top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Merebut Kekuasaan Bersama Agamawan

    RAJA Daha, Dandang Gendis memaksa para rohaniawan untuk menyembah padanya. Dia berkata pada para rohaniawan yang ada di seluruh Daha: “Wahai para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha. Apakah sebabnya tuan tidak menyembah kepadaku? Bukankah saya ini semata-mata Batara Guru?” katanya. “Tuanku, semenjak zaman dahulu tidak ada bujangga yang menyembah raja,” jawab para bujangga. Mereka lalu menentang dan mencari perlindungan ke Tumapel. Kepada Ken Angrok, mereka menghamba. Itulah asal mulanya Tumapel tidak mau tunduk ke Daha berdasarkan pemberitaan di . Tak lama kemudian, Ken Angrok menjadi raja di Tumapel. Negaranya bernama Singhasari. Dinobatkan dengan nama Sri Rajasa sang Amurwabumi. Pentahbisannya disaksikan para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe. “Dia (Dandang Gendis, ) berkonflik dengan rohaniawan, sehingga mereka dirangkul oleh Angrok,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang. Dwi beranggapan Angrok cukup bisa membaca situasi dengan mencari sokongan dari para rohaniawan. Rohaniawan dinilai punya kekuatan. Pengikutnya loyal. “Padahal dirinya ada latar preman, tapi bisa masuk ke pemerintahan Tumapel menggulingkan Tunggul Ametung, dan menentang Daha dengan bantuan Brahmana, terutama Lohgawe,” lanjutnya. Angrok menikahi Ken Dedes juga bukan cuma perkara cinta. Dia mempertimbangkan kedudukan Mpu Purwa, agamawan dari Panawijen, yang sangat disegani. Kitab yang ditulis pada 1613 M itu juga berkisah soal rapat dewa di Gunung Lejar. Mereka kemudian sepakat kalau Angrok pantas dinobatkan sebagai raja di Jawa.  Suwardono, sejarawan Malang, menjelaskan, hal ini bisa dimaknai sebagai pertemuan tokoh yang memiliki kedudukan luhur pada masa itu. Sejumlah brahmana, terutama Mpu Purwa dan Dang Hyang Lohgawe, bersatu untuk menggulingkan Tunggul Ametung. Dia adalah  (setara camat sekarang) di Tumapel, salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. “Melalui ini, Ken Angrok mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya,” ujarnya. Agaknya yang dilakukan Angrok tak jauh berbeda dengan perpolitikan era sekarang. Menggandeng tokoh agamawan menjadi pilihan untuk mendapat dukungan. “Ini berulang. Polanya sama, walaupun detilnya beda,” kata Dwi. Pada masa Hindu-Buddha, kelas sosial agamawan berbeda dengan politisi. Agamawan menempati kelas tertinggi,  Sementara pelaku pemerintahan dan militer berada di kelas  Para Brahmana juga lebih banyak ditemui di luar keraton, yaitu di atau . Namun, bukan berarti mereka tak ada di dalam birokrasi pemerintahan. Posisi mereka sebagai penasihat raja. Mereka menjadi bagian dari  “Sebenarnya bukan hanya kaum agamawan, keluarga raja yang bersangkutan, terutama yang senior juga tergabung dalam institusi itu,” kata Dwi. Para agamawan juga seringkali menjadi pembimbing calon raja. Contohnya, Airlangga yang melarikan diri dari keraton ke bukit Pucangan. Kini bukit itu ada di antara Lamongan dan Jombang. “Di situ, antara 1017-1019 M, Airlangga berada di lingkungan rohaniawan. Dalam Prasasti Pucangan dikatakan, di tempat itu hidup tiga penganut agamawan yang berbeda,” kata Dwi. Di sana, Airlangga mendapat perlindungan dan memperoleh pelajaran lahir dan batin. Para brahmana menyiapkannya menjadi penguasa yang tangguh. Dalam  dia diibaratkan Arjuna yang menjadi pertapa. “Ini persis Lohgawe kepada Angrok. Dia juga berperan sebagai fasilitator, mediator, pemberi restu bagi Angrok agar bisa masuk ke lingkungan Akuwu Tumapel,” jelas Dwi. Airlangga pun kemudian dinobatkan sebagai Raja Kahuripan. Dia meneruskan kekuasaan Mataram Kuno yang melemah di era kekuasaan mertuanya, Dharmawangsa Teguh. Ketika itu, kekuasaan Mataram pecah menjadi kerajaan kecil. Airlangga dinobatkan oleh para brahmana. Menurut Dwi, kondisi itu menunjukkan, rohaniawan punya kekuatan tak sepele. Mereka mampu menyiapkan dan menobatkan seseorang menjadi penguasa. Bahkan di era konflik. “Ini menarik, melihat bagaimana komunitas agama mentahbiskan raja sekaligus menjadi legitimator, pengabsah kekuasaan Airlangga. Otomatis ini di awal,” kata Dwi. Dukungan kaum agamawan di era konflik juga ditemukan pada masa Islam. Pada 1742, terjadi pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa. Pakubuwono II pun tersingkir dari keratonnya di Kartasura. Sang susuhunan kemudian melarikan diri ke Pondok Tegalsari. Di sana dia mendapat perlindungan dari Kyai Hasan besari.  “Bekas santri di sana yang sudah jadi kyai di daerah lain kemudian dikerahkan ke Tegalsari. Mereka ikut mem- posisi PB II, mengembalikannya ke takhta yang pindah ke Surakarta," jelas Dwi.  Kisah-kisah dari masa lalu itu menunjukkan, jika mendapat dukungan rohaniawan yang disegani, otomatis didapatkan pula dukungan pengikutnya. Kekuataannya sangat besar, karena didasari keyakinan. Kayakinan ini kemudian membentuk jejaring yang saling mendukung.  Bukan cuma pesantren, kata Dwi,  pada masa Hindu Buddha pun punya jaringan kuat. Contoh nyatanya, di Malang pada masa lalu terdapat sebuah  bernama kasturi. Pada perkembangannya, mandala ini berjejaring menjadi lima mandala kasturi.  "Ada jejaring. Ini yang secara politik diperhitungkan," ujar Dwi. Para rohaniawan di masa lalu dipercaya pula punya kedudukan yang netral. Terutama rohaniawan yang tinggal di luar keraton.  “Karenanya tak mudah mendapat dukungan rohaniawan. Mereka bukan tanpa pertimbangan, mengkalkulasi dulu apakah orang-orang itu amanah atau tidak,” ujar Dwi. Dukungan dari kaum agamawan sejak masa lalu selalu dianggap penting. Terutama pada saat konflik juga perebutan takhta. “Siapa yang dapat   dari agamawan, mendapat semacam kemudahan untuk menang,” tegas Dwi.

  • Para Penyemir Cilik

    Siang terik di Masjid Bank Indonesia, Jakarta Pusat. Jemaah baru saja kelar tunaikan salat Jumat. Sebagian besar beranjak mengambil sepatunya dari penitipan. Tapi ada segelintir orang masih duduk di sekitar penitipan. Mereka menunggu sepatunya kelar disemir agar lebih mengilap. Semua penyemir sepatu berusia dewasa. Tak ada anak-anak. Berbeda sekali jika membandingkan awal kehadiran penyemir sepatu di Indonesia. Tukang semir sepatu telah merentangi pelbagai zaman. Bukti awal keberadaan pekerjaan ini berasal dari sebuah foto lawas karya Louis Daguerre, penemu kamera, pada 1838. Foto tersebut menangkap suasana Boulevard du Temple, Paris, Prancis. Di pojok kiri foto, dua orang kelihatan melakukan aktivitas. Orang pertama berdiri mengangkat salah satu kakinya ke sebuah meja pendek, sedangkan orang kedua terlihat menggosok sepatu orang pertama.   Di belahan dunia lain, penyemir sepatu terekam dalam lukisan koleksi Connecticut Historical Society (CHS), Amerika Serikat. Lukisan memuat dua orang lelaki: kulit putih dan kulit hitam. Lelaki kulit putih berdiri memperhatikan lelaki kulit hitam yang duduk di sebuah kursi sembari memegang sikat dan sepatu bot. Menurut laman chs.org , lukisan itu peninggalan dekade 1850-an. Kerjaan Anak-Anak Penyemir sepatu tidak akan muncul tanpa perubahan pada cara orang membuat sepatu. Orang telah mengenal sepatu sejak 800 tahun sebelum masehi. Bahannya terbuat dari kulit hewan atau jaringan tanaman. Teknik pembuatannya masih sederhana. Hanya memotong bahan-bahan itu sesuai dengan anatomi kaki, lalu mengikatnya satu sama lain. Sepatu masa kuno ini tidak menutup seluruh punggung kaki. Pengetahuan mengenai kulit hewan dan jaringan pohon telah mengubah bentuk dan cara orang membuat sepatu. Orang mulai mengenal kulit hewan terbaik untuk pembuatan sepatu. Berikut pula dengan cara mengolahnya. Antara lain dengan penyamakan. Teknik penyamakan berkembang hingga abad ke-19 dan melahirkan berbagai jenis sepatu. Sepatu abad ke-19 mempunyai bentuk tertutup, dari kaki hingga betis. Tapi sepatu ini akan mempunyai bobot lebih berat jika terkena air. Maka orang membuat semir sepatu untuk menghambat air meresap ke sepatu. Muncullah kebiasaan menyemir dan jasa semir sepatu. Inilah gelombang pertama kehadiran tukang semir sepatu.    Fungsi semir sepatu berubah setelah Perang Dunia I (1914-1919) di Eropa. Ia tak lagi sekadar menahan air, melainkan juga untuk mengilapkan sepatu. Para serdadu gemar menggunakan semir untuk sepatu botnya. Mereka tampak lebih berwibawa dengan bot yang mengilap. Ketika mereka berbaris masuk kota dengan bot yang mengilap, warga kota melihatnya dengan takzim. Semir pun menjembar ke kalangan sipil. Para pekerja kantoran di kota-kota besar Eropa tak mau ketinggalan tampil berwibawa. Jas dan kemeja dipadupadankan dengan celana pantalon hitam dan sepatu pantofel. Tapi kesibukan kerap mengambil waktu mereka untuk menyemir sendiri sepatu pantofelnya. Solusi termudah ialah menggunakan jasa tukang semir sepatu di jalanan. Gelandangan cilik di kota-kota besar Eropa dan Amerika Serikat memenuhi jalanan. Mereka turut membantu keluarganya untuk melewati masa-masa sulit selama resesi ekonomi melanda dunia pada 1920-an, dari Amerika Serikat sampai Eropa. Untuk mengais picis, mereka menawarkan jasa semir sepatu kepada para pekerja. Inilah gelombang kedua kemunculan tukang semir sepatu. Desakan Ekonomi Di Indonesia kehadiran tukang semir sepatu belum dapat dilacak secara pasti. Tapi penggunaan sepatu pantofel di kalangan penduduk Hindia Belanda 1930-an dan resesi ekonomi telah memungkinkan adanya jejak kehadiran tukang semir sepatu. Rudolf Mrazek menyebut masa itu sebagai masa ‘kenecisan berpakaian’. Banyak kaum pergerakan nasional berpakaian selayaknya orang Eropa. “Memakai celana dan sepatu, jas dan dasi, dan idealnya sebuah topi serta kumis,” tulis Mrazek dalam “Kenecisan Indonesia: Politik Pakaian pada Akhir Masa Kolonial 1893-1942” termuat di  Outward Appearances .     Saat bersamaan, resesi ekonomi turut melanda Hindia Belanda. John Ingleson dalam Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial menyatakan bahwa resesi telah menambah jumlah gelandangan dari segala rentang usia di kota-kota Hindia Belanda. Tak hanya gelandangan tempatan, tetapi juga gelandangan berbangsa Eropa. Gelandangan anak-anak biasanya akan mencoba kerja apa saja untuk bertahan hidup, seperti menjadi loper koran atau penyemir sepatu. Hal ini jamak terjadi pada gelandangan anak-anak di negeri Barat. Ini berarti anak-anak gelandangan di Hindia Belanda berpeluang menjadi serupa dengan anak-anak gelandangan di negeri Barat. Kehadiran tukang semir sepatu pada masa Indonesia modern mempunyai jejak lebih terang. Misalnya, kisah penyemir sepatu di kota terungkap dalam Selecta¸ No. 39, tahun 1960. Anak-anak gelandangan menjual jasa menyemir sepatu di seputaran Pasar Senen, Jakarta. Usianya beragam, dari sembilan sampai belasan tahun. “Bila pagi telah tiba, tanpa mandi dan cuci muka, mereka mulai mencari uang pembeli sesuap nasi, menyandang peti kecil berisi semir sepatu dari berbagai warna, serta sikat dan kain lapnya,” tulis Selecta . Penyemir cilik mengawasi setiap sepatu lelaki dewasa pengunjung warung makan. Jika melihat sepatu pengunjung ada debu atau kotoran, mereka lekas bertanya. “Semir, Pak?” Mereka pasang tarif cukup murah untuk sekali semir. Antara 2 sampai 3 rupiah, setara 2.000 rupiah pada masa sekarang. Tapi kadang kala pengguna jasa semir sepatu memberi mereka lebihan. Kebanyakan penyemir cilik itu berasal dari desa di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebagian besar mereka masih punya orangtua, tapi jarang berkontak. Beberapa anak malah sudah tak punya orangtua lagi. Kedatangan penyemir cilik ini berawal dari ajakan keluarga atau orang dekat. “Mulanya untuk berjualan kecil-kecilan, tapi karena mereka tidak tahu caranya berdagang, lebih suka membelanjakan uang tak menentu, akhirnya rugi, dan menjadilah penggosok sepatu,” lanjut Selecta . Usai bekerja menyemir sepatu, penyemir cilik mengisi waktu dengan bercengkerama, menonton bioskop, merokok, dan mengunjungi kompleks pelacuran. Mereka enggan mengisi waktu dengan bersekolah. “Malas, Pak!” kata mereka. Cari uang lebih enak. Kehidupan bebas para penyemir cilik mengejutkan pemerintah daerah. Apalagi Jakarta akan menjadi tuan rumah Asian Games 1962. Apa jadinya kalau atlet dan turis asing melihat dan mengetahui kehidupan mereka? Maka pemerintah daerah merazia para penyemir cilik dan mengirimnya ke penampungan-penampungan sementara, sebab penampungan anak telantar di Pulau Edam telah penuh. Tapi razia-razia itu tak pernah menghapus kehadiran penyemir cilik. Mereka terus ada dan berlipat ganda. Bahkan menjadi lebih terorganisasi. Pada dekade 1990-an, orang dewasa meminjamkan kotak semir dan perlengkapannya kepada anak-anak gelandangan di Pasar Senen. Orang dewasa juga melindungi mereka dari gangguan petugas keamanan pasar atau anak-anak gelandangan lainnya. “Sebagai imbalan mereka harus membayar sewa sebesar 600 rupiah per hari,” tulis Prisma , No 5, Mei 1992. Jumlah penyemir cilik di Pasar Senen mencapai 30-40. “Tubuh mereka rata-rata kurus, tidak terpelihara serta badan mereka tampak jarang tersentuh air sehingga kelihatan dekil,” lanjut Prisma . Mereka khawatir kena razia petugas, tapi seringkali mereka kabur dari penampungan dan bekerja lagi sebagai penyemir sepatu. Sekarang kehadiran anak-anak penyemir sepatu mulai jarang. Orang-orang dewasa telah menggantikan kerja mereka.

  • Persekutuan Jenderal dan Pengusaha

    Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno resmi masuk dalam bursa Pilpres 2019 mendatang. Keduanya berasal dari latar belakang berbeda. Prabowo, pendiri Partai Gerindra mantan perwira tinggi TNI AD berpangkat Letnan Jenderal. Dia pernah menjabat Danjen Kopassus dan Panglima Kostrad. Sementara Sandiaga Uno, merintis kariernya dari jalur wira usaha dan tersohor sebagai salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Sandi dikabarkan mengucurkan dana besar sebagai mahar mendampingi Prabowo menjadi wakil presiden. Relasi demikian memang lazim. Jenderal dan pengusaha kerap bersekutu. Sebelumnya mantan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo pun disebut-sebut punya kedekatan dengan pengusaha kawakan Tommy Winata. Di masa lalu, perkoncoan antara jenderal dan pengusaha juga jamak terjadi. Ada semacam ketergantungan di antara mereka. Saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Motifnya pun bermacam-macam. Mulai dari sekedar pergaulan pribadi yang terintis sedari lama, urusan kocek, hingga lobi-lobi politik. Masih aktif ataupun purnawirawan, di mata pengusaha, jenderal tetap punya daya jual. Yang penting ada embel-embel “jenderal”. Sahabat Lekat Jenderal Abdul Haris Nasution punya  sahabat lekat dari kalangan pengusaha bernama Ujeng Suwargana. Hubungan antara keduanya terbina sejak sama-sama merintis karier militer di Divisi Siliwangi. Memasuki zaman Republik, Nasution dan Ujeng bersimpang jalan. Ujeng yang bernama asli Oey Eng Soe beralih profesi menjadi pengusaha percetakan di Bandung. Nasution sendiri tetap pada dinas ketentaraan. Keduanya bersua lagi tatkala Nasution telah menjadi orang nomor satu TNI AD. Memasuki tahun 1960, gelombang nasionalisasi melanda perusahaan Belanda yang beroperasi Indonesia. Nasution yang menjabat kepala staf AD berperan penting mengerahkan tentara dalam aksi nasionalisasi. Sang jenderal tak lupa pada kawan lama. Ujeng ikut meraup untung karena berkesempatan mengakuisisi saham beberapa perusahaan penerbitan Belanda yang ada di Bandung. Nama Ujeng pun melejit sebagai juragan penerbitan.   Jenderal Nasution dan Ujeng Suwargana. Nasution kerap pula menggunakan jasa Ujeng untuk misi yang disebutnya “Diplomasi TNI”. Dalam operasi pembebasan Irian Barat misalnya. Ujeng yang punya jaringan mancanegara diutus Nasution untuk melobi tokoh berpengaruh di negeri Belanda. Tujuannya menggiring opini yang berujung kritik terhadap kebijakan pemerintah Belanda atas Irian Barat. Keterlibatan Ujeng untuk operasi rahasia semacam ini menjadikan dirinya sebagai duta tentara di luar negeri. Tak heran bila Ujeng oleh sebagian kalangan mendapat cap khusus: agen intelijen kelas kakap.  “Sampai ia meninggal,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, “belum pernah pemerintah dapat memberikan tanda penghargaan kepadanya atas jasa-jasa ini yang sepenuhnya atas biaya sendiri.” Keluh-kesah itu diutarakan Nasution di depan jenazah Ujeng Suwargana yang wafat pada 7 Mei 1979. Jenderal Pedagang Soeharto yang kelak menjadi presiden Indonesia kedua pun cukup akrab dengan pengusaha. Bila hubungan Nasution didasarkan tali pertemanan, maka Soeharto murni kepentingan ekonomi. Persinggungan dengan cukong bermula ketika Soeharto menjabat Panglima Divisi Diponegoro. Di Semarang, Soeharto beserta para perwiranya menjalankan pabrik, melakukan perdagangan barter, hingga penyelundupan. Soeharto mengelola sendiri keuntungan yang diperoleh untuk komandonya tanpa izin atau sepengetahuan pemerintah pusat. Aktivitas gelap ini santer terdengar sampai ke Mabes TNI di Jakarta. “Akhirnya, kegiatan bisnis Soeharto mulai menuai tuduhan korupsi,” tulis sejarawan Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik . Pada 1959, Soeharto dicopot dari kedudukan sebagai panglima. Masih beruntung Soeharto terhindar dari pengadilan mahkamah militer. Sebagai hukuman, dia “disekolahkan” ke Seskoad di Bandung. Di kalangan perwira tinggi saat itu, nama Soeharto lekat dengan predikat buruk: jenderal pedagang. Bob Hasan, Liem Sioe Liong, dan Jenderal Soeharto. Dalam kasus Soeharto tersebutlah dua orang pengusaha: Liem Sioe Liong alias Sudono Salim dan Bob Hasan. “Mereka memasok apa saja yang diperlukan oleh Komandan Diponegoro untuk tentaranya, dari beras, seragam, hingga obat-obatan,” tulis George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan. Selanjutnya diantara mereka terjalin kesepakatan khusus pembagian hasil yang sama-sama menguntungkan. Perkoncoan dengan Liem dan Bob Hasan bahkan berlanjut di masa kepresiden Soeharto. Keduanya  merupakan sosok andalan Soeharto untuk memberikan saran dan masukan, termasuk soal duit. Imbalannya, Liem Sioe Liong mendapat hak istimewa memonopoli penggilingan terigu dan cengkeh. Lambat laun, bisnis Liem merambah ke berbagai industri, mulai dari pangan, otomotif, media, hingga perbankan. “Sahabat karib Presiden Soeharto, bankir Liem Sioe Liong, adalah cukongnya para cukong,” tulis sejarawan Amerika spesialis kajian Asia Stearling Seagrave dalam Sepak Terjang Para Taipan . Sementara Bob Hasan menjadi satu-satunya menteri keturunan Tionghoa yang diangkat Soeharto ketika berada di penghujung kepemimpinannya. “Bob Hasan adalah kroni juga mitra golf, bisnis, dan teman sejak Soeharto menjabat Gubernur Militer di Jawa Tengah,” ungkap Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998. Nilai Jual Jenderal Soeharto piawai menjalin koneksi dengan para taipan. Namun dia resah juga bila mengetahui anak buahnya ada yang ikutan kompak bersama pengusaha. Orang itu adalah Jenderal Benny Moerdani, tangan kanan Soeharto yang menjabat Panglima ABRI. Mantan jurnalis senior dan pakar politik-militer Salim Said mencatat, Soeharto mengungkapkan kejengkelannya kepada kolega lama Jenderal Soemitro tentang kegiatan bisnis orang-orang di sekitar Benny. Sang presiden menyebut nama Setiawan Djody dan Robby Sumampow alias Robby Kethek. Ketika Soemitro mengonfirmasi keluhan Soeharto, Benny membela diri. Menurut Benny, dia tak bisa mencegah pengusaha berbisnis. “Mereka bukan pejabat,” kata Benny. Jenderal Benny Moerdani dan Robby Sumampouw alias Robby Kethek. Kendati bukan pejabat, Soeharto dan lingkaran dalamnya tahu Robby Kethek berbisnis lewat fasilitas dari Benny, terutama di Timor Timur. Robby dan Benny memang sohib. Keduanya telah kenal lama dan sama-sama berasal dari Solo. “Adalah Benny yang meminta Robby berbisnis di Timor Timur agar kehidupan perekonomian di wilayah yang baru diakuisisi itu bisa digerakkan. Begitu konon alasan Benny melibatkan Robby berbisnis di Timor Timur,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto . Benny hanyalah segelintir jenderal yang dijadikan alat pendongkrak kepentingan bisnis pengusaha. Di era Orde Baru, tercatat cukup banyak jenderal yang bekerja sama dalam korporasi milik taipan. Kebanyakan dari mereka adalah jenderal pensiunan. Posisi empuk diberikan seperti presiden komisaris, presiden direktur, atau sebatas pemegang saham.  Menurut laporan khusus majalah  Tiara No. 48, 15—28 Maret 1992 dalam artikel bertajuk “Kesibukan Para Jenderal Purnawirawan” ditariknya para jenderal purnabakti itu ke berbagai perusahaan lantaran keunggulan mereka yang tak bisa ditandingi orang sipil. Keunggulan yang dimaksud misalnya, ketegasan mengambil keputusan, kemampuan akses, hingga kekayaan relasi baik di kalangan birokrat maupun militer. Kualifikasi itu jelas dibutuhkan perusahaan dan diapresiasi dengan harga tinggi.   “Dengan demikian, meski tak lagi mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda pangkat, mereka tetap merasa tak pernah kehilangan kebanggaan,” tulis Tiara . “Karena setiap hari – meski tak ada keharusan – mereka tetap bisa ngantor , punya salary dan fasilitas lumayan, yang membuatnya berpenampilan parlente dengan dasi yang selalu mencekik di lehernya.”

  • Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia

    PADA 1 Agustus lalu, Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas menyelenggarakan sebuah seminar di Jakarta yang membahas keabsahan riset tentang Perang Kemerdekaan 1945-1950 oleh pemerintah Belanda. Dalam sebuah surat pernyataan, para pembahas di seminar itu mengutarakan kekhawatiran mereka perihal dukungan pemerintah Belanda yang sejatinya diberikan sebagai sebuah upaya untuk menutup-nutupi kejahatan perang yang dilakukan Belanda selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Mereka juga mencurigai bahwa kerja sama yang terjalin dengan para peneliti sejarah dari Universitas Gadjah Mada dalam proyek ini akan dimanfaatkan sebagai cara untuk melegitimasi upaya pemerintah Belanda tersebut. Hal ini bukan hanya menimbulkan penafsiran yang sangat keliru, namun juga mengancam integritas para rekan peneliti kami dari Indonesia. Pada 2016 pemerintah Belanda memutuskan untuk membiayai sebuah proyek penelitian tentang kekerasan militer selama Perang Kemerdekaan (1945-1950) dan meminta tiga lembaga penelitian, yakni KITLV, NIOD, dan NIMH, untuk menyusun sebuah usulan penelitian. Usulan penelitian yang didesain oleh ketiga lembaga tersebut kemudian disetujui Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, sebelum menerima usulan tersebut, telah terlebih dahulu meminta pertimbangan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo yang menyatakan bahwa beliau tidak berkeberatan dengan diselenggarakannya penelitian tersebut. Pemerintah Belanda menegaskan bahwa ketiga lembaga yang disebut di atas akan menyelenggarakan penelitian ini secara mandiri, tanpa campur tangan apapun dari pemerintah. KITLV dan NIOD adalah dua lembaga yang bernaung di bawah KNAW, Akademi Ilmu Pengetahuan Belanda. Sementara NIMH adalah bagian dari Kementerian Pertahanan Belanda. Namun, NIMH adalah lembaga yang independen yang dalam setiap penyelenggaraan penelitiannya selalu menerbitkan temuan-temuannya sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku. Kemandirian ini berarti bahwa NIMH tidak dibayangi oleh ketentuan-ketentuan kementerian. Selain daripada itu, sebuah dewan penasihat ilmiah dibentuk dan ditugasi untuk mengukur keilmiahan usulan-usulan penelitian serta hasil-hasil yang dibuahkan dari proyek ini. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh sejarawan Remy Limpach dan Gert Oostindie menemukan bahwa personel militer Belanda menggunakan kekerasan yang berlebihan, dalam skala yang sangat besar selama perang kemerdekaan Indonesia berlangsung. Pada saat yang bersamaan, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab berkait dengan sifat, cakupan, dan penyebab kekerasan tersebut. Dengan penelitian ini mungkin saja kasus-kasus baru bisa turut terungkap. Kami memandang penting juga untuk mengkaji secara sistematis perihal jalannya pengadilan militer, badan-badan intelijen, juga periode Bersiap mengingat kajian terhadap ketiga hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Dengan menggunakan sumber-sumber lintas negara dan beragam kesaksian serta dengan bekerja sama dengan para peneliti dari Indonesia, kami berharap dapat memperoleh temuan baru yang lebih menyegarkan. Termasuk berkenaan dengan pertanyaan mengapa terlalu banyak waktu terlewatkan tanpa pernah dilakukan penelitian mendalam tentang ledakan kekerasan ini. KITLV memimpin langsung sub-penelitian Bersiap dan Studi Regional. Bersiap adalah masa yang singkat namun penuh dengan kekerasan di awal Perang Kemerdekaan. Oleh sebab itu, hal ini menjadi bagian integral dalam proyek penelitian ini. Bersiap juga penting dalam konteks sejarah Belanda, khususnya dalam pertaliannya dengan tuntutan kejelasan tentang periode ini dari kalangan masyarakat Hindia di Belanda. Lebih jauh lagi, Bersiap adalah sebuah periode yang rumit yang dipenuhi dengan ketaksaan dan mitos. Riset ini akan menempatkan periode ini dalam konteks yang lebih luas tentang kekosongan kekuasaan dan kekerasan yang dilakukan di masa-masa awal Revolusi di Indonesia, dan dalam konteks perkembangan politik yang telah mulai tumbuh di masyarakat kolonial sebelum kedatangan Jepang. Studi Regional melibatkan kerjasama dengan beberapa sejarawan dari Indonesia dan Belanda dengan fokus kewilayahan. Jurusan Sejarah Universitas Gadjah Mada memainkan peran yang paling penting dalam sub-proyek penelitian ini. Universitas Gadjah Mada telah membentuk kelompok peneliti Indonesia yang terdiri dari peneliti yang berasal dari beberapa universitas yang ada di Indonesia dari berbagai daerah. Kelompok peneliti ini akan bekerja sama dengan peneliti dari Belanda. Para peneliti Indonesia akan membangun skema penelitian mereka sendiri. Mereka akan menerbitkan secara mandiri temuan-temuan penelitian mereka dan juga akan menyumbang beragam artikel yang akan dikumpulkan bersama tulisan-tulisan rekan peneliti Belanda mereka. Hasil dari penelitian ini utamanya ditujukan bagi masyarakat Belanda, tapi juga terbuka untuk masyarakat keilmuan dan para pembaca yang tertarik dengan penelitian ini. Nilai tambah dari kerja sama antara peneliti Belanda dan Indonesia ini adalah bahwa sumber dan sudut pandang dapat diperbandingkan, serta dialog tentang periode 1945 sampai 1950 dapat diperbincangkan. Lagipula, Perang Kemerdekaan Indonesia tidak lain tidak bukan adalah bagian dari sejarah Belanda, dan kami memandangnya sebagai sebuah tanggung jawab kami untuk menyelidiki kekerasan yang dilakukan militer Belanda terhadap rakyat Indonesia selama periode itu. Bertukar pikiran secara intensif antara sejarawan Indonesia dan Belanda sangatlah penting guna membangun pemahaman yang lebih mendalam tentang periode ini. Saling bertukar dan membandingkan sumber rujukan (semacam arsip, publikasi, dan kesaksian) diharapkan dapat membuahkan sebuah materi empiris terbaru. Ini sangat penting guna terciptanya analisis yang berimbang tentang periode dekolonisasi yang sangat rumit. Informasi tentang proyek Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1950:  https://www.ind45-50.org/id dan https://www.ind45-50.org/id/faqpertanyaan-yang-sering-diajukan Penulis adalah kepala peneliti di Lembaga Kajian Asia Tenggara dan Karibia (KITLV), juga profesor sejarah Indonesia di Universitas Leiden. Artikel ini telah diterbitkan di Jakarta Post, 7 Agustus 2018.

  • Medali yang Dirindukan

    EUFORIA puluhan ribu suporter timnas Indonesia U-23 di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, 12 Agustus 2018 itu sangat terasa. Harapan munculnya prestasi tinggi dari cabang sepakbola putra melesat ke angkasa. Meski pembukaan resminya baru akan bergulir 18 Agustus, cabang sepakbola Asian Games XVIII Jakarta-Palembang sudah dimulai sejak 10 Agustus. Tuan rumah yang dibesut pelatih asal Spanyol, Luis Milla, memulai laga perdana di Grup A dengan kemenangan 4-0 atas Taiwan (China Taipei). Stefano Lilipaly yang mencetak dua gol, muncul jadi pahlawan baru. Namanya begitu dipuja sampai dijadikan chant-chant para suporter. Pemain blasteran Belanda-Indonesia itu bersama rekan-rekannya tentu bisa tampil menggebu lagi di laga kedua kontra Palestina, Rabu (15/8/2018) di venue yang sama. Pun di laga-laga berikutnya kontra Laos dan Hong Kong, untuk meneruskan mimpi lolos grup agar bisa berbicara banyak di fase 16 besar. Kalaupun mimpi merebut medali emas dianggap terlalu tinggi, target mencapai babak empat besar (semifinal) sebagaimana di Asian Games 1954 dan 1986 jadi target yang cukup logis. Pelatih Luis Milla pun, seperti dimuat laman resmi AFC, 24 Juli 2018, punya harapan dan target demikian: minimal sampai empat besar. Jelas, langkah timnas takkan mudah. Masih ada macan-macan Asia macam Jepang dan Korea Selatan di grup lain dan bukan tidak mungkin akan jadi batu sandungan di 16 besar seandainya timnas lolos dari fase grup. “Dulu juga Jepang dan Korea levelnya sudah kelas dunia. Sementara kita tidak diperhitungkan,” kenang Robby Darwis, eks pemain timnas Asian Games 1986, kepada Historia. Robby Darwis, Legenda Persib Bandung & Timnas Indonesia di Asian Games 1986 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Tampil di rumah sendiri diharapkan jadi ekstra stimulan bagi tim Garuda Muda. “Saya pribadi optimis karena memang kita sekarang sebagai tuan rumah. Support penonton juga pasti besar. Lihat materi pemain sekarang juga lebih bagus. Walau di beberapa laga ujicoba kurang bagus, tapi saya optimis. Minimal bisa masuk empat besar-lah, seperti yang kita dulu pernah capai. Kalau lebih ya syukur, kalau enggak ya minimal empat besar,” imbuhnya. Medali Berharga dan Skandal Senayan Bicara prestasi di lapangan hijau Asian Games, timnas pernah membawa pulang sekeping medali perunggu di Asian Games III Tokyo 1958. Prestasi itu meningkat pesat. Di Asian Games I di New Delhi 1951, Indonesia hanya sampai perempatfinal dan Asian Games II Manila 1954 hanya semifinal. Di Asian Games I, sistemnya masih sistem gugur, Indonesia hanya tampil sekali dan langsung kalah oleh tuan rumah tiga gol tanpa balas, 5 Maret 1951. Tapi Maulwi Saelan dkk. pulang dengan kemenangan di laga hiburan kontra Birma (kini Myanmar), 9 Maret 1951 di Delhi. “Tim Indonesia berhasil mengalahkan Birma dengan kedudukan 4-1. Meskipun pertandingan bukan dalam rangka Asian Games I, hanya pertandingan persahabatan, itu jadi hiburan dari kegetiran tersingkir dari pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu,” ungkap catatan Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 terbitan Ditjen Olahraga Departemen Pendidikan Nasional tahun 2004. Adapun di Asian Games II di Manila, Indonesia sempat jadi juara Grup C dengan dua kemenangan atas Jepang dan India. Sialnya, Ramang cs. justru kalah 2-4 dari Republic of China (kini Taiwan) di Rizal Memorial Stadium, 7 Mei 1954. Di laga perebutan perunggu pun Indonesia keok 5-4 dari Birma. Indonesia baru bisa merebut medali (perunggu) pertama di Asian Games III. Di penyisihan Grup B, Indonesia jadi juara grup dengan dua kemenangan atas India dan Birma. Di perempatfinal pun Indonesia mengandaskan Filipina 5-2. Namun, di semifinal Indonesia kalah 0-1 dari Republic of China. Untung mereka pulang dari Negeri Sakura dengan medali perunggu setelah sukses menekuk India 4-1 di laga perebutan juara tiga. Hasil yang sampai kini masih jadi medali satu-satunya dari cabang sepakbola itu jadi tonggak harapan untuk meraih prestasi lebih di Asian Games berikutnya di negeri sendiri. Di Asian Games IV 1962 di Jakarta, Wowo Sunaryo dkk. di bawah asuhan pelatih Antun ‘Toni’ Pogačnik digembleng sejak 1961 dengan menjalani sejumlah tur dan laga ujicoba. Timnas antara lain menjamu Yugoslavia Selection (kalah 2-3), Malmö FF dari Swedia (kalah 0-2), Petrolul dari Rumania (kalah 3-4), dan Thailand (menang 7-1). Sayang, menjelang sebelum Asian Games 1962 skandal pengaturan skor mencuat. Sepuluh pemain yang terlibat dicoret. Toni Pogačnik terpukul. “Kalau saja tidak terjadi suap-suapan, tim itu dapat mencapai standar internasional,” ujarnya, dimuat dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1981-1982 . Dengan pemain “tambal-sulam” untuk menggantikan 10 pilar utama yang dipecat, timnas gagal lolos fase grup. Selebihnya, timnas melulu tanpa prestasi. Di Asian Games 1966 dan 1970, hanya mencapai perempatfinal. Pada edisi 1974, 1978, dan 1982 bahkan tak mengirimkan tim. Baru pada 1986 timnas ikut lagi. Robby Darwis dkk. mencapai semifinal. Di babak empat besar itu, Indonesia dibekuk tuan rumah Korea Selatan 0-4. Sementara di laga perebutan perunggu, digilas Kuwait 0-5. Di tiga Asian Games berikutnya (1990, 1994, 1998) Indonesia kembali tak ikut. Sejak  aturan tim yang diperbolehkan tampil adalah tim U-23 diterapkan tahun 2002, Indonesia baru ikut cabang sepakbola lagi pada Asian Games 2006 di Doha. Lagi-lagi, Indonesia gagal menembus grup. Sementara di 2014, terhenti di babak 16 besar. Tahun ini, Indonesia kembali jadi tuan rumah dan ada harapan besar dari publik terhadap Stefano Lilipaly dkk. Mereka butuh doa dan dukungan ratusan juta rakyat Indonesia untuk mencapai target semifinal, atau mungkin medali yang dirindukan sejak 1958. “Kita mulai mimpi kita di Asian Games. Selalu berpikir positif. Selangkah demi selangkah. Yakinlah Indonesia!” kata Luis Milla membakar semangat via akun Twitter pribadinya, @Luismillacoach.

  • Pertanda dari Gempa

    PADA tahun saka memanah surya, dia lahir untuk menjadi  narapati . Telah nampak tanda keluhurannya, bahkan selama dia ada dalam kandungan di Kahuripan. Saat dia lahir terjadilah gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh, dan halilintar yang menyambar-nyambar. Gunung Kampud pun bergemuruh, membunuh para durjana. Penjahat musnah dari negara. Itulah tanda Batara Girinata menjelma bagai raja besar. Terbukti selama dia bertakhta, seluruh Jawa tunduk pada perintahnya. Di balik kisah mitologis dalam  Nagarakrtagama  itu, Jawa memang berulang kali ditimpa gempa. Namun, bagi orang Jawa Kuno, bencana itu memiliki makna. Slamet Muljana dalam  Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya  menerjemahkan peristiwa yang dicatat Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya itu sebagai kisah kelahiran Raja Hayam Wuruk. Peristiwa alam yang terjadi ditafsirkan sebagai isyarat keluhuran sang bayi. Seperti gempa bumi di Banupindah, hujan abu diikuti guruh dan halilintar. Segala isyarat kebesaran itu terlaksana setelah baginda dewasa dan memegang tampuk kepemimpinan. Kerajaan aman dan tenteram, bebas dari kejahatan. Slamet menerjemahkan kalimat tahun saka memanah surya  sebagai petunjuk tahun terjadinya peristiwa yaitu pada 1256. Serat Pararaton juga memberitakan, setelah peristiwa Sadeng, terjadi gempa bumi di Banupindah pada 1256 Saka. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, mengatakan dari dua sumber tadi bisa dibilang pada masa lalu gempa dimaknai sebagai pertanda alam. Dalam hal ini, gempa bumi di Banupindah bisa jadi akibat dari meletusnya Gunung Kampud, nama kuno dari Gunung Kelud. Peristiwa vulkanik Gunung Kelud itu dikaitkan dengan lahirnya dan prestasi yang akan dicapai Hayam Wuruk. “Peristiwa vulkanis ini dimaknai sebagai ‘pertanda alam’ mengenai lahirnya seorang anak yang kelak menjadi narpati ,  nara (orang),  pati  (pemimpin). Artinya sang pemimpin,” ujar Dwi. Gempa juga ditafsirkan sebagai pertanda turunnya takdir dewata.  Pararaton mencatat gempa terjadi ketika Ken Angrok mendatangi Gunung Lejar. Di sana para dewa tengah berdiskusi.  “Lalu berbunyilah guntur disertai gempa bumi dan taufan serta hujan lebat terus menerus. Tampak pelangi di sebelah timur dan barat,” catat  Pararaton. Angrok mendengar suara ribut, ramai gemuruh. Para dewa itu membicarakan siapa yang pantas memimpin Pulau Jawa. “Ketahuilah para dewa semua, adalah anakku, seorang manusia keturunan orang pangkur. Dialah yang akan memperkokoh Pulau Jawa,” kata Batara Guru. Mitologi Gempa Sementara itu, dalam mitologi Hindu, gempa terjadi akibat hewan-hewan penompang bumi berubah posisinya. Dwi berkisah, bumi dipercaya disangga oleh beberapa binatang mitologis: delapan ekor gajah raksasa yang berdiri di atas termpurung kura-kura, ular dengan tujuh kepalanya, babi hutan dengan gadingnya, dan lembu dengan tanduknya. Apabila di antara binatang mitologis itu berganti posisi, bumi yang ditopangnya akan bergoncang.  Sementara budaya Jawa sangat terpengaruh budaya India. Kestabilan dunia amat tergantung pada dua ekor naga yang menjadi penjaga dan penyangga bumi. Naga Ananta (Anantaboga) yang berada di dalam perut bumi, bertugas sebagai penjaga bumi. Naga Sesa (Ananta Sesa atau Adi Sessa) yang menyelam ke dasar laut (patala), bertugas menyangga pertiwi. “Kedua naga inilah oleh orang Jawa acap disebut dengan nogo bumi ,” kata Dwi. Sekarang, orang Jawa menyebut gempa dengan lindu.  Istilah ini sudah dipakai dalam bahasa Jawa Kuno maupun Jawa Tengahan, artinya bergetar, gempa bumi, lindu.  Kata itu dijumpai dalam berbagai sumber kesusastraan masa Hindu-Buddha. Misalnya Adiparwa,kakawin Arjunawiwaha ,  Bharatayuddha ,  Bhomakawya, Sumanasantaka  dan  Kidung Sunda.  Berdasarkan waktu penulisan naskah itu, kata lindu paling tidak telah dipakai sejak abad ke-11 M.  “Kata kalindwan menunjuk pada kondisi tergoncang, terlanda gempa bumi. Istilah lindu dari bahasa Jawa ini pun diserap ke bahasa Indonesia, juga berarti gempa bumi. Bahasa Sunda kenal istilah lindu dan lindu  gempa,” jelas Dwi. Kata lindu  juga digunakan sebagai perumpamaan untuk menggambarkan kondisi yang berguncang. Ia bersinonim dengan kata reg . Akar kata reg menunjuk kepada gerakan menghentak, atau getaran bahkan goncangan hebat.  “Mengingatkan pada istilah  paregrek,  perang besar yang terjadi pada akhir Majapahit antara Bhra Hyang Wisesa dan Bhra (Brhe) Wirabhumi yang diberitakan dalam  Pararaton, ”kata Dwi. Gempa Pada Masa Lalu Meski mitologis, penggambaran peristiwa ini bisa jadi petunjuk bahwa gempa vulkanis akibat aktivitas Gunung Kelud mungkin saja pernah benar-benar terjadi. Menurut Dwi kerajaan-kerajaan yang beribukota di daerah Jawa Timur, seperti Kanjuruhan, Mataram setelah 929-1049 M, Pangjalu (Kadiri) dan Jenggala, Singhasari dan Majapahit, bukanlah tidak mungkin pernah terpapar gempa bumi. Paling tidak gempa vulkanis karena lokasinya tak jauh dari gunung berapi aktif seperti Semeru, Bromo, Kelud (Kampud), Welirang (Kumukus), dan Penanggungan (Pawitra). Serat Pararaton memberitakan meletusnya gunung pada 1233 Saka (1311 M), gemuruh lahar dingin ( guntur banyu pindah ) pada 1256 Saka (1334 M), munculnya gunung  anyar  (baru) pada 1307 Saka (1385 M), gunung meletus pada 1317 Saka (1395 M), gunung meletus pada 1343 Saka (1421 M) disusul kekurangan pangan pada 1348 Saka (1426 Masehi), gempa bumi ( palindu)  pada 1372 Saka (1450 Masehi) disusul gunung meletus setahun kemudian, 1373 Saka (1451 M), gunung meletus pada 1384 Saka (1462 M), gunung lainnya meletus pada 1403 Saka (1481 M). “Rentetan peristiwa vulkanik, baik berupa gunung meletus, lahar dingin, muncul gunung baru, dan gempa bumi yang diberitakan dalam Pararaton tersebut sangat mungkin berlangsung pada Gunung Kampud (Kelud),” ujar Dwi. Nyatanya, gempa bumi yang tercatat dalam sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan Masa Hindu-Buddha kebanyakkan merupakan gempa vulkanik karena sebagian besar warga Jawa tinggal di pedalaman, bukan pesisiran.  “Bukan artinya gempa tektonik tak pernah terjadi pada masa lalu,” lanjut Dwi. Pasca era Hindu-Buddha, peristiwa gempa di Jawa masih muncul dalam teks sastra. Jilid III Babad Betawi koleksi Pura Pakualaman mengisahkan gempa lantaran erupsi Gunung Merapi di Yogyakata. Gunung Merapi menyemburkan api yang dahsyat. Siang-malam bumi berguncang dan dihujani api. Kilat tak henti-hentinya menyambar. Seluruh warga lereng Merapi berusaha menyelamatkan diri. Gempa berikutnya terjadi pada 1867 sebagaimana diberitakan Babad Pakualaman karya permaisuri Paku Alam VI, Gusti Kanjeng Raden Ayu Adipati Paku Alam atau Siti Jaleka. Gempa berlangsung sekitar dua menit, menyebabkan tanah berjungkat, bagai diayun-ayun, bergetar bergoyang bagai hendak dicabut. Bumi dan langit seperti hendak menelungkup. Suara gemuruh di puncak gunung amat mengerikan. Ombak laut pun menjadi besar “kocak-kocak” hingga air dan ikannya terangkat ke daratan.  Akibatnya, Kotagede dan Makam Imogiri mengalami kerusakan parah. Pendapa Pakualaman roboh. Beberapa bangunan dalam Beteng Keraton Yogyakarta juga runtuh. “Peritiwa kegempaan yang dicatat dalam Babad Pakualaman itu memberitakan dengan cukup rinci jalannya peristiwa beserta paparan dampak gempa yang terjadi di Yogyakarta pada waktu subuh,” kata Dwi. Karya itu juga menyebut gempa di Bantul yang mirip dengan gempa di Yogyakarta pada 2006. Bedanya, dalam babad korban tewas sebanyak 1.000 jiwa.  Gubernur Jenderal Belanda di Semarang mengirimkan bantuan. Rakyat kemudian dianjurkan membangun rumahnya menggunakan atap daun tebu yang sudah kering atau alang-alang.  “Tak terbantahkan bahwa catatan kuno itu merupakan catatan sejarah yang sangat berharga, bukan khayalan, bukan mitos,” tegas Dwi.

  • Seputar Maskot-Maskot Asian Games (Bagian II – Habis)

    UNTUK melengkapi Asian Games XVIII 2018 Jakarta-Palembang, panitia menghadirkan tiga karakter fauna khas dari tiga wilayah Indonesia: burung cendrawasih bernama Bhin Bhin, rusa Bawean bernama Atung, dan badak bercula satu bernama Kaka . Ketiganya merupakan hasil sayembara yang digulirkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI sejak 2016. Sebelum ketiganya eksis,sebetulnya Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI Imam Nahrawi bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla sudah pernah meluncurkan maskot bernama Drawa , 27 Desember 2015. Nama Drawa diambil dari kepanjangan “Cen-drawa-sih” karena desainnya terinspirasi dari burung cendrawasih merah ( Paradisaea Rubra ). Namun, penampakan Drawa, cendrawasih yang mengenakan kostum pencak silat, justru menuai kritik. Tak hanya dari Komite Olimpiade Indonesia (KOI) dan Kemenpora tapi juga dari para netizen Indonesia yang maha benar dengan segala postingan mereka. Akhirnya, Bekraf menawarkan kerjasama dengan Kemenpora untuk merevisi maskot. Bekraf lalu menggelar sayembara. Mengutip laman Bekraf, 29 Juli 2016, lantas muncullah desain tiga serangkai Bhin Bhin, Atung, dan Kaka. Ketiganya hasil karya Jefferson Edri dan rekan-rekannya dari Feat Studio. Bhin Bhin menggambarkan burung cendrawasih merah khas Papua, Atung berupa rusa Bawean ( Axis Kuhlii ), dan Kaka berupa badak Jawa ( Rhinoceros Sondaicus ). Ketiganya didesain untuk menggambarkan kemajemukan Indonesia dengan sentuhan yang lebih milenial. Tiga serangkai maskot Asian Games 2018 itu meneruskan “tradisi” maskot di Asian Games yang masing-masing punya kisah unik. Sebelumnya, sudah diulas beberapa kisah di balik maskot-maskot Asian Games dari 1982 hingga 1994. Berikut kisah-kisah maskot dari Asian Games 1998 hingga 2014: Asian Games 1998: Chai-yo Figur gajah kembali dimunculkan sebagai maskot Asian Games saat Bangkok, ibukota Thailand, jadi tuan rumah Asian Games ke-13 tahun 1998. Laiknya India, masyarakat Thailand juga mengkramatkan gajah. Namun dipilihnya gajah untuk maskot bukan semata karena keramatnya hewan itu. Pada 1998, sebagian besar kawasan Asia masih terkena krisis moneter yang bermula dari Thailand pada 1997. “Pengalaman Thailand terkait krisis disalurkan pada simbol populer berupa gajah. Setelah krisis berlalu, figur-figur gajah selalu diberitakan, bahkan jadi inspirasi beberapa pihak untuk digunakan sebagai tema pameran seni. Oleh karena itu maskot yang dipilIh untuk Asian Games 1998 adalah seekor gajah yang kemudian dinamai Chai-yo,” ungkap Phasuk Phongphaichit dan Christopher John Baker dalam Thailand’s Crisis . Nama Chai-yo sendiri merupakan bahasa lokal yang berarti kegembiraan, kesuksesan, persatuan, dan kebahagiaan. Kata itu sesuai harapan mereka dalam upayanya untuk bangkit dan jadi tuan rumah yang sukses. Karakter Chai-yoyang dibuat oleh tim BAGOC (Panitia Pelaksana Asian Games Bangkok) digambarkan mengenakan kaus berlogo resmi Asian Games 1998 dan selalu tersenyum dengan gestur menyambut para partisipan Asian Games. Asian Games 2002: Duria Sebagai ikon kebanggaan Busan, burung camar dipilih sebagai maskot ketika Busan menjadi tuan rumah Asian Games XIV 2002. Burung camar maskot itu diberi nama Duria. “Nama Duria artinya ‘Anda dan Kita Bersama-sama’ dalam bahasa Korea dan mengekspresikan gagasan Asian Games yang mempromosikan persatuan kemitraan antarbangsa-bangsa Asia,” tulis Suratkabar Korea Herald , 13 Januari 2001. Duria digambarkan bukan sedang terbang, melainkan sedang berlari. Dua warna yang mempercantik figur Duria, putih dan hitam juga punya makna tersendiri. Situs BAGOC (panitia penyelenggara Asian Games Busan) memaparkan, warna hitam di sayapnya menyimbolkan kebudayaan tradisional Korea dan warna putih di tubuhnya merepresentasikan citra semangat yang kuat dan harapan besar terhadap Asia di awal abad ke-21. Asian Games 2006: Orry Doha sebagai tuan rumah Asian Games XV 2006 mempromosikan maskot berupa fauna yang menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) terancam punah: Oryx atau kiang Arab ( Oryx Leucoryx ). Mengutip laman resmi Dewan Olimpiade Asia (OCA), maskot yang dinamai Orry ini menyimbolkan semangat Asian Games berupa komitmen, antusiasme, respek, perdamaian, dan kegembiraan. “Maskot ini turut mempromosikan kebudayaan (Qatar) sekaligus merayakan perbedaan,” cetus Dirjen DAGOC (panitia Asian Games) Abdulla Khalid al-Qahtani, dikutip Tamra Orr dalam Cultures of the World: Qatar . Asian Games 2010: A Xiang, A He, A Ru, A Yi dan Le Yangyang “Kota Para Kambing”. Begitulah Guangzhou, kota penyelenggara Asian Games XVI 2010, dijuluki. Tak heran bila maskot yang dipromosikan GAGOC (panitia Asian Games Guangzhou) berupa kambing berjumlah lima ekor (empat kambing kecil dan seekor kambing dewasa). Laman resmi GAGOC menyebutkan, kelimanya diberi nama A Xiang, A He, A Ru, A Yi, dan Le Yangyang. Bila semuanya dirangkaikan, mengandung pesan perdamaian dan semangat Asian Games berupa harmoni, keberuntungan, dan kebahagiaan. Inspirasi desain kelima kambing itu tak lepas dari cerita rakyat seribu tahun lalu, “Legenda Lima Kambing”, yang mengisahkan petualangan dewa-dewa khayangan menjelajah dengan menunggangi lima kambing berlainan warna. Asian Games 2014: Barame, Chumuro, dan Vichuon. Asian Games 2014: Barame, Chumuro, dan Vichuon. Mengingat perhelatannya digulirkan di kota pelabuhan, Incheon, penyelenggara menghadirkan maskot berupa anjing laut tutul ( Phoca Largha ). Bukan satu, melainkan tiga anjing laut yang digambarkan sebagai tiga bersaudara bernama Barame, Chumuro, dan Vichuon. Ketiga maskot ini sebelumnya sudah digunakan pada Asian Indoor-Martial Arts Games 2013 yang juga dihelat di Incheon. Mengutip korea.net , 2 September 2014, masing-masing karakter namanya dari bahasa Korea yang berarti pencerahan, angin, dan tarian. Panitia penyelenggara (IAGOC) berharap dengan ketiga maskot ini pesan-pesan perdamaian dan harmoni. “Memilih satwa ini sebagai maskot diharapkan jadi upaya signifikan untuk membawa pesan perdamaian dengan menurunkan tensi di Semenanjung Korea dan konflik-konflik di area-area yang jadi sengketa,” tulis pernyataan IAGOC.

  • Kebaya Encim, Busana Tradisional Betawi yang Melintasi Zaman

    SIAPA bilang busana tradisional ketinggalan zaman dan kaku? Dengan pemaknaan ulang dan kreativitas, busana tradisional selalu aktual dan luwes. Begitu menurut Dyah Wara, antropolog jebolan Universitas Indonesia, dan Intan Soekotjo, perempuan muda penyanyi keroncong, pada diskusi seputar “Sejarah Kebaya Encim” dalam Festival Betawi Hari Ini di Art:1 New Museum, Jakarta Pusat (11/08/2018). Dyah mengatakan busana tradisional tidak selalu ajeg. Ia mengalami ubah-suai motif dan penggunaan seiring kondisi zaman. Hal demikian terjadi pada perkembangan kebaya encim, busana tradisional Betawi. Kebaya encim muncul sebagai bentuk akulturasi kebudayaan Betawi, Melayu, Tionghoa, dan Belanda pada abad ke-19 . “Sebutan aslinya adalah kebaya nyonya,” kata Dyah. Sebutan nyonya mengacu pada kebanyakan penggunanya, yaitu para nyonya pembesar dari kalangan atas, baik penduduk tempatan maupun Belanda. Kebaya nyonya memiliki bentuk khas. Blus dengan sudut melancip dari bagian pinggang sampai ke paha, tetapi agak sedikit landai pada bagian belakang. Kerahnya menyerupai huruf V. Terdapat renda-renda pada sejumlah bagian kebaya untuk menambah kesan elegan. Harga kebaya nyonya cukup mahal bagi sebagian besar perempuan tempatan. “Pemakaian kebaya nyonya semula juga terbatas pada peristiwa penting atau hari raya,” lanjut Dyah. Perempuan Tionghoa kemudian berperan memassalkan penggunaan kebaya nyonya. Penggunaan massal telah mengubah harga kebaya menjadi lebih terjangkau oleh banyak perempuan. Nama kebaya nyonya pun menjelma kebaya encim. “Kata encim berasal dari bahasa Hokkian, suku Tionghoa paling dominan di Batavia. Dan kemudian istilah itu langgeng dipakai untuk menyebut kebaya jenis ini,” kata Dyah. Perempuan Tionghoa mengkreasi ulang warna dan motif kebaya. Mereka menghindari warna putih. Sebab dalam pandangan orang Tionghoa, warna putih bermakna duka. Mereka menggantinya dengan warna merah dan emas, lambang keberuntungan dan kejayaan. Motif khas Tionghoa seperti burung Phoenix dan Merak mulai hadir memperkaya kebaya. “Burung Phoenix melambangkan keagungan dan kejayaan, sedangkan merak berarti kemakmuran dan kebahagiaan,” terang Dyah. Perubahan kebaya encim menyentuh pula waktu penggunaannya. Ia tak lagi sebatas muncul dalam acara resmi dan hari raya, tetapi juga hadir dalam keseharian sampai sekarang. Salah satu penggunanya ialah Intan Soekotjo. Intan gemar memakai kebaya encim untuk aktivitas sehari-hari. Dia memilih kebaya berukuran agak longgar demi memudahkan gerak. Motifnya berupa bunga dan warnanya tidak terlalu mencolok. Intan memadupadankan kebaya dengan kain berwarna terang sebatas lutut. Alas kakinya berupa sepatu sneakers model terbaru. Dia tampak tetap anggun dan cantik dengan kombinasi busana tradisional dengan modern. Intan mengaku modifikasi kebaya ala generasi milenial sempat membuat risih ibunya, Sundari Soekotjo, penyanyi keroncong legendaris. Namun, dia berhasil meyakinkan ibunya bahwa anak muda perlu sesuatu yang segar pada busana tradisional tanpa meninggalkan makna filosofisnya. “Saya ingin kebaya dapat dimengerti dan dinikmati oleh kalangan anak-anak muda milenial,” kata Intan. Dan karena itu, anak muda harus memperoleh kesempatan untuk memaknai dan mengkreasi ulang kebaya sesuai dengan tren kekinian. Untuk mengatasi ketegangan antara kaum muda dan orang tua terhadap perubahan busana tradisional, Intan berbagi jurus ampuh. “Komunikasi antara kaum tua dengan kaum muda menjadi kunci dalam pelestarian khazanah tradisional kita. Khususnya kepada generasi muda, hal ini menjadi penting,” ungkap Intan. Intan menyarankan generasi muda agar berpikir agak tinggi untuk menggapai cara pikir generasi tua. Sebaliknya, dia juga meminta generasi tua untuk turut sedikit rendah hati memahami cara pikir generasi muda. “Dari situ nanti akan ketemu pemaknaan kedua generasi, akan tercipta harmoni,” tutur Intan. Festival Betawi Hari Ini berupaya menggapai maksud tersebut. Chaka Priambudi, anggota panitia festival dan founder Lantun Orchestra, mengatakan bahwa festival ini menjadi salah satu cara bagi generasi muda mengenal kebudayaan Betawi. Didukung oleh Djarum Foundation, Festival Betawi Hari Ini juga menghadirkan pementasan tari lenggang nyai dan pertunjukan musik tradisi oleh Lantun Orchestra. Semuanya kental dengan sentuhan modernitas dan selera anak muda, namun tetap berusaha mempertahankan makna hakiki kebudayaan tradisi.

  • Cerita di Balik Pasangan SBY-JK di Pilpres 2004

    PASANGAN capres-cawapres telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum pada 10 Agustus 2018. Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin berhadapan dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Penentuan cawapres ini cukup mengejutkan. Tentu menarik bila kita mengetahui cerita di balik penentuan pasangan itu. Seperti halnya dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) pada Pilpres 2004. Dalam biografi terbaru, Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden karya Robert Adhi Ksp, terungkap bagaimana SBY diusulkan menjadi capres dan JK sebagai cawapres. Suatu ketika di tahun 2003, Sofjan Wanandi selaku ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menjadi pembicara dalam Musyawarah Nasional Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) di Hotel Hard Rock, Bali. Pembicara lain adalah SBY yang menjabat menteri koordinator politik dan keamanan (menkopolkam). Sofjan mengenalnya sejak menjabat menteri pertambangan dan energi pada 1999. “Bagaimana saudara-saudara kalau kita jadikan SBY presiden?” tanya Sofjan. Banyak anggota HKI berteriak, “Setujuuu.” SBY tersenyum. Dia kemudian menulis di secarik kertas kecil: “Sdr. Sofjan, apakah Anda serius?” Sofjan menulis jawabannya juga pada kertas kecil: “Serius, Pak.” Setelah kembali ke Jakarta, Sofjan menemui SBY di kantor Menkopolkam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. SBY kembali bertanya, “Sdr. Sofjan, saudara mengusulkan saya menjadi presiden. Apakah saudara serius? Bukankah saya tidak punya apa-apa.” “Saya serius, tapi dengan syarat wakil presiden harus berasal dari kalangan pengusaha,” kata Sofjan. Sofjan menawarkan dua nama pengusaha: Ketua Kadin Aburizal Bakrie (Ical) atau Menko Kesra Jusuf Kalla. “Kalau Pak SBY mau pilih pengusaha,” kata Sofjan, “saya akan galang dana dari pengusaha untuk mendukung Pak SBY.” Sofjan kemudian mengatur pertemuan SBY dengan Ical. Setelah tiga kali pertemuan, Ical menolak menjadi cawapres karena merasa partainya, Golkar lebih besar dari Demokrat, partai baru yang didirikan SBY. Ical juga akan maju menjadi capres. Namun, dalam konvensi Partai Golkar, dia kalah oleh Wiranto. Kandidat lain yang kalah, Prabowo Subianto mendirikan partai baru, Gerindra, dan Surya Paloh mendirikan Partai NasDem. Wiranto berpasangan dengan Salahuddin Wahid di Pilpres 2004. Setelah Ical menolak, Sofjan beralih ke JK. Ternyata, JK juga menolak menjadi cawapres. Alasannya, JK mengatakan, “Pak Sofjan, saya tidak mau. Dia susah ambil keputusan.” “Kalla tidak ingin berpasangan dengan SBY yang dinilainya lemah dan tidak mampu mengambil keputusan segera,” kata Sofjan. Belakangan, Sofjan tahu kalau JK ingin menjadi cawapres Megawati Sukarnoputri. Namun, pertemuan JK dan Mega tak membuahkan hasil. “Jusuf Kalla berpikir, Megawati sebagai calon presiden harus lebih dulu memintanya menjadi wakil presiden. Namun, sesuai kultur Jawa, Megawati sebagai perempuan menunggu dipinang,” kata Sofjan. Megawati memilih Ketua PBNU K.H. Hasyim Muzadi di Pilpres 2004. JK akhirnya bersedia menjadi cawapres SBY dengan perjanjian tertulis tentang pembagian tugas dengan SBY. Karena mendukung SBY-JK, Sofjan “berkelahi” dengan abangnya, Jusuf Wanandi, yang mendukung Megawati-Hasyim Muzadi. Mereka tak berbicara selama tiga bulan sampai didamaikan oleh ibunya, Katrina, ketika liburan keluarga ke Tiongkok. Pilpres 2004 diikuti lima pasang. Karena tak ada yang memperoleh suara lebih dari 50%, putaran kedua mempertemukan SBY-JK dan Megawati-Hasyim Muzadi. SBY-JK terpilih menjadi presiden dan wakil presiden dengan raihan suara 60,62%. SBY dan JK berpisah pada Pilpres 2009. SBY berpasangan dengan Boediono sedangkan JK sebagai capres berpasangan dengan Wiranto. SBY-Boediono keluar sebagai pemenang dengan suara 60,80%. Pada Pilpres 2014, Sofjan kembali memainkan peran memasangkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan JK. Jokowi-JK terpilih sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. “Sofjan tidak hanya mengusulkan, tetapi juga mengajak teman-temannya di Apindo untuk mendukung kami,” kata JK. Sebelumnya, Sofjan dan JK yang mengusulkan Jokowi kepada Megawati agar walikota Solo itu menjadi calon gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Jokowi-Ahok terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Menurut Sofjan, kepentingan Apindo sebenarnya hanya berkaitan dengan soal upah pekerja. Pengusaha meminta agar kenaikan upah lebih reasonable agar tidak memberatkan dunia usaha. Soal itu, Jokowi meminta Ahok untuk menerima para pengusaha Apindo. Namun, Ahok mengatakan, “Saya tidak mau diatur.” “Itu menjadi pertemuan pertama saya sekaligus terakir dengan Ahok sebagai pejabat,” kata Sofjan. Pada Pilpres 2019, peluang JK menjadi cawapres tertutup. Hingga batas akhir pendaftaran capres-cawapres pada 10 Agustus 2018, Mahkamah Konstitusi belum menyidangkan uji materi Pasal 169 huruf N UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Partai Perindo pada 10 Juli 2018. Perindo menganggap pasal ini membatasi jabatan cawapres sebanyak dua periode baik berturut-turut maupun tidak. Gugatan ini menjadi sorotan karena JK menjadi pihak terkait dalam uji materi tersebut.

  • Pencipta Neraka di Barat Jawa

    GAR Soepangat (90) masih ingat insiden yang terjadi di Purwakarta pada 22 Oktober 1948. Sebuah kereta api logistik milik militer Belanda yang tengah bergerak dari Bandung menuju Jakarta tetiba terguling di kawasan Bendul. Sejumlah penumpang tewas seketika dan puluhan lainya mengalami luka-luka. “Tentara Belanda marah dan besoknya langsung melakukan pembersihan. Sepuluh kawan kami berhasil mereka ciduk berkat petunjuk para pengkhianat,” ujar eks gerilyawan Republik di wilayah Purwakarta tersebut. Sabotase terhadap kereta api rute Bandung-Jakarta memang kerap terjadi di wilayah barat Jawa. Pihak militer Belanda mensinyalir aksi tersebut dijalankan oleh suatu organisasi ekstrimis bernama SP 88 (Satoean Pemberontak 88) pimpinan seorang Letnan Kolonel TNI bernama Oesman Soemantri. ”Selain sabotase, SP 88 pun terbukti menjadi dalang di balik pemogokan para buruh kereta api jurusan Jakarta-Cirebon,” demikian laporan NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) yang dilansir oleh Arsip Nasional Belanda dalam sebuah dokumen tertanggal 23 Oktober 1948. Siapakah sebenarnya SP 88? Bermula dari Barisan Hitam Sesuai kesepakatan Perjanjian Renville pada awal 1948, Divisi Siliwangi meninggalkan wilayah Jawa Barat. Namun, menurut  Siliwangi dari Masa ke Masa yang ditulis Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi (Sendam VI), secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Siliwangi menyisakan sebagian kecil anggotanya di Jawa Barat untuk terus mengobarkan perlawanan. Di Purwakarta, salah satu yang tetap bertahan adalah Field Preparation Barisan Hitam (FPBH), sebuah kesatuan campuran tentara dan lasykar. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri, sejak 1 Februari 1948 FPBH lantas mengubah namanya menjadi SP 88. “Itu dilakukan untuk memberi kesan kita adalah kesatuan para pemberontak yang terlepas dari TNI,” ujar Gar Soepangat yang merupakan eks anggota SP 88. Embel-embel angka “88” diartikan para anggota SP 88 sebagai simbol dari nama dua pemimpin Republik: Sukarno-Hatta. Angka 8 yang pertama adalah huruf S (sa), huruf kedelapan dalam afabet Jawa. Adapun 8 yang kedua adalah H, huruf kedelapan dalam alfabet Romawi. “Jadi kami melakukan pemberontakan terhadap Belanda tetap mengatasnamakan Sukarno-Hatta, pemimpin Republik Indonesia,” ujar Soepangat. Menurut Affandi Bratakoesoemah dalam Sejarah Gerilya SP 88 , para pemimpin SP 88 sendiri menyamarkan nama mereka dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Misalnya, Oesman Soemantri disamarkan menjadi Tritunggal sedangkan wakilnya A.S. Wagianto memakai nama Sang Dewata. Robert B. Cribb, sejarawan berkebangsaan Australia, merekam strategi penyamaran nama itu dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries . Malah, menurut Cribb, bukan hanya mengadopsi nama-nama berbau Sansekerta, para komandan SP 88 pun kerap menggunakan nama-nama “berbau barat” seperti Phantom Bom. Anggota SP 88 terbilang besar; ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk. Menurut Sudjono Dirdjosisworo dalam  Siliwangi dari Masa ke Masa  edisi III, pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang). Soepangat malah menyebut wilayah operasi SP 88 lebih luas lagi. Selain Karawang dan Purwakarta, SP 88 beraksi di Bekasi, Jakarta Timur, Subang dan sebagian wilayah Cianjur Utara. Dalam aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai motto mereka “datang seperti angin dan pergi pun laksana angin”, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalan aksi-aksinya. “Pokoknya kami menciptakan neraka buat Belanda,” ungkap Gar Soepangat seraya terkekeh. Organ Teror Sepanjang tahun 1948, situasi Karawang dan Purwakarta mencekam. Aksi kelompok berseragam hitam yang menamakan diri SP 88 cukup membuat ciut nyali kaum bumiputra yang bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda. Menurut Cribb, di beberapa tempat seluruh kader pemerintah tingkat bawah bentukan Belanda tiba-tiba lenyap begitu saja. “Bahkan ada rencana SP 88 menyerang rumah bupati Karawang dalam satu serbuan,” tulis Cribb. Operasi kontra-intelijen menjadi spesialisasi SP 88. Dalam berbagai aksi, SP 88 tidak hanya melibatkan anggota laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya bernama Roekiah. Dia merupakan komandan intel SP 88 yang beroperasi di wilayah Cicariang, Purwakarta kota, Kembangkuning, Cikuya, Perkebunan Jatiluhur, Cilutung, Cilalawi, dan Cicariang. “Laporan-laporannya sangat valid dan berguna buat kesatuan,” kata Gar Soepangat. Namun tak ada aksi SP 88 yang membuat polisi dan tentara Belanda sangat jengkel selain operasi agitasi-propaganda dan sabotase mereka. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan keretapi. Penyebaran poster ancaman kepada mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian. Gar Soepangat masih ingat bagaimana dia memimpin aksi corat-coret dan penempelan poster di dalam kota Purwakarta. Biasanya aksi itu dilaksanakan beberapa menit sebelum tengah malam atau lewat tengah malam. “Kami harus kucing-kucingan dengan patroli tentara Belanda,” kenangnya. Usia SP 88 sendiri terbilang panjang. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, eksistensi organ teror ini tetap dipertahankan. Mereka pun kembali menjadi andalan kekuatan militer Republik mengobrak-abrik pertahanan Belanda hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Agustus 1949. “Usai komandan kami gugur karena ditembak secara misterius pada akhir 1949, Januari 1950 SP 88 secara resmi dibubarkan, “ungkap Gar kepada Historia .

  • Penegak Hukum Masa Jawa Kuno

    DI dalam istana, Raja Wilwatikta makin tekun dalam aktivitasnya. Di pengadilan, dia tak memihak dan sangat hati-hati. Dia ikuti semua aturan dalam kitab  Agama . Sang raja tak memihak karena diberi kekayaan. Dia adil kepada semua orang. “Perbuatan baik diupayakan untuk mengetahui masa yang akan datang dan sebagainya, sesungguhnya beliau penjelmaan dewa,” catat Mpu Prapanca dalam karya monumentalnya, KakawinNagarakrtagama . Dari sana diketahui Raja Hayam Wuruk menjalankan pengadilan tak sembarangan. Dalam kitab itu pula dijelaskan, sang prabu mengangkat keponakannya, Wikramawardana, sebagai wakil raja dalam menjalankan pengadilan. Istilahnya dalam bahasa Jawa Kuno adalah paningkah cri narendradhipa.  Sri Kertawardana, ayah Hayam Wuruk, juga punya fungsi di pengadilan. Kertawardana disebut mahir menerapkan hukum perdata. “Demikianlah ada pembagian tugas antara Kertawardana dan Wikramawardana dalam menjalankan pengadilan atas nama raja,” tulis Slamet Muljana dalam  Menuju Puncak Kemegahan . Selama masa Hindu Buddha, khususnya di Jawa, jumlah dan susunan pejabat kehakiman tak selalu sama. Arkeolog Puslit Arkenas Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa menjelaskan pada Mataram Kuno hanya ada dua pejabat kehakiman, yaitu samgat i tiruan dan samgat i manghuri. Dalam prasasti Mataram Kuno, pejabat yang berurusan dengan pengadilan disebut sebagai  sang pamgat,  disingkat samgat  atau  samgět.  Keputusan pengadilan dapat berupa pidana (hukum yang berkaitan dengan kajahatan) dan perdata (hukum yang berkaitan dengan perdagangan, jual beli, dan lainnya). Masa Kadiri sampai Majapahit jumlah pejabat yang bertanggung jawab di bidang hukum semakin banyak. Pejabat dibagi atas dua kelompok. Pertama, dharmmadhyaksa ring kasaiwan (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Siwa) dan dharmmadhyaksa ring kasogatan (pemimpin keagamaan/ketua pengadilan dari golongan agama Buddha). Kedua, kelompok dharma upapatti (pejabat kehakiman) yang jumlahnya tidak tentu dalam suatu prasasti. Namun, secara keseluruhan jumlahnya sembilan orang, yaitu samgat i tiruan, samgat i kandamuhi, samgat i manghrui, samgat i jamba, samgat i panjang jiwa, samgat I pamwatan, samgat I tigangrat, samgat I kandangan atuha, samgat I kandangan rarai. “Setiap wilayah kerajaan yang terdiri dari pusat dan daerah punya administrasi kehakiman masing-masing,” tulis Titi. Khususnya pada masa Majapahit, pejabat kehakiman disebut sang prāgwiwākawyawahāranyāyanyāyawicchedaka. Artinya hakim yang dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam persengketaan. Ini tercatat dalam Prasasti Sukāmrta (1218 saka/1296 M) dan Prasasti Adan-adan (1223 saka/1301 M). Ada pula sebutan  sang dharmmādhikaraņanyāyanyāwyawahārawicchedeka  (pemimpin keagamaan yang dapat memutuskan persengketaan antara pihak yang benar dan salah). Ini tertera dalam Prasasti Tuhañaru (1245 Saka/1323 M). Sementara dalam Prasasti Cangu (1280 Saka/1258 M) dan Prasasti Sěkar, pejabat kehakiman disebut  sang dharmmaprawāktawyawahārawicchedaka. Artinya juru bicara dalam bidang keagamaan atau hukum yang dapat memutuskan persengketaan.  Prasasti Běndosari (1360 M) dan Parung dari masa Majapahit menjelaskan, para pejabat kehakiman punya pertimbangan sebelum memutuskan suatu perkara di pengadilan. Mereka harus mempelajari kitab-kitab  sāstra  yang berasal dari India, peraturan daerah, hukum adat, pendapat para sesepuh, kitab-kitab hukum, seperti yang selalu dilakukan oleh para hakim sejak dulu kala. “Prasasti Parung memberikan petunjuk mengenai adanya dasar hukum yang lain. Itu sumpah kepada dewa atau tokoh yang diperdewakan,” tulis Titi. Sementara itu, epigraf Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan jika suatu masalah tak tercantum dalam kitab hukum, pejabat kehakiman akan menyelesaikan perkara itu berdasarkan pernyataan saksi. Adapun masalah sengketa tanah, terutama mengenai tanah perdikan, diputuskan oleh raja sendiri .

  • Seputar Maskot-Maskot Asian Games (Bagian I)

    SEPEKAN lagi Jakarta dan Palembang akan menggelar pesta olahraga berlabel “Energy of Asia”, Asian Games XVIII. Spanduk-spanduknya sudah terpajang di hampir semua sudut ibukota. Beragam produk souvenir pun sudah dipasarkan, utamanya yang melekatkan figur maskot: Bhin Bhin, Atung dan Kaka. Meski Asian Games sudah mencapai edisi ke-18, ketiga maskot itu merupakan maskot ke-10. Menilik catatan sejarahnya, maskot pertama baru hadir pada Asian Games IX 1982 di New Delhi, India. Sejak itu, maskot jadi pelengkap wajib tiap gelaran Asian Games. Berikut ulasannya: Asian Games 1982: Appu Butuh delapan Asian Games sebelum akhirnya maskot pertama dimunculkan. Maskotnya berupa gajah Asia ( Elephas Maximus ) balita yang dinamai Appu. Menurut Mithlesh K. Singh Sisodia dalam “India and the Asian Games: From Infancy to Maturity” yang tertuang di  Sport, Nationalism and Orientalism: The Asian Games , maskot Appu bagi masyarakat India ibarat simbol keberuntungan dan kekuatan dalam mitos dan cerita rakyat di India. Namun, maskot Appu tiada desainernya lantaran merupakan satu-satunya maskot yang diadaptasi dari hewan sungguhan. Namun karena terjadi sengketa antara pihak Sirkus Apollo yang melatih Appu dengan Panitia Pelaksana Asian Games 1982, Appu batal dihadirkan pada upacara pembukaan di Stadion Jawaharlal Nehru, New Delhi, 19 November 1982. Figur Appu sekadar dimunculkan dalam bentuk balon udara raksasa dan rangkaian bunga yang dibentuk gajah. Asian Games 1986: Hodori Maskotnya berupa anak harimau Amur ( Panthera Tigris Tigris ) atau harimau Siberia nan lucu yang mengenakan topi Sangmo, topi tradisional penghias seni tari dan musik Pungmul (budaya petani Korea). Di topinya, menjuntai pita berbentuk huruf “S”, inisial kota penyelenggara, Seoul. Harimau yang sangat dekat dengan legenda dan cerita-cerita rakyat itu hasil karya Yang Seung-choon dari Departemen Desain Industri Universitas Nasional Seoul yang dipilih sejak 1984. Nama Hodori berasal dari ejaan bahasa Korea: Ho kependekan kata Horangi yang berarti harimau dan Dori berarti anak kecil atau bocah. Selain untuk maskot Asian Games 1986 Seoul, Korea Selatan, Hodori juga jadi maskot Olimpiade 1988 di kota yang sama. Sebagaimana Appu, sempat ada sengketa terkait figur Hodori. “ Hodori sangat mirip dengan Tony the Tiger, karakter yang dihakciptakan Kellogg’s, perusahaan sereal Amerika Serikat. Kellogg’s sempat meminta Panitia Olimpiade Seoul mengganti maskot, atau mereka akan dituntut secara hukum,” ungkap James F. Larson dan Park Heung-soo dalam Global Television and the Politics of the Seoul Olympics . Kellogg’s menganggap Hodori jiplakan Tony the Tiger yang sudah jadi ikon produk-produk Kellog’s sejak 1952. Kellogg’s khawatir Hodori akan jadi sumber uang yang hanya menguntungkan Panitia Olimpiade Seoul, terutama jika Hodori digunakan pabrikan sereal rival Kellogg’s. “Sengketa itu diselesaikan delegasi senior SLOOC yang bertemu perwakilan senior urusan hukum Kellogg’s di Chicago (Amerika). Keputusannya, SLOOC berjanji takkan menjual hak komersial Hodori ke pesaing-pesaing sereal Kellogg’s tanpa persetujuan Kellogg’s,” ujar Larson dan Park. Hodori dalam 86 jenis merchandise, mulai dari penghapus pensil seharga USD12 hingga peralatan teh berbanderol USD480, booming sejak 1985. Tak hanya di dalam negeri, produk-produk Hodori juga diekspor ke Jepang, Eropa, dan Amerika. Asian Games 1990: Pan Pan Selain hewan mitos naga, panda selalu jadi fauna yang intim dengan kebudayaan China. Untuk perhelatan Asian Games 1990 Beijing, Tiongkok menghadirkan ikon panda raksasa ( Ailuropoda Melanoleuca ) sebagai maskot utama dan dinamai Pan Pan. Karakter Pan Pan digambarkan sebagai panda periang yang sedang berlari dengan memegang sekeping medali di tangan kiri dan acungan jempol di tangan kanannya. Maskot ini terinspirasi dari salahsatu panda raksasa betina langka bernama Basi. Ia hidup sampai usia 37 tahun atau 100 tahun kalau dibandingkan usia manusia. Basi tutup usia di Fuzhou, 13 September 2017. Jasadnya diawetkan untuk di- display di Basi Museum, Fuzhou. Dihadirkannya Pan Pan tak lepas dari makna politis, setahun sebelum Asian Games terjadi demonstrasi mahasiswa di Tiananmen Square yang berujung pada Pembantaian Tiananmen, 3-4 Juni 1989. “Pan Pan menjadi upaya utama pemerintah menciptakan citra Beijing yang stabil dan normal. Nama Pan Pan sendiri bisa diartikan harapan atau menantikan kerinduan– yang menjadi ekspersi dari optimism pemerintah terkait masa depan negara,” ungkap James A. R. Miles dalam The Legacy of Tiananmen: China in Disarray . Asian Games 1994: Poppo dan Cuccu Hiroshima, kota pertama yang mengalami kehancuran akibat bom atom, mengangkat tema perdamaian dan harmoni untuk Asian Games 1994. Maka, maskot Asian Games ke-12 itu berupa dua merpati jantan dan betina yang dinamai Poppo dan Cuccu . Poppo dan Cuccu mirip karakter Donald dan Daisy Duck milik Walt Disney. Beruntung, tak pernah ada komplain dari pihak Disney. Nama Poppo dan Cuccu sendiri asal katanya dari tiruan suara merpati menurut lidah dan pendengaran orang Jepang. “Senyum Poppo dan Cuccu yang mengenakan kaus biru dan pink menghiasi setiap sudut Hiroshima. Dari reklame di atap mobil taksi hingga body belakang bus-bus yang beroperasi,” tulis The Strait Times , 2 Oktober 1994.

bottom of page