Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Siapa Van der Parra, Pemilik Rumah Kuno di Depok?
SEBAGIAN besar atapnya rubuh. Beberapa temboknya juga hilang. Tanaman rambat menutupi sebagian tembok yang masih berdiri. Rumput liar tumbuh tak terurus. Rumah kolonial itu lebih mirip rumah hantu. Namun, jendela-jendela kacanya yang besar menunjukkan rumah itu bukan milik orang biasa. Kini, rumah di Cimanggis itu diperbincangkan karena akan dirobohkan untuk membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menilai tak ada yang perlu dibanggakan dengannya, karena rumah itu bekas hunian istri kedua gubernur jenderal VOC yang korup. Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, menyayangkan pernyataan ketua Yayasan UIII itu. “Jangan menilai tinggalan sejarah dari kehidupan pemiliknya. Namun, dari segi peninggalan bersejarahnya,” kata Farah kepada Historia , Selasa (16/2). Hal senada disampaikan Achmad Sunjayadi, dosen Departemen Sejarah di Universitas Indonesia, jika hanya melihat prilaku korupsi pejabat Hindia Belanda di masa lalu, maka akan banyak bangunan kolonial di Jakarta yang hancur. “Kalau kita lihat bangunan (kolonial, red ) di Jakarta semuanya hasil korupsi juga. Tapi jangan itu yang ditekankan. Sejarah tidak hanya baik-baik saja, yang negatif juga harus diceritakan agar kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal negatif itu, seperti korupsi,” kata Achmad kepada Historia . Dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta , sejarawan Adolf Heuken menulis Rumah Cimanggis atau Landhuis Tjimanggis dibangun oleh David J. Smith antara 1775-1778. Rumah itu kemudian ditempati oleh istri gubernur jenderal VOC ke-27, Van der Parra. Letaknya pada kilometer 34 arah Bogor sebelum masuk kawasan Cibinong. Rumah itu kini ada dalam kompleks RRI (Radio Republik Indonesia). Farah mengatakan 40-50 persen bangunan itu rusak. Meski begitu, batas ruangannya masih terlihat. “Jadi, masih terlihat bentuk aslinya. Kerusakan terbesar pada atap,” ujarnya. Menurutnya, bangunan itu rusak sejak ditinggalkan karyawan RRI yang pernah menempati rumah itu sejak sekira 2002-2003. Pada 2005-2009 bangunan masih terlihat utuh. Namun, sudah berantakan, karena penuh barang-barang yang tidak dibawa pindah karyawan RRI itu. Farah bilang, pihak RRI tidak melakukan perawatan. Hingga akhirnya pada 2010 bagian atap mulai berjatuhan. “Bangunan mulai ditelantarkan sejak ditinggalkan pada 2003,” tegasnya. Gubernur Jenderal Korup Windoro Adi dalam Batavia, 1740: Menyisir Jejak Betawi menulis Petrus Albertus van der Parra lahir pada 29 September 1714 di Kolombo, Sri Lanka. Ini membuatnya menjadi orang Belanda yang tak merasakan langsung kehidupan Eropa. Dia tak begitu saja menjajaki karier gemilang sebagai pejabat papan atas di Hindia Belanda. Anak sekretaris kantor gubernur Sri Lanka itu memulai kariernya pada usia 14 tahun sebagai soldaar van de penne atau serdadu pena. Dia melanjutkan kariernya sebagai tenaga pembukuan saudagar junior, penyalin naskah, dan tenaga pembukuan sekretariat umum di Batavia. “Dia mengawali karier dari bawah sampai posisi pejabat di VOC,” kata Achmad. Pada 15 Mei 1761, Dewan Hindia Belanda mengangkat Van der Parra sebagai gubernur jenderal menggantikan Jacob Mossel. Dia merayakan pengangkatannya dengan upacara besar-besaran. Hari kelahirannya pun dia tetapkan sebagai hari pesta nasional. “Dia memang terkenal glamor hidupnya mengikuti pendahulunya. Periode sebelumnya, Mossel, juga sama merayakan pelantikan secara mewah. Ini diteruskan, seperti ada tradisi dari para gubernur jenderal itu. Track record -nya bisa dibilang sering korupsi karena memang banyak kesempatan,” jelas Achmad. “Pola hidup semacam ini,” lanjut Achmad, “ikut mempengaruhi keuangan VOC, yang memang sudah masuk dalam periode 40 tahun menjelang organisasi itu bubar (1799).” Sementara itu, dia hanya meneruskan kebijakan-kebijakan gubernur jenderal sebelumnya. Tak sedikit yang membenci Van der Parra karena korupsi dan gaya hidup mewahnya. Upaya menjatuhkannya termasuk dengan pembuhuhan. “Perintah raja kan absolut. Harus terwujud. Sepertinya ini membuat banyak orang tidak suka dengan Van der Parra. Ada upaya menjatuhkan dengan pembunuhan oleh pihak yang merasa dirugikan,” kata Achmad. Van der Parra meninggal karena sakit di rumahnya yang mewah pada 28 Desember 1775. Kini rumahnya menjadi RS Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Penyebab kematiannya masih misteri, apakah alamiah atau diracun. Ketika menjabat, Van der Parra sempat memberikan bantuan berupa kitab Injil ke gereja di Batavia. “Entah untuk mensucikan perbuatan di masa lalunya atau bagaimana, entah juga uangnya dari mana,” seloroh Achmad. Van der Parra menikah dua kali. Istri pertamanya, Elisabeth Patronella van Aerden lahir di Batavia. Mereka menikah di Kolombo pada 1733. Dia kembali menikah dengan Adriana Johanna Bake, keturunan gubernur Belanda untuk Ambon. Mereka menikah pada 1743, dua tahun setelah kematian istri pertamanya. Istri keduanya inilah yang menempati Landhuis Tjimanggis. Achmad menuturkan, tak lepas dari gaya hidup orang-orang Belanda beruang lebih di Hindia Belanda, Van der Parr pun membeli rumah tinggal di luar Batavia. Dia menjadikan Landhuis Tjimanggis sebagai rumah peristirahatan. “Van der Parra tinggalnya sebenarnya di Batavia. Sama seperti yang lain dia memilih wilayah yang lebih ke selatan. Wilayah itu masih hijau, masih bersih. Landhuis itu vila,” jelas Achmad. Situs Penanda Menurut Achmad Landhuis Tjimanggis bisa dijadikan situs penanda perkembangan permukiman kolonial di luar Batavia, khususnya pada periode abad 18. Belum lagi, rumah itu, pernah menjadi markas tentara Belanda pada masa Perang Kemerdekaan. Farah menambahkan bahwa Johanna, istri Van der Parra, adalah pemilik Pasar Cimanggis. Dulunya, di pasar inilah orang-orang dari Batavia mengistirahatkan atau mengganti kudanya baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Bogor. “Artinya pada saat itu sudah digunakan sebagai jalur rintisan sebelum Daendles membuat jalur pos yang dikenal dengan Jalan Raya Bogor, yaitu jalan dari Jakarta menuju Bogor,” jelas Farah. Meski sarat kisah, bangunan itu tak juga mendapat perdikat Bangunan Cagar Budaya (BCB). Padahal, sejak 2013 Depok Heritage Community bekerja sama dengan pemerintah kota telah membuat dokumentasi dan inventaris BCB di Depok. Untuk menjadi BCB tak harus menjadi aset pemerintah kota. UU No. 11 tahun 2010 mengatakan, BCB bisa menjadi milik perorangan, lembaga, atau perusahaan. Dengan status BCB setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan dengan payung hukum. “Saat ini saya sudah mendaftarkan Rumah Cimanggis secara online ke Regnas Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman agar segera ditetapkan sebagai cagar budaya,” ucap Farah. Menyoal pembangunan di sekitar situs, Farah mengusulkan, pihak pembangun dapat melakukan proyek di luar area mengingat lahan RRI masih sangat luas. “Selamatkan bangunan oleh pihak pembangun, lakukan kajian dan revitalisasi bangunan kembali seperti aslinya lalu jadikan museum Kota Depok, sebagai museum pertama di Kota Depok,” kata Farah.
- Berbau Kolonial, Sebuah Sekolah di Belanda Ganti Nama
SEBUAH sekolah dasar di kawasan Indische Buurt, Amsterdam mengganti nama Jan Pieterszoon Coen (JP Coenschool) yang telah disandangnya selama bertahun-tahun. “Sejarah adalah sesuatu yang indah,” kata Sylvie van den Akker, kepala sekolah, seperti dikutip dari situs koran Het Parool kemarin , 16 Januari 2018, namun nama JP Coen menurutnya menanggung beban kelam sejarah. Jan Pieterszoon Coen atau yang bagi sebagian warga Batavia tempo dulu dipanggil Murjangkung, punya catatan hitam dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Sebelum jadi gubernur jenderal Batavia pada 1619, dia bertanggungjawab atas pembunuhan massal ribuan orang di kepulauan Banda demi monopoli pala VOC. Apa yang dilakukan JP Coen di masa lalu itu dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sekolah. “Ini sama sekali tidak sesuai dengan nilai kita sebagai sekolah," kata Sylvie kepada NAP Nieuws . "Kami adalah sekolah dasar multikultural yang damai, dan kami juga ingin memancarkan nilai-nilai itu." Nama JP Coen yang disandang sekolah tersebut ternyata menimbulkan rasa tak nyaman di kalangan murid dan para pengajarnya. Gara-gara itu, mereka sepakat untuk menyebut nama sekolah mereka “Coenschool” tanpa menyebut inisial nama depannya sebagai usaha menghilangkan kesan buruk yang melekat pada nama JP Coen. “Nama Coenschool merujuk kepada seorang anak laki-laki, bukan kepada tokoh sejarah,” ungkap Sylvie. Sejak setahun lalu, sekolah yang terletak di wilayah timur Amsterdam itu juga berjejaring dengan Unesco. Organisasi PBB itu dikenal menjunjung tinggi nilai perdamaian, kebebasan, hak asasi manusia dan kesetaraan. Nama sekolah pun diharapkan sesuai dengan semangat nilai-nilai tersebut. Untuk itu staf sekolah kini sedang menyiapkan sebuah survei nama sekolah yang akan diumumkan kepada publik. Mereka berharap warga bisa menyumbangkan nama baru buat sekolah tersebut. Coenschool ini berada di tengah kawasan yang banyak mengabadikan nama daerah di Indonesia sebagai nama jalannya, antara lain Javastraat, Sumatrastraat dan Madurastraat. Kontroversi nama JP Coen tak terjadi hanya sekali di Belanda. Pada 2015 yang lalu, perdebatan juga pernah berlangsung ketika Pemkot Amsterdam menggunakan nama JP Coen sebagai nama terowongan yang menghubungkan Amsterdam dengan Zaandam. Dalam pelajaran sejarah Belanda, VOC tak pernah dikenang sebagai lembaga kolonial yang banyak mendatangkan musibah bagi warga jajahan. Generasi muda Belanda lebih mengenal VOC sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang pernah berjaya menguasai jalur perdagangan dunia. Namun kini suara-suara kritis bermunculan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tak berkaca kepada sejarah kelam Belanda.*
- Bang Ali dan Bang Becak
Gubernur Anies Baswedan menggembar-gemborkan akan menghidupkan kembali rute becak di Jakarta. Rencananya kendaraan roda tiga bertenaga manusia ini dipersiapkan sebagai moda transportasi lingkungan. Wacana Anies memantik perdebatan. Pasalnya, setelah sekian lama becak menjadi kendaraan terlarang di ibukota. Mundur setengah abad silam, keberadaan becak telah merisaukan Ali Sadikin ketika baru menjabat gubernur Jakarta. Dalam artikel bertajuk “Laporan buat Bang Dikin” yang dimuat majalah Selecta tahun 1969, jumlah becak di Jakarta berjumlah 110.000 sedangkan ruas jalan yang dapat dilalui kendaraan sepanjang 921 km. Itu berarti setiap sembilan meter ruas jalan terdapat satu becak. Menghadapi kenyataan demikian, tentu saja Bang Ali harus putar akal. “Soal becak sebenarnya sudah agak lama terasa, bahwa hal itu harus terus ditertibkan. Tak bisa dibiarkan terus begitu seperti adanya, sementara jumlah kendaraan naik terus. Pemerintah DKI harus menertibkannya,” tutur Ali dalam otobiografinya Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan K.H. Pada 1970, Ali Sadikin menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup”. Saat itu, dimulailah operasi pembersihan jalan dari orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan seperti tukang becak dan pedagang keliling. Tahap demi tahap, Ali Sadikin mencetuskan berbagai kebijakan untuk menghilangkan becak dari Jakarta. Pada 16 Mei 1970, Ali Sadikin mengeluarkan instruksi: melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta. Dalam ketentuan ini, becak yang boleh beroperasi harus punya izin lewat prosedur pendaftaran. Tahun berikutnya, Pemda Jakarta menetapkan sejumlah jalan utama dan jalan lintas ekonomi yang tak boleh dilewati becak. Polisi bahkan dikerahkan guna menggerebek becak-becak yang berada di daerah terlarang dan menyita kendaraannya. Pelarangan becak menjadi legal setelah Peraturan Daerah (Perda) No 4/1972 menetapkan becak sama dengan oplet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Perda itu sekaligus menetapkan bahwa Jakarta hanya mengenal empat jenis angkutan umum: kereta api, bus, taksi, dan angkutan roda tiga bermesin. Prakarsa Ali menuai hasil yang cukup signifikan. Dalam waktu singkat, jumlah becak di Jakarta menyusut tajam dari 160.000 menjadi 38.000 buah. Sudah barang tentu yang paling kena imbas dari keputusan Ali Sadikin adalah mereka “abang-abang becak”. “Saya masih sakit hati, Ali Sadikin terlalu mementingkan orang-orang kaya, sedangkan becak digusur terus. Jalan-jalan memang tambah mulus, tapi rakyat tambah kurus,” ujar Kasim, seorang tukang becak yang sudah “narik” selama 14 tahun dikutip Tempo , 18 Juni 1977. “Saya ingin seperti (zaman) Soekarno dulu, saya bisa bebas mencari nafkah tidak seperti sekarang, dimana-mana digencet,” keluh Kasim. Ali Sadikin memahami, tindakan Pemda Jakarta terasa berat oleh para pengemudi becak. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri, banyaknya becak di tengah kota menimbulkan beragam macam masalah. Keputusan menertibkan becak harus diambil untuk memperlancar lalu lintas dan untuk mengamankan jiwa pemakai jalan, termasuk jiwa para pengemudi becak sendiri. “Dan kalau lalu lintas Jakarta macet, semua pihak merugi. Lalu lintas di Jakarta harus lancar. Saya harus terus mengusahakan soal ini, dari hari ke hari,” kata Ali Sadikin. Becak dalam Wajah Ibukota Bagi Ali Sadikin penertiban pelarangan becak bukan sekadar mengatasi persoalan lalu lintas. Dia menyadari betul ada permasalahan sosial di balik keberadaan tukang becak di Jakarta. Dalam salah satu edisinya, majalah Ekspress tahun 1970 mengupas becak sebagai salah satu “penyakit” di ibukota. “Tukang becak termasuk pengangguran tidak kentara ( disguised unemployment ). Dalam perkotaan, besar sekali masalahnya,” tulis Ekspress . Menurut sejarawan Susan Blackburn, ada dua alasan mendasar, mengapa Ali Sadikin tak menghendaki becak berkeliaran di Jakarta. Pertama , pekerjaan macam tukang becak menampung imigran dalam jumlah besar. Jika profesi tukang becak diberantas, maka akan menekan laju urbanisasi. Hal ini dapat menjadi cara mengatasi persoalan demografi Jakarta yang padat penduduk. Kedua , para pekerja ini tak sesuai dengan gambaran Jakarta sebagai kota metropolitan yang baru. “Para penarik becak memenuhi jalan, memperlambat aliran lalu lintas kendaraan bermotor dan memperlihatkan secara sekilas gambaran yang memalukan atas teknologi bertenaga manusia yang tersembunyi di balik wajah teknologi modern Indonesia,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun . Hiruk pikuk serupa juga dialami penyair-cum-sejarawan Zeffry Alkatiri kala becak memenuhi jalanan Jakarta. Dalam bukunya Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an, dia mengenang Jakarta menjadi macet sebab pertambahan becak tidak pernah terdaftar. Di setiap perempatan atau pertigaan, becak menguasai jalanan, sehingga menimbulkan kemacetan. “Malah kasihan melihat tukang becaknya yang ngos-ngosan genjot pedal becaknya,” ujar Zefry. Dalam skema Ali Sadikin, zona yang telah bebas becak akan dialihkan kepada bemo. Dan untuk menggantikan becak, diperkenalkan bajaj –kendaraan penumpang kecil buatan India dengan mesin dua tak. “Bahwa pada suatu saat nanti, bemo pun harus menyisih juga. Dan bemo akan harus diganti oleh kendaraan yang lebih menyenangkan lagi. Begitu terus. Semua menghendaki perbaikan,” tutur Bang Ali. Meski demikian, ternyata becak tak jua lenyap dari Jakarta. Hingga Ali Sadikin mengakhiri kepemimpinannya, becak tetap bertahan di jalanan ibukota walau harus menyingkir ke kawasan pinggiran. Transportasi bis yang hanya beroperasi di jalan-jalan utama tak memadai permintaan kebutuhan pengangkutan masyarakat, khususnya untuk jarak dekat. Selain itu, mayoritas penarik bacak tak mampu memperoleh surat izin mengemudi dan membayar sewa bajaj. Bertahun berselang, Ali Sadikin mengakui, sebagai cara untuk mengais rejeki di ibukota, memang tak mudah untuk menghapuskan becak. Menurut Ali, nasib tukang becak dan pemilik becak mesti diselesaikan terlebih dahulu baru becak bisa dihapuskan. Namun, Bang Ali –yang digadang-gadang sebagai gubernur terbaik Jakarta– konsisten terhadap keputusannya terdahulu. “Jangan mau jadi kuli becak begitu, kalau kita mau mempertahankan kehormatan bangsa ini,” sebagaimana dikutip dalam salah satu edisi Tempo tahun 1990. Kelemahan Ali Sadikin itu kemudian dituntaskan oleh gubernur-gubernur selanjutnya yang tetap menyisipkan penertiban bacak ke dalam agenda penataan kota. Lantas, dengan menghadirkan lagi becak di Jakarta, apakah Anies telah belajar dari para pendahulunya?
- Tiga Kali Celaka di Indonesia
KEBAKARAN yang melanda Museum Bahari, Jakarta Utara Selasa (16/1/2018) kemarin tak hanya menghancurkan sebagian bangunan museum, tapi juga benda-benda koleksinya. Menurut dugaan sementara, api berasal dari korsleting. Kepala Museum Bahari Husnison Nizar mengatakan, kebakaran berawal dari sisi utara Gedung C kemudian merembet ke Gedung A dan sebagian Gedung D. Pantauan Historia di lokasi, lantai 2 Gedung D benar-benar ludes terbakar. Hanya tembok-tembok betonnya saja yang masih tersisa. Di antara koleksi museum yang hangus, terdapat miniatur kapal perang Amerika Serikat (AS) USS Houston (CA-30). Kapal penjelajah berat kelas Northampton itu salah satu tulang punggung AL AS di Perang Pasifik, dan menemui ajal di Selat Sunda. Kapal berbobot 9200 ton, panjang 182,9 meter, dan lebar 20 meter itu mulai masuk jajaran armada AL AS pada 7 September 1929. Sebagai flagship Armada Asiatik AL AS dengan komandan Laksamana Thomas Charles Hart, Houston mendapat tugas pertama mendaratkan marinir dan pasukan AL AS ke Shanghai dalam rangka stabilisasi situasi di tengah kecamuk Perang Sino-Jepang II, 31 Januari 1930. Saat Perang Pasifik pecah, Houston menggabungkan diri ke dalam armada ABDACOM (America, British, Dutch, Australia Command) yang berbasis di Surabaya. Houston ikut dalam Pertempuran Selat Makassar, 4 Februari 1942. Kerusakan salah satu moncong meriamnya dalam pertempuran itu membuat Houston kemudian mundur ke Cilacap. Baru setelah bertugas bersama beberapa kapal Sekutu lain mengawal konvoi Sekutu dari Darwin ke Kupang, Houston kembali masuk ke dalam pertempuran bersama 13 kapal perang Sekutu lain. Di bawah komando Laksamana Karel Doorman asal Belanda, armada ABDA bertugas memburu 28 kapal perang Pasukan Invasi Timur Jepang pimpinan Laksamana Takeo Takagi. Houston dan kapal penjelajah berat Inggris HMS Exeter menjadi tulang punggungnya –kemudian head to head dengan dua penjelajah berat Jepang Nachi dan Haguro . Mereka mulai berlayar pada 26 Februari, menuju pantai utara Madura. Karena tak menemukan sasaran, beberapa kapal ABDA lalu kembali ke Surabaya. Dalam perjalanan kembali itulah mereka mendapati lawan. “Pukul 16.16 sore 27 Februari itu penjelajah berat Haguro dan Nachi menembaki Houston dan Exeter . Penanda Pertempuran Laut Jawa telah mulai,” tulis PK Ojong dalam Perang Pasifik . Armada ABDA berantakan. Hanya beberapa kapalnya yang selamat. Laksamana Doorman sendiri ikut tenggelam bersama kapalnya HNMLS De Ruyter . Menurut Ojong, faktor terpenting yang membuat ABDA keok adalah longgarnya garis komando. Masing-masing angkatan laut ABDA berkomunikasi menggunakan bahasanya sendiri sehingga simpang siur. Houston dan HMAS Perth –yang tak mengalami kerusakan berarti– lalu mundur ke Tanjung Priok. Bersama kapal perusak Belanda HNMLS Evertsen, kedua kapal melanjutkan pelayaran menuju Cilacap via Selat Sunda. Dalam perjalanan, malamnya mereka bertemu armada Pasukan Invasi Barat AL Jepang di bawah komando Laksamana Muda Keno Kurita, yang baru mendaratkan pasukan Tentara ke-16 AD Jepang, di Teluk Banten. Tiga kapal ABDA itu terkepung dua kapal induk ringan, lima penjelajah serta 12 kapal perusak Jepang. Kontak senjata pun terjadi lagi. Tembakan meriam-meriam 203 milimeter serta torpedo Houston mengenai tiga kapal perusak dan menenggelamkan satu kapal penyapu ranjau Jepang. Namun, hantaman sebuah torpedo Jepang di lambung Houston pada dini hari 1 Maret 1942 membuatnya lumpuh. Perlahan, Houston menyusul Perth yang sudah lebih dulu tenggelam. Dalam perjalanan menuju dasar samudera, Houston kembali dihantam tiga torpedo Jepang. Nakhoda Kapten Albert Rooks beserta ratusan awak kapal ikut tewas ke dasar laut. Sebanyak 368 awak selamat langsung ditawan Jepang, banyak di antara mereka tewas di kamp-kamp kerja paksa Jepang. Kendati sempat tak diketahui selama sembilan bulan, kabar tenggelamnya Houston akhirnya sampai ke Washington. Kisah utuh mengenai tenggelamnya baru didapat usai perang, dari awak-awak selamat yang sudah bebas dari tahanan. Toh, Houston yang telah menjadi kuburan bagi hampir 650 awaknya tetap tak aman di dasar laut. Setelah 70 tahun tenggelam, bangkai Houston mengalami penjarahan sama seperti bangkai kapal-kapal Perang Dunia II lain. “Militer AS dua tahun lalu mendapati bahwa telah terjadi ‘pelanggaran terhadap kuburan’ Houston , yang tenggelam dalam Pertempuran Selat Sunda, juga di Laut Jawa,” tulis theguardian.com , 16 November 2016. Pada 2017, miniatur Houston menjadi bagian dari hibah pemerintah AS kepada Museum Bahari, Jakarta. Tapi yang namanya Houston selalu tak aman sekalipun miniatur. Selasa (16/1) kemarin, api melahap Museum Bahari beserta koleksinya, termasuk miniatur Houston .
- Keturunan Rasulullah di Cina
SEJAK ceramah bekas Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama ihwal QS al-Maidah ayat 51 berbuntut demo besar berjilid-jilid yang dipimpin seorang habib pentolan suatu ormas berlabel Islam, hingga kini masih ada saja yang tak henti-hentinya membenturkan hampir segala hal yang berbau Cina dengan Islam (untuk meraih kepentingan diri dan atau kelompoknya) meski Ahok sudah dipenjara sesuai desakan mereka.
- Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
PADA Desember 2017, serombongan relawan asal Indonesia melakukan misi kemanusiaan dengan mengunjungi beberapa kamp pengungsi Palestina. Melalui Hayat Yolu, sebuah lembaga non-pemerintah asal Turki yang menangani pengungsi Palestina di Beirut, mereka menyerahkan bantuan untuk musim dingin senilai 250 ribu dolar Amerika. “Alhamdulillah, bantuan untuk pengungsian Palestina di Beirut Lebanon sudah sampai melalui Hayat Yolu. Kami tidak bisa menyaksikan secara langsung karena pemerintah setempat tidak menjamin keselamatan kami di sana,” kata artis Melly Goeslaw, yang bersama penyanyi religi Opick ikut dalam rombongan, di akun Instagram -nya, @melly_goeslaw, 23 Desember 2017. Pemberian bantuan untuk musim dingin itu sejatinya bukan yang pertama dilakukan Indonesia. Pada pertengahan Desember 1953, Menlu Sunario Sastrowardoyo –kakak dari kakek aktris Dian Sastrowardoyo– mengirim Duta Besar Keliling (mantan menteri luar negeri di Kabinet Presidensil) Ahmad Subardjo dan anggota parlemen dari Partai Persatuan Tarbiyah Islam (Perti) Siradjuddin Abbas ke Yerusalem guna memenuhi undangan dari General Islamic Congress/Conference atau Muktamar Umum Islam. Kedua wakil Indonesia itu datang sebagai peninjau. Muktamar tersebut diprakarsai Ikhwanul Muslimin dengan sokongan dana 100 ribu dolar Amerika dari pemerintah Arab Saudi. Namanya sengaja mengambil nama sama dengan muktamar sebelumnya yang dipimpin Mufti Besar Yerusalem Mohammad Amin al-Husayni pada 1931. Harapannya, ujar pakar politik Islam dan Timur Tengah Martin Kramer mengutip Al Ahram edisi 10 Desember 1953 di laman pribadinya, martinkramer.org , “Amin bersedia memimpin muktamar itu lagi. Ketika itu Amin bermukim di Damaskus, namun otoritas Yordania mencekalnya (ke Palestina).” Kedua wakil Indonesia itu berangkat dari Jakarta pada 1 Desember via Singapura, Bangkok, Karachi, Baghdad dan mendarat di Kairo pagi dua hari kemudian. Siangnya, mereka menemui mantan sekjen Liga Arab Abdurrachman Azam di Kairo. “Haji Abbas dan saya diterima di kediamannya. Dinyatakan penghargaan tinggi atas beleid pemerintah Indonesia untuk mengirim peninjau-peninjau ke Muktamar Islam di Yerusalem. Ini berarti betapa besar minat rakyat Indonesia terhadap perkembangan Islam di dunia,” tulis Subardjo dalam Kesadaran Nasional, Sebuah Otobiografi. Hari berikutnya, Subardjo dan Abbas terbang ke Yerusalem menggunakan pesawat Air Jordan. Di Yerusalem, anggota peninjau Indonesia di muktamar itu bertambah dua dengan masuknya Salim al-Rasjidi (staf perwakilan Indonesia di Mesir) dan Abdul Mukti Ali (mahasiswa merangkap perwakilan Indonesia di Karachi). Muktamar yang sedianya dibuka sejak 3 Desember itu menjadi forum masing-masing perwakilan negara peserta menyuarakan pandangan tentang situasi Palestina, terutama setelah Israel merebut sebagian besar Yerusalem. Hanya Yerusalem Timur kala itu satu-satunya wilayah yang masih dikuasai militer Yordania. Usai muktamar, keesokan harinya para partisipan diajak mengunjungi sejumlah situs di kota tua Yerusalem. Mereka juga mengunjungi kamp-kamp pengungsian di perbatasan Israel-Palestina seperti di Deheisha dan Qibya. Subardjo dan ketiga koleganya melihat sendiri betapa memprihatinkan keadaan kamp-kamp pengungsian itu. Kondisi para pengungsi begitu mengenaskan. Mereka tak hanya kekurangan makanan tapi juga pakaian tebal untuk melewati musim dingin. Beberapa utusan yang berpidato di hadapan para pengungsi tak jarang diiringi emosi dan air mata. “Saya mengunjungi Qibya dan meragukan apakah kita semua manusia. Semoga keraguan ini tak bertahan lama,” cetus Sayyid Qutb, salah satu petinggi Ikhwanul Muslimin, dikutip Kramer dari suratkabar Ha-Po’el Ha-Tza’ir , 22 Desember 1953. Bantuan yang mengalir masih jauh dari tuntutan kebutuhan para pengungsi. Meski ada UNRWA atau Badan PBB untuk Pengungsi Palestina, kala itu masih sedikit negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mendonasikan bantuan. Indonesia termasuk di dalamnya –itu menjadi sumbangan nyata pertama Indonesia untuk Palestina. “Indonesia juga turut menyumbangnya, kira-kira 60 ribu dolar Amerika, khusus untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina),” lanjut Subardjo. Subardjo dan Abbas sempat menghadiri jamuan Raja Yordania Hussein bin Talal sebelum kembali ke tanah air keesokan harinya. Setibanya di Jakarta, Subardjo dan Abbas menyampaikan hasil dan kesimpulan muktamar berupa resolusi dan anjuran. Inti resolusi, persoalan Palestina harus menjadi tanggung jawab umat Islam di seluruh dunia dengan bersatu dalam persaudaraan. Adapun usulan lain yang diharapkan adalah dibangunnya jalur keretapi Hejaz-Amman, dan pendirian konsulat di Yerusalem oleh negara-negara Islam. Sementara, anjuran yang dihasilkan dari muktamar itu berisi tujuh poin desakan kepada pemerintah negeri peserta. Antara lain, pemerintah negara peserta muktamara memikul persoalan Palestina sebagai persoalan setiap Muslim dan memaknai bahwa mempertahankan tanah suci di Yerusalem sebagai kewajiban fardlu ain , menurut kesanggupan masing-masing; menentang dan mengharamkan setiap hubungan perdagangan dengan Israel; melakukan tindakan nyata untuk membuka jalan bagi beraneka bantuan terhadap para pengungsi Palestina; memperingatkan negara-negara yang pro-Israel bahwa sokongannya terhadap Israel berarti permusuhan terhadap negara-negara yang pro-Palestina; dan menjadikan tanggal 27 Rajab sebagai Hari Palestina. Tanggal ini merujuk pada hari pembuka muktamar, 3 Desember 1953 yang bertepatan dengan 27 Rajab dalam kalender Islam.
- Museum Bahari Ditelan Api
KEBAKARAN melanda Museum Bahari di Jalan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara Selasa (16/1/18) sekira pukul 8.30 pagi. Dugaan sementara, api berasal dari hubungan arus pendek atau korsleting. Kobaran api menghanguskan bangunan dua lantai Gedung A, C, dan D. Pemadam kebakaran (Damkar) sampai mengerahkan 20 unit mobil pemadam ke lokasi. Api baru bisa dipadamkan sekira pukul 12 siang. Akibat upaya pemadaman, bagian bawah museum jadi terendam air setinggi betis orang dewasa. Hingga tulisan ini diturunkan, petugas damkar masih melakukan penyedotan air. Kebakaran menyebabkan sejumlah koleksi museum hangus. Yang terparah, koleksi di lantai 1 dan 2 Gedung A serta lantai 2 Gedung C. Menurut kepala Museum Bahari Husnison Nizar, api awalnya berkobar di sisi utara Gedung C. “Dari pantauan saya, semua hangus terbakar di lantai 2. Tapi kita belum bisa inventarisir apa saja koleksi yang terbakar,” ujarnya di Museum Bahari. Merujuk keterangan yang ada, lantai 1 Gedung A berisi sejumlah replika perahu. Sedangkan lantai 2 merupakan tempat beberapa diorama kemaritiman, dan lantai 2 Gedung C merupakan tempat koleksi alat-alat navigasi, maket Laut Jawa, dan miniatur-miniatur kapal laut. “Di Gedung C itu juga ada barang-barang pameran Perang Dunia II yang 27 Februari tahun lalu dihibahkan ke kita dari Kedutaan Belanda, Amerika (Serikat), Inggris, Australia. Dihibahkan dengan syarat pameran tetap selama setahun,” kata Nizar. Bangunan Museum Bahari mempunyai sejarah panjang dalam khasanah sejarah maritim tanah air. Dibangun secara bertahap antara 1652-1771, bangunan Museum Bahari mulanya merupakan gudang rempah VOC. (baca: Dari Gudang Rempah Jadi Gudang Sejarah) Pemerintah Hindia Belanda yang menggantikan VOC lalu menjadikan gudang itu sebagai gudang komoditas perkebunan seperti kopi, teh, dan kina asal Jawa Barat. Pada masa pendudukan Jepang, gudang itu berubah menjadi gudang logistik balatentara Jepang. “Baju-baju bagus rakyat diambil Jepang dan disimpan di sini lalu dikirim ke Burma, Malaysia,” kata kepala Koleksi dan Perawatan Museum Bahari Isa Ansyari kepada Historia beberapa tahun lalu. Semasa republik, bangunan itu sempat terlantar di bawah Jawatan Pos, Telegraf, dan Telepon (PTT) sebagai pemilik sebelum kembali dijadikan gudang Telkom. Gubernur Ali Sadikin lalu mengambilalih gudang tersebut pada 1976 dan menjadikannya museum.
- Rumah di Majapahit
RUMAH tinggal penduduk dialasi jerami dan dilengkapi ruang penyimpanan yang terbuat dari batu sekira 1 meter. Gunanya untuk menyimpan barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan ini mereka biasanya duduk. Begitulah kesaksian Ma Huan, penerjemah Laksamana Cheng Ho, ketika mengunjungi ibukota negara Jawa. Menurutnya dalam Yingya Shenglan, di sana sang raja tinggal di kota bernama Moa-cia-pa-i (Majapahit) pada 1416. Tak seperti masa sebelumnya, permukiman era Majapahit setidaknya sudah lebih bisa dibayangkan. Arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa menulis pada masa itu sudah ada kecendrungan untuk memperhatikan aspek dekorasi pada rumah-rumah. Salah satunya dekorasi berupa tokoh perempuan yang terbuat dari tanah liat. Unsur dekorasi istimewa itu biasanya simbol status. Dalam prasasti disebutkan unsur dekorasi bangunan rumah sebagai hak istimewa untuk pejabat kerajaan. Prasasti Gandakuti (1042 M) menyebut salah satu hak istimewa pejabat adalah boleh memiliki pavilion dengan warna tertentu, misalnya kuning, atau dipan berukir yang diletakan di dalam bale. Prasasti Panumbangan (1120 M) dan Hantang (1135 M) menyebut pejabat juga boleh mendirikan bangunan dengan papan, mendirikan bangunan yang disebut dengan candi bukur di bukit, dan candi bagajing . Rumahnya boleh dibuat bertiang delapan, memiliki waruga, semacam serambi yang ditinggikan di tengah dan di bagian belakang. “Juga diperkenankan untuk menggunakan kain benanten untuk bagian-bagian tertentu, misalnya sebagai tirai dan rumbai-rumbai di bagian atas,” tulis Supratikno. Prasasti Ceker (1182 M) menyebut seorang pemuka ( dewan ) di Desa Ceker diperbolehkan memiliki rumah berpendopo. Bumbungan atapnya dibuat dari tanah bakar. Selain memiliki rumah bertiang delapan, pejabat dari Jaring juga memiliki hiasan rumah wdun tempak. Ia juga diizinkan membangun bangunan model setengah terbuka atau sri menganti. Bangunan semacam ini menjadi unsur bangunan kraton di Jawa. Prasasti Panambungan juga bilang soal pemakaian payung untuk tanda status di rumah. Khusus tokoh terkemuka dalam suatu thani (tingkatan wilayah desa), yakni kabayan kidul ning pasar, prasasti itu menyebut dia mendapat hak untuk memasang payung di atas dan di sisi rumahnya. Adapun Prasasti Lawadan menyebutkan ia boleh memakai sepasang payung putih di depan rumah. Prasasti Sarwwadharmma dari masa Singhasari menyebutkan hak memasang payung kuning di depan rumah. Pada masa Majapahit, payung kuning ini dipakai oleh seorang apatih amangku bhumi. Selain itu dia juga boleh punya singgasana berwarna merah di rumahnya. Mpu Dyaksa memiliki hak istimewa yang hampir sama. Ia boleh memasang payung kerajaan berwarna gelap dan singgasana berwarna gelap. Dari temuan arkeologis di Situs Trowulan, Mojokerto, dekorasi rumah biasanya berupa miniatur bangunan, miniatur hewan, miniatur manusia, dan jambangan bunga. Ditemukan juga jenis-jenis lain yang berkaitan dengan bagian rumah tinggal, yaitu genting, bata, ubin, bubungan, dan hiasan tiang dan atap. Umpak atau penyangga tiang biasanya terbuat dari batu. Alat-alat rumah tangga yang dipakai adalah wadah yang terbuat dari gerabah. Sumber prasasti tidak menyebut jenisnya. Namun, data arkeologi menemukan banyak bukti soal ini. Situs Trowulan sejauh ini memang yang terlengkap menyibak penggunaan wadah dalam rumah tangga pada masa lalu. Misalnya, wadah yang ditemukan antara lain tempayan, jambangan, bak air, kendi, cepuk, buli-buli, pasu, dan buyung. Untuk memasak, mereka memakai periuk, tungku, kendil, kuali, anglo, dan kekep. Mereka memakai wadah mangkuk dan piring untuk makan. Ada pula alat penerangan. “Sebagian alat itu digunakan untuk keperluan rumah tangga, tetapi karena beberapa barang tanah liat, khususnya jenis wadah serupa ditemukan juga di dalam situs bangunan keagamaan, maka sulit membedakannya,” tulis Supratikno. Ada pula alat rumah tangga terbuat dari batu, seperti sepasang alat pipisan. Kemungkinan besar, meski tak ditemukan buktinya, ada alat rumah tangga terbuat dari anyaman. Dugaan ini setelah melihat penjelasan dalam prasasti yang menyebut kerajinan anyaman atau anganyam. Alat rumah tangga terbuat dari logam di antaranya dandang, seperangkat tempat sayur, paliwetan , seperangkat tempat minum, tempat mandi ( padyussan ), talam, obor, bejana (buri ), cepuk, baki, cerek, periuk, lampu. Panginangan atau tempat sirih biasa ditemukan. Namun, lagi-lagi itu tergantung pula pada derajat sosialnya.*
- Ali Sadikin dan Jalanan Jakarta
“LALU lintas di Jakarta brengsek. Sayalah yang paling tidak puas terhadap keadaan itu.” Pernyataan demikian pernah dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Selama sedekade memimpin Jakarta (1966-1977), Ali Sadikin tahu persis kelakuan para pengendera di jalanan Jakarta yang tak kenal sopan santun berlalu-lintas. Sekali waktu dalam perjalanan menuju satu upacara di Menteng, mobil yang dikendarai Bang Ali –sapaan akrab Ali Sadikin– disalip truk pasir bermuatan delapan ton. Kendaraan bernomor polisi SL sekian itu seenaknya saja meluncur di tengah jalan tanpa menghiraukan mobil-mobil lain di belakangnya. Sementara mobil Ali Sadikin yang berplat B-8 berada tepat di belakang truk dan terus mengklakson. “Saya suruh sopir saya mengejar truk itu. Tapi sopir truk tetap bandel. Saya suruh truk itu berhenti. Tidak juga ia berhenti bahkan mau melarikan diri. Akhirnya setelah dikejar terus barulah truk itu berhenti di tengah jalan,” tutur Ali Sadikin dalam otobiografinya Demi Jakarta karya Ramadhan K.H. Setelah berhenti di pinggir jalan, Bang Ali keluar dan kemudian menghampiri sopir truk. “Truk siapa ini?” tanya Ali setengah membentak. “Truk ABRI, Pak, ” jawab sang sopir. “Mana surat tugas dan SIM-mu?” tanya Ali lagi. Ketika sopir truk memperlihatkan surat-surat yang ada padanya, Ali Sadikin bertanya lagi. “Apa saudara tidak merasa bersalah?” “Tidak, Pak,” jawab sopir. “Kan boleh saja jalan di sebelah kanan.” “Ketepaaak!” Tanpa berkata apa-apa lagi, Ali Sadikin langsung melayangkan tangannya menggampar pipi sang sopir. “Kalau bawa muatan berat, apa boleh jalan di tengah?” Ali Sadikin berang. Belum sempat menjawab, sang sopir kena “tanda mata lagi” dari gubernur jebolan marinir AL itu. “Ketepuuuk!” dua kali tempelengan pun mendarat ke pipi si sopir truk malang “Saudara tidak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ABRI. Saya juga dari ABRI,” kata Ali yang memberikan teguran keras. “Jadi ABRI jangan sembarangan!” kata Ali lagi sebelum naik lagi ke mobil. Di dalam mobil, Bang Ali masih dongkol. “Dia pikir karena sudah ABRI, boleh semaunya. Bahkan seharusnya sebaliknya. Ia harus memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat,” demikian gerutu Ali. Masalah yang Tak Kunjung Usai Pengemudi ugal-ugalan macam tadi hanya satu dari sekian persoalan lalu lintas Jakarta era Ali Sadikin. Kemacetan menambah keruwetan lalu lintas ibukota. Keadaan akan semakin parah bila Jakarta diguyur hujan deras yang mengakibatkan jalanan kebanjiran. Mobilitas pun bisa lumpuh. Ketika baru memimpin Jakarta, Ali Sadikin dihadapkan persoalan lalu lintas yang pelik. Pada 1967, kendaraan bermotor di ibukota meliputi setengah juta unit. Angka kecelakaan saat itu terbilang tinggi: rata-rata dua orang meninggal dan 17 orang menderita luka-luka. Jadi dalam setahun, korban meninggal akibat kecelakaan mencapai 726 orang. “Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit,” ujar Ali Sadikin. Salah satu masalahnya adalah kurangnya jumlah dan panjang jalan serta sempitnya sejumlah jalan-jalan yang sudah ada. Selain itu, perilaku pengguna jalan yang tak disipilin berkendara, menurut Ali juga ikut menjadi biang kerok masalah lalu lintas. Untuk membangun jalan, Pemda DKI Jakarta menemukan masalah dalam membangun jaringan jalan raya. Kendala ini disebabkan letak geografi Jakarta yang hanya beberapa ratus meter dari atas permukaan laut. “Ini membawa hambatan-hambatan teknis dan membuat pembuatan jalan menjadi sangat mahal,” tulis Ratu Husmiati dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Ali Sadikin dan Pembangunan Jakarta 1966-1977”. Untuk mengatasinya, Ali Sadikin memprakasai sejumlah kebijakan. Diantara nya seperti: penertiban pelarangan becak, menambah armada bus kota, hingga membagi zona jalan. Pada periode Ali Sadikin, jalanan Jakarta dibedakan menurut fungsinya, yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa. Ratu juga mencatat kebijakan Ali Sadikin dalam menormalisasi jalan dalam kota seperti normalisasi sebagian jalan raya Jakarta-Bogor antara Cililitan sampai batas kota Jakarta (1973); normalisasi jalan raya Pondok Gede (1974); normalisasi jalan terobosan Warung Buncit yang meliputi jalan Mampang Prapatan sampai Ragunan (1975). Selama 11 tahun menangani Jakarta, perencanaan dan kinerja Ali Sadikin terhadap jalanan ibukota membuahkan hasil. Jalan-jalan diperbaiki, diperlebar, dibangun yang baru dan dipelihara dengan benar. Lampu lalu lintas ditambah sehingga lalu lintas menjadi lebih baik. “Transportasi publik semakin baik dengan tambahan beberapa ratus bis baru, termasuk mini bus sejak 1976 dan seterusnya,” ujar Susan Blackburn, sejarawan Universitas Monash, yang meneliti Jakarta dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun . Namun, setelah purnabakti menjabat, Ali Sadikin masih belum puas menata jalanan Jakarta. Kemacetan tetap menjadi momok yang kerap diidentikan dengan ibukota Indonesia itu. “Persoalan lalu lintas dan angkutan tak ubahnya dengan gelombang di lautan, datang, mereda, gemuruh, lalu mereda lagi. Tak henti-hentinya,” ungkap Ali Sadikin. Hingga saat ini persoalan lalu lintas menjadi pekerjaan rumah Pemda DKI yang masih terus dibenahi.*
- Intisari Rivalitas Sepakbola Sejagat
INGGRIS boleh bangga sebagai negeri penemu sepakbola modern, Jerman boleh jumawa sebagai hegemoni sepakbola internasional sejak usai Perang Dunia II, dan Spanyol boleh menggila sebagai pesona sejak awal milenium ketiga. Namun, Argentina dan Brasil sudah mengukir nama besar lebih dulu dari mereka. Meski masih masuk kategori negara berkembang, Argentina dan Brasil punya prestasi sepakbola yang sama sekali bukan berkembang. Keduanya bahkan menjadi bagian kiblat persepakbolaan bagi banyak negara. Dalam artikel di situs resminya, 6 Juni 2014, FIFA bahkan menyebut rivalitas Argentina-Brasil sebagai “The Essence of Football Rivalry” – Intisari Persaingan Sepakbola. Meski bertetangga, kedua negara punya kultur dan bahasa berbeda. Kalau Argentina berpenduduk mayoritas kulit putih dan berbahasa Spanyol lantaran dulunya merupakan koloni negerinya Ratu Isabella, Brasil punya banyak penduduk negro –didatangkan dari Afrika semasa kolonialisme penjelajahan dunia– dan berbahasa Portugis. Pada 1820-an, keduanya pernah terlibat konflik dalam Perang Cisplatine. Provincias Unidas del Rio de la Plata (nama Argentina kala itu) memerangi Kekaisaran Brasil demi untuk memperebutkan wilayah Banda Oriental (kini Uruguay). Argentina dan Brasil (bersama Uruguay) juga pernah bahu-membahu dalam satu aliansi ketika Perang Paraguay 1864-1870. Awal Persahabatan Dalam sepakbola, hubungan keduanya baru dirintis pada 1908 saat Presiden Argentina Jenderal Julio Argentino Roca, yang penggila sepakbola dan pernah menjadi duta besar Argentina untuk Brasil, membawa timnas negerinya menyambangi Brasil. Upaya itu bertujuan mempererat persahabatan lewat sepakbola. Namun ketika itu Brasil belum punya timnas. CBF (Federasi Sepakbola Brasil) sendiri baru berdiri pada 1914. Saat itu Brasil baru punya klub-klub kecil yang didirikan para imigran Inggris Raya, macam Sao Paulo Athletic Club atau Corinthian FC. Setahun berselang, persahabatan keduanya lantas diperkuat dengan kunjungan Menteri Luar Negeri Argentina Roque Saenz Pena ke Brasil. “Segalanya menyatukan kita. Tidak ada yang memisahkan kita,” cetus Pena dalam pidatonya yang dikutip FIFA.com , 6 Juni 2014. Pertemuan resmi pertama kedua negara baru terjadi dalam laga persahabatan pada 20 September 1914 di Buenos Aires, Argentina. Tuan rumah perkasa dengan “mengajari” Brasil bermain bola lewat kemenangan 3-0. Tapi Brasil cepat belajar. Beberapa waktu kemudian, masih di tahun yang sama, Brasil menekuk Argentina 1-0 dalam gelaran Copa Roca. Copa Roca merupakan ajang kompetisi sepakbola tahunan yang dibuat Presiden Roca untuk menciptakan persaingan sehat antar-dua negara bertetangga dengan tuan rumah bergantian. Dalam event yang dihelat hingga 1976 itu, Brasil memenangi tujuh, Argentina tiga. Khusus gelaran 1971, keduanya keluar sebagai juara bersama. Titik Nol Rivalitas Persaingan keduanya pun mulai mengakar seiring terjadinya perubahan dari kekaguman menjadi kecemburuan. Hal itu terjadi setelah keduanya mulai terjun di turnamen-turnamen regional hingga internasional, seperti Copa America sampai Piala Dunia. Brasil berkembang cepat dan prestasinya melebihi Argentina kendati yang disebut terakhir lebih dulu mengenal sepakbola. “Ketika Argentina baru memenangkan satu Piala Dunia (1978) dan mulai dihormati di seluruh dunia hingga menjadi salah satu favorit di tiap kompetisi, Brasil sudah jauh meninggalkan mereka karena telah mengoleksi tiga gelar Piala Dunia (1958, 1962, 1970). Dari situlah rivalitas menjadi kian eksplisit dan keras di antara keduanya,” tulis Newton Cesar de Oliveira Santos dalam Brasil x Argentina: Historias do Maior Classico do Futebol Mundial . Hal senada diungkapkan sejarawan Osvaldo Gorgazzi. “Respek dan kekaguman orang Argentina terhadap Brasil tumbuh antara 1958-1970, terlebih ketika Brasil berhak memiliki trofi Jules Rimet secara permanen. Itu menjadi titik persaingan dimulai antara dua pendukung. Sampai-sampai di Piala Dunia 1978, pendukung Argentina selalu punya yel-yel mengejek terhadap Brasil,” tuturnya di situs fifamuseum.com , 21 November 2016. Namun, wartawan senior cum pengamat sepakbola Fernando Fiore punya pendapat lain. Dalam bukunya The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World , dia mengungkap permusuhan Brasil-Argentina sudah terjadi jauh sebelum itu. Tepatnya, saat gelaran Piala Dunia 1938 di Prancis. Ketika negara-negara Amerika Latin yang “dipimpin” Argentina memboikot Piala Dunia edisi ketiga itu, Brasil bersama Kuba malah tidak ikut masuk “barisan boikot”. Argentina dkk. menolak tampil di Piala Dunia 1938 sebagai bentuk protes. Bagi mereka, semestinya Piala Dunia 1938 kembali di gelar di Benua Amerika karena Piala Dunia 1934 Eropa mengambil jatah dengan Italia sebagai tuan rumahnya. “Mungkin Kuba tetap berpartisipasi karena itu Piala Dunia pertama mereka dan tidak ingin menyia-nyiakannya. Dan Brasil...entah apa alasannya. Tapi apapun itu, Argentina tidak memaafkan mereka selama bertahun-tahun. Ini menandai awal permusuhan dua negara adidaya Amerika Selatan,” tulis Fiore. Dampaknya, Argentina ogah tampil di Piala Dunia 1950 yang digelar Brasil sebagai bentuk kekecewaan mereka. “Argentina menolak ikut tampil, mengingat Brasil tak mendukung boikot Amerika Latin di Piala Dunia 1938. Hasilnya, hubungan keduanya tetap memburuk dan menambah rivalitas bersejarah keduanya,” tambah Fiore. Perbandingan Prestasi Hingga kini, Argentina dan Brasil sudah 108 kali bersua. Brasil 44 kali menang, Argentina dengan 39 kali menang, dan 25 lainnya berakhir imbang. Brasil lebih mentereng di ajang Piala Dunia dengan lima kali merebut trofi Piala Dunia, sementara Argentina baru dua. Di Piala Konfederasi, Brasil menang empat kali dan Argentina sekali. Namun Argentina lebih superior di Copa America dengan koleksi 14 trofi, sementara Brasil baru delapan. Namun publik sepakbola internasional tak hanya mempersoalkan hasil dan raihan trofi. Mereka juga membandingkan para legenda dan bintang-bintang kedua negara, semisal rivalitas Pele vs Maradona di masa lampau dan Lionel Messi vs Neymar da Silva Junior di zaman now . “Mengalahkan Brasil lebih menyenangkan ketimbang mengalahkan tim lain. Hal sebaliknya berlaku bagi mereka! Mereka lebih bahagia menang dari kami ketimbang menang dari Belanda, Italia, Jerman atau tim lain. Bagi saya pribadi, tidak ada hal yang lebih indah dibanding mengalahkan Brasil,” cetus Maradona di situs resmi FIFA. Hal itu diamini sosiolog Argentina Pablo Alabarces. “Brasil senang bisa membenci Argentina dan Argentina benci untuk senang terhadap Brasil”, ujarnya. Maka, kalau sedang ada pertandingan Brasil melawan negeri lain, fans Argentina 100 persen bakal mendukung tim yang menjadi lawan Brasil. Begitu juga sebaliknya. Level Klub, Pengecualian Namun, perseteruan Brasil-Argentina tak berlaku di klub. Fans sepakbola di Argentina tetap akan mengelu-elukan seorang pemain Brasil jika dia membela tim kesayangan mereka. Begitu juga sebaliknya. Sebagai contoh, kiper Argentina Edgardo Andrada yang bermain di klub Brasil Vasco da Gama. Dia dipuja-puja fans Vasco lantaran pernah menahan penalti Pele yang berseragam klub Santos pada 1969. Jose Poy, kiper Argentina yang membela klub Brasil Sao Paulo (1948-1963) juga menjadi salah satu idola fans setia Sao Paulo. Sama halnya ketika pemain Argentina Carlos Tevez dan Javier Mascherano jadi pujaan fans klub Brasil Corinthians lantaran ikut memberi gelar. Walau demikian, jika kembali ke level internasional, aroma persaingan tetap kental. Tensi pertandingan berubah panas. Kedua negara terakhir kali bersua dalam partai persahabatan di Melbourne Cricket Ground, Australia pada 9 Juni 2017. Argentina menang 1-0 dari Brasil. Meski kalah, mantan pelatih yang juga pengamat sepakbola Timo Scheunemann, justru lebih menjagokan Brasil sebagai salah satu favorit terkuat di Piala Dunia 2018 setelah Jerman dan Prancis. “Brasil sudah jauh lebih kuat dari saat mereka dikalahkan Jerman (1-7 di semifinal) di Piala Dunia 2014. Itu sudah tidak bisa disamakan. Argentina saya tempatkan di favorit keempat dan terakhir baru Spanyol,” ujar Coach Timo.
- Pembersihan Mahasiswa IPB dan UI
PASCA Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) dinyatakan sebagai partai terlarang hingga sekarang. Pembersihan pun dilakukan baik kepada anggota maupun simpatisan PKI, termasuk mahasiswa. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Syarif Thayeb mengeluarkan Surat Keputusan Menteri PTIP No. 01/dar Tahun 1965. “Suasana politik yang disebabkan G30S/PKI memang sangat tidak menentu. Untuk pengamanan perguruan tinggi, yang oleh PKI justru dianggap sebagai benteng terakhir, maka tindakan yang cepat harus saya ambil. Sebagai menteri PTIP, saya menerbitkan serangkaian kebijakan,” kata Sjarif Thayeb, “Tegas, Konsisten, tetapi Luwes,” termuat dalam Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun . Thayeb melakukan tiga tindakan besar. Pertama , membubarkan 14 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang diselenggarakan PKI atau organisasi massa di bawahnya, yang terdiri dari empat universitas, satu institut, dan sembilan akademi. Ke-14 PTS tersebut antara lain Universitas Res Publika, Universitas Rakyat Indonesia, Universitas Rakyat, Universitas Pemerintah Kotapraja Surakarta, Institut Pertanian EGOM, Akademi Ilmu Sosial Aliarcham (AISA), Akademi Ilmu Politik Bachtaruddin, Akademi Teknik Ir. Anwari, Akademi Jurnalistik Dr. Rivai, Akademi Musik W.R. Supratman, Akademi Jurnalistik dan Publisistik Taruna Patria, Akademi Ilmu Ekonomi Dr. Sam Ratulangi, Akademi Sastra Multatuli, dan Akademi Sejarah Ronggowarsito. Kedua, membekukan dan melarang kegiatan-kegiatan Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi). Ketiga, menginstruksikan kepada segenap pimpinan PTN dan PTS untuk mengamankan kebijakan tersebut serta melanjutkan pembersihan. “Khusus mengenai Universitas Res Publica yang didirikan oleh Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia), kemudian diganti dengan Universitas Trisakti sampai sekarang. Rektornya saat itu Ny. Utami Suryadarma terpaksa saya berhentikan karena tidak mampu menguasai dan mengendalikan kampus,” ujar Thayeb. Toyib Hadiwidjaya, rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak 1 Oktober 1966, melaksanakan kebijakan tersebut. Dia melakukan pembersihan kampusnya sampai dijuluki “tukang sapu” dari IPB. “Dalam usaha rehabilitasi, saya bertindak drastis. Dari sejumlah 2.300 mahasiswa IPB, sebanyak 600 saya pecat. Kemungkinan mereka terlibat dalam G30S/PKI, sebab mereka tidak memenuhi panggilan untuk kembali ke kampus. Oleh karena itulah saya mendapat predikat ‘tukang sapu’ dari IPB,” kata Toyib, “Penyuluh Pertanian dan Peternakan yang Tiada Bandingan,” termuat dalam Diantara Para Sahabat: Pak Harto 70 Tahun . Selain IPB, Universitas Indonesia (UI) juga membersihkan diri dari mahasiswa yang diduga terlibat gerakan komunis. Sejak Juni 1966, UI mewajibkan setiap mahasiswa mengisi formulir screening yang disediakan masing-masing fakultas. “Jika mereka tidak mengindahkan aturan screening ini maka konsekuensinya adalah keluar dari fakultas,” tulis Kompas, 7 Juni 1966. Tiga bulan kemudian, Agustus 1966, hasil screening keluar dan dikuatkan dengan SK Rektor UI No. 18/SK/BR/66 tentang hasil screening terhadap mahasiswa yang menentang aksi Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). “Berdasarkan hasil screening , pihak UI memecat 13 mahasiswa, 264 mahasiswa terkena larangan mengikuti kuliah hingga awal tahun 1967, dan 760 mahasiswa terkena wajib lapor dan indoktrinasi,” tulis Kompas, 4 Agustus 1966.
- Mula Pertentangan Dua Kubu
PADA November 1954, Ahmad Sadali, But Muchtar, Edie Kartasubarna, Hety Udit, Kartono Yudokusumo, Sie Hauw Tjong, Srihadi, Karnaedi, Sudjoko, Soebhakto, dan Popo Iskandar mengadakan pameran di Balai Budaya, Jakarta. Mereka semua mahasiswa Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, cikal bakal Seni Rupa ITB. Pameran tersebut langsung menarik perhatian beberapa kritikus seni, menimbulkan polemik, dan membagi peta kesenian Indonesia menjadi Kubu Yogyakarta dan Kubu Bandung. Trisno Sumardjo lewat artikelnya di Mingguan Siasat November 1954, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, mengecam absennya “jiwa” dalam karya-karya di pameran itu. Sitor Situmorang juga berkomentar dengan nada serupa. Menurut mereka, karya-karya seniman Bandung berjiwa kosong dan merupakan perwujudan laboratorium seni Barat. Komentar-komentar pedas itu membuat Sudjoko, yang ikut pameran, panas. Dua pekan setelah kritik Trisno, dia membalas di majalah yang sama. Sudjoko menyebut Trisno “asal bunyi, asal ngeritik, tapi tidak disertai argumentasi yang memadai.” Sudjoko bahkan menantang Trisno untuk menyaksikan proses belajar di ITB untuk membuktikannya. Polemik tersebut kemudian melibatkan lebih banyak nama dan berlangsung hingga tiga edisi. Menurut Jim Supangkat dalam “Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia”, yang diarsip ivaa-online.org , perdebatan antara kubu Yogyakarta dan kubu Bandung bertambah parah karena ketiadaan penengah dalam perseteruan tersebut. “Ngotot-ngototan menjadi kian ramai, masing-masing berusaha bertahan pada pendapatnya sendiri-sendiri, menggunakan term yang digariskannya sendiri tanpa peduli, apakah dimengerti orang lain atau tidak.” Padahal, kata sejarawan seni Helena Spanjaard, keduanya sama saja. Kecaman yang diberikan kubu Yogyakarta kurang memperhatikan kenyataan bahwa gaya pelukis-pelukis Yogyakarta yang realis atau ekspresionis, dalam berbagai ragam malah sama kebaratannya dengan kesenian abstrak dari Bandung. “Perbedaan yang besar antara Yogyakarta dan Bandung terletak dalam hal tema pokok lukisan,” kata Helena. Pertentangan antara seniman Yogyakarta dan Bandung sebenarnya sudah muncul bibitnya sejak lama. Asmudjo J. Irianto dalam “Seni Lukis Abstrak Indonesia” yang diterbitkan Jurnal Kalam edisi 27 tahun 2015 menulis pertentangan kedua kubu tidak lepas dari pengaruh Polemik Kebudayaan sebelum masa kemerdekaan. Pertentangan mazhab seni rupa pada 1935 itu antara Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Alisjahbana mengutamakan penerapan kebudayaan Barat sementara Pane lebih suka merujuk kebudayaan Indonesia. Pascakemerdekaan pertentangan ini diwakili oleh dua institusi pendidikan. Yogyakarta diwakili seniman-seniman Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta (kini ISI Yogyakarta) yang mengusung nilai-nilai tradisional dan sosial. Sementara kubu Bandung diwakili seniman lulusan Seni Rupa ITB yang dianggap sebagai laboratorium Barat. Perbedaan paham seni rupa Bandung dan Yogyakarta, Barat-Timur, Universal-Tradisional ditelusuri oleh Asmudjo sebagai bagian dari kultur pendidikan di masing-masing kota. ASRI tumbuh dari keberadaan sanggar, lahir dari usaha para seniman pascakemerdekaan di tengah situasi genting. Sejak awal pendiriannya dosen-dosen ASRI adalah orang Indonesia. Maka tak heran bila gaya atau tema karya tak lepas dari ketradisionalan atau nasionalisme. Sedangkan Seni Rupa ITB adalah warisan pemerintah Belanda yang dulunya Universiter Guru Gambar, bagian dari Fakultas Teknik, Universitas Indonesia di Bandung. Lembaga pendidikan untuk calon guru seni rupa ini didirikan pada 1947. Hampir semua dosennya orang Belanda, salah satunya Ries Mulder. Gaya lukis Mulder inilah yang ditularkan kepada mahasiswa seni di Bandung. Meski belajar di lembaga pendidikan untuk calon guru, para murid Universiter Guru Gambar kebanyakan menjadi seniman yang mengikuti gaya gambar gurunya.





















