Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cara Walikota Jakarta Sediakan Rumah Murah
PENJUALAN rumah dengan uang muka nol rupiah di DKI Jakarta tinggal menghitung hari. Gubernur Anies Baswedan berjanji menerbitkan Peraturan Gubernur tentang program itu pada Selasa, 17 April 2018. Wakil Gubernur Sandiaga Uno memperkirakan warga Jakarta bisa mencicil rumah mulai Mei 2018. Keduanya berharap program itu mampu memecahkan masalah akut Jakarta dalam perumahan. Urusan menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga Jakarta telah menjadi beban pikiran para pembesarnya sejak kemerdekaan, ketika masih bertitel walikota. Soewiryo, walikota pertama Jakarta, berhadapan dengan para pemukim liar di sekitar pusat kota. Mereka tinggal di gubuk-gubuk pengap di atas tanah tak bertuan. “Gubug-gubug ini lambat laun menjadi tambah besar sehingga lama-kelamaan merupakan rumah sederhana,” kata Soewiryo dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta, 1945-1966. Penghuni gubuk-gubuk pengap itu tak terdaftar dalam catatan kependudukan. Tanahnya pun demikian. Soewiryo berkasad membereskan keruwetan ini. Dia mengupayakan relokasi pemukim liar dan mendata ulang kepemilikan tanah. Tapi tentara Sekutu keburu datang ke Jakarta. Arkian orang-orang Belanda yang ikut dalam tentara Sekutu malah membentuk pemerintahan kota versi mereka sendiri. Ada dua kepemimpinan di Jakarta. Gerak Soewiryo jadi terbatas. Tambah pula dengan kontak senjata terjadi di sejumlah sudut Jakarta. Belanda memenangi perang di Jakarta. Pucuk pemerintahan menyingkir ke Yogyakarta. Soewiryo kena tangkap Belanda pada Juli 1947. Urusan rumah mendadak terbengkalai. Giliran orang Belanda mengatur Jakarta. Masalah menyediakan rumah murah dan layak huni bagi warga kota ternyata mewaris ke mereka. Banyak interniran dan pejabat militer Belanda mesti disediakan rumah. Para pembesar Belanda di Jakarta pun kelimpungan. Pembesar Belanda tak bisa seenaknya merebut rumah penduduk tempatan untuk kemudian dihuni oleh interniran dan pejabat. Bakal ada perlawanan dari penduduk kalau itu mereka lakukan. Sementara untuk membangun rumah butuh waktu. Maka, Freek Colombijn dalam Under Construction: The Politics of Urban Space and Housing during the Decolonization of Indonesia 1930-1960, menyebut kekurangan rumah ini sebagai “krisis di Jakarta.” Tapi pembesar Belanda di Jakarta tak terbebani urusan menyediakan rumah kelewat lama. Bukan lantaran mereka berhasil mengatasinya, melainkan tersebab pengakuan kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Belanda angkat kaki dari Jakarta. Kini Jakarta dipimpin lagi oleh Soewiryo. Sampai akhir masa tugasnya pada Mei 1951, Soewiryo hanya berhasil menyelesaikan pendataan kepemilikan tanah liar. Dia tidak mempunyai cukup waktu untuk merumuskan program rumah. Sjamsuridjal, pengganti Soewiryo, memiliki konsepsi tentang pembangunan Jakarta. Dia mencita-citakan Jakarta sebagai kota indah dan ternama. Kepada para wartawan ibukota pada 15 September 1951, dia menekankan tiga masalah pokok Jakarta: pembagian aliran listrik, penambahan air minum, dan urusan tanah. Kemana masalah perumahan? Meski tak menyebut urusan rumah sebagai pokok masalah Jakarta, Sjamsuridjal tetap peduli pada kewajibannya menyediakan rumah. “Di dalam mencukupi kebutuhan perumahan rakyat direncanakan pendirian kampung baru di tiga tempat masing-masing di Bendungan Ilir, Karet Pasar Baru, Jembatan Duren. Perumahan akan dapat menampung 33.000 orang,” kata Sjamsuridjal dalam Karya Jaya . Rumah-rumah itu dijual kepada rakyat yang membutuhkan. Sjamsuridjal juga menyediakan rumah darurat untuk golongan kecil seperti tukang becak dan penjual makanan. Kira-kira 2.000 golongan kecil beroleh rumah darurat itu. Upaya Sjamsuridjal menyediakan rumah untuk warga Jakarta berhenti pada November 1953. Dia tak lagi menjabat walikota. Urusan menyediakan rumah untuk warga Jakarta beralih ke Soediro, walikota Jakarta 1953-1960. Soediro bilang dalam Karya Jaya , bahwa urusan menyediakan rumah sebagai “beban moril yang tidak ringan.” Bayangkan saja, ketika kantong pemerintahan kotapraja lagi kempes-kempesnya, Soediro harus mengupayakan rumah bagi “berpuluh ribu manusia bangsa kita yang bergelandangan di pinggir-pinggir jalan, di bawah kolong jembatan atau di beranda-beranda stasiun,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raja . Termasuk pula puluhan ribu penganggur, buruh, dan pegawai rendahan lainnya yang belum kebagian rumah dari masa walikota sebelumnya. Soediro membuat program rumah pertamanya untuk kaum buruh di Grogol pada 1953. Jumlah rumahnya mencapai 2.800 buah. Para buruh bisa mencicil rumah tersebut selama 20 tahun. Karena uang penjualan rumah tersebut masuknya lama ke kas pemerintah kotapraja Jakarta, Soediro pinjam uang ke pemerintah pusat untuk meneruskan pembangunan rumah. Sasarannya untuk anggota ABRI dan pegawai negeri yang berdinas di Jakarta. Upaya Soediro masih belum mencukupi. Memasuki tahun 1960, Jakarta banjir penduduk. Tiga juta orang tinggal di Jakarta. Mereka perlu rumah. Soediro sempat membuat outline plan pada 1959, sebelum kelar masanya jadi walikota. Rencana terintegrasi pembangunan kota ini ikut memuat rumusan penyediaan rumah. Kelak Soemarno Sosroatmodjo, gubernur Jakarta 1960-1964, merujuk rencana ini untuk membuat program rumah minimum.
- Amoroso Katamsi Berperan Jadi Soeharto
LAKSAMANA Pertama TNI (Purn.) dr. Amoroso Katamsi meninggal dunia di RSAL Mintoharjo, Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pada 17 April 2018, pukul 01.40 WIB. Dokter dan psikiater TNI AL ini mulai terjun ke dunia film pada 1976. Namanya melambung setelah memerankan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984). Film propaganda Orde Baru ini menjadi tontonan wajib setiap tahun, diputar setiap 30 September di TVRI dan dipancarluaskan oleh stasiun televisi swasta.
- Sang Jenderal Soedirman Berpulang
PERFILMAN Indonesia berduka dalam dua hari berturut-turut. Setelah Amoroso Katamsi wafat pada Selasa (17/4/2018) dini hari, menyusul aktor senior lainnya, Deddy Sutomo yang mengembuskan napas terakhir pada Rabu (18/4/2018) pagi. Deddy meninggal di kediamannya pada usia 76 tahun. Deddy lahir di Jakarta pada 26 Juni 1941. Menggeluti dunia peran sejak duduk di SMA. Bersama kartunis GM Sudarta, dia mendirikan Teater Akbar. Anggotanya kebanyakan dari Pelajar Islam Indonesia (PII). Teater Akbar sering menjuarai Festival HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam). Dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia 1926-1978 tercatat, setelah tamat SMA, Deddy sempat mengikuti kursus jurnalistik. Selain bergiat di Lembaga Seni Surakarta, dia pernah menjadi guru pelajaran prakarya di SMA dan SMEA di Klaten. Dia juga pernah menjadi deklamator "Sajak dan Pembahasan" di RRI Solo. Pada 1962, Deddy terlibat dalam pendirian Study Group Drama Yogya bersama WS Rendra, Arifin C. Noer, Parto Tegal, Muchtar Hadi, Louis Wange, dan Suparto Prayitno. Mereka mementaskan drama, kebanyakan terjemahan, seperti Paraguay Tercinta (Fritz Hichwalder), Oidipus Sang Raja (Sophocles), Kereta Kencana I Les Chaises (Eugene Ionesco), Suara-suara Mati (Van Loggen), Lawan Catur (Kenneth Sawyer Goodman), Hello Out There (William Saroyan), dan Perang dan Pahlawan (George Bernard Shaw). Publik menyambut baik pertunjukan-pertunjukan itu. Deddy Sutomo, Arifin C. Noer, dan Parto Tegal, yang selalu bermain cemerlang, mulai mempunyai banyak penggemar. Study Grup Drama Yogya kemudian menjadi Bengkel Teater. Namun, Deddy kemudian bergabung dengan Sanggar Prathivi (SP) di Jakarta selama empat tahun (1966-1970). Di sanggar pimpinan Pater Velbert Daniels ini, dia mengasah kemampuannya dalam seni peran. “Bagi saya sanggar tidak bisa dipisahkan dengan Pater Daniels. Pater sendiri bagi saya merupakan guru dan sesepuh. Dari pater pula saya banyak menyerap ilmu dan belajar berakting untuk sandiwara radio maupun televisi. Dan semua yang saya terima ketika berada di sanggar, amat bermanfaat dan saya tidak mau keluar dari jalur ini. Saya tidak akan pernah meninggalkan ilmu yang pernah saya peroleh di sanggar yang bagi saya lebih merupakan almamater,” ujar Deddy dalam mingguan Hidup , 1993. Deddy memulai debutnya di layar lebar lewat film Awan Djingga (1970). Selang setahun, dia sudah dipercaya jadi aktor utama di film Pandji Tengkorak . Sejak itu, namanya melejit. Dia kian populer setelah memerankan Panglima Besar Jenderal Soedirman di film Janur Kuning (1979). Dia kembali ambil bagian sebagai aktor pendukung di film tentang perang kemerdekaan, Kereta Api Terakhir. Sampai akhir hayatnya, Deddy membintangi lebih dari 40 judul film. Dia bermain dalam drama keluarga Rumah Masa Depan di TVRI (1985). Pertama kali main sinetron lewat Duren-Duren (1994) dan sinetron terakhirnya, Jodoh Wasiat Bapak (2017). Deddy meraih prestasi tertingginya sebagai aktor utama pria terbaik dalam Festival Film Indonesia 2015 lewat film Mencari Hilal . Selain sebagai aktor, dia juga pernah menjadi politisi PDI Perjuangan dan menjadi anggota DPR RI hasil Pemilu 2004.
- Lima Aktor Pemeran Soeharto
AKTOR legendaris Amoroso Katamsi menghembuskan nafas terakhir hari ini, Selasa (17/4/2018), di RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta dalam usia 79 tahun. Jenazah dimakamkan di TPU Pondok Labu, Jakarta Selatan.
- Perempuan Pejuang Kemanusiaan
ANNIE Senduk, kepala perawat di asrama kedokteran Jalan Kramat Raya 72, bingung. Keributan mendadak terjadi di asrama setelah seorang mahasiswa kedokteran datang tergopoh-gopoh. Kedatangan mahasiswa itu memicu pertanyaan dari para perawat penghuni asrama. Annie langsung menghampiri mereka. Dia menanyakan apa yang sedang terjadi. “Markas besar terancam. Opsir Jepang di Jakarta sudah tahu kalau di sana ada dokumen-dokumen penting tentang perjuangan bawah tanah. Mereka juga tahu kalau kita menyimpan persediaan dan obat-obatan di sana,” kata mahasiswa kedokteran tadi. Jawaban itu membuat Annie langsung mencari cara untuk segera menyalamatkan barang-barang di Hotel du Pavilyon, Harmoni, tempat yang dijadikan markas perjuangan mahasiswa kedokteran dan gerakan bawah tanah. Selain barang-barang logistik seperti obat-obatan dan makanan, dokumen-dokumen penting juga disimpan di sana. Mereka langsung berbagi tugas. Anggota yang bisa menyetir tetap tinggal di asrama, rekan-rekan lain langsung bergegas ke Harmoni untuk mempersiapkan barang-barang yang akan diselamatkan. Annie dan asistenya, Sietje, bersepeda ke Rumah Sakit Cikini untuk mencari pinjaman mobil. Annie berhasil mendapatkannya. Dibantu Suwardjono Suryaningrat, Mahar Mardjono, Hussein Odon, Alex Kaligis, Yusuf dan mahasiswa kedokteran lain yang menjadi sopir “tembak”, operasi penyelamatan pun sukses. Itu bukan pertama kali Annie terlibat dalam perjuangan. Ketika Belanda hengkang oleh Jepang, Annie bersama rekan-rekannya dibantu rakyat menyerbu gudang persediaan obat dan makanan Belanda di samping Kolam Renang Cikini (kini gedung SMP Negeri 1). “Rakyat berbondong-bondong membongkar gudang mencari rezeki ‘nomplok’,” kata Annie dalam memoarnya yang dimuat dalam Sumbangsihku bagi Pertiwi jilid I . Mereka saling berbagi hasil jarahan dari gudang Belanda itu. Rakyat amat bahagia mendapat makanan kaleng yang saat itu masih sangat langka dan mewah bagi pribumi. Ketertarikan Annie pada perjuangan kemerdekaan bermula ketika belajar di Rumah Sakit Cikini, 1938. Di asrama, Annie melihat beragam ketimpangan sosial. Orang-orang Belanda hidup mewah dan mandapat semua kebutuhan hidup, mulai roti, susu, hingga keju. Sementara, orang-orang bumiputra kelaparan dan serba kekurangan di pinggir-pinggir jalan. Kemarahan Annie pada realitas sosial yang tak adil itu makin membara begitu dia mengenal dokter senior yang aktif dalam pergerakan kemerdekaan, seperti dokter Suharto –kelak menjadi dokter pribadi Presiden Sukarno– dan dokter Mohtar. “Dari rumahsakit inilah cita-cita kemerdekaan dan pengabdian pada kemanusiaanku berawal,” kata Annie. Annie Senduk tahun 1978. Sumber: Sumbangsihku bagi Pertiwi. Pascakemerdekaan, menyusul hengkangnya suster-suster Belanda, banyak rumahsakit di Jakarta kekurangan staf perawat. Hal itu, sebagaimana ditulis Dien Madjid, Mona Lohanda dkk. dalam Perjuangan dan Pengabdian: Mosaik Kenangan Prof. Dr. Satrio , disiasati Annie dan Suster Pelamonia dengan mendirikan sekolah perawat. Sekolah perawat pertama karya anak bangsa itu berjalan dengan bantuan Nona Murray, perawat asal Amerika yang berpengalaman dalam pendidikan keperawatan. Bersama dia, Annie mendidik murid-murid lulusan SMP dan Sekolah Kepandaian Putri di sekitar Rumah Sakit Cikini untuk menjadi perawat. Selain mendirikan sekolah perawat, Annie ikut mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI), satu bulan setelah kemerdekaan. Dia menjadi satu-satunya perempuan penandatangan pendirian PMI dan satu-satunya perempuan di jajaran pimpinan yang berisi dokter Mochtar, dokter Bahder Djohan, Mr. Maramis, Mr. Palengkahu, dan dokter Satrio.
- Howard Jones, Duta Besar Penyambung Jakarta-Washington
AWAL 1961, Presiden Sukarno akan mengadakan muhibah keliling dunia. Selain berkampanye masalah Irian Barat, Si Bung juga ingin menggalang kekuatan negara dunia ketiga sekaligus memperkenalkan konsep non-blok menghadapi situasi Perang Dingin. Rencananya, kunjungan itu meliputi negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, terutama yang berpaham sosialisme. Duta Besar AS di Jakarta, Howard Jones mendapati informasi bahwa Sukarno akan mengadakan perjalanan selama tujuh puluh hari. Jones tahu, untuk mengunjungi Meksiko rute perjalanan Sukarno harus transit di Los Angeles, California. Hal ini dengan cepat disampaikan Jones kepada Departemen Luar Negeri AS. Jones mendesak pemerintahnya agar Kennedy mengundang Sukarno menyinggahi Washington. Jones juga menyarankan agar Kennedy menyambut langsung kedatangan Sukarno, sebagaimana penghormatan yang diterimanya ketika mengunjungi Uni Soviet. “Hubungan pribadi sangat penting dalam bidang internasional. Hubungan (Sukarno) dengan Presiden Kennedy bisa sangat berarti bagi kedua negara,” ujar Jones dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream. Kennedy merespon rekomendasi Jones. Pada 21 Februari 1961, sang presiden flamboyan itu mengirimkan surat pribadi kepada Sukarno yang berisi undangan untuk satu pertemuan informal di Gedung Putih. Dengan senang hati, Sukarno menerima undangan itu. Kunjungan ke Washington diagendakan pada akhir April. Pada waktu upacara penyambutan di Washington, Ganis Harsono juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia berdiri hanya berjarak sepuluh kaki dari kedua presiden itu. Dalam menyambut Sukarno, Kennedy seharusnya dapat memperlihatkan dirinya sebagai orang yang paling berkuasa di dunia. Akan tetapi hal tersebut tak dilakukannya. “Malahan sebaliknya ia memperlihatkan kehalusan dan kesopansantunan yang membuat Sukarno merasa enak dan santai,” tutur Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno . Menangkis Kubu Garis Keras Menurut sejarawan cum arsiparis Amerika Bradley R. Simpsons, menjelang kedatangan Sukarno ke Amerika, kubu Gedung Putih terbagi dalam dua faksi: Pertama, kubu garis keras yang anti kepada Indonesia (terlebih Sukarno) karena dianggap diktator dan pro komunis. Representasi kelompok ini ditunjukan oleh Menteri Luar Negeri Dean Rusk dan kalangan dunia intelijen AS. Mereka cenderung untuk mengisolasi Sukarno atau berupaya menggulingkan dan menggantinya dengan rezim militer. Kelompok kedua adalah kubu moderat yang bersikap lebih akomodatif terhadap Indonesia. Howard Jones menjadi pelopor dari kelompok ini yang kemudian didukung oleh beberapa anggota Dewan Keamanan Nasional (NSC) dan penasihat khusus presiden dalam National Security Advisers (NSA). Kelompok akomodatif meyakini AS dapat bekerja sama dengan Sukarno untuk secara perlahan menjauhkan pengaruh komunis dari Indonesia. “Ini adalah pembela paling konsisten pendekatan pembangunan jangka panjang untuk Jakarta,” tulis Simpsons dalam Economist with Guns . Ketika sengketa Irian Barat berkecamuk, kubu garis keras lebih memihak Belanda ketimbang Indonesia. Sebaliknya, para penasehat yang pro Indonesia berpendapat bahwa sengketa Irian Barat akan dapat diselesaikan justru dengan cara mendukung posisi Indonesia. Sejarawan Universitas Sanata Dharma Baskara Tulus Wardaya mengatakan, Jones berperan dalam mengubah persepsi pemerintahan Kennedy yang semula dipengaruhi kubu garis keras menjadi lebih memahami tuntutan Indonesia atas Irian Barat. Dalam berbagai pesan telegram yang dihimpun dalam arsip Foreign Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII: Southeast Asia , Jones kerap mendesak Washington agar berpihak kepada Indonesia. Argumentasi Jones, jika mau mendukung Indonesia maka Sukarno akan berpaling kepada AS dengan sepenuh hati. Lebih jauh, Jones menyarankan pemerintahan Kennedy supaya melibatkan diri dalam krisis Irian Barat. Jones juga membujuk Sukarno untuk mengurungkan niat menggunakan kekuatan bersenjata guna menekan Belanda. “Jelas sekali Jones sangat pro-Indonesia,” tulis Baskara dalam disertasinya di Universitas Wisconsin yang kemudian dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963 . Meninggalkan Bung Besar Berbeda halnya dengan sengketa Irian Barat, konflik Indonesia dengan Malaysia pada 1964 menjadi ujian terbesar bagi Jones karena berimbas terhadap AS. Sukarno menentang keras pembentukan negara federasi Malaysia yang disponsori oleh Inggris. Sementara Lyndon Johnson, presiden pengganti Kennedy kurang menaruh perhatian terhadap Indonesia. Johnson cenderung memusuhi Sukarno dan memihak Inggris dalam mendukung Malaysia. Sukarno lalu mendengungkan politik konfrontasi mengganyang Malaysia. AS menanggapinya dengan menarik bantuan ekonomi terhadap Indonesia. Sukarno bahkan mengancam akan menasionalisasi aset Barat yang ada di Indonesia dan melontarkan amarahnya yang terkenal, “ go to hell with wour aid !” (persetan dengan bantuanmu). Menurut Bradley Simpson, sepanjang masa sukar konfrontasi Malaysia, Jones berupaya keras melawan sentimen anti-Indonesia dari kelompok garis keras yang kembali menguat. Jones memperingatkan Menteri Luar Negeri AS, Dean Rusk agar tak melakukan kebijakan yang menyerang atau mengucilkan Sukarno. Langkah demikian, dalam pandangan Jones akan menjadi kesalahan serius: memaksa Sukarno semakin militan dan merapat pada PKI. Sementara itu, di Indonesia, situasinya juga tak menguntungkan bagi Jones. Dia kerap menerima intimidasi yang sesungguhnya ditujukan kepada pemerintahnya. Kedutaan besar AS di Jakarta beberapa kali disambangi massa yang melampiaskan amuk demonstrasi. Rosihan Anwar wartawan senior koran Pedoman mencatat, Jones bersama Ellsworth Bunker diplomat AS yang diutus untuk memediasi konflik Malaysia pernah diteriaki ratusan mahasiswa Bandung saat menghadiri sidang umum MPRS, “ Go home Yankee ! Hancurkan imperialis Amerika!” Frustrasi yang semakin mendalam terhadap Sukarno dan politik konfrontasinya menyebabkan susutnya pengaruh kelompok Jones. Pada Mei 1964, Jones mengakhiri masa tugasnya di Indonesia. Pemerintah AS menunjuk Marshall Green sebagai duta besarnya yang baru. “Ia diplomat yang mengkhususkan diri dalam masalah-masalah Timur Jauh, terutama sekali masalah komunisme,” tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik, 1961-1965 . Sebelumnya, Green menjabat duta besar AS untuk Korea Selatan pada saat terjadi kudeta terhadap Presiden Synghman Rhee. Bersama Green, pemerintah AS kemudian melancarkan pendekatan yang lebih agresif terhadap Sukarno maupun TNI. Dalam memoarnya Dari Sukarno ke Soeharto , Green mencatat, “Tidak ada seorang asing pun, dan pastinya tidak orang bukan Asia, yang lebih erat hubungannya dengan Sukarno daripada Duta Besar Jones.”
- Teka-Teki Silsilah Presiden Soeharto
SAAT kampanye Pilpres 2014, tabloid Obor Rakyat menyebar kabar bohong perihal silsilah Joko Widodo . Di dalam tabloid itu, disebut Jokowi merupakan anak seorang Tionghoa bernama Oey Hong Liong, aktivis PKI.
- Menelanjangi Silsilah Pribadi Presiden Soeharto
PADA 13 April 2018, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy blak-blakan membuka ihwal pelabelan komunis yang dialamatkan pada Presiden Joko Widodo oleh lawan-lawan politiknya. Label tersebut, kata Romi, awalnya terjadi saat kampanye Pilpres 2014.
- Hizbullah Zaman Jepang
Politisi gaek Amien Rais kembali membuat berita. Dalam pernyataannya usai mengikuti Gerakan Indonesia Shalat Subuh Berjamaah di Masjid Baiturrahim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan pada Jumat (13/4/2018), Amien memetakan kekuatan partai politik Indonesia sekarang berdasarkan dikotomi: partai Allah ( hizbullah ) dan partai setan ( hizbusyaithon ). Mantan Ketua PP Muhammadiyah itu menjelaskan bahwa PKS, Gerindra dan PAN adalah partai politik yang masuk dalam hizbullah . Sedang partai politik mana saja yang masuk dalam hizbusyaithon , Amien emoh menyebutkannya. Insiatif penggunaan nama hizbullah sebagai entitas politik mulai muncul di era kekuasaan Jepang. Ceritanya, pada 13 September 1943 sepuluh ulama (K.H. Mas Mansyur, K.H. Adnan, Dr.Abdul Karim Amrullah, K.H. Mansur, K.H. Mochtar, K.H. Chalid, K.H. Abdul Madjid, K.H. Jacub, K.H. Djunaedi dan K.H. Sodri) mengajukan permohonan kepada Saiko Shikikan (Panglima Tentara Jepang di Indonesia) agar umat Islam diizinkan membentuk “Barisan Penjaga Pulau Jawa” guna menghadapi serangan Inggris, Amerika Serikat dan Belanda. “Barisan ini rencananya akan diatur menurut ketentuan Islam,” ujar Abdul Qadir Djaelani. Berbeda dengan pengajuan pendirian pasukan PETA (Pembela Tanah Air) oleh tokoh nasionalis Gatot Mangkupradja yang langsung disetujui, pembentukan sebuah milisi Islam tidak langsung diamini oleh pemerintah militer Jepang. Alih-alih diterima, menurut pengamat sejarah Zainul Milal Bizawie usul tersebut malah cenderung mendapat penolakan. Situasi itu menimbulkan kekecewaan di kalangan para tokoh Islam. “Karena sudah lama para kiyai, ulama dan para santri menginginkan terbentuknya suatu barisan sukarela dari kalangan Islam mengingat dalam kajian-kajian di pesantren membela tanah air merupakan sebagian dari pada iman,” ungkap Bizawie dalam Laskar Ulama-Santri dan Resolusi Jihad: Garda Depan Menegakan Indonesia (1945-1949) . Namun perkembangan-perkembangan situasi menjadikan Jepang merubah kebijakan. Tidak adanya kemajuan signifikan dari pergerakan militer mereka di palagan Pasifik dan munculnya pemberontakan besar kalangan kiyai dan santri pimpinan K.H. Zaenal Moestofa di Singaparna pada Februari 1944, membuat Jepang memperlunak sikap terhadap kalangan Islam. Maka pada 8 Desember 1944 secara resmi pemerintahan militer Jepang mengumumkan terbentuknya pasukan khusus sukarela Islam, di bawah koordinasi Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). “Kesatuan sukarela khusus Islam itu dinamakan Hizbullah atau Tentara Allah, dengan format sebagai korps cadangan untuk kesatuan PETA,” ujar Bizawie. Awal Januari 1945, Masyumi mengumumkan terbentuknya Dewan Pengurus Pusat Hizbullah yang dipimpin oleh K.H. Zaenal Arifin dan Muhammad Roem sebagai wakilnya. Sebagai komandan dan wakil komandan pelatihan, diangkatlah K.H. Mas Mansyur dan Prawoto Mangkusasmito. “Atas persetujuan militer Jepang, pusat pelatihan Hizbullah yang pertama dibentuk di kawasan Cibarusa, Bogor,” ungkap Abdul Qadir Djaelani. Kamp Cibarusa didirikan untuk melahirkan opsir-opsir Hizbullah yang pertama. Pada tahap awal sekira 500 pemuda Islam (berusia antara 18-21 tahun) dari 25 Keresidenan di Jawa dan Madura telah mendaftar sebagai peserta. Mereka lantas dididik dengan ilmu-ilmu kemiliteran dan doktrin-doktrin keislaman oleh para kiyai yang sebelumnya telah masuk PETA. Para instruktur ini menjalankan kerja-kerjanya di bawah supervisi seorang perwira Jepang berpengalaman. Namanya Kapten Yanagawa. Berbeda dengan pendidikan PETA yang menyertakan kegiatan seikerei (ritual penghormatan tehadap Kaisar Jepang dengan cara membungkukkan badan ke matahari terbit), maka di Kamp Cibarusa kegiatan tersebut ditiadakan. Sebagai gantinya maka setiap apel, para siswa Kamp Cibarusa menghadap ke arah barat, kiblat umat Islam, sambil meneriakan takbir sebanyak tiga kali. Setelah 3,5 bulan menjalani pendidikan yang sangat ketat, maka 500 pemuda Islam tersebut dinyatakan lulus. Mereka kemudian disebar ke berbagai tempat di pulau Jawa dan Madura guna mendirikan kesatuan-kesatuan Hizbullah. Bahkan menurut C. van Dijk dalam Darul Islam, Sebuah Pemberontakan alumni-alumni Cibarusa ada juga yang sampai mendirikan kesatuan Hizbullah di Kalimantan dan Sumatera. Menurut sejarawan George Mc T. Kahin, selama hampir sepanjang tahun pertama berdirinya Republik Indonesia, Hizbullah berhasil mengumpulkan antara 20-25 ribu pemuda bersenjata yang kemudian diorganisasi dalam unit-unit batalyon. “Hizbullah dikelola di bawah pimpinan Maysumi, kendati dalam kenyataannya hubungan antara pimpinan Masyumi dan komandan Hisbullah seringkali sangat renggang,” tulis Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia.
- Alunan Lawas Festival Jazz di Indonesia
JAVA Jazz, Ngayogjazz, dan Prambanan Jazz menjadi agenda tahunan festival jazz Indonesia. Hingga kini, menurut wartawan musik senior Bens Leo, ada lebih dari 60 titik festival jazz di Indonesia. “Musisi jazz itu yang paling tidak memusingkan akan dibayar berapa. Mereka punya toleransi dan kegiatan berkesenian yang bagus. Karena itulah festival jazz ada di mana-mana,” kata Bens. Java Jazz, salah satu festival jazz termegah, menjadi gelaran rutin tiap tahun dan sudah masuk dalam kalender jazz internasional. Berjalan selama 13 tahun, Java Jazz digagas Peter Ghonta setelah terinspirasi North Sea Jazz Festival di Den Haag, Belanda. “Ketika akan membuat Java Jazz Festival, dia berkomunikasi dengan penyelenggara di sana. Akhirnya bikin Java Jazz,” kata Bens. Di waktu yang hampir bersamaan, Ireng Maulana membuat Jakarta International Jazz Festival (Jakjazz). Untuk mempermudah prosedur mendatangkan musisi dunia, Ireng kerjasama dengan kedutaan besar. Tapi, jazz tak melulu tampil dengan citra berkelas. Ngayogjazz yang diadakan di kampung Yogyakarta atau Jazz Gunung yang diprakarsai Djaduk Ferianto merupakan dua contoh jazz yang tampil membumi. Popularitas dan banyaknya festival jazz itu buah dari perjalanan panjang jazz di Indonesia. Jazz dibawa ke Indonesia oleh orang-orang Eropa menggunakan piringan hitam. The American Jazz Band, tulis Alfred D. Ticoalu dalam “Irama Jazz dan Peranakan Tionghoa” di Tionghoa dalam Keindonesiaan , menjadi band jazz pertama yang datang ke Batavia, pada 1919. Setelah kemerdekaan, band jazz tanah air mulai populer tahun 1950-an. Mereka sebelumnya orang-orang yang aktif berkarya pada masa Belanda dan vakum ketika Jepang datang. Pertengahan tahun 1950-an, Teddy Chen membentuk kelompok Chen Brothers yang kerap main di Surabaya. Tedy di posisi pemain klarinet, Nico pada drum, Jopie bermain bass, dan Bubi piano. Ada juga pemain tambahan seperti Jack Lemmers (kemudian dikenal Jack Lesmana, ayah Indra Lesmana), Tio Tjip Hie, Toes Sigalarki, Arthur Markusen, dan beberapa pemain lain. “Tahun 1950-an musisi jazz sudah banyak tampil tapi tidak secara massal, bukan di panggung besar. Biasanya di klub-klub kecil. Karena dimainkan di klub kecil, jadi tidak terlalu kelihatan. Sekarang kan diadakan dengan besar-besaran,” kata Bens. Dari Chen Brothers, Teddy membentuk Teddy Chen Big Band yang menjadi big band jazz pertama di Indonesia. Tetapi setelah Teddy pindah ke Belanda, akhir 1950-an, Teddy Chen Big Band bubar. Adik Teddy, Bubi membuat Bubi Chen Quartet bersama dua saudaranya, Nico dan Jopi, ditambah Jack Lemmers. Kelompok jazz ini bertahan sampai 1960-an dan bubar ketika Jack pindah ke Jakarta. Kelompok lain yang juga cukup terkenal di Surabaya tahun 1950-an adalah Boogie Woogie Rhytmics. Sayang, band yang diotaki Micky Wijt dengan anggota Oei Boen Leng, dan Jack ini bertahan cuma dua tahun. Surabaya, menurut musisi jazz senior Jeffrey Tahalele, merupakan kota kelahiran jazz Indonesia. Bubi dan Jack, ikon jazz Indonesia, bermula di Surabaya. “Tahun 1950-an Jack Lesmana sudah memainkan musik jazz bersama Bubi Chen,” kata Bens. Jazz lebih dikenal secara luas ketika Jack, Jopie Item bersama rekan-rekannya menginisiasi pertunjukan musik jazz di TVRI tahun 1960-an. “Yang mengenalkan jazz secara audio visual itu Jack Lesmana di TVRI. Mereka melakukan rekaman awalnya di Selebriti Studio, Kebayoran Baru. Kalau nggak ada TVRI, mungkin musik jazz tidak akan dikenal sampai menyeluruh seperti sekarang,” kata Bens. Adrian Rahmat Purwanto dalam skripsinya, “Becoming A Jazz Musician”, menulis tahun 1970-80-an musisi jazz baru bermunculan. Antara lain, Ireng Maulana, Perry Pattiselano, Benny Likumahuwa, Bambang Nugroho, dan Elfa Secioria. Pertengahan 1980-an muncul band Krakatau dengan Indra Lesmana, Dwiki Darmawan, Gilang Ramadan sebagai anggotanya. Kemunculan musisi jazz tersebut tak lepas dari pendirian sekolah musik. Lewat sekolah musik seperti Institute Musik Indonesia, Purwa Caraka, atau Sekolah Musik Indonesia calon-calon jazzer tanah air digojlok dan dicetak. “Musisi jazz makin banyak di berbagai daerah. Anak-anak muda bisa tampil dan memadukan jazz dengan musik etnik sehingga warna musik Indonesia bisa keluar dalam festival. Tapi kalau tidak ada tokoh-tokoh seperti Djaduk, Peter, Ireng, atau teman-teman dari Yogya yang buat Ngayogjazz atau Prambanan Jazz, kita akan sulit melihat perkembangan musik jazz seperti sekarang,” tutup Bens.
- Serbuan Cola ke Sriwijaya
ALKISAH, sejumlah kapal bangsa Tamil dikirim ke tengah laut yang bergelombang. Mereka menyerang sebuah negeri kepulauan di Asia Tenggara, Kerajaan Sriwijaya, yang makmur dan merajai perdagangan maritim di perairan Sumatra. Mereka menawan rajanya, Sangramavijayottunggavarman, yang disebut sebagai raja negeri Kadaram. “Maka direbutnya pula harta kekayaan yang dengan jujur dikumpulkan oleh raja Kadaram itu, serta Vidyadharatorana, Gapura Perang di kota musuh yang besar, Gapura Ratna yang dihias dengan sangat indahnya, Gapura Ratna-Ratna Besar, Sriwijayam yang makmur,” demikian tercatat dalam Prasasti Tanjore. Prasasti berbahasa Tamil dari tahun 1030 itu berisi berita kemenangan Kerajaan Cola atas Sriwijaya. Oleh Eugen Hultzsch, indolog dan epigraf asal Jerman, piagam tembaga ini diterbitkan dua abad lalu. Di dalamnya dengan rinci disebutkan negeri-negeri yang dikalahkan Cola. Di antara negeri-negeri itu, Sriwijayam, yang mungkin ada di sekitar Palembang sekarang, disebut pertama kali. Lainnya, berdasarkan telaah George Coedes dalam “Kerajaan Srivijaya” yang terbit dalam Kedatuan Sriwijaya adalah daerah-daerah yang ada di pesisir. Ia menyebutkan, Pannai di pantai timur Sumatra, berhadapan dengan Malaka; Malaiyur merujuk pada Malayu abad ke-7, artinya Jambi; Mayirudingam di semenanjung Tanah Melayu; Ilangasogam atau Langkasuka di selatan Kedah; Mappappalam di Pantai Pegu, Myanmar; Mevilimbangam atau Kamalangka di Nakhon si Tammarat, Ligor; Valaippanduru, yang mungkin Pandur(anga) di Champa; Talaittakkolam atau Takkola di Tanah Genting Kra; Madamalingan atau Tambralinga, yang pusatnya di Ligor selatan Thailand; Ilamuridesam adalah Lamuri, di ujung utara Sumatra; Manakkavaram di Kepulauan Nikobar; dan Kadaram di Kedah. Semua wilayah itu merupakan negara bawahan raja Kadaram yang ditaklukkan Cola ketika menyerbu Sumatra pada 1025 M. Coedes meyakini raja Kadaram tak lain adalah raja Kerajaan Sriwijaya. Ini berdasarkan perkiraan Kadaram ada di lokasi Kedah sekarang. Dulunya, tempat ini termasuk dalam wilayah Sriwijaya. Adapun Kedah merupakan persinggahan di tanah Melayu sebelum melintasi teluk Benggala. Tempat itu juga disinggahi dalam pelayaran kembali ke India. Karenanya, akan mudah dipahami kalau bangsa Cola menyebut Raja Sriwijaya sebagai Raja Kadaram. Wajar seseorang menyebut sebuah negeri asing dengan nama penghuni, provinsi, sungai, atau gunung yang pertama kali dijumpainya waktu memasuki wilayah itu. “Mungkin saja kecenderungan itu maka orang Tamil menyebut raja Palembang dengan nama pelabuhan yang pertama yang mereka singgahi,” kata Coedes. Serangannya tak cukup sekali itu. Ada yang berpendapat Cola pernah melancarkan tiga kali serangan. Pada 1937, Ramesh Chandra Majumdar yang pertama menyebut kedatangan perdana Cola ke Sriwijaya pada 1017. Pendapatnya ini didasarkan pada Prasasti Tiruvalangadu dari tahun ke-6 pemerintahan Rajendracola, yaitu antara 1017-1018. Sayangnya, pemberitaannya tak begitu rinci. Serangan kedua pada 1025 sebagaimana diberitakan dalam Prasasti Tanjore. Serangan berikutnya pada 1068 ketika Cola dipimpin Virajendra, putra Rajendracola I. Sejarawan India, Nilakanta Sastri meragukan serangan pertama pada 1017. Menurutnya, hubungan Sriwijaya dan Cola masih baik. Dia juga mengatakan, bagian prasasti yang menyebut serangan itu baru ditambahkan pada masa kemudian. Namun, menurut Tansen Sen, berdasarkan berita Tiongkok, sebelum tahun 1025 hubungan dua wilayah itu tak semesra yang dikira Nilakanta. Dalam “The Military Campaigns of Rajendra Chola and the Chola-Srivijaya-China Triangle”, yang terbit dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa, Tansen megungkapkan Sriwijaya dianggap menghalangi hubungan langsung antara Cola dan Tiongkok. “Dengan demikian, serangan Cola ke Sriwijaya pada 1017, sesaat setelah kembalinya utusan pertama Cola ke Cina, bukannya tidak bisa dipahami,” tulis sejarawan dari NYU Shanghai itu. Claude Guillot dkk. dalam Barus Seribu Tahun yang Lalu menyebut sudah sejak abad ke-10 kekuasaan Cola meluas pesat. Penguasanya, Rajaraja I (985-1014), kata Coedes, berbangga diri telah menaklukkan 12.000 pulau. Dinasti Tamil yang menguasai India Selatan itu pamornya memuncak sejak putranya, Rajendracola I (1014-1044) berkuasa pada awal abad ke-11. Dialah yang pertama menyerang Kadaram. Meski mengubrak-abrik Sriwijaya, serangan itu tak berakibat pada kondisi politik di Sriwijaya. Serangan itu hanya untuk mengembalikan Sriwijaya ke penguasa semula. Bahkan, ketika Raja Sangramawijayatunggawarman ditawan, kerajaan itu hanya mengganti pemimpinnya. Pun setelahnya, kerajaan itu masih punya waktu untuk menjalin hubungan dengan Tiongkok. “Pengganti Rajendracola I, Virarajendra, juga kemudian membanggakan diri dengan penaklukkan Kadaram. Namun, dia bergegas menyerahkan kembali kekuasaan sang raja,” kata Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Alasannya, menurut Coedes, letak Sriwijaya terlalu jauh dari Cola. Perilaku penguasa Cola terhadap Sriwijaya dinilai merupakan tindakan terbaik yang bisa dilakukan. Sebagai negeri yang berada di seberang laut bergelombang, sulit bagi Cola untuk memanfaatkan kemenangannya dan kemudian mengendalikan pemerintahan dari negaranya.
- Kegebet Cinta di Hotel Atlet
TENIS meja nyaris merenggut masa muda srikandi tenis meja Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar. Tapi dia tak pernah menyesalinya. Ada kebanggaan besar yang dia dapatkan dari pengorbanan itu. Selain prestasi mengharumkan negeri, Rossy mendapatkan banyak hal. “Dari tenis meja, menjadikan saya seorang PNS, seorang ibu empat anak. Mungkin kalau bukan karena tenis meja, enggak ketemu sama bapaknya anak-anak,” kata Rossy tersipu, saat ditemui Historia . Rossy menjadi satu dari sekian banyak atlet yang membina rumahtangga dengan sesama atlet. Pertemuan pertamanya dengan Rany Kristiono, pebasket tim Panasia Bandung (Bandung Kukar) yang kemudian menjadi suami Rossy, terjadi di Hotel Atlet (kini Century Park Hotel) tahun 1993. “Waktu itu saya sedang ada persiapan Pelatnas untuk Asian Games 1994. Dia (Rany) juga ketika itu menginap di situ karena ada pertandingan basket (Kobatama),” kata perempuan kelahiran Bandung, 28 Juni 1972 itu. Keduanya saling berkenalan dan kemudian berteman. Lambat-laun, hati Rossy mulai kegaet pria berpostur 195cm asal Bogor itu. Rasa rindu yang terhalang ketatnya jadwal latihan dan pertandingan mereka atasi dengan saling berkirim surat. “Kalau pelatnas di Cina atau Korea Utara, tiap hari kirim surat. Isinya ya keseharian saya. Tapi yang namanya kirimannya bukan kilat, kadang dua minggu baru sampai. Malah pernah sayanya sudah pulang ke Indonesia, suratnya baru sampai ke dia (Rany),” kenang Rossy. Rossy bersyukur kedua orangtuanya, Ali Umar Syechabubakar dan Nurlaeni, bisa menerima hubungan itu. “Orangtua saya enggak masalah, sampai kita menikah tahun 2001 di Bandung. Ya karena sama-sama atlet, waktu ngelamar ya biasa saja, enggak aneh-aneh,” jelas Rossy. Meski bersuamikan pebasket, Rossy mengaku tak pernah menyukai bola basket, termasuk kala sering ikut menonton suaminya bertanding. “Memang saya enggak suka basket. Enggak paham aturannya. Kalau ada wasit meniup peluit karena ini, karena itu, saya enggak pernah tahu artinya,” sambung Rossy lagi. Setelah pensiun, Rossy berkutat dengan kesibukannya di Kantor Dinas Pemuda dan Olahraga Kota Bogor. Rany memilih jadi pelatih basket di sekolah swasta. “Enggak pernah mau dia jadi PNS, walau sudah ditawari. Sekarang dia kerja swasta, melatih SMP-SMA Pelita Harapan Sentul juga,” ujarnya. Kehidupan mereka kian semarak dengan kehadiran empat putri: Diva Marcella Maharani, Najwa Julianoer Qayrani, Jasmine Aprillia Khirani, dan Nayla Julia Aisyahrani. “Semoga salah satunya, atau ya haruslah, ada yang ngikutin jejak orangtua, jadi atlet,” tandas Rossy.





















