Semua bekerja dengan cemas. Pukul tiga sore, suara ledakan bom makin menjadi namun hilang setengah jam kemudian. Riet mengira kedua belah pihak kehabisan amunisi. Di saat itulah, anak buah Boenakim berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada komandan mereka. Menjelang penguburan, suara letusan senjata kembali terdengar. Jenazah Boenakim yang semula akan dimakamkan bersebelahan dengan ibunya, batal dilakukan. Situasi terlalu berbahaya, jalan-jalan ditutup. Satu-satunya tempat aman yang bisa dijangkau adalah kebun milik Riet di dekat sawah. amun ketika rombongan baru jalan sekira 100 meter, letusan senjata kembali terdengar. Mereka langsung tiarap dan mencari tempat aman. Keranda terpaksa mereka taruh di tanah. “Karena keadaan inilah jarak dekat antara rumah dan kebon, kami tempuh tak kurang dari satu jam,” kata Riet Boenakim dalam memoarnya, Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi jilid 3. Malamnya, Riet langsung meninggalkan kampung dan bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Riet bekerja di dapur umum merangkap juru rawat dan dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Pada hari kelima pasca-kematian Boenakim, Pos Banyuurip diserang. Seluruh pengungsi dan para pejuang pindah ke Kandangan. Riet mengikuti dengan menumpang tank. Setelah Kandangan tak lagi aman, warga Surabaya mengungsi ke berbagai tempat. Riet memilih ke Yogyakarta. Kembali ke Yogyakarta Yogyakarta bukan kota asing buat Riet. Ia lahir dan besar di sana. Riet menempuh pendidikan di Neutrale Hollandsche Javanesche Meisjeschool bersama Arini Soewandi, kelak menjadi anggota DPRD DIY 1966/67. Semasa sekolah, Riet dan Arini aktif di kepanduan yang diketuai Pranyoto. “Kami mempunyai idola pemimpin yang sama, yakni Bapak Pranyoto. Orangnya tenang, sabar, dan berwibawa,” kata Arini dalam memoarnya di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi V. Sekembalinya ke Yogyakarta, Riet langsung aktif di Perwari dan menjadi pengurus ranting Danureja. Mereka lalu membuka kelas penghapusan buta huruf untuk anak-anak kelas bawah dan perempuan dewasa yang belum pernah mengenyam pendidikan Barat. Riet juga aktif menyelenggarakan dapur umum dan mengumpulkan informasi sembari menyamar sebagai mbok - mbok pencari bayam. Keaktifannya di Perwari tak membuat Riet meninggalkan kepanduan. Kesibukannya makin bertambah setelah menjadi pegawai sipil menengah di bagian pemeriksaan Markas Besar Polisi Tentara Laut pada November 1946. “Tugas sosial Perwari dan kepanduan tetap kukerjakan pada sore harinya, bahkan sampai malam hari,” kata Riet. Semasa Ki Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Riet bekerja di Pendidikan Masyarakat bagian Kepanduan, Pemuda, dan Olahraga. Riet kemudian diperbantukan di Kwartir Besar Putri Pandu Rakyat Indonesia. Banyaknya pelatihan yang diikutinya membuat Riet kemudian diangkat menjadi Komisaris Besar (Andalan Nasional) golongan Kurcaci yang memimpin Pramuka Siaga Putri. Bersama Eni Karim, Rimmy Tambunan, Otti Adam, dan Mulyati, Riet dilantik menjadi anggota inti Korps Wanita Angkatan Darat dengan pangkat mayor pada 1960. Dari kedua lembaga ini, Riet mendapat banyak ilmu baru dan sering dikirim untuk mengikuti kursus-kursus kepemimpinan, salah satunya pelatihan pandu putri internasional di Australia pada 1971. Terbitan pramuka putri Australia, Matilda , memberitakan kedatangan Riet bersama dua orang perwakilan Indonesia. “Sangat sulit mengenali seorang Letnan Kolonel Nyonya Riet D Boenakim dari Indonesia, mengenakan pakaian nasional dan menampilkan tarian tradisional,” ditulis Matilda, Juli 1971. Riet terus aktif dalam kepanduan dan militer. Ia menjadi Komandan Detasemen Korps Wanta Angkatan Darat II di Bandung dan menjadi staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Kepengurusannya di Perwari juga terus dipertahankannya. Selama lima tahun sejak 1973, Riet menjadi direktris Panti Asuhan Trisula milik Perwari. Keaktifan di militer dan kegiatan sosial Riet menjadi pembunuh sepinya pasca-kematian suaminya. “Aku merasa hidup kembali dan menghirup kesegaran,” kata Riet.
- Wasit yang Tak Mempan Digoda Suap
SEJAK dibentuk Polri pada pertengahan Januari 2019, Satgas Antimafia Sepakbola sudah menetapkan 16 tersangka match fixing alias pengaturan skor. Selain para pengurus PSSI dan klub, enam di antaranya merupakan perangkat pertandingan, baik wasit maupun Komite Wasit hingga Direktorat Penugasan Wasit PSSI. Hampir di semua skandal suap dan pengaturan skor yang terjadi dalam sepakbola di berbagai penjuru dunia, keterlibatan perangkat pertandingan senantiasa hadir. Di Indonesia, perkara yang berembus kencang pascaprogram “Mata Najwa” akhir tahun lalu itu sejatinya bukan barang baru. Makanya, Kosasih Kartadiredja geleng-geleng kepala kendati tidak kaget. “Dari dulu itu mah . Di zaman saya juga sudah marak pengaturan skor, tapi cukong-cukong orang Tionghoa itu pelakunya,” ujar Kosasih saat ditemui Historia di kediamannya di Cikole, Sukabumi pada 12 Februari 2019. Kosasih dikenal sebagai wasit yang tak kenal kompromi di kompetisi Perserikatan. Reputasinya mulai disegani semenjak menjadi wasit Indonesia pertama yang memegang lisensi FIFA pada 1972 dan dikenal dunia karena menjadi perangkat pertandingan dalam Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang. Sebagai wasit, Kosasih tentu tidak bebas dari incaran para cukong penjudi bola yang berupaya menyuapnya agar memenangkan satu tim tertentu. Bukan sekali-dua kali Kosasih ditawari duit jutaan rupiah oleh mereka. Namun, Kosasih tak sekali pun mau terima. “Banyak dulu mah (yang menawarkan uang). Memang dulu gaji wasit paling hanya sekitar Rp20 ribu per pertandingan. Kadang ada yang menawarkan Rp5 juta, sampai Rp10 juta. Tapi tidak pernah mau saya terima. Ke saya enggak mempan, malah kemudian dia (cukong pengaturan skor) masuknya ke pemain,” kenang lelaki berusia 85 tahun itu. 10 Ribu Dolar di Bungkus Rokok Tidak hanya di level Perserikatan, saat Kosasih bertugas di SEA Games 1981 tawaran juga mendatanginya. Kosasih masih ingat betul peristiwa itu. Menjelang laga final Thailand vs Malaysia, 15 Desember 1981, seorang suruhan pejudi bola mendatanginya ke tempatnya menginap, Hotel Admiral di Manila. Orang suruhan itu minta Kosasih memenangkan Malaysia. “Dia telepon ke kamar hotel saya. Minta bertemu di restoran hotel. Saya samperin. Ketemu sama yang mau kasih uang sama orang suruhannya, orang Indonesia namanya Hasan. Pejudinya bilang, ‘ help me , Thailand must not win against Malaysia’,” sambung Kosasih. Kosasih ditawari uang 10 ribu dolar yang dibundel dalam bungkus rokok. Kosasih menolak mentah-mentah. “Lalu saya pilih pergi. Pas mau balik ke kamar, dicegat sama orang suruhannya, si Hasan. Dia bilang, ‘kenapa tidak diambil? Kamu bodoh!’ Begitu katanya sambil nyodorin duit itu ke tangan saya. Saya katakan tidak mau. Saya kasihkan lagi duitnya. Buat apa saya terima uang begitu? Nama baik saya jadi jelek,” lanjutnya. Kosasih makin mengerti alur pengaturan skor saat sudah pensiun dan menjadi inspektur wasit dalam Komisi Wasit PSSI periode 1986-1995. Beberapa langkah antisipatif pun dibuat Kosasih agar para wasit yang memimpin pertandingan tak menerima suap. “Waktu saya sudah jadi inspektur wasit, kan biasanya tugas saya yang menyusun perangkat pertandingan. Pernah juga ada yang langsung datang ke saya mau kasih uang. Waktu itu ada pertandingan Blitar (PSBI) vs Kendal (Persik Kendal),” kata Kosasih, yang sayangnya sudah tak ingat tahun atau musim kompetisinya. Bersama beberapa wasit yang diduga sudah terlibat, cukong judi bola mendatangi Kosasih di ruangannya. “Ada yang datang ke saya bilang, ‘Pak Kos, ini amplop. Terima saja, buat shopping-shopping lah.’ Saya lihat isinya Rp5 juta dari (oknum) PSBI Blitar itu. Ternyata saya sadari juga wasitnya main (suap). Saya tolak. Saya marah-marah. Saya sanksi besoknya tidak boleh memimpin pertandingan lagi,” ujarnya. Kosasih akhirnya memblokir semua telepon yang tersambung ke kamar-kamar hotel yang jadi tempat penginapan para wasit jelang pertandingan. Sial, upaya itu ternyata belum cukup. “Sudah saya blokir telepon di semua kamar wasit. Tapi dia (oknum wasit) malah bandel. Keluar dia pas sudah dini hari untuk transaksi pengaturan skor. Termasuk kawan saya, Djafar (Umar). Maaf ya karena orangnya juga sudah meninggal, dia juga ikut main dengan mafia itu,” terang Kosasih. Djafar Umar akhirnya tersandung perkara pengaturan skor pada Liga Indonesia 1998. Oleh Tim Pencari Fakta Mafia Wasit PSSI, sang ketua Komisi Wasit itu disanksi larangan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup. Kosasih Kartadiredja (kiri) saat diterima Presiden Soeharto di Istana Negara pasca-Kongres PSSI 1987 (Foto: Dok. Pribadi Kosasih Kartadiredja) Tawaran untuk mengatur skor nyatanya juga datang dari pengurus PSSI. Namun, Kosasih enggan menyebut namanya. “Dia minta bantu timnya menang. Ya tim dari Sumatera lah. Saya tegaskan tidak mau. Wah kacau bener, ternyata dari pusat ada yang ingin main mata begitu (pengaturan skor),” kenangnya lagi. Kosasih mengaku, lebih nyaman hidup pas-pasan dari hasil keringat sendiri ketimbang berlebih tapi dari hasil “uang panas”. Hal itu membuatnya selalu menolak tawaran menggiurkan yang datang padanya. “Ingat pesan-pesan orangtua saya dulu. Hidup itu harus jujur. Saya saja dulu tidak boleh jadi polisi karena biasanya menangkap orang yang tidak bersalah. Tidak boleh jadi sopir karena rawan menyeleweng dan main perempuan. Tidak boleh kerja di bank karena renten,” kata Kosasih. Hal itu pula yang membuatnya memutuskan pensiun dini dari Pemda Kabupaten II Sukabumi pada 1993. Ia tak mau makan gaji buta lantaran jarang masuk kerja gara-gara sibuk di Komisi Wasit PSSI. Hingga saat ini, Kosasih hanya hidup pas-pasan dari uang pensiunan PNS Golongan III-C. “Karena malu akhirnya saya mengundurkan diri tahun 1993 dari PNS Pemda (Sukabumi). Memang awalnya mereka dulu selalu kasih izin tapi kadang sayanya yang malu karena enggak bisa mengerjakan pekerjaan di wilayah (pemda),” tandas Kosasih.
- Wasit Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa
SETAPAK demi setapak, Kosasih Kartadiredja melangkahkan kaki dengan bantuan kruk dari sebuah pangkalan ojek ke rumahnya yang berjarak sekira 200 meter. Di pangkalan ojek itulah sehari-hari wasit legendaris itu menghabiskan waktu masa senjanya dengan bercengkerama bersama tukang ojek. Siang itu, 12 Februari 2019, Kosasih menerima Historia di teras rumahnya di Cikole, Sukabumi. Setelah sang istri rampung menata cangkir-cangkir kopi di meja teras, Kosasih bersemangat membicarakan sepakbola Indonesia “zaman now ”, yang amat berbeda dari masa ketika dia masih memimpin sejumlah pertandingan, baik di dalam maupun luar negeri di era 1970-an. Pun soal perwasitannya. “Wasit sekarang saya lihat kadang takut mengeluarkan kartu kuning atau merah. Takut mungkin tekanan tuan rumah atau penonton. Enggak boleh begitu! Wasit itu director of the game , pemimpin pertandingan,” ujarnya saat memulai perbincangan . Dari Pemain Jadi Wasit Bagi publik sepakbola sekarang, nama Kosasih Kartadiredja termasuk asing. Namun pada 1970-an, nama Kosasih jadi momok buat setiap tim, pemain, maupun sesama wasit. Ia selalu berusaha berada sedekat mungkin dengan bola untuk menetapkan keputusan-keputusan tepat nan tegas. Persentuhan awal pria kelahiran Sukabumi, 13 Agustus 1934 itu dengan sepakbola terjadi saat dia menjadi pemain Perssi Sukabumi pada 1950-an. Tapi karena kariernya mandek, dia memilih beralih jadi wasit pada 1955. “Ayah saya, Mohammad Saleh Kartadiredja, awalnya juga keberatan saya main bola. Apalagi karena saya tidak tamat SMA. Hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat) dulu tahun 1950. Tapi tetap saya main sampai sempat di tim Perssi Yunior sampai 1955. Tahun berikutnya saya dinasihati pelatih saya bahwa kalau tetap jadi pemain, tidak akan jadi pemain bagus. Lebih baik jadi wasit. Makanya kemudian saya belajar jadi wasit,” kenangnya. Mulai 1955 itulah Kosasih kursus bahasa Inggris, kemudian ikut pendidikan wasit tingkat kabupaten hingga mendapat Lisensi C3 PSSI. “Lalu meningkat lagi, ikut ujian pendidikan Lisensi C2 tingkat provinsi (Jawa Barat) dan setelah itu dapat Lisensi C1 nasional setelah pendidikan satu bulan di Jakarta pada 1965,” ujar ayah dari 12 anak itu. Kosasih Kartadiredja saat melerai pertengkaran Nobon dan Anjas Asmara dalam sebuah laga PSMS vs Persija (Foto: Repro Sebuah Catatan dari Sepakbola Indonesia) Dalam setiap laga kompetisi Perserikatan yang dipimpinnya, Kosasih senantiasa berusaha bertindak adil dalam mengambil setiap keputusan. Jadilah Kosasih wasit PSSI pertama berlisensi FIFA pada 1972. “Sampai awal 1972, PSSI mengajukan nama saya ke FIFA. Dalam beberapa waktu saya diteliti (dipantau, red. ) oleh Mister (Peter) Velappan dari AFC. Akhirnya, di tahun yang sama saya lulus Lisensi FIFA,” sambungnya. Badge FIFA yang didapatnya membuat Kosasih makin disegani di lapangan. Sekalipun ada yang menantang, Kosasih pantang ciut nyali. “Jadi wasit mah jangan takut,” katanya. Ucapan itu bukan pemanis bibir belaka, Kosasih membuktikannya ketika memimpin laga-laga Perserikatan. Ketika memimpin laga antara Persija vs Persebaya di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno), 11 Desember 1973, Kosasih tak segan mengusir dua pemain bintang, Rusdy Bahalwan dan Simson Rumahpasal. “Dulu, dua pemain terbaik Indonesia yang banyak wasit segan sama mereka, Rusdy dan Simson, saya kasih kartu merah. Tek…tek , udah saya usir,” ujarnya seraya memeragakan pengacungan kartu merah. “Ya karena terjadi pelanggaran, keduanya beradu begitu, sampai bertengkar. Manajer timnya Pak (Maulwi) Saelan juga mau marah, tapi tidak saya perhatikan.” Di lain waktu, seorang pemain bahkan menantang Kosasih karena tak terima diusir dari lapangan. “Pernah pertandingan di Makassar, si Andi Lala tidak terima keputusan saya. Dia bilang, ‘Awas nanti di luar ya!’. Tunggu saja di luar, saya jawab begitu,” kata Kosasih yang lupa kapan persisnya momen itu terjadi. “Dia memang dikenal galak, sangat berani mengeluarkan kartu merah sehingga dijuluki budakleutik paling berani. Sementara di Asia, dia dijuluki wasit King Cobra ,” tulis Irman Firmansyah dalam Kota Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu . Raja Kobra Asia di Pentas Dunia King Cobra jadi julukan yang melekat pada Kosasih lantaran ketegasannya bikin kagum publik sepakbola Asia. “Ya itu julukan awalnya dari media Singapura ( Strait Times ). Karena katanya saya lincah bergerak mendekati bola saat pemainan berlangsung. Ya namanya wasit harus begitu, maksimal 10 meter dari bola,” sambungnya. Sejak mengantongi Lisensi FIFA pada 1972, Kosasih kerap diminta jadi pengadil di sejumlah ajang sepakbola. Antara lain, King’s Cup 1972 dan 1972 di Thailand, Quoc Khanh Cup 1973 di Vietnam, dan President’s Cup 1975 di Korea Selatan. Dari Asia, nama Kosasih lalu mulai dikenal dunia. Dia dipercaya menjadi salah satu wasit di Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo. Tapi Kosasih tak sempat memimpin laga-laga yang dimainkan Diego Maradona, bintang sepakbola asal Argentina yang sinarnya mulai benderang di ajang ini. Pasalnya, Argentina tergabung di Grup B bersama Indonesia. Menurut catatan FIFA dalam Technical Study Report: FIFA World Youth Tournament 1979 , Kosasih tiga kali tampil di lapangan. Sekali sebagai wasit utama dalam laga antara Spanyol vs Aljazair (Grup A), dua lainnya sebagai asisten wasit (hakim garis) di partai Uni Soviet vs Hungaria (Grup D) dan Spanyol vs Meksiko (Grup A). “Tentu bangga mewakili Indonesia, selain timnas PSSI-nya juga ikut tampil. Saya satu dari tiga wasit Asia yang ikut. Saya modalnya hafal peraturan dan berusaha kuat mental menghadapi pemain. Dalam perwasitan FIFA kan kita harus ingat 5F: Faithfull (yakin), Fearless (tak gentar), Fair (adil), Firm (tegas), Fitness (kuat jasmani dan rohani),” papar Kosasih. Momen-momen lain yang tak terlupakan bagi Kosasih adalah saat ikut memimpin laga-laga eksebisi klub-klub Eropa yang bertandang ke Indonesia. “Dulu ada pertandingan MU (Manchester United) dan Ajax Amsterdam tahun 1975. Juga Liverpool dan Cosmos, itu yang ada Pelé-nya ikut main (1976),” kenangnya. Upah Tak Seberapa Prestasi tak selalu berbanding lurus dengan materi. Kosasih tahu betul itu karena dia mengalaminya. Upahnya sebagai wasit tak seberapa. Seingatnya, saat mewasiti laga-laga di Indonesia dia hanya diupah sekira Rp20 ribu per laga. Sementara kalau laga-laga yang dinaungi FIFA, Kosasih mendapat Rp100 ribu per laga. Keadaan itulah yang membuat posisi wasit rentan sogokan. Kosasih tak sekali-dua kali ditawari “uang haram” untuk mengatur skor. Tapi, tak sekali pun dia mau terima. Untuk menafkahi istri dan ketujuh anaknya, Kosasih memilih hidup pas-pasan ketimbang terima duit panas macam begitu. “Sampai pernah saya harus jual medali emas penghargaan Kejuaraan Dunia (Piala Dunia Yunior) 1979 itu buat kebutuhan sehari-hari,” ujar Kosasih lirih. Lepas Peluit Setelah malang-melintang di dunia perwasitan hingga tingkat dunia, Kosasih lepas peluit alias pensiun pada 1986. Namun, hidupnya tetap tak jauh dari perwasitan Indonesia. Sedari 1986, Kosasih masuk ke Komisi Wasit PSSI dan menduduki jabatan wakil ketua setahun setelahnya sampai 1995. Dalam kurun itu, Kosasih makin sibuk sehingga memilih pensiun dini dari kedinasan di Pemerintah Daerah (Pemda) II Kabupaten Sukabumi. “Dari 1980-an kan saya sudah diangkat PNS Pemda Kabupaten Sukabumi. Tapi 1993 saya pilih pensiun dini. Ya karena jarang masuk juga, kan. Karena saya sering ke luar negeri untuk (mewasiti) pertandingan atau ikut mengajar penataran wasit,” sambungnya. Setelah tak lagi di Komisi Wasit, Kosasih tetap diminta menjadi tenaga pengajar penataran wasit C-III hingga C-I dalam beberapa penataran yang digelar PSSI. Kerjaan itu dia lakoni sampai 2007. Setelah itu, Kosasih hanya menghidupi keluarganya dengan bermodal uang pensiunan PNS Golongan III-C dan gaji kecil istrinya, Dede Rokayah, yang berprofesi sebagai guru SD. Kosasih Kartadiredja (kanan) saat sudah menjabat di Komisi Wasit bersama Ketua Umum PSSI Agum Gumelar (Foto: Dok. Pribadi Kosasih Kartadiredja) Kosasih tak pernah mengeluh apalagi menuntut. Hal itu menjadi pembuka pintu rezeki baginya. Pada 2007, Kemenpora menganugerahinya medali Adi Manggalya Krida dalam rangka Hari Olahraga Nasional, 9 September. “Awalnya saya enggak tahu. Tapi bantuan Menpora Adhyaksa Dault itu datang setelah ada pengurus RW sini yang prihatin. Dia tulis surat ke Kemenpora bahwa ada seorang wasit dunia yang keadaannya serba susah. Ternyata dikasih penghargaan dan santunan Rp10 juta,” ujarnya. Kosasih amat mensyukurinya kendati kehidupan keluarganya masih pas-pasan. Kehidupannya bertambah berat setelah Kosasih terserang stroke pada 2012 hingga membuatnya tak bisa berjalan lagi. “Saya kena ( stroke ) itu lagi di jalan di trotoar dekat UMMI (Universitas Muhammadiyah Sukabumi). Ditolong teman saya yang polisi ke rumah sakit. Ini kaki saya yang kiri istilahnya sudah ngaplek begini. Tapi saya tidak bisa operasi karena mahal. Tidak ada bantuan dari mana-mana. Lupa begitu saja. Ya PSSI, ya Pemda,” kata pria berusia 85 tahun itu. Sejak itu, perekonomian keluarganya tergolong susah karena harus membagi pendapatan pensiunannya untuk pengobatan. Pengobatannya pun sekadar pijat/urut seminggu sekali. Kosasih sempat lumpuh dalam waktu lama. Tapi sejak tahun lalu, perlahan Kosasih sudah mulai bisa belajar jalan dengan bantuan kruk . “Kaki kiri saya masih sering terasa sakit. Tapi ya mau bagaimana lagi? Buat saya, Alhamdulillah masih bisa gerakan salat,” tutupnya.
- Bandit Menguasai Malam di Batavia
RUMAH kayu itu berwarna kecoklatan. Arsitekturnya bergaya rumah panggung. Sangat mencolok di antara bangunan landai sekitarnya. Rumah itu merupakan tempat tinggal seorang tajir melintir keturunan Bugis bernama Haji Sapiudin di Batavia pada akhir abad ke-19. Si Pitung menyatroni rumah itu pada suatu malam dalam bulan Juli 1892. Tujuannya mengambil-alih harta si pemilik rumah. Dia membawa lima temannya dan sebuah revolver.
- Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu
“Tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” begitu bunyi kelakar yang tak asing lagi terdengar dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Lewat candaannya itu, dia mengimbau masyarakat untuk mengonsumsi ikan. Ikan menjadi makanan favorit sejak dulu kala. Sebagaimana disebut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , kekayaan ikan di Kepulauan Nusantara membuat kagum para penjelajah asing. Marcopolo misalnya. Pelaut asal Italia itu sempat menginjakkan kaki di tanah Sumatra pada akhir abad ke-13. “Ikan di kawasan Asia Tenggara merupakan yang terbaik di dunia,” kata Marcopolo. Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi ke Nusantara pada abad ke-15 M sempat menggerutu langka dan mahalnya beras, daging, maupun sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara. Namun, ikan murah dan melimpah di mana-mana. Jauh sebelum kedatangan mereka, data dari masa kerajaan-kerajaan kuno sudah membuktikan banyaknya ragam ikan yang dikonsumsi masyarakat kuno. Arkeolog Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa menyebut orang-orang pada masa itu telah memanfaatkan ikan tawar dan laut untuk dikonsumsi. Ikan tawar, seperti kepiting ( hayuyu ), udang sungai ( hurang ), sejenis ikan ( wagalan, kawan-kawan, dlag ). Ikan laut adalah kepiting laut ( gtam ), cumi ( hnus ), kerang-kerangan ( iwan knas ), sejenis ikan laut ( kadiwas, layar-layar, prang, tangiri, rumahan, slar ). Ada pula beberapa jenis ikan yang tidak diketahui habitatnya, yaitu bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari. Sumber prasasti juga menyebutkan beberapa jenis ikan yang diawetkan dalam bentuk dendeng ( deng ) atau rasa asin ( asin-asin ) sebelum dikonsumsi. Kedua jenis itu, baik ikan segar maupun yang telah dikeringkan, menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Data prasasti menggambarkan sajian dari ikan selalu ada dalam upacara penetapan sima. Keterangan itu ditemukan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 M), Panggumulan (824 Saka/902 M), Sangguran (850 Saka/928 M), Paradah (865 Saka/943 M), dan Rukam (829 Saka/907 M). Pada prasasti-prasasti itu tertulis asin asin dain kakap (ikan asin kakap), kadiwas, bilunglung, hala hala, layar layar , dan kawan . Hewan air lainnya dijumpai dengan istilah hurang (udang). Untuk ikan yang diasinkan atau dikeringkan istilahnya grih (ikan asin) atau gêreh dalam bahasa Jawa) dan ḍeŋ/ḍaiŋ (dendeng/ikan yang dikeringkan). Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti ada dua macam dendeng yaitu ikan yang dikeringkan dengan rasa asin atau rasa tawar. “Demikianlah mereka semua menambah kepada daun mereka, lalu menyantap jenis-jenis makanan, nasi matiman menumpuk ikan yang diasinkan, seperti dendeng kakap, dendeng bawal, ikan asin kembung (ikan peda?), ikan layar atau pari, udang, hala hala, dan telur,” sebut Prasasti Panggumulan. Dalam Prasasti Rukam (829 Saka/907 M), disebutkan jenis makanan yang dihidangkan di antaranya adalah nasi paripurna timan? berlimpah-limpah haraŋ-haraŋ, dendeng kakap, dendeng bawal, dendeng ikan duri, dendeng hanaŋ, kawan kawan, ikan kembung, ikan layar/pari, hala hala, udang, ikan gabus dikeringkan, serta telur kepiting. Kata Titi, dari jenis hidangan yang disajikan pada upacara penetapan sima terdapat juga jenis makanan yang umum dijadikan konsumsi sehari-hari, yaitu ikan asin. “Sampai saat ini pun ikan asin masih umum dikonsumsi sebagai salah satu jenis lauk pauk sehari-hari di pedesaan,” jelas Titi. Relief sajian ikan di Candi Borobudur. Pada sebuah panil di relief Candi Borobudur tergambar beberapa menu dari ikan. Pertama, empat ikan belut yang disajikan dalam posisi melingkar. Kedua , tiga ekor ikan yang cukup besar, disajikan utuh, kepala, tubuh, hingga ekor. Ketiga , dua tusuk potongan tubuh ikan yang dirangkai dengan tusuk bambu persegi memanjang. “Hal ini memgingatkan kita kepada pepatah Jawa ‘ kutuk marani sunduk ’. Kemungkinan lain adalah semacam sate daging ikan yang dihaluskan dan dibumbui, kemudian dipanggang, yang kini disebut dengan ‘brengkes ikan’,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang. Lalu ada juga dua kepiting atau yuyu dan empat ekor ikan. Kedua jenis masakan itu, masing-masing nampak hanya bagian atasnya, sepasang sapit dan kepala ikan. “Boleh jadi itu lantaran makanan ini berkuah, bagian tengah dan bawahnya terendam kuah,” kata Dwi.
- Awal Mula Kacamata
Konon, kacamata adalah salah satu benda terpenting yang pernah ditemukan manusia sejak mereka menemukan api dan roda. Untuk sampai ke bentuknya sekarang, kacamata mengalami perkembangan yang panjang. Dari awal sebagai "batu baca" hingga bertransformasi menjadi gaya hidup dan aksesori mode. Sulit membuktikan siapa penemu kacamata yang asli. Banyak yang menunjuk Benjamin Franklin sebagai penciptanya. Namun, sebenarnya ide tentang kacamata sudah ada sekira 400 tahun sebelum 1700-an, ketika Franklin mulai aktif. Batu Zamrud Kaisar Nero Benda yang difungsikan sebagai kacamata yang pertama kali diketahui digunakan oleh Kaisar Nero dari Roma yang berkuasa pada 54 sampai 68 M. Dia menggunakan batu zamrud ketika sedang menyaksikan pertandingan gladiator. Namun, tak diketahui dengan pasti apakah itu artinya sang kaisar memang memiliki masalah dengan penglihatannya atau dia hanya sekadar menghindari silaunya sinar matahari. Potongan Bola Kaca Sarjana dan astronom Irak, Ibn al-Haytham (sekitar 965-1040 M) dikenal sebagai orang yang berkutat dalam penelitian mengenai cahaya dan mekanisme penglihatan. Dia mempelajari lensa, bereksperimen dengan cermin yang berbeda: datar, bulat, parabola, silindris, cekung dan cembung. Hasilnya, dia menemukan kalau objek visual yang dilihat melalui pembiasan cahaya, yaitu yang melintasi material tebal seperti air dan kaca, lebih besar dari ukuran sebenarnya. Pada sekira 1027, al-Haytham menyelesaikan bukunya, Kitab al-Manazir atau Buku Optik . Dia pun menyarankan kaca yang dihaluskan dapat membantu seseorang yang menderita gangguan penglihatan. Namun, idenya itu baru dipraktikkan bertahun-tahun kemudian. Kaca Pembesar Pada abad ke-13, sarjana Inggris Roger Bacon (1214-1294) menulis soal kaca pembesar. Dia menjelaskan bagaimana memperbesar objek visual menggunakan potongan bola kaca. Dia menulis: "karena alasan ini, alat ini berguna untuk orang tua dan orang-orang yang memiliki kelemahan dalam penglihatan mereka karena memungkinkan mereka untuk dapat melihat huruf sekecil apa pun.” Beberapa sejarawan sains berpendapat Bacon mendapatkan gagasannya dari buku Ibn Al-Haytham, Kitab al-Manazir . Pasalnya, gagasan menggunakan bola kaca agar bisa melihat benda kecil sudah dikenal sejak percobaan penelitian Ibn Al-Haytham. Namun, menurut bukti yang tersedia, ide menggunakan kaca pembesar ini untuk membaca pertama kali disebutkan dalam buku Bacon. Kendati tak ada bukti dia menerapkan pengetahuannya itu. Kacamata Beryl Kacamata pertama kali dikenal di Eropa pada akhir abad ke-13 M. Lukisan-lukisan mulai memperlihatkannya pada pertengahan abad ke-14 M. Dalam lukisan-lukisan itu digambarkan bentuk kacamata dengan dua lensa bulat dalam bingkai yang disambung dengan poros dan gagang logam berbentuk “V”. Tak ada gagang untuk disangkutkan ke telinga seperti kacamata masa kini. Mereka sudah memakainya untuk membaca. Pada masa itu, lensa bukan terbuat dari kaca, tapi dari mineral Beryl. Contoh kacamata ini seperti yang dipakai kardinal Hugh of St. Cher dalam lukisan karya Tommaso ad Modena pada 1352 di dinding gereja di Treviso. Ini adalah representasi gambar kacamata tertua yang diketahui hingga kini. Lorgnette Lorgnette, yang merupakan sepasang kacamata mungil dengan pegangan. Lorgnette berasal dari kata lorgner dalam bahasa Perancis, yang berarti "melirik" atau "mengawasi secara sembunyi-sembunyi". Lorgnette diyakini telah diciptakan pada 1770 oleh orang Inggris, George Adams I (1709-1772), kemudian diilustrasikan putranya dalam Essay on Vision (1789 dan 1792) di mana lorgnette digambarkan sebagai 'semacam pengganti kacamata ...’. Kemudian, alat bantu optik ini adalah jawaban bagi perempuan pada abad ke-19 yang membutuhkan kacamata tetapi tidak ingin benar-benar memakainya. Sampai abad ke-17, alat bantu optik lebih banyak dipakai kaum pria. Namun, lorgnette membuat perempuan lebih berminat dalam dunia kacamata. Benda ini pun diyakini menambah kesan elegan bagi kalangan atas. Perempuan memakai lorgnette pun menjadi pemandangan umum selama abad ke-19 di teater serta opera. Lorgnette muncul dalam bentuk yang lain, yaitu kipas lorgnette. Adalah Marie Antoinette, ratu Prancis abad ke-18 merupakan penggagas gaya ini. Kacamata Bifokal Kacamata bifokal adalah kacamata dengan dua bagian di lensanya. Bagian atas untuk melihat jarak jauh, bawah untuk membaca. Benjamin Franklin, seorang ilmuan Amerika pada 1784 adalah penciptanya. Kacamata jenis ini biasanya diresepkan untuk orang yang menderita presbiopia, kondisi yang ketika itu diderita Franklin. Kacamata Berlensa Satu (Monocle) Kacamata berlensa satu digunakan dengan cara dipasang pada rongga mata pemakai dan biasanya digantung di leher dengan tali, pita, atau rantai. Banyak dari kacamata ini awalnya dibingkai dengan logam, kulit penyu, atau tanduk. Monocles diperkenalkan pada abad ke-18, tetapi makin mendapat sorotan pada abad ke-19 di Eropa. Ia menjadi bagian umum dari pakaian pria kaya. Kacamata ini sering dipasangkan dengan topi dan mantel. Salah satu pemakainya yang paling awal yang diketahui adalah penyuka barang antik dari Prusia, Philipp Von Stosch yang mengenakan kacamata berlensa di Roma pada tahun 1720-an. Ia mengenakannya untuk memeriksa ukiran dan permata berukir. Awalnya disebut cincin mata, kacamata ini segera menyebar ke Austria berkat seorang ahli kacamata, JF Voigtlander, yang mulai membuatnya di Wina pada sekira 1814. Mode ini dengan cepat populer di Inggris dan Rusia. Monocles kemudian menjadi tidak disukai di sebagian besar Eropa barat dan Amerika Serikat selama Perang Dunia I (1914-18). Itu ketika kacamata ini dikaitkan dengan perwira militer Jerman yang sering digambarkan memakainya. Pince-nez Kacamata pince-nez menutupi kedua mata. Namanya berasal dari bahasa Prancis, pincer berarti "mencubit" dan nez berarti "hidung.". Kacamata ini memang menjepit pangkal hidung ketika di pasang di depan mata. Mengenakan kacamata ini sangat tidak nyaman bagi sebagian orang yang tidak memiliki bentuk hidung yang pas. Karenanya, kacamata ini sering digantungkan dengan rantai di leher sehingga pengguna tidak perlu memakainya sepanjang hari. Meski kacamata ini sudah mulai dipakai di Eropa sejak abad ke-15, ke-16, hingga ke-17, tetapi menjadi makin popular pada 1880 sampai 1900. Anton Pavlovich Chekhov, penulis besar Rusia, adalah salah satu yang terkenal mengenakan kacamata jenis ini. Kacamata Warna-wani Pada 1930-an kacamata hitam menjadi populer untuk pertama kalinya. Diawali pada 1913 oleh Sir William Crookes dari Inggris yang menciptakan lensa berkemampuan menyerap sinar ultraviolet dan inframerah. Pada 1940-an, kemajuan dalam pembuatan plastik membuat berbagai macam kacamata tersedia dalam setiap warna pelangi. Perempuan banyak mengenakan kacamata berbingkai runcing di bagian ujung atasnya, yang sangat populer hingga akhir 1950-an. Sementara pria cenderung menggunakan bingkai kawat emas. Kacamata Berlensa besar Pada paruh kedua abad ke-20, kacamata dianggap sebagai bagian dari pakaian seseorang. Mirip dengan pakaian, kacamata perlu terus diperbarui atau seseorang dapat dianggap kuno. Semakin banyak selebritas yang memengaruhi mode kacamata. Misalnya pada 1970-an, Jacqueline Kennedy Onassis, ibu negara AS pada 1961-1963, juga ikut mempopulerkan lensa besar. Lensa Plastik Sejak 1980-an inovasi menghasilkan lensa plastik berkualitas tinggi. Bahan plastik dianggap lebih ringan dan lebih aman untuk dipakai dibanding kaca.
- Asa yang Kandas di Negeri Sakura
BERAGAM foto hitam-putih menghiasi tiga sisi dinding ruang tamu kediaman Hendrik Brocks di Sriwidari, Kota Sukabumi. Sejumlah piagam dan medali yang tertata rapi di satu lemari kaca, menemani. Itu semua merupakan buah prestasi Hendrik di berbagai ajang balap sepeda road race tingkat Asia Tenggara maupun Asia. Hanya satu yang tak ada dalam deretan penghargaan Hendrik tadi, yakni medali olimpiade. “Kalau bukan karena masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di (Olimpiade) Tokyo,” ujar Hendrik menyesalinya saat mengenang masa-masa jayanya, kala ditemui Historia , 11 Februari 2019. Medali olimpiade, terlebih medali emas, senantiasa jadi mimpi terbesar setiap atlet. Tak terkecuali Hendrik Brocks, pembalap sepeda legendaris Indonesia era 1960-an. Sayang, kesempatannya untuk meraih medali olimpiade sirna akibat politik. “Waduh itu nyeselnya waktu itu. Saya perkirakan minimal dapat perunggu. Balap sepeda waktu itu kita masih merajai di Asia. Tapi akhirnya kita enggak jadi tanding waktu itu karena ada masalah itu. Ya itu negara urusannya,” kata Hendrik menjelaskan. Tersandung Politik Hendrik merupakan salah satu anggota andalan Indonesia di balap sepeda sejak Olimpiade Roma 1960. Di olimpiade itu, tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 , Indonesia mengirim tim di tujuh cabang, yakni menembak, renang, angkat besi, anggar, atletik, tinju, dan balap sepeda. Di tim balap sepeda, Hendrik bahu-membahu bersama Theo Polhaupessy, Hamsjin Rusli, Sanusi, dan Munaip Saleh. Sayang, tak satupun dari mereka membawa pulang medali. “Di kategori perorangan saya gagal finis, ketinggalan jauh dari para pembalap Eropa dan (benua) Amerika. Tapi untuk tim beregu kita sudah terbaik di Asia waktu itu,” kata Hendrik. Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia yang kini tuna netra akibat penyakit glaukoma (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Di olimpiade itu, hanya Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) wakil Asia yang lolos kualifikasi. Catatan waktu Indonesia di putaran final jauh lebih baik dari Korsel. Tim beregu road race Indonesia menempati urutan ke-26 dari 32 tim dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik, sementara Korsel menempati urutan ke-30 dengan torehan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. Sebagai “Macan Asia”, kedigdayaan Indonesia di balap sepeda dibuktikan di Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia jadi juara umum dengan tiga emas dan satu perunggu. Ketiga emasnya disumbangkan Hendrik di nomor open road race individual, team road race, dan team time trial. Di Ganefo (Games of the New Emerging Forces) 1963 di Jakarta, Hendrik menyumbang satu emas dan satu perak. Namun, di Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 itulah Indonesia bergelut dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Gara-gara Indonesia melarang Israel dan Taiwan ikut serta dalam Asian Games 1962 sebagai sikap politik pro-Palestina dan pengakuan satu China, IOC menjatuhkan sanksi medio Februari 1963. “Saya menyatakan memberi sanksi terhadap Komite Olimpiade Indonesia. Prinsip-prinsip olimpiade jelas tak dihormati di negara itu,” ujar Presiden IOC Avery Brundage, dikutip Alfred Senn dalam Power, Politics and the Olympic Games . Tapi keanggotaan Indonesia di IOC kemudian dipulihkan menjelang Olimpiade 1964. Pasalnya, Jepang sebagai tuan rumah dan Meksiko sebagai tuan rumah olimpiade 1968 khawatir boikot Indonesia, yang mendapat simpati negara-negara Arab, akan mengurangi level kesuksesan olimpiade di Jepang dan Meksiko. “Presiden Meksiko (Adolfo López Mateos, red. ) mengambil prakarsa terobosan menghubungi pihak Jepang untuk kemudian berusaha menemukan jalan keluar lewat lobi-lobi internasional. Hasilnya pada Juni 1964 skorsing terhadap Indonesia dicabut. Jepang kemudian diizinkan mengundang Kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo 1964,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Pun begitu, Indonesia tetap batal hadir di Olimpiade Tokyo 1964. Perkaranya, seperti termuat di buku The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964: The Official Report of the Organizing Committee Volume 1 , tidak semua atlet Indonesia diizinkan bertanding, khususnya para atlet renang dan atletik. FINA (Federasi Akuatik Internasional) dan IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional) belum mencabut sanksi para atlet Indonesia yang berlaga di Ganefo 1963. Kontingen Indonesia pun memutuskan seluruh atletnya mundur ketimbang ikut tapi beberapa atletnya dilarang berlaga. Para atlet Indonesia meninggalkan Tokyo jelang pembukaan Olimpiade 1964 (Foto: Repro "The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964") “Sebenarnya saya, tim balap sepeda dan beberapa cabang lain, sudah lebih dulu diberangkatkan ke Jepang. Seingat saya ada tim tinju sama angkat besi juga. Kami di tim sepeda sudah nyobain rutenya tuh di Jepang. Tapi paginya sebelum pembukaan (Olimpiade, 10 Oktober 1964, red. ), kita disuruh mengepak koper semua untuk pulang ke Indonesia. Kita semua mundur dari olimpiade,” ujar Hendrik. Keputusan mundur itu tak hanya menimbulkan penyesalan di dalam diri Hendrik dan para atlet Indonesia. Pelatihnya asal Jerman Timur, Heinz Schmidt, bahkan paling terpukul. Berbulan-bulan upayanya mempersiapan para atlet untuk bisa mensejajarkan diri dengan para kontestan Eropa, kandas. “Pelatih saya, si Schmidt itu, sampai jadi gila dia karena kecewa. Ya karena olimpiade kan bukan event kecil dan catatan tercepat waktu uji coba yang kita buat selama persiapan di Jepang sesuai dengan peraih emas olimpiade. Sampai pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan. Kasihan dia,” kata Hendrik. Setelah itu, prestasi balap sepeda Indonesia perlahan mengendur kendati di Ganefo Asia 1966 prestasinya lumayan. Di Olimpiade Meksiko 1968, Hendrik dkk. gagal lolos. “Kita enggak lolos kualifikasinya. Olahraga semuanya kena imbas karena negara kita juga lagi ngambang, kacau (pasca-Tragedi 1965 dan transisi kepemimpinan 1967). Negara kita lagi babak belur, banyak atletnya jadi korban juga pada waktu itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.
- Akhir Hidup Si Pemeran Hitler
JIKA di Indonesia ada Amoroso Katamsi (almarhum) sebagai sosok paling cocok memerankan Soeharto dalam film, di Eropa ada Bruno Ganz. Aktor asal Swiss itu perannya dianggap paling mendekati figur diktator Nazi-Jerman Adolf Hitler dalam film Der Untergang ( Downfall ) yang rilis 2004. Sang aktor mengembuskan nafas terakhirnya di usia 77 tahun pada Sabtu, 16 Februari 2019 waktu setempat (Minggu, 17 Februari WIB). Ganz meninggal di kediamannya di Wädenswil, Swiss, setelah berjuang melawan kanker usus yang diidapnya sejak Februari 2018. Lahir di Zürich pada 22 Maret 1941, Ganz menyambi jualan buku sambil bersekolah. Kegandrungannya pada dunia seni peran membawanya hijrah ke Jerman dan bergabung ke Teater Schaubuehne di Berlin. Debutnya di dunia film dimulai dari figuran, sebagai pelayan hotel di film komedi Swiss, Der Herr mit der Schwarzen Melone (1960). Namanya baru mulai dikenal di dunia perfilman saat menjadi aktor utama di film The American Friend (1977) dan Wings of Desire (1987). Setelah itu, Ganz malang melintang membintangi berbagai film box office, mulai The Manchurian Candidate (2004), The Reader (2008), Unknown (2011), Night Train to Lisbon (2013), The House that Jack Built (2018) hingga Radegund yang saat ini masih dalam tahap produksi. Bruno Ganz dalam Wings of Desire . (bfi.org.uk). Namun sepak terjang Ganz yang paling dikenang adalah saat memerankan Kanselir Adolf Hitler dalam Der Untergang ( Downfall ) garapan sineas Jerman Oliver Hirschbiegel yang diproduksi Constantin Film pada 2004. Film ini menggambarkan masa-masa akhir hidup sang diktator di Führerbunker, kediaman bawah tanah di kompleks kantor Hitler di Reich Chancellery, Berlin. Hitler dalam kacamata Bruno Ganz Tak dapat dipungkiri, Der Untergang alias Downfall merupakan klimaks pamor Ganz. Eksesnya tidak hanya muncul lewat kritik dan pujian, tapi juga memunculkan beragam meme di media-media sosial hingga parodi di sejumlah tayangan video di Youtube . Utamanya, saat Hitler yang diperankan Ganz marah-marah dalam rapat bersama para jenderalnya. Padahal, peran tentang Hitler tak hanya dimainkan Ganz. Sejak 1940, saat Hitler masih hidup, karakter diktator Nazi itu pernah diperankan Charlie Chaplin dalam The Great Dictator . Hitler diparodikan sebagai Adenoid Hynkel. Sementara, karakter Hitler nonparodi pertamakali dimainkan Bobby Watson di film komedi The Devil with Hitler . Puluhan aktor turut memerankan Hitler setelah itu. Anthony Hopkins ( The Bunker , 1981), Udo Schenk ( Stauffenberg , 2004), David Bamber ( Valkyrie , 2008), dan Martin Wuttke ( Inglourious Basterds , 2009) di antaranya. “Tanpa keraguan lagi, dia (Ganz) dirasa yang paling riil dan mendekati. Dibandingkan yang lain, seperti Anthony Hopkins misalnya, akting dan gerak tubuhnya paling mendekati. Ganz akan selalu dikenang karena mungkin Downfall film terbaik tentang Hitler,” ujar Alif Rafik Khan, peneliti sejarah dan penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman , kepada Historia. Sejumlah kritikus film mancanegara juga angkat jempol terhadap akting Ganz. Dalam review -nya di The Guardian , 16 September 2005, Rob Mackie menulis: “Sosok Hitler yang paling meyakinkan dalam layar lebar. Seorang diktator tua, bungkuk dan sakit dengan tangan yang sudah gemetaran karena Parkinson, menanti hari-hari terakhirnya di bunker.” Kritikus De Zeit Jens Jenssen menyatakan hal senada. “Sang aktor (Ganz) berbicara seperti Hitler. Penampilannya sangat mirip Hitler dan dia bergerak seperti Hitler di masa-masa tuanya. Tak ada yang sangat identik dengan Hitler dalam film,” tulis Jenssen sebagaimana dikutip Sidney Homan dan Hernán Vera dalam buku Hitler in the Movies . Tapi Jenssen juga menggarisbawahi bahwa tak ada yang bisa benar-benar mengenal Hitler luar dan dalam. “Hitler tetap seorang monster yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata,” tambahnya. Penilaian Jenssen itu senada dengan pandangan Ganz tentang Hitler. “Memainkan karakternya, saya tetap tak bisa mengklaim bahwa saya memahami Hitler,” ujar Ganz kala diwawancara TheGuardian , 25 Maret 2005. Butuh empat bulan bagi Ganz untuk meriset karakter Hitler, terutama masa-masa setelah Hitler bungkuk dan terkena parkinson. Untuk mempelajari suara asli Hitler, Ganz dibantu dengan rekaman suara rahasia Hitler yang diberikan para produser. “Rekaman suara percakapan rahasia Hitler sewaktu dia ngobrol dengan Carl Gustaf Mannerheim di Finlandia tahun 1942. Setahu saya, itu satu-satunya suara Hitler yang terekam kamera,” kata Alif. Menurut Gerhard Weinberg dalam The Foreign Policy of Hitler’s Germany Starting World War II , percakapan Hitler dengan Baron Mannerheim, panglima Pertahanan Finlandia, itu diambil oleh Thor Damen, teknisi stasiun penyiaran Yle , saat Hitler mengunjungi Mannerheim di Lanud Immola, 4 Juni 1942, dalam rangka ulang tahun Mannerheim ke-75. Adolf Hitler (kiri) bertemu para pemimpin Finlandia, termasuk Carl Gustaf Mannerheim (kanan) pada Juni 1942. (Lehtikuva/Wikipedia). Percakapan yang direkam diam-diam dan berdurasi 11 menit itu mengungkapkan pembicaraan Hitler tentang kegagalan Operasi Barbarossa, kekalahan sekutunya, Italia, di Afrika, Balkan dan Albania, dan terkait cadangan minyak di Rumania. “Saya mencoba menangkap kesan dari rekaman suaranya itu. Tapi tetap saya belum bisa memahami karakternya. Para saksi mengatakan dia sangat sayang pada anjingnya (Blondie), berperilaku menawan terhadap para wanita, sangat ramah pada anak-anak, tapi kemudian dia bisa berkata: ‘Mari kita bunuh 5.000 orang’,” ujar Ganz. Dalam sebuah percakapan dengan para jenderalnya dalam film, Hitler mengatakan tak peduli terhadap 100 ribu perwira muda Jerman yang tewas di front Timur. “Dia bilang: ‘Mereka terlahir untuk mati.’ Dia benar-benar tak punya rasa iba. Para saksi yang pernah satu bunker bersamanya juga tak benar-benar bisa mendeskripksikan karakter aslinya. Dia tak punya rasa iba, kasih sayang, pengertian terhadap para korban perang. Pada akhirnya, saya tak bisa masuk ke hati Hitler oleh karena dia memang tak punya hati,” kata Ganz.
- Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta
MENTERI dalam negeri Filipina Eduardo Ao mengusik pemerintah Indonesia lewat komentarnya terhadap teror bom bunuh diri di gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina yang mamakan korban 22 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka. Dia menyatakan pelaku teror adalah orang Indonesia. “Yang bertanggung jawab (dalam serangan ini) adalah pembom bunuh diri Indonesia. Namun kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka, dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia dan membawa pasangan ini ke gereja. Tujuan dari pasangan Indonesia ini adalah untuk memberi contoh dan mempengaruhi teroris Filipina untuk melakukan pemboman bunuh diri,” kata Eduardo, dikutip detik . com , 1 Februari 2019. Komentar Eduardo langsung direspon pemerintah Indonesia. Menko Polhukam Wiranto mengatakan pernyataan Eduardo terburu-buru. “Saat ini kan ada cukup ramai tuduhan dari pihak Filipina, terutama Menteri Dalam Negeri bahwa ada keterlibatan WNI dalam aksi teror di Filipina. Di sini saya menyampaikan bahwa itu berita sepihak," ujar Wiranto sebagaimana dikutip BBC Indonesia , 5 Februari 2019. Pernyataan Eduardo menambah riak hubungan kedua negara yang memburuk belakangan ini. Sebelumnya, penyanderaan anak buah kapal Indonesia oleh gerilyawan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal Filipina di perairan Indonesia, atau pengiriman jamaah haji Indonesia yang menggunakan paspor Filipina menjadi kerikil dalam hubungan kedua negara. Padahal, hubungan kedua negara yang memiliki banyak kesamaan ini (baca: Indonesia dan Filipina) telah lama berjalan harmonis. Indonesia dan Filipina kerap saling membantu. Keharmonisan itu telah berjalan sejak kedua negara sama-sama masih seumur jagung. Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia kerap mendapat bantuan dari Filipina. Bantuan itu antara lain berupa diterima dan didukungnya Misi Kina –merupakan upaya menjual kina dan vanili untuk membiayai perang– Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Manila. Seusai tim AURI menyelesaikan Misi Kina dan hendak kembali ke tanah air, pemerintah Filipina kembali memberi bantuan dengan menugaskan Kapten Ignacio “Igning” Espina dari G-2 Philippine Army ke Indonesia. “Atas permintaan Opsir Muda Udara III Muharto, ia ditugaskan untuk melatih gerilya tentara Indonesia. Ahli gerilya Igning juga membawa sepucuk tommygun yang disepuh chrome nickel, hadiah dari bagian intel Filipina kepada Presiden Sukarno,” tulis Irna H.N. Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Igning menumpang pesawat RI-002 yang mengangkut beberapa opsir AURI dan dipiloti Bob Freeberg, veteran pilot AL AS yang menjadi pilot sipil di Maskapai Commercial Air Lines Incorporated (CALI). “Sikap pemerintah Filipina jelas bersimpati kepada tujuan kami, sementara opini publik mengutuk apapun yang berbau kolonialisme,” kata Opsir Muda Udara III Petit Muharto sebagaimana dikutip Paul F. Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of US-Indonesian Relations . Penerbangan pulang tim AURI dengan Igning di dalamnya itu amat berbahaya. Selain karena adanya blokade Belanda, Filipina tak ingin hubungannya dengan Indonesia diketahui negara lain. Namun dengan kegigihan para awaknya, RI-002 berhasil mendarat dengan selamat di Maguwo, Yogyakarta pada Agustus 1947. Igning mendapat tempat tinggal sebuah rumah berhalaman luas di Jalan Jetis selama di Yogyakarta. Biasanya dia ditemani Kapten ALRI Deddy Muhardi Kartodirjo, kakak kandung Petit Muharto, atau Kapten AURI George Reuneker. Muhardi pula yang mengasisteni Igning melatih teknik gerilya kepada para prajurit Tentara Pelajar (TP) dan Tentara Geni Pelajar (TGP). Selama di Yogya, Igning berkomunikasi dengan Manila lewat Muharto, yang tak lama setelah menyelesaikan Misi Kina kembali terbang ke Manila untuk misi penyusupan ke Kalimantan dari utara. Namun, pada Desember 1945 kontak itu terhenti entah karena apa. Igning gelisah dibuatnya. Ketiadaan kontak dari Muharto terus membuatnya bertanya-tanya. Maka ketika tersiar kabar delegasi Indonesia di bawah Sjafruddin Prawiranegara akan berangkat ke sidang kedua ECAFE (kini ESCAP) di Baguio, Filipina, Igning langsung memanfaatkannya. “Sesaat menjelang berangkat, Igning datang ingin menitipkan laporan untuk atasannya di Manila,” kenang Opsir Muda Udara III Boediardjo, salah satu awak pesawat RI-002 yang membawa delegasi, dalam memoarnya Siapa Sudi Saya Dongengi . Nahas menimpa Igning. “Laporan itu ternyata tertinggal di penginapannya. Sementara Igning berusaha mengambil secepatnya, pesawat RI-002 sudah terburu berangkat.” Kegagalan menitipkan laporan itu membuat Igning kemudian sering murung. “Ia mengira masuk perangkap komunis,” tulis Irna. Igning menderita depresi. Penjagaan kepadanya pun makin ditingkatkan. Pada suatu malam, Reuneker meminta Muhardi menggantikannya menjaga Igning. “Tolong hibur Igning. Lagi-lagi ia kesepian dan depresi gawat. Saya berhalangan,” kata Reuneker kepada Muhardi yang langsung berangkat ke kediaman Igning. Namun, selang berapa saat kemudian Muhardi justru ditemukan tewas dengan luka tembak di kepalanya. Jasadnya berada dekat dengan jasad Igning yang juga tewas. Kepolisian dan tim Kedokteran Kehakiman di bawah Prof. Dr. Sutomo Cokronegoro lansung menyelidiki perkara itu. Rekonstruksi yang dilakukan kemudian mengungkapkan, sebagaimana dikutip Irna, “Muhardi yang tidak bersenjata menemui Igning. Melihat Igning mengacungkan senjata 45 automatic ke arah pelipisnya, Muhardi cepat memukul tangan Igning yang mau bunuh diri. Reaksi Igning adalah menambakkan pistolnya ke arah kepala Muhardi, yang tewas seketika. Mungkin karena terkejut dan menyadari akibatnya, Igning lalu mengakhiri hidupnya sendiri.”





















