top of page

Sejarah Indonesia

Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran

Perjuangan Lasmidjah Berbuntut Pengusiran

Aktif dalam organisasi dan gerakan sejak remaja, Lasmidjah diawasi PID. Berujung pengusiran.

Oleh :
7 Februari 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Lasmidjah di usia senja. Sumber: Perjalanan Tiga Zaman.

BUS melaju dari Yogyakarta ke Trenggalek. Lasmidjah dan Sutono serta Parmin menumpang bus itu. Mereka bersandar di kursi untuk melepas lelah selepas menghadiri Konferensi Partindo tahun 1933. Setelah menempuh jarak hampir 300 km, mereka tiba di Trenggalek. Sejurus kemudian Lasmidjah melambaikan tangan, memanggil seorang pengemudi delman untuk mengantarnya ke rumah.


Namun baru sampai halaman rumah, Lasmidjah dikejutkan oleh keberadaan anggota PID (Politieke Inlichtingen Dienst, Dinas Intelijen Politik) yang mengepung rumahnya. Lasmidjah dilarang masuk ke rumah dan langsung digiring ke kantor polisi. Runyam!


Para polisi menginterogasi Lasmidjah tentang pertemuan politik di Yogyakarta. Wardi, ayah Lasmidjah, yang tak pernah tahu-menahu soal pergerakan, dipanggil bupati. “Anak tuan dokter mengganggu ketertiban umum. Ini sudah lama kami amati. Putri tuan harus segera pergi dari Trenggalek dalam 2x24 jam,” kata bupati.


Mula jadi Nasionalis


Lahir di Purworejo pada 14 April 1916, Lasmidjah berasal dari keluarga cukup berada. Ayahnya, Wardi, dokter Jawa asal desa Grabag, Kutoarjo. Ibunya bernama Ambarwati, putri priyayi Bojonegoro.


Keluarga Lasmidjah melek baca. Meski ibunya tak pernah sekolah, dia kemudian belajar membaca dan punya banyak koleksi bacaan. Kakak Lasmidjah, Paran Alesmartani, merupakan murid Recht Hoge School di Batavia. Lewat Paran, Lasmidjah kenal bacaan sastrawan Rusia, seperti Leo Tolstoi, Anton Chekov, Nikolai Gogol, dan Dostoyevsky. Sementara lewat kakaknya yang lain, Bambang Sugeng, Lasmidjah mulai mengenal tokoh-tokoh nasionalis seperti Sukarno dan dr. Soetomo.


“Pada usia antara 14 sampai 15 tahun aku mulai dikarbit dengan buku-buku dan pidato yang menggungah rasa,” kata Lasmidjah dalam memoarnya Perjalanan Tiga Zaman.


Pada 1930, Lasmidjah mendirikan Kepanduan Bangsa Indonesia. Anggotanya anak-anak tetangga, teman-teman sekolah, dan adiknya, Wardiningsih. Dalam kepanduan ini Lasmidjah berlatih baris, senam, tali-temali, dan P3K. Tiap Sabtu sore mereka jalan ke desa sebelah untuk latihan.


Kegiatan itu tak disukai PID, terutama ketika atribut merah putih digunakan sebagai dasi dan ornamen kepanduan. PID sempat mendatangi rumah Lasmidjah dan memperingatkan agar atribut tersebut tak digunakan lagi.


Ketika menginjak tahun ke-6 di HIS, Lasmidjah pulang-balik Trenggalek-Blitar selama liburan. Lasmidjah mengikuti saudaranya, Suwardjo, yang tinggal di Blitar, namun memilih indekos. Waktu liburannya diisi dengan bekerja di perusahaan kontraktor dan mengikuti pertemuan-pertemuan dengan para nasionalis.


Di Blitar, Lasmidjah berkenalan dengan tokoh pejuang seperti Nona Supeni (pada 1960-an menjadi duta besar keliling). Lasmidjah juga mengikuti dan membantu persiapan pertemuan besar Partai Bangsa Indonesia yang diketuai Sutopo. Irna Hadi Suwito dalam Kiprah Perempuan Indonesia dalam Satu Abad Kebangkitan Perempuan menulis, dalam pertemuan ini Lasmidjah sempat bertemu dengan dr. Sutomo, residen Surabaya Sudirman dan istrinya Siti Sundari (Sundari kemudian menjadi anggota Gemeente Raad Surabaya).


Sekembalinya dari Blitar, Lasmidjah mengajak teman-temannya berkumpul di rumah untuk menyebarkan kabar dan materi ceramah dalam pertemuan kaum nasionalis. “Beberapa hari sejak aku memimpin rapat, ada reserse yang mengawasi rumah kami,” kata Lasmidjah.


Pengawasan PID tidak membuat Lasmidjah gentar. Gerakan nasionalis terus diikutinya. Semasa sekolah di MULO Kediri, Lasmidjah ikut mendirikan dan mengajar di Sekolah Perguruan Rakyat di Trenggalek selama liburan. Bersama rekan-rekannya sesama guru, dia mendirikan Partindo cabang Trenggalek dan terpilih menjadi ketua. Anggotanya beragam, dari guru, buruh, tukang sate, tukang cukur, petani, hingga pengusaha kecil.


Sebagai ketua Partindo cabang Trenggalek, Lasmidjah kian aktif. Selain sekolah di MULO Kediri, tiap libur dia mengajar di sekolah perguruan rakyat, dan tiap sore mengajar kursus politik di sana. Namun, keaktifannya membuat rumahnya lagi-lagi didatangi PID dan Lasmidjah dikeluarkan dari MULO Kediri.


Alih-alih larut dalam kesedihan, Lasmidjah justru makin aktif dalam gerakan nasionalis. Ketika Pantindo mengadakan kongres pertamanya di Yogyakarta pada 1933, Lasmidjah hadir ditemani dua rekannya, Sutono dan Parmin. Di sana dia bertemu tokoh nasionalis seperti Sukarno yang baru keluar dari Penjara Banceuy dan tokoh Gerwani Nyonya Mudigdo.



Dalam konferensi itulah Sukarno mencetuskan gagasan Marhaenisme. Gatut Saksono dalam Marhaenisme Bung Karno menyebut, konferensi ini memutuskan gagasan Sukarno yang berisi sembilan tesis marhaenisme sebagai azaz partai. “Pengalaman ini membuatku bersungguh-sungguh untuk terbiasa berbicara di depan umum dan juga mencoba hidup sesuai dengan ajaran marhaenisme,” kata Lasmidjah.


Sepulang dari konferensi itulah Lasmidjah ditunggu PID di depan rumahnya. Tanpa sempat mengucap salam pada sang ibu, dia langsung dibawa ke kantor PID. Ayahnya diancam bila Lasmidjah tak pergi dari Trenggalek, uang pensiunnya akan dicabut. Ayahnya menahan marah lantaran sejak lama tak sepakat dengan tindak-tanduk putrinya akibat khawatir. Dua hari berselang, ia meninggalkan Trenggalek menuju rumah kakaknya, Paran, di Batavia.


Lewat jendela kereta, dia amati pemandangan yang akrab dengannya. Sawah, pohon, sungai, sampai akhirnya semua pemandangan itu menjadi kabur. “Pelupuk mataku tak kuasa menahan tetesan air mata yang terus mengalir,” kata Lasmidjah.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

HR Rasuna Said turut berguru pada Rahmah El Yunusiyah. Universitas Al-Azhar di Kairo terinspirasi membuka kampus khusus perempuan darinya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

ASEAN bungkam saat Indonesia melancarkan operasi militer ke Timor Timur. Di kemudian hari, Indonesia yang mendorong Timor-Leste jadi anggota keluarga besar ASEAN.
bottom of page