top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ketika Poligami Jadi Soal Negara

    SITI HARTINAH, istri Presiden Soeharto, punya pegangan hidup dalam membina biduk rumah tangga. Bagi Ibu Negara yang akrab di sapa Ibu Tien ini, prinsip pernikahan monogami adalah harga mati. “Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto,” kata Soeharto sambil tersenyum kepada jurnalis Jerman, O.G. Roeder dalam Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto.  Baca juga:  Soeharto-Hartinah, kisah romansa anak desa Prinsip ini pula yang dijunjung tinggi Soeharto sejak menyunting Tien sebagai pendamping hidupnya. Dalam suasana revolusi, Tien dan Soeharto memutuskan menikah pada 26 Desember 1947. Hingga akhir hayat masing-masing, keduanya tetap setia sebagai pasangan suami-istri.   Suara dari Istana Menurut Roeder, Ibu Tien sangat menentang poligami. Soalnya, pria yang memperistri lebih dari satu perempuan seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam perkawinan. Rentannya kedudukan perempuan akibat belenggu poligami memicu Tien ikut memperjuangkan hak perempuan. Itulah sebabnya, Tien berpadu dengan para pemimpin organisasi wanita yang getol memperjuangkan Undang-undang (UU) Perkawinan. Sejak pengujung 1960, Rancangan UU Perkawinan telah digulirkan. Namun prosesnya berjalan alot penuh aral. Di tingkat legislatif, wacana UU Perkawinan memantik perdebatan dan pertentangan yang ujung-ujungnya mentok. Baca juga:  Hartini dan Jenderal AH Nasution yang antipoligami Penolakan terutama datang dari kelompok Islam karena praktik poligami dibenarkan dalam hukum syariat. Pasal-pasal dalam UU Perkawinan dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Tak heran, demonstrasi kerap mewarnai perjalanan menggolkan UU Perkawinan baik dari mereka yang pro maupun kontra. Bila organisasi wanita saat itu memperjuangkan UU Perkawinan lewat serangkaian aksi unjuk rasa, maka Tien bergerak dari jalur istana. Tien mendorong suaminya agar memberikan ruang bagi perempuan melalui UU Perkawinan. Soeharto yang menerima RUU Perkawinan itu kemudian meneruskannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).   “Dalam membina keluarga yang bahagia sangatlah perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh untuk meletakkan perkawinan sebagai ikatan suami-istri dalam kedudukan yang semestinya dan suci,” kata Soeharto di hadapan DPR dikutip Abdul Gafur dalam Siti Hartinah: Ibu Utama Indonesia . "Karena itu sudah seharusnya negara memberikan perlindungan yang selayaknya kepada suami atau istri terhadap tujuan-tujuan yang menyimpang dari kerukunan perkawinan."   Baca juga:  Asal-usul batas usia minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974 Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan akhirnya diputuskan sebagai UU No. 1 tahun 1974. UU ini memang tak melarang poligami tetapi mengatur regulasinya sesuai peraturan perundang-undangan. Perjuangan kaum istri terjawab setelah UU ini menetapkan bahwa seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangannya, mensahkan UU yang peka dan pelik itu. Menjewer Pejabat Negara Tien agaknya menyadari praktik poligami juga dilakukan oleh para pejabat tinggi negara. Di kalangan TNI, misalnya, beberapa jenderal teras punya reputasi sebagai “Don Juan”. Jenderal Soemitro dan Herman Sarens Sudiro hanyalah segelitir nama. Menyaksikan hal demikian, Tien pun jengah. “Memang Ibu Tien Soeharto sangat mengecam perwira yang poligami. Dan bisa jadi akhir buat karier perwira itu di TNI,” kata Sayidiman Suryohadiprodjo, wakil KSAD periode 1973-74, kepada Historia. Baca juga:  Herman Sarens, perwira yang nyaris ditembak Soeharto Ikhtiar Tien untuk mencegah poligami dan perceraian pun tak berhenti sampai UU Perkawinan. Peraturan serupa diberlakukan kepada tentara pada 1980 dan polisi pada 1981. Puncaknya ketika dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang izin pernikahan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada 21 April 1983. Menurut Cindya Esti Sumiwi, lahirnya PP tersebut lantaran berbagai tuntutan dari para anggota Dharma Wanita (istri-istri PNS) yang resah dengan kelakuan suami mereka. Kelakuan yang dimaksud seperti poligami secara diam-diam maupun perceraian yang sewenang-wenang. “Pada intinya, PP ini membahas mengenai peraturan pernikahan untuk PNS yang bersangkutan meminta izin kepada atasannya dan diizinkan secara tertulis, baik untuk percerain atau pernikahan yang kedua/ketiga/dan seterusnya,” tulis Cindya dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Perjalanan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia 1974—1983”. Baca juga:  Perempuan selalu menjadi korban dari praktik poligami Menurut Ny. T. Fuad Hasan dalam Dwiwindu Dharma Wanita: 5 Agustus 1974-5 Agustus 1990 , pengesahan rancangan PP No. 10 tak terlepas dari peranan Ibu Tien. Perannya secara gamblang terjejaki dalam buklet Dharma Wanita yang mengakui dukungan kuatnya dalam perjuangan Dhama Wanita untuk PP 10. Dalam artikelnya "Seksualitas dalam Pengaturan Negara", dimuat  Prisma , 7 Juli 1991, sejarawan-cum-aktivis gender Julia Suryakusuma menyebut konon PP 10 merupakan cermin kecemasan dari seorang Tien Soeharto terhadap kebiasaan kawin-mawin pejabat elite bergaya priayi. Umum diketahui, Ibu Tien Soeharto dapat menentukan nasib pejabat tinggi pemerintahan yang melakukan “pelanggaran seksual”, seperti misalnya perceraian ataupun poligami. Bagi mereka yang berani membangkang, siap-siap saja kena ganjarannya. Baca juga:  Widjojo Nitisastro, perancang ekonomi Orde Baru Widjojo Nitisastro yang menjabat menteri koordinator ekonomi merangkap ketua Bappenas hanyalah satu contoh yang harus menerima konsekuensi PP 10. Widjojo memutuskan menceraikan istrinya dan menikahi sekretarisnya. Dia akhirnya harus melepas jabatannya namun tetap dipertahankan sebagai penasihat ekonomi. “Sanksi pelanggaran berupa penundaan kenaikan pangkat atau gaji, dan paling buruk, dipecat dengan tidak hormat dari kepegawaian,” tulis Julia.   Baca juga:  Rahmah El Yunusiyah, ulama perempuan yang menolak keras dipoligami

  • Tank Gaek Bertahan Hidup

    SUARA mesinnya masih gahar. Manuver-manuvernya masih lincah. Tank tua M3A1 Stuart itu masih jadi momok buat pasukan TKR Resimen Magelang, Purwokerto, dan Banyumas bersama barisan rakyat. Namun, siang itu tank gaek yang dinamai “Alexander” itu tetap tak mampu melindungi serdadu Inggris yang telah terkepung pasukan republik. Fragmen klimaks Palagan Ambarawa (20 Oktober-15 Desember 1945) itu digambarkan secara kolosal dalam sebuah aksi teatrikal oleh TNI AD bekerjasama dengan komunitas Djokjakarta 45. Atraksi yang diikuti para reenactor dari Yogyakarta, Bekasi, Solo, Temanggung, hingga Palangkaraya itu diadakan di Lapangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Ambarawa, Sabtu siang, 15 Desember 1945 dalam rangka memperingati Hari Juang Kartika. Ribuan warga yang menyaksikannya dari pinggir lapangan kian merasakan sensasi pertempuran lewat beragam ledakan mercon sebagai efek pengeboman dari dua pesawat Grob G 120TP Skadron Pendidikan 101 TNI AU dari Lanud Adisucipto, Yogyakarta yang melakukan beberapa kali flypass di langit Ambarawa. Muasal Tank Stuart Light Tank M3A1 Stuart yang jadi “bintang” dalam aksi teatrikal itu merupakan koleksi Pusat Pendidikan Kavaleri (Pusdikav) yang berada di bawah naungan Pusat Kesenjataan Kavaleri Komando Pendidikan dan Pelatihan (Pussenkav Kodiklat) TNI AD. Tank bernomor lambung 40-32 itu buatan Amerika Serikat (AS) semasa Perang Dunia II. “Ini tinggal satu-satunya yang masih jalan dan masih hidup. Dulu sebenarnya masih ada dua di Pusdikav. Yang satu dibawa ke Palembang untuk dibuat cagar (Monumen Perjuangan Rakyat Palembang),” terang Lettu (Kav) Muhidin, kepala kru tank, kepada Historia. Lettu (Kav) Muhidin (kanan) bersama dua kru Tank Stuart yang berada di bawah naungan Pusdikav TNI AD Light Tank M3 Stuart dibuat oleh American Car and Foundry Company (kini ACF Industries LLC) sejak 1941. Mengutip Samuel Zaloga dalam M3 & M5 Stuart Light Tank , namanya diambil dari seorang jenderal ternama Pasukan Konfederasi di masa Perang Saudara AS James Ewell Brown “Jeb” Stuart. Tank ringan ini juga diproduksi sebagai tank berawak pertama AS di PD II. Berdimensi lebar 2,29 meter, panjang 4,84 meter plus berbobot 15,2 ton, serta dilindungi “baju zirah” setebal 63,5 milimeter, tank empat awak ini tenaganya disuplai mesin tujuh silinder Continental W-670 berbahan bakar bensin. Untuk daya gempur, Stuart dibekali meriam M6 (37 milimeter) plus tiga senapan mesin Browning M1919A4. Di eranya, Tank Stuart jadi salah satu yang tergesit dengan kecepatan maksimal 58km/jam. Inggris sebagai salah satu sekutu utama AS mengkloning tank serupa dengan beberapa varian khusus untuk misi pengintaian (Stuart Reece tanpa meriam), Stuart Command, dan Stuart Kangaroo untuk markas radio berjalan, serta Stuart Artilery Tractor untuk keperluan zeni. Di front Eropa Barat dan Afrika Utara, Tank Stuart M3 dan “saudaranya” M5 jarang beraksi lantaran Sekutu lebih memilih Tank Sherman untuk menembus pertahanan Jerman Nazi dengan tank-tank beratnya. Stuart lebih diandalkan AS di front Pasifik untuk meladeni Jepang yang mayoritas ranpurnya juga tank ringan macam Ha-Go dan Chi-Ha. Di Indonesia, Stuart masuk awalnya dibawa Inggris dan Belanda. Operasi-operasi militer keduanya acap memicu pertempuran besar, baik di Surabaya (Pertempuran 10 November), Bekasi (Pertempuran Sasak Kapuk 29 November dan Bekasi Lautan Api 13 Desember), Sukabumi (Pertempuran Bojongkokosan 9 Desember), maupun Ambarawa (Palagan Ambarawa 15 Desember). Dalam era revolusi itu pula sejumlah Stuart berpindahtangan ke pihak Indonesia. “Perebutan situasional (pertempuran) saja. Resminya semua hibah (Februari 1950),” kata pengamat alutsista Haryo Adjie Nogo Seno saat dihubungi Historia. Pemimpin Redaksi Indomiliter .com dan penulis Monster Tempur Kavaleri Indonesia itu juga mencatat, di bawah TNI AD, Tank Stuart warisan Belanda itu dijadikan kekuatan pengawal infantri dalam sejumlah operasi militer sejak hibah dari KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) pada Februari 1950. Seperti, operasi penumpasan RMS dan DI/TII (1950), PRRI dan Permesta (1958), dan penumpasan PKI 1965-1966. Pada 1970-an, Stuart tak lagi jadi kekuatan utama TNI AD seiring peremajaan alutsista. Langkanya beberapa spare parts membuat Stuart jadi alutsista usang yang kian jadi bangkai. Paling bagus dijadikan monumen seperti di beberapa kota seperti Bandung, Sukabumi, dan Palembang. Bertahan Hidup Setelah para “rekannya” menemui ajal, Stuart 40-32 kini sebatang kara. “Hanya untuk show saja di beberapa event dan film, seperti film Darah Garuda (2010). Kalau di negara asalnya jelas masih ada beberapa yang hidup. Tapi di Indonesia, itu (Tank 40-32) satu-satunya,” lanjut Haryo. Pun begitu, Pussenkav dan Pusdikav masih berkomitmen untuk menjaga tank legendaris ini tetap hidup kendati tak semudah membalikkan telapak tangan. “Lumayan susah. Dengan jenis mesin Continental tujuh silinder ini sudah enggak ada komponen dan spare part -nya di Indonesia. Contoh kecilnya saja, seperti platina. Kami sempat bingung cari yang sejenis dia ini seperti apa. Apalagi tipenya kan seperti mesin 2 tak. Tidak ada pendingin seperti air, hanya pendingin udara dan oli saja. Tapi memang dari jajaran petinggi di Pusdikav dan Pussenkav berpesan untuk dirawat, untuk mengenang sejarah,” kata Lettu (Kav) Muhidin lagi. Light Tank Stuart yang nyaris 100 persen masih orisinil dan dalam satu jam pengoperasian membutuhkan bahan bakar full tank 200 liter bensin (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Alhasil, Stuart yang dibawa ke Palembang untuk ditempatkan di Monpera, beberapa komponen pentingnya terlebih dulu dikanibal. “Karena memang awalnya yang satu lagi sudah rusak parah. Makanya kami kanibal untuk diambil suku cadangnya dipindahkan ke yang satu lagi ini. Kami cukup kerepotan merawat yang sudah rusak parah itu,” lanjutnya. Hampir semua komponen yang ada di Stuart yang masih bertahan hidup itu asli, kecuali starter -nya yang diganti dengan komponen dari Tank AMX. “Semua sistemnya masih berfungsi juga. Termasuk sistem tembaknya – kalau memang ada amunisinya. Kita ya sudah tidak ada,” imbuh Muhidin. Satu hal unik dari tank uzur ini, dalam beberapa kesempatan tank ini dinaungi beberapa hal mistis. “Ya ada saja sih, kejadian. Seperti di event peringatan Serangan Umum 1 Maret tahun 2016, pernah mesinnya menyala sendiri. Teman-teman dan anak buah juga di markas kadang-kadang melihat lampunya juga menyala sendiri. Padahal enggak ada orang di dalamnya. Ditambah malam sebelum acara Hari Juang Kartika ini, saat kami lakukan persiapan, kami mencium bau-bau wangi begitu,” tandasnya.

  • Keistimewaan Wallacea

    Kawasan Wallacea, meski mungkin tak dinilai penting bagi negara lain, tapi sebaliknya untuk Indonesia. Wilayah itu dinilai sebagai laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia.   Wallacea adalah kawasan biogeografis yang mencakup kepulauan di wilayah Indonesia bagian tengah. Letaknya terpisah dari paparan benua Asia dan Australia. Ini meliputi tiga komponen, Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. "Garis Wallace, untuk Indonesia penting.  Inggris mungkin  peduli dia, tapi ini luar biasa sebenarnya," jelas Sangkot Marzuki, Presiden Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kawasan Wallacea. (Wikipedia). Nama Wallacea diambil dari Alfred Russel Wallace, naturalis asal Inggris. Dari perjalanan berkelana di KepulauanNusantara selama delapan tahun (1854-1862), ia lalu membagi batas-batas fauna secara geografis, yang dikenal sebagai Garis Wallace.  "Jadi Wallace dalam perjalanannya menjelajah Kepulauan Nusantara, dia berdiri di Lombok melihat, lalu sadar ada dua fauna yang berbeda," lanjut Sangkot. Tak ada batas yang tegas. Namun perbedaannya sebesar antara fauna di Afrika dan Amerika Selatan dan lebih dari Eropa dan Amerika Utara.  Garis batas itu, lanjut Sangkot, lewat di antara pulau-pulau yang lebih dekat daripada pulau-pulau yang termasuk dalam kelompok yang sama. "Maksudnya Bali dan Lombok itu kan lebih dekat dibanding pulau lain, tapi garisnya ada di situ," ujar peneliti yang menekuni bidang biogenesis dan kelainan genetik manusia itu.  Melihat ini, kata Sangkot, Wallace menjadi yakin sebelah barat merupakan bagian yang terpisah daripada benua Asia. Sementara sebelah timur adalah perpanjangan fragmen dari bekas benua barat Pasifik. "Bayangkan Darwin dan Wallace sama-sama bercerita tentang evolusi makhluk hidup, Wallace sudah bercerita tentang evolusi bumi," lanjut Sangkot, yang pernah menjabat sebagai direktur Lembaga Eijkman pada 1992-2014.  Lalu apakah ada bukti kalau teori Wallace benar? Sangkot bilang, baru 150 tahun kemudian, seorang geolog di London mencoba merekonstruksi reformasi geologi di Nusantara. Sekira 50 juta tahun lalu Sumatra, Jawa dan Kalimantan merupakan bagian dari Asia. Adapun Sulawesi terdiri dari potongan-potongan daratan yang datang dari banyak arah. Pun fauna, flora, dan bakteria yang ada di Nusantara. Bagian barat datang dari Asia. Bagian timur dari Australia. Sementara yang di tengah merupakan campuran. "Kita lihat bahwa Kepulauan Nusantara yang ada sekarang ini sebagian datang dari Asia, sebagian dari Papua Australia, yang ini (Sulawesi, red. ) gado-gado dia," jelas Sangkot. Selain ada yang memang datang menyebrangdari luar, di wilayah Wallacea, flora dan faunanya pun ada yang berevolusi, lahir dan tumbuh di sana. Untuk kasus ini contohnya adalah cengkeh.  Sampai 600-700 tahun lalu, hingga Eropa datang, cengkeh hanya tumbuh di Ternate dan Tidore, juga Pulau Makian. "Unik sekali hanya ada di situ. Betul-betul khas untuk daerah yang sekarang dinamakan daerah Wallacea, bukan Asia, bukan Papua atau Australia, tapi Wallacea," jelas Sangkot lagi.  Itulah sebabnya, menurut dia, daerah Wallacea begitu unik sekaligus penting. Di sanalah, di mana ada satu pulau yang terdiri atas potongan-potongan daratan dari berbagai arah, lalu membawa organisme hidup yang berasal dari tempat berjauhan.  "Wallacea ini banyak dibicarakan periset di sana. Ini laboratorium alam yang tak ada duanya di dunia," tegas Sangkot.

  • Memahami Sejarah lewat Lukisan

    SAMBIL menunggangi kuda hitamnya, Pengeran Diponegoro mengacungkan jari telunjuk. Tangannya yang lain memegangi tali untuk mengendalikan kuda. Penggambaran adegan itu terdapat dalam lukisan Diponegoro karya Basuki Abdullah yang dibuat tahun 1949. Tak ada satu pun potret wajahnya namun hal ini jadi kesempatan bagi para pelukis untuk mengabadikan profil dan kisah-kisahnya secara visual. Ada berbagai versi lukisan Diponegoro. Ada profilnya pakai blangkon dan surjan, atau potret setengah badan. “Lukisan Diponegoro yang paling populer yakni Diponegoro naik kuda karya Basuki Abdullah meniru gaya Napoleon Crossing the Alps (1801) karya Jacques Louis David,” kata Mikke Susanto ketika memaparkan makalahnya di Seminar Sejarah Nasional (3/12). Penggambaran Diponegoro lewat lukisan merupakan satu wujud dokumentasi sejarah ketika tokoh atau peristiwa sejarah tak sempat terekam dalam foto. Lukisan tentang potret pahlawan terus diproduksi pascakemerdekaan. Sukarno yang menggemari seni lukis, memajang lukisan potret para pahlawan di Istana Merdeka dan Bogor. Pada dekade 1980-an, potret pahlawan karya Basuki Abdullah menjadi paling populer. “Ratusan potret pahlawan direproduksi besar-besaran. Padahal Basuki Abdullah (ketika melukis Diponegoro, red. ) tidak bersumber dari foto, dia dari imajinasi,” kata Mikke. Selain sebagai wujud dokumentasi, lukisan juga bisa menjadi rujukan dalam penulisan sejarah. Keberadaan seni lukis, tulis Agus Burhan dalam artikel “Ikonografi dan Ikonologi Lukisan Djoko Pekik: ‘Tuan Tanah Kawin Muda’” yang dimuat dalam Jurnal Panggung, tidak bisa sekadar dilihat sebagai ungkapan artistik saja. Lebih dari itu, seni lukis bisa dipandang sebagai produk sosiokultural. Suatu karya yang diproduksi, dalam konteks sejarah, melibatkan kondisi sosiokultural yang membangunnya. Maka, Agus melanjutkan, seni lukis bisa menjadi rujukan yang memberi gambaran kondisi di masa tersebut. Ada lima aliran lukisan sejarah. Lukisan sejarah agama, mitologi, alegori, sastra, dan lukisan sejarah peradaban. Namun, tak semua lukisan bisa dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah. “Kalau sebuah karya menganut konsep lukisan sejarah peradaban, lukisan itu bisa dipakai sebagai rujukan. Setidaknya memberikan gambaran tentang masyarakat di masa itu,” kata Mikke. Lukisan sejarah rata-rata beraliran realis, yang memudahkan orang mendapat gambaran atas hal yang ditampilkan. Pun sejak awal perkembangannya, lukisan sejarah diawali dengan gambaran yang paling mendekati wujud aslinya, baru kemudian berkembang lukisan sejarah dengan gaya non-realis. Di tangan Pablo Picasso, misalnya, lukisan sejarah disajikan dengan gaya kubistis yang berkembang di tahun 1930-an. Guernica (1937) karya Picasso punya konteks kesejarahan dengan peristiwa pengeboman di Kota Guernica pada April 1937 oleh tentara Nazi Jerman di tengah perang sipil Spanyol. Korban pengeboman yang mayoritas perempuan dan anak –karena para pria sedang pergi berperang– menggungah Picasso untuk membuat karya sebagai sikap protes. Lukisan itu selesai dibuat dua bulan setelah peristiwa. Guernica, seperti ditulis situs resmi pablopicasso . org, menjadi karya politis Picasso yang paling terkenal. Di Indonesia lukisan sejarah bisa dijumpai dalam karya Affandi Laskar Rakyat Mengatur Siasat (1946).  Lukisan Affandi memberi gambaran para rakyat pejuang berkumpul dan mengatur strategi untuk melawan Belanda di masa revolusi. “Lukisan Affandi bisa dipakai sebagai sebuah rujukan untuk memberi gambaran bagaimana orang berkumpul di satu titik untuk membahas penyerangan,” kata Mikke. Karya lain yang bisa dijadikan rujukan, ialah Tuan Tanah Kawin Muda (1964) karya Djoko Pekik. Karya yang menampilkan seorang lelaki tua berbaring ditunggui seorang perempuan muda ini menjadi gambaran penindasan laki-laki pada perempuan lewat kekuasaan berupa modal ekonomi, sosial, dan kultural. Agus juga menilai Tuan Tanah Kawin Muda sebagai gembaran pertikaian kekuasaan laki-laki penguasa dengan perempuan rakyat jelata, dalam seting budaya feodal. Namun demikian, tak semua karya lukis bisa dijadikan sumber sejarah dan memerlukan kritik dengan membandingnya dengan fakta-fakta sejarah. Lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) misalnya. Ada beberapa gambaran yang tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti lokasi penangkapan. “Kalau dilihat pakaiannya benar, tapi tempatnya tidak seperti yang dilukisan. Jadi lukisan karya Raden Saleh pun perlu dikritik. Tidak semua lukisan sejarah benar adanya tapi bisa digunakan sebagai rujukan atau alat pembelajaran sejarah,” kata Mikke.

  • Soe Hok Gie dan Tentara

    RUDY BADIL masih ingat kata-kata sobatnya, Soe Hok Gie. Suatu hari, aktor intelektual gerakan mahasiswa 1966 itu bilang bahwa politik merupakan dunia yang sangat dihindarinya. Kalaupun pada akhirnya dia ada di dunia politik, Soe meyakinkan bahwa itu adalah jalan terakhir yang terpaksa harus diambilnya karena jalan yang lain sudah tertutup. “Orang lurus macam dia memang tak cocok ada di dunia politik,” ujar mantan jurnalis senior itu kepada . Soe memang pernah mengungkapkan hal tersebut dalam catatan hariannya yang dibukukan berjudul . Pada 16 Maret 1964, dia menulis bahwa politik adalah barang paling kotor, lumpur-lumpur kotor yang di dalamnya sama sekali tak mengenal moral. “Tetapi suatu saat di mana kita tak dapat menghindari lagi maka terjunlah … Dan jika sekiranya saatnya sudah sampai aku akan ke lumpur ini,” ungkapnya. Namun apa yang dihindari Soe ternyata harus terjadi juga. Ketika kekuatan politik Presiden Sukarno semakin menguat pada pertengahan 1960-an, dia tak menemukan cara lain untuk meruntuhkannya selain bekerja sama dengan tentara (Angkatan Darat). “Yang penting ialah mendapatkan kekuatan yang diperlukan, sebab jika kita tak memelihara kekuatan dan hanya studi terus, kita akan disapu bersih oleh grup lawan,” kata Soe Hok Gie. Aliansi Mahasiswa-Tentara Sejak meyakini gerakan mahasiswa tidak akan berhasil meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno tanpa kekuatan politik lain, Soe mulai melihat tentara (baca: Angkatan Darat) sebagai mitra yang potensial. Menurut Daniel Dhakidae dalam "Soe Hok Gie Sang Demonstran", kata pengantar untuk Catatan Seorang Demonstran , hubungan Soe dengan tentara bisa terwujud karena jasa Nugroho Notosusanto, seniornya di Fakultas Sastra jurusan sejarah Universitas Indonesia. Lewat Nugroho yang juga kepala Pusjarah ABRI (Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Soe membangun jaringan dengan Kolonel Suwarto, komandan SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat). Siapakah sebenarnya Suwarto? Menurut Anton Ngenget (eks agen CIA dan KGB di Indonesia), Suwarto adalah seorang tentara yang memiliki kecenderungan politik kepada Barat. “Saya tahu persis, dia pro-Amerika,” ungkap Anton dalam  suntingan Eros Djarot dkk. Soe juga merintis hubungan ke beberapa perwira Kodam Siliwangi yang anti-Sukarno. Lewat Suripto (eks aktivis mahasiswa Bandung yang bekerja di Komando Operasi Tertinggi), Soe bisa mengenal Brigadir Jenderal TNI Kemal Idris, kepala staf Kostrad, dan Brigadir Jenderal TNI Yoga Sugama, perwira intelijen Komando Operasi Tertinggi. “Soe sering berunding dengan Suripto di kawasan Senayan,” ujar John Maxwell dalam disertasinya  Soe Hok Gie: A Biography of A Young Indonesian Intellectual  (diterjemahkan menjadi Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani). Hubungan baik dengan para perwira anti-Sukarno itu terbukti banyak gunanya bagi gerakan mahasiswa yang sedang berupaya meruntuhkan kekuasaan Sukarno. Bukan saja sumbangan materi, namun juga back up keamanan dalam setiap demonstrasi anti-Sukarno. “Di sekeliling mahasiswa sudah disediakan RPKAD preman. Merekalah yang akan menghadapi tukang-tukang pukul dan orang-orang bayaran dari kaum ASU-Soebandrio-Chairul Saleh,” tulis Soe dalam catatan hariannya. Menurut Maxwell, banyak aktivis mahasiswa yang sering berkumpul di Senayan (kediaman Suripto) mendapat akses dan diizinkan menumpang kendaraan militer sehingga mereka bisa menghindari jam malam. Bahkan ada beberapa aktivis mahasiswa yang dibekali senjata, termasuk Soe Hok Gie. “Dia pernah membawa pistol kaliber FN 9 mm di dalam ranselnya,” tulis Daniel Dhakidae dalam “Sekali Lagi Soe Hok Gie,”  Sinar Harapan , 8 Januari 1970. Daniel mengutip pernyataan Boeli Londa, sahabat Soe. Sejarah mencatat, aliansi mahasiswa-tentara itu berbuah manis. Sukarno yang berkuasa selama 22 tahun sejak 1945, akhirnya berhasil ditumbangkan untuk menerbitkan rezim Orde Baru di bawah Jenderal TNI Soeharto. Mengatur Jarak Kemenangan grup tentara anti-Sukarno disambut hangat oleh sebagian besar tokoh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Tetapi tidak oleh Soe Hok Gie. Alih-alih merasa lega, dia justru mewaspadai munculnya “tendensi militerisme dan fasistis” dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Soe lantas mengatur jarak dengan tentara. Jopie Lasut, rekan Soe sesama aktivis anti-Sukarno, memiliki cerita sendiri terkait gelagat tersebut. Alkisah pada 15 Maret 1966, Jopie dan Soe diminta oleh mahasiswa Jakarta untuk mengonfirmasi sebuah info intelijen penting dari telik sandi Kudjang (kesatuan khusus Kodam Siliwangi) kepada dua perwira Siliwangi anti-Sukarno: Mayor Jenderal TNI H.R. Dharsono dan Brigadir Jenderal TNI Suwarto di Bandung. Dalam pertemuan itu, sambil lalu Dharsono menanyakan tentang situasi Jakarta dan bagaimana kira-kira pendapat KAMI mengenai “kerja sama setara” antara ABRI-Mahasiswa. “Kami datang ke sini bukan sebagai wakil formil dari KAMI. Namun sepanjang sepengetahuan saya, para mahasiswa tidak akan mempertahankan kerja sama dengan ABRI kalau jenderal-jenderalnya masih hidup bermewah-mewahan,” ujar Soe seperti dikisahkan Jopie Lasut dalam Soe Hok Gie, Sekali Lagi  suntingan Rudy Badil, dkk. Mendengar jawaban Soe, air muka Dharsono langsung berubah. Sebaliknya Suwarto malah tertawa. Sambil melirik ke arah Dharsono, dia kemudian bilang: “Ya..., tapi jangan dimasukan jenderal-jenderal seperti kami dong. Kami masing-masing hanya memiliki satu mobil pribadi yang kami bawa dari luar negeri. Itu pun untuk modal penyambung hidup,” ungkap perwira yang mendukung terbentuknya Radio Ampera UI tersebut. Selanjutnya sikap Soe semakin jelas terhadap tentara. Terlebih saat dia mulai melakukan kritik-kritik pedasnya terhadap pembantaian massal orang-orang PKI yang salah satunya melibatkan tentara. Sejak saat itulah langkah Sang Demonstran semakin jauh dari markas tentara.

  • Trauma Serdadu Belanda

    MAARTEN HIDSKES tidak menampik jika Piet Hidskes (ayah kandungnya) mengalami trauma dan penyesalan dengan apa yang pernah dia buat puluhan tahun lalu di Sulawesi Selatan. Kendati tidak dihindari, kata “Indonesia” selalu tidak pernah secara mendalam dibahas di rumah mereka. “Padahal dia pernah menghabiskan salah satu fase hidupnya sebagai seorang prajurit komando di Sulawesi Selatan,” ungkap jurnalis Belanda itu kepada Historia . Menurut penulis buku Thuis Gelooft Nieman Midj: Zuid Celebes 1946-1947 (diterjemahkan menjadi Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya ) itu, tidak hanya sang ayah yang mengalami trauma di masa senjanya, kawan-kawan sesama anggota DST (Depot Pasukan Khusus) banyak mengalami situasi yang sama. “Bahkan salah satu kawan ayah saya menjadi gila karena tak kuasa menerima trauma itu,” ujar Maarten. Kisah para veteran yang masih mengalami trauma perang hingga masa-masa tuanya memang bukanlah suatu hal yang aneh bagi publik Belanda. Beberapa film dokumenter bahkan pernah mengupas kisah-kisah sedih itu. Sebut saja misalnya film dokumenter berjudul Hoe Nederland met Zijn Geschiendenis Omgaat atau karya yang lebih lawas lagi, Tabeek Toean . Brutalitas Perang Kawasan Stasiun Karangsari, Banyumas, 1949. Teng Bartels masih ingat kejadian itu. Sebagai penjaga kereta api jurusan Purwokerto-Bumiayu, dia bersama beberapa kawannya dari Batalyon Infanteri 425 Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) tengah duduk di bagian kereta api yang terbuka berlindungkan karung-karung pasir. Masing-masing menggenggam senjata dalam posisi siaga dan tegang. Di tengah suasana mencekam itu, tetiba terdengar suara dentuman mitralyur. Kereta api pun dihentikan secara mendadak. Semua melompat keluar. Nampak di depan mereka menghadang barikade yang terdiri dari gelondongan kayu dan potongan besi. Belum sempat melepaskan satu peluru, mereka sudah dikepung dan diserang dari belakang. Para serdadu bule itu langsung tak berkutik. Dengan mata kepala sendiri, Bartels menyaksikan seorang anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengekesekusi Prajurit Boss. Anak muda itu menggelepar lalu diam. “Saya shock . Mereka membunuh Boss begitu saja. Ketika melihat saya tak berdaya, mereka memegangi saya dan mengambil semua yang ada di tubuh saya. Saya dan beberapa kawan lalu digiring ke kampung nyaris tanpa pakaian,” kenang Bartels seperti dituturkan kepada rekannya Ant. P. de Graaff dalam Met de TNI op Stap (edisi Indonesianya berjudul: Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI ). Bartels dan ketiga kawannya otomatis menjadi tawanan hingga perang berakhir beberapa bulan kemudian. Kendati mengaku diperlakukan baik oleh TNI, kejadian-kejadian itu kerap menghantuinya seumur hidup. Terutama ketika tidur dan ada dalam situasi sendiri. Trauma akibat brutalitas perang juga dirasakan J.C. Princen. Anggota KL berpangkat kopral yang kemudian membelot ke kubu TNI itu mengaku tak pernah bisa melarikan diri sepenuhnya dari kejadian-kejadian mengerikan saat terlibat dalam peperangan. Terutama yang terkait dengan orang-orang dekatnya. “Saya pernah kehilangan istri yang sedang mengandung anak saya di Cianjur. Saya melihat sendiri, kepalanya pecah terhantam peluru Tommy Gun dari seorang letnan KST (Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda),” katanya dalam nada lirih. Princen mengaku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Dia berhari-hari menangisi kepergian Odah dan merasa marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sang istri. Akibat stres itu, Mayor Kemal Idris (atasan Princen di Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi) sempat mengistirahatkannya di sebuah desa terpencil yang masuk dalam wilayah Kadupandak, Cianjur Selatan. Kekejaman perang yang menumbuhkan trauma pun terungkap dalam beberapa data oral yang dikutip oleh Gert Oostindie dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ). Salah satunya adalah pengalaman seorang kopral bernama Kees. Dalam catatan hariannya bertahun 1949, Kees menulis bahwa dirinya bukanlah seorang pemuda Belanda yang beruntung karena kerap harus menghadapi situasi yang mengguncangkan jiwanya selama bertugas di Indonesia. Puncaknya terjadi saat dia harus menyaksikan dua gadis kecil tengah menangis seraya memeluk tubuh kaku sang ibu dan adik kecil mereka di sebuah parit dangkal. “Keduanya terbunuh oleh satu peluru yang sama,” ungkap Kees. Terapi ke Indonesia Bartels, Princen, dan Kees hanyalah sebagian kecil dari serdadu-serdadu Belanda yang pernah terluka jiwanya akibat perang. Menurut Oostindie, sesungguhnya masih banyak dari mereka yang mengalami penderitaan psikologis hingga masa tuanya. Itulah yang menjadi jawaban mengapa para veteran Belanda seolah enggan mengatakan apapun tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Terlalu pahit dan cukup ditelan sendiri saja, tak usah anak dan cucu tahu, begitu yang pernah dikatakan oleh para veteran Belanda itu kepada saya,” ujar Iman Sardjono, salah seorang veteran Indonesia yang kemudian menjalin persahabatan dengan para bekas musuhnya itu. Lantas apa yang kemudian dilakukan oleh para veteran tersebut untuk mengobati rasa traumatik itu? Princen mengungkapkan bahwa satu-satunya jalan adalah berdamai dengan masa lalu. Caranya adalah dengan kembali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sempat menorehkan kisah kelam dalam hidup mereka. “Saat masa-masa tua seperti ini (waktu saya wawancarai pada 1995, dia berusia 70 tahun), saya memerlukan kembali pergi ke masa lalu. Saya pernah datang ke Cilutung tempat istri saya gugur dan kembali menangis sejadi-jadinya saat tiba di tempat itu. Tapi seterusnya saya merasa lega,” ujar Princen. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bartels. Bersama kawan-kawannya yang pernah bertugas di Banyumas, pada 1987 dia menelusuri kembali tempat saat dia ditangkap oleh TNI pada 1949. Ironisnya, di sana dia sempat bertemu dengan Salimin, anggota TNI yang bertempur dengan pasukannya di sekitar stasiun Karangsari itu. Sebuah pertemuan yang menurut Bartels sangat emosional. “Air mata saya meleleh saat Salimin meminta maaf atas apa yang telah dilakukan kepada kami puluhan tahun yang lalu,” ujarnya. Selanjutnya mereka mengikrarkan diri menjadi sahabat. Dengan bergandengan tangan, kedua orang tua yang semasa mudanya pernah berhadapan itu menyusuri rel kereta api seraya menceritakan dalam versi masing-masing tentang kejadian itu. Ternyata itu bukan yang terakhir. Pada 1991, para eks serdadu Belanda itu kembali datang. Kali ini atas undangan resmi dari orang-orang yang dulu pernah menjadi musuhnya: veteran Indonesia. Kendati ditentang oleh organisasi resmi veteran Belanda (VOMI), kunjungan itu tetap berlangsung dalam semangat persahabatan yang erat. ”Saya meminta pengertian kepada mereka yang belum bisa menerima musuh lama kita sebagai sesama manusia. Kami sudah ada di jalan yang benar, karena permusuhan antarsaudara harus berakhir,” demikian menurut F.L. Meijler, salah seorang veteran Belanda yang mengikuti tur tersebut.

  • Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?

    MAKAN daging anjing dengan sayur kol. Kalimat tersebut merupakan nukilan lirik lagu berjudul Sayur Kol yang dipopulerkan band Punxgoaran. Band punk asal Siantar, Sumatera Utara ini memang kerap mengusung budaya Batak dalam lagunya. Lagu Sayur Kol berkisah tentang seorang pemuda Batak yang berkelana ke Siborong-borong. Di tengah jalan dia terjebak hujan deras. Beruntung, seorang namboru (tante) boru Panjaitan mengajak sang pemuda berteduh di rumahnya. Di rumah namboru , mereka menyantap daging anjing dan sayur kol dengan nikmatnya.    Karena terdengar lucu, lagu itu kini jadi viral, bahkan anak bocah ikut menyanyikannya. Namun kritik datang dari komunitas pecinta satwa. Salah satunya Garda Satwa Indonesia yang menganggap lagu itu kurang etis. Sebabnya, yang tak banyak diketahui orang adalah proses pengolahan daging anjing terbilang sadis. Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan. Beberapa metode anarkis dipakai dalam menjinakkan anjing untuk kemudian dimasak. Mulai dari dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti. “Jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini. Jiwanya sudah sakit,” tulis Garda Satwa Indonesia dalam laman Facebook -nya . Komunitas seperti Garda Satwa Indonesia gencar menyerukan kampanye berhenti makan anjing. Masalahnya, bagi sebagian kalangan, daging anjing lumrah dimakan, salah satunya suku Batak.   Nikmat Bersama Tuak Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing. Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi santapan. Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli, punya jawaban. Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan.    “Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 . Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari Yale University, Profesor Karl Peltzer, yang datang untuk meneliti gejala erosi di Balige. Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus dengan cara khas Batak. “Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga. “Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta , mereka sering ditendangi, dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat, dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde. Mengisi Daya Tondi (Roh) Kebiasaan orang Batak makan daging anjing terbawa hingga ke perantauan. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an sering mendengar identifikasi yang ditujukan kepada orang Batak di Jakarta. Biasanya dilontarkan sebagai sentimen kesukuan atau ejekan. “Batak tukang makan orang atau tukang makan anjing – saya sendiri sering terkaget-kaget waktu ada yang melontarkan ejekan ini kepada saya karena kedua orang tua saya ‘cukup Islami’ dan saya agak takut dengan anjing,” kenang Firman Lubis.    Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya anjing, untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi, daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak. Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan kekuatan kepada tondi (roh) manusia. Daging anjing yang dicincang khas Batak (saksang). Sumber: Kaskus. Sebelum masuknya pengaruh agama Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan kebesaran tondi- nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan, dan harimau mempunyai persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain.  “Anjing mampu berlari cepat karena tondi -nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu . “Memakan daging anjing akan menambah persediaan tondi secara besar-besaran.” Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog Rudolf Pasaribu dalam Agama Suku dan Bataknologi , kebiasaan memakan anjing dalam tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian. Konsep magis demikian dalam masyarakat modern hari ini tak lebih dari omong kosong belaka. Kendati demikian, tradisi makan anjing telah terlegitimasi turun-temurun dari generasi ke generasi. Apalagi daging anjing disebut-sebut berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit lepra –yang belum terbukti secara medis– ataupun keluhan seperti keletihan akut. Dan tentu saja karena faktor rasa, yang katanya enak.

  • Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit

    PENDUDUK negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau. Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air. “Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra). Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca).   Yingya Shenglan  merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal. Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara. Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting. Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas. Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki. Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak. Kata W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, kemungkinan ini merupakan terjemahan kata pribumi untuk badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau. “Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” kata dia. Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya. Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak , yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua. Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti. Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk. Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk. “Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan kekerasan,” catat Ma Huan.*

  • Putus-Sambung Usaha Pemajuan Kebudayaan

    BANGSA yang maju adalah bangsa yang memahami dan menghargai budayanya. “Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaan sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju,” kata Ferdiansyah, ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan, saat memberi kuliah umum di Kongres Kebudayaan (KK) 2018, Rabu, 5 Desember 2018. KK 2018 yang dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 5-9 Desember 2019 merupakan upaya melanjutkan pencarian arah gerak budaya bangsa yang telah dirintis pada Kongres Budaya Jawa (KBJ) tahun 1918. Dalam KBJ, para cendekiawan berkumpul untuk mengupayakan persatuan guna meng- counter budaya kolonial. Upaya yang dilakukan di tengah penjajahan itu menjadi embrio perjuangan kaum nasionalis melalui budaya. Meski baru berfokus pada budaya Jawa, KBJ 1918 setidaknya memiliki semangat untuk melakukan gerak kolektif untuk memajukan kebudayaan Jawa. Salah satu amanat KBJ 1918 menjadi acuan penyelenggaraan kongres dan penyusunan strategi kebudayaan saat ini. “Dasar inilah yang menjadi acuan dengan menggarisbawahi kata maju dan mendasari nama UU Pemajuan Kebudayaan,” kata Ferdiansyah. Usaha Via Legislasi Usaha pemajuan kebudayan terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan pemajuan budaya melalui strategi kebudayaan. Kala itu pelaksanaannya melalui Kongres Budaya. Lewat rekomendasi yang dihimpun melalui kongres, strategi kebudayaan dijalankan masyarakat dan pelaku budaya. “Waktu itu belum ada birokrasinya, masyarakat bergerak sendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan baru ada tahun 1966. Sebelumnya ada Jawatan Kebudayaan namun perannya tak signifikan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kepada Historia . Rencana pembuatan hukum turunan Pasal 32 UUD 1945 baru dilakukan tahun 1982. Kala itu, Dirjen Kebudayaan Hariati Subadio mengadakan diskusi dengan para pakar tentang perlunya undang-undang yang mengatur soal kebudayaan. Namun, pembuatan UU Kebudayaan tak terlaksana lantaran terjadi perdebatan panjang tentang apa yang perlu diatur. Rencana itu pun berhenti pada tahap kajian. “Buat sebagain orang, termasuk saya, kebudayan yang begitu kompleks tidak mungkin diatur. Padahal, kalau bicara tentang undang-undang kebudayaan harus spesifik tentang rumusan dan objek yang akan diatur,” kata Hilmar. Lebih jauh Hilmar menambahkan, hal yang bisa diatur dalam UU Kebudayaan adalah tata kelolanya karena budaya hidup di masyarakat dan pemerintah tidak bisa meregulasi kompleksitas budaya. Kongres yang Putus-Sambung Kongres Budaya pertama pascakemerdekaan diselenggarakan tahun 1948. Para peserta kongres merumuskan strategi budaya yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Kongres terus berlanjut hingga 1960 namun terhenti di masa Orde Baru. Terhentinya kongres di masa Orde Baru disebabkan oleh pemerintahan yang sentralistik dan refpresif. Stabilitas dan keamanan negara yang menjadi dasar kebijakan Orde Baru tak memungkinkan diselenggarakannya kongres yang merupakan tempat menyuarakan pendapat. Namun, pada dekade akhir Orde Baru corong-corong suara mulai terbuka sehingga Kongres Kebudyaan bisa kembali dilaksanakan pada 1991. Pascareformasi, kongres dilaksanakan pada 2003 dan menjadi agenda reguler lima tahunan. Perlindungan dan pengembangan kebudayaan nasional yang rinciannya dibahas melalui kongres mendapat titik terang dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Kita punya payung hukum yang cukup kuat untuk memajukan kebudayan,” kata Hilmar. UU ini berpegang pada pokok pikiran kebudayan daerah, strategi kebudayan, rencana induk pemajuan kebudayaan, dan membahas tentang tata kelola kebudayaan. Hilmar menambahkan, selama ini problem perumusan UU Kebudayaan terhenti pada pendefinisian budaya. Dalam perumusan UU Kebudayaan 2017, Hilmar bersama tim dan DPR berusaha menghindari perdebatan itu dan berfokus pada masalah konkret dengan memastikan objek budaya yang akan dikembangkan. Ada 10 objek kebudayan yang akan dikembangkan, yakni manuskrip, adat-istiadat, tradisi lisan, ritus, pengetahuan, teknologi, olah raga, bahasa, kesenian tradisional, dan permainan rakyat. Sejak Maret 2018, masyarakat dilibatkan dalam penyusunan strategi kebudayaan dengan cara penjaringan data dari Kabupaten/Kota dan 40 sektor kebudayaan melalui komunitas. Data dari tingkat daerah itu selanjutnya dirumuskan dalam Sidang Pleno Kebudayaan (9/12), yang menghasilkan strategi kebudayaan sebagai langkah jangka panjang dan resolusi Kongres Kebudayaan yang segera dilaksanakan. Resolusi itu berisi tujuh poin, yaitu: penyediaan ruang budaya yang inklusif berupa Pekan Kebudayaan Nasional, regenerasi karya kreatif, diplomasi budaya, membangun pusat inovasi budaya, pelibatan seniman dalam kebijakan kepariwisataan, membentuk dana perwalian kebudayaan, memfungsikan kembali aset publik untuk kegiatan budaya. “Dana perwalian ini penting sekali. Program ini semacam dana hibah untuk kesenian yang dibentuk oleh trust fund . Kami harap tahun depan sudah bisa dilaksanakan,” kata Hilmar, ketika ditemui selepas penyerahan Strategi Kebudayaan (9/12). Sementara, strategi kebudayaan yang diserahkan kepada presiden di hari yang sama untuk disahkan menjadi Perpres menjadi acuan dalam kebijakan terkait budaya di 22 kementerian. Strategi Kebudayaan ini merupakan kerangka kebijakan yang akan dilaksanakan selama 20 tahun ke depan, dengan visi Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdasakan, mendamaikan, dan menyejahterakan. “Inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Orientasi kebudayaan tak boleh keluar dari etos keseharian masyarakat. Untuk menjamin keberlangsungannya, negara harus hadir mendukung ruang ekspresi yang penuh toleransi, beragam, dan inklusif,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya (9/12). Dengan adanya strategi kebudayaan, Hilmar berharap, tiap kekurangan dan masalah terkait budaya di kabupaten/kota seperti kekurangan sumber daya manusia, ruang, atau anggaran dapat diatasi. “Setelahnya ada konsolidasi sumberdaya untuk mengelola kebudayaan, SDM, lembaga, anggaran, program, semua terkoneksi,” kata Hilmar.

  • Utami, Srikandi Bulutangkis Putri

    SETIDAKNYA ada lima wakil Indonesia yang masuk nominasi BWF Player of the Year 2018, sebuah penghargaan yang diberikan kepada para pebulutangkis jempolan dunia saban akhir tahun. Tiga di antaranya pebulutangkis putri. Ini menandakan Indonesia belum kehabisan talenta di nomor putri kendati harus diakui belakangan sulit menyandingkan diri dengan China, Korea, India, Jepang, bahkan Denmark. Tiga nama itu adalah Gregoria Mariska Tunjung dan Apriani Rahayu di kategori Eddy Choong Most Promising Player of the Year, dan Leani Ratri Oktila di kategori Female Para-badminton Player of the Year. Tentu ada harapan nama-nama itu akan menyambung kelegendaan putri-putri Indonesia di panggung bulutangkis dunia. Pebulutangkis putri Indonesia sudah lama absen “bicara” di pentas dunia. Terakhir, era Susi Susanti dan Mia Audina yang sudah lebih dari 20 tahun. Keduanya merupakan pemegang tongkat estafet yang sudah dimulai sejak akhir 1960-an oleh Minarni Soedarjanto, Imelda Wiguno, Theresia Widiastuti, Regina Masli, dan Utami Dewi Kurniawan. Nama terakhir tak lain adalah adik maestro bulutangkis Rudy Hartono. “Utami dulu sama-sama main dengan saya memperkuat tim Uber Cup 1975,” ujar Regina Masli mengenang keberhasilan tim putri Indonesia merebut Uber Cup pertama, kepada Historia. Lahir dari Keluarga Besar Pendiri Suryanaga Utami merupakan satu dari delapan saudara kandung Rudy Hartono. Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia mencatat, sosok bernama Tionghoa Nio Pik Wan itu lahir di Surabaya pada 16 Juni 1951. Sebagai anak dari pendiri PB Suryanaga Zulkarnain Kurniawan (Nio Siek In), Utami ketularan doyan bulutangkis sejak kecil. Seperti Rudy, Utami, Eliza Laksmi Dewi, Freddy Harsono, Diana Veronica, Tjosi Hartanto dan Hauwtje Hariadi dilatih bulutangkis oleh ayahnya sendiri di perkumpulan bulutangkis yang sebelum 1966 bernama Naga Kuning. Seiring perjalanan waktu, hanya Rudy, Eliza, dan Utami yang mampu mengukir nama di pentas bulutangkis nasional, bahkan internasional. Utami, sebagaimana diungkap Dhahana Adi Pungkas dalam Surabaya Punya Cerita: Vol 2 ½ , sudah mampu mencicipi gelar kejuaraan nasional yunior pada 1967. Prestasinya bertambah dengan juara Kejurnas 1971-1975. Utami juga menyumbang medali emas untuk Kontingen Jawa Timur di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969 (tunggal dan ganda putri), 1973 (tunggal putri), dan 1977 (beregu putri). Pada Olimpiade 1972 di Munich, Jerman, kala bulutangkis masih jadi olahraga demonstrasi (belum masuk cabang resmi), Utami turut ambil bagian di nomor tunggal putri. Utami melaju hingga partai puncak sampai dihentikan wakil Jepang Noriko Nakayama dalam dua set (11-5, 11-3). Meski hanya runner up , pencapaian di tingkat internasional itu menambah deretan gelar yang disabet Utami. Sebelumnya, dia merengkuh gelar Kejuaraan Asia 1971 dan medali emas Asian Games 1970. Prestasi tersebut membuat Utami kembali diikutkan pada tim Uber Cup 1975. Sebelumnya, Utami menjadi bagian tim Uber Cup 1969 dan 1972. Prestasi itu merupakan buah kerja keras Utami, yang menurut Regina, “Orangnya serius. Gaya mainnya seperti Taty Sumirah.” Di Negeri Paman Sam Seperti Minarni dan Regina Masli, prestasi paling prestisius Utami dicapai ketika memenangi Uber Cup 1975. Selebihnya, Utami beberapa kali juara, seperti di Australian Open 1975, Mexican Open 1979, South African Open 1980 dan US Championship 1981. US Championship 1981 alias Kejurnas-nya Amerika merupakan kejuaraan terakhir Utami. Itu jadi puncak kariernya hingga membuatnya masuk majalah olahraga ternama Sports Illustrated . Saat mengikutinya, Utami sudah menjadi warga negara Amerika. Setelah dipinang pebulutangkis Amerika Chris Kinard, Utami pindah kewarganegaraan pada 1978. Sejak itu, dia hampir tak pernah komunikasi dengan mantan rekan-rekannya. Regina, yang bekerja di Loma Linda University Behavioral Medicine Center, Redlands dan juga tinggal di California, mengakui hal itu. “Dia tidak suka media sosial untuk berkontak. Dia tinggal di Pasadena. Sekarang sibuk mendampingi anak-anaknya main tenis,” kata Regina.

  • Majapahit dalam Catatan Ma Huan dan Sejarah Dinasti Ming

    BILA berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun. Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih. Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok. Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja. Demikianlah catatan Ma Huan dalam Yingya Shenglan. Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dia menyebutkan kota-kota penting di Jawa yang berada di daerah peisisir sebagai tempat-tempat berlabuh pertama. “Selain Majapahit, Ma Huan menyebut Tuban, Gresik, dan Surabaya, dan memang inilah kota penting masa itu,” ujar Nurni. Tiga Golongan Penduduk Jawa Ma Huan juga membagi penduduk Jawa ke dalam tiga golongan. Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan. Kedua, golongan Tangren atau Tenglang . Ini merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus. “Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit konon Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni. Nurni juga mengatakan bahwa Ma Huan adalah orang pertama yang menyebut penduduk Jawa yang berasal dari Tiongkok. Meski kedatangan orang Tiongkok di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6 M. Ketiga, masyarakat pribumi. Tak seperti sebelumnya, masyarakat dalam golongan ini tercatat sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Mereka juga memelihara anjing di dalam rumah. Bersama anjingnya, mereka tidur dan makan tanpa risih. “Buku ajaran Buddha pernah menyebutkan adanya negeri-negeri setan, inilah salah satu wilayahnya,” catat Ma Huan. Belum lagi soal makanan. Ma Huan menilai makanan penduduk pribumi sangat kotor dan jorok. Contohnya, semut, berbagai jenis serangga, dan ulat. Makanan itu pun hanya dipanaskan sebentar di atas api untuk kemudian ditelan. “Kurang lebih seperti ini yang dilihat Ma Huan. Jadi selain kota juga kehidupan penduduknya,” lanjut Nurni. Berbeda dengan karya Ma Huan, sumber lainnya, yaitu Ming Shi lebih memuat soal hubungan bilateral Tiongkok dan Jawa. Ming Shi merupakan catatan sejarah resmi Dinasti Ming. Dalam catatan ini Majapahit disebut dalam bab tentang “Jawa”. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting,” kata Nurni. Dibandingkan penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan misalnya, isinya sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singhasari. Menurut Nurni, pada masa Dinasti Ming berbeda. Sudah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang. Pun soal bagaimana menjaga hubungan walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok. “Kenapa sampai begitu, karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi. Itukan masalah uang dalam jumlah besar,” jelas Nurni. Narasi tentang Majapahit cukup panjang bila dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. “Ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah. Baru terakhirnya sedikit tentang kondisi umum Jawa,” kata Nurni.  Dari naskah itu terlihat pula kalau Jawa lebih dari 30 kali mengunjungi Tiongkok. Penyebabnya ada dua pendapat berbeda. Tiongkok dianggap memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Jawa, demi mendapatkan keuntungan yang besar darinya, membangun hubungan resmi dengan cara mengirim upeti. “Karena orang Jawa katanya kasih cuma sedikit, bisa bawa pulangnya banyak. Jawa membawa hasil bumi ke Cina, sementara saat meninggalkan Cina digambarkan membawa barang-barang bagus, hadiah dari kaisar,” kata Nurni. Namun, beberapa sejarawan, kata Nurni, berpendapat lain. Baik Jawa dan Tiongkok sebenarnya sama-sama diuntungkan. “Kenapa? Jangan lupa hasil bumi Jawa itu luar biasa kaya. Kalau dijual di sana harganya bisa lima kali lipat,” jelasnya. Misalnya, lada. Lada kerap menjadi komoditas selundupan ke Tiongkok. Garam sudah menarik perhatian pedagang Tiongkok sejak abad ke-6 M. Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majaphit,” ujar Nurni.*

  • OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie Wibowo

    KRISTIANI Herrawati cemas dan was-was. Ayahnya, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, akan menempati pos baru di Irian Barat sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Sarwo memang dipersiapkan untuk misi khusus. Dia harus menjamin penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua berjalan aman dan berakhir dengan kemenangan di pihak Indonesia. “Orang-orang melukiskan Irian pada saat itu sebagai sebuah tempat yang mengerikan. Alamnya masih perawan dan berbagai pemberontakan sering terjadi,” tutur Kristiani kepada Alberthiene Endah dalam Kepak Sayap Putri Prajurit . Yang dikhawatirkan benar terjadi. Pada awal Mei 1969, Sarwo menumpang pesawat kecil Twin Otter milik maskapai Merpati Nusantara Airlines menuju Enarotali, Kabupaten Paniai. Kepergian Sarwo ke Enarotali sehubungan dengan sosialisasi dan kampanye Pepera. Selain Sarwo, AKP Sukanto (Komandan Resort Kepolisian Nabire) dan Mayor Tb. Hasanudin (Komandan Kodim 1705 Nabire) juga berada dalam pesawat yang sama. Siapa nyana, dalam penerbangan itu, Sarwo hampir kehilangan nyawa. Ketika hendak mendarat, tiba-tiba pesawat digempur tembakan bertubi-tubi dari bawah. Rentetan tembakan menyebabkan tangki bahan bakar bocor. Dari daratan tampak bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkibar. Pesawat akhirnya mendarat darurat di Nabire setelah terbang terseok-seok karena bahan bakar yang menipis. Sarwo Edhie berhasil menyelamatkan diri. Sementara AKP Sukanto menderita luka-luka akibat terkena tembakan di kakinya. “Peristiwa penembakan terhadap pesawat Twin Otter MNA oleh anggota Kepolisian putra daerah yang dihasut oleh OPM itu, di kemudian hari dikenal sebagai Peristiwa Enarotali,” tulis jurnalis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando . Peristiwa Enarotali berawal dari rasa kecewa penduduk terhadap pemindahan ibu kota Paniai ke Nabire diikuti dengan pergantian aparat birokrat lokal oleh pendatang. Mereka menghendaki ibu kota kabupaten berada di Enarotali. Mereka juga menolak kehadiran pendatang, termasuk para guru, sukarelawan, dan ABRI yang kemudian menjurus menjadi gerakan antipemerintah. Menurut Hendro yang saat itu meliput operasi militer di Irian Barat, kekecewaan rakyat Enarotali dimanfaatkan oknum separatis untuk memasukkan ideologi OPM kepada penduduk dan anggota polisi putra daerah. Landasan terbang Wagete dan Enarotali dirusak. ABRI setempat terisolasi. Mereka mengancam agar para petugas dan pendatang meninggalkan Wagete sampai akhir April 1969. Aksi ini kemudian memuncak dengan penembakan terhadap pesawat yang ditumpangi Panglima Kodam Sarwo Edhie Wibowo. Dalam keterangannya yang dilansir Kompas 13 Mei, 1969, Sarwo mengatakan tak akan membalas aksi kelompok bersenjata itu. “Pradjurit Indonesia adalah pradjurit Pantjasila, bukan pradjurit pembunuh,” kata Sarwo. Pernyataan Sarwo itu merupakan bantahan terhadap siaran oleh radio dan pers luar negeri yang memberitakan operasi militer TNI. Namun nyatanya, TNI memang menindak tegas para pemberontak di Paniai. Sarwo mengeluarkan perintah tempur kepada anak buahnya dengan melancarkan operasi militer lintas udara. Sebanyak 634 penduduk sipil diindikasikan terbunuh dalam operasi ini. Kebijakan tangan besi sang panglima tampaknya menjadikan Sarwo sebagai sasaran OPM. Menjelang Pepera, pada 24 Juni aparat keamanan menangkap basah seorang warga Belanda anggota Fund for West Irian (FUNDWI) bernama Hans Reiff. Berdasarkan laporan intelijen, Reiff disinyalir ikut berkomplot dengan kelompok OPM yang kerap menggelar rapat gelap di Jayapura. Sebuah dokumen yang ikut disita bersama Reif menguak rencana menyabotase Pepera. Nama Sarwo Edhie ikut terseret. Dokumen yang termuat dalam risalah terbitan Departemen Luar Negeri berjudul “Fakta dan Data Perkembangan Gerakan Separatis OPM sampai akhir 1975” itu menyebutkan Sarwo Edhie sebagai salah satu target penculikan dan pembunuhan bersama Fernando Ortis Sanz, delegasi PBB di Papua (UNTEA).  Tak hanya memburu Sarwo, istrinya Sunarti Sri Hardiyah juga ikut ketiban teror. Sebagaimana dikisahkan Kristiani, semasa Sri mendampingi Sarwo bertugas di Irian Barat, pemandangan laki-laki setempat membawa senjata tajam sering terlihat. Sebagian warga Irian yang enggan bersatu dalam NKRI terus-menerus melancarkan serangan pada pasukan TNI dan keluarganya.  “Alhamdulilah Papi dan Ibu bisa menjaga keselamatan diri,” ujar Kristiani yang kelak dipersunting istri oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6. Barangkali karena pengalaman itu pula, SBY cukup tegas terhadap aspirasi rakyat Papua. Selama dua periode pemerintahannya (2004-14), SBY tak pernah mengizinkan rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora.*

bottom of page