Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Menjebak Antek Belanda via Asmara
UNTUK mempertahankan kemerdekaan yang dirongrong Belanda-NICA, para pejuang menempuh segala cara, termasuk dengan merekrut kembang desa untuk dijadikan penarik mangsa. Peran itu antara lain dimainkan oleh Marsilah, kembang desa berumur 16 tahun yang tinggal di Klitren Kidul, Gondokusuman, Yogyakarta. Paras ayu Marsilah membuat para pemuda desa, baik yang pro-Belanda ataupun pro-republik, berebut ingin jadi kekasihnya. Ikhsan, polisi pro-Belanda, salah satunya. Ikhsan, menurut Galuh Ambar Sasi dalam Gelora di Tanah Kraton, merupakan inspektur polisi yang terkenal kejam. Dia suka menyiksa bahkan membunuh pejuang yang ditangkap. Ia juga suka mempermainkan perempuan, punya banyak kekasih, dan tak segan memperkosa mereka. “Ikhsan selain pro-Belanda juga bukan lelaki baik. Ia sering memperkosa perempuan-perempuan.” kata Galuh pada Historia.id. Ketika Ikhsan mengajak Marsilah kencan, si gadis menurutinya. Namun sebelum kencan berjalan, Marsilah yang was-was dan tak ingin bernasib seperti para perempuan korban Ikhsan, menceritakan ajakan kencan tersebut pada gerilyawan bernama Kasbun. “Kebetulan, Kasbun yang pro-republik juga terpesona dengan Marsilah,” sambung Galuh. Kasbun terpaksa menekan perasaan cintanya dengan membujuk Marsilah untuk ikut mengiyakan ajakan Ikhsan. Dia membujuk Marsilah ikut dalam operasi bersandi Mapag Penganten, operasi yang dirancang Kasbun dan teman-temannya untuk menjebak Ikhsan. Mereka sudah lama gerah pada sepak terjang Ikhsan yang membunuh rekan-rekan seperjuangan mereka. Pada 15 Maret 1949, operasi dilaksanakan. Sambil berkencan, Marsilah mengarahkan target operasi ke tempat penjebakan. Mula-mula mereka berjalan-jalan di sekitar Toko Perak Tjokrosoeharto, Jeron Beteng. Kasbun beserta rekan-rekannya terus membuntuti kencan mereka dengan menyamar sebagai pegawai toko. Ikhsan yang sedang dimabuk asmara tak menaruh curiga pada Marsilah. Ketika Marsilah berhasil menggiring Ikhsan sampai ke Kampung Taman (daerah Taman Sari), dia langsung ditangkap Kasbun dan kawan-kawan. Kampung Taman terkenal sebagai markas pejuang di masa revolusi. Setiap orang pro-Belanda yang masuk ke daerah Taman Sari, dipastikan pulang hanya tinggal nama. Hal yang sama terjadi pada Ikhsan. “Ia diseret ke tengah Kampung Taman. Orang-orang mengulik informasi tentang pihak Belanda, lantas membunuhnya,” kata Galuh. Kabar kematian Ikhsan akhirnya sampai ke para pribumi pro-Belanda. Keesokan harinya, Marsilah beserta ayah-ibunya, juga Kasbun ditangkap lantaran menjadi dalang pembunuhan Ikhsan. Selama dipenjara, Marsilah mengalami penyiksaaan dengan disetrum dan mendapat pelecehan seksual. Marsilah baru dibebaskan pada 19 Maret 1949 ketika Bambang Sungkono, pemimpin kelompok Kasbun, menyerahkan diri. Sejak itu, “Kembang Klitren” memperoleh kembali kebebasannya. Namun, kisah tentangnya tertimbun dalam narasi besar sejarah.
- Korea Bersatu di Arena
LANGIT di atas Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) cerah Sabtu (18 Agustus 2018) malam itu, seolah tersenyum mengiringi gempita upacara pembukaan Asian Games XVIII. Banyak orang, termasuk media asing, mengagumi upacara pembukaan itu yang oleh beberapa pihak dianggap melebihi pembukaan Piala Dunia 2018, Olimpiade Musim Panas 2016 Rio de Janeiro, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeongchang. Hal yang juga patut jadi perhatian lebih dalam adalah defile kontingen. Meski ada 45 negara yang terdaftar ikut, hanya 44 kontingen yang menyapa puluhan ribu penonton di stadion. Yang menarik, kontingen Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) melebur jadi satu rombongan dengan satu bendera: bendera Unifikasi Korea atau Korea Bersatu yang berwarna dasar putih dengan motif Semenanjung Korea berwarna biru di tengahnya. Bendera itu diusung pebasket putri Korsel Lim Yung-hui dan pesepakbola Korut Ju Kyong-chol. Ketika rombongan mereka melintas di tengah arena, Perdana Menteri (PM) Korut Ri Ryong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yong langsung berdiri, bergandengan tangan serta melambaikan tangan kepada kontingen. Selain kontingen tuan rumah, kontingen Korea yang mendapat sambutan paling ramai. Itu kali pertama kedua negara ber- defile sebagai satu kesatuan dan kali kedua bendera unifikasi muncul di pentas Asian Games. Bendera itu juga eksis di Asian Games 1990 di Beijing walau tak menaungi atlet manapun. Asian Games 2018 juga jadi kali kedua atlet-atlet dari kedua Korea tampil di bawah tim unifikasi setelah di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, 9-25 Februari 2018. Di Pyeongchang, tim Unifikasi Korea tampil hanya di cabang hoki putri. Di Asian Games 2018, tim Unifikasi Korea turun di cabang basket putri, perahu naga putra dan putri, serta dayung putra dan putri. Perang dan Rekonsiliasi Warga kedua Korea pernah saling bunuh dalam Perang Korea (1950-1953). Akibat perang itu, menurut data Kementerian Pertahanan Korsel tanggal 20 Januari 2013, sekitar 178 ribu serdadu Korsel, 750 ribu tentara Korut, dan 2,5 juta warga sipil di utara dan selatan tewas. Serdadu Korut dalam Perang Korea (Foto: Korean Central News Agency) Perang yang hanya dihentikan sementara lewat gencatan senjata itu juga mengakibatkan banyak keluarga hidup terpisah, seperti yang dialami keluarga Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern dari Korean Cultural Centre. “Mama saya aslinya dari (Korea) Utara. Waktu zaman perang, dia kabur ke (Korea) Selatan. Sampai sekarang, dia hidup terpisah dari orangtua dan keluarganya yang lain,” ujarnya kepada Historia. Di tataran akar rumput, banyak masyarakat Korea menginginkan reunifikasi. Keinginan itu mulai berhembus tahun 1969, kala Badan National Unifikasi (kini Kementerian Unifikasi) didirikan di masa kepresidenan Park Chung-hee. “Tentu ada pro dan kontranya. Soal ini sangat anti dibahas di zaman presiden sebelumnya, Rhee Syngman,” Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menimpali. Upaya unifikasi baru benar-benar diimplementasikan pada 1998, semasa Korsel diperintah Presiden Kim Dae-jung. Kim mengeluarkan Kebijakan Sinar Matahari yang bertujuan untuk mengambil hati pihak Korut dengan mendorong interaksi langsung terkait bantuan ekonomi. “Terus upaya unifikasinya dilanjutkan di era kepresidenan Roh Moo-hyun yang waktu itu meninggalnya bunuh diri. Presiden Roh juga sempat diterpa tekanan dari kubu oposisi yang menentang hubungan dengan Korut,” lanjut Rostineu. Isu tentang hubungan dengan Korut, kata Bae, masih sensitif di Korsel. “Di Korea Selatan, masyarakatnya sudah banyak yang ingin bersatu kembali. Kalau di pemerintahnya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Kalau pemerintah di Korut, saya tidak tahu persis bagaimana perhatian terhadap isu ini,” ujar Bae. Bae Dong-sun dari Korean Cultural Center (Foto: Randy Wirayudha) Di mata elit pemerintahan, olahraga tampaknya jadi sarana paling pas untuk rekonsiliasi. “Ketimbang politik atau ekonomi, olahraga paling mudah untuk memulai upaya persatuan lagi. Itu cara paling baik daripada konflik untuk bisa bersatu, terutama dengan keluarga yang terpisah di utara,” imbuhnya. Belakangan, hubungan kedua negara mulai erat. Terlebih setelah pemimpin Korut Kim Jong-un dengan Presiden Korsel Moon Jae-in menandatangani Deklarasi Panmunjom pada 27 April 2018. Deklarasi itu jadi tonggak sejarah baru upaya mengakhiri Perang Korea secara permanen.
- Karakter Pemimpin Muslim Ideal
RAJA yang memerintah rakyat dengan adil sama dengan orang yang pergi haji ke Makkah sebanyak enam puluh kali. Raja yang adil juga akan beroleh ganjaran dari Tuhan sebesar orang yang salat seribu kali. Begitulah Kitab Taj us-Salatin mengiming-imingi para sultan di masa lalu agar menjadi pemimpin yang baik. Dari 24 bab, sembilan bab berisi pedoman menjadi raja. Sejarawan Danys Lombard menjelaskan Taj us-Salatin berarti Mahkota Raja-Raja. Penulisnya menyebut diri Bokhari ul-Jauhari. Namanya bisa diterjemahkan menjadi "Bokhari si pandai emas" atau "Bokhari yang berasal dari Johor." “Dibuat pada 1012 H (1603/4 M), Taj al-Salatin merupakan sebuah persembahan bagi raja Sultan Alaudin Riayat Syah,” tulis Lombard dalam Kerajaan Aceh. Kitab itu memandang kekuasaan politik merupakan bagian tak terlepasakan dari agama. Terutama berkaitan dengan tugas pemimpin sebagai pengatur masyarakat. Bahkan disejajarkan dengan tugas kenabian, yaitu membimbing manusia ke jalan yang benar. Syaratnya sungguh tak mudah. "Kedua tugas ini harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan sebagai 'dua permata dalam satu cincin'," kata Jajat Burhanudin, dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah. Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menerangkan bahwa Taj us-Salatin memuat kriteria para raja. Mereka harus memiliki kualifikasi untuk menjalankan tugas-tugas politik maupun tugas kenabian. Adil dan Ihsan Yang termasuk dalam kualifikasi itu kalau sang raja mampu bersikap adil. Dijelaskan dalam kitab itu, adil berasal dari bahasa Arab, adl yang bermakna jujur. Ini merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama, di mana kebenaran muncul, baik dalam ucapan maupun tindakan raja. Sifat itu kemudian harus datang bersama ihsan (kebaikan). “ Adil didefinisikan sebagai hal terbaik bagi para raja, sehingga raja yang tidak memiliki kedua kondisi ini ( adil dan ihsan ) tidak dapat diakui sebagai raja yang sejati,” jelas Jajat. Taj us-Salatin kemudian juga mengklasifikasi konsep adil ke dalam beberapa kualitas yang harus dimiliki raja. Raja adil, kata teks itu, adalah yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama. Ia juga harus memperhatikan kondisi sosial rakyatnya. Pun senantiasa menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Raja adil juga harus melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan. Ia pun dituntut untuk mirip seperti para nabi dan wali dalam tugasnya. “Raja juga harus mengetahui rakyatnya berdasarkan rasio ( akal budi ), sehingga mampu membedakan antara baik dan buruk, antara kebahagiaan dan bahaya, dan antara adil dan yang tidak adil ," lanjutnya. Ditekankan pula dalam karya itu, raja setidaknya mengetahui ilmu kirafat dan firasat. Dengan ilmu itu, raja akan mampu memahami secara tepat karakter dasar manusia. Khususnya bagi orang-orang yang bakal diangkat sebagai pejabat resmi istana. Menurut Jajat begitu pentingnya konsep adiltidak hanya menjadi rumusan raja ideal. Konsep adil juga menunjukkan keberadaan kerajaan dan sumber stabilitas sosial kerajaan. “ Adil diletakkan dalam arah yang berlawanan dengan zalim atau situasi tirani,” jelasnya. Maksudnya, jika konsep adil dijadikan sebagai kriteria raja yang ideal, zalim merupakan kriteria bagi raja yang tak adil. Adapun konsep adil merupakan jaminan bagi keberadaan kerajaan yang stabil. Sementara zalim menjadi faktor utama bagi kekacauan dan kehancuran. Witjaksana Meski dikaitkan dengan istilah Arab, kata Jajat, konsep ini sesuai dengan budaya politik Nusantara. Meski dengan istilah berbeda, spirit adil dapat ditemukan dalam tradisi Jawa: witjaksana atau kawitjaksanaan. “Seperti adil , pengertian witjaksana juga menunjukkan kesempurnaan dalam diri seorang raja yang memerintah kerajaan,” katanya. Konsep witjaksana telah mapan di Nusantara pada abad ke-17 dan 18. Ia didefiniskan sebagai suatu kapasitas yang sangat dihormati dan langka. Itu tak hanya menganugerahi pemiliknya dengan tingkat pengetahuan yang sangat luas. Namun, juga kesadaran yang mendalam terhadap realitas dan kepekaan terhadap keadilan. Seperti juga adil,witjaksana adalah konsep politik Jawa untuk menunjukkan raja ideal yang memiliki kemampuan menimbang untung-rugi dalam suatu keputusan yang rumit. Bukan cuma itu, konsep ini juga berarti kepekaan yang tajam dalam membuat keputusan untuk mengendalikan situasi, khususnya dalam menjaga tata-kosmik. Taj us-Salatin juga menjadikan ajaran sufi untuk merumuskan nasihat moral bagi para raja. Teks itu meminta raja dan para pejabatnya agar selalu mengingat kiamat kehidupan di mana martabat dan kemakmuran yang mereka miliki akan lenyap. Lombard menduga karya itu kemungkinan besar sangat terkenal di Nusantara. Naskahnya ditemukan dalam jumlah besar. Apalagi pada abad 19 adaptasi naskahnya dibaca pula di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Tak hanya itu, pada masa Thomas Stamford Raffles menduduki Singapura, sultan di sana memerintah dengan mengacu pada Taj us-Salatin. Sekretaris Raffles, Abdullah Munsyi, juga menggunakannya ketika akan mengetahui watak sang letnan gubernur Inggris itu. Munsyi melakukannya dengan berpanduan pada asas ilmu firasat yang ditemukannya di Taj us-Salatin. " Taj us-Salatin adalah suatu teks tentang cermin bagi para raja di Nusantara. Rumusan nasihat moral bagi sikap politik raja menjadi substansi utama teks itu,” ujar Jajat.
- Sepakbola Palestina Merentang Masa
TAMPIL di hadapan sekitar 28 ribu pendukung tuan rumah di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, Rabu (15/8/2018), tim Palestina U-23 tak nampak tertekan. Abdallatif al-Bahdari dkk. serasa bermain di rumah sendiri. Sejumlah bendera Palestina dipajang, dikibarkan, bahkan dikoreografikan suporter timnas Indonesia U-23. Memang beberapa kali terdengar sorakan sumbang saat para pemain Palestina memegang bola. Tapi anehnya, sekali-dua kali turut terdengar nyanyian dukungan, “ Palestina…Palestina! ” dari suporter Indonesia. Apa yang terjadi di laga penyisihan Grup A cabang sepakbola putra Asian Games 2018 itu jadi bukti solidaritas bangsa Indonesia dan Palestina sangat erat. Indonesia sejak masa Presiden Sukarno sudah pasang badan di barisan terdepan mendukung kemerdekaan Palestina. Dari waktu ke waktu, bantuan terus disalurkan ke Tepi Barat maupun Jalur Gaza, termasuk pendirian Rumahsakit Indonesia di Palestina. Sejumlah Bendera Palestina Dibentangkan Suporter Indonesia (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Mau tak mau, perkara politik masuk ke arena. Kendati berulang kali PSSI (induk sepakbola Indonesia) mendenda klub-klub Liga Indonesia gara-gara suporternya membentangkan bendera Palestina, bendera Palestina tetap saja jadi panji kedua yang diusung para suporter di Stadion Patriot. Di konferensi pers pasca-pertandingan, pelatih timnas Palestina Ayman Sandouqa menghaturkan terimakasihnya. “Terimakasih untuk para suporter Indonesia yang mendukung kami meskipun kami melawan tim tuan rumah,” ujar Sandouqa. Suporter Indonesia memang menundukkan kepala lantaran tim pujaannya kalah 1-2 dari Palestina. Namun, itu tak melunturkan solidaritas begitu saja. Dari pengamatan Historia, sejumlah suporter Indonesia yang berkerumun di luar stadion pasca-pertandingan, ikut menyorakkan chant “Palestina” kala bus tim Palestina perlahan meninggalkan stadion. Pemain dan Pelatih Palestina dalam Preskon Pascalaga Berterimakasih atas Dukungan Suporter Indonesia (Foto: Randy Wirayudha) Buat Tim Garuda, hasil yang diperoleh memang menyakitkan lantaran punya target mencapai semifinal. Terlebih, Indonesia sudah lama menikmati kemerdekaan namun tetap inferior dari tim Palestina yang sampai detik ini masih dirongrong tetangganya, Israel. Lembar Sejarah Sepakbola Palestina Titik nol permainan si kulit bundar di Palestina dan Indonesia sebenarnya tak berbeda jauh. Induk sepakbola mereka berdiri pada 1928, tahun yang sama dengan berdirinya Persija Jakarta. Tapi jauh sebelum itu, sepakbola sudah menular di Palestina setelah dimainkan para serdadu Inggris di masa Perang Dunia I. Virus bola itu lalu menular ke masyarakat. Namun, menurut Richard Henshaw dalam The Encyclopedia of World Soccer , perkembangan sepakbola di Palestina pasca-Perang Dunia I justru bergulir hanya di kalangan orang-orang Yahudi. Orang-orang Arab muslim saat itu masih dilarang main bola karena dianggap budaya orang Barat. Alhasil, saat kewenangan Palestina di tangan British Mandatory, klub-klub yang berkembang hanya milik orang-orang Yahudi. Selain Maccabi Haifa, ada Hapoel Tel Aviv atau klub milik orang Inggris, The Gaza Flyers. Baru setelah itu klub-klub orang Arab Palestina lahir, salah satunya Islamic Sports Club. Klub milik keluarga Nusseibeh itu satu-satunya klub Arab Palestina di antara 14 tim Yahudi yang ikut mendirikan induk sepakbola Palestina, Palestine Football Association (PFA), pada 14 Agustus 1928 di Yerusalem. “Pada 1929 sebenarnya PFA sudah diterima sebagai anggota FIFA dengan pengajuannya direkomendasikan Mesir. Mereka diterima setelah PFA menggulirkan kompetisi yang diikuti klub-klub dari semua golongan. Strukturnya ada Divisi Utama dengan 10 tim, Divisi Dua dengan 20 tim, dan Divisi Tiga dengan 39 tim,” ungkap J. A. Mangan dalam Europe, Sport, World: Shaping Global Societies. Timnas Palestina Tahun 1931 yang Mayoritas Berisikan Pemain Yahudi (Foto: Israel Football Association) Laga internasional perdana timnas Mandatory Palestine terjadi saat menjalani laga persahabatan kontra Mesir di Kairo, 16 Maret 1934. Mereka datang dengan bendera Inggris dan lagu kebangsaan “God Save the King”. Di laga itu, Palestina dikoyak 1-7. Namun, sepeninggal Inggris pada 1948 semuanya berubah. Benih-benih konflik timbul. PFA yang awalnya menaungi semua klub dan pemain multi-etnis, sempat vakum dan kemudian diambilalih Israel. Namanya berubah jadi Israel Football Association (IFA). Pihak Palestina baru bisa membangun sepakbolanya lagi dengan terbentuknya Arab National Football League dan PFA baru pada 1962. Sebagaimana banyak negara yang baru atau ingin merdeka, Palestina mengajukan keanggotaan ke FIFA. Namun, banyak syarat yang menggagalkan upaya itu. Satu yang terpenting, soal pemerintahan (legitimasi politik). Hingga 1994, belum ada otoritas pemerintahan yang benar-benar berdiri di Palestina. Kondisi itu baru berubah setelah berdirinya Palestinian National Authority (PNA) yang lahir dari kesepakatan Palestine Liberation Organization (PLO) dengan Israel via Oslo Accords pada 1993. Tonggak baru bagi kehidupan masyarakat Palestina itu ikut masuk ke persepakbolaan. Pada 1998, Palestina diterima sebagai anggota FIFA dan resmi jadi anggota Asian Football Confederation (AFC) pada 2001. “Kompetisi pertama yang diikuti timnas Palestina setelah masuk FIFA adalah Pan-Arab Games 1999 di Yordania. Di bawah pelatih asal Argentina Ricardo Carugati, mereka tampil hebat dengan finis di urutan tiga,” tulis John Nauright dan Charles Parrish dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice Volume 2. Namun karena wilayah negerinya terpisah dua, demi pembinaan dan pengembangan sepakbolanya PFA mesti menaungi dua liga: Liga Jalur Gaza dan Liga Tepi Barat. Perkembangan sepakbola di Palestina pun tak bisa semulus negara lain. Terlebih sejak adanya blokade Israel di Gaza yang sempat melumpuhkan aktivitas sepakbola di sana. “Pada umumnya Tepi Barat-lah yang kemudian jadi pusat baru persepakbolaan Palestina,” imbuh Nauright dan Parrish. Hampir semua fasilitas olahraga hancur akibat konflik berkepanjangan Palestina-Israel. Untuk berlatih atau bertanding di beragam kompetisi regional maupun internasional, timnas Palestina mesti mengungsi ke Yordania, bahkan kadang sampai ke Qatar. Penderitaan itu membuat FIFA beberapakali menggulirkan program bantuan, mulai “Goal”, pengembangan sepakbola, hingga bantuan rekonstruksi stadion-stadion di Palestina. Salah satunya, Stadion Faisal al-Husseini di Ramallah. Stadion yang hancur itu dibangun kembali dan diresmikan 26 Oktober 2008 oleh Presiden FIFA Sepp Blatter. Lewat Nota Kesepahaman yang ditandatanganani pada September 2013, FIFA juga membentukTim Khusus (Timsus) Israel-Palestina yang berisi perwakilan FIFA, IFA, dan PFA. “Fakta bahwa pihak Israel dan Palestina sepakat untuk berpartisipasi dana timsus ini, sudah jadi pertanda niat baik di antara keduanya dalam hal perdamaian,” kata Blatter di laman FIFA, 3 September 2013. Timnas Palestina U-23 di Stadion Candrabaga, Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Meski realitanya Palestina masih direcoki Israel yang berulangkali menimbulkan banjir darah, timnas Palestina mulai bisa unjuk gigi dalam prestasi. Pada 2014, Palestina juara AFC Challenge Cup. Setahun kemudian, mereka lolos untuk kali pertama ke Piala Asia 2015 di Australia meski hanya berakhir di fase grup. Tak salah bila suporter Indonesia di Stadion Patriot respek pada mereka. Meski perang terus merundung Palestina, mereka mampu melangkah setapak demi setapak namun pasti. “Kita akui, Palestina memang satu level di atas kita,” ucap kiper timnas Andritany Ardhiyasa usai laga melawan Palestina.
- Topi Tangerang Masyhur di Negeri Orang
TERPILIHNYA KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden sedikit-banyak ikut memperbaiki citra Tangerang yang belakangan sering jadi pemberitaan miring akibat banyaknya kejahatan. Sejarah membuktikan, kejahatan di Tangerang memang banyak sudah sejak ketika wilayah itu masih bagian dari Ommelanden di masa kolonial. “Hasil perampokan individu di Ommelanden sering cukup besar,” tulis Margreet van Till dalam Banditry in West Java: 1869-1942. Kejahatan itu muncul sebagai ekses dari ramainya perniagaan di sana. Selain sebagai produsen beras, Tangerang merupakan wilayah industri kerajinan seperti genteng dan tembikar. “Yang terpenting, ada beberapa gubuk industri, terutama memproduksi tekstil dan topi,” lanjut Margreet. Topi anyaman Tangerang, baik yang berbahan bambu maupun pandan, amat populer di dunia internasional sebagai bagian dari jenis topi Panama. Saking populernya, topi Tangerang sampai dijadikan lambang kabupaten. “Topi Tangerang adalah barang ekspor yang cukup signifikan,” ujar Margreet. “Produksi topi di Hindia Belanda terpusat di dua wilayah Jawa. Distrik utama berada di sekitar Tangerang. Ketika harga menguntungkan dan tanaman padi sedang tak butuh perhatian, 200 ribu hingga 300 ribu lelaki, perempuan, dan anak-anak terlibat dalam mendapatkan dan menyiapkan serat pandan dan bambu dan merajutnya menjadi topi,” tulis konsulat perdagangan di Biro Perdagangan Luar Negeri dan Domestik dalam laporannya tanggal 31 Maret 1931, termuat dalam Commerce Reports Vol. 1. Industri topi di Tangerang berawal dari abad ke-19. “Seni pembuatan topi dari bambu diperkenalkan ke Jawa oleh seorang Cina. (Dia, red .) Datang dari Manila sekitar setengah abad lalu,” tulis Arnold Wright dalam laporan pandangan mata berjudul Twentieth Century Impressions of Netherlands India: Its History, People, Commerce, Industries, and Resources . Menurut laporan yang terbit pada 1909 itu, produksi topi berlangsung di rumah-rumah penduduk dan melibatkan seluruh anggota keluarga. “Beberapa anak kecil, hanya berusia lima tahun, mengambil pekerjaan tersebut.” Butuh waktu lama untuk membuat sebuah topi. “Seorang perempuan bisa menyelesaikan sebuah topi dengan kualitas layak, yang di pasaran bernilai 12 hingga 15 sen, dalam dua hari. Banyak topi memerlukan seminggu upaya pengerjaan tetap sebelum diselesaikan, sementara topi kualitas lebih baik terkadang perlu waktu dua hingga tiga bulan untuk menyelesaikannya,” tulis Wright. “Metode yang digunakan di Tangerang sangat berbeda dari yang digunakan di Eropa. Metode Tangerang dimulai dengan pembuatan mahkota (bagian atas, red .) yang pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan keterampilan dan kesabaran tinggi, biasanya dipercayakan kepada penenun tertua dan paling berpengalaman,” tulis buku The Netherlands Indies Vol. 3. Proses produksi itu dipertunjukkan dan mendapat sambutan hangat di Exposition Universelle, Paris tahun 1889 dan Brussels International Exhebition tahun 1910. Di Paris, kontingen Hindia Belanda menampilkan “Kampung Jawa”, terdiri dari tiga gubuk Jawa berikut kehidupan keseharian di sekitar rumah-rumah itu. “Gubuk pertama ditempati oleh penganyam topi dan keluarganya. Tak jauh dari sana, tukang topi lainya membuat topi lain yang anyamannya tak kalah bagus, dengan jerami yang dipotong pipih memanjang. Seperti topi terkenal 'Panama' yang dianyam dengan kulit kaya Quillaja Peru, topi jerami dari Jawa yang mutu serta orisinalitasnya sama banyak digemari nyonya-nyonya Eropa,” tulis buku yang dieditori Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX Populer Banyaknya topi berkualitas dengan harga miring di Tangerang menjadi surga bagi para pelancong Eropa, terutama asal Prancis, yang berkunjung ke Batavia. “Para perwira dan awak kapal uap Prancis membelinya dalam jumlah besar untuk dijual kembali dengan harga dua kali lipat. Banyak topi itu dibeli seharga dua gulden 50 sen di Batavia dan dijual seharga 12 franc di Marseilles, dijual kembali di Bordeaux seharga 30 franc, dan sekali lagi di Paris untuk harga 80 franc,” tulis Wright. Hal seperti itu pula yang dilakukan Petit Jan, pelancong-pebisnis asal Prancis. “Para pembeli besar ini pada gilirannya memberikan pinjaman kepada orang-orang yang berkeliling desa untuk membeli langsung kepada penduduk,” tulis The Netherlands Indies , Vol. 3. Saking besarnya jumlah topi yang diperdagangkan Jan, orang-orang sampai menamakan topi Tangerang dengan Topi Petit Jan. “Jan tidak tahu pasti setiap tahun berapa juta topi dikirim ke Paris. Langsung dilempar ke pasaran. Mungkin saja topi ‘Panama’ yang dibeli orang Belanda sebenarnya berasal dari Tangerang,” tulis HCC Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20 . Besarnya laba dari bisnis topi Tangerang membuat banyak perusahaan Eropa memilih terjun langsung ke Hindia ketimbang melulu membeli di Prancis. Olivier, Muller & Co., berkantor pusat di Paris, sampai membuka kantor cabang di Batavia dan Tangerang pada 1901. Dari Prancis, topi-topi Tangerang menyebar ke berbagai tempat lain di Eropa hingga Amerika. Di Inggris, menurut John G. Dony dalam A History of the Straw Hat Industry, “Topi-topi Jawa yang datang melalui Prancis sudah ditenun dan perlu dipetikan dan dirawat setelah mereka tiba.” Amerika menjadi pemain penting yang meningkatkan popularitas topi Tangerang. Di Saint Louis, topi-topi itu dipercantik sehingga ikut menentukan jalannya industri fesyen. “Bentuk topi-topi buatan tangan diimpor dalam bentuk setengah jadi dari Meksiko, Jawa, dan Jepang,” tulis Majalah Hearings , Vol. 5. Setelah selesai, topi-topi itu dijual dengan harga tinggi. Para aktor dan aktris yang memakainya ikut mendongkrak popularitas topi tersebut. “Di banyak negara lain, Roy Rogers muda dan Dale Evans sekarang mengenakan topi buatan tangan orang Jawa atau Indian Mesksiko yang dibentuk ulang, dilukis, serta dipotong di St. Louis.” Pemerintah Hindia Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan mendulang laba dari bisnis topi. Promosi topi Tangerang digalakkan mulai 1910. “Topi anyaman pandan dan bambu merupakan industri rumahtangga penting di Hindia Belanda. Ekspor topi meningkat dari 23.538.000 di tahun 1928 menjadi 25.613.000 di tahun 1929,” tulis Commerce Reports Vol. 1. Namun, penyertaan anak-anak dalam proses produksi menjadi noda di balik bisnis topi Tangerang. Beberapa moralis Belanda menyorotinya. Thomas B Pleyte, Menteri Urusan Jajahan dari 1913-1916, menganggap industri tak lebih dari upaya pemiskinan pekerja. "Di rumah tangga yang tak memiliki sumber penghasilan lain selain menenun topi, semua dipaksa untuk membantu, termasuk anak-anak yang sangat kecil, dan satu temuan bahkan menunjukkan anak-anak paling kecil, yang masih tergantung pada perawatan ibu, sudah terpaksa jadi rekan-budak dalam perjuangan untuk makan sehari-hari," tulisnya sebagaimana dalam buku suntingan Becky Elmhirst dan Ratna Saptari. Dari segi ekonomi pun topi Tangerang dijual tanpa merk sehingga kesejahteraan para produsen tak pernah beranjak naik. “Padahal topi-topi dari bambu itu sangat ringan dan dianyam dengan rapi. Kalau saja diperkenalkan sebagai ‘Topi Jawa’ tentu tak akan semahal topi Panama. Jika sudah begitu, topi dari Tangerang akan merajai Paris,” tulis Brousson. Kisah topi Tangerang akhirnya memasuki masa senja ketika Depresi Ekonomi menghantam dunia pada 1930-an. Meski sempat kembali menggeliat usai Depresi, topi Tangerang berhenti menyusul masuk dan berkuasanya Jepang. Setelah Indonesia merdeka, produksi Tangerang kembali berjalan namun tak lagi semasif masa pra-perang. Kisah topi Tangerang yang masyhur di negeri orang tinggal kenangan.
- Manis Getir Perjuangan Putri dalam Revolusi
GEMA revolusi menarik minat muda-mudi di berbagai tempat untuk ikut terlibat. Masyitoh, salahsatunya. Remaja asal Cianjur itu menjadi mata-mata dengan menyamar sebagai pekerja binatu. Pekerjaannya membuat dia berhasil menyusup ke markas Belanda tanpa dicurigai. Dia bertugas mencuci gesper, pakaian, dan menyiapkan makanan untuk tentara Belanda. Berada di markas musuh dimanfaatkan Masyitoh dengan meng- gembol makanan seperti roti dan keju untuk rekan-rekan pejuang yang kelaparan di hutan. Sebagai mata-mata, dia mencuri dengar beberapa informasi dari orang Indonesia yang berpihak pada Belanda tentang situasi markas, rencana serangan, dan ukuran kekuatan musuh. Dari informasi yang dijaring olehnya, Letnan Siradz, pemimpin kesatuan TNI di Tegaldatar, Cibeber, berhasil menghancurkan pos Belanda di Sukanagara dan merampas persediaan senjata mereka. “Keberhasilan ini membuat nama Masyitoh selalu dikenang anggota pasukannya,” tulis Hendi Jo dalam bukunya, Orang-Orang di Garis Depan. Masyitoh tidak sendiri. Ada banyak perempuan yang jadi pengumpul informasi untuk pasukan republik, seperti perempuan-perempuan Yogyakarta. Di Yogyakarta, hal itu terutama muncul setelah adanya blokade dari Belanda padahal gelombang pengungsian sangat besar. Blokade memunculkan banyak penjual dadakan yang membuat Yogya jadi sesak bak pasar. Para perempuan itu menukar semua barang berharga seperti gamelan, wayang, dan perhiasan dengan apapun yang bisa dimakan. Tingginya permintaan makanan mengakibatkan bermunculannya warung dadakan. Di antara warung-warung dan tempat nongkrong itu, ada beberapa pemilik atau pelayan pro-republik. Sambil berdagang, tulis Galuh Ambar Sasi dalam Pluralisme dan Identitas, mereka menjadi mata-mata. Mereka mencuri dengar informasi dari serdadu Belanda yang mampir ke warungnya. Merry Roeslani, istri Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, salahsatu perempuan yang melakoni peran ganda itu. Sebagai pekerja di Restoran Pinokio di Jetis, Yogyakarta, Merry kerap bertemu dengan orang Belanda. Restoran Pinokio cukup terkenal di zamannya dan sering didatangi orang Belanda maupun Indonesia untuk makan soto ataupun sate. Berbekal bahasa Belanda yang baik, Merry mencuri dengar informasi dari para tentara Belanda yang berkunjung. “Bu Merry dapat uang, Pak Hoegeng dapat informasi yang diteruskan ke rekan-rekan pejuang,” kata Galuh pada Historia . Selebaran yang berisi peringatan untuk tidak nongkrong di warung. Sumber: Arsip Galuh Ambar Sasi. Banyaknya mata-mata republik yang menyamar sebagai penjaga warung sempat membuat pihak Belanda ketakutan. Pimpinan tentara sampai mengeluarkan selebaran yang memperingatkan serdadu Belanda untuk tidak nongkrong di warung-warung pribumi. Menurut selebaran itu, berleha-leha di warung bisa bikin serdadu lengah. Pembicaraan dicuri dengar, senjata dicuri diam-diam, dan minuman mereka bisa dicampur warangan (sejenis arsenik yang kini jadi bahan racun tikus. Dulu racun arsenik dibubuhkan di keris supaya lebih mematikan). Curi dengar informasi juga dilakukan dengan memanfaatkan urusan asmara, seperti yang dilakukan Marsilah, kembang desa berusia 16 tahun asal Klitren, Gondokusuman. Dia berhasil menjebak mata-mata Belanda dengan baik meski kemudian tertangkap dan harus menanggung siksa tak terkira. Selain menggunakan asmara, para pejuang juga menggunakan pekerja seks untuk menjaring informasi. Bersama para perampok dan pencopet, para pekerjas seks masuk ke dalam Barisan P yang dipimpin Kotot Sukardi. Wilayah operasi mereka meliputi Malioboro, Kuncen, Kepatihan, alun-alun, Bong Suwung, dan sekitar Stasiun Tugu juga Lempuyangan. Para pekerja seks amat lihai bermain watak. Sambil melayani tentara pro-Belanda yang jadi pembeli jasanya, di atas ranjang mereka terus menggali informasi mulai dari jalan tikus ke markas Belanda hingga rute pelarian. Tak hanya mengumpulkan informasi, mereka juga ikut membantu menyabotase musuh. “Mereka juga ikut kursus drama, diajari jadi mata-mata. Setelah perang selesai malah jadi bintang film yang disutradarai Kotot Sukardi, judulnya Si Pincang (1951),” kata Galuh. Perjuangan juga menumbuhkan bibit-bibit asmara di antara sesama anggota Barisan P. Banyak dari mereka yang menjadi pekerja seks kemudian meninggalkan dunia itu setelah menikah. Jasa-jasa mereka selama revolusi diakui dan mereka pun dihormati. Geliat revolusi yang riuh-ramai itu mambawa nasib para perempuan ke hilir yang berbeda. Ada yang jasanya selalu dikenang seperti Masyitoh, munggah bale seperti perempuan barisan P, ada pula yang nahas dan dilupakan seperti Marsilah, yang disiksa dan dilecehkan.
- Kala Sukarno Berlindung di Rumah Purbodiningrat
PUKUL 06.00 pagi, pesawat Belanda berputar-putar di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta (kini Gedung Agung Yogyakarta). Mengetahui hal itu, Sukarno beserta keluarga langsung naik mobil pergi mengungsi. Dia khawatir Belanda nekat mengebom Gedung Kepresidenan. Sukarno memutuskan untuk mengungsi ke kediaman salah satu rekannya ketika kuliah di Technische Hoogeschool (THS, sekarang ITB, red. ), Prof. Ir. BKRT Saluku Purbodiningrat. “Waktu clash pertama itu Maguwoharjo (kini Lanud Adisutjipto, red .) dibom oleh Belanda. Jadi, Sukarno mengungsi ke beberapa teman dekatnya, di antaranya rumah ayah saya, supaya nggak ketahuan oleh mata-mata Belanda,” kata Raden Mas Lumiadji, putra pertama Purbodiningrat, kepada Historia.ID. Purbodiningrat merupakan adik kelas Sukarno. Dia masuk tahun 1924 dan lulus pada 1929, sementara Soekarno masuk tahun 1921. “Bung Karno lulus 1 tahun lebih dulu dibanding ayah saya. Bung karno tamat tahun 1928. Waktu di ITB sudah saling kenal. Bung karno banyak bergerak di politik, ayah saya banyak di bidang pendidikan,” kata Lumiadji. Meski namanya tak populer dalam sejarah, Purbodiningrat punya banyak jasa. Dia merupakan pendiri Mavro (cikal bakal RRI Yogyakarta), perancang tata ruang Yogyakarta yang dikenal dengan Purbodiningrat’s Plan, dan anggota Dewan Konstituante. Kediaman Purbodiningrat terletak di Jalan Patangpuluhan No. 22, sekira tiga kilometer barat-daya Gedung Kepresidenan Yogyakarta. Ketika menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno menempati kamar di timur ruang tengah dan menggunakan tempat tidur istri Purbodiningrat, Siti Aminah. Lumiadji yang kala itu masih duduk di kelas 1 SMA diminta pindah kamar. Dia tidur bersama para pengawal presiden dan adiknya, RM Djunaedi. Semasa mengungsi itu, rapat-rapat darurat bersama beberapa pemimpin politik lain diadakan di rumah Purbodiningrat meski pihak keraton sudah menyiapkan gedung-gedung kementerian. “Ayah saya tiap malam itu sampai nggak bisa tidur. Kalau malam selalu rapat. Saya pernah lihat Sutan Sjahrir waktu itu,” kata Ismusilah, anak Purbodiningrat yang kini menempati rumah itu. Para menteri yang menghadap presiden datang secara sembunyi-sembunyi. Penjagaan dari pengawal presiden pun sangat ketat karna banyak mata-mata Belanda. Ketika Lanud Adisutjipto kembali diserang Belanda, suara ledakan terdengar hingga ke rumah Purbodiningrat. Orang-orang panik lantaran beberapa hari sebelumnya pesawat Belanda sering terbang di atas rumah itu. “Kalau ada bunyi sirine atau pesawat yang terbang di atas, kami langsung bersembunyi di bawah apa saja,” kata Lumiadji. Fatmawati, seperti yang dia ceritakan dalam autobiografinya yang berjudul Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, bersembunyi dengan tiarap sambil menggendong Guntur di bawah wastafel. Mereka takut rumah tersebut dijatuhi bom karena tepat di atas mereka pesawat Belanda terbang berputar-putar. “Ayah saya sudah berpikir kalau kami semua pasti mati. Tapi kok ternyata endak,” kata Ismusilah yang ketika diwawancara didampingi keponakannya, Anggrita Sallestyani. Setelah seminggu menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno pindah. Dia khawatir mata-mata Belanda mencium keberadaannya. Dia lalu menginap di rumah Raden Sigit Prawiro, salah satu petinggi Asuransi Bumiputera. Dari satu rumah teman ke rumah teman lain, Sukarno berhasil sembunyi. Dia baru kena sial, ditangkap Belanda, pada Agresi Militer II, Desember 1948, lalu diasingkan ke Berastagi dan Parapat.*
- Proklamasi Kemerdekaan sampai di Banten
BERITA kekalahan Jepang yang disusul Proklamasi kemerdekaan sampai ke Banten pada 20 Agustus 1945. Berita itu dibawa oleh para pemuda: Pandu Kartawiguna, Ibnu Parna, Abdul Muluk dan Azis, yang diutus oleh Chaerul Saleh, wakil ketua dan sekretaris Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang bermarkas di Menteng 31 Jakarta. Para anggota API diutus ke berbagai daerah termasuk Banten untuk menyebarkan berita proklamasi. Berita gembira itu terutama disampaikan kepada tokoh Banten yaitu K.H. Ahmad Chatib, K.H. Sjamun, dan Zulkarnain Surya, serta tokoh pemuda seperti Ali Amangku dan Ajip Dzuhri. Chaerul Saleh juga mengamanatkan agar para tokoh dan pemuda di Serang segera merebut kekuasaan dari Jepang. Maka, Ali Amangku mendirikan Angkatan Pemuda Indonesia (API). Sedangkan API Puteri dipimpin oleh Sri Sahuli. “Sri Sahuli bersama Jimambang, temannya, adalah dua pemudi yang mempelopori penurunan bendera Jepang pada 22 Agustus 1945 di Hotel Vos Serang (sekarang kantor Kodim Serang) dan menggantinya dengan memasang sang saka Merah Putih. Dan sejak saat itu semua kantor pemerintahan maupun swasta di Banten mengibarkan Merah Putih,” tulis Matia Madjiah dalam Kisah Seorang Dokter Gerilya dalam Revolusi Kemerdekaan di Banten. Dokter gerilya yang dimaksud adalah Satrio, dokter Divisi I Banten. Matia Madjiah sendiri dipindahkan dari Bandung Selatan ke Banten untuk membantu dr. Satrio sebagai komandan peleton kesehatan dengan pangkat letnan muda. Menurut Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten , adanya penurunan bendera itu menunjukkan bahwa para pemuda semakin berani bertindak dan mulai giat menggerakkan kekuatan rakyat Banten untuk melucuti dan merebut kekuasaan dari tangan serdadu Jepang. Sri Sahuli juga memberikan pelatihan PPPK (pertolongan pertama pada kecelakaan) kepada pemudi lulusan SMP. Dengan laskar wanitanya yang merupakan bagian dari API, Sri Sahuli membangkitkan semangat para pemudi di seluruh Banten. “Sebagian dari anggotanya membantu tugas-tugas intel," kata Matia Madjiah. "Sri Sahuli sendiri sering menyamar sebagai gadis desa, menyusup ke garis depan." Banyak pula anggota laskar wanita itu bekerja di dapur umum atau mendirikan pos-pos PMI. Para anggota PMI inilah yang banyak membantu tugas-tugas kesehatan tentara di garis depan, antara lain di Tenjo, Maja, Balaraja, Cikande, dan Jasinga.
- Semakin Trendi dengan Topi
KEPALA menjadi bagian tubuh yang perlu dilindungi dari cuaca panas maupun dingin. Maka, manusia mencoba menciptakan pelindung kepala: topi. Seiring waktu, fungsi topi tak sekadar pelindung tapi juga menjadi bagian dari estetika atau memperindah diri. Keterangan tertua mengenai manusia yang mengenakan topi terlukis pada sebuah makam kuno di Thebe, Mesir Kuno, yang diperkirakan berumur 3200 tahun. Lukisan tersebut menggambarkan seseorang mengenakan topi seperti jerami yang biasa dikenakan kuli. Petasos Berkembang sekira 750 SM, para pengelana dari Yunani kuno biasa mengenakan topi ini. Bagian atas topi dibuat sesuai ukuran kepala, tepinya dibuat melebar, dan dilengkapi pula dengan tali yang ditautkan di antara dagu dan leher. Lukisan dinding di kuil Parthenon, dilukis Phidias sekira 450 SM, menggambarkan sosok yang mengenakan . Kausia Ekspansi Alexander III, penguasa Macedonia, ke daerah Hindustan sekira 300 M meninggalkan pengaruh berupa pemakaian topi yang terbuat dari bulu hewan. Bentuknya seperti makanan serabi. Hingga saat ini, kausia masih menjadi andalan pelindung kepala oleh suku-suku di daerah Afganistan. Pilaeus Dikenakan sebagian besar budak yang telah merdeka di kota Roma kuno. Bentuknya menyerupai corong, dan biasanya dibuat dari bulu domba atau kulit hewan. Para tentara Roma juga mengenakan topi ini sebagai pelapis kepala sebelum memakai helm perang. Pilaeus diadopsi dari topi para pelaut Yunani. Odysseus, legenda Yunani kuno, dalam sebuah koin dari abad ke-3 M digambarkan mengenakan . Kippah Menjadi salah satu identitas bangsa Yahudi. Bentuknya lingkaran, kira-kira berdiameter 15 centimeter. Maimonides (1135-1204), seorang filsuf Yahudi kelahiran Cordoba-Spanyol, pernah menganjurkan setiap lelaki Yahudi untuk memakai saat berdoa maupun membaca Taurat. Toque Sekira abad ke-13 M, terutama di Prancis, muncul topi berbahan kain. Seringnya digunakan koki profesional, dan umumnya berwarna putih. Marie Antoine Careme (1784-1833) mempopulerkan pemakaiannya dalam seni memasak modern di Prancis. Pada perkembangannya, menjadi standar internasional bagi topi koki. Sombrero Dibawa bangsa Spanyol ke Mexico sekira 1500 M, topi yang sangat lebar di bagian tepinya ini kemudian menjadi ciri khas Mexico. Topi ini dirancang untuk para penunggang kuda yang sering bepergian jauh. Topi yang dianyam ini dilengkapi dengan tali yang ditautkan di dagu untuk menahan topi supaya tak lepas kala menunggang kuda, yang disebut . Tricorne Pada abad ke-17 M, pasukan Spanyol datang ke Flander (Belanda sekarang). Di sana mereka dihadapkan pada musim hujan. Mereka menyiasatinya dengan mengubah bentuk topi; tepian yang lebar kemudian dilipat di tiga bagian sehingga membentuk tiga sudut. Akibat perang Spanyol melawan Prancis pada 1667, gaya topi ini menyebar ke Prancis dan merembet ke Eropa. Bahan topi biasanya dari kulit berang-berang. Top Hat Akhir 1700, popularitas digantikan yang berbentuk menjulang menyerupai cerobong asap. Topi ini mulai dikenal saat Charles Vernet, pelukis Prancis, melukis lelaki muda yang mengenakan . Popularitasnya menyebar setelah seorang penjual topi, George Dunnage, mulai memajangnya di toko miliknya sekira 1793. Mulailah pria-pria pesolek dari London menggandrunginya. Bowler Para penjaga hutan di Holkham, Norfolk, Inggris memerlukan topi yang kuat dan awet. Lalu Edward Coke, keponakan Earl of Leicester, sekira Agustus 1849 memesan topi kepada James Lock. Lock menyanggupinya dan merancang topi yang pas ukuran kepala, atasan topi rendah, dan pinggiran yang kecil. Awalnya disebut topi Coke, namun berubah disebut Bowler sebab diproduksi Bowler bersaudara. Western Para penunggang kuda di dataran Amerika, yang juga menggembala sapi, membutuhkan pelindung kepala dari cuaca panas. Ia mesti awet dan ringan. Mengadopsi dari Mexico, dengan perubahan pada tepi topi yang agak sempit dan sedikit terlipat keluar, terciptalah topi khas para penggembala sapi. Sekira 1865, John Batterson Stetson menjadi pembuat topi kenamaan jenis ini. Bahan yang digunakan biasanya kulit. Fedora Sekira 1880, menjadi tren di Amerika dan Eropa. Bentuknya fleksibel, biasanya ada tambahan pita di sekeliling bagian mahkota. Topi ini semakin populer bersamaan dengan munculnya teater di kota-kota Amerika dan Eropa. Dua tahun berikutnya muncul judul drama tragedi berjudul karya Victorien Sardou, dengan karakter utama putri Rusia bernama Fedora Romanoff. Drama ini diputar pertama di Paris lalu Inggris dan menjadi terkenal di Amerika Serikat. Newsboys Topi ini digemari para pekerja kasar, terutama laki-laki, di perkotaan Amerika dan negara industri Eropa sekira 1910-1920. Topi ini juga disukai para gangster, kriminal jalanan, dan bahkan beberapa kalangan atas seperti pegolf. Bahan yang dipakai seringnya kain tebal atau wol. Trucker Para sopir truk di Amerika sekira 1970 gemar memakai topi yang bentuknya menyerupai paruh angsa ini. Bagian depan, yang menempel di bagian kening, biasanya terdapat lapisan busa di dalamnya. Dalam perkembangannya, topi ini dikenakan olahragawan, pemain skateboard, hingga pemusik bergenre punk. Sumber: karya Hilda Amphlett.
- Ma Changqing dan Islamofobia di Cina
RUPANYA, esai Profesor Beijing Foreign Studies University Xue Qingguo berjudul “ Ta’ammalāt haul al-Taṭarruf al-Dīnī wa al-Islāmūfūbiyā fī al-Ṣīn ” (Refleksi tentang Ekstremisme Agama dan Islamophobia di Cina) di harian Al-Hayat terbitan 30 Agustus 2017 yang menyatakan “beberapa tahun belakangan Islamophobia tengah mempunyai pangsa pasar yang cukup signifikan di Cina,” adalah benar adanya.
- Pesan Bung Karno dan Rujak Diponegoro
KENDATI upacara pembukaan Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 baru akan diresmikan 18 Agustus 2018 mendatang, beberapa cabang yang mengikutsertakan para atlet kita sudah digulirkan. Antara lain, sepakbola putra sejak 10 Agustus, bola tangan sejak 13 Agustus, dan basket 5x5. Mereka berlaga dengan semangat penuh dengan diiringi pesan dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sepekan lalu, 8 Agustus 2018. Harapan terbesarnya, 938 atlet yang akan turun di 40 cabang mampu merealisasikan target minimal posisi 10 besar di klasemen akhir. "Perolehan 16 medali emas adalah minimal, artinya kalau tambah banyak boleh, kurang satu pun tidak boleh, jelas itu," tegas Jokowi di halaman Istana Negara, Jakarta sebagaimana dikutip laman Kementerian Pemuda dan Olahraga, Rabu 8 Agustus 2018. Selain prestasi, mantan Walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta itu juga berpesan, para atlet agar selalu menjaga nama baik Indonesia sebagai tuan rumah. “Saya titip, kebanggaan negeri ini ada di saudara-saudara seluruh atlet yang akan berlaga dan yakinlah 263 juta masyarakat Indonesia berada di belakang dan mendoakan saudara-saudara semuanya untuk berkumandangnya lagu Indonesia Raya dan berkibarnya Merah-Putih setelah adanya kemenangan setelah saudara bertanding. Jagalah nama baik negara bertandinglah secara sehat dan fair . Selamat berjuang," tutup Jokowi sekaligus secara resmi melepas Kontingen Indonesia. Pesan presiden senada dengan yang disampaikan Presiden Sukarno kala melepas para atlet nasional jelang Asian Games II 1954 di Manila, 30 April 1954. Presiden Joko Widodo di tengah-tengah para atlet kontingen Indonesia di Asian Games 2018. (kemenpora.go.id) Pesan Bung Karno Meneladani Diponegoro Bung Karno berharap para atlet yang diberangkatkan bisa menjaga nama baik negara dengan sikap sportif dan kesederhanaan. Mengingat, di tahun itu republik belum lama lepas dari rongrongan Belanda namun masih direcoki Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah. Bung Karno tak ingin ada sikap dari para atlet yang menimbulkan kecemburuan di tengah rakyat yang tengah susah. Terlebih, mereka diberi sejumlah fasilitas khusus demi menunjang prestasi. “Agar kamu di Manila nanti dapat memberi prestasimu sebaik-baiknya. Baik individueel , maupun team , ya bahkan prestasi sebagai putera Indonesia. Jangan lupa, bahwa keberangkatanmu ke Manila itu oleh rakyat Indonesia dicantumkan pengharapan sebesar-besarnya kepadamu akan hasilnya pertandingan. Hendaknyalah nanti kamu dalam berjuang di Manila dengan bekal batin perjuangan,” cetus Bung Karno, dikutip majalah Aneka Nomor 7 Tahun V, 1 Mei 1954. Bung Karno menyampaikan pesan itu di hadapan kontingen di Training Centre, Jakarta. Bung Besar menggarisbawahi sikap kesederhanaan yang dianalogikannya dengan sikap sederhana Pangeran Diponegoro sebelum berperang. “Bahwa kita harus menjadi bangsa yang ekonomis weerbaar, militair weerbaar, dan geestelijk weerbaar . Saya tekankan, bahwa bangsa Indoensia mencapai kebesarannya justru di dalam kesederhanaan. Suatu contoh, Pangeran Diponegoro tidak pernah makan bestik. Tiap-tiap hari pagi beliau hanya minum kopi dicampur air santan kelapa. Dan jika Pangeran Diponegoro hendak ke medan peperangan, lebih dulu makan rujak. Dengan suam-suam ‘ kepedesan ’, Diponegoro menyerbu kubu-kubu pertahanan Belanda,” imbuhnya lagi. Presiden Sukarno (kanan) memberi pesan dan wejangan kepada kontingen Indonesia jelang Asian Games 1954 di Training Centre, Jakarta. (MajalahAneka, Nomor 7 Tahun V) Kemunduran Prestasi Sayang, meski sudah dihujani pesan nan menggebu-gebu sampai mengungkit-ungkit kebiasaan Pangeran Diponegoro, para atlet Indonesia gagal memberi hasil lebih baik sebelumnya, di Asian Games I New Delhi 1951. Di New Delhi, tulis buku Olahraga dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004, para pejuang olahraga Indonesia mampu membawa pulang lima medali perunggu. Masing-masing dari Sudarmojo pada nomor lompat tinggi putra, Hendarsin pada lompat jangkit, Bram Matulessy pada lempar lembing, Annie Salamun pada lempar cakram putri, dan tim relay 400 meter putri (Darwati, Lie Djing Nio, Triwulan, Surjowati). Di Asian Games II 1954 Manila, perolehan medali Indonesia justru menukik. Salah satu ofisial kontingen kala itu, Mangomban Ferdinand Siregar dalam biografinya, M. F. Siregar: Matahari Olahraga Indonesia, berkisah nahwa Indonesia hanya mampu pulang dengan tiga medali perunggu. Ketiganya dipetik Lukman Saketi dari cabang menembak nomor rapid fire pistol putra, Tio Ging Hwie dari angkat besi kelas ringan putra, dan tim polo air putra. Posisi Indonesia di klasemen medali akhir kian terpuruk karena jumlah negara peserta bertambah. Di Asian Games I dengan sembilan negara kontestan, Indonesia bercokol di posisi tujuh, di bawah Ceylon (kini Sri Lanka), Filipina, Iran, tuan rumah India, dan Jepang sebagai juara umum. Sementara di Asian Games II, Indonesia berkubang di posisi 12 dari 13 negara peserta.*
- Bermula dari Institusi sampai Tumbuhnya Kesadaran Sehat Jiwa
DALAM perjalanannya ke Bogor pada 1894, psikiater Belanda, JW Hofmann terkejut mendapati seorang pribumi penderita gangguan jiwa dipasung. Merasa iba dan tergugah, Hoffmann menulis artikel protes berjudul “Krankzinnigenverpleging in Neerlandsch-Indie” (Perawatan jiwa di Hindia Belanda) yang dimuat De Indische Gids. Hoffmann memprotes pemerintah Hindia Belanda yang tidak menyediakan layanan kesehatan mental untuk pribumi. Tulisan Hoffmann membuka perdebatan di kalangan psikiater Belanda. Hoffmann mendesak pemerintah Hindia menyedikan layanan kesehatan mental untuk pribumi. “Saya mohon untuk melakukan sesuatu pada situasi menyedihkan yang dialami pribumi yang menderita gangguan jiwa…. Tetapi lakukan dengan cara yang murah dan praktis,” tulis Hoffmann. Bermula di Belanda Reformasi perawatan penyakit mental di Belanda dimulai pada 1830-an. Hal itu bermula dari perkembangan perawatan kesehatan jiwa di Eropa. Ahli medis Perancis Philippe Pinel menulis tentang kemungkinan-kemungkinan menyembuhkan pasien gangguan jiwa di rumahsakit jiwa (RSJ) dan berupaya mengembalikannya ke masyarakat pada 1801. Sebelumnya, perawatan kesehatan jiwa Eropa pada akhir abad ke-18 memperlakukan pasien dengan cara dirantai. Pinel berhasil mengubah cara itu di RSJ Bicêtre dan RSJ Salpêtrière. Ia mengganti rantai dengan jaket pengikat. Sementara di Eropa perawatan kesehatan jiwa terus dibahas lebih serius, di negeri jajahan perawatan pasien kesehatan jiwa masih diserahkan pada rumahsakit militer. Kebijakan untuk merawat pasien gangguan jiwa di RS militer tak lepas dari cara Profesor Brugman dari Universitas Leiden yang menjalankan layanan medis militer di Belanda pada 1795. Gubernur Jenderal HW Daendels meniru cara Profesor Brugman dengan menyerahkan semua urusan pengobatan, termasuk kesehatan mental, pada RS militer. Rumahsakit militer yang dibangun tahun 1832 menampung penderita gangguan jiwa dalam satu departemen kecil. Mayoritas pasien merupakan mantan prajurit Belanda, mereka kemungkinan terserang Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang banyak diderita tentara. Namun, makin hari makin banyak pasien yang berdatangan. Pada 1862, pemerintah kolonial mengadakan survei untuk mengetahui kondisi dan jumlah penderita gangguan jiwa di negeri jajahan. FH Bauer dan WM Smit, dua dokter yang dipasrahi tugas ini, menemukan 586 penderita gangguan jiwa parah sering mangamuk dan berpotensi membahayakan masyarakat. Dari jumlah itu, 252 di antaranya sudah dimasukkan ke rumahsakit militer di kota-kota besar. Laporan mereka tentang kondisi dan perlakuan orang-orang yang menderita gangguan jiwa di Hindia Belanda terbit pada 1862 dan membuat heboh di Belanda. Selain mengadakan survei, Bauer dan Smit juga berkunjung ke beberapa negara untuk melihat cara penanganan pasien gangguan jiwa. Keduanya menyarankan agar pemerintah Belanda bertanggung jawab atas penderita gangguan jiwa yang berbahaya. Namun, penderita gangguan jiwa yang tidak berbahaya tidak perlu ditanpung di layanan kesehatan jiwa. Hasil laporan Bauer dan Smit itu memuluskan keinginan para dokter untuk membangun layanan kesehatan mental khusus untuk orang Eropa yang tujuan utamanya menyediakan institusi lebih manusiawi dengan lebih banyak tempat tidur dan dipan. “Sesungguhnya, proyek memperbaiki layanan kesehatan jiwa di Hindia Belanda sejak mula memang untuk merestrukturisasinya sesuai kriteria internasional di zamannya. Dalam laporan Bauer dan Smit ini kita melihat fondasi kelahiran psikiatri modern di Indonesia,” tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”. Pada 1881, pemerintah membuka layanan kesehatan jiwa pertama di Bogor dengan nama Hetkrankzinnigengestich Buitenzorg (kini Rumah Sakit dr. H Marzoeki Mahdi). Selaku penggagas, Bauer dan Smit memilih Bogor karena dianggap paling sesuai prinsip terapi rawat-inap penderita gangguan jiwa yang mesti diisolasi dari masyarakat: dekat dengan pusat kota, Batavia, tapi masih cukup asri dan terpencil. Meski tujuan utama pembentukan RSJ Bogor untuk merawat orang Eropa, pemerintah kolonial terpaksa mengubahnya setelah Hoffmann memprotes kebijakan tersebut lewat tulisan pada 1894. Tulisan Hoffman kembali membuat geger sebagaimana laporan Bauer dan Smit. Sejak tulisan Hoffmann itulah RSJ Bogor menerima pasien pribumi. Orang-orang pribumi yang sudah sadar akan kesehatan jiwa tak lagi mengira kelinglungan kerabat mereka disebabkan kesambet atau kesurupan. Mereka bisa memasrahkan kesehatan jiwa keluarga mereka pada pihak yang lebih ahli. Selain itu, pemerintah Belanda juga menampung secara cuma-cuma pribumi penderita gangguan jiwa yang membahayakan lingkungan. “Layanan kesehatan mental pertama kali dibangun pada 1881 dan terus berkembang setelahnya. Pada 1900-an, dengan Politik Etis, pembahasan tentang kesehatan jiwa menjadi jauh lebih vokal,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti sejarah RSJ Magelang untuk tesisnya. Pada awal abad ke-20, dokter-dokter mengeluhkan makin banyaknya pasien gangguan jiwa baru sementara RSJ yang tersedia baru di Bogor. Bertambahnya jumlah pasien membuktikan bahwa kesadaran akan kesehatan jiwa makin meningkat di Hindia Belanda. Pemerintah lalu membangun beberapa RSJ baru, seperti di Malang (1902), Magelang (1912), dan Sabang (1922). Pada 1930-an, Belanda sudah memiliki empat layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan. Seluruh RSJ ini, tulis Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, bisa menampung sekira 9000 pasien. Sementara, di kota-kota besar lusinan klinik psikiatris berdiri, mempermudah akses orang-orang yang ingin berobat. Dekatnya akses pada layanan kesehatan mental berpengaruh besar pada tingkat kesadaran masyarakat sekitar. Hal ini juga menjelaskan data yang dihimpun Broere bahwa sebagian besar pasien RSJ Magelang datang dari kota-kota besar, seperti Surakarta, Yogyakarta, Magelang, dan Semarang. Sementara para penduduk kota sudah sadar kesehatan jiwa, mereka yang hidup di desa dan jauh dari layanan kesehatan mental masih harus merana dalam kurungan, juga pasung. “Penderita gangguan jiwa akan tetap dikurung atau dipasung di desanya kecuali institusi kesehatan mental berada di dekat situ,” tulis Broere dalam In and Out of Magelang Asylum.





















