top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kolase Hidup Manusia dalam Perang Dunia

    GELAP. Warna hitam yang ditemani suara beberapa veteran Perang Dunia I (PD I) menjadi scene pembuka film dokumenter besutan sutradara Peter Jackson berjudul They Shall Not Grow Old ini. Satu per satu veteran PD I bertutur secara bergiliran. “Saya menjalani segenap muda saya melakukan sebuah tugas dan melewati sebuah peperangan yang ganas,” tutur seorang veteran dalam rekaman suara itu. “Jika waktu bisa kembali, tentu saya akan mengulangnya lagi karena saya menikmati masa-masa itu,” timpal seorang veteran lain. Menjelang menit pertama, scene berubah. Kesaksian-kesaksian para veteran sudah diiringi rangkaian footage asli hitam-putih. Kolase arsip video, foto maupun pampflet yang bergantian muncul itu baru berubah menjadi berwarna saat menginjak menit ke-25. Sutradara membuka filmnya dengan penggambaran PD I dari “meminjam mulut” ratusan veteran. Tuturan dari 120 veteran itu mengisahkan mengenai apa yang tersisa dari pengalaman mereka dalam perang yang berlangsung selama 1914-1918 itu, bagaimana antusiasme mereka saat bergabung ke kemiliteran, horor dalam perang, hingga apa yang mereka rasakan setelah perang itu usai. Kesaksian mereka juga menjangkau hal yang lebih makro, mulai dari bagaimana Inggris menyatakan perang terhadap Jerman, ajakan dan himbauan kepada para pemuda wajib militer berusia 19-35 tahun, hingga antusiasme mengikuti pendidikan dasar militer. Meski usia wajib militer 19 tahun, banyak yang bergabung justru berusia di bawah antara 15-18 tahun. Salah satu gambar tangkap dari footage arsip asli IWM yang direstorasi Peter Jackson (IWM/Warner Bros. Pictures) Para pemuda yang bergabung ke dalam militer bukan hanya pelajar tapi pemuda dengan beragam latar belakang profesi, mulai dari juru tulis, penjaga toko hingga petani. Mereka rela mengubah gaya hidup mereka dengan rutinitas kemiliteran yang sangat ketat dan kaku demi apa lagi kalau bukan nasionalisme. Antusiasme mereka bertambah saat diberangkatkan ke front Barat, tempat di mana jutaan pemuda Inggris Raya (Inggris, Skotlandia, Wales, Irlandia, Australia, Selandia Baru) belajar menjadi dewasa dengan cara yang keras. Mereka belajar tentang bagaimana bertahan hidup di parit-parit berkondisi buruk yang mengancam kesehatan dan dalam keadaan dihujani tembakan senapan maupun kanon musuh, tentang bagaimana bisa makan seadanya, hingga jatah libur paling lama seminggu di garis belakang. “Setiap habis kembali dari front terdepan, kami diberi (diupah) lima franc. Satu franc setara 10 sen (poundsterling). Jadi kami mendapatkan 50 sen (poundsterling) selama berminggu-minggu di garis depan,” aku seorang veteran. Beberapa veteran juga berkisah tentang bagaimana mereka melakukan sebuah raid yang berhasil di satu kubu pertahanan Jerman. Banyak tawanan yang mereka ciduk. Mereka mulai insyaf bahwa para serdadu Jerman ternyata tak seburuk yang dipropagandakan para perwira mereka. “Aslinya mereka orang-orang baik yang juga sama seperti kami. Orang-orang yang awalnya hanya pekerja biasa dan harus wajib militer,” ujar seorang veteran. “Para tawanan (etnis) Saxon dan Bavaria paling baik dan bisa berbaur dengan kami. Mereka justru membenci para perwira (etnis) Prussia mereka,” timpal veteran lainnya. Kisah perang makin seru saat para veteran mengisahkan sebuah operasi ofensif besar. Dramanya makin terasa karena Peter Jackson mengiringinya dengan tata suara yang pas. Satu per satu veteran kembali mengisahkan tentang bagaimana kegugupan mereka jelang serangan ke parit musuh dengan bayonet terhunus hingga kepedihan mereka saat menceritakan rekan-rekan yang kehilangan nyawa. “Ada seorang teman yang terkena pecahan peluru meriam. Tangan dan kaki kirinya putus. Matanya mengeluarkan darah. Saya harus menembaknya. Saya harus. Dia tetap akan mati perlahan jika saya tidak melakukannya. Saya harus mengakhiri penderitaannya, walaupun melukai hati saya,” tutur seorang veteran seraya menangis. Peter Jackson juga turut memberi peringatan akan penayangan beberapa foto dan footage yang mengerikan (IWM/Warner Bros. Pictures) Jackson melanjutkan narasi filmnya dengan scene pengumuman gencatan senjata 11 November 1918. Momen itu tak disambut gelak tawa, pesta, atau sekadar raut muka ceria para serdadu Inggris. “Suasananya hening. Banyak dari kami justru bingung mau apa setelah perang ini selesai,” ungkap seorang veteran anonim lainnya. Kebingungan para veteran menjadi pilihan Jackson untuk menutup dokumenter berdurasi 99 menit ini. Alih-alih disambut bak pahlawan, para veteran justru mendapati para keluarga mereka minim kepedulian terhadap pengalaman mereka. Mayoritas veteran kesulitan mencari kerja setelah demobilisasi. “Ketika saya berada di sebuah bar, seseorang yang kenal saya sejak lama bertanya pada saya, ‘Ke mana saja selama ini begitu lama menghilang?’,” kata seorang veteran mengenang. Kolase manusia dalam Perang Dunia Dalam kolase foto di film ini, Jackson tidak lupa menyelipkan foto dua kakeknya, Sersan William Jackson dan Sersan Sidney Ruck, serta Letda Thomas Walsh yang merupakan kakek dari istrinya, Fran Walsh. Ketiganya veteran PD I yang bertugas di Angkatan Darat Inggris (Jackson dan Ruck) dan Selandia Baru (Walsh). Bagi penonton awam, film ini akan sangat membosankan dan bikin ngantuk. Selain ketiadaan action laiknya film-film perang box office , hampir seluruh film juga tak diselipi narasi. Semua hanya sekadar penuturan dari 120 veteran. Penonton juga takkan menemukan protagonis atau antagonis dari 120 veteran yang bertutur. Bahkan tak satu veteran pun yang namanya disebutkan. Pun dengan nama lokasi dan waktu. Menurut sineas yang sohor dengan trilogi Lord of the Rings dan The Hobbit itu, dokumenter ini bukan penggambaran satu kisah tentang PD I, juga bukan kisah bersejarah. Jackson juga tak menjanjikan keakuratan sejarah. “Kami memutuskan tidak mengidentifikasi para serdadu (veteran). Karena akan ada sangat banyak nama yang harus dimunculkan setiap kali terdengar rekaman suara mereka. Kami juga membuang referensi tanggal dan tempat karena kami tak ingin film ini hanya berpusar pada momen di satu hari atau di satu tempat. Ada banyak buku yang bisa menjelaskan itu semua. Saya ingin film ini berkisah tentang pengalaman humanis dan agnostik,” kata Jackson dikutip flicks.com.au , 10 November 2018. Proyek cuma-cuma They Shall Not Grow Old sedianya sudah direncanakan dan lantas dieksekusi sejak 2015, di mana Jackson ditawari langsung oleh Imperial War Museum (IWM) yang bekerjasama dengan BBC dalam kerangka program 14-18 NOW. Kendati tak diupah alias cuma-cuma, Jackson tertarik dan lantas memproduksinya di bawah rumah produksi WingNut Films. Menggarap They Shall Not Grow Old memberi keuntungan tersendiri buat Jackson. Dia yang sejak kecil acap didongengi ayahnya tentang kisah kakeknya, William Jackson, yang bertugas di Resimen South Wales Broderers, mendapat gambaran lebih jelas tentang apa yang dialami serdadu Sekutu dalam PD I. Peter Jackson tak lupa memberi gambaran jelas tentang para korban serangan gas yang lazimnya mengalami kebutaan (IWM/Warner Bros. Pictures) Keuntungan lain yang diperoleh Jackson, disuplai oleh IWM footage berdurasi 100 jam dan rekaman suara wawancara 200 veteran (Inggris, Kanada, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat). Maka dengan senang hati Jackson dan timnya merestorasi semua arsip itu kendati hanya 99 menit footage dan 120 rekaman yang dipakai dalam They Shall Not Grow Old. Tim tak hanya merestorasi tapi juga mengedit dan memberi warna footage - footage yang dipilih agar lebih hidup dan bisa dihayati generasi kekinian. Selain tidak menyisipkan suara narasi, Jackson juga tidak menambahkan efek suara senapan, meriam hingga percakapan-percakapan untuk menyesuaikan situasi adegan. “Saya hanya ingin ada suara-suara orang yang mengalami pengalaman itu. Dari rekaman 120 veteran, semua punya cerita yang serupa,” tambah Jackson. Judul They Shall Not Grow Old diambil Jackson dari potongan puisi karya Laurence Binyon tahun 1914, “For the Fallen”. Bait puisi lengkapnya berbunyi: “They shall grow not old, as we are left grow old.” Penayangan premier They Shall Not Grow Old pada 16 Oktober 2018 di British Film Institute London Film Festival turut disaksikan Pangeran William. Dokumenter ini hanya disiarkan luas BBC Two pada 11 November 2018, bertepatan dengan Peringatan Gencatan Senjata 11 November 1918. Di Amerika Serikat, film ini baru ditayangkan secara terbatas pada 17 Desember 2018. Namun respons positif dan kesuksesannya membuat distributor Warner Bros akan menayangkan They Shall Not Grow Old di bioskop-bioskop mulai 11 Januari 2019.

  • Catatan Kasus Hukum di Kesultanan Banten

    PADA 1192 H (1778 M), kadi di Kesultanan Banten mencatat telah memutus dua kasus perceraian: Karibah dan Urip serta Qariyah dan Bayudin. Urip dan Bayudin mengabaikan istrinya selama setahun. Menurut sumber kesaksian Belanda, kadi mengurus masalah hukum di Kesultanan Banten paling tidak sejak 1596 M. Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1695) kadi mendapatkan gelar khusus: Kiyahi Peqih Najamuddin. Gelar Kiyahi Peqih Najamuddin, kata Ayang Utriza Yakin,pertama kali diberikan kepada Enthol Kawista pada 1651. Gelar itu baru dipakai ketika seorang kadi berkuasa. Gelar itu dipakai sampai 1855-1856 saat kadi terakhir, Haji Muhammad Adian, wafat.  “Selama 200 tahun institusi hukum di bawah kadi dilestarikan Kesultanan Banten. Ada 13 orang bertanggung jawab dengan gelar kadi agung atau yang menyandang Kiyahi Peqih Najamuddin” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu, dalam seri diskusi naskah Nusantara ke-9 di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (28/12). Dalam praktiknya, kadi tak hanya mengurus perceraian atau masalah perdata lainnya seperti nikah dan waris. Kadi juga menanggapi masalah hukum pidana dan hukum publik.  “Dulu pengadilan kadi meliputi semua kasus hukum. Kalau sekarang pengadilan agama hanya mengurusi hukum keluarga muslim, seperti talak, rujuk, warisan, dan seterusnya,” kata Ayang.  Ayang menyebutkan, kasus utang piutang misalnya, cukup banyak terjadi di Banten, ada 600-an kasus. Lalu talak 90-an kasus, budak 80-an kasus, kesaksian 40-an kasus, dan 40-an lebih kasus lainnya yang ditangani oleh kadi Kiyahi Peqih Najamuddin. Di antara tindak pidana itu, kata Ayang, terdapat kasus penyekapan dan pemerkosaan perempuan. Siku, abdi Ngabehi Jaya Suraga, mengurung seorang perempuan. “Bumi” menjatuhkan hukuman denda 30 reyal kepada Siku pada Senin, 5 Muharam, tahun Wawu 1193 H. "Bumi" juga menjatuhkan hukuman denda 30 reyal kepada Ki Ngarif asal daerah Terate, pada Selasa 10 Jumadilawal, tahun Wawu 1193 H, karena memperkosa seorang perempuan. Denda ini boleh dibayar utang. Menurut Ayang, "Bumi" merujuk pada pejabat bergelar mangkubumi. Dalam struktur politik di Kesultanan Banten, pejabat hukum, selain kadi, dipegang oleh mangkubumi. Mangkubumi ada dua: dalam dan luar. Mangkubumi dalam mengurus kasus-kasus terkait keluarga kerajaan yang tinggal di dalam kawasan keraton. Sementara mangkubumi luar mendampingi kasus hukum bagi keluarga kerajaan yang ada di luar tembok keraton.  “Bumi selalu dikaitkan dengan pengadilan untuk keluarga kerajaan. Di kasus itu pelakunya abdi ngabehi, pembesar kerajaan. Maka dia diadili bumi walaupun kasusnya masih dicatat Kiyahi Peqih Najamuddin”kata Ayang yang tengah menempuh pendidikan posdoktoral di Institut de Recherche-religions, spiritualités, Cultures, Sociétés (RSCS), Université Catholique de Louvain (UCLouvain), Belgia. Sanksi denda paling sering ditemukan dalam menindak terpidana. Hukuman lain yang sering dipakai adalah kerja sosial. “Paling banyak kerja sosial mengambil batu karang satu sampai 20-an perahu. Ambilnya harus masuk ke laut. Batu karang ini untuk membangun kota, istana dan lain-lain. Ini yang paling lazim,” kata Ayang. Sepanjang data yang ada, selama tiga abad Kesultanan Banten berdiri hanya sekali hukuman kejam: potong tangan bagi pencuri perhiasan permaisuri Sultan Ageng Tirtayasa. “Ini berdasarkan laporan utusan diplomatik asing yang ke Banten. Hati-hati tapi mencerna laporan ini, karena pencuri menyentuh milik permaisuri sultan. Ini umum dilakukan penguasa saat itu. Ini hukum sultan. Semau-maunya dia saja,” kata Ayang.  Kasus-kasus yang tercatat Berdasarkan catatan yang ada, pada 1192 H (1778 M) hanya berhasil ditemukan pencatatan kasus selama tiga bulan: Syawal, Zulkakdah, dan Zulhijjah. Masing-masing 26 kasus, 55 kasus, dan 47 kasus.  “Itu tercatat tiap hari senin sampai minggu. Saya membayangkan Kiyahi Peqih Najamuddinitu kaya ustad, kiayi dan ulama sekarang bekerja tiap hari tidak bisa tidak menerima orang yang datang,” kata Ayang.   Sementara pada 1193 H (1779 M) terkumpul catatan selama 12 bulan. Dari Muharram sampai Zulhijjah sebanyak 565 kasus. Rata-rata 40-an kasus perbulan. Kasus juga dicatat setiap hari Minggu hingga Sabtu. Kasus terbanyak terjadi pada hari Sabtu. “Ini mungkin menarik diteliti kenapa catatan terbanyak terjadi pada hari Sabtu,” lanjut Ayang. Pada 1194 H (1780 M) yang diperoleh adalah catatan selama 5 bulan, yaitu Muharram, Safar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, dan Jumadil Tsani. Totalnya ada sebanyak 871 kasus yang bertanggal dan bertahun.  Kasus-kasus hukum yang terjadi di Kesultanan Banten, kata Ayang, melibatkan 400-an penduduk laki-laki dan perempuan 250 orang. “Yang banyak masalah berarti laki-laki. Dan apa? Rupanya banyak laki-laki tak bertanggung jawab yang membuat istri minta cerai,” selorohnya. Sejauh ini, Ayang mengatakan, selain Kesultanan Banten, yang memiliki lembaga pengadilan kadi adalah Kesultanan Aceh. Namun hanya Kesultanan Banten yang meninggalkan catatan hukum secara tertulis. Dokumen ini pun menjadi penting sebagai warisan bagi bangsa Indonesia bahkan Asia Tenggara.   “Di Asia Tenggara tidak ada soalnya, kekurangannya seluruh kesultanan di Indonesia tidak ada yang meninggalkan arsip tertulis. Terutama catatan pengadilan,” kata Ayang.

  • Harimau-Harimau Garut

    DUA BELAS pusara tua itu terpuruk dimakan zaman. Nisan-nisan mereka yang bentuknya serupa nampak sudah agak berlumut. Sementara sisi kanan dan kiri, depan-belakang, ratusan ilalang berdiri tegak lengkap dengan bulu-bulunya yang berwarna putih kecoklat-coklatan. Sedikit orang yang paham asal muasal pusara-pusara itu berada di Kompleks Pemakaman Umum Cinunukan (masuk dalam wilayah Kecamatan Wanaraja, Garut). Salah satunya adalah Dadang Koswara. Menurut lelaki berusia setengah abad tersebut, sejatinya 12 pusara itu diisi oleh jasad-jasad para pejuang dari Pasukan Pangeran Papak (PPP) yang gugur dalam berbagai pertempuran melawan militer Belanda di Garut. “PPP adalah nama kesatuan lasykar rakyat yang dibentuk oleh para pemuda Garut untuk menghadapi kembalinya terntara Belanda ke tanah air kita,” ungkapnya. Dadang mengerti sejarah keberadaan PPP karena para sepuhnya dulu banyak terlibat dalam kesatuan itu. Bahkan nama Pangeran Papak sendiri itu mengacu kepada nama seorang kakek moyangnya yang hidup pada era abad ke-19 dan dikenal sebagai seorang gagah berani dalam melawan penjajah Belanda. “Karena keteladanan eyang Pangeran Papak inilah, para pemuda pejuang di Garut memakainya jadi nama pasukan yang kelak juga berjuang melawan (tentara) Belanda,” kata Dadang. Berjuang di Bandung Garut, Oktober 1945. Seperti di belahan Indonesia lainnya zaman itu, para pemuda Garut di wilayah Wanaraja tengah terganja oleh semangat proklamasi dan terbakar api revolusi. Barisan milisi menjamur bak di musim hujan. Bahkan bukan hanya di kota-kota, kampung-kampung pun memiliki milisi-milisi sendiri yang lebih dikenal dengan istilah “lasykar”. “Para pemuda kampung ramai-ramai membentuk kelompok lasykar, walau persenjataan mereka kurang”ujar Ojo Soepardjo Wigena, berusia 91 tahun. Tersebutlah dua kelompok lasykar ternama di Wanaraja. Pertama, Pasukan Djiwanagara pimpinan M.Wibatma dari Desa Cinunuk dan yang kedua adalah Pasukan Embah Angsana pimpinan M. Salim dari Desa Samangen. Dari keterangan yang terdapat dalam tugu peringatan tentang berdirinya PPP di Taman Pahlawan Cinunuk, dikisahkan pada 27 Oktober 1945, kedua pasukan itu meleburkan diri menjadi Pasukan Pangeran Papak. “Sebagai komandan diangkatlah Saoed Moestofa Kosasih, yang tak lain adalah anak didik cucu Pangeran Papak yakni Raden Djajadiwangsa, yang dalam struktur tak resmi PPP berlaku sebagai penasehat spiritual,” ujar Dadang. Seiring terbentuknya PPP, datanglah pasukan Sekutu di Bandung. Kedatangan mereka disinyalir juga mengikutsertakan para serdadu Belanda yang rencananya akan menerima pengalihan kekuasaan dari militer Inggris. Tentu saja, para pemuda Jawa Barat merasa geram dengan rencana tersebut. Maka berduyun-duyunlah mereka membanjiri Bandung untuk menentang kembalinya orang-orang Belanda. PPP termasuk kekuatan lasykar Republik yang ikut berjihad di Bandung. Selain melawan tentara Inggris, mereka pun terbilang aktif bertempur melawan serdadu Belanda dan serdadu Jepang yang saat itu sudah menjadi alat kekuasaan Sekutu, menyusul menyerahnya Kekaisaran Jepang kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Menurut Kolonel Mohammad Rivai dalam biografinya Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , PPP di palagan Bandung ada di bawah koordinasi BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia), suatu lasykar skala nasional yang dipimpin oleh Soetomo alias Bung Tomo, bintang dalam Pertempuran Surabaya. “BPRI Pangeran Papak pimpinan Achmad malah ikut andil dalam peledakan gudang amunisi Belanda di Dayehkolot oleh Mohammad Toha pada 10 Juli 1946,” ungkap Rivai. Pulang Kandang Menurut Basroni Kosasih, berusia 64, usai mundurnya kekuatan Republik ke luar Bandung pada 23 Maret 1946, PPP memutuskan untuk kembali pulang ke Garut. Menjelang gerakan mundur ini, di wilayah Ciparay mereka terlibat pertempuran sengit dengan sekelompok serdadu Jepang. PPP berhasil mengatasi pasukan yang sudah tidak memiliki moril untuk bertempur itu. “Bahkan pasukan ayah saya berhasil menawan beberapa di antaranya dan membawa orang-orang Jepang itu ke Garut,” ungkap lelaki yang tak lain adalah putra dari Saoed Moestofa Kosasih itu. Singkat cerita, orang-orang Jepang tersebut menyatakan tunduk dan keinginannya untuk bergabung dengan PPP. Mengingat pengalaman tempur mereka yang sudah banyak, Kosasih tentu saja menyambut permohonan itu dan menjadikan eks serdadu Jepang tersebut sebagai komandan sekaligus instruktur di pasukannya. Dengan tambahan kekuatan berpengalaman, PPP menjadi harimau-harimau menakutkan bagi serdadu Belanda di Garut. Berbagai sabotase jembatan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap pro Belanda, semakin merajalela. Menurut Roland Nayoan dari Historika Indonesia, salah satu insiden yang membuat mereka murka adalah penghancuran jembatan Cinunuk dan jembatan Cimanuk di pusat kota pada Juli 1947. “Yang Chil Sung alias Komaroedin, Masharo Aoki alias Aboe Bakar dan Hasegawa Katsuo alias Oesman yang dianggap sebagai pimpinan-pimpinan utama para penyabotase itu lantas menjadi buronan nomor satu,” ungkap aktivis komunitas sejarah yang tengah menelusuri keberadaan para eks serdadu Jepang di Garut tersebut. Dalam suatu operasi militer di Hutan Gunung Dora, militer Belanda pada 25 Oktober 1948 berhasil membekuk para eks serdadu Jepang itu. Bersama mereka ikut pula ditawan salah satu perwira PPP bernama Djoehana alias Djoewana. Beberapa bulan kemudian, ketiga eks serdadu Jepang itu dieksekusi mati, sedangkan Djoehana dipenjarakan di Penjara Cipinang Jakarta. Menurut A.H. Nasoetion dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid ke-7 , pada awal 1949, PPP sendiri pada akhirnya secara resmi melebur dalam MBGG (Markas Besar Gerilja Galoenggoeng), yang merupakan unit operasi Divisi Siliwangi. “Bersama lasykar-lasykar lainnya seperti Pasukan Dipati Ukur, Pasukan Banteng, Pasukan Tarunajaya, Pasukan Pangeran Papak membentuk gabungan komando untuk wilayah Tasikmalaya-Garut,” ungkap Nasution.

  • Antara Raket dan Senjata

    KETUA PBSI Wiranto mungkin lupa Menpora Imam Nahrawi pernah berpesan padanya tak lama setelah Wiranto terpilih secara aklamasi menjadi ketua PBSI tahun 2016 lalu. “Sering-sering datang ke pelatnas! Jangan pantau dari jauh, tapi harus hadir melihat sarana dan prasarana olahraga atlet. Harus juga ada sinergi yang lebih baik karena kementerian ini juga memprioritaskan bulutangkis,” pesan Imam kepada para wartawan, 2 November 2016. Kelupaan atau kealpaan Wiranto itu jelas berpengaruh pada prestasi bulutangkis Indonesia. Hampir tak ada yang bisa dibanggakan dari bulutangkis Indonesia sepanjang 2018. Di Asian Games 2018 di rumah sendiri saja Indonesia gagal jadi juara umum. Pelipur laranya paling banter prestasi ganda putra Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo. Duet berjuluk The Minions itu paling mencuri perhatian tahun ini lewat rekor delapan dari 20 gelar juara yang diraih para pemain Indonesia di berbagai event tahun ini, termasuk turnamen nomor wahid All England. Tapi kalau sudah nomor beregu, Indonesia masih dikangkangi Denmark, Cina, bahkan Jepang. Terlebih di Thomas dan Uber Cup, Indonesia belum bisa lagi mengawinkan kedua supremasi tertinggi bulutangkis beregu itu. Setitik embun di padang pasir hanya berupa gelar juara Asia Team Champhionship. Prestasi macam begini harus jadi perhatian khusus sang ketua, Jenderal (Purn) Wiranto. Masih banyak PR yang mesti diselesaikan PBSI. Wiranto mesti terus-menerus dan lebih sering turun ke lapangan, tak peduli meski disibukkan tugas-tugasnya sebagai Menkopolhukam. Pelatnas PBSI Cipayung warisan era Try Sutrisno sejak 1992 yang belum pernah direnovasi hingga kini (badmintonindonesia.org) Untuk perbaikan fasilitas penunjang di Pelatnas PBSI saja, baru sekadar rencana. Sejak dibangun pada 1992 semasa PBSI di ketuai Try Sutrisno, Pelatnas Cipayung belum pernah direnovasi –kecuali gedung asrama. Padahal kalau lebih sering turun ke bawah, Wiranto bisa lebih cepat paham kebutuhan-kebutuhan di pelatnas. Sorotannya terhadap fasilitas baru tergelitik setelah Wiranto melihat fasilitas ‘wah’ milik Jepang. “Terus terang saya cukup iri dengan fasilitas di Pelatnas Jepang. (Sementara, red. ) sarana dan prasarana di Pelatnas Cipayung banyak yang rusak dan butuh perbaikan,” cetus Wiranto, dikutip kantor berita Antara , 10 Desember 2018. Panglima serdadu dan olahraga tepok bulu Rangkap jabatan bukan hal yang terlarang di negeri ini. Permasalahannya, apakah seseorang benar-benar mampu dan cakap untuk memegang lebih dari satu jabatan sekaligus. Kalau iya, hasilnya mesti terasa. Sebagaimana dicontohkan Jenderal (Purn) Try Sutrisno di cabang olahraga bulutangkis. Try Sutrisno rangkap jabatan ketika sebagai wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) dia dipercaya menjadi ketua umum (ketum) PBSI tahun 1985. Tugasnya makin berat saat Try naik jadi panglima ABRI (kini Panglima TNI) pada 1988 dan wakil presiden pada 1993. Mengutip catatan PBSI dalam Sejarah Bulutangkis Indonesia terbitan 2004, sang jenderal terpilih jadi ketum lewat Munas PBSI ke-14 di Surabaya, 23-24 September 1985. Try, yang melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan dari Ferry Sonneville, menjadi militer kedua yang memimpin PBSI setelah Letkol Soekamto Sajidiman (1963-1965). Ketika Try memulai jabatannya di PBSI, prestasi bulutangkis Indonesia sedang menukik. Di All England, misalnya, sejak 1983 belum ada pebulutangkis Indonesia yang menjuarainya lagi. Tugas Try jelas tak ringan, dia mesti mendongkrak lagi prestasi Indonesia di panggung dunia. Majalah Bulutangkis edisi November 1985 mengisahkan, di hari pertama saja Try sudah harus meladeni beragam pertanyaan para “nyamuk” alias pers di kantornya. Pertanyaan-pertanyaan yang menghampirinya terutama soal kesibukan rangkap jabatan, prestasi, dan kritik terhadap PBSI. Try Sutrisno saat serah terima jabatan Ketum PBSI kepada dirinya dari Ferry Sonneville (Foto: Repro" Majalah Bulutangkis") “Ditanya sebagai seorang jenderal yang Wakasad tentu sibuk luar biasa mengatur pasukan TNI AD se-Indonesia. Apakah ada waktu untuk bulutangkis? Cak Soe (sapaan Try Sutrisno, red ) menyahut, bahwa dirinya akan berusaha mengatur waktu sebaiknya, ibarat bedil di tangan kanan, raket di tangan kiri,” tulis majalah bernomor 11 tahun I itu. Try juga berharap para wartawan tak segan melontarkan kritik terhadap dirinya meski seorang militer berpangkat tinggi. “Saudara sekalian tidak usah ragu. Bagi saya, kritik itu jamu. Sehingga malah menyehatkan,” ujarnya. Pun begitu, Try sempat terdiam saat seorang wartawan nyeletuk : “Selama ini kita sering mengkritik PBSI begitu keras, Pak. Kalau kritik kita salah, ditangkap ya?” Menggenjot prestasi dunia dengan raket Di awal masa jabatannya, Try ingin membuat pondasi solid untuk kepentingan masa depan bulutangkis. Salah satu program utamanya adalah mendirikan sejumlah pusat pendidikan dan pelatihan (pusdiklat) untuk pemain sekaligus pelatih di berbagai kota. Tentu hasilnya pun tak bisa langsung dipetik dalam waktu singkat. Sampai 1988, nyaris tak satupun gelar bergengsi internasional diraih para pebulutangkis kita. Piala Thomas gagal dipertahankan pada 1986. Prestasi baru direngkuh Indonesia, bahkan lebih mentereng, dalam periode kedua kepemimpinan Try di PBSI (1989-1993). Pada 1989, Indonesia menjuarai Piala Sudirman di Jakarta. Dari All England, Susi Susanti sukses menjuarai nomor tunggal putri pada 1990, 1991, dan 1993; Ardy Bernardus Wiranata di nomor tunggal putra (1991), dan Hariyanto Arbi (1993). Pasangan kekasih Susi Susanti dan Alan Budikusuma masing-masing berhasil merebut medali emas Olimpiade 1992 di Barcelona. Di era Try Sutrisno pula fasilitas penunjang pembinaan bulutangkis mendapat lebih banyak perhatian. Paling kentara, pendirian Pusat Bulutangkis Indonesia di Cipayung (kini Pelatnas Cipayung) pada 1992 untuk menggantikan Pelatnas Senayan. “Pusat Bulutangkis Indonesia dibangun dengan fasilitas 21 lapangan dan sarana penunjang seperti ruangan latihan fisik, asrama, perpustakaan, hingga ruang makan. Pusat Bulutangkis Indonesia merupakan hasil monumental kepengurusan PBSI 1989-1993 yang diketuai Try Sutrisno,” tulis wartawan senior Broto Happy Wondomisnowo dalam Baktiku Bagi Indonesia.

  • Catatan Tiongkok tentang Raja Arab di Nusantara

    SEORANG penguasa Arab, Raja Da-zi mengirimkan sebuah tas yang berisi uang, meletakannya di perbatasan negara Ratu Sima. Sang Ratu di Jawa itu membuat Raja Da-zi penasaran karena ketegasannya menghukum mereka yang tak jujur. Tiga tahun berlalu, tas itu tak tersentuh. Orang-orang hanya melihatnya. Tak ada yang berani mengambilnya. Suatu hari, putra mahkota tanpa sengaja menyentuh tas itu. Ratu Sima marah besar sampai ingin membunuhnya. Namun, para menteri keburu mencegahhnya. “Kesalahanmu terletak di kakimu, karena itu sudah memadai jika kakimu dipotong,” kata sang ratu. Para menteri kembali menghalanginya. Akhirnya, Ratu Sima hanya memotong ibu jari kaki sang pangeran. Raja Da-zi pun takut dan tak berani menyerang negara sang ratu. Demikian kesaksian utusan Tiongkok yang diabadikan dalam Sejarah Baru Dinasti Tang. Tercatat pada 674 M, Ratu Sima ditahbiskan sebagai pemimpin perempuan di Ho-Ling. Menariknya dalam catatan itu Raja Da-zi dikaitkan dengan orang Arab. Siapakah Da-zi atau Ta-shih? Da-zi atau Ta-shih tak hanya disebut dalam sumber Tiongkok abad ke-7 M. Arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia menjelaskan adanya sumber Jepang dari tahun 748 M. Sumber itu antara lain menceritakan banyak kapal Po-sse dan Ta-shih Kuo yang berlabuh di Khanfu (Kanton). Demikian pula Chau-ju-kua, seorang pemeriksa pabean di Quanzhou, dalam karyanya Chu-fan-chi (1225 M) yang mengutip karya Chau-ku-fei (1178 M). Karya ini masih menceritakan adanya koloni orang-orang Ta-shih. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia menjelaskan, penyebutan Da-zi atau Ta-shih muncul juga dalam catatan Sejarah Dinasti Sung. Ta-shih disebutkan ketika catatan itu menjelaskan rute pelayaran dari Tiongkok ke Jawa. “Mereka ke Jawa mulai dari Guangzou, lalu ke Tumasik, ada perdebatan Tumasik itu Singapura. Dalam konteks ini Singapura cocok. Tapi Ta-shih juga bisa berarti kerajaan Arab sebetulnya. Lalu masuk Sriwijaya, baru ke Jawa. Pulangnya lewat Sriwijaya lagi, Kuala Terengganu dan ke atas kembali ke Tiongkok,” kata Nurni dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang. Rita Rose di Meglio juga menyamakan Ta-shih pada abad ke-7 M dengan orang Arab. Dalam "Arab Trade With Indonesia And The Malay Peninsula From the 8th to 16th Century" dalam Islam: The Trade of Asia, Rita menjelaskan bahwa Ta-shih bukan untuk disamakan dengan orang-orang muslim lainnya dari India. Penafsiran lebih jelas dilakukan oleh W.P. Groeneveldt dalam  Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Dia menulis, Ta-shih atau olehnya disebut Da-zi, merupakan nama yang umum digunakan untuk bangsa Arab dalam catatan-catatan sejarah Tiongkok. Lebih jauh Groeneveldt menjelaskan Da-zi berada di pantai barat Sumatra. Lokasi ini tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi Tiongkok. Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Maka, ketika wilayah ini dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia atau mayoritas dengan Arabia. “Sepertinya, permukiman Arab telah ada di pantai barat Sumatra sejak lama. Akibatnya, sejumlah penulis Tionghoa menyamakan negara ini dengan Arabia,” ujarnya. Seorang penulis, Dong Xi Yang Kao, bahkan menyatakan cerita Nabi Muhammad terjadi di pantai ini. Groeneveldt pun menilai, raja orang Arab yang tertera dalam catatan Tiongkok itu mungkin hanyalah pemimpin permukiman Arab di pulau itu saja. Letak perkampungan orang Arab Menurut Uka, letak perkampungan awal orang-orang Arab itu sulit dipastikan mengingat penafsiran dan penempatan Ta-shih dari masa ke masa berbeda-beda. Salah satunya Haiguo Tuzhi, karya sarjana Tiongkok, Wei Yuan yang terbit pada 1844. Dia sudah mencantumkan peta Eropa yang benar berdasarkan sumber Eropa. Namun, dia masih mencatumkan peta historis Asia Tenggara dalam model yang lama. Petanya membagi Jawa menjadi dua buah pulau terpisah. Dia meletakkan orang Da-zi sejauh lima hari pelayaran dari pantai Jawa. Mereka tinggal di pantai barat Sumatra dan tak terlalu jauh ke utara. Kemudian, jika Groeneveldt menaksir Ta-shih adalah orang-orang Arab yang letak perkampungannya di pesisir barat Sumatra, maka sejarawan Paul Wheatley menebak letaknya ada di Kuala Brang, sekitar 25 mil dari Sungai Trengganu. Sedangkan peneliti Malaysia, Syed Muhammad Naquib al-Attas, memperkirakan tempatnya ialah Palembang, Sumatra Selatan. “Dari perbedaan itu, dapat diambil kesamaan kalau perkampungan orang Ta-Shih dan orang Arab sesungguhnya berada di Asia Tenggara yang tidak dapat dipisahkan dari peran Selat Malaka sebagai jalur perdagangan internasional,” lanjut Uka. Keberadaan orang Arab ini kemudian memunculkan asumsi lain. Uka mengaitkannya dengan kemungkinan kedatangan Islam di Nusantara. Dia mengatakan berdasarkan catatan itu bisa jadi Islam dibawa langsung oleh orang Arab dari negeri asalnya. “Maka, timbulah perkiraan kalau pada abad ke-7 M atau abad pertama hijriah orang-orang muslim sudah datang dan mempunyai perkampungan di Indonesia,” kata Uka. Dalam Arkeologi Nusantara, Uka juga menyebut bahwa pedagang Arab (Ta-shih) juga Persia (Po-sse) yang datang ke Sumatra, khususnya Jambi dibuktikan oleh catatan Tionghoa abad ke-9 M, yaitu Pei Hu Lu (875 M). Disebutkan di sana kedatangan Ta-shih dan Po-sse ke Chan Pei untuk membeli buah pinang. Namun, pada waktu itu Islam belum berkembang secara luas di kawasan ini. Menurut cerita lokal Jambi, Islam baru berkembang secara luas ketika berada di bawah kekuasaan Orang Kayo Hitam, salah satu sultan yang terkenal dari Jambi yang berkuasa sejak permulaan abad ke-16. Menurut Uka, terlepas ketidaksepahaman penafsiran Ta-shih dan letaknya, yang jelas pada abad ke-7 dan 8 M tidak mustahil orang muslim sudah banyak yang berhubungan dengan orang Nusantara dan negeri-negeri Asia Tenggara lainnya serta Asia Timur. Mereka bisa saja dari Arab, Persia, maupun India.

  • Bedak Meracunimu

    PABRIK kosmetik Derma Skin Care Beauty digerebek Polda Jawa Timur awal Desember 2018. Sebelumnya, produk Derma Skin Care Beauty dipasarkan di sosial media dengan menggandeng beberapa selebriti seperti Via Vallen, Nella Karisma, dan Nia Ramadhani. Namun, produk Derma Skin Care Beauty yang terdiri atas, pembersih wajah, serum, masker, dan bedak rupanya hanya barang oplosan. Bedak Derma Skin Care Beauty, misalnya, hanya campuran dari bedak Marks dengan beberapa bahan tambahan. Produk ini ditarik karena tidak mengantongi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). “Orang Indonesia kan pintar-pintar-bodoh, kemakan iklan mudah banget. Kalau saya lihat iklan malah geregetan, masak bilang 3 hari bisa putih,” kata Sjarief Wasitaatmadja yang sudah menjadi dokter kulit selama 50 tahun. Kematian Countess of Coventry Penggunaan bedak berbahan dasar logam berat begitu populer di Eropa sejak lama. Di Yunani Kuno dan Romawi, orang-orang membedaki muka mereka dengan bubuk yang dibuat dari timah putih, disebut cerusa. Penggunaan bedak beracun paling terkenal dalam sejarah ditemukan di Inggris era Elizabeth I. Kala itu, kosmetik sangat populer. Ratu Elizabeth I menggunakan cat putih berbahan dasar timbal untuk menutupi bekas cacarnya. Orang Inggris ramai-ramai memoles wajah mereka dengan cat timbal sebagai bagian dari mode dan penunjukkan status sosial. Makin putih wajah menjadi indikasi seseorang bangsawan. Kulit putih pucat itu dipadu dengan ekstrak bery untuk memerahkan pipi juga bibir, membuat penampilan mereka terlihat sangat kontras antara kulit wajah dan pipi. Gaya berdandan semacam ini terekam dalam lukisan-lukisan wajah orang Inggris abad ke-17. Tingginya semangat orang untuk berdandan memunculkan cara-cara alternatif, bahkan seringkali aneh dan meragukan. Ada yang menggunakan cangkang bekicot, campuran kapur barus, cangkang telur, atau madu sebagai bedak. Pilihan lain yang digunakan orang yang enggan membedaki mukanya dengan cat timbal adalah mengoleskan air kencing atau air mawar yang dicampur dengan wine. Pada pertengahan abad ke-18, penyakit kulit sangat dikenal sebagai akibat penggunaan bedak yang asal-asalan dan beracun. Korban paling terkenal di Inggris adalah Maria (Gunning) Coventry seorang Countess of Coventry. Dia meninggal lantaran keracunan bedak yang terlalu banyak dia gunakan pada usia 25 tahun di 1760. Hannah Greig dalam The Beau Monde: Fashionable Society in Georgian London menyebut, bedak yang Maria gunakan tiap hari mengandung racun merkuri. Keracunan logam berat terjadi lantaran Maria tanpa sadar menghirup bedak yang menempel di wajahnya dan masuk ke saluran pernapasan. Di Asia, penggunaan bedak berbahan logam berat ditemukan di Jepang. Seniman Kabuki dan Geisha menggunakan cat putih tebal yang disebut Oshiroi untuk mendandani wajah mereka. Penggunaan bedak berbahan dasar non-logam (Neri Oshiroi), menurut Dominique Buisson dalam Japan Unveiled: Understanding Japan Body Culture, baru muncul sekira akhir abad ke-19. Kebanyakan menggantinya dengan bubuk beras yang dinilai lebih aman. Mencari Jalan Bedak Aman Di Indonesia, campuran bubuk beras dan bunga melati menjadi bahan dasar bedak dingin. Penggunaan beras sebagai bedak kemudian ditiru oleh orang Eropa, salah satunya brand kenamaan Bourjois yang didirikan aktor Prancis Joseph-Albert Ponsin. Bourjois mengeluarkan produk bedak Java Rice Powder pada 1879. Pada abad ke-19, bisnis make up berkembang pesat karena kebutuhan berdandan para aktris opera di atas panggung. Para produsen terus berinovasi untuk membuat make up yang tahan menempel di wajah sembari saat sang aktor berakting di panggung sambil terkena sorotan lampu super terang dan panas. Di samping menyediakan produk untuk kebutuhan opera, produsen kosmetik juga memasarkannya untuk khalayak umum. Selain Posin, Helena Rubinstein juga menjadi salah satu pembuat kosmetik terkemuka sampai-sampai ia dijuluki Ratu Kosmetik Amerika. Sama seperti Posin, Helena mulanya membuat make up untuk kebutuhan artis panggung, namun kemudian produknya dipasarkan untuk umum dengan harga jauh lebih murah. Hingga abad ke-20, ilmu dan seni tata rias berkembang pesat dan produk baru terus bermunculan. Maraknya produk membuat ahli dermatologi modern (dokter kulit) harus turun tangan mengatasi fenomena ini. Dokter tidak hanya merawat kulit yang sakit tapi juga menjadi konsultan keamanan dan kemanjuran kosmetik. “Kalau melihat perkembangan situasi pasar, kami melihat adanya integrasi ‘dermatologi penyakit’ dengan ‘hasrat dermatologi’. Pada tingkat tertentu, dermatologi merupakan campuran dari perawatan penyakit dan hasrat merawat diri,” kata William Philip Werschler, asisten Profesor Dermatologi Klinis di Universitas Washington, sebagaimana diberitakan Medscape . Pelibatan dokter sebagai konsultan keamanan kosmetik juga terjadi di Indonesia sejak 1970-an. Muasalnya dari meningkatnya kelas menengah Indonesia bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat sehingga produk kosmetik makin ramai peminat. Retno Iswari Tranggono, dokter kulit pendiri jurusan Kosmetik-Dermatologi UI, menginisiasi pemeriksaan kosmetik bersama Departemen Kesehatan. “Produk bersangkutan akhirnya dianalisis di ITB dan BATAN. Setelah dilakukan analisis selama satu tahun, ternyata beberapa produk yang beredar mengandung merkuri yang sangat berbahaya,” kata Retno seperti ditulis Jean Couteau dalam The Entrepreneur Behind The Science of Beauty. Retno bersama rekannya sesama dokter kulit, Sjarief Wasitaatmadja, kala itu diminta menjadi staf ahli dan membantu Departemen Kesehatan memonitor efek samping kosmetik sampai ke pembuatan undang-undang. Penggunaan kosmetik, menurut Sjarief, bisa mempengaruhi kulit dan punya efek samping. Oleh karenanya, perawatan kecantikan membutuhkan pengawasan medis. “BPOM juga mengikutsertakan kami (Retno dan Sjarief, red .) untuk memberi arahan tentang penggunaan kosmetik dan bahan berbahaya. Zaman dulu jangankan berbahaya, bahan yang bikin mati saja dipakai,” kata Sjarief sambil terkekeh, kepada Historia .

  • Aquaman Sang Penguasa Tujuh Lautan

    SUATU hari di pesisir Maine medio 1985, penjaga mercusuar Thomas Curry (Temuera Morrison) melihat dan menyelamatkan sesosok jelita yang pingsan. Si cantik ternyata seorang putri dari Kerajaan Atlantis, Putri Atlanna (Nicole Kidman). Seiring perjalanan waktu, dua sosok berbeda alam itu memadu kasih hingga melahirkan seorang anak yang kelak menjadi pahlawan penjaga lautan, Aquaman (Jason Momoa). Sutradara James Wan menyajikan adegan pembuka itu sebagai pengantar film superhero milik DC Extended Universe (DCEU), Aquaman . Wan ingin mengajak penonton terlebih dulu mengenal muasal pahlawan super yang pertamakali muncul di film Justice League (2017)-nya franchise DCEU-Warner Bros. Plot film lantas beringsut ke masa kekinian (2018) dengan sang Aquaman yang ber-alter ego Arthur Curry beranjak dewasa. Alur cerita naik-turun ketika Aquaman bersama Mera (Amber Heard) bertualang mencari trisula kuno milik mendiang Raja Atlan, kakek Aquaman. Trisula itu akan jadi senjata pamungkas untuk menumpas ambisi jahat adik tiri Aquaman yang menguasai Samudera Atlantik, Raja Orm (Patrick Wilson), yang berniat memerangi para manusia di daratan. Orm sudah kadung emosi lantaran para manusia tak pernah berhenti menciptakan polusi sampah di lautan. Bagaimana dinamika petualangan Aquaman menyelamatkan dunia dari adik tirinya? Jelas lebih sedap jika Anda pantengin sendiri di bioskop-bioskop, di mana film keenam DCEU-WB ini sudah rilis sejak 21 Desember 2018. Salah satu adegan Aquaman mencari Trisula Suci Raja Atlan (Foto: aquamanmovie.com) Selain mengandung pesan edukatif tentang polusi sampah di lautan, film ini diselingi sejumlah adegan comical yang mengocok perut. Kekaguman penonton juga bakal terdongkrak oleh efek visual ciamik yang lebih jempolan dari lima film DCEU sebelumnya: Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016), Suicide Squad (2016), Wonder Woman (2017) dan Justice League (2017). Muasal Aquaman Dalam semesta milik DC, figur Aquaman diakui masih kalah tenar ketimbang Batman, Superman, Wonder Woman atau The Flash. Kesuksesan film Aquaman (2018) ini tak lepas dari rasa penasaran para penggemar DC sejak kemunculan sosoknya dalam Justice League. Belum lagi, figurnya diperankan aktor macho Jason Momoa. Tak heran, baru sepekan rilis sudah tembus urutan satu Box Office, mengalahkan Bumblebee dan Mary Poppins Returns . Situs hiburan variety.com , Minggu (23/12/2018) mencatat, Aquaman bahkan sudah menembus keuntungan USD67 juta dari 4.125 lokasi penayangan di seluruh dunia hanya dalam tiga hari pasca-rilis. Menilik muasalnya, dikutip dari Aquaman: A Celebration of 75 Years garapan Geoff Johns, Jack Miller dan Steve Skeates, karakter superhero penguasa tujuh lautan itu diciptakan duet ilustrator Paul Norris dan editor Mort Weisinger pada medio 1941 dan dimunculkan pertamakali di delapan halaman More Fun Comics edisi ke-73 pada November 1941. Penciptaannya tak lepas dari permintaan DC Comics untuk menghadirkan seorang superhero baru dengan lautan sebagai alam kehidupannya. Berbeda dari Aquaman versi film 2018, sang pahlawan super dalam sketsa awal Norris lebih sederhana. Sosoknya berambut pirang namun tak gondrong laiknya versi yang diperankan Jason Momoa. Kostum ketatnya juga bukan emas seperti di film, melainkan merah dengan motif bersisik, plus celana ketat hijau dan sepatu boot bersirip. Karakternya dibuat Weisinger bisa hidup di air dan di darat, serta punya kekuatan bisa melihat dalam gelap dan menguasai elemen air. “Formula saya (menciptakan Aquaman) sederhana. Jadilah orisinil, jadilah pandai. Ide cerita yang menegangkan. Urutan gambar yang bagus di setiap cerita. Sebuah ending yang mengejutkan. Atau sebuah twist yang diletakkan saat memungkinkan,” cetus Weisinger, dikutip Geoff Johns dkk. Aquaman hasil sketsa Paul Norris (Foto: mysteryisland.net) Karakter Aquaman ibarat perpaduan Tarzan dan Superman. Kelemahannya, Aquaman tak bisa berlama-lama berada di daratan tanpa bersentuhan dengan air dalam kurun waktu tertentu. “Sebagaimana si raja hutan (Tarzan), sang raja tujuh lautan (Aquaman) bisa berkomunikasi dengan hewan tapi hewan laut. Juga seperti Superman, Aquaman mengenakan kostum berwarna, menumpas kejahatan dengan fisiknya yang kuat dan hidup sebagai manusia dengan identitas rahasia bernama Arthur Curry,” ungkap John Kenneth Muir dalam The Encyclopedia of Superheroes on Film and Television: Second Edition. Aneka Versi Aquaman Seiring perjalanan waktu, figur Aquaman muncul tak hanya dalam komik namun juga kartun hingga film seri. Beberapakali juga muncul versi lain asal-usulnya di tangan editor dan ilustrator berbeda. Khusus dalam film produksi DC dan Warner Bros yang baru ini, versi yang diambil adalah versi pertamanya ciptaan Paul Norris dan Mort Weisinger. Sosok Aquaman lahir dari seorang ayah manusia biasa dan seorang putri dari Kerajaan Atlantis alias keturunan setengah dewa laut. Versi itu terus digunakan DC dalam More Fun Comics sejak edisi 73 hingga 107, sebelum diteruskan dalam seri komik Superboy, Green Arrow hingga edisi 206 Adventure Comics pada 1959, dan tak ketinggalan seri komik Justice League of America pada 1960-an. Aquaman punya versi lain pada 1989, yang digubah penulis Rovert Loren Fleming dan Keith Giffen, serta ilustrator Curt Swan. Dalam versi yang hadir dalam seri komik Legend of Aquaman Special itu Aquaman punya nama asli Orin yang lahir dari Ratu Atlanna dan seorang penyihir bernama Atlan di kota bawah laut bernama Poseidonis. Aquaman dibuang di Karang Mercy lantaran lahir dengan kondisi yang ganjil – berambut emas. Aquaman lantas diambil dan dirawat Tom Curry, seorang penjaga mercusuar. Dalam versi ini, Aquaman digambarkan berkostum biru berpadu ungu dan hitam. Versi lainnya yang nyaris kembali ke bentuk awal adalah versi 1994 hasil karya Peter David. Aquaman ini pertamakali dimunculkan di seri komik Aquaman, Agustus 1994. Aquaman di versi ini mendekati versi film, nyaris tanpa penutup dada, bercelana ketat motif sisik hijau, berambut pirang gondrong dan brewokan . “Peter David meng- update karakternya menjadi lebih kontemporer. Tangan kirinya putus karena sebuah pertarungan dan digantikan dengan panah harpoon . Muasalnya dibuat mirip Tarzan, yakni dibuang ibunya, Ratu Atlanna, lantas dirawat oleh…hewan berupa lumba-lumba,” sambung Muir. Pada 2006, komik Aquaman: Sword of Atlantis muncul. Sosok Aquaman alias Arthur Curry digambarkan sebagai putra dari pakar biologi kelautan Dr. Phillip Curry. Mirip kisah Hulk, Aquaman disuntikkan serum mutan kala lahir prematur. Akibatnya, mayoritas masa kanak-kanak Arthur harus dihabiskan di sebuah tangki air, sebelum menjelma menjadi pahlawan di masa dewasa. Selain dalam komik dan kartun, Aquaman juga eksis sebagai tokoh pendamping dalam seri televisi superhero Superman, Smallville . Aquaman alias Arthur diperankan aktor tampan Alan Ritchson, muncul sejak episode “Aqua” pada 20 Oktober 2005.

  • Soeharto di Tengah Dua Jenderal

    JENDERAL Abdul Haris Nasution dan Ahmad Yani bersitegang. Mereka berbeda pandangan dalam berbagai soal. Mulai dari cara pendekatan terhadap Presiden Sukarno, korupsi di tubuh TNI, hingga gaya hidup. Hubungan keduanya merenggang sejak Yani menggantikan Nasution sebagai Kepala Staf AD pada pertengahan 1962.

  • Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon

    MEDAN 62 tahun yang lalu. Malam itu, Kolonel Maludin Simbolon menggelar hajatan di kediamannya. Para perwira penting Teritorium I/Bukit Barisan beramai-ramai menyambangi rumah sang panglima yang terletak di Jalan Walikota No. 2 tersebut. Simbolon mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam. Aneka makanan lezat disajikan, mulai dari yang umum sampai penganan khas Batak. “Bagi saya makanan enak terasa hambar, hati tidak tenang. Takut kalau gerakan bocor dan saya ditawan disitu juga,” kata Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto . Soegih Arto ketika itu masih letnan kolonel yang menjabat komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Pada jamuan hari natal yang seharusnya bersukacita itu, Soegih Arto berencana untuk menangkap Simbolon. Pikirannya begitu kacau karena harus meringkus panglimanya sendiri.  “Sampai-sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena disitu disajikan sayur (dengan daging) anjing!” kenang Soegih Arto.   Panglima Pembangkang Simbolon adalah perwira dari Batak Toba beragama Kristen. Selepas pengakuan kedaulatan, dia menjadi panglima Teritorium I/Bukit Barisan (BB) pertama dengan wilayah komando Sumatera Utara. Pada pertengahan 1950, kepemimpinan Simbolon mengalami gejolak akibat kesenjangan antara daerah dengan pusat. Namanya sempat mencuat tatkala melakukan praktik penyelundupan di Teluk Nibung guna membiaya pembangunan asrama militer dan kesejahteraan para prajuritnya. Ketidakmerataan pembangunan yang dialami wilayah luar Jawa menyebabkan beberapa panglima daerah mau tidak mau menuntut perbaikan. Pada 16 Desember 1956, Simbolon merumuskan ikrar bersama para perwira Bukit Barisan. Ikrar itu ditandatangani oleh 48 perwira yang menempati jabatan kunci. Inti dari ikrar itu menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas.   Simbolon semakin berani melancarkan kritiknya dengan mendeklarasikan berdirinya Dewan Gajah. Pada 22 Desember 1956, dia berbicara di depan corong RRI Medan dan mengumumkan pemutusan hubungan sementara dengan pusat. Melalui dewan yang dibentuknya, Simbolon mengambil alih pemerintahan di Teritorium I. Meski tidak mengakui pemerintahan Kabinet Ali II, Simbolon masih menyatakan setia kepada Presiden Sukarno. Dia juga menginginkan pemulihan dwitunggal, Sukarno-Hatta.   Alasan Simbolon membentuk Dewan Gajah beririsan dengan kekecewaan pribadi. Simbolon gagal terpilih sebagai KSAD. Saat proses penggodokan calon KSAD, Simbolon bersanding dengan Gatot Subroto dan Zulkifli Lubis. Namun pada akhirnya, pemerintah malah memilih Abdul Haris Nasution. “Kelebihan Simbolon adalah bahwa dialah yang paling senior di antara ketiga orang itu. Dia seorang komandan lapangan yang baik sekali dengan pengalaman staf yang cukup lama dalam Komando seluruh Sumatera di masa perang kemerdekaan,” ungkap Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Selain itu, menurut Sundhaussen, karier militer Simbolon menuju puncak paripurna terkendala sejumlah celah selayaknya kaum minoritas. Sebagai seorang Batak, Simbolon kurang begitu diterima oleh banyak perwira Jawa. Sebagai seorang Kristen, Simbolon kurang dapat diterima oleh perwira-perwira santri dan banyak politisi Islam dalam koalisi pemerintahan.    “Persoalan yang dihadapi Kolonel Maludin Simbolon bagi pribadinya adalah persoalan kehidupan ber-Pancasila dan ber-Bhineka Tunggal Ika,” tulis Robert Sitinjak dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Keterlibatan Orang-orang Batak Toba dalam Pemberontakan PRRI di Sumatera Utara 1958-1961”. Meski bertindak atas dasar koreksi, Simbolon tetap saja dianggap insubordinasi. Tindakannya memisahkan diri dari pemerintah telah melanggar profesionalitas sebagai seorang tentara. Manuver ini membawa karier militernya berada di ujung tanduk.    Perintah Jakarta Apa lacur, pemerintah kadung memberi cap pembangkang kepada Simbolon. Kedudukan Simbolon sebagai panglima diberhentikan secara tidak hormat. Dari Jakarta, Presiden Sukarno mengeluarkan perintah harian. Dia menyerukan bahwa tindakan Simbolon telah menyimpang dari Amanat Panglima Tertinggi, Sumpah Prajurit, dan Sapta Marga. Pemerintah menunjuk Letkol Djamin Gintings yang semula Kepala Staf Bukit Barisan sebagai alternatif pertama pengganti Simbolon. Sementara Abdul Wahab Makmur, komandan Resimen II yang berkedudukan di Pematang Siantar ditunjuk sebagai alternatif kedua. Namun secara sepihak, Abdul Wahab Makmur mengangkat dirinya sebagai panglima dan menggerakkan pasukannya untuk menangkap Simbolon.    Di Medan, sekelompok perwira juga bermufakat untuk menindaklanjuti perintah Jakarta. Komandan KMKB Letkol Soegih Arto bersama kepala stafnya Mayor Ulung Sitepu menyusun rencana menangkap Simbolon dini hari seusai acara jamuan makan pada malam natalan di kediaman Simbolon. Kelompok ini mengerahkan sekompi prajurit-prajurit pendatang dari kavaleri, artileri, dan zeni. “Batalion yang akan ikut serta adalah Batalion Maliki dari Binjai dan Batalion dari Brastagi pimpinan Kapten Slamet Ginting dan Kompi pengawal KMKB di bawah pimpinan Letnan Dua Sempa Sitepu,” ujar Soegih Arto dalam memoarnya.   Ironisnya, perwira-perwira yang hendak meringkus Simbolon adalah mereka yang ikut menandatangani ikrar bersama. Simbolon beruntung. Saat berlangsung acara makan, telepon berdering. Mayor C. Rajagukguk, kepala staf Resimen II yang loyal pada Simbolon, mengabarkan jika pasukan Resimen II sedang dalam perjalanan menuju Medan. Mengetahui ada yang tidak beres, pesta jamuan diakhiri begitu saja. Para perwira diminta siaga kembali ke pos nya masing-masing. Simbolon sendiri mempersiapkan diri meninggalkan rumah. Pagi buta, Simbolon membangunkan anak dan istrinya; memberitahu apa yang terjadi. Sebelum melarikan diri, mereka berdoa. Markas Batalion 132 pimpinan Kapten Sinta Pohan di Kampung Durian menjadi tujuan pelarian. “Kolonel Maludin Simbolon lalu menyuruh padamkan semua lampu di rumahnya dan berangkat dengan membawa regu pengawal kediamannya menuju Markas Batalion 132 pada pukul 4 pagi tanggal 27 Desember 1956,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa Drama penangkapan Panglima Simbolon berakhir dengan kegagalan. Dari Kampung Durian, Simbolon meneruskan pelariannya ke Tapanuli dan membentuk basis perjuangan di sana. Simbolon bersama para panglima pembangkang lainnya kemudian bergabung dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta yang kelak akan merepotkan pemerintah pusat.

  • Setan Merah Berharap Tuah

    SETELAH dibesut Ole Gunnar Solskjær, Setan Merah bertaji lagi. Babyface yang dipercaya menjadi caretaker pelatih berhasil membuat raksasa Premier League Manchester United (MU) bergairah kembali. “Kedatangan Ole tentu memberi harapan adanya perubahan. Latar belakang sebagai mantan bintang MU juga memberi poin yang bisa memudahkan tugasnya,” tutur pengamat sepakbola Irfan Sudrajat kepada Historia. Kelebihan-kelebihan itu menjadi alasan Chief Executive MU Ed Woodward menunjuk Solskjær. “Ole adalah legenda klub dengan pengalaman baik di lapangan maupun di kepelatihan. Dia punya sejarah di Manchester United dan itu artinya dia hidup dan bernapas dengan kultur klub dan orang-orang di sini sangat senang menerimanya kembali. Kami percaya dia akan menyatukan pemain dan fans seiring menjalani paruh kedua musim ini,” tuturnya dikutip CNN , Kamis 20 Desember 2018. Solskjær yang sempat menjadi pelatih klub Norwegia, Molde FK, tak sendiri mengasuh Paul Pogba dkk.. Dia bersama Mike Phelan, eks asisten pelatih MU Sir Alex Ferguson, yang juga comeback ke Old Trafford. Keduanya diharapkan manajemen mendongkrak lagi posisi MU yang terengah-engah di posisi enam klasemen Premier League pasca pemecatan pelatih flamboyan José Mourinho. “Kami (MU) tak terbiasa di posisi enam, kami terbiasa di posisi memperebutkan gelar liga. Itu yang harus kami tatap dan kami tuju sekarang,” cetus Solskjær di situs resmi klub, manutd.com , Jumat 21 Desember 2018. Perubahan MU begitu jelas di tangan Solskjær. Pada debutnya di laga tandang kontra Cardiff City pada matchday ke-18, 23 Desember 2018, MU langsung mengamuk dan pulang dengan kemenangan 5-1. Hasil dahsyat itu sangat langka di era Mourinho. “Dia punya modal dari aspek kepelatihan selain latar belakangnya sebagai mantan pemain MU. Lalu tentu ada motivasi dalam diri Solskjær terkait tantangan ini. Dari semua aspek tersebut, jelas dia punya potensi untuk sekadar menstabilkan atmosfer (internal tim) dan hasil MU ke depannya,” sambung Irfan yang juga Wapemred Top Skor tersebut. Pembawa Hoki MU tak sembarangan mencari pelatih. Figur Solskjær dipilih tak hanya karena melegenda tapi juga dianggap punya tuah buat MU saat masih berkarier. Sosok kelahiran Kristiansund, Norwegia, 26 Februari 1973 itu pertama kali digaet MU pada 29 Juli 1996 dari Molde. Awalnya, Solskjær hanya opsi alternatif transfer MU lantaran MU gagal membajak Alan Shearer dari Blackburn Rovers yang memilih Newcastle United. Alhasil, di MU Solskjær berada di bawah bayang-bayang duet Eric Cantona dan Andy Cole. Ian Macleay mencatat dalam biografi Solskjær, The Baby Face Assassin: The Biography of Manchester United’s Ole Gunnar Solskjaer , pemain berambut ikal itu menjalani debutnya dalam laga uji coba pramusim 1996-1997 kontra Inter Milan di Old Trafford, 13 Agustus 1996. “United (MU) kalah 0-1 dari Nerazzurri (julukan Inter) tapi si rambut kuning Solskjær tampil impresif,” tulis Macleay. Debut profesionalnya di Premier League terjadi 12 hari berselang di matchday ketiga kontra Blackburn Rovers. Solskjær yang masuk di menit ke-61 menggantikan David May, bikin gol perdananya tujuh menit setelah masuk ke lapangan. Gol Solskjær menyelamatkan MU dari kekalahan, laga berakhir 2-2. Dari sinilah julukan super-sub  mulai melekat padanya. “Saya harus berpikir bagaimana saya bisa merusak pertahanan lawan jika dimainkan. Di bangku cadangan, saya mempelajari, menganalisa permainan mereka, terutama juga memperhatikan kesalahan-kesalahan bek-bek lawan,” kenangnya kepada majalah Josimar edisi Maret 2012. Dari 33 kali tampil di musim perdananya, performa Solskjær moncer lantaran berhasil mencetak 18 gol di liga kendati dia jarang dijadikan starter . Perlahan, media-media Inggris punya julukan baru buatnya, The Baby Face Assassin  alias si “Pembunuh Berwajah Imut” lantaran paras polosnya yang seperti bocah berkebalikan dengan daya bunuhnya di lapangan. Musim 1998-1999 nyaris jadi momen perpisahan Solskjær dengan MU yang menerima tawaran empat juta poundsterling dari rival asal London Utara, Tottenham Hotspur. Namun, pada saat negosiasi antara Spurs dengan MU, Solskjær menolak. Dia memilih tetap ingin memperjuangkan tempatnya meski harus bersaing dari bangku cadangan. Ole Gunnar Solskjær mencetak gol penentu kemenangan Manchester United atas Bayern Munich di Final Liga Champions 1999 Di pengujung musim, MU baru insyaf akan keteguhan Solskjær. MU mendapat hoki kala bersua Bayern Munich di final Liga Champions di Camp Nou, Barcelona, 26 Mei 1999. Di menit ke-81, Solskjær masuk menggantikan Andy Cole dalam kondisi MU tertinggal 0-1. Babak kedua hampir berakhir 1-1 setelah Teddy Sheringham menyamakan kedudukan lewat gol di menit 90+1. Saat Bayern mengira akan memainkan extratime , The Baby Face Assassin  menunjukkan tajinya dengan membunuh Bayern lewat gol di menit 90+3. Ribuan fans MU di berbagai tribun sontak bergemuruh. Solskjær mengubah skor 2-1 hingga akhir laga. Trofi “kuping besar” Liga Champions pun dibawa pulang ke Old Trafford setelah 31 tahun. “Momen gol last minute Solskjær itu memang jadi momentum dalam sepakbola, bahkan menjadi momen bahwa apapun bisa terjadi sebelum peluit akhir pertandingan. Ya mungkin saja ada aspek tersebut ketika manajemen MU memilih Solskjær. Mengapa tidak? Bagaimanapun Solskjær datang ke MU dengan membawa sejarah tersebut,” kata Irfan. Caretaker Hoki? Cedera lutut kambuhan membuat Solskjær memilih pensiun pada Agustus 2007. Setahun kemudian, Solskjær mengasuh tim cadangan MU hingga pada 2010 hijrah menangani Molde. Sempat kembali ke Inggris untuk menukangi Cardiff City pada Januari 2014, Solskjær gagal total dan Oktober 2015 Solskjær kembali melatih Molde. Molde mengizinkan Solskjær “disewa” MU. Solskjær diharapkan ikut membawa “hokinya” lagi seperti ketika jadi pemain. “Ada pesan yang ingin disampaikan manajemen MU bahwa jangan menyerah meski dalam situasi sesulit apapun. Seperti pengalaman Solskjær semasa jadi pemain. Kini Solskjær harus membangkitkan lagi keyakinan itu kepada semua bintang MU. Mentalitas inilah yang pertama harus dibangun. Setelah itu baru semua aspek taktik dan strategi,” tandas Irfan.

  • Gunung Anak Krakatau dan Tsunami Selat Sunda

    PADA suatu sore, 29 Juni 1927, hampir 44 tahun berlalu dari letusan dahsyat induknya, Gunung Krakatau. Nelayan yang tengah menarik jaring setelah seharian mengayuh perahu, menyaksikan sesuatu yang luar biasa dan tidak terduga. Dengan bergemuruh, gelombang-gelombang gas yang sangat besar mendadak menyembul ke permukaan laut. Gelembung-gelembung itu dengan kombinasi yang aneh dan acak, muncul di mana-mana, mengelilingi perahu. Nelayan itu kebingungan dan ketakutan. Gelembung-gelembung itu meledak, menyemburkan abu dan gas belerang yang berbau busuk.  Gelembung-gelembung itu, menurut jurnalis Simon Winchester dalam Krakatau: Ketika Dunia Meledak, 27 Agustus 1883 , merupakan indikasi pertama di permukaan bahwa sebuah gunung berapi baru yang mengintai jauh di dasar laut tengah berusaha membangun dirinya. Pertumbuhannya begitu cepat dan aktivitasnya berubah. Selain gelembung-gelembung yang menjadi lebih ganas, bermunculan juga buih hitam, uap, batu, bahkan nyala api. Akhirnya, pada 26 Januari 1928, volume gelembung dan nyala api berubah menjadi abu dan batu solid, serta muncul ke permukaan: sebuah lapisan tipis daratan baru berbentuk kurva tampak untuk pertama kalinya di atas permukaan laut. Daratan baru itu tumbuh, hitam dan seperti sabit, sampai akhirnya membentuk sebuah pulau. Jumlah ledakannya semakin besar. Pada 3 Februari 1928 tak kurang dari 11.791 ledakan selama 24 jam. Bahkan angkanya bertambah pada 25 Juni 1928 mencapai 14.269 ledakan atau sekitar sepuluh ledakan per menit selama sehari semalam. Gunung Anak Krakatau berumur sekitar dua tahun pada Mei 1929. (W.G.N. van der Sleen/Tropenmuseum). Peneliti pertama yang mengamati kelahiran gunung baru itu adalah ahli geofisika asal Rusia, W.A. Petroeschevsky. Belakangan dia sampai membangun sebuah bunker dari beton cor dan besi di Pulau Panjang untuk mengamati aktivitas gunung baru itu. “Dia memberinya nama yang sampai sekarang masih terus melekat: Anak Krakatau,” tulis Simon. Menurut Simon pos pengamatan yang dibangun Petroeschevsky terbukti amat berharga untuk memantau perkembangan Anak Krakatau: tumbuh dari bayi setinggi 20 kaki dan sepanjang setengah mil, mulai hidup pada 1930, menjadi puncak setinggi 500 kaki dan sepanjang satu mil dan selebar satu mil pada 1950, dan sekarang menjadi pulau monster setinggi 1.500 kaki dan berkawah dua. Di peta-peta kawasan itu, lanjut Simon, para hidrografer dari berbagai angkatan laut mengubah tanda pulau itu dari titik-titik “biru” yang berarti “baru, sementara, dan tidak pasti” menjadi “hitam legam” yang berarti “mapan, permanen, dan sudah menetap.” “Dari dulu ia adalah gunung berapi yang luar biasa aktif, yang tumbuh dengan cepat dan tak terhentikan sejak kelahirannya,” tulis Simon. Erupsi setiap hari 91 tahun kemudian dari munculnya tanda-tanda kelahirannya, Anak Krakatau melakukan erupsi setiap hari sejak 29 Juni 2018. Aktivitas erupsi itu diduga menjadi penyebab tsunami di Selat Sunda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 pukul 21.27 WIB. Tsunami itu menerjang pesisir tiga wilayah: Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan. Melalui akun twitter -nya, @Sutopo_PN, Sutopo Purwo Nugroho, kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, menyampaikan bahwa tsunami di Selat Sunda termasuk langka. Letusan Gunung Anak Krakatau juga tidak besar. Tremor menerus namun tidak ada frekuensi tinggi yang mencurigakan. Tidak ada gempa yang memicu tsunami saat itu. Itulah sulitnya menentukan penyebab tsunami di awal kejadian. Meskipun demikian, Sutopo menyebut bahwa “penyebab tsunami di Pandeglang dan Lampung Selatan kemungkinan kombinasi dari longsor bawah laut akibat pengaruh erupsi Gunung Anak Krakatau dan gelombang pasang saat purnama.” Dalam konferensi pers pada 24 Desember 2018, Dwikorita Karnawati, kepala BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) menyampaikan bahwa tsunami Selat Sunda tak lazim dan kompleks. Pemicunya adalah erupsi Gunung Anak Krakatau yang mengakibatkan kepundan (kawah gunung berapi) kolaps sehingga terjadi longsor bawah laut di bagian barat daya. Penghitungan sementara longsoran itu seluas 64 hektar. Tremor vulkanik setara magnitudo 3,4 yang diperparah oleh curah hujan yang tinggi dan gelombang pasang. Dampak tsunami di Selat Sunda per 25 Desember 2018 tercatat 429 orang meninggal, 1.485 orang luka-luka, 154 orang hilang, dan 16.082 orang mengungsi. Kerusakan fisik sebanyak 882 rumah, 73 penginapan, 60 warung, 434 perahu dan kapal, 24 kendaraan roda empat, 41 kendaraan roda dua, satu dermaga, dan satu shelter rusak. Tulisan ini diperbarui pada 25 Desember 2018.

  • Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang

    MARYATI pasrah. Di usianya yang masih 14 tahun, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Ayahnya terlilit utang. Dia hendak menikahkan Maryati dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua. Maryati menolak. Dia kabur ke rumah neneknya, mencari perlindungan. Tak sampai di situ, Maryati bahkan sempat mengancam akan bunuh diri. Namun, ayahnya mengancam balik. Dia akan memenjarakan sang ibu jika Maryati menolak dinikahkan. “Dalam alam pikir anak SMP, dia tidak kepikiran kalau seseorang tidak bisa dipenjara tanpa alasan. Akhirnya, Kak Maryati menuruti keinginan ayahnya,” kata Lia Anggiasih, kuasa hukum Koalisi 18+, kepada Historia. Maryati merupakan salah satu penyintas perkawinan anak dari Bengkulu. Maryati tak sendiri. Data Badan Pusat Statistik tahun 2017 menunjukkan, 25,71% perempuan Indonesia usia 20-24 tahun menikah di usia kurang dari 18 tahun. Angka ini dijaring dari 34 provinsi. Kalimantan menempati angka tertinggi, yakni 39,53 %. Sementara, persentase pernikahan anak di seluruh Indonesia berada di atas 10% dan 23 provinsi di antaranya mencapai angka 25%. Dari data ini Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menyimpulkan bahwa 67% wilayah di Indonesia mengalami darurat perkawinan anak. Maryati bersama dua peyintas lain dari Indramayu, Endang Wasrinah dan Rasminah, ikut mengajukan judicial review (JR) pada Mahkamah Konstitusi (MK). Ketiga perempuan penyintas itu  bersama KPI, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA), dan beberapa organisasi lain yang tergabung dalam Koalisi 18+, mengajukan JR pada UU Perkawinan tahun 1974 tentang batas usia perkawinan. “Usaha JR pertama dimulai sejak tahun 2014, tapi waktu itu (sidang tahun 2015, red. ) ditolak. Tahun 2016 kami kembali mengadakan FGD dan penjaringan data untuk pengajuan JR kembali pada 2017,” kata Lia. Pada Kamis, 13 Dsember 2018, Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun. “Salah satu yang jadi pertimbangan hakim, UU Perkawinan seharusnya sinkron sengan UU Perlindungan Anak. Di sini anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun,” kata Lia. Sebelum putusan MK, berbagai usaha dilakukan seperti pengusulan Perpu ke presiden pada 2016. Usaha ini disambut baik dan diterima oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan Jenderal Purnawirawan Moeldoko dan Sylvana Apituley. Pada pertemuan April 2018, Lia menyaksikan sendiri janji Presiden Joko Widodo untuk mengesahkan Perpu Pencegahan dan Penghentian Perkawinan anak. Ditolak Sejak Lama Nursama, anak perempuan asal Aceh, masih berusia delapan tahun pada 1890 . Gadis belia ini dinikahkan dengan pamannya yang jauh lebih tua, Tanim. Kala itu, pernikahan anak menjadi hal yang jamak ditemui bahkan dianggap bagian dari adat. Nursama mengalami trauma hingga butuh waktu tiga bulan untuk pulih lantaran menikah saat belum siap secara seksual dan mental. Seorang pejabat Belanda yang merasa iba melaporkan Tanim ke pengadilan setempat ( Landraad ). Tanim lantas dijatuhi hukuman 15 tahun kerja paksa karena meniduri isterinya yang belum cukup umur. Kasus ini dimuat dalam buku Menikah Muda di Indonesia karya Sita van Bemmelen dan Mies Grijns. Pemerintah Belanda sudah memberi perhatian terhadap penghapusan perkawinan anak sejak 1900-an. Pemerintah memerintahkan tiap residen di Jawa dan Madura untuk membatasi perkawinan anak. Definisi perkawinan anak di masa itu pun mengalami tubrukan dengan adat istiadat. Dalam berbagai adat di Indonesia seorang perempuan masih dikategorikan sebagai anak bila belum mencapai pubertas. Namun definisi anak dalam hukum pernikahan adalah, anak perempuan hanya diperbolehkan menikah ketika usianya mencapai 15 tahun sementara anak laki-laki berusia 18 tahun. Jika keduanya belum mencapai usia 21 tahun, mereka perlu izin dari orang tua atau wali. “Saya rasa aturan pemerintah Belanda tentang batas usia perkawinan dipengaruhi oleh kebijakan dari Inggris yang kala itu menguasai India. Di India juga marak pernikahan anak, bahkan lebih parah dari Indonesia,” kata Sita van Bemmelen kepada Historia . Sebuah riset yang dilakukan pada 1905-1914 menyingkap, pernikahan anak jamak ditemukan di kalangan pribumi. Bahkan, anak yang belum mencapai pubertas pun sudah menjalani pernikahan. “Pemerintah kolonial punya persepsi, kalau dalam bahasa sekarang, pembangunan masyarakat di Jawa tidak bisa maju apabila perkawinan anak terus berlanjut. Karena anak-anak tergantung sama orang tuanya. Kalau orang tuanya juga masih anak-anak, pembangunan itu tidak bisa berjalan,” kata Sita. Penelitian itu memuat pula pandangan sembilan perempuan pribumi. Mayoritas menolak pernikahan anak. Para pejuang seperti Raden Ajoe Soegianto, bidan Djarisah, dan Dewi Sartika sangat mencela perkawinan anak. Mereka mengusulkan agar kebiasaan itu dihapuskan. Dewi Sartika bahkan menyebut perkawinan anak sebagai kanker sosial. “Pemikiran Siti Soendari tentang penghapusan perkawinan anak saya rasa yang paling tajam dan tegas. Ia mengusulkan agar penghapusan pernikahan anak bisa dilakukan lewat pendidikan,” kata Sita. Siti Soendari, lulusan hukum Universitas Leiden dan pemimpin redaksi Wanito Sworo, bahkan tidak hanya mencela perkawinan anak tapi memberikan usulan penananganan masalahnya. Menurut Soendari, langkah-langkah hukum untuk menangani perkawinan anak hanya membuat prosesnya makin sulit karena berbenturan dengan golongan agama. "Pada akhirnya, saya tidak tahu ada senjata lain melawan kebiasaan busuk ini selain pendidikan," kata Soendari. Perempuan Belanda pun khawatir terhadap kebiasaan pernikahan anak. Pada 1917, Kepala Sekolah Kartini di Semarang FA. Schippers menulis surat terbuka di koran kepada istri Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum lantaran prihatin melihat murid-muridnya yang masih belia harus keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orang tua mereka. Ia meminta perempuan nomor satu di Hindia Belanda itu menggunakan pengaruhnya untuk melawan pernikahan anak. Namun, surat Nyonya Schippers tidak mendapat jawaban. Protes terhadap praktik perkawinan anak juga dibahas dalam Kongres Perempuan Pertama, 1928. Nyonya Moega Roemah dari Puteri Indonesia membahasnya dalam pidatonya. Meski mayoritas masalah yang dibahas adalah poligami, urusan perkawinan anak tak dikesampingkan. Keprhatinan Moega Roemah, yang menolak keras praktik perkawinan anak, bermula ketika ia menyaksikan murid-murid perempuan harus berhenti sekolah di usia 11 atau 12 tahun lantaran akan dikawinkan. Anak-anak perempuan yang masih senang-senangnya bermain itu dengan berurai air mata harus menikah dengan laki-laki yang tak dikenal. Dalam pidatonya, Nyonya Moega menjelaskan bahwa dalam dunia anak-anak, konsep pernikahan belum tergambarkan. Ia juga memberi dampak-dampak buruk yang diterima perempuan dalam pernikahan dini, seperti putus sekolah, ketidaksiapan anak menghadapi dunia pernikahan, dan beban yang harus ditanggung anak ketika hamil atau punya anak. “Dapatkah ibu yang kurang umur itu melakukan kewajibannya yang penting dan sukar itu? Perkawinan anak-anak itu suatu masalah penting dan harus kita perhatikan dengan sebaik-baiknya,” kata Moega dalam pidatonya seperti dimuat Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang. Moega menyarankan, karena perkawinan anak bukan termasuk pembahasan utama, agar kongres memberi ruang tersendiri untuk membahas lebih jauh soal perkawinan anak. Ia juga mengusulkan agar gerakan perempuan bersama-sama mendesak majelis agama untuk melarang perkawinan anak. Namun, usul itu tak ditolak mentah-mentah. Hasil kongres pertama hanya mengamanatkan anggotanya untuk membuat propaganda tentang keburukan perkawinan dini dan mendesak pejabat setempat untuk memberikan penerangan tentang efek buruk perkawinan anak. Usaha menghentikan pernikahan dini berlanjut di Kongres Perempuan Indonesia II di Jakarta. Kongres menyepakati pembentukan Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak Indonesia (KPKPAI) yang salah satu tugasnya mempelajari dan mengawasi kondisi anak-anak, termasuk pernikahan anak. KPKPAI pada Kongres III di Bandung diganti menjadi Badan Perlindungan Perempuan dalam Perkawinan (BPPIP). Masalah Batas Usia Pascakemerdekaan, usaha penghapusan pernikahan anak terus berjalan. Pada 1946, tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia , pemerintah mengeluarkan aturan tentang pencatatan pernikahan. Aturan turunannya berupa Instruksi Menteri Agama No. 4 tahun 1947 yang berisi anjuran pada pegawai pencatatan nikah untuk mencegah perkawinan paksa dan anak. “Sayang, dalam praktiknya baik perkawinan anak maupun perkawinan paksa tidak menurun,” tulis Saskia. Produk hukum itu sepaket dengan aturan pernikahan lain yang tidak memuat tentang larangan poligami. Alhasil, gerakan perempuan menolak UU tersebut. Mereka lalu mengusulkan perumusan UU pernikahan yang adil ke parlemen. Hasilnya, dibentuknya Komisi Nikah Talak dan Rujuk (NTR) pada 1950. Anggotanya, Nani Suwondo, Sujatin Kartowijono, Kwari Sosrosumarto, Maria Ullfah, Mahmudal Mawardi, dan tokoh agama dari kaum pria. Pada Desember 1952, Komisi NTR menyampaikan RUU yang di dalamnya mengatur batas usia perkawinan, perempuan 15 dan lelaki 18 tahun. Batas usia yang tidak berbeda dari hukum Belanda itu merupakan hasil kompromi berbagai pihak. Lantaran merasa kemajuan perumusan UU Perkawinan sangat lambat, Nyonya Sumari bersama para perempuan yang duduk di DPR, mengajukan RUU Perkawinan yang adil pada 1958. Dalam usulan Nyonya Sumari, batas usia pernikahan sama seperti Komisi NTR, yakni 15 untuk perempuan dan 18 untuk lelaki. Usulan batas usia pernikahan mengalami perubahan pada Februari 1973 seiring dengan penggalakan program Keluarga Berencana oleh pemerintah. Usulan ini didapat ketika pemerintah mengadakan public hearing dengan tokoh-tokoh Kowani lewat DPR. Maria Ullfah ikut dalam pertemuan itu. Hasil pertemuan mengusulkan agar batas usia pernikahan menjadi 18 untuk perempuan dan 21 untuk laki-laki. “Umur 21 dianggap sebagai umur ideal untuk pria karena sudah dapat menghidupi diri sendiri. Sementara usia paling dini bagi perempuan untuk menikah adalah 18 tahun,” kata Maria Ullfah dalam ceramahnya di Gedung Kebangkitan Nasional, 28 Februari 1981, yang dibukukan dengan judul Perjuangan untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan. Pengawalan terhadap batas usia nikah itu terus dilakukan Maria Ullfah dan rekan-rekannya. Mereka terus mengejar DPR agar segera menyelesaikan UU Perkawinan. Salah seorang yang mereka temui adalah Wakil Ketua DPR Sumiskun. Namun, ketika UU No. 1 tahun 1974 disahkan, usia minimal perkawinan adalah 16 untuk perempuan dan 19 untuk lelaki. Batas usia itu berlaku sejak masa kolonial dan bertahan hingga kini. Putusan MK untuk menaikkan batas usia perkawinan pada Kamis (13/12) lalu menjadi titik cerah meski tenggat yang diberikan cukup lama, tiga tahun. Putusan ini menjadi satu hal yang dinanti sejak seabad lalu. “Putusan MK ini menjadi hadiah bagi 90 tahun perjuangan gerakan perempuan sejak 22 Desember 1928. Namun kami tak puas begitu saja, tenggat tiga tahun itu masih sangat panjang. Padahal, Indonesia sudah mengalami darurat pernikahan anak,” kata Lia.

bottom of page