top of page

Sejarah Indonesia

Pertempuran Surabaya Dari Mata Perempuan

Pertempuran Surabaya dari Mata Perempuan

Perempuan-pejuang di Pertempuran Surabaya. Suaminya meninggal di hari kedua pertempuran.

Oleh :
26 Februari 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

SUATU hari di Surabaya pasca-proklamasi. Pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya. Riet dan suaminya, Boenakim, yang sedang berjaga di pos dekat Pasar Kupang, menyaksikan mereka menembak ke segala arah dengan membabi buta.


Sejak pertempuran pecah, Riet ambil bagian dalam perjuangan sebagai anggota palang merah. Sementara, Boenakim sebagai komandan pos.


“Aduh!” kata Boenakim yang sekonyong-kongyong ambruk. Riet langsung menjerit. Dilihatnya punggung Boenakim berlubang terkena peluru yang menembus lewat dadanya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim. Di tengah kepanikannya, Riet terus memberi pertolongan pada suaminya.


Parto, anak buah Boenakim, lantas datang membantu. Riet dan Parto bahu-membahu merawat luka Boenakim. Namun sayang, nyawa Boenakim tak tertolong. Di pangkuan istrinya, Boenakim meninggal pada 11 November 1945 pukul 10.45.


Sampai di rumah Riet, Kampung Asemjajar, suasana sudah sunyi. Seluruh penduduk kampung mengungsi lantaran takut sewaktu-waktu dibom Sekutu. Pasalnya, kampung sebelah, Asemrowo dan Dupak, sudah dibumihanguskan Sekutu dengan hujan bom.


Setelah satu jam menyiapkan pemakaman hanya bersama Parto, Riet kedatangan empat perempuan tetangga yang membantunya bekerja di dapur. Suara bom dan mortir terus-menerus terdengar di kejauhan. Semua bekerja dengan cemas.


Pukul tiga sore, suara ledakan bom makin menjadi namun hilang setengah jam kemudian. Riet mengira kedua belah pihak kehabisan amunisi. Di saat itulah, anak buah Boenakim berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada komandan mereka.


Menjelang penguburan, suara letusan senjata kembali terdengar. Jenazah Boenakim yang semula akan dimakamkan bersebelahan dengan ibunya, batal dilakukan. Situasi terlalu berbahaya, jalan-jalan ditutup. Satu-satunya tempat aman yang bisa dijangkau adalah kebun milik Riet di dekat sawah.


amun ketika rombongan baru jalan sekira 100 meter, letusan senjata kembali terdengar. Mereka langsung tiarap dan mencari tempat aman. Keranda terpaksa mereka taruh di tanah. “Karena keadaan inilah jarak dekat antara rumah dan kebon, kami tempuh tak kurang dari satu jam,” kata Riet Boenakim dalam memoarnya, Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi jilid 3.


Malamnya, Riet langsung meninggalkan kampung dan bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Riet bekerja di dapur umum merangkap juru rawat dan dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Pada hari kelima pasca-kematian Boenakim, Pos Banyuurip diserang. Seluruh pengungsi dan para pejuang pindah ke Kandangan. Riet mengikuti dengan menumpang tank. Setelah Kandangan tak lagi aman, warga Surabaya mengungsi ke berbagai tempat. Riet memilih ke Yogyakarta.


Kembali ke Yogyakarta


Yogyakarta bukan kota asing buat Riet. Ia lahir dan besar di sana. Riet menempuh pendidikan di Neutrale Hollandsche Javanesche Meisjeschool bersama Arini Soewandi, kelak menjadi anggota DPRD DIY 1966/67. Semasa sekolah, Riet dan Arini aktif di kepanduan yang diketuai Pranyoto. “Kami mempunyai idola pemimpin yang sama, yakni Bapak Pranyoto. Orangnya tenang, sabar, dan berwibawa,” kata Arini dalam memoarnya di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi V.


Sekembalinya ke Yogyakarta, Riet langsung aktif di Perwari dan menjadi pengurus ranting Danureja. Mereka lalu membuka kelas penghapusan buta huruf untuk anak-anak kelas bawah dan perempuan dewasa yang belum pernah mengenyam pendidikan Barat. Riet juga aktif menyelenggarakan dapur umum dan mengumpulkan informasi sembari menyamar sebagai mbok-mbok pencari bayam.


Keaktifannya di Perwari tak membuat Riet meninggalkan kepanduan. Kesibukannya makin bertambah setelah menjadi pegawai sipil menengah di bagian pemeriksaan Markas Besar Polisi Tentara Laut pada November 1946. “Tugas sosial Perwari dan kepanduan tetap kukerjakan pada sore harinya, bahkan sampai malam hari,” kata Riet.


Semasa Ki Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Riet bekerja di Pendidikan Masyarakat bagian Kepanduan, Pemuda, dan Olahraga. Riet kemudian diperbantukan di Kwartir Besar Putri Pandu Rakyat Indonesia. Banyaknya pelatihan yang diikutinya membuat Riet kemudian diangkat menjadi Komisaris Besar (Andalan Nasional) golongan Kurcaci yang memimpin Pramuka Siaga Putri.


Bersama Eni Karim, Rimmy Tambunan, Otti Adam, dan Mulyati, Riet dilantik menjadi anggota inti Korps Wanita Angkatan Darat dengan pangkat mayor pada 1960. Dari kedua lembaga ini, Riet mendapat banyak ilmu baru dan sering dikirim untuk mengikuti kursus-kursus kepemimpinan, salah satunya pelatihan pandu putri internasional di Australia pada 1971. Terbitan pramuka putri Australia, Matilda, memberitakan kedatangan Riet bersama dua orang perwakilan Indonesia.


“Sangat sulit mengenali seorang Letnan Kolonel Nyonya Riet D Boenakim dari Indonesia, mengenakan pakaian nasional dan menampilkan tarian tradisional,” ditulis Matilda, Juli 1971.


Riet terus aktif dalam kepanduan dan militer. Ia menjadi Komandan Detasemen Korps Wanta Angkatan Darat II di Bandung dan menjadi staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Kepengurusannya di Perwari juga terus dipertahankannya. Selama lima tahun sejak 1973, Riet menjadi direktris Panti Asuhan Trisula milik Perwari. Keaktifan di militer dan kegiatan sosial Riet menjadi pembunuh sepinya pasca-kematian suaminya. “Aku merasa hidup kembali dan menghirup kesegaran,” kata Riet.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page