top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Santapan Aneh Para Raja

    Pada masa lalu di Jawa, tak semua orang bisa makan daging. Rakyat dan kalangan kerajaan memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Sementara raja memiliki hak istimewa dalam menyantap daging bahkan makanan yang tidak biasa, seperti kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih, babi liar matinggantungan, dan anjing yang dikebiri. “Kadang kalau orang sekarang mikir itu makanan menggelikan. Tapi itu dulu dimakan. Misalnya asu buntungan, anjing yang tak punya buntut. Lalu cacing. Itu dibuat masakan,” kata Lien Dwiari Ratnawati, peminat kuliner, arkeolog, dan kepala Subdirektorat Warisan Budaya Tak Benda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam berbagai sumber teks kuno, makanan tak biasa bagi raja disebut rajamangsa. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menjelaskan sebutan rajamangsa terdiri atas dua kata, yaitu raja dan mangsa . Kata raja mendapat serapan dari bahasa Sanskreta, rajya . Secara harfiah berarti raja, yang bekuasa, pemimpin. Adapun mangsa atau mansa juga dari bahasa Sanskreta, artinya daging, mangsa, makanan, pemakan daging, menghabiskan, melahap. “ Rajamangsa secara harfiah berarti makanan raja, makanan yang khusus disediakan untuk raja,” kata Dwi. Rajamangsa diperuntukkan bagi penguasa tertinggi kerajaan, baik di kerajaan pusat (maharaja) maupun di kerajaan bawahan (raja).  Selain dalam kitab Purwadigama dan Siwasasana , kata rajamangsa juga ditemukan dalam prasasti. Transkripsi prasasti milik H. Kern (VG VII.32f dan VIIIa), ahli epigrafi Belanda, menyebut wangang amangana salwir ning rajamangsa, badawang baning, wedus gunting, asu tugel, karung pulih .  “ Wedus gunting artinya kambing yang belum keluar ekornya; baning itu penyu, kura-kura; karung itu babi hutan, diberi sebutan karung pulih, kata pulih bisa jadi menunjuk pada babi dikebiri,” kata Dwi. Dalam transkripsi prasasti milik epigraf lainnya, A.B. Cohen Stuart, dengan kode CSt 7 disebutkan karung mati ring gantungan . Kemudian pada kumpulan transkripsi prasasti milik J.L. Brandes terdapat sebutan lain asu ser . Karung mati ring gantungan , kata Dwi, mungkin menunjuk pada babi yang ditangkap mati dalam jerat. Asu tugel artinya anjing yang dikebiri atau dengan sebutan asu ser. Kata ser mungkin artinya sama dengan sor, yang berarti dikebiri, yang ditandai dengan memotong ekornya ( asu buntung ). Dalam Prasasti Rukam (907 M), Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari (1269 M), dan Prasasti Gandhakuti (1043 M), juga disebut makanan yang hanya boleh disantap oleh raja: badawang, wedus gunting, karung pulih, asu tugel. Arkeolog Universitas Indonesia, Kresno Yulianto Sukardi, dalam makalahnya, “Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV , menerjemahkan wedus gunting sebagai kambing muda yang belum keluar ekornya. Sedangkan karung pulih adalah babi hutan aduan. Kendati rajamangsa dikhususkan untuk raja, dalam beberapa kesempatan orang di luar lingkungan istana juga bisa mencicipi santapan itu. Mereka adalah penerima anugerah ( waranugraha ) dalam upacara sima. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis, hak mengonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. “Anugerah berupa hak istimewa, dia dan keluarganya diperkenankan untuk menyantap menu khusus raja itu,” kata Dwi.

  • Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran

    BUS melaju dari Yogyakarta ke Trenggalek. Lasmidjah dan Sutono serta Parmin menumpang bus itu. Mereka bersandar di kursi untuk melepas lelah selepas menghadiri Konferensi Partindo tahun 1933. Setelah menempuh jarak hampir 300 km, mereka tiba di Trenggalek. Sejurus kemudian Lasmidjah melambaikan tangan, memanggil seorang pengemudi delman untuk mengantarnya ke rumah. Namun baru sampai halaman rumah, Lasmidjah dikejutkan oleh keberadaan anggota PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Intelijen Politik) yang mengepung rumahnya. Lasmidjah dilarang masuk ke rumah dan langsung digiring ke kantor polisi. Runyam! Para polisi menginterogasi Lasmidjah tentang pertemuan politik di Yogyakarta. Wardi, ayah Lasmidjah, yang tak pernah tahu-menahu soal pergerakan, dipanggil bupati. “Anak tuan dokter mengganggu ketertiban umum. Ini sudah lama kami amati. Putri tuan harus segera pergi dari Trenggalek dalam 2x24 jam,” kata bupati. Mula jadi Nasionalis Lahir di Purworejo pada 14 April 1916, Lasmidjah berasal dari keluarga cukup berada. Ayahnya, Wardi, dokter Jawa asal desa Grabag, Kutoarjo. Ibunya bernama Ambarwati, putri priyayi Bojonegoro. Keluarga Lasmidjah melek baca. Meski ibunya tak pernah sekolah, dia kemudian belajar membaca dan punya banyak koleksi bacaan. Kakak Lasmidjah, Paran Alesmartani, merupakan murid Recht Hoge School di Batavia. Lewat Paran, Lasmidjah kenal bacaan sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoi, Anton Chekov, Nikolai Gogol, dan Dostoyevsky. Sementara lewat kakaknya yang lain, Bambang Sugeng, Lasmidjah mulai mengenal tokoh-tokoh nasionalis seperti Sukarno dan dr. Soetomo. “Pada usia antara 14 sampai 15 tahun aku mulai dikarbit dengan buku-buku dan pidato yang menggungah rasa,” kata Lasmidjah dalam memoarnya Perjalanan Tiga Zaman. Pada 1930, Lasmidjah mendirikan Kepanduan Bangsa Indonesia. Anggotanya anak-anak tetangga, teman-teman sekolah, dan adiknya, Wardiningsih. Dalam kepanduan ini Lasmidjah berlatih baris, senam, tali-temali, dan P3K. Tiap Sabtu sore mereka jalan ke desa sebelah untuk latihan. Kegiatan itu tak disukai PID, terutama ketika atribut merah putih digunakan sebagai dasi dan ornamen kepanduan. PID sempat mendatangi rumah Lasmidjah dan memperingatkan agar atribut tersebut tak digunakan lagi. Ketika menginjak tahun ke-6 di HIS, Lasmidjah pulang-balik Trenggalek-Blitar selama liburan. Lasmidjah mengikuti saudaranya, Suwardjo, yang tinggal di Blitar, namun memilih indekos. Waktu liburannya diisi dengan bekerja di perusahaan kontraktor dan mengikuti pertemuan-pertemuan dengan para nasionalis. Di Blitar, Lasmidjah berkenalan dengan tokoh pejuang seperti Nona Supeni (pada 1960-an menjadi duta besar keliling). Lasmidjah juga mengikuti dan membantu persiapan pertemuan besar Partai Bangsa Indonesia yang diketuai Sutopo. Irna Hadi Suwito dalam Kiprah Perempuan Indonesia dalam Satu Abad Kebangkitan Perempuan menulis, dalam pertemuan ini Lasmidjah sempat bertemu dengan dr. Sutomo, residen Surabaya Sudirman dan istrinya Siti Sundari (Sundari kemudian menjadi anggota Gemeente Raad Surabaya). Sekembalinya dari Blitar, Lasmidjah mengajak teman-temannya berkumpul di rumah untuk menyebarkan kabar dan materi ceramah dalam pertemuan kaum nasionalis. “Beberapa hari sejak aku memimpin rapat, ada reserse yang mengawasi rumah kami,” kata Lasmidjah. Pengawasan PID tidak membuat Lasmidjah gentar. Gerakan nasionalis terus diikutinya. Semasa sekolah di MULO Kediri, Lasmidjah ikut mendirikan dan mengajar di Sekolah Perguruan Rakyat di Trenggalek selama liburan. Bersama rekan-rekannya sesama guru, dia mendirikan Partindo cabang Trenggalek dan terpilih menjadi ketua. Anggotanya beragam, dari guru, buruh, tukang sate, tukang cukur, petani, hingga pengusaha kecil. Sebagai ketua Partindo cabang Trenggalek, Lasmidjah kian aktif. Selain sekolah di MULO Kediri, tiap libur dia mengajar di sekolah perguruan rakyat, dan tiap sore mengajar kursus politik di sana. Namun, keaktifannya membuat rumahnya lagi-lagi didatangi PID dan Lasmidjah dikeluarkan dari MULO Kediri. Alih-alih larut dalam kesedihan, Lasmidjah justru makin aktif dalam gerakan nasionalis. Ketika Pantindo mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta pada 1933, Lasmidjah hadir ditemani dua rekannya, Sutono dan Parmin. Di sana dia bertemu tokoh nasionalis seperti Sukarno yang baru keluar dari Penjara Banceuy dan tokoh Gerwani Nyonya Mudigdo.  Ki-ka: Lasmidjah, Sukarno, Juanda, dan Leimena di Istana Negara. Dalam konferensi itulah Sukarno mencetuskan gagasan Marhaenisme. Gatut Saksono dalam Marhaenisme Bung Karno menyebut, konferensi ini memutuskan gagasan Sukarno yang berisi sembilan tesis marhaenisme sebagai azaz partai. “Pengalaman ini membuatku bersungguh-sungguh untuk terbiasa berbicara di depan umum dan juga mencoba hidup sesuai dengan ajaran marhaenisme,” kata Lasmidjah. Sepulang dari konferensi itulah Lasmidjah ditunggu PID di depan rumahnya. Tanpa sempat mengucap salam pada sang ibu, dia langsung dibawa ke kantor PID. Ayahnya diancam bila Lasmidjah tak pergi dari Trenggalek, uang pensiunnya akan dicabut. Ayahnya menahan marah lantaran sejak lama tak sepakat dengan tindak-tanduk putrinya akibat khawatir. Dua hari berselang, ia meninggalkan Trenggalek menuju rumah kakaknya, Paran, di Batavia. Lewat jendela kereta, dia amati pemandangan yang akrab dengannya. Sawah, pohon, sungai, sampai akhirnya semua pemandangan itu menjadi kabur. “Pelupuk mataku tak kuasa menahan tetesan air mata yang terus mengalir,” kata Lasmidjah.

  • Teror Pao An Tui di Medan

    Kalender baru saja memasuki tahun 1946. Pejuang Republik di kota Medan mendapat kejutan tahun baru: orang-orang Tionghoa mendirikan barisan milisi bersenjata. Pao An Tui namannya.   “Para pejuang Indonesia kini mendapat musuh tambahan justru bukan orang yang asing dengan daerah Sumatra, melainkan mereka yang sudah mengenal lorong-lorong dengan segala gang-gang tikus termasuk liku-liku persembunyiannya,” kata Amran Zamzami, mantan veteran di front pertempuran Medan Area, dalam Jihad Akbar di Medan Area . Pembentukan Pao An Tui diizinkan oleh tentara Inggris yang bertugas di Medan untuk melucuti tentara Jepang. Nama resminya adalah Chinese Security Corps (CSC). Orang-orang Tionghoa yang tergabung di dalamnya lebih suka menamai diri Pao An Tui (PAT) yang berarti pasukan penjaga keamanan Tionghoa (保安).   Beberapa catatan menguak sepak terjang PAT. Sebagaimana disebutkan Edisaputra dalam Bedjo Harimau Sumatera , tentara Inggris melatih sekompi Pao An Tui. Mereka dibekali dengan senjata modern otomatis. Kawasan utama yang diamankan PAT adalah Medan dan Belawan. Dalam Etnis Cina dalam Potret Pembaruan di Indonesia, Abdul Baqir Zein menulis PAT dibentuk oleh komandan pasukan Inggris, Brigjen Ted Kelly. Dia melatih dan mempersenjatai 110 pemuda Tionghoa. Seorang tokoh Tionghoa bernama Lim Seng ditunjuk sebagai komandan PAT. Selain pasukan yang solid, pasokan logistik untuk kebutuhan PAT juga terbilang royal. Untuk biaya operasional, PAT mendapat sokongan iuran dari tiap keluarga Tionghoa sebesar 5-7 gulden sebulan. Konsulat China juga turut menyumbang dana untuk kebutuhan sekira seribu personel PAT di Sumatra Timur, yang setiap bulannya menghabiskan 80.000 gulden. PAT tersebar di 14 daerah dengan konsentrasi utama di wilayah Medan, Labuhan, Titi Papan, dan Binjai. Sejarawan LIPI Nasrul Hamdani menguraikan lebih gamblang lagi bagaimana peta kekuatan PAT. Menurut Nasrul, personel PAT pimpinan Lim Seng sudah dilengkapi dengan perlengkapan dan persenjataan tempur yang memadai. Persenjataan otomatis berlaras panjang dari jenis tommyguns , owenguns , brenguns serta senjata tangan jenis pistol revolver untuk tiap pemimpin unit atau regu. Selain senjata sisa milik Inggris, PAT mendapat senjata yang diberikan Belanda atas perintah Mayjen D.C. Buurman van Vreeden, staf umum AD Belanda di Medan. Karena dipersenjatai, pemuda-pemuda Tionghoa PAT jadi suka bertingkah. Mereka doyan pamer kekuatan dengan senapan di tangan. Di tengah kota, PAT berlalu-lalang mengadakan patroli dan menjadi penjaga keamanan bagi kelompok etnisnya. “Banyaknya jumlah personel PAT yang menumpuk di Medan membuat patroli PAT terlihat sangat berlebihan. Dalam satu hari, ada dua sampai lima kali patroli dan kadang menggeledah. Tindakan ini kerap menuai protes warga Cina sendiri,” tulis Nasrul Hamdani dalam Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960. Di hari-hari selanjutnya, PAT dipergunakan Belanda sebagai kaki tangan dan mata-mata. Dalam beberapa pertempuran, PAT menjadi alat ampuh untuk mengacaukan gerakan pejuang Republik. Bagi Tentara Republik ataupun kelompok laskar, keberadaan PAT jelas bikin resah. Mereka acapkali muncul dan memukul di luar dugaan. Tak jarang misalnya, ketika berlangsung kontak senjata dengan Sekutu atau Belanda, tiba-tiba sebuah peluru menerjang pasukan Indonesia. Jatuhlah korban. Biasanya tembakan kejutan ini sumbernya datang dari bangunan atau toko-toko dan di saat pasukan Republik dalam keadaan terdesak. Menurut Teuku Alibasyah Talsya, veteran staf penerangan Divisi X, tembakan itu berasal dari senapan serdadu PAT.   “Mereka berlindung di loteng-loteng rumah. Apabila pasukan Republik sedang bertempur berhadapan dengan tentera Belanda, mereka menembak dari belakang,” ujar Talsya dalam Modal Perjuangan Kemerdekaan: Perjuangan Kemerdekaan di Aceh 1947--1948. Senada dengan Talsya, Amran Zamzami menuturkan, bentrokan senjata antara para pemuda pejuang Republik dengan PAT sering terjadi. Pertempuran tidak hanya berlangsung di dalam kota secara sembunyi-sembunyi atau berhadapan dengan penembak gelap, tetapi juga merembet ke luar kota Medan. Di kawasan front Medan Area, PAT membantu Belanda melalui orang-orang mereka warga Tionghoa yang tinggal di sepanjang daerah pertokoan atau perkebunan yang mereka miliki, merentang dari Medan ke Binjai. “Maka kebencian rakyat pun kian meningkat,” kata Amran. Sampai-sampai lagu "Mariam Tomong" yang terkenal di masa revolusi itu diplesetkan liriknya oleh para pemuda yang ditujukan pada PAT. Hadong motor Chipirolet (Ada mobil chevrolet) BK na sepuluh dua  (Nomor platnya dua belas) Hadong tembakan meleset (Ada tembakan meleset) Dari Poh An Thui agennya NICA (Dari Poh An Tui agennya NICA) Oh, mariam tomong da inang (Oh, meriam tomong ibunda) Oh, mariam tomong... (Oh, meriam tomong) Apa yang menyebabkan pasukan PAT bisa beringas begitu rupa? (Bersambung).

  • Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek?

    DALAM surat edaran tertanggal 23 Januari 2019 yang belakangan viral, Forum Muslim Bogor menyeru agar “seluruh Umat Islam ... tidak menghadiri dan mengikuti” serangkaian perayaan tahun baru Imlek “yang dimulai di hari pertama bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal kelima belas [di bulan yang sama].”

  • Feng Shui dari Makam sampai Nasib

    PADA 1980, Denys Lombard mengunjungi tempat seorang pemahat nisan di Surabaya dan menyaksikan sebuah kompas Cina ( luopan ) yang masih baru dan diimpor dari Taiwan. Luopan  biasa dipakai untuk menunjuk arah, sedangkan untuk ukuran dipakai penggaris khusus dengan panjang 43 sentimeter. Kedua alat ini dipakai dalam ilmu ruang Cina atau fengshui . “Teknik-teknik itu telah diperkenalkan di Jawa paling tidak sejak abad ke-17,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Fengshui didasari gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos, khususnya aturan-aturan pembangunan rumah. Stephen Skinner dalam The Living Earth of Manual Feng Shui mencatat, eksistensinya berasal dari zaman Tao pada 1300 SM. Dalam Feng Shui: Chinese Vaastu for Better Living and Prosperity, Bhojraj Dwivedi menulis, awalnya fengshui digunakan untuk menentukan letak makam. Orang Tionghoa meyakini bahwa roh orangtua atau leluhur dapat mengalirkan chi yang dapat memberikan pengayoman, perlindungan, dan berkah kepada keturunannya. Itulah kenapa makam orang Tionghoa rata-rata bagus, bahkan mewah, dan berada di tempat yang nyaman. Biasanya, tanah-tanah untuk makam itu dimiliki Kongkoan atau dewan yang terdiri dari para mayor, kapten, dan letnan cina. “Tanah dengan fengshui baik biasanya dijual kepada anggota masyarakat yang berada, sedangkan yang sisanya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu secara cuma-cuma,” tulis Myra Sidharta dalam pengantar buku Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe. Dari makam, fengshui merambah ke rancangan rumah atau ruko dan kota. Sekarang engshui bahkan merambah sampai ke soal cinta, logo, dan peruntungan di tiap tahun.

  • Pejabat Harus dapat Membuat Puisi

    Setiap orang terdidik diharapkan dapat menulis puisi. Keahlian berpuisi merupakan bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh setiap pegawai istana pada masa lalu. Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan. Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. Hal itu pun digambarkan dalam berbagai kisah fiksi pada masa itu. “Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder dalam Kalangwan. Misalnya, dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular dari masa keemasan Majapahit, disebutkan seorang pangeran muda suka bergaul dengan para kawi agar dapat menjadikan mereka teladan dalam membuat syair ( pralapita). Ada pula tokoh Panji. Dalam penggambaran sastra kidung, dia begitu digilai perempuan. Bukan hanya karena daya tariknya yang tak tertahankan, melainkan juga karena Panji pandai menulis puisi dan menabuh gamelan. Lalu dalam suatu bagian panjang dari Kakawin Sumanasantaka menyajikan kisah sayembara Putri Indumati. Kisah yang sama, juga dijumpai dalam Raghuvamsa karangan Kalidasa. “Sampai di sini syair Jawa dan India berjalan paralel, tetapi yang tak disebut dalam versi India, ialah reaksi khas dari para pelamar yang ditolak,” jelas Zoetmulder. Raja Angga, misalnya, mencoba mencari pelipur lara dalam sebuah palambang yang terdiri atas dua bait yang ditulis pada pegangan takhtanya. Di sampingnya, Raja Awanti menyatakan cintanya kepada sang putri dengan menuangkannya ke dalam papan tulis dan kepandaiannya dalam menggerakan alat tulis berupa tanah yang lancip. “Dia dapat mengungkapkan cintanya dalam syair-syair yang demikian sempurna, sehingga sesuai dengan sebuah lambang,” kata Zoetmulder. Namun, ketika Raja Awanti juga ditolak, dia menyatakan rasa putus asanya dalam sebuah syair bhasa yang mengharukan. Itu ditulisnya pada sarung kerisnya. Raja lainnya, Pratipa pun kemudian mencatat tiga bait dari sebuah kakawin di atas sebuah pudak . Itu untuk sekadar menyalurkan rasa malunya ketika sang putri lewat tanpa tergerak sedikit pun. “Dengan mengubah cerita dari India itu sedemikian rupa, terbuktilah dengan terang, betapa kepandaian seorang pangeran sebagai seorang penyair dihargai dalam kehidupan keraton di Jawa pada zaman dulu,” jelas Zoetmulder. Tak hanya dalam karya fiksi, Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama mengisahkan Hayam Wuruk yang melakukan perjalanan ke Lumajang sempat mencatat keindahan yang dilihatnya dalam bentuk syair bhasa dan kidung. Kemudian dalam epilognya di Bharatayuddha, Mpu Panuluh mengisahkan sedikit Raja Jayabhaya. Syair-syair sang raja begitu indah dan manis tanpa cacat. Dia seorang penyair yang tak ada tandingannya. Pantas dipilih sebagai guru dan sebuah sumber bagi inspirasi puitis. Adapun Mpu Monaguna, yang menggubah Sumanasantaka , juga menceritakan hal serupa pada akhir syairnya. Sri Baginda Warsajaya, pernah menjadi gurunya dalam seni puisi dan membimbingnya dengan penuh kesabaran seperti layaknya seorang raja. Ada juga Jayakatwang, pangeran Kadiri yang menyerang Singhasari. Menurut Pararaton , dia pernah menggubah sebuah kidung menjelang ajalnya dalam tawanan. Judulnya, Wukir Polaman. Apakah hasil karya mereka juga pantas ditempatkan dalam sastra Jawa Kuno? Menurut Zoetmulder ini masalah lain. Pasalnya, di antara syair-syair Jawa Kuno yang sampai pada masa kini tak ada satu pun yang menyebutkan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya. “Berlainan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M, red . ), yang dapat menunjukkan raja-raja di antara para penyairnya, seperti Pakubuwono III dan IV,” jelas Zoetmulder. Bukan cuma bagi para pangeran dan raja. Kemampuan dan pengalaman dalam aneka cabang kesenian juga sangat dihargai untuk dimiliki para dayang yang melayani seorang putri raja. Dalam Sumanasantaka diketahui mereka diberikan penghargaan sesuai dengan kemajuannya. Bila mereka sampai pada tingkat seorang kawi dan mahir dalam setiap bentuk kegiatan artistik, mereka dihadiahi sebuah cincin. Kendati begitu, penggambaran seorang kawi atau penyair tak selalu positif. Itu terkait cap ketidaksetiaan yang melekat dalam diri seorang penyair. Mpu Tanakung dalam Wrttasancaya mengisahkan seorang penyair dan kekasihnya yang terpisah sementara karena sang penyair berkelana di tengah hutan untuk mencari ilham. Namun di sisi lain penyair itu disindir, bahwa keindahan seorang perempuan yang menyebabkan dia tak setia dan memikatnya sehingga dia jauh dari istrinya yang sah.

  • Sastrawan Peranakan yang Terlupakan

    SEPASANG bocah sekolah bikin perkara kecil. Pulang kemalaman naik sepeda tanpa lampu, kedua bocah itu, Willem Tan (Candra Eko Mawarid) dan Johan Liem (Randi Anggara), iseng mengelabui politie agent Indo-Belanda dan Bugis dengan memberi nama dan alamat palsu. Namun keisengan itu justru menimbulkan masalah besar. Tan Tjo Lat (Derry Oktami) sang wijkmeester alias “bek”: atau pejabat kepala kampung nan pongah dan congkak memanfaatkan perkara itu demi mendapatkan promosi menjadi kapitan Tionghoa, jabatan tertinggi yang bisa dipegang orang Tionghoa di masa kolonial. Si bek bikin rekayasa dan hoax dengan mengaku bahwa dia menangkap dua pemuda yang dimaksud. Alih-alih berhasil mengambil hati Komisaris Polisi De Stijf (Aryo Bimo), si bek malah kena tulah. Ternyata yang dibawa ke kantor polisi bukan tersangka yang sebenarnya. Alhasil, sang bek dibui. Kisah itu menjadi inti pementasan teater bertajuk “Zonder Lentera” yang dimainkan Kelompok Pojok di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 26-27 Januari 2019. “Zonder Lentera” yang diangkat dari dari salah satu karya sastrawan peranakan Tionghoa Kwee Tek Hoay terbitan 1930, dipentaskan dalam rangka merayakan Imlek, 5 Februari 2019. Sekira tiga jam kisah komedi-tragedi yang mendominasi “Zonder Lentera” dihadirkan dengan apik oleh duet sutradara muda Brilliantika Tamimi Rutjita dan Yasya Arifa. Gelak tawa penonton acap mengiringi hampir semua 13 adegan yang dibawakan. Set panggung, properti, wardrobe , gaya dialog Melayu-Rendah,hingga iringan musik keroncong yang dimainkan live oleh tim pimpinan Didit Alamsyah, lumayan bisa membawa penonton ke suasana pecinan era 1930. Satu adegan dalam pementasan Zonder Lentera oleh Kelompok Pojok yang berpusar pada drama rekayasa sang wijkmeester Tan Tjo Lat (kanan) yang diperankan aktor langganan serial Azab Derry Oktami (Foto: Dok. Kelompok Pojok Ini merupakan kali kedua Kelompok Pojok mementaskan karya Kwee Tek Hoay. Pada 2018, mereka membawa novel Nonton Cap Go Me ke atas panggung. “Kami sudah lama menyukai karya-karya Tek Hoay. Dia tokoh hebat yang terlupakan. Lewat karya kini kita ingin memberitahu masyarakat bahwa kaum peranakan (Tionghoa) juga Indonesia,” ujar sang pemimpin produksi Iqbal Samudra kepada Historia. Kelompok Pojok jelas bukan satu-satunya grup teater yang pernah mementaskan novel-novel Tek Hoay. Sebelumnya, ada Teater Bejana, Kelompok Main Teater, Teater Koma, hingga grup legendaris Dardanella di masa lampau. Wartawan, Sastrawan & Agamawan Kwee Tek Hoay lahir pada 31 Juli 1886 di “Kota Hujan” Bogor sebagai anak bungsu dari pasutri Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Sejak kecil, buku sudah jadi kegemarannya sembari membantu bisnis tekstil ayahnya. Rasa penasarannya yang tinggi akan kesastraan membuatnya sering bolos sekolah. Tidak hanya bahasa Hokkian, Tek Hoay muda fasih berbahasa Melayu, Belanda, dan Inggris. “Bahasa Inggris dipelajarinya secara privat dari S. Maharaja, seorang India yang jadi gurunya di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan, Bogor. Sedangkan bahasa Belanda dipelajarinya dari Lebberton dan Wotman, pengurus Loge Theosophie, Bogor,” ujar Jamal D. Rahman dalam 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh . Sedari masa sekolah pula Tek Hoay sudah gandrung mengirim tulisan novel ke berbagai media cetak seperti Sin Po , Ho Po , Li Po atau Bintang Betawi . Namanya di dunia jurnalistik mulai dikenal lewat sejumlah pecahan tulisan bertajuk “Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914-1918” yang dimuat di Sin Po . Setelah jadi pemimpin redaksi (pemred) Majalah Ho Po dan Koran Li Po di Bogor, Tek Hoay bertualang ke Jakarta dengan bergabung ke suratkabar Sin Po . Pada 1926, dia mendirikan tabloid mingguan Panorama . “Majalah itu dimanfaatkannya untuk menyuarakan pandangan politiknya yang kerap dianggap kontroversial oleh para pemimpin koran lain yang menjadi pesaingnya,” lanjut Jamal. Di dunia teater, Tek Hoay empat tahun (1926-1930) menakhodai grup drama Miss Intan. Dari dunia jurnalistik dan teater itulah Kwee Tek Hoay menambah khazanah pengetahuannya tentang kehidupan masyarakat akar bawah di berbagai wilayah Hindia-Belanda yang bermuara pada ditelurkannya banyak karya “merakyat” dengan bahasa Melayu-Rendah. Beberapa karya awal drama dan novelnya yang dikenal luas antara lain Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roos dari Tjikembang (1927). Karya-karya itu beberapa kali dimainkan grup legendaris Dardanella dengan sejumlah seniman sohor: Miss Dja (Dewi Dja), Tan Tjeng Bok, hingga Andjas Asmara. Karya berjudul Boenga Roos dari Tjikembang bahkan pernah diangkat ke layar lebar. Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches mengungkapkan, novel Tek Hoay itu diangkat sineas The Teng Chun pada 1931 sebagai film bersuara pertama di Indonesia dengan judul yang sama. Selain tokoh di bidang jurnalistik dan sastra-budaya, Tek Hoay merupakan figur agamawan berpengaruh. Tiga buku agama dikeluarkannya: Buddha Gautama (1931-1933), Sembahjang , dan Meditatie (1932). Abdul Syukur dalam “Keterlibatan Etnis Tionghoa dan Agama Buddha: Sebelum dan Sesudah Reformasi 1998” yang dimuat dalam Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 menulis, Tek Hoay mendirikan organisasi tiga agama (Tridharma) Sam Kauw Hwee, yakni Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme pada 1934. Tujuannya, agar masyarakat peranakan Tionghoa lebih memahami ajaran agama mereka. Namun hidup Tek Hoay berakhir nahas. Pada 4 Juli 1952, rumahnya di Cicurug, Sukabumi dirampok. Tek Hoay tewas dalam perampokan dengan kekerasan itu. Sesuai wasiatnya semasa hidup, jenazahnya dikremasi. Ia jadi orang Tionghoa pertama yang jenazahnya diperabukan di Indonesia dan diikuti sebagian besar kaumnya hingga kini. Figur Terlupakan Selama lebih dari dua dasawarsa berkarya, Tek Hoay menghasilkan 115 novel. “Suatu prestasi (115 karya) yang sulit tertandingi oleh penulis Indonesia dari kurun kapanpun. Meminjam ungkapan Jakob Sumardjo (dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay ), ‘suatu fenomena yang luar biasa dalam sejarah sastra di Indonesia’,” kata Ibnu di kata pengantar buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Jilid 4. Namun, nama Tek Hoay tenggelam di dunia kesusastraan Indonesia. Menurut Ibnu, ada empat penyebab nama Tek Hoay tak tertera di buku-buku sejarah kesusastraan Indonesia. Pertama , orientasi karya hanya memasukkan karya-karya sastrawan yang sudah dibukukan saja ke dalam buku sejarah sastra. Kedua , media bahasa, di mana yang diakui hanya karya-karya dengan bahasa Melayu-Tinggi. Ketiga, muatan karya, di mana beberapa karya Tek Hoay secara politis menyerang pemerintah kolonial. Keempat , kuatnya diskriminasi, hanya penulis “asli Indonesia” alias bumiputera yang pantas disebut sastrawan Indonesia Padahal, karya-karya Tek Hoay juga “berbicara kebangsaan”. Tentu kebangsaan yang dimaksud adalah bangsa bernama Indonesia, yang terdiri dari beragam etnis dan di masa kolonial “dipersatukan” oleh bahasa Melayu-Rendah sebagai lingua-franca . Selain itu, keragaman yang hadir dalam karya-karya Tek Hoay sangat kaya. Yang terpenting, masalah-masalah yang diangkat dalam karya-karyanya masih sangat relevan hingga kini. Cap Go Me, misalnya, berkisah tentang pertentangan pandangan tradisional dan modern. Zonder Lentera mengangkat tentang pejabat yang merekayasa perkara dan menebar hoax demi menggapai kekuasaan. “Tahun ini sebagai pesta demokrasi (Pemilu dan Pilpres 2019) yang seharusnya jadi pesta menyenangkan, justru malah menjadi pesta hoax . Maka dari itu, Zonder Lentera , seperti menjadi cerminan dari zaman ini, di mana hoax menjadi masalah yang utama dalam pesta demokrasi,” tandas Iqbal Samudra.

  • Salim Said: Kelemahan Kita Malas Membaca

    Komunisme dan PKI masih gentayangan di negeri ini. Pada akhir 2018 lalu, aparat TNI, polisi, dan pemerintah setempat menggelar razia buku-buku yang diduga berisikan ajaran komunis dari dua toko buku di Pare, Kediri . Mengawali tahun 2019, publik kembali dihebohkan dengan berita penyitaan buku-buku sejarah terkait peristiwa 1965 yang menyingkap peran PKI terhadap sejumlah toko buku di kota Padang, Sumatera Barat. Aksi yang sama menyusul kemudian di Tarakan, Kalimantan Utara. Kabar terbaru , Jaksa Agung M. Prasetyo mengusulkan razia buku besar-besaran terhadap buku-buku yang dituding menyebarkan komunisme. Laku sepihak aparat ini - sebagaimana di era Orde baru - dilandasi kekhawatiran terhadap penyebaran ideologi komunis. Sepihak, karena tidak dilakukan telaah terhadap isi buku sebelum menggelar operasi razia atau penyitaan. Setelah dikritisi, nyatanya banyak dari buku itu merupakan buku sejarah kajian akademis ataupun reportase jurnalistik yang berkisah sejarah. Kendati demikian, aksi ini seolah jadi tradisi dari tahun ke tahun yang berpotensi menutup nalar kritis publik. Cukup beralasan mengingat minat dan kultur literasi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Salim Said adalah salah satu penulis yang bukunya ikut dirazia di Padang. Historia melakukan korespondensi dengan Salim yang merupakan guru besar ilmu politik ini ketika isu razia buku mengemuka. Petikan wawacara termuat dalam artikel berjudul " Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu " (21 Januari 2019). Berikut hasil wawancaranya dalam versi lengkap. *** Apakah anda mendengar berita tentang penyitaan buku-buku sejarah yang diduga mengandung ajaran komunis oleh aparat TNI baru-baru ini? Salah satu buku yang ikut disita adalah karya anda yang berjudul Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto. Ya. Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa memang ada kekeliruan. Karena mereka tidak baca inilah masalahnya. Kalau mereka baca sebelumnya, mereka bisa tahu yang mana perlu disita, mana yang tidak perlu disita. Bagaimana tanggapan anda? Saya tenang-tenang saja. Jadi saya serahkan saja itu, saya ga ikut-ikut campur. Itu urusan penerbitnya. Kan itu barang dagangan.  Setelah saya selesai tulis, dicetak, diterbitkan, ia sudah jadi barang dagangan. Jadi kalau disita, itu barang dagangan yang disita. Saya tidak punya wewenang lagi. Tentang apa sebenarnya isi buku anda tersebut? Saya tidak perlu menjelaskan. Ya baca aja buku itu jelas kok. Buku saya itu bukan propaganda PKI. Jadi ya karena keliru aja, kurang waktu untuk membaca. Tapi itulah kelemahan kita. Malas membaca, nah terjadilah hal seperti itu. Buku saya itu sudah cetakan ke-4 jadi beredar luas di tengah masyarakat sejak beberapa tahun yang lalu. Penyitaan buku karya anda rasanya agak kontroversial, mengingat anda tercatat sebagai guru besar ilmu politik di Universitas Pertahanan – lembaga pendidikan yang alumni nya banyak berasal dari kalangan perwira TNI. Itu juga lucunya. Mestinya kan mereka selain membaca naskah – yang tidak mereka lakukan – mereka juga harus tahu penulisnya. Saya ini kan penasihat politik Kapolri, saya guru besar Universitas Pertahanan, mengajar di Sesko TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Tapi mereka kan tidak mempelajari itu. Lihat di toko buku ada tulisan Gestapu 65, “Wah ini buku PKI. Ambil saja”. Keliru. Karena dia tidak punya informasi. Bertindak itu kan harus dengan dasar informasi. Baik informasi yang ditulis di buku itu dan siapa penulisnya. Begitu. Itulah kecerobohan. Apa saran anda agar kecerobohan yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang? Mestinya pimpinan dari penyita itu mendidik bawahannya bagaimana cara menyita buku. Apakah itu tidak melarang Undang-Undang? Menurut yang saya dengar tidak boleh itu. Yang boleh melakukan itu penegak hukum dan ada dasarnya. Tidak bisa begitu saja datang ke toko buku lalu menyita buku. Mengetahui buku anda disita dari toko buku, anda marah? Saya tidak terlalu pikirkan soal itu, tidak tersinggung, tidak marah. Ya begitulah bangsa kita, bertindak tidak berdasarkan informasi yang cukup.

  • Kaiin Meregang Nyawa di Tangerang

    KAMPUNG Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang ramai pada 10 Februari 1924. Hari itu, Kaiin Bapak Kayah –disebut demikian karena ayah Kaiin bernama Bapak Kayah– menggelar pesta sunatan anak tirinya. Tamu yang datang jumlahnya banyak, bukan hanya penduduk setempat atau orang kampung sebelah. Maklum, Kaiin merupakan tokoh yang dipandang di Pangkalan meski dia hanya petani. Pesta itu tak semata untuk merayakan sunatan anak tirinya, Kaiin menjadikan momen untuk menggalang massa. Di pesta itu pula Kaiin akan mengumumkan hal penting yang akan menentukan nasib penduduk setempat, yang umumnya miskin, dan orang-orang yang senasib. Merebut tanah “leluhur” Lahir tahun 1884 di Kampung Pangkalan, Kaiin datang dari keluarga biasa. Seperti umumnya anak-anak Betawi, penghuni mayoritas Pangkalan, saat kanak-kanak Kaiin belajar mengaji sekaligus main pukulan (baca: silat). Bocah pendiam itu merupakan anak yang taat kepada orangtuanya. Seperti lelaki sebaya di kampungnya, begitu beranjak dewasa Kaiin bertani. “Status petaninya sebagai bujang sawah (buruh) dan pernah menjadi petani bagi hasil,” tulis Suhartono W. Pranoto dalam Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942 . Dia tinggal di gubuk sederhananya yang didirikan di tanah sewaan kakaknya, Maiah. Berbeda dari kakaknya yang secara teratur membayar sewa tanah kepada sang pemilik Lie Kim Liong, Kaiin seringkali telat membayar kompenian , uang yang harus dibayar penduduk untuk membiayai ronda, perbaikan jalan, dan jembatan. Beruntung, Lie seorang yang baik dan dermawan sehingga Kaiin tak diusir. Kaiin dikenal saleh dan jago main pukulan. Seorang tuan tanah Tionghoa lalu mempekerjakan Kaiin jadi mandor di perkebunan miliknya. Namun, Kaiin yang amat muak pada ketidakadilan dan terobsesi menolong si lemah, tak tahan melihat pemerasan yang dilakukan tuan tanah sehingga mengundurkan diri. Kaiin kemudian merantau ke Teluk Naga dan bekerja sebagai pembantu polisi. Pekerjaan ini tak lama dijalaninya. Pada 1913, Kaiin merantau ke Batavia dan bekerja sebagai opas seorang komisaris polisi. Lantaran tak betah, Kaiin pulang ke Pangkalan. Dia kemudian menghidupi dirinya dengan menjadi pembantu seorang dalang di Mauk. Dari situlah Kaiin belajar mendalang hingga akhirnya berhasil menjadi dalang populer di daerah Kebayoran. “Saat menjadi dalang ini pola kehidupan Kaiin Bapak Kayah mengalami transformasi menjadi tokoh paham nativisme, terlebih setelah berguru kepada Sairin alias Bapak Cungok dari Cawang tentang elmu kawedukan dan elmu keslametan ,” tulis G.J. Nawi dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi . Kaiin tak hanya belajar kepada seorang guru. Kyai Mohammad Santri di lereng Gunung Salak juga kerap dikunjunginya. Kaiin menganggap kyai itu bisa melindungi rencananya. Sebaliknya, sang kyai menganggap Kaiin sebagai jelmaan Pangeran Alibasah yang dipercaya sebagai pembebas atau imam mahdi. Penilaian sang guru menguatkan keyakinan Kaiin untuk mewujudkan gerakan merebut tanah-tanah yang dikuasai para tuan tanah Tionghoa dan mengembalikan ke para petani. Memanfaatkan popularitasnya, Kaiin lalu  menanamkan pemikirannya kepada teman-temannya agar mendukung gerakan merebut tanah Pangkalan. Tanah itu menurut Kaiin merupakan milik mereka yang diwariskan dari leluhur. Untuk itulah, tulis Suhartono, “pengikutnya harus mencari ilmu sakti dan kebal pada guru sakti dan keramat.” Berbeda dari pemikiran para pemimpin gerakan serupa, Kaiin tak anti-pemerintah. Gerakan untuk merebut tanah Pangkalan perlu bantuan petinggi pemerintah di Buitenzorg (kini Bogor), bila perlu dari ratu Belanda. Di tengah pergulatan batinnya, Kaiin melepas masa lajangnya dengan menikahi janda Tionghoa kaya, Tan Teng Nio pada 1922. Meski janda yang kemudian masuk Islam itu mencukupi kebutuhan materinya, hasrat Kaiin untuk membantu kaum tertindas dan merebut kembali tanah Pangkalan makin besar. “Setelah tahun 1922, ia berubah menjadi seorang pendiam dan serius. Tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya, karena itu orang Cina harus diusir dan tanahnya dirampas,” tulis Suhartono. “Tanah-tanah perkebunan yang dikuasai para tuan tanah dari etnis Cina harus dikembalikan kepada para petani sebagai pemilik awal keturunan Pangeran Blorong dan Ibu Mas Kuning,” tulis GJ Nawi. Dalam sebuah pertunjukan wayang di Parangkurad, Kaiin yang membawakan lakon "Penggiring Sari" dan "Soklawijaya" mengalami trance di tengah pertunjukan. Di tengah ketidaksadarannya itu dia menyebut dirinya keturunan raja-raja Sunda dan akan dinobatkan sebagai Ratu Rabulalamin. Di waktu hampir bersamaan, Sairin guru Kaiin melakukan ziarah dan ritual dengan membagikan jimat serta ilmu kebal kepada para pengikut Kaiin. Kepada mereka Sairin memerintahkan agar mengenakan pakaian putih dan topi anyaman, bambu atau pandang, Tangerang ketika melakukan gerakan. Gerakan yang diimpikan Kaiin perencanaannya dimantapkan saat dia menyunatkan anaknya, 10 Februari 1924, di mana tamu yang hadir amat banyak dari bermacam tempat. “Kaiin Bapak Kayah mengusung pola gerakan yang memanfaatkan gerakan protes dan pertentangan golongan petani terhadap golongan tuan tanah,” lanjut GJ Nawi. Dalam rapat itu ditetapkan, gerakan akan dimulai pada Selasa, 19 Februari, dengan sasaran awal tanah partikelir Pangkalan. Kaiin di rapat itu juga mengumumkan akan menghapuskan cuke (pajak) dan kompenian bila berhasil menjadi raja di Pangkalan dan Tanah Melayu. Dia juga berjanji akan mengusir orang Tionghoa. “Yang berjanji akan pulang ke negerinya, dibebaskan,” tulis Suhartono. Maka ketika tanggal 19 Februari tiba, Kaiin dan 39 pengikutnya (empat di antaranya perempuan) yang berpakaian serba putih dengan membawa bermacam senjata pun bergerak menyerang rumah-rumah tuan tanah dan kantor Kongsi. Selain menghancurkan bangunan dan membakar arsip-arsip, mereka menangkap para tuan tanah Tionghoa. Seorang pemilik warung Tionghoa diancam dan seorang mandor Jawa diserang. Komplotan selanjutnya melanjutkan gerak-maju ke Tangerang untuk kemudian ke Buitenzorg. Sebelum ke Tangerang, mereka singgah ke rumah Asisten Wedana Teluk Naga R. Toewoeh. Kaiin memberitahukan niatnya hendak menyerang Batavia dan sebelum ke Batavia mereka memerlukan ke Buitenzorg menggunakan kereta api dari Tangerang untuk mendapatkan izin mengusir orang Tionghoa dari petinggi kolonial. “Ia harus pergi ke Bogor karena ayahnya, Prabu Siliwangi, telah mendatanginya dalam mimpi dan memintanya untuk naik ‘takhta’,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan . Toewoeh berusaha tenang menangani masalah itu. Sambil menunggu aparat keamanan tiba, dia mengulur waktu dengan mengajak Kaiin minum teh dan memberi mereka rokok. Sekira pukul 9.30, delapan agen polisi berkuda tiba di rumah itu. Dengan perlindugnan polisi bersenjata, kontrolir mencoba membujuk Kaiin agar mengurungkan niatnya. Upaya itu gagal. Pada tengah hari, Asisten Residen Van Helsdingen dan tiga mobil berisi rombongan pejabat kepolisian dan marsose tiba di lokasi. Keengganan Helsdingen menggunakan kekerasan membuat upaya penaklukan Kaiin berjalan lambat. “Setelah gagal memisahkan Kaiin dari rombongan pengikutnya, Van Helsdingen memutuskan untuk menjalankan tindakan alternatif, yaitu untuk membuat rombongan ini kelelahan dan mencari kesempatan terbaik untuk melucuti mereka tanpa kekerasan,” tulis Marieke. Para personil keamanan pun menyertai perjalanan komplotan Kaiin menuju Tangerang. Di dekat Tanah Tinggi, Helsdingen meminta Kaiin agar memerintahkan pengikutnya beristirahat di kebun kelapa di selatan jalan. Kaiin sendiri lalu ke mobil asisten residen yang diparkir di utara jalan. Di sana sudah menunggu Scheepmaker (komandan reserse) dan May yang sudah diplot akan melucuti Kaiin. Di antara mobil dan pengikut Kaiin, Kapten Marsose Reterink menempatkan pasukan Marsose dan Polisi Lapangan.   Belum lagi masuk ke mobil, Kaiin keburu ditangkap Scheepmaker dan May. Mengetahui hal itu, seorang perempuan pengikut Kaiin langsung melompat dan berteriak. Para pengikut Kaiin yang lain pun langsung bangkit dari duduk. Salvo tembakan dan tebasan kelewang dan beragam senjata tajam lain langsung meramaikan lokasi. Pertarungan tak imbang yang berjalan hanya sekira lima menit itu akhirnya mewaskan Kaiin dan 19 pengikutnya serta melukai 17 lainnya. Aparat kolonial menderita kerugian dua korban jiwa: Scheepmaker yang tewas tertebas senjata tajam di punggung, dan personil Polisi Lapangan Darsono.  Insiden tersebut mengguncang masyarakat maupun para pejabat di pemerintahan pusat. Sejumlah anggota Volksraad mengecam aparat keamanan dalam aksi berdarah tersebut. RAA Said mempertanyakan mengapa pejabat bumiputra tak diikutsertakan dalam penangangan peristiwa itu. Padahal, katanya, dengan pengetahuan dan kewibawaan atas masyarakat bumiputra, pejabat bumiputra dapat mencegah memburuknya situasi. “Kenyataan bahwa kemunculan pergerakan ini tidak dapat dicegah oleh Polisi Lapangan Tangerang padahal mereka melakukan patroli harian secara rutin menunjukkan bahwa kinerja kepolisian modern sebagai sarana beradab dan seharusnya efisien sangatlah buruk,” tulis Marieke.

  • Ulah Sukarno Pasca Dibui

    SETELAH bebas dari penjara, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dikabarkan rehat dari panggung politik. Ada yang bilang, mantan gubernur DKI Jakarta ini kembali pada profesi lamanya, yakni pengusaha. BTP juga disebut-sebut akan mencoba peruntungan baru di dunia hiburan dengan membuat gelar wicara bertajuk “BTP Show” sekaligus menjadi seorang video blogger . Namun yang menjadi perbincangan banyak orang adalah kabar seputar rencana BTP untuk menikah lagi pada 15 Februari mendatang.

  • Resep Sebuah Pengalaman

    KLINIK Tong Fang pernah menjadi topik pembicaraan dan bahan guyonan di dunia maya. Namun, jangan tertawa dulu. Klinik pengobatan ala Tiongkok ini bukanlah fenomena kemarin sore. Ia sudah eksis sedari dulu. Dokumentasi pertama pengobatan tradisional Tiongkok tertulis pada kitab Huangdi Neijing atau Pertanyaan Dasar mengenai Penyakit Dalam. Ada beragam pendapat tentang asal buku ini, antara 200 dan 800 SM. Namun yang jelas, ia kemudian jadi pedoman dan rujukan pengobatan, termasuk ramuan dan akupunktur. Teknik pengobatan ini terbawa ke Nusantara bersama gelombang kedatangan imigran Tiongkok yang kemudian tinggal, menetap, dan berbaur dengan penduduk. Umumnya bahan yang digunakan berasal dari Tiongkok, kendati tak jarang pula dicampur dengan bahan lokal. Sebaliknya, bahan-bahan dan tekniknya mempengaruhi pengobatan tradisional di Indonesia. Menurut Liesbeth Hesselink dalam Healers on The Colonial Market , karena pembatasan yang ketat di masa kolonial, orang-orang Tionghoa memiliki fasilitas medis sendiri: sinse, apotek, dan rumah sakit. Dokter-dokter Eropa tak mengakui keberadaan mereka, kendati diam-diam mencoba mempelajari dan menerapkan untuk pasiennya.  Sementara para sinse selalu merahasiakan resep mereka; kadang mereka mau menjual dengan harga mahal, kadang tidak. Terjadilah persaingan. Tak jarang ada sinse yang menipu demi mendapatkan banyak uang. Ada pula yang gagal mengobati pasien. Namun banyak pula yang ikut berperan dalam memerangi beragam penyakit kala itu. Pengobatan tradisional ini mampu melewati waktu, hingga kini. Beberapa kampus mulai mempelajarinya, terutama akupunktur.

  • Bonnie dan Clyde, Pasangan Kriminal Kharismatik

    SEPASANG suami-istri terpidana kasus terorisme di Australia, Sameh Bayda dan Alo-Bridget Namoa, akan dibebaskan bersyarat oleh Mahkamah Agung Negara Bagian New South Wales (MA NSW), Australia. Keduanya pernah dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Bonnie dan Clyde-nya muslim. Tiga tahun lalu, pasutri muda itu ditangkap Kepolisian Sydney lantaran merencanakan serangan teror di malam pergantian tahun 2016 walau akhirnya urung dilakoni. Keduanya juga terbukti memiliki dokumen berbahasa Arab terkait pembuatan bom dan kepemilikan bendera ISIS. Bayda dan Namoa baru divonis pada Oktober 2018. Bayda divonis empat tahun penjara dipotong masa tahanan dan Namoa tiga tahun sembilan bulan penjara dipotong masa tahanan. Lantaran masa tahanan non-pembebasan bersyaratnya sudah kadaluarsa sejak 25 Januari 2019, MA NSW memperbolehkan keduanya dibebaskan bersyarat. Sameh Bayda & Alo-Bridget Namoa yang menjuluki diri mereka sendiri sebagai Bonnie dan Clyde-nya muslim (abc.net/facebook). Dikutip dari kantor berita ABC , Kamis (31/1/2019), Hakim Des Fagan menyatakan sejak di masa tahanan, keduanya juga sudah mulai direhabilitasi. Semenjak Desember 2018 Namoa sudah tak lagi berhijab, bahkan sudah beralih kepercayaan dari Islam ke Kristen. Dia tak lagi fanatik dan membanggakan diri bahwa dia dan suaminya ibarat Bonnie dan Clyde versi muslim. Meski membanggakan diri dengan menganalogikan sebagai Bonnie dan Clyde versi muslim bukan perbuatan melawan hukum, Bayda dan Namoa terlalu jauh jika dibandingkan dengan Bonnie dan Clyde, sepasang kriminal paling ternama dalam sejarah di Amerika Serikat (AS). Satu contoh, Bonnie dan Clyde tak pernah melakoni kejahatan atas nama agama. Siapa Bonnie dan Clyde? Lahir di Rowena, Texas, AS pada 1 Oktober 1910, Bonnie Elizabeth Parker sudah jadi anak yatim sejak usia empat tahun. Bonnie kecil hidup sederhana. Ibunya, Emma Krause-Parker, menghidupi diri dan anaknya dengan menjadi tukang jahit. John Neal Phillips dalam Running with Bonnie & Clyde: The Ten Fast Years of Ralph Fults menulis, Bonnie menikah di usia 15 tahun, dengan Roy Thornton. Tapi tak lama setelah pernikahan itu, sang suami dipenjara lantaran kasus pembunuhan. Sejak Januari 1929, Bonnie dan Roy berpisah walau tak pernah bercerai. Bonnie memilih kembali tinggal dengan ibunya. Clyde Chestnut (Champion) Barrow & Bonnie Elizabeth Parker. (US Library of Congress). Awalnya, Bonnie punya pekerjaan normal, sebagai pelayan sebuah kafe di Dallas, Texas. Hidupnya segera berubah saat bersua Clyde Chesnut Barrow (di dokumen FBI ditulis Clyde Champion Barrow) setahun berselang. Clyde merupakan pria kelahiran Ellis County, Texas pada 24 Maret 1909. Anak kelima dari tujuh bersaudara itu berasal dari keluarga miskin. Sejak belia, Clyde sudah jadi kriminal. Pada 1926, Clyde bersama saudaranya, Buck Barrow, ditahan Kepolisian West Dallas setelah mencuri beberapa kalkun. Aksi kriminal pertama Clyde itu membuatnya dipenjara beberapa minggu. Namun alih-alih insyaf, Clyde justru lebih penasaran untuk kembali jadi maling. Sepanjang 1928-1929, berulang-kali Clyde keluar-masuk penjara sampai akhirnya dibui di penjara berkeamanan medium, Eastham Prison Farm, pada April 1930. Bersatu dalam kriminalitas Kendati banyak versi mengenai kapan dan di mana Bonnie dan Clyde pertamakali bersua, yang paling dipercaya adalah memoar keluarga yang ditulis Emma Krause-Parker, Nell Barrow Cowan, dan Jan I. Fortune, The True Story of Bonnie and Clyde. Memoar itu menyebutkan, Bonnie dan Clyde pertama bertemu pada 5 Januari 1930 di rumah Clarence Clay, salah satu teman Clyde di West Dallas. Bonnie saat itu sedang di sana untuk membantu merawat temannya yang juga istri Clay, pasca-mengalami patah tulang tangan. Sejak itu, keduanya saling suka kendati Bonnie masih berstatus istri orang. Sayang, cinta mereka kembali dipisahkan oleh jeruji besi. Clyde meringkuk di penjara lantaran terlibat pencurian. Sempat kabur dari penjara pada 11 Maret 1930 berbekal senjata yang diselundupkan Bonnie, Clyde tertangkap lagi sepekan kemudian dan dikirim ke Penjara Eastham Prison Farm yang terkenal brutal. Di Eastham, medio April 1930, Clyde tercatat melakukan pembunuhan pertama. Menggunakan potongan pipa, Clyde membunuh seorang tahanan lain yang acap melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Pun begitu, Clyde tak mendapat hukuman tambahan. Sementara, demi menghindari kerja paksa di ladang, Clyde meminta rekan tahanan lain untuk membacok dua jari kakinya menggunakan kapak. Upayanya berhasil, tapi seumur hidup Clyde mengalami kepincangan. Meski divonis awal empat tahun, pada Februari 1932 Clyde sudah bebas bersyarat. Tapi bukannya tobat, Clyde berulah lagi jadi perampok. Tidak hanya mengajak geng-nya (Ray Hamilton, W. D. Jones, Buck Barrow, Blance Barrow, Henry Methvin), Clyde juga mengajak Bonnie. Medio Maret 1932 jadi “debut” Bonnie ikut aksi perampokan Clyde dkk ke sebuah toko di Kaufman, Texas. Sayang, upaya itu sedikit kacau dan Bonnie tertinggal sehingga ditahan polisi walau akhirnya dilepaskan karena tak cukup bukti. Sejak itu, Bonnie senantiasa ikut Clyde dalam beragam aksi perampokan dengan kekerasan. Tidak hanya di Texas, perampokan mereka sampai ke Minnesota, Indiana, hingga Louisiana. Catatan FBI bernomor: I.C. #26-31672 (Biro Penyelidikan Federal AS) tertanggal 14 Desember 1934 menyatakan, setidaknya geng Bonnie dan Clyde membunuh 13 orang dalam serangkaian aksi perampokan dan penculikan mereka. Perburuan oleh FBI baru menemui titik terang pada 21 Mei 1934, saat FBI bersama sejumlah polisi Louisiana dan Texas mengetahui tempat persembunyian Bonnie dan Clyde di Black Lake, Louisiana. Meski begitu, mereka baru berhasil menyergap Bonnie dan Clyde pada 23 Mei 1934. Mobil Bonnie & Clyde yang penuh bekas tembakan jadi tontonan masyarakat setempat. (fbi.gov). “Barisan pagar betis polisi dari Louisiana dan Texas, termasuk seorang Texas Ranger, Frank Hamer, bersembunyi di semak-semak di sebuah jalan dekat Sailes, Louisiana, sejak dini hari 23 Mei 1934. Bonnie dan Clyde baru muncul dengan mobil pagi harinya. Saat mencoba kabur, para polisi membuka tembakan. Bonnie dan Clyde tewas di tempat,” demikian dimuat sebuah dokumen FBI. Teror perampokan geng Bonnie dan Clyde pun berakhir. Kendati begitu, kisah cinta berkalang kriminal mereka justru sohor, sampai beberapa kali diangkat ke layar lebar: The Bonnie Parker Story (1958), Bonnie and Clyde (1967), Bonnie and Clyde vs Dracula (2008). Kisah mereka juga diangkat ke pentas teater dan miniseri sejarah di Gibsland, Louisana, acap digelar The Bonnie and Clyde Festival.

bottom of page